Anda di halaman 1dari 11

Budaya Korupsi Pada Era Orde Lama, Orde Baru,

dan Era Reformasi

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi

Yang dibina oleh Ibu Sri Winarni., S.Pd., M.Kes.

Oleh

Bija Utami

NIM P17410193068 / 1B

PROGRAM STUDI D-III REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN

JURUSAN KESEHATAN TERAPAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat
pada waktunya tentang “Budaya korupsi era orde lama, era orde baru, dan era reformasi”.
Disamping itu, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini. 

Makalah ini berisikan tentang informasi budaya korupsi pada orde lama,orde barua dan
reformasi beserta upaya-upaya yang dilakukan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan untuk memperbaiki karya-karya di
waktu mendatang.

Malang, 21 Maret 2020

Penulis
MATERI

Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan
kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oeh banyak ilmuan dan filosof seperti salah
satunya Aristoteles dan diikuti Machiavelli. Korupsi berasal dari kata Corruptio atau Corruptus
yang berarti perubahan tingkah laku dari baik menjadi buruk. Persoalan korupsi tidak dapat
dipisahkan dalam dinamika politik kekuasaan sebuah rezim. Indonesia sendiri sejak zaman
pemerintahan orde lama Soekarno hingga orde reformasi saat ini, telah menerbitkan beragam
peraturan perundang-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi.

komitmen pemberantasan korupsi memang berat untuk dilakukan. Berbagai upaya


pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara ini. Beberapa
referensi menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun
1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang
dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu
itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan
pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi.
Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan
puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas
menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta memunculkan wacana
bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah menjadi
perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu
muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang
masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara
telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal
menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”
Orde Lama

Sejak Indonesia merdeka, pasca 1945, korupsi juga telah mengguncang sejumlah partai politik.
Sejarawan Bonnie Triyana menceritakan, skandal korupsi menimpa politisi senior PNI, Iskaq
Tjokrohadisurjo, yang adalah mantan Menteri Perekonomian di Kabinet Ali Sastroamidjojo I.
Kasus tersebut bergulir 14 April 1958. Kejaksaan Agung yang memeriksa Iskaq memperoleh
bukti cukup untuk menyeretnya ke pengadilan terkait kepemilikan devisa di luar negeri berupa
uang, tiket pesawat terbang, kereta, dan mobil tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar
Negeri (LAAPLN). Iskaq akhirnya mendapat grasi dari Presiden Soekarno. Namun, mobil
Mercedes Benz 300 yang diimpornya dari Eropa tetap disita untuk negara. Kasus lain adalah
Menteri Kehakiman Mr Djody Gondokusumo (menjabat 30 Juli 1953-11 Agustus 1955) yang
tersandung perkara gratifikasi dari pengusaha asal Hongkong, Bong Kim Tjhong, yang
memperoleh kemudahan memperpanjang visa dari Menteri Kehakiman. Visa tersebut ternyata
dibayar dengan imbalan Rp 20.000. Jaksa Agung Muda Abdul Muthalib Moro menduga uang
pemberian pengurusan visa tersebut digunakan untuk membiayai Partai Rakyat Nasional
pimpinan Djody. Partai besar lain, yakni Masyumi, juga terseret korupsi. Pada 28 Maret 1957,
politisi Masyumi, Jusuf Wibisono, ditahan tentara di Hotel Talagasari, Jalan Setiabudi, Bandung,
karena diduga terlibat korupsi. Bonnie Triyana mengutip harian Suluh Indonesia, 20 April 1957,
menceritakan, Hotel Talagasari dipenuhi tersangka korupsi. Terdapat lima mantan menteri,
anggota konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan
lain-lain. Yang diperiksa mencapai 60 orang. Periode 1950-1965 tersebut memang dipenuhi
gonjang-ganjing korupsi dan pemberontakan. Deskripsi tentang kehidupan penguasa dan politisi
korup pada zaman itu bisa dibaca jelas dalam novel Senja di Jakarta karya wartawan senior
Mochtar Lubis.

Gerakan pemberantasan korupsi pada pemerintahan orde lama telah dilakukan oleh penguasa.
Berbagai upaya dan strategi sudah diupayakan dalam pemberantasan korupsi antara lain
ditetapkannya peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi, munculnya
lembaga anti korupsi sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, baik yang didirikan oleh pemerintah,
lembaga studi perguruan tinggi, NGO/LSM, maupun i’tikat baik para akademisi, lembaga
keagamaan, kyai/ustad dan tokoh masyarakat. Namun, banyaknya aturan perundangan dan badan
anti korupsi tersebut tidak cukup menjamin bangsa ini terbebas dari korupsi. Justru yang terjadi
adalah “ patah tumbuh hilang bergant, mati satu tumbuh seribu” seperti sel kanker ganas karena
akarnya yang telah meluas. Semakin dibabat semakin cepat penyebarannya.

Pada masa pemerintahan orde lama, gerakan perlawanan anti-korupsi dilaksanakan dengan mulai
disahkannya undang-undang keadaan bahaya pada awal tahun 60-an. Undang-undang tersebut
melahirkan Komisi Pemberantas Korupsi yang disebut PARAN (Panitia Retooling Aparatur
Negara) salah satu point penttingnya adalah semua pejabat negara diwajibkan mengisi Daftar
kekayaan pejabat negara. Pada masa ini, setidaknya ada 4 faktor penyebab kegagalan dalam
pemberantas korupsi. Pertama, faktor belum adanya kebijakan derivasi (kebijakan turunan) yang
memungkinkan agen pelaksana kebijakan bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Kedua, faktor
adanya resistensi dari para pejabat negara (terutama yang diindikasikan korup) dengan cara
menolak menyerahkan daftar kekayaan kepada PARAN mereka hanya mau menyerahkan
kepadapresiden, meskipun dalam kenyataannya sampai saat PARAN bubar mereka tidak pernah
menyerahkan daftar kekayaan kepada presiden. Ketiga, faktor tidak berkaitannya secara
langsung antara strategi pemberantasan korupsi dengan sistem administrasi publik yang di
praktekkan. Keempat, tidak adnya komitmen negara khususnya para pejabat untuk melawan dan
memberantas korupsi.

Orde Baru

Sesaat setelah berkuasa, Soeharto segera melakukan sejumlah upaya melawan korupsi. Soeharto
pada 2 Desember 1967 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 228–1967 dan
berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1960 membentuk Tim Pemberantasan Korupsi dengan Ketua
Jaksa Agung Sugih Arto. Tim ini bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi dengan
tindakan preventif dan represif. Berselang empat tahun, dibentuk Komisi Empat dengan Keppres
Nomor 12 tanggal 31 Januari 1970 dengan anggota Wilopo, SH (ketua merangkap anggota), IJ
Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof Ir Johannes, dan Mayjen Sutopo Yuwono (perwira intelijen
militer didikan Barat). Selanjutnya ada Komite Anti Korupsi pada tahun 1970 yang menghimpun
aktivis angkatan 1966 guna memberikan dukungan moril kepada pemerintah dan tokoh-tokoh
nasional untuk memberantas korupsi yang semakin merajalela. Waktu itu, pemerintahan
Soeharto baru berusia empat tahun Pada tahun 1977 dibentuk Operasi Tertib (Opstib) dalam
Inpres Nomor 9 Tahun 1977 dengan koordinator Menpan dan pelaksana operasional
Pangkopkamtib. Langkah terakhir Orde Baru memberantas korupsi adalah Tim Pemberantasan
Korupsi tahun 1982. Hendri F Isnaeni menilai, lima lembaga anti korupsi Orde Baru jauh dari
maksimal. ”Seolah-olah ada perhatian pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.
Kenyataannya, tim itu hanya bekerja untuk memberikan masukan kepada penguasa soal
pemberantasan korupsi. Salah satunya Tim Empat yang dipimpin mantan Perdana Menteri
Wilopo. Kalau ada kasus yang harus diselidiki, tidak pernah ditindaklanjuti,” kata Hendri.
Lembaga-lembaga tersebut tidak berwenang menindak. Tidak pula dibangun sinergi dan
pembenahan lembaga permanen seperti Polri dan Kejaksaan Agung.

pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap
pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi,
dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya
baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang
saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat
Indonesia. Hal inilah yang menjadi factor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya
tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru yang
cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan
membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971
tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara
maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang
dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan Negara
(GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun
pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan
kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran
DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi. Lembaga yudikatif
pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da kekuatan yang tersisa untuk bisa
mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan,
penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan
intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.

Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan pemberantasan
korupsi :

 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam
Pengelolaan Negara;
 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban
Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan
Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk
Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
 Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
 Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
 Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Masa Reformasi

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan koruptor dari
Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada
tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur
kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi,
antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman
Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus Dur.
Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian
menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret
penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka
pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan berakhir
dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen
pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak
korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang
seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi
Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan
terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian
menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika muncul sebuah
lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi.
Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambat dari agenda yang diamanatkan oleh ketentuan
Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun
2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan
Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU
tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang berimpilkasi
pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative heavy pada DPR. Ketiga,
kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan RUU KPK salah satunya juga
disebabkan oleh persolan internal yang melanda system politik di Indonesia pada era reformasi.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian
dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang
disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan
menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan
sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan
internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional
dan hukum internasional.

Sejak periode pertama kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono, program pemberantasan


korupsi konon menjadi prioritas utama dalam program kerja pemerintahannya. Upaya ini harus
kita apresiasi, akan tetapi belum dapat dikatakan membanggakan.  Sebab meskipun di era
Pemerintahan SBY telah berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-
pejabat Negara (semisal kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, kasus
Syaukani HR, kasus Al Amien Nur, serta kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah di
beberapa daerah), namun upaya pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para
koruptor-koruptor kakap (dari era Soeharto sampai sekarang) yang hingga saat ini masih bebas
berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh hukum.
PENUTUP

KESIMPULAN

 Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai
saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan
oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal
adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-
pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya
semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini.
Pola kepemimpinan yang cenderung otoriter dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek
korupsi dimana-mana semakin terbuka. Hasilnya, Indonesia sendiri berhasil menjadi salah satu
Negara terkorup di dunia, bahkan hingga saat ini.

Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia menginginkan
pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam pemberantasan korupsi. Harapan dan
keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi. Kemauan politik kuat
yang ditunjukkan untuk mendukung lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang nantinya
akan dicatat sebagai sejarah baik atas panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang selama ini
sudah dilakukan.

SARAN

Penegakan hukum adalah jalan keluar yang dapat diusulkan untuk pemberantas korupsi di
indonesia. Asas yang utama dalam hukum yaitu orang yang menaati hukum harus dihargai dan
orang yang melanggar hukum harus dihukum. Selain itu, perlu adanya pengawasan masyarakat
terhdapa pejabat dan pegawai pemerintah dan pendidikan ketaqwaan yang dapat membentengi
masyarakat atau pejabat dari perbuatan melawan norma moral dan norma hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Suraji. 2008. Sejarah Panjang Korupsi Di Indonesia & Upaya Pemberantasannya. Jurnal
Kebijakan dan Administrasi Publik, 12 (2): 135-148

Juwono, Wisnu.2018. Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-


2014. Jakarta: PT Centro Inti Media

Semma, Mansur. 2008. Negara dan Korupsi- Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

User, Super.2016. Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia,


(https://acch.kpk.go.id/id/artikel/fokus/sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-indonesia), diakses
pada 21 Maret 2020

Kompas. 2015. Korupsi, dari Kerajaan Nusantara,


(https://nasional.kompas.com/read/2015/01/28/14000051/Korupsi.dari.Kerajaan.Nusantara.hingga.Ref
ormasi), diakses pada 21 Maret 2020

Hamzah, H. 2013. Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia, (https://www.herdi.web.id/jejak-budaya-


korupsi-di-indonesia/) diakses pada 21 Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai