Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Bahasa Indonesia lahir saat sumpah pemuda dicetuskan pada tahun 1928, maka dengan itu Umar Yunus berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia baru lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga menurutnya, karya sastra yang terbit sebelum tahun 1928 dianggap bukan digolongkan sebagai hasil sastra Indonesia. Melainkan sebagai hasil Sastra Melayu saja. Ajip Rosidi memiliki pandangan yang berbeda terkait sejarah lahirnya sastra Indonesia. Menurutnya, bahasa tidak bisa dijadikan sebagai patokan kapan sastra itu lahir karena sebelum bahasa diakui secara resmi, bahasa itu sudah ada dan sudah digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut. Dengan demikian ia berpendapat bahwa yang seharusnya dijadikan patokan adalah kesadaran kebangsaan karena pada waktu itu pemuda Indonesia seperti Sanusi Pane, Muhammad Yamin, dan lainnya menegaskan bahwa bahasa Indonesia berbeda dengan Sastra Melayu. Jadi menurut Ajip Rosidi, kesusastraan Indonesia itu lahir pada tahun 1920/1922. Hampir sejalan dengan Ajip Rosidi, A. Teew juga berpendapat bahwa Sastra Indonesia lahir pada tahun 1920, sebab pada tahun ini pemuda menulis puisi baru Indonesia dan lahirnya novel Merari Siregar yang berjudul Azab dan Sengsara.1 Meski terdapat berbagai macam pendapat yang berbeda, namun kelahiran sastra Indonesia disepakati dimulai dari tahun 1920-an. Di tahun inilah Sastra Indonesia mulai mengepakkan sayapnya ditandai dengan lahirnya sastrawan-sastrawan pelopor seperti yang telah dituliskan di atas, salah satunya adalah Merari Siregar. Sastra Indonesia kemudian melalui tahap pekembangan dengan berbagai tingkatan periode, dimulai dari Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angakatan ’65, hingga Angkatan ’98. Setiap angkatan memiliki sejarah kelahirannya sendiri. Angkatan Balai Pustaka sebagai angkatan pertama Sastra Indonesia Moderen berdiri pada tahun 1917, merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumi Putra dan Bacaan Rakyat sebagai wujud dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda lewat politik etis atau politik balas budi. Selanjutnya lahir Angkatan Pujangga Baru. Majalah pertamanya terbit pada tahun 1933. Pujangga Baru lahir sebagai wujud kritik terhadap Balai Pustaka yang dianggap lebih bersifat politis. Kelahiran Pujangga Baru juga merupakan wujud mulai maraknya kesadaran nasional dan semangat kemerdekaan. Pujangga Baru awalnya tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu karena dianggap merusak bahasa Melayu dengan memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing. Meski begitu, kehadiran Pujangga Baru disambut hangat oleh sejumlah kaum terpelajar. Dan pada akhirnya Pujangga Baru berhasil 1 Admin Markijar, Sejarah Kesusastraan Indonesia, Lengkap Periodisasi (http://www.markijar.com/2017/06/sejarah-kesusastraan-indonesia-lengkap.html?m=1, diakses pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul 22. 09) membawa corak baru dan perubahan yang baik dalam khazanah sastra Indonesia dan dapat dinikmati oleh pembaca dengan penggunaan bahasa dalam karyanya yang lebih mudah dipahami dari karya yang terbit di Angkatan Balai Pustaka. Periode selanjutnya adalah Angkatan ’42 yaitu zaman penjajahan Jepang. Kegiatan sastrawan di periode ini membuat lagu, lukisan, slogan, sajak, sandiwara, dan film yang bisa menguntungkan pemerintah Jepang untuk mengelabui bangsa Indonesia. Selanjutnya ada Angkatan ’45 atau biasa disebut Angkatan Chairil Anwar. Corak karya sastra di periode ini lebih dominan pada tema revolusi dan semangat kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan periode 1950-an yaitu berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Segala kegiatan kesenian di Lekra harus didasari oleh kepentingan politik dan ideologi partai. Lekra berpihak pada ideologi komunisme yang lahir untuk membela kepentingan rakyat dan kaum proletar. Selanjutnya masih ada beberapa periode lagi sebelum ahirnya sampai pada Angkatan ’98 yaitu sejarah tumbangnya tirani orde baru dan lahirnya reformasi. Setelah masa reformasi, mulai muncul karya sastra populer dan mulai didirikan fakultas sastra untuk pertama kali. Sastra Indonesia telah melalui proses dan perjalanan panjang sebelum sampai pada Sastra Indonesia yang kita kenal saat ini. Sejauh ini, Sastra Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, dapat dilihat dari banyaknya corak atau genre karya sastra baru yang muncul belakangan. Terlepas dari istilah serius atau populernya karya sastra tersebut, tetapi karya-karya itu telah memberi corak baru di khazanah kesusastraan Indonesia. Indonesia saat ini memasuki era industri 4.0 di mana lebih dari separuh pekerjaan manusia telah dikelola oleh alat teknologi dan media online. Dan untuk tetap terus eksis, mau tidak mau Sastra Indonesia harus mengikuti arus ini. Hal ini dapat dilihat dari penyair-penyair yang mulai ramai mempublikasikan karyanya dalam bentuk quote-quote di berbagai platform media sosial. Sebut saja Instagram, Twitter, Facebook, dan WatsApp. Hal tersebut kemudian menjadi alasan para penikmat sastra tidak lagi harus berkutat dengan buku jika ingin membaca karya sastra. Kehadiran quotes atau fiksimini telah berhasil mempermudah jangkauan pembaca karya sastra. Beberapa waktu belakangan, Sastra Indonesia juga tengah menjadi topik perbincangan hangat. Hal ini dilatarbelakangi oleh boomingnya film Dilan yang diadopsi dari novel bestseller Pidi Baiq. Fenomena film Dilan telah membuka pintu baru bagi orang-orang untuk mengenal sastra. Orang-orang mendadak demam sastra, mendadak puitis. Dinding-dinding media sosial diramaikan oleh kutipan-kutipan dialog dalam novel Dilan, meski mungkin itu hanya dikutip dari obrolan dalam film Dilan, bukan dari novel karya Pidi Baiq tersebut. Belum lepas dari Euforia Dilan-Milea, Hanung Bramantyo kembali menggegerkan dunia perfilman dengan mengangkat novel Bumi Manusia, sebuah karya fenomenal yang ditulis oleh sastrawan beken Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Lewat karakter Dilan-Milea dan Minke-Annelis, Sastra Indonesia telah berhasil naik pangkat di mata masyarakat Indonesia. Meski mahasiswa-mahasiswa sastra belum bisa dilepaskan dari jerat pertanyaan, “Mau jadi apa nanti?”, tetapi setidaknya sastra indonesia saat ini sudah cukup lepas dari keterasingannya. Fenomena orang-orang mendadak menjadi puitis sebenarnya memiliki potensi besar untuk menimbulkan masalah baru dalam Sastra Indonesia. Sebab penyair-penyair mendadak itu bukan tidak mungkin tidak paham tentang apa dan bagaimana sebenarnya puisi itu, dan bagaimana sesungguhnya tulisan sehingga layak disebut sebagai puisi. Seperti yang belakangan menjadi kontroversi besar di kalangan masyarakat adalah puisi yang ditulis dan dibacakan oleh Sukmawati putri presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Terlepas dari apa isinya, ini menjadi tantangan besar bagi para sastrawan atau kritikus sastra dalam mengubah pandangan masyarakat terhadap karya sastra itu sendiri. Kasus ini, selain menodai Sastra Indonesia, juga sekaligus membawa keuntungan sebab Sastra Indonesia kembali menjadi perhatian dan menjadi perbincangan serius di kalangan pemerhati sastra yang lebih sering memilih diam dan bersifat pasif. Seiring berkembangnya zaman, Sastra Indonesia terus mengevaluasi diri dan terus memunculkan hal-hal baru agar tetap dapat berterima di masyarakat. Sastra akan tetap hidup selama kehidupan ini belum berakhir, sebab bagaimana pun sastra adalah cerminan zaman. Manusia ada, maka sastra dilahirkan. Di era ini jika Sastra Indonesia dikenal dengan fiksimini dan karya sastra populernya, di mana tujuan dan fungsinya lebih untuk menjadi sebuah media hiburan, di masa depan tidak menutup kemungkinan jika Sastra Indonesia akan menduduki sebuah posisi penting yang jika ia tidak ada, kehidupan manusia akan mengalami ketimpangan. Saat ini ilmu kedokteran dan ilmu teknik masih menjadi dewa di mata masyarakat sebab ia dibutuhkan di mana-mana. Di masa depan, bisa jadi Sastra Indonesia akan menggeser posisi tersebut, ketika semua orang sudah mengandalkan teknologi canggih untuk mengontrol kehidupannya dan mulai kaku terhadap hal-hal yang bersifat alamiah, maka manusia akan merasa kehilangan sesuatu di dalam dirinya, kehilangan ketenangan dan merasa terus diawasi, orang-orang mulai kehilangan privasi dan tidak ada yang bisa disembunyikan sebab segalanya bersifat publikasi, ilmu kedokteran atau ilmu teknik tidak akan mampu mengatasi ini. Orang-orang butuh lari ke Fakultas llmu Budaya dan Fakultas Sastra untuk bertanya apa sebenarnya yang telah dicuri dalam dirinya. Kelak, Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra akan sama pentingnya dengan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknik, sebab setiap orang butuh kembali dan menemukan sesuatu di dalam dirinya yang telah direnggut peradaban yang kita sebut kemajuan tetapi justru menjauhkan kita dari realita kehidupan. Orang-orang akan bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi, maka ia butuh membaca karya sastra sebab sebagaimana yang telah dituliskan bahwa karya sastra adalah cerminan zaman. Tugasnya menghibur dan mendidik, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditemukan di rumah sakit mana pun.