Anda di halaman 1dari 3

Hijrana – 1814015041

Sastra Indonesia B 2018

Kesusastraan Indonesia Moderen:


Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Bahasa Indonesia lahir saat sumpah pemuda dicetuskan pada tahun 1928,
maka dengan itu Umar Yunus berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia baru
lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga menurutnya, karya sastra yang
terbit sebelum tahun 1928 dianggap bukan digolongkan sebagai hasil sastra
Indonesia. Melainkan sebagai hasil Sastra Melayu saja. Ajip Rosidi memiliki
pandangan yang berbeda terkait sejarah lahirnya sastra Indonesia. Menurutnya,
bahasa tidak bisa dijadikan sebagai patokan kapan sastra itu lahir karena sebelum
bahasa diakui secara resmi, bahasa itu sudah ada dan sudah digunakan oleh
masyarakat pengguna bahasa tersebut. Dengan demikian ia berpendapat bahwa
yang seharusnya dijadikan patokan adalah kesadaran kebangsaan karena pada
waktu itu pemuda Indonesia seperti Sanusi Pane, Muhammad Yamin, dan lainnya
menegaskan bahwa bahasa Indonesia berbeda dengan Sastra Melayu. Jadi
menurut Ajip Rosidi, kesusastraan Indonesia itu lahir pada tahun 1920/1922.
Hampir sejalan dengan Ajip Rosidi, A. Teew juga berpendapat bahwa
Sastra Indonesia lahir pada tahun 1920, sebab pada tahun ini pemuda menulis
puisi baru Indonesia dan lahirnya novel Merari Siregar yang berjudul Azab dan
Sengsara.1 Meski terdapat berbagai macam pendapat yang berbeda, namun
kelahiran sastra Indonesia disepakati dimulai dari tahun 1920-an. Di tahun inilah
Sastra Indonesia mulai mengepakkan sayapnya ditandai dengan lahirnya
sastrawan-sastrawan pelopor seperti yang telah dituliskan di atas, salah satunya
adalah Merari Siregar. Sastra Indonesia kemudian melalui tahap pekembangan
dengan berbagai tingkatan periode, dimulai dari Angkatan Balai Pustaka,
Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angakatan ’65, hingga Angkatan ’98.
Setiap angkatan memiliki sejarah kelahirannya sendiri. Angkatan Balai
Pustaka sebagai angkatan pertama Sastra Indonesia Moderen berdiri pada tahun
1917, merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumi Putra dan Bacaan
Rakyat sebagai wujud dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda lewat politik
etis atau politik balas budi. Selanjutnya lahir Angkatan Pujangga Baru. Majalah
pertamanya terbit pada tahun 1933. Pujangga Baru lahir sebagai wujud kritik
terhadap Balai Pustaka yang dianggap lebih bersifat politis. Kelahiran Pujangga
Baru juga merupakan wujud mulai maraknya kesadaran nasional dan semangat
kemerdekaan. Pujangga Baru awalnya tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan
Melayu karena dianggap merusak bahasa Melayu dengan memasukkan bahasa
daerah dan bahasa asing. Meski begitu, kehadiran Pujangga Baru disambut hangat
oleh sejumlah kaum terpelajar. Dan pada akhirnya Pujangga Baru berhasil
1
Admin Markijar, Sejarah Kesusastraan Indonesia, Lengkap Periodisasi
(http://www.markijar.com/2017/06/sejarah-kesusastraan-indonesia-lengkap.html?m=1, diakses
pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul 22. 09)
membawa corak baru dan perubahan yang baik dalam khazanah sastra Indonesia
dan dapat dinikmati oleh pembaca dengan penggunaan bahasa dalam karyanya
yang lebih mudah dipahami dari karya yang terbit di Angkatan Balai Pustaka.
Periode selanjutnya adalah Angkatan ’42 yaitu zaman penjajahan Jepang.
Kegiatan sastrawan di periode ini membuat lagu, lukisan, slogan, sajak,
sandiwara, dan film yang bisa menguntungkan pemerintah Jepang untuk
mengelabui bangsa Indonesia. Selanjutnya ada Angkatan ’45 atau biasa disebut
Angkatan Chairil Anwar. Corak karya sastra di periode ini lebih dominan pada
tema revolusi dan semangat kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan periode 1950-an
yaitu berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Segala kegiatan
kesenian di Lekra harus didasari oleh kepentingan politik dan ideologi partai.
Lekra berpihak pada ideologi komunisme yang lahir untuk membela kepentingan
rakyat dan kaum proletar. Selanjutnya masih ada beberapa periode lagi sebelum
ahirnya sampai pada Angkatan ’98 yaitu sejarah tumbangnya tirani orde baru dan
lahirnya reformasi. Setelah masa reformasi, mulai muncul karya sastra populer
dan mulai didirikan fakultas sastra untuk pertama kali.
Sastra Indonesia telah melalui proses dan perjalanan panjang sebelum
sampai pada Sastra Indonesia yang kita kenal saat ini. Sejauh ini, Sastra Indonesia
telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, dapat dilihat dari banyaknya
corak atau genre karya sastra baru yang muncul belakangan. Terlepas dari istilah
serius atau populernya karya sastra tersebut, tetapi karya-karya itu telah memberi
corak baru di khazanah kesusastraan Indonesia. Indonesia saat ini memasuki era
industri 4.0 di mana lebih dari separuh pekerjaan manusia telah dikelola oleh alat
teknologi dan media online. Dan untuk tetap terus eksis, mau tidak mau Sastra
Indonesia harus mengikuti arus ini. Hal ini dapat dilihat dari penyair-penyair yang
mulai ramai mempublikasikan karyanya dalam bentuk quote-quote di berbagai
platform media sosial. Sebut saja Instagram, Twitter, Facebook, dan WatsApp.
Hal tersebut kemudian menjadi alasan para penikmat sastra tidak lagi harus
berkutat dengan buku jika ingin membaca karya sastra. Kehadiran quotes atau
fiksimini telah berhasil mempermudah jangkauan pembaca karya sastra.
Beberapa waktu belakangan, Sastra Indonesia juga tengah menjadi topik
perbincangan hangat. Hal ini dilatarbelakangi oleh boomingnya film Dilan yang
diadopsi dari novel bestseller Pidi Baiq. Fenomena film Dilan telah membuka
pintu baru bagi orang-orang untuk mengenal sastra. Orang-orang mendadak
demam sastra, mendadak puitis. Dinding-dinding media sosial diramaikan oleh
kutipan-kutipan dialog dalam novel Dilan, meski mungkin itu hanya dikutip dari
obrolan dalam film Dilan, bukan dari novel karya Pidi Baiq tersebut. Belum lepas
dari Euforia Dilan-Milea, Hanung Bramantyo kembali menggegerkan dunia
perfilman dengan mengangkat novel Bumi Manusia, sebuah karya fenomenal
yang ditulis oleh sastrawan beken Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Lewat
karakter Dilan-Milea dan Minke-Annelis, Sastra Indonesia telah berhasil naik
pangkat di mata masyarakat Indonesia. Meski mahasiswa-mahasiswa sastra belum
bisa dilepaskan dari jerat pertanyaan, “Mau jadi apa nanti?”, tetapi setidaknya
sastra indonesia saat ini sudah cukup lepas dari keterasingannya.
Fenomena orang-orang mendadak menjadi puitis sebenarnya memiliki
potensi besar untuk menimbulkan masalah baru dalam Sastra Indonesia. Sebab
penyair-penyair mendadak itu bukan tidak mungkin tidak paham tentang apa dan
bagaimana sebenarnya puisi itu, dan bagaimana sesungguhnya tulisan sehingga
layak disebut sebagai puisi. Seperti yang belakangan menjadi kontroversi besar di
kalangan masyarakat adalah puisi yang ditulis dan dibacakan oleh Sukmawati
putri presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Terlepas dari apa isinya, ini
menjadi tantangan besar bagi para sastrawan atau kritikus sastra dalam mengubah
pandangan masyarakat terhadap karya sastra itu sendiri. Kasus ini, selain menodai
Sastra Indonesia, juga sekaligus membawa keuntungan sebab Sastra Indonesia
kembali menjadi perhatian dan menjadi perbincangan serius di kalangan
pemerhati sastra yang lebih sering memilih diam dan bersifat pasif.
Seiring berkembangnya zaman, Sastra Indonesia terus mengevaluasi diri
dan terus memunculkan hal-hal baru agar tetap dapat berterima di masyarakat.
Sastra akan tetap hidup selama kehidupan ini belum berakhir, sebab bagaimana
pun sastra adalah cerminan zaman. Manusia ada, maka sastra dilahirkan. Di era ini
jika Sastra Indonesia dikenal dengan fiksimini dan karya sastra populernya, di
mana tujuan dan fungsinya lebih untuk menjadi sebuah media hiburan, di masa
depan tidak menutup kemungkinan jika Sastra Indonesia akan menduduki sebuah
posisi penting yang jika ia tidak ada, kehidupan manusia akan mengalami
ketimpangan. Saat ini ilmu kedokteran dan ilmu teknik masih menjadi dewa di
mata masyarakat sebab ia dibutuhkan di mana-mana.
Di masa depan, bisa jadi Sastra Indonesia akan menggeser posisi tersebut,
ketika semua orang sudah mengandalkan teknologi canggih untuk mengontrol
kehidupannya dan mulai kaku terhadap hal-hal yang bersifat alamiah, maka
manusia akan merasa kehilangan sesuatu di dalam dirinya, kehilangan ketenangan
dan merasa terus diawasi, orang-orang mulai kehilangan privasi dan tidak ada
yang bisa disembunyikan sebab segalanya bersifat publikasi, ilmu kedokteran atau
ilmu teknik tidak akan mampu mengatasi ini. Orang-orang butuh lari ke Fakultas
llmu Budaya dan Fakultas Sastra untuk bertanya apa sebenarnya yang telah dicuri
dalam dirinya. Kelak, Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra akan sama
pentingnya dengan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknik, sebab setiap orang
butuh kembali dan menemukan sesuatu di dalam dirinya yang telah direnggut
peradaban yang kita sebut kemajuan tetapi justru menjauhkan kita dari realita
kehidupan. Orang-orang akan bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi, maka ia
butuh membaca karya sastra sebab sebagaimana yang telah dituliskan bahwa
karya sastra adalah cerminan zaman. Tugasnya menghibur dan mendidik, serta
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditemukan di rumah sakit mana pun.

Anda mungkin juga menyukai