Anda di halaman 1dari 11

Bab 1

SEKELUMIT SEJARAH
ILMU ANTROPOLOGI DI INDONESIA

CIKAL-BAKAL
ANTROPOLOGI

Sebelum antropologi menjadi suatu ilmu yang mapan,


perkembangannya didului oleh tiga jenis tulisan yang merupakan materi-
materi awal bagi proses kematangannya, yaitu tulisan para pelayar-
pengembara1, tulisan para penyebar agama (zending dan missionary),
dan tulisan pegawai kolonial Hindia-Belanda.2 Tiga kelompok sosial ini
pergi ke wilayah-wilayah jauh di nusantara, menulis laporan-laporan
perjalanan mereka, mencatat segala tindakan kebudayaan dari
penduduk-penduduk pribumi yang mereka temui dalam perjalanan
mereka, mempelajari bahasa dan kebiasaan-kebiasaan setempat, lalu
akhirnya menerbitkan catatan-catatan dan laporan-laporan tersebut ke
penerbit-penerbit buku di Eropa. Buku-buku tersebut menjadi buku-buku
daras yang wajib dipelajari oleh mahasiswa-mahasiswa di universitas-
universitas Eropa abad 18, yang mengambil jurusan atau spesialisasi
studi Völkerkunde (ilmu tentang bangsa-bangsa) atau program studi
Volkskunde (ilmu tentang satu bangsa tertentu).3
Tulisan yang paling terkenal mengenai nusantara yang diproduksi
kaum pelayar-pengembara Eropa, misalnya, ialah tulisan Marco Polo
(1254-1323), the Travels. Buku ini sebenarnya hanya merupakan
catatan-catatannya selama di perjalanan ke daerah Jawa, Bintan,
Perlak, Basman, Lamuri, dan Fansur (Aceh). Yang patut disesalkan,
kualitas dan akurasi fakta-fakta dalam buku Marco Polo dan buku-buku
sejenis dipertanyakan oleh ahli antropologi kontemporer. Misalnya,
menurut Prof. Thomas Hylland Eriksen, “Many travelogues were obviously
full of factual errors and marred by deep-seated Christian prejudices.”
(“Banyak catatan perjalanan dipenuhi dengan kesalahan-kesalahan fakta
dan diwarnai dengan prasangka-prasangka Kristiani yang kental.”)4
Simaklah bagaimana Marco Polo menulis tentang kebiasaan lokal orang
Perlak dan orang Basman:

The people of the mountains live like beasts. For I assure you that they
eat human flesh and every other sort of flesh, clean or unclean. They
worship many different things; for whatever they see first when they
wake in the morning, that they worship. On leaving Ferlec the traveler
enters Basman, which is a separate kingdom with a language of its
own. The people of Basman are without law, except such as prevails
among brute beast... They are very ugly brutes to look at.5

(Penduduk pegunungan ini hidup seperti halnya hewan-hewan buas.


Karena, yakinlah para pembaca sekalian, mereka memakan daging
manusia dan daging lainnya, baik yang bersih ataupun yang kotor.
Mereka menyembah hal-hal berbeda, dikarenakan apa pun yang
mereka saksikan pertamakali saat mereka bangun tidur di pagi hari,
itulah yang mereka sembah. Setelah Perlak, saya memasuki daerah
Basman, yaitu kerajaan lain dengan bahasanya tersendiri. Penduduk
Basman tidak punya aturan hukum, kecuali aturan hukum rimba...
Mereka penduduk biadab yang sungguh jelek dilihat.)

Yang turut memelopori tulisan antropologis di Indonesia adalah


tulisan para zending dan missionarist. Untuk memberitakan Injil ke
seluruh bagian nusantara, para zending dan missionarist harus
mempelajari budaya di mana mereka akan ditempatkan oleh gereja
mereka. Di antara mereka ialah N. Graafland (1850), James Chalmers
(1878-1886), J. Warneck (1909), Albert C. Kruyt (1906), Charles R.
Watson (1913), dan lain-lain. N. Graafland adalah seorang pendeta
Kristen yang ditugaskan mengabarkan Injil di tengah penduduk Minahasa,
sedangkan James Chalmers adalah seorang pastor Katolik yang
ditugaskan di Irian Barat (sebelum berganti nama menjadi Irian Jaya).6
J. Warneck dan Charles R. Watson adalah pendeta-pendeta yang
ditugaskan di tengah-tengah penduduk negeri Batak, sementara Albert
C. Kruyt adalah pendeta di Sulawesi Tengah (Posso). Karena motif
kristenisasi, mereka tidak bisa tidak menganggap ‘kafir’ setiap penduduk
yang mereka temui, yang tidak menganut Kristianitas. Contohnya, dalam
bukunya De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand,
N. Graafland menggambarkan bagaimana desa-desa di Minahasa
berada dalam kondisi kekafiran karena tidak memeluk Kristen dan tetap
menganut adat:
… Tonsea, Kakas, Sonder, dan Rumoong paling terkenal dengan
ungkapan-ungkapan kotor dan rendah, sedang kewedanaan lain tidak
sampai sejauh itu. Namun, kanker itu sedikit banyaknya telah
menerobos ke mana-mana, dan agama orang Alifuru cepat atau
lambat akan menemui keruntuhannya. Bibit kerusakan telah ditabur,
mulai tumbuh subur, dan di suatu tempat telah menghasilkan buah
yang merusak. Bila Kristen tidak tiba pada waktunya, maka rakyat,
sebagaimana telah terjadi di sana-sini, jatuh ke dalam kekafiran.7

Bukan hanya penduduk desa Tonsea, Kakas, Sonder dan desa


Rumoong saja yang kafir, tapi juga penduduk desa Pango—desa kecil di
wilayah Kewedanaan Ratahan—yang masih memeluk agama adat. Kata
Graafland:

Negeri pertama yang kami singgahi dalam perjalanan ke Langoan


adalah Pango, sebuah daerah kecil yang merupakan negeri terakhir
Kewedanaan Ratahan… Anda tidak akan menyangka bahwa Anda
berada di suatu kewedanaan yang masih menyembah berhala, suatu
negeri yang seluruhnya masih kafir, sebuah tempat yang sama sekali
belum tersentuh peradaban.8

Mengenai kualitas akurasi dan obyektifitas fakta dari tulisan


etnografis para pendeta dan pastor ini, Edward Burnett Tylor (1871),
seorang profesor Antropologi di Universitas Oxford, berkomentar:

“...for the most part ‘the religious world’ is so occupied in hating and
despising the beliefs of the heathen whose vast regions of the globe
are painted black on the missionary maps, that they have little time or
capacity left to understand them [the lower races—Ferry]...”9

(“...kebanyakan ‘teolog-teolog’ terlalu sibuk dalam membenci dan


mencaci-maki kepercayaan orang kafir yang mendiami wilayah-
wilayah dunia yang amat luas, sehingga mereka punya sedikit waktu
dan kapasitas yang tersisa untuk memahami mereka [ras-ras
primitif]...”).

Kelompok tulisan ketiga yang menjadi cikal-bakal antropologi


mapan di Indonesia adalah tulisan etnografis para pegawai pemerintahan
kolonial. Nama-nama terkenal seperti C. Snouck Hurgronje (1857-1936),
C.A.J. Hazeu (1870-1929), D.A. Rinkes (1878-1954), R.A. Kern (1875-
1958), dan B.J.O. Schrieke (l. 1890), adalah pegawai kolonial yang
sengaja ditugaskan menulis laporan etnografis demi bahan-bahan
pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakan baru kolonial di
Indonesia. Snouck Hurgronje menghasilkan banyak karangan, di
antaranya ialah De Atjehers (1893-1894) dan Het Gayoland en zijne
Bewoners (1903).10 C.A.J. Hazeu menulis karya etnografis seperti
Bijdrage tot de kennis van het Javaansche Tooneel (1897), Kleine
bijdragen tot de ethnographie en de folklore van Java (1903), Cirebonsch
Wetboek (1905), dan Een beshreven koperen plaat uit de Lampongs
(1906).11 D.A. Rinkes menulis karya seperti Nota over de Volkslektuur
(1911) dan Indies Neerlandises: Notice sur le service pour la litterature
populaire (1910-1925).12 R.A. Kern menulis karya seperti Geschiedenis
der Preanger-Regenschappen (1898) dan Kamus Sunda Belanda.13
Sedangkan B.J.O. Schrieke menulis karya seperti Bijdrage tot de
Bibliografie van de huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s
Westkust (1919-1921) dan De Islam op Sumatra (1925).14
Pada saat kolonialisme Inggris bercokol di nusantara, terdapat pula
produksi tulisan etnografis. Di antaranya yang terkenal ialah tulisan
karangan W. Marsden dan Thomas Stamford Raffles. W. Marsden
menulis The History of Sumatra, Containing an Account of the
Government, Laws, Customs and Manners of the Native Inhabitants
(1783) dan Thomas Stamford Raffles menulis The History of Java
Volume 1 & 2 (1817).15 Walaupun berjudul The History of Java, buku
Raffles ini menjelaskan asal-usul orang Jawa (Chapter II), karakteristik
orang Jawa (Chapter VI), kesusasteraan Jawa (Chapter VIII), keagamaan
orang Jawa (Chapter IX), dan penerimaan orang Jawa terhadap agama
Islam (Chapter XI).16
Terdapat suatu jaringan intelektual langsung antara para pegawai
kolonial yang bertugas menulis etnografi di kantor-kantor kolonial
nusantara dengan ahli-ahli etnografi di negeri Belanda. Sebelum
diberangkatkan ke nusantara, mereka diajari Indologie—‘ilmu-ilmu
tentang Hindia-Belanda’, oleh profesor-profesor universitas terkenal di
Belanda.17
Misalnya, sekolah bahasa, geografi, dan budaya Hindia-Belanda
yang bernama Rijksinstelling voor Taal-Land- en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indie. Sekolah ini didirikan di Belanda pada 1864, khusus
untuk calon pegawai kantor kolonial yang akan ditempatkan di wilayah
koloni nusantara. Mereka diajari ilmu bahasa-bahasa nusantara, geografi
nusantara, dan etnografi nusantara.18 Di kota Delft juga didirikan sebuah
akademi khusus untuk calon pegawai negeri untuk dinas kolonial di
Hindia-Belanda. Yang mengajar Indologie di situ termasuk L.W.C. van
den Berg (1845-1927), seorang profesor khusus matakuliah “Hukum
Agama, Adat, dan Kebiasaan Rakyat di Hindia Belanda”.19 Tapi sejak
tahun 1900 hingga seterusnya, dua akademi itu ditutup dan calon
pegawai kantor kolonial yang ingin mempelajari ‘ilmu-ilmu
kenusantaraan’ (Indologie) dipindahkan ke Universitas Leiden20 atau
Universitas Amsterdam.21
Selain dua universitas terkenal tersebut, Indologie juga diajarkan di
suatu lembaga keilmuan terkenal di Belanda awal abad 20, yang
bernama Koloniaal Instituut.22 Didirikan pada 1910, Koloniaal Instituut
memperoleh ketenaran di kalangan terpelajar Belanda karena kursus
tiga-bulan (three-month introductory course) mengenai Indologie yang
diselenggarakannya. Dikepalai oleh J.C. van Eerde (bekas pegawai
kantor kolonial di Sumatra dan Lombok), lembaga studi ini mengajarkan
etnografi nusantara, bahasa Melayu, organisasi pemerintahan kolonial
nusantara, dan geografi nusantara. Yang pernah mengajar kursus
Indologie di sini di antaranya ialah J.C. van Eerde sendiri, J. P. Kleiweg
de Zwaan (profesor Antropologi dan Sejarah Purbakala di Universitas
Amsterdam), A. W. Nieuwenhuis dan C. Snouck Hurgronje (keduanya
profesor Universitas Leiden), dan Sebald Rudolf Steinmetz (profesor
Geografi Politik Hindia-Belanda, Etnologi dan Etnografi Hindia-Belanda
di Universitas Amsterdam).23 Setelah J.C. van Eerde, B.J.O. Schrieke
juga pernah dipilih menjadi direktur Koloniaal Instituut di Amsterdam.24
Profesor yang pernah mengajar Indologie di Universitas Leiden,
selain A. W. Nieuwenhuis dan C. Snouck Hurgronje, di antaranya ialah
C. van Vollenhoven (1874-1933),25 C.A.J. Hazeu, dan R.A. Kern,26
sedangkan profesor yang mengajar di Universitas Amsterdam di
antaranya ialah G.F. Pijper (lahir 1893) dan B.J.O. Schrieke.27 van
Vollenhoven ialah profesor Hukum Adat (adatrecht),28 C.A.J. Hazeu
profesor Bahasa dan Sastra Jawa,29 sedangkan R.A. Kern profesor
Bahasa Sunda, Bahasa Bugis dan Bahasa Makasar.30 G.F. Pijper ialah
profesor Bahasa Arab dan Islam, sedangkan B.J.O. Schrieke profesor
Bahasa dan Sastra Kepulauan Nusantara, Antropologi, dan Sosiologi.31
Ketika para pegawai kolonial tersebut dikirim ke nusantara, mereka
tidak hanya mempraktekkan apa yang dipelajari di Belanda tapi juga
mengajarkan apa yang mereka ketahui di sekolah-sekolah Belanda yang
mereka bangun di nusantara. Misalnya, Sekolah Gymnasium Willem III di
Jakarta (dulu Batavia). Di sekolah ini, C.A.J. Hazeu, D.A. Rinkes,32 dan
L.W.C. van den Berg,33 dan lain-lain pernah mengajar. Lalu, Universitas
Indonesia. Yang pernah mengajar di sini di antaranya ialah G.F. Pijper34
dan G.J. Held,35 Kemudian, Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Yang
pernah mengajar di sini di antaranya ialah B.J.O. Schrieke.36 Juga, HBS
Batavia. C. Snouck Hurgronje pernah mengajar di sini.37
Orang bumiputera yang pernah menjadi mahasiswa-mahasiswa
mereka, baik ketika mereka mengajar Indologie di Belanda maupun di
nusantara, di antaranya ialah R. Soepomo, M.M. Djojodigoeno, R. Ng.
Poerbatjaraka, R. Djokosoetono,38 Hoesein Djajadiningrat, Ahmad
Djajadiningrat,39 dan lain-lain. Saat pulang ke nusantara, para
mahasiswa bumiputera ini menggantikan kedudukan profesor-profesor
Belanda, menjadi direktur atau menjadi profesor-profesor di sekolah-
sekolah Belanda di Batavia sebagai disebut tadi.
Motif penulisan etnografi mereka bukanlah motif keilmuan murni,
tapi lebih pada motif kolonial-politis. Thomas Stamford Raffles menulis
The History of Java untuk persiapan pelaksanaan kebijakan politiknya
yang baru, yakni menerapkan sistem pajak tanah di Jawa.40 Sedangkan
C. Snouck Hurgronje menulis etnografi tentang Aceh untuk membantu
Jenderal Van Heutsz menaklukkan Aceh ke tangan kolonialisme
Belanda.41 C.A.J. Hazeu, D.A. Rinkes, R.A. Kern, dan B.J.O. Schrieke,
kesemuanya menulis tulisan etnografis dalam kapasitas mereka sebagai
Adviseur voor Inlandsche zaken (Penasehat Urusan Pribumi), yang
dipekerjakan Gubernur Jenderal untuk memberikan saran-saran kultural
demi kebijakan kolonial atas urusan-urusan pribumi.42
Karena bertujuan memenuhi kepentingan-kepentingan dan
keperluan praktis kebijakan kolonial, maka validitas dan relevansi
produk-produk etnografis yang diproduksi oleh kelompok sosial ini hanya
berlaku pada saat kolonialisme berjaya; begitu kolonialisme mati, maka
mati pulalah relevansi dan pentingnya produk-produk etnografis tersebut.
Kata Koentjaraningrat,

Karena angkatan muda orang Belanda kemudian tidak menaruh


perhatian lagi terhadap kajian Indonesia, maka indologie hanya tinggal
suatu ilmu yang dipraktekkan oleh sejumlah kecil ahli-ahli indologie
generasi tua, yang sebelum Perang Dunia II bekerja pada pemerintah
jajahan di Indonesia.43

Di Belanda sendiri, ‘Etnologi Kolonial’ & ‘Etnografi Kolonial’ yang


diproduksi di saat kolonialisme berjaya, dengan segera digantikan
dengan Antropologi begitu kolonialisme mati setelah Perang Dunia II.
Kata Donna C. Mehos, seorang peneliti senior di Eindhoven Technical
University, “...anthropology arose as a specialized professionalized
discipline in the Netherlands when it became politically unnecessary.”
(“... antropologi lahir sebagai suatu disiplin profesional yang
terspesialisasi di Belanda pada saat antropologi tidak berkaitan erat
dengan politik.”).44
PEMBANGUNAN ANTROPOLOGI
DI ERA PASCA-KOLONIAL

Setelah kolonialisme runtuh, bangunan keilmuan yang dibangunnya


tidak serta-merta runtuh pula. Tiga perguruan tinggi yang didirikan
Belanda, yaitu Sekolah Tinggi Teknik (1920), Sekolah Tinggi Hukum
(1924), dan Sekolah Tinggi Kedokteran (1927), digabung pada 1941
menjadi satu universitas yang bernama Universitas Indonesia , ditambah
dengan dua fakultas lain, Fakultas Sastra dan Fakultas Pertanian.45
Profesor-profesor Indologie Belanda masih mengajar di sini, seperti G.J.
Held, Elisabeth Allard, F.A.E. van Wouden, H.T. Chabot, dan lain-lain.46
Nama jurusan Indologie yang terkesan kolonial diganti dengan
sebutan baru, Etnologi, hingga 1957. Setelah 1957, sebutan ilmu
Etnologi segera digantikan dengan nama Antropologi, seiring dengan
dibukanya jurusan baru di Universitas Indonesia, Jurusan Antropologi,
dengan Elisabeth Allard sebagai profesor pertamanya.47 Hanya ada satu
dosen bumiputera yang mengajar di sini, selebihnya dari Belanda. Dosen
Indonesia satu-satunya ialah Koentjaraningrat (1923-1999); itu pun
hanya sebagai Dosen Muda (Junior Lecturer), setelah memperoleh gelar
M.A. bidang Antropologi Sosial-Budaya (Socio-Cultural Anthropology)
dari Universitas Yale, Amerika Serikat, di bawah bimbingan George P.
Murdock.48
Bahan-bahan etnografis dan etnologis yang diproduksi sejak abad
13—baik oleh golongan pelayar-pengembara, golongan penyebar Injil,
dan golongan ilmuwan-pegawai kolonial—tidak dibakar atau dibuang
begitu saja, tapi dipergunakan untuk menyusun tulisan-tulisan
antropologis mengenai kebudayaan nusantara oleh antropolog-
antropolog bumiputera dengan daya kritisisme yang ketat.49
Pada 1958, ketika semua profesor Belanda meninggalkan
Indonesia, Koentjaraningrat diberi tugas oleh Soekarno, presiden pertama
RI, untuk mengembangkan Jurusan Antropologi di Universitas Indonesia
dan mengisinya dengan staf akademis bumiputera. Tugas itu
dilakukannya dengan sukses: Koentjaraningrat bolak-balik memberi
kuliah Antropologi ke beberapa universitas nusantara yang juga membuka
jurusan baru, Antropologi. Lalu, beliau mengundang sarjana-sarjana S-1
yang dibimbingnya untuk meneruskan kuliah S-2 di Universitas Indonesia
(UI) di Jakarta. Setelah tamat dari UI, Koentjaraningrat membantu
mereka dikirim belajar Antropologi ke universitas-universitas negara
Australia (Department of Anthropology, Australian National University,
Canberra),50 Jepang, Thailand, Malaysia, dan Filipina.51 Mereka diberi
misi oleh Koentjaraningrat untuk mempelajari sub-disiplin yang berbeda-
beda dari Ilmu Antropologi agar matakuliah di Jurusan Antropologi pada
universitas-universitas mereka semakin kaya.52 Sepulang ke Indonesia,
mereka menjadi doktor-doktor dan profesor-profesor pada delapan
universitas nusantara yang saat itu turut mengembangkan Jurusan
Antropologi, yakni Universitas Sumatra Utara, Universitas Andalas,
Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana,
Universitas Hasanudin, Universitas Sam Ratulangi,53 dan Universitas
Haluoleo.54
Ketergantungan para antropolog Indonesia pada teori-teori
antropologis yang dibangun ‘imperium keilmuan Barat’ sungguh amat
tinggi. Sebagian besar dosen Antropologi adalah lulusan universitas-
universitas negara Barat. Misalnya ialah Koentjaraningrat. Beliau lulusan
Universitas Yale. Bukunya yang berjudul Sejarah Teori Antropologi Jilid 1
& 2 (1990) memperkenalkan, menjelaskan, dan mengajarkan teori-teori
antropologis dari antropolog-antropolog Eropa; tak satupun dari negara
Dunia-Ketiga yang disebut. Rencana beliau, sebagaimana dikutip di
bawah ini, untuk membangun tradisi antropologis Indonesia dari tradisi
Barat dan non-Barat, nampaknya, hanya tinggal rencana; tak
direalisasikan dalam wujud nyata.

Di Indonesia sekarang telah mulai dikembangkan suatu ilmu


antropologi yang khas Indonesia. Kita beruntung bahwa dalam
menentukan dasar-dasar dari antropologi Indonesia, kita belum terikat
oleh suatu tradisi sehingga kita masih dapat memilih serta
mengkombinasikan berbagai unsur dari aliran yang paling sesuai yang
telah berkembang di negara-negara lain, dan diselaraskan dengan
masalah kemasyarakatan di Indonesia. Konsepsi mengenai batas-
batas lapangan penelitian antropologi serta pengintegrasian dari semua
metode antropologi dapat kita contoh dari Amerika; penggunaan
antropologi sebagai suatu ilmu praktis untuk mengumpulkan data
tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan berbagai suku bangsa
yang berbeda-beda, dan kemudian memamerkannya untuk
memperoleh saling pengertian antara berbagai suku bangsa itu, dapat
kita contoh dari Rusia; penggunaan antropologi sebagai ilmu praktis
untuk mengumpulkan data tentang kebudayaan-kebudayaan daerah
dan masyarakat pedesaan guna menemukan dasar-dasar bagi suatu
kebudayaan nasional dengan kepribadian yang khas dan dapat
digunakan untuk membangun masyarakat desa yang modern, dapat
kita contoh dari Meksiko; antropologi sebagai ilmu praktis yang
bersama dengan sosiologi dapat membantu memecahkan masalah-
masalah sosial budaya dan merencanakan pembangunan nasional,
dapat kita contoh dari India.55
Memang tak dapat disangkal, bahwa Pak Koen—demikian beliau
kerap disapa—banyak memberikan sumbangan pikiran antropologis bagi
kebijakan-kebijakan pembangunan nasional, utamanya era rezim
Soeharto; sumbangan yang amat berharga bagi kelancaran dan
kesuksesan pembangunan nasional negerinya. Hanya saja, ‘Antropologi
Pembangunan’ yang beliau bangun senantiasa memakai standar dan
kriteria pembangunan negara Barat untuk model pembangunan sosial di
Indonesia; residu-residu modernisme Barat masih amat kental dalam
teori pembangunan sosio-kultural yang beliau kembangkan.

CATATAN AKHIR
1
Han F. Vermeulen & Arturo Alverez Roldan (eds.), Fieldwork and Footnotes: Studies in the History of European
Anthropology, London & New York: Routledge, 1995, h. 22
2
Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988, h. 26-29
3
Han F. Vermeulen & Arturo Alverez Roldan (eds.), Ibid., h. 40
4
Thomas Hylland Eriksen & Finn Sivert Nielsen, A History of Anthropology, London, Sterling, Virginia: Pluto Press,
2001, h. 5
5
Marco Polo, the Travels, diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Ronald Latham, England & New York, Penguin Books,
1978, cet-8, hh. 253-254
6
James Chalmers, Pioneering in New Guinea, Edinburgh, Oliver and Boyd, tth.
7
N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, terj. Indonesia oleh Lucy R. Montolalu,
Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1991, h. 119
8
Ibid., h. 344
9
Edward Burnett Tylor, Primitive Culture: Researches Into The Development of Mythology, Philosophy, Religion,
Language, Art, and Custom, Volume 1, Edisi 4, London, John Murray, 1903, h. 420. Di dalam tanda kurung adalah kata-
kata penulis.
10
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3ES, cet-3, 1996, h. 116. Penerbit INIS (Indonesian-
Netherlands Cooperation in Islamic Studies) telah menerjemahkan buku De Atjehers ke bahasa Indonesia dengan judul
Aceh, Rakyat, dan Adat Istiadatnya, 2 Jilid, tahun terbit 1996.
11
Ibid., h. 126
12
Ibid., h. 133
13
Ibid., h. 139
14
Ibid., h. 152
15
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, Depok, UI Press, 1990, h. 304 & 310
16
Thomas S. Raffles, The History of Java Volume 1, cet-2, London, John Murray, 1829, h. xlvii-xlviii & Thomas S. Raffles,
The History of Java Volume 2, cet-2, London, John Murray, 1817, h. v
17
Donna C. Mehos, “Colonial Commerce and Anthropological Knowledge: Dutch Ethnographic Museums in the
European Context”, dalam Henrika Kuklick (ed.), A New History of Anhtropology, USA, UK & Australia, Blackwell
Publishing Ltd., 2008, h. 181
18
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, h. 237
19
Karel A. Steenbrink, “Kata Pengantar” dalam L.W.C. van den Berg, Le Hadhramout Et. Les Colonies Arabes Dans
L’Archipel Indien, terjemahan Indonesia oleh Rahayu Hidayat, Jakarta: INIS, 1989, h. xxiv
20
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, h. 238
21
Donna C. Mehos, “Colonial Commerce and Anthropological Knowledge: Dutch Ethnographic Museums in the
European Context”, h. 181
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 152
25
Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, terjemahan Ratno Lukito, Jakarta, INIS,
1998, h. 39-40
26
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 125 & 139
27
Ibid., h. 147 & 152
28
Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, h. 40
29
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 125
30
Ibid., h. 139
31
Ibid., h. 151-152
32
Ibid., h. 125 & 132
33
Karel A. Steenbrink, “Kata Pengantar” dalam L.W.C. van den Berg, Le Hadhramout Et. Les Colonies Arabes Dans
L’Archipel Indien, h. xii
34
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 147
35
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, h. 261
36
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 151-152
37
Ibid., h. 152
38
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, h. 260-261
39
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 152-153
40
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, h. 238
41
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 116
42
Ibid., h. 110-115
43
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, h. 262
44
Donna C. Mehos, “Colonial Commerce and Anthropological Knowledge: Dutch Ethnographic Museums in the
European Context”, dalam Henrika Kuklick (ed.), A New History of Anhtropology, h. 187
45
Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet-15, Jakarta, Djambatan, 1995, h. 28
46 46
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, h. 279
47
Ibid., h. 279-280
48
Koentjaraningrat, “Commemorative Lecture”, pidato pada penerimaan penghargaan the Fukuoka Asian Cultural
Prizes, diunduh tgl. 8 Januari 2014, http://www.asianmonth.com/prize/english/lecture/pdf/06_01.pdf
49
Koentjaraningrat, “Kata Pengantar”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. vii-viii
50
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, Jakarta, Balai Pustaka, cet-2, 1993, h. 9. Abdurrauf Tarimana, pengarang
buku ini, termasuk yang dikirim Koentjaraningrat ke Australian National University (ANU), Canberra, Australia untuk
mempelajari Antropologi di bawah bimbingan Dr. James J. Fox.

51
James J. Fox, "In Memoriam: Professor Koentjaraningrat”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 157 no: 2,
Leiden, 2001, h. 242, diunduh tgl. 8 Januari 2014, dari http://www.kitlv-
journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/3141/3902.
52
Ibid.
53
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta, Rineka Cipta, cet-3, 2005, h. 38
54
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, h. 10-11
55
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, h. 6-7

Anda mungkin juga menyukai