Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tangan mempunyai fungsi yang kompleks karena merupakan anggota tubuh

yang sangat penting untuk bekerja. Sebagian besar manusia menggantungkan

produktivitasnya pada kemampuan fungsi tangan yang dapat diandalkan sehingga jika

tangan mengalami kelainan seperti Carpal Tunnel Syndrome, akan dirasakan sangat

mengganggu aktivitas maupun produktivitas. Di Indonesia dari data hasil survey yang

dilakukan peneliti terhadap 14 operator komputer dikaitkan dengan kegiatan mengetik

didapatkan hasil sebagai berikut : 42,8% merasakan sakit pada jari dan pergelangan

tangan, 21,4% merasakan nyeri tangan seperti tertusuk, 28,6% merasakan kesemutan,

14,2% merasakan mati rasa pada jari, 14,2% merasakan jari tangan kaku, dan 14,2%

merasakan kekuatan tangan untuk menggenggam menjadi berkurang. Stevens dkk

melaporkan di Belanda, pada tahun 1976-1980 insidensnya 173 per 100.000 pasien

wanita/tahun dan per 68 per 100.000 pasien pria/tahun (Tamba, 2009).

Dalam hal ini, peran fisioterapis dibutuhkan untuk membantu pemulihan pasien,

bahwa fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu

dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan

fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara


manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik dan mekanis), pelatihan

fungsi dan komunikasi (Menkes RI, 2007).

Untuk mengatasi nyeri, banyak tekhnologi fisioterapi dengan modalitas yang

tersedia seperti : Micro Wave Diathermy (MWD), Short Wave Diathermy (SWD), Ultra

Sound (US), Infra Red (IR), Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation (TENS) dan

Terapi Latihan (TL). Mengingat adanya keterbatasan lingkup gerak sendi, kelemahan

otot, odema dan gangguan dalam beraktivitas akibat kekakuan sendi, dapat dilakukan

dengan terapi latihan yang berupa static contraction, resisted exercise, free avtive

exercise dan passive movement (Miclhovitz, 1996). Fisioterapi dapat membantu

masalah yang ditimbulkan oleh CTS, baik berupa masalah motorik maupun fungsional

dengan modalitas fisioterapi ultrasound dan terapi latihan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka permasalahan yang akan dibahas adalah:

Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada Carpal Tunnel Syndrome dengan modalitas

ultrasound?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan sebagai berikut: untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi

pada Carpal Tunnel Syndrome dengan modalitas ultrasound.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah penekanan saraf medianus pada

pergelangan tangan yang menimbulkan rasa nyeri, paresthesia, numbness, dan

kelemahan sepanjang perjalan saraf medianus (Chung dkk., 2010). Neuropati ini

disebabkan oleh terperangkapnya saraf medianus pada area carpal tunnel, yang dibatasi

oleh tulang-tulang carpal dan juga transverse carpal ligament. Di area carpal tunnel

terjadi peningkatan tekanan sehingga terjadi penurunan fungsi saraf medianus pada

tingkatan tersebut (Ibrahim dkk., 2012). Keluhan yang timbul berupa kesemutan pada

jari jari tangan I sampai setengah jari IV bagian telapak tangan, numbness, nyeri, dan

kelemahan otot.

Angka kejadian CTS sekitar 90% dari berbagai neuropati lainnya. Setiap

tahunnya kejadian CTS mencapai 267 dari 100.000 populasi dengan prevalensi 9,2%

pada perempuan dan 6% pada laki-laki. Di Inggris, angka kejadinnya mencapai 6%-

17% yang lebih tinggi dari pada Amerika yaitu 5% (Ibrahim dkk., 2012). Penderita

umumnya usia 40-60 tahun, perempuan tiga kali lebih beresiko daripada laki-laki

(Wipperman dan Potter, 2012).


B. ANATOMI

Carpal tunnel adalah suatu terowongan fibro-osseous yang dibentuk oleh tulang-

tulang karpal dan flexor retinaculum. (Durrant dkk, 2002; Yugueros 2002). Komponen

tulang pada carpal tunnel membentuk suatu lengkungan, yang dibentuk oleh empat

tonjolan tulang di proksimal oleh tulang pisiformis dan tubercle of scaphoid dan di

distal oleh hook of hamate dan tubercle of trapezium. Tendon palmaris longus di

superfisial berjalan anterior menuju ke flexor retinaculum untuk menyatu dengan fasia

palmaris. Di bawah fasia palmaris, suatu ligamen membentuk batas superfisial dari

carpal tunnel, yang disebut ligamen karpal transversal.

Gambar : 2.1 Bagian anterior dari carpal tunnel


Sumber : Yugueros.P., Berger,R.A. 2002

Ukuran dari terowongan ini bervariasi, dengan ukuran yang paling umum

dijumpai adalah panjang 2-5 cm dan lebar 2-3 cm. Carpal tunnel cenderung menyempit

semakin ke arah distal. Sembilan tendon ke jari-jari dan nervus medianus berjalan di
dalam flexor retinaculum dalam carpal tunnel. Terdapat satu pembungkus synovial

yang sama untuk seluruh tendon, kecuali tendon flexor pollicis longus (Durrant dkk,

2002).

Gambar : 2.2 Anatomi carpal tunnel


Sumber : Durrant,D.H.,True,J.M. 2002

Walaupun tampaknya carpal tunnel merupakan ruang terbuka yang

berhubungan dengan kompartemen fleksor dari lengan bawah di proksimal dan ruang

midplamar di distal, namun carpal tunnel merupakan suatu kompartemen tertutup dan

mempertahankan kadar tekanan jaringan dan cairannya sendiri. (Yugueros 2002).

C. Nervus Medianus

Nervus medianus berasal dari korda lateral dan medial dari pleksus brakialis

sebagai gabungan saraf yang berasal dari radiks C6 dan T1. (Preston dkk, 2002). Korda

lateral, terdiri dari serabut C6,C7, mensuplai serabut sensorik ke thenar eminence dan

ibu jari (C6), jari telunjuk (C6- C7), dan jari tengah (C7), begitu juga serabut motorik ke

otot-otot lengan bawah. Korda medial, terdiri dari C8-T1, mensuplai serabut motorik ke
otot-otot median distal pada lengan bawah dan tangan, begitu pula serabut sensorik ke

bagian lateral dari jari manis (Freimer dkk, 2001).

Gambar : 2.3 Anatomi Pleksus Brakialis


Sumber : Kimura,J. 2001

Pada lengan atas, nervus medianus berjalan turun tanpa memberikan cabang.

(Preston dkk, 2002). Nervus medianus tidak mensarafi otot apapun pada lengan atas.

Nervus ini memasuki lengan bawah antara dua kaput pronator teres, dimana ia

mensarafi fleksor karpi radialis, palmaris longus dan flexor digitorum superficialis. Satu

cabang motorik murni, yang disebut saraf interoseus anterior, menginervasi flexor

pollicis longus, pronator quadratus dan flexor digitorum profundus I dan II. Nervus

medianus kemudian berjalan di lengan bawah, dan setelah memberikan percabangan

sensorik palmar, yang menginervasi kulit pada thenar eminence, nervus ini berjalan

melalui carpal tunnel antara pergelangan tangan dan telapak tangan (Kimura 2001)

Pada telapak tangan, nervus medianus terbagi menjadi divisi motorik dan

sensorik. Divisi motorik berjalan ke distal telapak tangan dan mensarafi lumbrikal I dan
II. Serabut sensorik dari nervus medianus yang berjalan melalui carpal tunnel mensarafi

ibu jari bagian medial, jari telunjuk, jari tengah dan aspek lateral jari manis. (Preston

dkk, 2002)

Nervus medianus merupakan struktur yang pertama terganggu dan menimbulkan

gejala jika terdapat stenosis atau peningkatan tekanan dalam terowongan. Kondisi

apapun yang menyebabkan penurunan ruang dalam terowongan karpal atau peningkatan

tekanan dalam terowongan akan meningkatkan friksi atau gesekan antara tendon

fleksor, nervus medianus dan ligamen karpal transversalis. Gerakan fleksi dan ekstensi

pergelangan tangan yang berulang dapat menyebabkan stenosis dan peningkatan

tekanan dalam terowongan (Durrant dkk,2002).

D. ETIOLOGI

CTS terjadi karena menyempitnya ruang tunnel atau kelemahan pada nervus

medianus. Pekerjaan yang berulang-ulang atau repetition merupakan faktor terbesar

yang memicu terjadinya CTS, penggunaan pergelangan tangan dengan tekanan yang

tinggi dan pengulangan yang banyak lebih beresiko sebesar 5,6% terjadinya CTS

dibandingkan pada pekerjaan yang tekanan dan pengulangan rendah hanya 0,6%

(Aroori dan Spence, 2007). Pada kondisi hamil biasanya terjadi pada trismester III dan

terjadi secara bilateral (Bahrami dkk., 2005). Posisi tangan yang salah juga memicu

tejadinya CTS, berdasarkan penelitian supinasi penuh 90º dan fleksi

metacarpophalangeal (MCP) lebih beresiko dibandingkan dengan posisi sendi 45º

pronasi dan 45º fleksi MCP.


Terdapat beberapa co-morbiditas atau human factor yang berpotensi

meningkatkan risiko CTS (Huldani,2013). Pertimbangan utama meliputi usia 3 lanjut,

jenis kelamin, dan adanya diabetes dan obesitas. Faktor risiko lain termasuk kehamilan,

pekerjaan yang spesifik, cedera karena gerakan berulang dan kumulatif, sejarah

keluarga yang kuat, gangguan media tertentu seperti hipotiroidisme, penyakit autoimun,

penyakit rematologi arthritis, penyakit ginjal, trauma, predisposisi anatomi di

pergelangan tangan, penyakit menular, dan penyalahgunaan zat. Orang yang terlibat

dalam kerja manual di beberapa pekerjaan memiliki insiden dan tingkat keparahan yang

lebih besar (Huldani, 2013).

E. PATOFISIOLOGI CARPAL TUNNEL SINDROME

Sebagian besar kondisi CTS disebabkan karena kompresi pada ruang carpal

tunnel. Susunan ossa carpal dan transverse carpal ligament membentuk carpal tunnel

(terowongan karpal) yang mana pada ruang tersebut diisi oleh sembilan flexor tendon

dan saraf medianus. Sebelum masuk ke area carpal tunnel, mensarafi area palmar

cutaneus membawa serabut sensorik otot thenar. Setelah keluar dari area carpal tunnel,

cabang dari otot thenar menginervasi m.abductor pollicis brevis, m. opponens pollicis,

dan m. lumbrical I serta II. Selain itu juga mensarafi m.flexor pollicis brevis. Pada

cabang yang lain mensarafi jari I, II, III dan setengah jari IV (Pasnoor dan Dimachkie,

2011). Akibatnya timbul gangguan sensorik dan motorik pada bagian palm, phalange I,

II, III dan lateral phalange IV.


Ujung proksimal dan
distal dari saraf yang
cedera mengalami
perubahan
struktur dan
molekular sebagai
persiapan untuk
proses regenerasi
akson.
Ujung proksimal dan
distal dari saraf yang
cedera mengalami
perubahan
struktur dan
molekular sebagai
persiapan untuk
proses regenerasi
akson.
Ujung proksimal dan
distal dari saraf yang
cedera mengalami
perubahan
struktur dan
molekular sebagai
persiapan untuk
proses regenerasi
akson.
Ujung proksimal dan
distal dari saraf yang
cedera mengalami
perubahan
struktur dan
molekular sebagai
persiapan untuk
proses regenerasi
akson.
Ujung proksimal dan
distal dari saraf yang
cedera mengalami
perubahan
struktur dan molekular
sebagai persiapan
untuk proses regenerasi
akson.
Ujung proksimal dan
distal dari saraf yang
cedera mengalami
perubahan
struktur dan
molekular sebagai
persiapan untuk
proses regenerasi
akson.
Ujung proksimal dan
distal dari saraf yang
cedera mengalami
perubahan
struktur dan
molekular sebagai
persiapan untuk
proses regenerasi
akson.
Pada saat terjadi cedera terdapat fase inflamasi awal yang menjelaskan bahwa

adanya pendarahan yang akan mengaktivasi koagulasi intrinsik dan ekstrinsik, yang

mengarah ke agregasi platelet dan formasi clot vasokontriksi, pengerutan ujung

pembuluh darah yang putus (retraksi) dan reaksi haemostasis. Memicu pengeluaran

platelet atau dikenal juga dengan trombosit mengekspresi glikoprotein pada membran

sel sehingga trombosit tersebut dapat beragregasi menempel satu sama lain dan

membentuk massa (clotting). pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi selama 5

sampai dengan 10 menit, akibatnya akan terjadi hipoksia, peningkatan glikolisis dan

penurunan PH yang akan direspon dengan terjadinya vasodilatasi. Lalu akan terjadi

migrasi sel leukosit dan trombosit ke jaringan luka yang telah membentuk scaffold tadi.

Selain itu, migrasi sel leukosit dan trombosit juga dipicu oleh aktivasi associated kinase
membrane yang meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Ca2+ dan

mengaktivasi kolagenase dan elastase.

Fase inflamasi akhir terjadi setelah hari ke-5, tujuan utama fase ini adalah

menyingkirkan jaringan yang mati, dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi oleh

agen mikrobial patogen (Gutner GC, 2007). Setelah hemostasis tercapai, sel radang akut

serta neutrofil akan menginvasi daerah radang dan menghancurkan semua debris dan

bakteri. Pengaktifan jalur ini akan menghasilkan ekspresi gen yang terdiri dari sitokin

dan kemokin pro-inflamasi yang menstimulasi leukosit untuk ekstravasasi keluar dari

sel endotel ke matriks provisional. Leukosit akan melepaskan bermacam-macam faktor

untuk menarik sel yang akan memfagosit debris, bakteri, dan jaringan yang rusak, serta

pelepasan sitokin yang akan memulai proliferasi jaringan. Leukosit yang terdapat pada

cedera di dua hari pertama adalah neutrofil, biasanya terdeteksi dalam 24 jam sampai

dengan 36 jam setelah terjadi cedera. Sel ini membuang jaringan mati dan bakteri

dengan fagositosis. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan

difagositosis oleh makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam

mencegah infeksi, keberadaan neutrofil yang persisten dapat menyebabkan sulit untuk

mengalami proses penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan akut berprogresi menjadi

kronis (Landén et al., 2016)

Cedera saraf tepi memprovokasi sebuah reaksi pada sel-sel imun perifer dan sel

glia di beberapa tempat berbeda: makrofag dan sel Schwann memfasilitasi degenerasi

Wallerian dari bagian distal serabut saraf yang mengalami cedera. Respon imunitas

pada GRD dilaksanakan oleh makrofag, limfosit dan sel-sel satelit (Scholz & Woolf,
2007). Makrofag, limfosit T dan sel mast menuju lokasi lesi dan menyebar ke seluruh

potongan distal dari serabut saraf yang mengalami cedera. Sel Schwann mulai

berkembang biak, berdifferensiasi dan membentuk band of Bungner, yang berfungsi

sebagai tabung pembimbing regenerasi akson.

Makrofag dan beberapa limfosit T yang berada di GRD mengalami peningkatan

jumlah yang tajam setelah cedera. Makrofag juga bergerak dalam selubung yang

dibentuk oleh sel-sel satelit di sekitar tubuh sel neuron sensorik primer. Sel-sel satelit

mulai berkembang biak dan meningkatkan ekspresi glial fibrillary acidic protein

(GFAP). Satu minggu setelah cedera saraf, kelompok padat sel mikroglia terbentuk

pada kornu ventralis medula spinalis, mengelilingi badan sel dari neuron-neuron

motorik. Aktivasi mikroglia yang masif juga dijumpai pada kornu dorsalis yang

merupakan area proyeksi terminal sentral dari serabut-serabut aferen primer yang

mengalami cedera. Dapat disimpulkan, terjadinya nyeri neuropatik tidak hanya

melibatkan jalur neuronal saja tetapi juga sel Schwan, sel satelit pada GRD, komponen

imunitas perifer, mikroglia dan astrosit medula spinalis (Scholz & Woolf, 2007).

Sel mast juga mengalami aktivasi pada saat inflamasi. Sel mast berasal dari sel

progenitor hematopoietik yang bersirkulasi di darah. Setelah memasuki jaringan, sel

mast berdiferensiasi menjadi sel mast dewasa dan dapat bertahan lama, mengalami

degranulasi, regranulasi, dan dapat berproliferasi apabila mendapat sinyal yang tepat.

Sel mast memiliki reseptor untuk IgG dan IgE pada permukaan selnya dan

memungkinkan sel mast menjadi tersensitisasi saat berikatan dengan antigen yang

spesifik terhadap imunoglobulin tersebut.


Beberapa teori menjelaskan gejala dan proses terperangkapnya saraf medianus.

Teori-teori tersebut yaitu mechanical compression, micro-vascular insufficiency, dan

vibration theories. Mechanical compression menjelaskan faktor penyebab terjadinya

CTS karena strain, overuse, dan pekerjaan yang berulang-ulang pada pergelangan

tangan yang menyebabkan terjadinya kompresi atau penekanan pada saraf medianus

sehingga perjalanan saraf ke jari I-IV terhambat. Sedangkan pada teori micro-vascular

insufficiency berpendapat bahwa berkurangnya asupan darah yang terdiri dari oksigen

dan nutrisi untuk saraf menyebabkan kemampuan transmisi impuls saraf menurun.

Kongesti yang terjadi akan mengganggu nutrisi intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia

yang akan merusak jaringan endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan

kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Karakteristik yang akan dirasakan

adalah tingling, numbness, dan acute pain. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan

terjadi fibrosis epineural yang merusak serabut saraf, akibatnya saraf menjadi atrofi dan

digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu

secara menyeluruh.

Beberapa pendapat menyatakan iskemik memiliki peran penting sebagai pemicu

terjadinya CTS. Berdasarkan hasil penelitian, iskemik menyebabkan peningkatan

tekanan pada carpal tunnel yang menimbulkan kelemahan otot dan berkurangnya

sensibilitas karena konduktivitas saraf yang terganggu, selain itu juga terasa nyeri dan

parestesia. Teori terakhir yaitu vibration theories, menyebutkan gejala CTS dapat

menghasilkan efek jangka panjang akibat penggunaaan alat yang menimbulkan vibrasi

pada saraf medianus di carpal tunnel (Aroori dan Spence, 2007).


F. Tanda dan Gejala

Carpal tunnel syndrome dapat muncul dengan berbagai gejala dan tanda. Wanita

lebih sering terkena dibanding pria. Walaupun biasanya bilateral, tangan yang dominan

biasanya lebih berat terkena, terutama pada kasus-kasus idiopatik (Preston 2002). Gejala

awal biasanya berupa pharastesia, tebal (numbness) atau rasa seperti terkena aliran

listrik (tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi

sensorik nervus medianus walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-

jari (Rambe, 2004). Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala

lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari

sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak

berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan

meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila

penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya (15). Apabila tidak segera ditagani

dengan baik maka jari-jari menjadi kurang terampil misalnya saat memungut benda-

benda kecil. Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya

kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai

atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis).dan otot-otot

lainya yang diinervasi oleh nervus medianus (Bahrudin, 2011).

G. PROGNOSIS
Prognosis sindroma ini baik dan hilang dalam beberapa bulan apabila diberikan

terapi yang tepat dan edukasi yang baik serta manifestasi hanya pada gangguan sensoris

tanpa disertai gangguan motorik (Rambe, 2004). Kesembuhan yang paling cepatt

dirasakan adalah hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti dengan perbaikan

sensorik. Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup

baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada.

H. Deskripsi Problematika Fisioterapi

Melihat gambaran tersebut maka CTS problematik yang akan muncul adalah:

1. Impairment

Impairment merupakan adanya gangguan kapasitas fisik yang berhubungan

dengan aktivitas fungsional dasar. Dalam kasus Carpal Tunnel Syndrome, impairment

berupa: (1) nyeri, (2) keterbatasan lingkup gerak sendi, (3) penurunan kekuatan otot, (4)

atrofi, (5) paresthesia.

2. Functional Limitation
Functional limitation merupakan suatu problem yang berupa penurunan atau

keterbatasan saat melakukan aktifitas-aktifitas fungsional sebagai akibat dari adanya

impairment. Functional limitation pada kasus CTS antara lain kesulitan dalam

menggenggam, menulis, mencuci, mengetik dan menyetir.

3. Disability

Disability merupakan gangguan atau keterbatasan seseorang untuk melakukan

aktivitas fungsionalnya yang berhubungan dengan individu lain atau masyarakat sosial

dalam melakukan komunikasi. Hal ini terjadi karena adanya gabungan gangguan dari

impairment dan functional limitation. Aktifitas keseharian yang dilakukan penderita

carpal tunnel syndrome yang dilakukan dengan menggunakan tangan juga pasti akan

terganggu, misalnya memegang sapu, mencuci perabot rumah tangga dan pakaian, dan

memegang benda-benda kecil lainnya.

I. TEKNOLOGI INTERVENSI

1. Ultrasound (US)

Ultrasound merupakan jenis terapi yang termasuk dalam frekuensi gelombang

tinggi. Frekuensi yang dimiliki US yaitu lebih dari 20KHz, akan tetapi yang digunakan

untuk terapi antara 0,75-3 MHz. Semakin tinggi frekuensi yang ditentukan maka

semakin dangkal penetrasinya. Kisaran intensitas yang digunakan antara 0,25-2,0

W/cm2. Sedangkan kecepatan dalam menggerakkan tranduser adalah 4 cm/detik untuk

mencegah terjadinya penggelembungan gas pada deep tissue (Draper dan Prentice,

2002). Gelombang masuk secara konvergen dengan heating effect yang prenetrasinya
pada jaringan lebih dalam, menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang diikuti

dengan peningkatan oksigen untuk perbaikan jaringan yang rusak. Sehingga US dapat

mempercepat healing process pada jaringan yang rusak (Ono dkk, 2010).

Terapi US dengan intensitas 0,5-2,0 W/cm2 dapat merangsang terjadinya

biofisikal pada jaringan. Terapi yang dilakukan dapat menstimulasi regenerasi saraf dan

konduksi saraf dengan adanya efek anti-inflamatori dari US sehinggga dapat membantu

proses penyembuhan saraf yang mengalami kompresi (Bilgici dkk., 2010).

Sel yang paling berperan dari semua proses ini adalah sel makrofag, yang

berfungsi mensekresi sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi serta growth factors,

fibroblast dan kemampuannya mensistesis kolagen yang mempengaruhi kekuatan

tensile strengh luka dan mengisi jaringan luka kembali ke bentuk semula, kemudian

diikuti oleh sel-sel keratinosit kulit untuk membelah diri dan bermigrasi membentuk

reepitelialisasi dan menutupi area luka (Faten Khorshid, 2010). Keseimbangan antara

sintesis dan degradasi jaringan membentuk suatu proses penyembuhan luka normal

yang terdiri dari even terpisah yang saling berhubungan termasuk mikrosirkulasi

transportasi oksigen, respon imun dan inflamasi, perubahan metabolisme dan sistem

neuroendokrin serta melibatkan beberapa tingkat organisasi seperti bermacam-macam

jenis sel (fibroblast, netrofil, makrofag dan sebagainya), interselular messenger (sitokin,

hormon, growth factor dan sebagainya), produk buatan (kolagen, proteoglikan dan

sebagainya) dan enzim (MMP dan matriks metalloproteinase). Suatu luka dikatakan

sembuh secara sempurna jika luka telah kembali ke struktur anatomi jaringan, fungsi
jaringan, dan penampakan secara normal dalam periode waktu yang sesuai (T Velnar,

2009)

Pada US didapatkan efek micromassage menghasilkan variasi tekanan yang

timbul karena bentuk gelombang yang terdiri dari rapatan dan renggangan

menyebabkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan menimbulkan reaksi

radang yang diikuti terlepasnya zat inflamatori mengakibatkan terangsangnya serabut

saraf bermielin tipis sehingga dapat merasakan nyeri. Terangsangnya serabut tipis

tersebut mengakibatkan proses proliferasi yang mempercepat penyembuhan jaringan

yang rusak akan terjadi melalui reaksi dari zat anti-infalmatori (Drapper dan Prentice,

2002). Setelah terjadi perusakan jaringan, secara otomatis akan terjadi perbaikan

melalui non thermal effect yang dihasilkan dari US. Sehingga penggunaan US untuk

terapi cukup sekali selanjutnya tidak perlu menggunakan US lagi, karena jaringan yang

memulai proses perbaikan akan mengalami kerusakan lagi.

Segera setelah kavitas cedera terisi oleh jaringan granulasi dan proses

reepitelialisasi usai, fase ini pun segera dimulai. Pada fase ini terjadi kontraksi dari

cedera dan remodeling kolagen. Kontraksi cedera terjadi akibat aktivitas fibroblas yang

berdiferensiasi akibat pengaruh sitokin TGF-β menjadi myofibroblas, yakni fibroblas

yang mengandung komponen mikrofilamen aktin intraselular. Myofibroblast akan

mengekspresikan α-SMA (α-Smooth Muscle Action) yang akan membuat cedera

berkontraksi. Matriks intraselular akan mengalami maturasi dan asam hyaluronat dan

fibronektin akan di degradasi (T Velnar, 2009). Pada fase ini terjadi keseimbangan

antara proses sintesis dan degradasi kolagen serta matriks ekstraseluler. Kolagen yang
berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenasedan kemudian diserap. Sisanya akan

mengerut sesuai tegangan yang ada. Saat kadar produksi dan degradasi kolagen

mencapai keseimbangan, maka mulailah fase maturasi dari penyembuhan jaringan luka.

Kekuatan akhir yang dicapai tergantung pada lokasi terjadinya cedera dan durasi lama

perbaikan jaringan yang terjadi (T Velnar, 2009).

Banyak manfaat yang dihasilkan dari terapi US baik thermal effect maupun non

thermal effect. Thermal effect bermanfaat untuk meningkatkan ekstensibilitas jaringan

kolagen, aliran darah, kecepatan saraf sensorik dan motorik serta aktivitas enzim. Selain

itu dapat mengurangi spasme, kaku sendi, inflamasi dan nyeri. Sedangkan non thermal

effect dapat mengurangi bengkak melalui peningkatan membran sel dan permeabilitas

dinding pembuluh darah, peningkatan aliran darah, sintesis protein dan regenerasi

jaringan yang selanjutnya menuju healing process. Dosis terapi US yang dipilih

disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu dan kasus yang dialami penderita.

Pada dosis US dengan frekuensi 1Mhz, intensitas 1,0 W/cm2 dan waktu terapi 5 menit

selama dua kali seminggu terapi dapat meningkatakan kemampuan fungsional dan

penurunan keluhan yang diderita pada kondisi CTS (Chang dkk., 2014).

Pemberian ultrasound didapatkan efek mekanik gelombang menimbulkan

peregangan dan perapatan dengan frekuensi yang sama sehingga akan terjadi variasi

tekanan didalam jaringan. Variasi tekanan dari efek mekanik ini disebut dengan micro

massage.Efek micro massagedari US akan menimbulkan efek panas dalam jaringan.

sehingga akan meningkatkan sirkulasi darah, relaksasi otot, meningkatkan permiabilitas


membrane dan kemampuan regenerasi jaringan dan mengurangi nyeri (Sujatno dkk,

2002).

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Carpal Tunnel Syndrome adalah suatu sindroma akibat adanya penekanan

nervus medianus pada terowongan carpal dengan derajat penekanan yang bervariasi dari

ringan sampai berat. Munculnya keadaan tersebut disebabkan oleh adanya berbagai

kondisi komplek, artinya syndroma ini jarang muncul sendiri tanpa adanya kondisi lain
sebagai pencetus Carpal Tunnel Syndrome sendiri mempunyai gejala dan tanda klinis

yang beragam tergantung derajat kerusakan nervus medianus yang tertekan. Fisioterapi

merupakan salah satu pilihan terapi dari sekian banyak terapi yang bisa diberikan pada

kondisi ini. Prinsip dasar dari pemberian fisioterapi adalah untuk menyelesaikan

masalah yang muncul dari titik terendah bahkan sampai menghilang permasalahan.

B. SARAN

Adanya kondisi-kondisi lain sebagai pencetus Carpal Tunnel Syndrome memang

membutuhkan penanganan yang lebih serius. Tidak semua kondisi tersebut dapat

dipengaruhi dengan interfensi fisioterapi tetapi dengan adanya kerja sama dengan

tenaga kesehatan lain merupakan solusi yang tepat guna menyelesaikan permasalahan

yang kompleks tersebut. Proses identifikasi dan interprestasi masalah dilakukan dengan

baik sehingga bisa diberikan intervensi yang sesuai dengan permasalahan yang ada

untuk itu, proses fisioterapi harus dilakukan dengan baik sehingga tujuan akhir dari

fisioterapi yang dilakukan dapat tercapai dengan modalitas efektif dan edukasi yang

diberikan kepada pasien.


DAFTAR PUSTAKA

https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/e3b51ebdf3e21cfe387dc6b6a2590894.pdf
Huldani, 2013. Carpal Tunnel Syndrome. Banjarmasin.
Ibrahim I, Bytyqi C, Mustafa A, 2012. Diagnosa dan treadment Carpal Tunnel
Syndrome. Jakarta: TIM.
Jhonathan G, 2007. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: EMS.
Kisner, Corolyn and Lynn Allen Colby. 2007. Therapeutic Exercise Foundatin and
Techniques. 5th ed. Philadelphia: F.A Davis Company.
Laillya N, 2010. Sindroma Terowongan Karpal dalam Neurology in Daily Practice
bagian ilmu penyakit saraf. Bandung.
Putz, R and Pabts R. 2005. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Kepala, Leher, Extremitas
Atas. Edisi 21. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Rambe, A.S., 2004. Syndroma Terowongan Karpal (Carpal Tunnel Syndrome); Diakses
tanggal 09/04/14, dari http://repository.usu.ac.id/
Roberts D, 2009. Carpal Tunnel Syndrome. Diakses tanggal 11/04/14 dari
http://davidrobertsphysio.co.uk/
Sujatno dkk., 2003. Sumber Fisis. Politeknik Kesehatan Surakarta. Surakarta.
Syaifuddin, 2010. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai