Anda di halaman 1dari 13

MODUL PERKULIAHAN

ETIKA DAN
FILSAFAT
KOMUNIKAS
I
Pokok Bahasan:
Pengertian, Metode
Berpikir dan Cabang –
Cabang Filsafat.
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

01
Fakultas Ilmu Marketing MK Dudi Hartono, M. I.kom
Komunikasi Communication &
Advetising

Abstract Kompetensi
Menerangkan pengertian filsafat Mahasiswa memahami apa yang
dan cabang-cabangnya, serta dimaksud dengan filsfat dan
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
1 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
metode berpikir filsafat. bagaimana berpikir menggunakan
filsafat dalam menganalisa sebuah
fenomena.

1. Pemahaman Konseptual

Pendahuluan

Kebenaran menjadi objek pembahasan yang tak pernah selesai. Klaim atas kebenaran
tidak jarang menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Karena itu pencarian atas
kebenaran menjadi mutlak dilakukan agar tidak terjadi konflik, paling tidak
menghindari terjadinya konflik. Namun menemukan “kebenaran” bukanlah perkara
mudah subjektifitas acapkali berkelindan dengan objek yang menjadi bahasan.
Pemilahan subjek dan objek dalam menemukan kebenaran inilah yang menjadi bidang
bahasan filsafat.

Contoh klasik yang berulang-ulang sering orang kemukakan dalam melukiskan


sebuah kebenaran adalah kisah lima orang buta yang saling bercerita tentang gajah.
Kelima orang itu masing-masing memiliki pengalaman, atau pernah berinteraksi
dengan gajah. Sebutlah A, B, C, D dan E nama kelima orang tersebut.

Gambar 1. Gajah

‘16 Produksi Iklan Multimedia dan


2 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
A dengan penuh keyakinan melukiskan gajah adalah binatang berbentuk pipih dan
lebar. A berkata demikian karena A hanya menyentuh telinga dari keseluruhan bagian
tubuh binatang bertubuh jumbo tersebut.

Lain halnya dengan B yang sangat yakin kalau gajah adalah binatang berbentuk
berkaki panjang. Sedangkan C menyebut gajah adalah binatang dengan ekor yang
sangat panjang. D dengan sekidit ngotot mengatakan kalau gajah itu memili sepasang
cula kembar. Dan bagaimana dengan E? E membantah semua perkataan keempat
temannya dengan menyebut gajah sebagai binatang berhidung panjang seperti ular.

Karena masing-masing ngotot mempertahankan kebenarannya mereka nyaris baku


pukul. Tentu saja tidak ada yang salah dengan kelimat pernyataan mereka. Hanya saja
mereka menjelaskan kebenaran berdasarkan versi mereka. Berdasarkan pengalaman
mereka berinteraksi dengan gajah. Mereka miliki sudut pandang masing-masing yang
berbeda dalam mendeskripsikan gajah.

Tidak ada satupun di antara mereka yang secara holistic menggambarkan gajah
sebagai binatang bertubuh besar dengan telinga lebar dan dua gading, memiliki belalai
panjang sebagai hidungnya, dan berkaki panjang karena gajar memiliki tubuh yang
juga tinggi. Dan tentu saja memilki ekor yang panjang.

Persprektif kelima orang tadi adalah perspektif individu yang tidak bisa melihat gajah
secara keseluruhan. Demikian pula dengan orang yang tidak bisa melihat sebuah
persoalan secara holistic, tentu saja ia akan memakai sudat pandang sesuai dengan apa
yang dipunyainya. Inilah yang menjadi titik pangkal konflik terjadi.

PENGERTIAN FILSAFAT

Louis O. Kattsoff (1992:3) menggambarkan filsafat memang tidak membuat roti,


namun filsafat dapat menyiapkan tungkunya menyisihkan noda-noda dari tepungnya,
menambah jumlah bumbu secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungku pada
waktu yang tepat.

Atau dalam deskripsi lainnya, Will Durant dalam Suriasumantri (2103:22)


mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan
pasukan infanteri.

‘16 Produksi Iklan Multimedia dan


3 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
Keduanya, baik Kattsoff maupun Durant ingin mengatakan bahwa filsafat adalah
dasar atau pondasi dari ilmu pengetahuan berikutnya. Berawal dari filsafatlah lahir
ilmu-ilmu pengetahuan baik itu yang berada di ranah eksakta maupun sosial. Karena
itu filsafat disebut induk ilmu pengetahuan.

Mengapa demikian? Karena filsafat merupakan proses berpikir yang menggali dasar
persoalan dan menyeluruh. Sebuah pemikiran filsafat diawali dari meragukan sesuatu
dengan mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan dasar, dan menggabungkan
gagasan-gagasan atas jawaban pertanyaan “mengapa” untuk mencari jawaban yang
dapat memberikan pemahaman atas sebuah persoalan.

Isaac Newton (1642 – 1727) niscaya menemukan hukum grafitasi dan menulis
Philosophiae Naturalis Principia Mathematica jika tidak ada para pendahulunya,
yaitu para filsfuf pendahulunya yang mempersoalkan alam semesta seperti
Kopernikus (1473 – 1543) dan Galileo Galilei (1564 – 1642) misalnya. Dua filsuf
heliosentris yang sangat terkenal dan berpengaruh bagi para ilmuwan ilmu alam
selanjutnya. Atau niscaya ilmu komunikasi berkembang seperti saat ini jika saja filsuf
besar Yunani; Plato tidak mengembangkan retorika yang menjadi dasar bagi ilmu
public relation dan jurnalistik, dan tentu saja komunikasi secara keseluruhan.

Mungkin juga hari ini kita semua harus terapung-apung berhari-hari ketika hendak
menyeberang dari pulau Jawa ke Kalimantan atau sebaliknya, kalau saja Wright
bersaudara (Wright brothers), Orville (19 Agustus 1871 - 30 January 1948) dan
Wilbur (16 April 1867 - 30 May 1912) tidak menciptakan pesawat terbang. Namun
bagaimana mungkin mereka menciptakan pesawat terbang jika mereka tidak lebih
dulu mengenal hukum gravitasi yang ditemukan Newton bukan?

Di sinilah kemudian filsafat menemukan bentuknya sebagai induk dari semua ilmu
pengetahuan (science) selanjutnya. Seperti dijelaskan oleh Prof. Bambang Sugiharto
dalam sebuah pengantar kuliah yang sudah diunggah di youtube berikut ini:
“Hampir semua bidang ilmu jika ditelusuri terus, ilmu-ilmu
empiris ya… yang serba terbatas itu, ujung-ujungnya seseorang
itu akan menjadi filsuf. Ekonomi, misalnya Amartya Sen.
Tadinya dia mendapatkan nobelnya ekonomikan? Akhirnya
otak-atik bagaimana mekanisme ekonomi mensejahterakan
rakyat kecil. Tapi dengan segala hukum ekonomi. Tapi lama-
lama karena dia berpikir terus.., akhirnya apa sih yang menjadi
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
4 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
pertaruhan? Pembangunan? Peradaban ini apa? Konsep
identitasnya apa? Akhirnya dia jadi filsuf ekonomi.”

Video penjelasan Prof. Bambang Sugiharto bisa dilihat dengan menscan kode berikut
ini:

Lantas apa itu filsafat?

Zamroni (2009:26) menyebutkan Pythagoras (571 -497 M) adalah sebagai orang


pertama yang menggunakan kata filsafat, dalam bahasa Yunani waktu itu adalah
philosophia. Ketika Pyhtagoras ditanya apakah ia sebagai orang yang bijaksana?
Pythagoras dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai philosopos, yaitu pecinta
kebijaksanaan (lover of wisdom).

Menilik dari asal katanya, atau etimologi, filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki
padanan kata (sinonim) fajuah (Arab), philio, philoshopy (Inggris), philosophia
(Latin), ophia (Latin), Philosopie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu
berumber pada istilah Yunani Philosophia (Zamroni, 2009:26). “Philosophia”,
merupakan penggabungan dua kata yakni “philos” atau “philein” yang berarti cinta,
“mencintai”, atau “pecinta”, serta kata “shopia” yang berarti “kebijaksanaan” atau
“hikmat”. Dengan demikian, secara bahasa “filsafat” memiliki arti cinta akan
kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang
sungguh-sungguh. Kebijaksanaan, artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang
sesungguhnya (Mufid, 2009:3).

‘16 Produksi Iklan Multimedia dan


5 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
Gambar 2. Tiga Filsfuf Yunani Klasik Paling Berpengaruh

Secara terminologi “filsafat”. Terdapat pula sejumlah istilah serupa dengan “filsafat”
yaitu “falsafah”, “falsafi” atau “fisafati”, “berpikir filosofi” dan “mempunayi
filsafat hidup”.

“Falsafah” itu tidak lain filsafat itu sendiri. “Falsafi” atau “filsafati” artinya “bersifat
sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat”. “Berpikir filosofis”, adalah berpikir dengan
dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai
hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikr benar saja
ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah
tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun
diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya
(Mufid, 2009:10).

Sedangkan secara epistimologis, terdapat banyak pengertian atau definisi filsafat baik
dari para filsuf klasik maupun ahli filsafat modern. The Liang Gie dalam Suhartono
(2007:45-46) seperti dikutip Muhammad Mufid (2007:4-6) menuliskan beberapa
pengertian filsafat secara epistimologi dari beberapa filsuf dan ahli filsafat sebagai
berikut:

1. Plato (427 -347 SM) , mengatakan bahwa filsafat adalah mengkritik pendapat-
pendapat yang berlaku. Jadi keartifan atau pengetahuan intelektual itu
diperoleh melalui suatu proses pemeriksaan secara kritis, diskusi, dan
penjelasan.

2. Aristoteles (384-322 SM), menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu


menyelidiki tentang hal ada sebagai hal ada yang berbeda dengan bagian-
bagiannya yang satu atau lainnya. Ilmu ini juga dianggap sebagai ilmu yang
pertama dan terakhir, sebab secara logis disyaratkan adanya ilmu lain yan juga
harus dikuasai, sehingga untuk memahaminya orang harus menguasai ilmu-
ilmu lain itu.

‘16 Produksi Iklan Multimedia dan


6 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
3. Sir Francis Bacon (1561-1626 M), menyebutkan bahwa filsafat adalah induk
agung dari ilmu-ilmu. Fisafat menangani semua pengetahuan sebagai
bidangnya.

4. Rene Desartes (1590 -1650 M), menulis filsafat sebagai kumpulan segala
pengetahuan diman aTuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

5. Immanuel Kant (1724 – 1804 M), menyampaikan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuna yang
tercakup dalam empat persoalan, yakni:
a. Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabannya: metafisika)
b. Apakah yang seharusnya kita ketahui? (jawabannya; etika)
c. Sampai dimanakah harapan kita? (jawabannya: agama)
d. Apakah yang dinamakan manusia? (jawabannya: antropologi).

6. G.W.F Hegel (1770 – 1831 M), menggambarkan filsafat sebagai landasan


maupun pencerminan dari peradaban. Sejrah filsfat karenanya merupakan
pengungkapan sejarah peradaban, dan begitu juga sebaliknya.

7. Herbert Spencer (1820 – 1903 M) menggariskan filsafat sebagai nama


pengetahuan tentang generalitas yang tingkatannya paling tinggi.

8. John Dewey (1859 – 1952 M), mendefinisikan filsafat sebagai suatu


pengungkapan mengenai perjuangan manusia dalam melakukan penyesuaian
kumpulan trdisisecara terus menerus yang membentuk budi manusia yang
sesungguhnya terhadap kecenderungan ilmiah dan cita-cita politik baru dan
yang tidak sejalan dengan wewenang yang diakui. Jadi filsfat merupakan alat
untuk membuat penyesuaian-penyesuaian di antara yang lama dan yang baru
dalam suatu kebudayaan.

9. Bertrand Russell (1872 – 1970 M), mengakui filsafat sebagai suatu kritik
terhadap pengetahuan. Filsafat memeriksa secara kritis asa-asa yang dipakai

‘16 Produksi Iklan Multimedia dan


7 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
dalam ilmu dan kehidupan sehari-hari, dan mencari suatu ketidaselarasan yang
dapat terkandung di dalam asas-asas itu.

10. Louis O. Kattsoff (1963), di dalam bukunya Elemen of Philosophy


mengartikan fislafat sebagai berpikir secara kritis, sistematis, rasional,
komprehensif (menyeluruh), dan menghasilkan sesuatu yang runtut.

11. Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani,
“filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu
keadaan atau hal yang nyata.”

12. Frans Magnis Suseno dalam bukunya berjudul Berfilsafat dari Konteks
(Jakarta: Gramedia 1999), mengartikan “filsafat” sebagai usaha tertib,
metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa
yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau
membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang
sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu, untuk mengerti,
memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data, dan fakta-fakta yang
dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu.

Mengapa Orang Perlu Berfilsafat?

Jawaban sederhananya adalah agar kita bisa bersikap dan bertindak bijaksana. Karena
dengan memahani sebuah fenomena secara menyeluruh kita dapat melihat objek dari
berbagai perspektif. Dengan demikian kita bisa melihat alasan mengapa sesorang
bersikap dan bertindak seperti itu. Karena filsafat membawa kita kepada pemahaman,
dan pemahaman membawa kita pada tindakan yang benar.

Agar sampai kepada sikap dan tindakan bijaksana tentu saja terlebih dulu kita harus
mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan
menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, menertibkan, dan mengatur semua
itu dalam bentuk sistematik.

Untuk itu dibutuhkan suatu metode berpikir supaya kita tidak tersesat dalam
menemukan kebenaran di balik sebuah fenomena. Menurut Zamroni (2009:27)
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
8 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
metode berpikir filsafat bersifat inklusif (mencakup secara luas) dan synoptic (secara
garis besar), oleh karena itu berbeda dengan metode yang dilakukan oleh ilmu-ilmu
khusus, seperti ilmu sosial.

Ciri - Ciri Pemikiran Filsafat

Semua orang melakukan aktivitas berpikir. Normalnya begitu. Tapi apa sih berpikir
itu? Dalam kamus bahasa Indonesia daring (https://kbbi.kemdikbud.go.id/) berpikir
berasal dari kata dasar pikir yang artinya;

pi.kir 
bentuk tidak baku: fikir
1. n akal budi; ingatan; angan-angan:  ahli -- [1] ahli falsafah [2] filsuf; kurang
-- kurang menggunakan akal budi atau kurang mempertimbangkan baik-
baik; jangan banyak -- jangan banyak mengingat atau
mempertimbangkan; tak habis -- tidak dapat mengerti mengapa suatu hal
sampai terjadi
2. n kata dalam hati; pendapat (pertimbangan); kira:  -- saya dialah yang salah

dan mendapatkan awalan ber-, yang kemudian memiliki arti


sebagai berikut:

pikir »  ber.pi.kir
 v menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu;
menimbang-nimbang dalam ingatan: lama ia ~ sebelum menjawab
pertanyaan itu;  pengalaman pada zaman lalu telah membuat ia matang ~

Manusia sering dianggap sebagai hewan berpikir (homo sapiens). Berpikir menjadi
pembeda manusia dengan hewan. Kalau sekadar naluri, hewan pun memiliki naluri.
Dan, jika manusia tidak lagi berpikir maka tidak beda dengan hewan. Namun apakah
yang membedakan berpikir dengan berpikir secara filsafat?

Tentu saja berpikir secara filsafat lebih dari sekadar berpikir layaknya kita sehari-hari
berpikir. Seorang mahasiswa berpikir bagaimana caranya agar bisa lulus tepat waktu
dengan nilai IPK (indek prestasi kumulatif) di atas tiga. Lalu dapat pekerjaan yang
didambakannya, dan bisa menikahi perempuan cantik yang diimpikannya. Tentu
berpikir seperti itu tidak termasuk dalam kategori berpikir secara filsafat.

Berpikir secara filsafat menurut Kattsoff (1992:7) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
9 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
1. Suatu Bagan Konsepsional. Perenungan kefilsafatan berusaha untuk
menyusun suatu bagan konsepsional. Konsepsi (rencana kerja) merupakan
hasil generalisasi sereta abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta
proses-proses satu demi satu. Karena itu, filsafat merupakan pemikiran tentang
hal-hal yang dipikirkan ialah pemikran itu sendiri. Dan di antara hal-hal yang
dipikirkan ialaha si pemikir itu sendiri. Fislafat merupakan hasil menjadi –
sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi –
kritisnya manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikr di dalam dunia yang
dipikirkannya.

2. Saling Hubungan Antarjawaban-jawaban kefilsafatan. Salah satu contoh yang


paling baik mengenai bentuk analisa kefilsafatan yang berupa dialog, yang
juga menggambarkan adanya antarhubungan yang hakiki di antara semua
perntanyaan, terdapat di dalam karya Plato yang berjudul Republik. Dalam
buku ini Socrates (guru Plato, pen) dilukiskan sedang disertai teman-
temannya dalam usaha menemukan jawaban atas pertanyaan “Apakah yang
dinamakan keadilan itu?”. Sebelum mengakhiri usaha tersebut dan siap
mengajukan jawaban yang oleh mereka diperkirakan tepat, maka Socrates dam
teman-temannya, berturut-turut mengemukakan banyak pertanyaan mulai dari
pertanyaan tentang hakekat pengetahuan sampai pada pertanyaan tentang
pedidikan anak-anak yang dimasyarakatkan. Namun semuanya ini dilakukan
dalam bentuk percakapan dan dengan jalan memikirkan secara mendalam
masalah-masalah yang terkandung di dalamnya.

3. Sebuah Sistem Filsafat haru Bersifat Koheren. Perenungan kefilsafatan


berusaha untuk menyusun suatu bagan yang koheren, yang konsepsional.
Secara singkat, yang saya (Kattsoff, pen) maksudkan dengan istilah koheren
ilaha runtut.

4. Filsafat Merupakan Pemeikiran secara Rasional. Perenungan kefilsafatan


berusaha menyusun suatua bagan konsepsional yang bersifat rasional. Yang
saya (Kattsoff, pen) maksud dengan “bagan konsepsional” yang bersifat
rasional ialah bagan, yang bagian-bagiannya secara logis berhubungan dengan
‘16 Produksi Iklan Multimedia dan
10 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
yang lain. Jika boleh saya memakai bahasa yang bebas, bagan tersebut ialah
bagan yang berisi kesimpulan “yang diperoleh dari premise-premise”, dan
bagan yang premise-premisenya ditetapkan dengan baik. Ilmu ukur
merupakan suatu contoh mengenai system yang rasional yang mungkin telah
ANda kenal. Ilmu ukur mulai dengan suatu perangkat definisi, aksioma,, dan
dalil yang dianggap telah terbukti – setidak-tidaknya demikian menurut hemat
Euclides -, dan berusaha untukmenyimpulkan semua pertanyaan yang lain
sebagai teorema yang berasal dari kebenaran-kebenaran yang terbukti dengan
sendirinya tersebut, hanya denan memakai logika.

5. Filsafat Senantiasa Bersifat Menyeluruh (Komprehensif). Perenungan


kefilsafatan berusaha menyusun suatua bagan konsepsional yang memadai
untuk dunia tempat kita hidup maupun diri kita sendiri. Sebuah contoh yang
baik mengenai system kefilsafatan yang berusaha menjadi memadai dan
menyeluruh system yang dibuat oleh Descartes, filsuf Perancis pada abad
ketujuh belas. Descartes merasa bahwa jika ia dapat menemukan suatu
kebenaran yang tidak dapat diragukan dan kemudiand apat membuat deduksi
kebenaran logis itu, maka ia dapat menerangkan dunia. Tapi Descartes sendiri
menganggap perlu untuk menanyakan “apakah kebenaran itu?”, agar dapat
mengenal suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan ia mendapatinya.

6. Suatu Pandangan Dunia. Secara singkat, perenungan kefilsafatan berusaha


memahami segenap kenyataan dengan jalan menyusun suatu pandangan dunia
(biasanya dipakai perkataan Jerman Weltanschauung) yang memberikan
keterangan tentang dunia dan smeua hal yang ada di daamnya. Lama berselang
seorang filsuf Ionia, Democritus (460 -370 SM), memberikan kepada kita
suatu pandangan dunia yang dikenal sebagai “atomisme”, yang dwasa ini
masih agak banya yang menganutnya.

7. Suatu Definisi Pendahuluan. Dalam perenungan kefilsafatan kita berusaha


mencari dasar-dasar bagi kepercayaan-kepercayaan kita. Dengan mengingat
ciri-ciri perenungan kefilsafatan mudahlah bagi kita memberikan definisi
pertama tentang filsafat, berupa suatu definsisi operasional.

‘16 Produksi Iklan Multimedia dan


11 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
Sedikir berbeda dengan Kattsoff di atas, Zamroni (2009:32-32) mengemukakan ciri-
ciri berpikir filsafat sebagai berikut:

1. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan radikal


2. Berpikir secara kefilsafatan diciriikan dengan universal umum
3. Berpikir kefilsafatan dicirikan secara konseptual
4. Berpikir secara kefilsafatan dicirikansecara koheren dan konsisten
5. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik
6. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif
7. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas
8. Berpikir secara kefilsafatan dicirikan dengan bertanggungjawab

Objek Kajian Filsafat

Kembali kepada pengertian berpikir seperti termaktub dalam kamus bahasa Indonesia
daring, berpikir tentu saja memiliki objek untuk ditimbang-timbang, dianalisis
sebelum memutuskan sesuatu. Dalam berpikir secara filsafat tentu saja memiliki
objek kajian sebagai sesuatu untuk dipikirkan. Dan, objek filsafat terdiri atas:

1. Objek Matrial
Objek Matrial adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu
yang diselidiki dan dipelajari. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal
konkrit (misalnya manusia, tumbuhan, batu) ataupun hal-hal yang abstrak
(misalnya: ide-ide, nilai-nilai, keagamaan) (Zamroni, 2009:29).

Dengan demikian objek material filsafat meliputi segala sesuatu yang ada,
termasuk, manusia, alam dan Tuhan. Ini berbeda jika kita menelaah objek ilmu
pengetahuan yang hanya menyangkut manusia dan alam. Ilmu pengetahuan
(science) tidak mempersoalkan atau mengkaji tentang Tuhan. Sebaliknya ilmu
agama (teologi) sebagian besar merupakan kajian tentang ketuhanan dengan
segala wahyu dan ajarannya.

Dalam sejarah perkembangan filsafat, objek kajian filsafat berubah-ubah


mulai dari alam, manusia sampai kepada Tuhan. Pada abad pertengahan di

‘16 Produksi Iklan Multimedia dan


12 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom
Eropa ketika filsafat menjadi abdi teologi, banyak kajian-kajian filsafati
tentang Tuhan. Namun memasuki zaman modern, fokus objek filsafat adalah
manusia.

2. Objek Formal
Objek Formal ialah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh
seorang peneliti terhadap objek materiilnya serta prinsip-prinsip yng
digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu
ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain
(Zamroni, 2009:29).

Sebagai contoh, manusia sebagai objek kajian ilmu pengetahun dan filsafat
telah dikaji sejak zaman silam. Manusia menjadi objek kajian dari berbagai
perspektif antara lain; bagaimana interaksinya dengan manusia lain dalam
sebuah komunitas (sosiologi), bagaimana kondisi atau situasi kejiwaannya
(psikologi), dan bagaimana struktur dna dan genetika manusia (biologi).
Namun acapkali dikaji dari perspektif yang lebih hakiki (filsafat), yaitu
tentang sepakah manusia? Untuk apa manusia hidup di dunia? Mengapa
manusia perlu bersosialisasi dan berbagai pertanyaan dasar lainnya.

Cabang-Cabang Filsafat

Dalam filsafat tedapat tiga isu besar yang menjadi bidang kajian para filsuf. Ketiga isu
ini mengawali cabang dari pohon filsafat, yaitu: eksitensi, pengetahuan dan nilai-nilai
(zamroni, 2009:32-34):

1. Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi bersangkutan dengan cabang


filsafat Metafisika
2. Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran. Pengetahuan
bersangkutan dengan cabang filsafat Epistimologi, sedangkan kebenaran
bersangkutan dengan logika.
3. Persoalan nilai-nilai (rules) yang terdiri atas perilaku dan keindahan. Persoalan
perilaku bersangkutan dengan cabang filsafat Etika, sedangkan keindahan
bersangkutan dengan cabang filsafat Estetika.

‘16 Produksi Iklan Multimedia dan


13 Interaktif Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dudi Hartono, M.Ikom

Anda mungkin juga menyukai