ETIKA DAN
FILSAFAT
KOMUNIKAS
I
Pokok Bahasan:
Pengertian, Metode
Berpikir dan Cabang –
Cabang Filsafat.
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh
01
Fakultas Ilmu Marketing MK Dudi Hartono, M. I.kom
Komunikasi Communication &
Advetising
Abstract Kompetensi
Menerangkan pengertian filsafat Mahasiswa memahami apa yang
dan cabang-cabangnya, serta dimaksud dengan filsfat dan
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
1 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
metode berpikir filsafat. bagaimana berpikir menggunakan
filsafat dalam menganalisa sebuah
fenomena.
1. Pemahaman Konseptual
Pendahuluan
Kebenaran menjadi objek pembahasan yang tak pernah selesai. Klaim atas kebenaran
tidak jarang menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Karena itu pencarian atas
kebenaran menjadi mutlak dilakukan agar tidak terjadi konflik, paling tidak
menghindari terjadinya konflik. Namun menemukan “kebenaran” bukanlah perkara
mudah subjektifitas acapkali berkelindan dengan objek yang menjadi bahasan.
Pemilahan subjek dan objek dalam menemukan kebenaran inilah yang menjadi bidang
bahasan filsafat.
Gambar 1. Gajah
Lain halnya dengan B yang sangat yakin kalau gajah adalah binatang berbentuk
berkaki panjang. Sedangkan C menyebut gajah adalah binatang dengan ekor yang
sangat panjang. D dengan sekidit ngotot mengatakan kalau gajah itu memili sepasang
cula kembar. Dan bagaimana dengan E? E membantah semua perkataan keempat
temannya dengan menyebut gajah sebagai binatang berhidung panjang seperti ular.
Tidak ada satupun di antara mereka yang secara holistic menggambarkan gajah
sebagai binatang bertubuh besar dengan telinga lebar dan dua gading, memiliki belalai
panjang sebagai hidungnya, dan berkaki panjang karena gajar memiliki tubuh yang
juga tinggi. Dan tentu saja memilki ekor yang panjang.
Persprektif kelima orang tadi adalah perspektif individu yang tidak bisa melihat gajah
secara keseluruhan. Demikian pula dengan orang yang tidak bisa melihat sebuah
persoalan secara holistic, tentu saja ia akan memakai sudat pandang sesuai dengan apa
yang dipunyainya. Inilah yang menjadi titik pangkal konflik terjadi.
PENGERTIAN FILSAFAT
Mengapa demikian? Karena filsafat merupakan proses berpikir yang menggali dasar
persoalan dan menyeluruh. Sebuah pemikiran filsafat diawali dari meragukan sesuatu
dengan mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan dasar, dan menggabungkan
gagasan-gagasan atas jawaban pertanyaan “mengapa” untuk mencari jawaban yang
dapat memberikan pemahaman atas sebuah persoalan.
Isaac Newton (1642 – 1727) niscaya menemukan hukum grafitasi dan menulis
Philosophiae Naturalis Principia Mathematica jika tidak ada para pendahulunya,
yaitu para filsfuf pendahulunya yang mempersoalkan alam semesta seperti
Kopernikus (1473 – 1543) dan Galileo Galilei (1564 – 1642) misalnya. Dua filsuf
heliosentris yang sangat terkenal dan berpengaruh bagi para ilmuwan ilmu alam
selanjutnya. Atau niscaya ilmu komunikasi berkembang seperti saat ini jika saja filsuf
besar Yunani; Plato tidak mengembangkan retorika yang menjadi dasar bagi ilmu
public relation dan jurnalistik, dan tentu saja komunikasi secara keseluruhan.
Mungkin juga hari ini kita semua harus terapung-apung berhari-hari ketika hendak
menyeberang dari pulau Jawa ke Kalimantan atau sebaliknya, kalau saja Wright
bersaudara (Wright brothers), Orville (19 Agustus 1871 - 30 January 1948) dan
Wilbur (16 April 1867 - 30 May 1912) tidak menciptakan pesawat terbang. Namun
bagaimana mungkin mereka menciptakan pesawat terbang jika mereka tidak lebih
dulu mengenal hukum gravitasi yang ditemukan Newton bukan?
Di sinilah kemudian filsafat menemukan bentuknya sebagai induk dari semua ilmu
pengetahuan (science) selanjutnya. Seperti dijelaskan oleh Prof. Bambang Sugiharto
dalam sebuah pengantar kuliah yang sudah diunggah di youtube berikut ini:
“Hampir semua bidang ilmu jika ditelusuri terus, ilmu-ilmu
empiris ya… yang serba terbatas itu, ujung-ujungnya seseorang
itu akan menjadi filsuf. Ekonomi, misalnya Amartya Sen.
Tadinya dia mendapatkan nobelnya ekonomikan? Akhirnya
otak-atik bagaimana mekanisme ekonomi mensejahterakan
rakyat kecil. Tapi dengan segala hukum ekonomi. Tapi lama-
lama karena dia berpikir terus.., akhirnya apa sih yang menjadi
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
4 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
pertaruhan? Pembangunan? Peradaban ini apa? Konsep
identitasnya apa? Akhirnya dia jadi filsuf ekonomi.”
Video penjelasan Prof. Bambang Sugiharto bisa dilihat dengan menscan kode berikut
ini:
Menilik dari asal katanya, atau etimologi, filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki
padanan kata (sinonim) fajuah (Arab), philio, philoshopy (Inggris), philosophia
(Latin), ophia (Latin), Philosopie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu
berumber pada istilah Yunani Philosophia (Zamroni, 2009:26). “Philosophia”,
merupakan penggabungan dua kata yakni “philos” atau “philein” yang berarti cinta,
“mencintai”, atau “pecinta”, serta kata “shopia” yang berarti “kebijaksanaan” atau
“hikmat”. Dengan demikian, secara bahasa “filsafat” memiliki arti cinta akan
kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang
sungguh-sungguh. Kebijaksanaan, artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang
sesungguhnya (Mufid, 2009:3).
Secara terminologi “filsafat”. Terdapat pula sejumlah istilah serupa dengan “filsafat”
yaitu “falsafah”, “falsafi” atau “fisafati”, “berpikir filosofi” dan “mempunayi
filsafat hidup”.
“Falsafah” itu tidak lain filsafat itu sendiri. “Falsafi” atau “filsafati” artinya “bersifat
sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat”. “Berpikir filosofis”, adalah berpikir dengan
dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai
hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikr benar saja
ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah
tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun
diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya
(Mufid, 2009:10).
Sedangkan secara epistimologis, terdapat banyak pengertian atau definisi filsafat baik
dari para filsuf klasik maupun ahli filsafat modern. The Liang Gie dalam Suhartono
(2007:45-46) seperti dikutip Muhammad Mufid (2007:4-6) menuliskan beberapa
pengertian filsafat secara epistimologi dari beberapa filsuf dan ahli filsafat sebagai
berikut:
1. Plato (427 -347 SM) , mengatakan bahwa filsafat adalah mengkritik pendapat-
pendapat yang berlaku. Jadi keartifan atau pengetahuan intelektual itu
diperoleh melalui suatu proses pemeriksaan secara kritis, diskusi, dan
penjelasan.
4. Rene Desartes (1590 -1650 M), menulis filsafat sebagai kumpulan segala
pengetahuan diman aTuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
5. Immanuel Kant (1724 – 1804 M), menyampaikan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuna yang
tercakup dalam empat persoalan, yakni:
a. Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabannya: metafisika)
b. Apakah yang seharusnya kita ketahui? (jawabannya; etika)
c. Sampai dimanakah harapan kita? (jawabannya: agama)
d. Apakah yang dinamakan manusia? (jawabannya: antropologi).
9. Bertrand Russell (1872 – 1970 M), mengakui filsafat sebagai suatu kritik
terhadap pengetahuan. Filsafat memeriksa secara kritis asa-asa yang dipakai
11. Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani,
“filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu
keadaan atau hal yang nyata.”
12. Frans Magnis Suseno dalam bukunya berjudul Berfilsafat dari Konteks
(Jakarta: Gramedia 1999), mengartikan “filsafat” sebagai usaha tertib,
metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa
yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau
membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang
sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu, untuk mengerti,
memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data, dan fakta-fakta yang
dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu.
Jawaban sederhananya adalah agar kita bisa bersikap dan bertindak bijaksana. Karena
dengan memahani sebuah fenomena secara menyeluruh kita dapat melihat objek dari
berbagai perspektif. Dengan demikian kita bisa melihat alasan mengapa sesorang
bersikap dan bertindak seperti itu. Karena filsafat membawa kita kepada pemahaman,
dan pemahaman membawa kita pada tindakan yang benar.
Agar sampai kepada sikap dan tindakan bijaksana tentu saja terlebih dulu kita harus
mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan
menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, menertibkan, dan mengatur semua
itu dalam bentuk sistematik.
Untuk itu dibutuhkan suatu metode berpikir supaya kita tidak tersesat dalam
menemukan kebenaran di balik sebuah fenomena. Menurut Zamroni (2009:27)
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
8 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
metode berpikir filsafat bersifat inklusif (mencakup secara luas) dan synoptic (secara
garis besar), oleh karena itu berbeda dengan metode yang dilakukan oleh ilmu-ilmu
khusus, seperti ilmu sosial.
Semua orang melakukan aktivitas berpikir. Normalnya begitu. Tapi apa sih berpikir
itu? Dalam kamus bahasa Indonesia daring (https://kbbi.kemdikbud.go.id/) berpikir
berasal dari kata dasar pikir yang artinya;
pi.kir
bentuk tidak baku: fikir
1. n akal budi; ingatan; angan-angan: ahli -- [1] ahli falsafah [2] filsuf; kurang
-- kurang menggunakan akal budi atau kurang mempertimbangkan baik-
baik; jangan banyak -- jangan banyak mengingat atau
mempertimbangkan; tak habis -- tidak dapat mengerti mengapa suatu hal
sampai terjadi
2. n kata dalam hati; pendapat (pertimbangan); kira: -- saya dialah yang salah
pikir » ber.pi.kir
v menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu;
menimbang-nimbang dalam ingatan: lama ia ~ sebelum menjawab
pertanyaan itu; pengalaman pada zaman lalu telah membuat ia matang ~
Manusia sering dianggap sebagai hewan berpikir (homo sapiens). Berpikir menjadi
pembeda manusia dengan hewan. Kalau sekadar naluri, hewan pun memiliki naluri.
Dan, jika manusia tidak lagi berpikir maka tidak beda dengan hewan. Namun apakah
yang membedakan berpikir dengan berpikir secara filsafat?
Tentu saja berpikir secara filsafat lebih dari sekadar berpikir layaknya kita sehari-hari
berpikir. Seorang mahasiswa berpikir bagaimana caranya agar bisa lulus tepat waktu
dengan nilai IPK (indek prestasi kumulatif) di atas tiga. Lalu dapat pekerjaan yang
didambakannya, dan bisa menikahi perempuan cantik yang diimpikannya. Tentu
berpikir seperti itu tidak termasuk dalam kategori berpikir secara filsafat.
Berpikir secara filsafat menurut Kattsoff (1992:7) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
9 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
1. Suatu Bagan Konsepsional. Perenungan kefilsafatan berusaha untuk
menyusun suatu bagan konsepsional. Konsepsi (rencana kerja) merupakan
hasil generalisasi sereta abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta
proses-proses satu demi satu. Karena itu, filsafat merupakan pemikiran tentang
hal-hal yang dipikirkan ialah pemikran itu sendiri. Dan di antara hal-hal yang
dipikirkan ialaha si pemikir itu sendiri. Fislafat merupakan hasil menjadi –
sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi –
kritisnya manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikr di dalam dunia yang
dipikirkannya.
Kembali kepada pengertian berpikir seperti termaktub dalam kamus bahasa Indonesia
daring, berpikir tentu saja memiliki objek untuk ditimbang-timbang, dianalisis
sebelum memutuskan sesuatu. Dalam berpikir secara filsafat tentu saja memiliki
objek kajian sebagai sesuatu untuk dipikirkan. Dan, objek filsafat terdiri atas:
1. Objek Matrial
Objek Matrial adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu
yang diselidiki dan dipelajari. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal
konkrit (misalnya manusia, tumbuhan, batu) ataupun hal-hal yang abstrak
(misalnya: ide-ide, nilai-nilai, keagamaan) (Zamroni, 2009:29).
Dengan demikian objek material filsafat meliputi segala sesuatu yang ada,
termasuk, manusia, alam dan Tuhan. Ini berbeda jika kita menelaah objek ilmu
pengetahuan yang hanya menyangkut manusia dan alam. Ilmu pengetahuan
(science) tidak mempersoalkan atau mengkaji tentang Tuhan. Sebaliknya ilmu
agama (teologi) sebagian besar merupakan kajian tentang ketuhanan dengan
segala wahyu dan ajarannya.
2. Objek Formal
Objek Formal ialah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh
seorang peneliti terhadap objek materiilnya serta prinsip-prinsip yng
digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu
ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain
(Zamroni, 2009:29).
Sebagai contoh, manusia sebagai objek kajian ilmu pengetahun dan filsafat
telah dikaji sejak zaman silam. Manusia menjadi objek kajian dari berbagai
perspektif antara lain; bagaimana interaksinya dengan manusia lain dalam
sebuah komunitas (sosiologi), bagaimana kondisi atau situasi kejiwaannya
(psikologi), dan bagaimana struktur dna dan genetika manusia (biologi).
Namun acapkali dikaji dari perspektif yang lebih hakiki (filsafat), yaitu
tentang sepakah manusia? Untuk apa manusia hidup di dunia? Mengapa
manusia perlu bersosialisasi dan berbagai pertanyaan dasar lainnya.
Cabang-Cabang Filsafat
Dalam filsafat tedapat tiga isu besar yang menjadi bidang kajian para filsuf. Ketiga isu
ini mengawali cabang dari pohon filsafat, yaitu: eksitensi, pengetahuan dan nilai-nilai
(zamroni, 2009:32-34):