Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah yang besar. Sekitar 70% luas negara
Indonesia merupakan laut yaitu seluas 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai kedua
terpanjang di dunia setelah Rusia yaitu sepanjang 95.181 km. Melihat kondisi geografis tersebut,
lautan Indonesia memiliki sumber daya yang sangat besar untuk dimanfaatkan. Sumber daya
tersebut dapat berupa kelimpahan alam seperti ikan, biota laut, maupun minyak dan gas. (Munaf
dan retno,2015).

Biota laut adalah berbagai macam tumbuhan dan hewan yang ada di laut, tidak heran jika
banyak jenis biota laut ditemukan di Indonesia. Salah satu pulau yang memiliki kelimpahan
alam yaitu Pulau Tabuhan yang terletak 20 km dari kota Banyuwangi, tepatnya secara
administrasi berada di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo. Luas Pulau Tabuhan kira-kira 5
hektare, pemandangan kebun dan lautnya sangat mengagumkan. Batu karang menjadi rumah dari
ribuan ikan, kerang, bunga karang, udang karang, dan tumbuhan laut sangat beragam. Butiran
pasir sangat putih dan desiran ombak yang tenang membuat pulau ini serasa berada di surga.
Satu-satunya sarana transportasi menuju pulau Tabuhan adalah perahu nelayan, dapat ditempuh
dalam waktu 25-30 menit dari pantai Kampe Desa Bangsring Kecamatan Wongsorejo
(Setiyawan,2017).

Ekosistem terumbu terumbu karang dewasa ini mengalami kemunduran dan ancaman
serius yang terjadi secara alami maupun akibat aktifitas manusia . Aktifitas manusia yang sering
merusak terumbu karang antara lain; pengeboman, penurunan jangkar kapal di sembarang
tempat, siltasi dan sedimentasi, serta faktor alami seperti kenaikan suhu secara drastis dan
predasi oleh biota-biota laut lainnya. Keanekaragaman makro invertebrata laut Indonesia
diperkirakan mencapai 1.800 spesies Jumlah filum ekhinodermata yang ada di Indonesia
diperkirakan berjumlah sekitar 745 spesies, krustasea 1.512 spesies, sponge 830 spesies, bivalvia
1.000 spesies, dan gastropoda 1.500 spesies ( Bahri dkk,2015)

1
1.2 Tujuan

Mengetahui keanekaragaman biodifersitas biologi laut di pantai tabuhan

1.3 Manfaat

Mahasiswa mampu mengetahui keanekaragaman biota laut di pulau Tabuhan sehingga


mampu mengidentifikasi karakteristiknya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makrozoobenthos

Makrozoobentos memiliki peran yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar
perairan. Makrozoobentos merupakan salah satu biota dalam ekosistem perairan sehubungan
dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring makanan. Selain itu tingkat
keanekaragaman makrozoobenthos di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai
indikator pencemaran karena hewan ini hidup menetap (sesile) dan daya adaptasinya
bervariasi terhadap kondisi lingkungan.

Makrozoobentos dapat hidup dan ditemukan pada berbagai jenis substrat, sedimen
maupun berdasarkan bentuk sedimentasi khususnya pada sedimen bar di suatu wilayah
intertidal. Daerah ini khususnya didominasi oleh substrat bioklastik (berupa pecahan atau
hancuran karang dan biota laut bercangkang dengan komunitas karang, alga dan berbagai
jenis yang hidup bersama dengan karang). Kecenderungan inilah, yang memungkinkan
adanya pengaruh terhadap distribusi makrozoobentos (Purba dkk, 2015).

2.2 Parameter kualitas air

2.2.1 Parameter fisika

a. Suhu

Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan
organisme di perairan. Suhu merupakan salah satu faktor eksternal yang paling mudah untuk
diteliti dan ditentukan. Aktivitas metabolisme serta penyebaran organisme air banyak
dipengaruhi oleh suhu air (Hamuna dkk, 2018). Suhu juga sangat berpengaruh terhadap
kehidupan dan pertumbuhan biota air, suhu pada badan air dipengaruhi oleh musim, lintang,
waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman air. Kenaikan
suhu dapat menyebabkan stratifikasi atau pelapisan air, stratifikasi air ini dapat berpengaruh

3
terhadap pengadukan air dan diperlukan dalam rangka penyebaran oksigen sehingga dengan
adanya pelapisan air tersebut di lapisan dasar tidak menjadi anaerob. Perubahan suhu
permukaan dapat berpengaruh terhadap proses fisik, kimia dan biologi di perairan tersebut
(Kusumaningtyas et al., 2014).

b. Kecerahan

Kecerahan merupakan tingkat transparansi perairan yang dapat diamati secara


visual menggunakan secchi disk. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan kita
dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi
dalam air, lapisan-lapisan mana yang tidak keruh, dan yang paling keruh. Perairan
yang memiliki nilai kecerahan rendah pada waktu cuaca yang normal dapat
memberikan suatu petunjuk atau indikasi banyaknya partikel-partikel tersuspensi
dalam perairan tersebut (Hamuna dkk, 2018).

2.2.2 Parameter Kimia

a. pH

Derajat keasaman (pH) merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion - ion
hidrogen yang terlepas dalam suatu cairan dan merupakan indikator baik buruknya
suatu perairan. pH suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup
penting dalam memantau kestabilan perairan (Hamuna, 2018). Variasi nilai pH perairan
sangat mempengaruhi biota di suatu perairan. Selain itu, tingginya nilai pH sangat
menentukan dominasi fitoplankton yang mempengaruhi tingkat produktivitas primer
suatu perairan dimana keberadaan fitoplankton didukung oleh ketersediaanya nutrien di
perairan laut (Megawati et al., 2014).

b. Salinitas

4
Salinitas adalah konsentrasi seluruh larutan garam yang diperoleh dalam air laut
dimana salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi salinitas
maka akan semakin besar pula tekanan osmotiknya (Widiadmoko, 2013). Perbedaan
salinitas perairan dapat terjadi karena adanya perbedaan penguapan dan presipitasi
(Hamuna, 2018).

c. DO (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah total jumlah oksigen yang ada
(terlarut) di air. DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses
metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi
bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Umumnya oksigen dijumpai
pada lapisan permukaan karena oksigen dari udara di dekatnya dapat secara langsung
larut berdifusi ke dalam air laut (Hamuna, 2018). Kebutuhan organisme terhadap
oksigen terlarut relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya
(Gemilang et al., 2017).

d. Nitrat

Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan


perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan. Toksisitas nitrat
secara tidak langsung di perairan adalah karena nitrat dapat membantu pertumbuhan
alga secara berlebihan yang dikenal dengan istilah “alga bloom” yang dapat
mengakibatkan kadar oksigen terlarut dalam air berkurang, sehingga mengganggu
ekosistem di perairan (Juliasih dkk, 2017).

Nitrat (NO3) dan nitrit (NO2) adalah ion-ion anorganik alami, yang merupakan
bagian dari siklus nitrogen. Aktifitas mikroba di tanah atau air menguraikan sampah
yang mengandung nitrogen organik pertama-pertama menjadi ammonia, kemudian
dioksidasikan menjadi nitrit dan nitrat. nitrat adalah senyawa yang paling sering
ditemukan di dalam air bawah tanah maupun air yang terdapat di permukaan (Emilia,
2019).

e. Nitrit

5
Nitrit merupakan bentuk nitrogen yang hanya sebagian teroksidasi. Nitrit tidak
dapat bertahan lama dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amoniak
dan nitrat. Nitrit tidak tetap dan dapat berubah menjadi amoniak atau dioksidasi menjadi
nitrat (Emilia, 2019). Diperairan alami, nitrit umumnya ditemukan dalam jumlah yang
sangat sedikit karena sifatnya yang tidak stabil akibat keberadaan oksigen. Sebagaimana
kita ketahui bahwa nitrit umumnya merupakan bentuk transisi antara amoniak dan nitrat
dan segera berubah menjadi bentuk yang lebih stabil yakni nitrat. Meskipun demikian
nitrit merupakan salah satu parameter kunci dalam penentuan kualitas air karena bersifat
racun ketika bereaksi dengan hemoglobin dalam darah yang menyebabkan darah tidak
dapat mengangkut oksigen (Putri dkk, 2019).

2.3 Lamun

Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup terendam dalam


kolom air dan berkembang dengan baik di perairan laut dangkal dan estuari. Tumbuhan
lamun terdiri dari daun dan seludang, batang menjalar yang biasanya disebut rimpang
(rhizome), dan akar yang tumbuh pada bagian rimpang. Ekosistem lamun umumnya berada
di daerah pesisir pantai dengan kedalaman kurang dari 5 meter (m) saat pasang. Namun,
beberapa jenis lamun dapat tumbuh lebih dari kedalaman 5 m sampai kedalaman 90 m
selama kondisi lingkungannya menunjang. Di seluruh dunia terdapat sekitar 50 jenis lamun,
dimana 13 jenis ditemukan di Indonesia (Hartini dan Lestarini, 2019).

Menurut Nybakken (1992) dalam Hartini dan Lestarini (2019) fungsi ekologis
padang lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi
organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya
yang dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut,
(5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta
sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai
dengan cara meredam arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.
Sedangkan fungsi ekonomisnya antara lain sebagai produsen ikan dan tujuan wisata.
Pertumbuhan dan kepadatan lamun sangat dipengaruhi oleh pola pasang surut, turbiditas,
salinitas dan temperatur perairan. Kegiatan manusia di wilayah pesisir seperti perikanan,

6
pembangunan perumahan, pelabuhan dan rekreasi, baik langsung maupun tidak langsung
juga dapat mempengaruhi eksistensi lamun (Tangke, 2010).

7
BAB III
METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum lapang Biologi laut dilaksanakan pada Hari Kamis, Tanggal 7 November
2019. Praktikum ini dilakukan pengukuran di Pulau Tabuhan, Wongsorejo, Banyuwangi.

3.2 Sumber Data


Data yang kami peroleh berasal dari :
3.2.1 Uji Parameter Kualitas Air
Metode praktikum yang digunakan adalah pengamatan langsung parameter fisika
seperti mengukur suhu, kecepatan arus, kedalaman, kecerahan, dan debit serta parameter
kimia seperti DO, pH, nitrat, Nitrit, fosfat, dan Amonia.
3.2.2 Metode Transek
Berdasarkan praktikum ini, metode yang digunakan untuk mengamati biota lau
adalah dengan metode transek, yaitu dengan mengukur sejauh 50 meter dengan jarak tiap
sub stasiun 50 m. Alat transek yang digunakan berbentuk persegi seluas 1 m2.
3.2.2 Studi Pustaka
Studi pustaka yang dilakukan adalah untuk melengkapi data-data hasil Uji
Parameter Kualitas Air. Studi pustaka ini dilakukan melalui jurnal-jurnal penelitian,
buku-buku, dan internet.

3.3 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik deskriptif
kualitatif yaitu menganalisis dengan mengulas data berdasarkan teori atau hukum tanpa
menggunakan hitungan angka-angka dari data-data kualitatif yang telah kami peroleh
sehingga mampu mencapai titik kesimpulan.

3.4 Prosedur Pengamatan


3.4.1 Parameter Fisika

8
A. Suhu
Pengukuran suhu perairan dengan  menggunakan thermometer untuk
mengetahui kondisi suhu perairan,  thermometer dimasukkan kedalam air sekitar 1-3
menit, setelah diketahui hasilnya kemudian mencatat hasil pengukuran suhu yang telah
didapatkan tanpa mengangkat thermometer dari perairan.
B. Kecerahan
Pengukuran Kecerahan dengan menggunakan secchi disk dengan cara
memasukkan secci disk kedalam perairan sampai pada titik hilang (tidak tampak)
kemudian diangkat secara perlahan sampai ditemukan titik tampak dan mengukur
jarak antara permukaan air dan titik tampak Pengukuran kecerahan ini dilakukan di 5
stasiun yang berbeda di lokasi Pantai Kampe, Wongsorejo, Banyuwangi.

3.4.2 Parameter Kimia


Pengukuran parameter kimia diawali dengan mengambil sampel menggunakan
botol sampel yang telah di sediakan kemudian mengambil sampel air lalu mengukur pH,
DO, Nitrat, Nitrit, Fosfat, dan amonia.
A. pH
Pengukuran pH dengan menggunakan kertas pH dengan mencelupkan kertas pH pada
sampel air.

B. DO (Dissolved Oxygen)
Menggunakan reagen DO dengan cara.
1. Mengocok botol reagen/kimia sebelum pemakaian.
2. Membersihkan tabung pengukur beberapa kali dengan air bersih. Kemudian
memasukkan sampel air ke dalam tabung pengukur hingga mencapai tanda 15 ml.
3. Tambahkan 5 tetes reagen 1 dan goyang sampai rata.
4. Tambahkan 5 tetes reagen 2 dan goyang sampai rata.
5. Tambahkan 5 tetes reagen 3 dan goyang sampai rata.
6. Letakkan tabung di atas bagan warna, bandingkan warna nya dari posisi atas melihat
ke bawah.

9
C. Nitrat (NO3)
Menggunakan reagen Nitrat dengan cara.
1. Mengocok botol reagen/kimia sebelum pemakaian.
2. Membersihkan tabung pengukur beberapa kali dengan air bersih. Kemudian isi air
dari akuarium ke dalam tabung pengukur hingga mencapai tanda 5 ml.
3. Tambahkan 6 tetes reagen 1 dan goyang sampai rata.
4. Tambahkan 6 tetes reagen 2 dan goyang sampai rata.
5. Tambahkan 6 tetes reagen 3 dan goyang sampai rata.
6. Bandingkan warna setelah 5 menit.
7. Letakkan tabung di atas bagan warna, bandingkan warna nya dari posisi atas melihat
ke bawah.

D. Nitrit (NO2)
Menggunakan reagen nitrit dengan cara.
1. Mengocok botol reagen/kimia sebelum pemakaian.
2. Membersihkan tabung pengukur beberapa kali dengan air bersih. Kemudian isi air
dari akuarium ke dalam tabung hingga mencapai tanda 5 ml.
3. Tambahkan 5 tetes reagen no.1 dan 5 tetes reagen no.2 ke dalamnya.
4. Tutup botol tabung dan kocokkan hingga warna stabil.
5. Setelah 5 menit, Letakkan tabung di atas bagan warna, bandingkan warna nya dari
posisi atas melihat ke bawah.
E. Fosfat (PO4)
Menggunakan reagen Amoniak dengan cara.
1. Mengocok botol reagen/kimia sebelum pemakaian.
2. Membersihkan tabung pengukur beberapa kali dengan air bersih. Kemudian isi air
dari akuarium ke dalam tabung pengukur hingga mencapai tanda 5 ml.
3. Tambahkan 3 tetes reagen 1 dan goyang sampai rata.
4. Tambahkan 3 tetes reagen 2 dan goyang sampai rata.
5. Tambahkan 3 tetes reagen 3 dan goyang sampai rata.
6. Bandingkan warna setelah 30 menit.

10
7. Letakkan tabung di atas bagan warna, bandingkan warna nya dari posisi atas melihat
ke bawah.
F. Amonia (NH3)
Menggunakan reagen Amoniak dengan cara.
1. Mengocok botol reagen/kimia sebelum pemakaian.
2. Membersihkan tabung pengukur beberapa kali dengan air bersih. Kemudian isi air
dari akuarium ke dalam tabung pengukur hingga mencapai tanda 5 ml.
3. Tambahkan 6 tetes reagen 1 dan goyang sampai rata.
4. Tambahkan 6 tetes reagen 2 dan goyang sampai rata.
5. Tambahkan 6 tetes reagen 3 dan goyang sampai rata.
6. Membandingkan warna setelah 5 menit.
7. Letakkan tabung di atas bagan warna, bandingkan warna nya dari posisi atas melihat
ke bawah.
3.4.3 Parameter biologi

Pengukuran parameter biologi yaitu dengan mengidentifikasi keanekaragaman biota laut


di pulau tabuhan dengan cara :

A. Metode Transek
1. mempersiapkan 4 pipa paralon yang masing-masing ukuran panjang pipa paralon 1
meter
2. Menyusun 4pipa paralon menjadi berbentuk persegi yang menyelimuti suatu wilayah
3. Mengidentifikasi biota laut yang ada didalam transek
4. Membawa sampel yang di dapat untuk di dokumentasi dan di identifikasi
5. Mencatat hasil dari metode transek

11
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tabel Hasil

4.1.1 Tabel Keanekaragaman Spesies

 Kelompok 1

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V


(10 m) (20 m) (30 m) (40 m) (50 m)
Spesies Holothuria Holothuria Holothuria Holothuria Holothuria
(Jumlah) sp. (1) sp. (1) sp. (1) sp. (1) sp. (2)

Thalassia Diadema sp. Diadema sp. Diadema sp.


hemprichi (1) (1) (1)
(276)
Thalassia Holothuria
hemprichi scabra(1).
(45)

 Kelompok 2

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V


(10 m) (20 m) (30 m) (40 m) (50 m)
Spesies Thalassia Thalassia Thalassia Thalassia Syringodium
(Jumlah) hemprichi hemprichi hemprichi hemprichi isoetikolium
40 70 38 40 115
Syringodiu Syringodiu Syringodiu Syringodiu Halophila
m m m m ovalis
isoetikolium isoetikolium isoetikolium isoetikolium 30
235 20 22 150
Teripang Teripang Bulu babi Halophila Halophila

12
1 1 1 ovalis 19 tricostata 19

 Kelompok 3

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V


(10 m) (20 m) (30 m) (40 m) (50 m)
Spesies Lamun Lamun Lamun Lamun Lamun
(Jumlah) Thallasia Thallasia Thallasia Thallasia Thallasia
hemprichii (1) hemprichii (1) hemprichii (1) hemprichii (1) hemprichii (1)
Teripang (1) Teripang (3) Timun Laut (1) Bulu Babi (1) Bulu Babi (3)

 Kelompok 4

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V


(10 m) (20 m) (30 m) (40 m) (50 m)
Spesies Tidak Cymadecea Cymadecea Cymadecea Linckia
(Jumlah) ditemukan ratondata ratondata ratondata 31 laevigata 1
6 7
Luria lurida 2 Cymadecea
ratondata
6

 Kelompok 5

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V


(10 m) (20 m) (30 m) (40 m) (50 m)
Spesies -Thalassia -Thalassia -Halophila -Halophila -Cymodecea
(Jumlah) hemprichii 47 hemprichii 70 minor minor rotunda
23 30 21
- Asterias sp.
1

- Holothuria

13
fuscocinerea
1

 Kelompok 6

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V


(10 m) (20 m) (30 m) (40 m) (50 m)
Spesies Cymodocea Cymodocea Cymodocea Cymodocea Cymodocea
(Jumlah) rotundata 23 rotundata rotundata 15 rotundata rotundata
7 Cymodocea 9 15
Cymodocea serrulata Cymodocea Cymodocea
serrulata 3 serrulata serrulata
9 18 7
Protoreaster Actinopyga - Actinopyga Diadema
nodosus echinites echinites setosum
1 2 3 4
Protoreaster
nodosus
1

 Kelompok 7

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V


(10 m) (20 m) (30 m) (40 m) (50 m)
Spesies Lamun Lamun Lamun Lamun
(Jumlah) Halodule Halodule Halodule Halodule
uninevis uninevis uninevis uninevis
21 11 9 23

Holoturia Lamun Lamun


impatiens Cymodocea Cymodocea
1 rotundata 14 rotundata 14

14
Opiotrix sp. 3 Opiotrix sp. 4

Protoreaster Diadema sp.


nodusus 9

 Kelompok 8

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V


(10 m) (20 m) (30 m) (40 m) (50 m)
Spesies - - Thalassia Thalassia Thalassia
(Jumlah) hemprichii 52 hemprichii 39 hemprichii 23
- - Linckia Thelenota Thelenota
laevigata ananas ananas 1
1 1
- - - Holothuria -
atra
1

4.1.2 Tabel Parameter Kualitas Air

 Kelompok 1

Stasiu Jarak Suh Keceraha P Salinita PO NH DO NO NO3


n antar u n h s 4 3 (O2 2

stasiu )
n
I 10m 30oc 100% 8 36 0.1 0.2 4.0 0.3 12.5
5
o
II 10m 31 c 100% 8 35 0.1 0.2 4.0 0.3 12.5
5
III 10m 30 oc 100% 8 34 0.1 0.2 6.0 0.3 12.5
5
IV 10m 30 oc 100% 8 35 0.1 0.2 4.0 0.3 12.5

15
5
o
V 10m 30 c 100% 8 35 0.1 0.2 4.0 0.3 12.5
5

 Kelompok 2

Stasiu Jarak Suh Keceraha p Salinita PO NH DO NO NO


n antar u n H s 4 3 (O2 2 3

stasiu )
n
I 10 m 27 100% 8 37 0,1 0 4,0 0,3 12,
5
II 10 m 27 100% 8 36 0,1 0 4,0 0,3 12,
5
III 10 m 27 100% 8 37 0,1 0 4,0 0,3 12,
5
IV 10 m 27 100% 8 37 0,1 0,2 4,0 0,3 12,
5 5
V 10 m 25 100% 8 37 0,1 0,2 4,0 0,3 12,
5 5

 Kelompok 3

Stasiu Jarak Suh Keceraha p Salinita PO NH DO NO NO


n antar u n H s 4 3 (O2 2 3

stasiu )
n
I 10 m 30 100 % 8 39 ppt 0,1 0 4 0 12,
mg/ 5
l mg/
l
II 20 m 31 100 % 8 35 ppt 0,2 0 4 0 12,
5 mg/ 5
l mg/

16
l
III 30 m 30 100 % 8 35 ppt 0,2 0 4 0 12,
5 mg/ 5
l mg/
l
IV 40 m 30 100 % 8 31 ppt 0,1 0 4 0 12,
mg/ 5
l mg/
l
V 50 m 29 100 % 8 35 ppt 0,1 0 4 0 12,
mg/ 5
l mg/
l

 Kelompok 4

Stasiu Jarak Suh Keceraha p Salinita PO NH DO NO2 NO


n antar u n H s 4 3 (O2 3

stasiu )
n
I 10 31 0 cm 7 35 0,1 0 0,5 <0,1 12,5
3
II 20 30 0 cm 7 35 0,1 0 0,5 <0,1 12,5
3
III 30 30 0 cm 7 35 0,1 0 0,5 <0,1 12,5
3
IV 40 30 0 cm 7 35 0,1 0 0,5 <0,1 12,5
3
V 50 29 0 cm 7 36 0,1 0 0,5 <0,1 12,5
3

 Kelompok 5

Stasiu Jarak Suh Keceraha p Salinita PO4 NH DO NO NO

17
n antar u n H s 3 (O2 2 3

stasiu )
n
I 10 30oC 100% 7 30 0,1mg/ 0 4 0,3 12,
l mg/ mg/ mg/ 5
l l l mg/
l
II 10 30oC 100% 7 30 0,1 0 4 0,3 12,
mg/l mg/ mg/ mg/ 5
l l l mg/
l
o
III 10 30 C 100% 7 30 0,1 0 4 0,3 12,
mg/l mg/ mg/ mg/ 5
l l l mg/
l
o
IV 10 30 C 100% 8 30 0 mg/l 0 4 0,3 12,
mg/ mg/ mg/ 5
l l l mg/
l
o
V 10 30 C 100% 7 30 0 mg/l 0 4 0,3 0
mg/ mg/ mg/ mg/
l l l l

 Kelompok 6

Stasiu Jarak Suh Kecerahan pH Salinita PO4 NH3 DO NO2 NO3


n antar u s (O2)
stasiu
n
I 10 m 29˚C 100% 7 35 0,1 0 4,0 < 12,5
Mg/l 0,3
II 20m 29˚C 100% 8 35 0,1 0 4,0 < 12,5
Mg/ 0,3
III 30m 29˚C 100% 8 35 0,1 0 4,0 < 12,5

18
Mg/ 0,3
IV 40m 29˚C 100% 8 35 0,25 0 4,0 < 12,5
Mg/ 0,3
V 50m 29˚C 100% 8 35 0,1 0 4,0 < 12,5
Mg/ 0,3

 Kelompok 7

Stasiu Jarak Suh Keceraha p Salinita PO NH DO NO NO


n antar u n H s 4 3 (O2 2 3

stasiu )
n
I 10m 30°C 100% 8 30 2,0 0 4,0 0,3 12,
5
II 10m 30°C 100% 8 31 2,0 0 4,0 0,3 12,
5
III 10m 31°C 100% 8 30 2,0 0 4,0 0,3 12,
5
IV 10m 30°C 100% 8 34 2,0 0 4,0 0,3 12,
5
V 10m 31°C 100% 8 34 2,0 0 4,0 0,3 12,
5

 Kelompok 8

Stasiu Jarak Suh Keceraha p Salinita PO4 NH DO NO NO


n antar u n H s 3 (O2 2 3

stasiu )
n
I 10 m 29 100 8 30 0,25 0 4,0 <0, 12,5
mg/ mg/ 3 mg/
l l mg/ l
l
II 10 m 29 100 8 31 0,25 0 4,0 <0, 12,5
mg/ mg/ 3 mg/

19
l l mg/ l
l
III 10 m 29 100 8 35 0,25 0 4,0 <0, 12,5
mg/ mg/ 3 mg/
l l mg/ l
l
IV 10 m 29 100 8 36 0,25 0 6,0 <0, 12,5
mg/ mg/ 3 mg/
l l mg/ l
l
V 10 m 29 100 8 36 0,25 0 6,0 <0, 12,5
mg/ mg/ 3 mg/
l l mg/ l
l

4.1.3 Tabel Indeks Penting Fauna

 Kelompok 1

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Holothuri 1 0.25 1 0.12
Dominansi (D) a sp.
Diadema 0.25 0.12
sp.
Holothuri 0.12
a scabra
Kelimpahan Holothuri 100% 50% 100% 33.3% 66.6%
Relatif (Kr) a sp.
Diadema - 50% - 33.3% -
sp.
Indeks Holothuri 0.3 0.07 0.3 0.77 0.34
Keanekaragaman a sp.

20
(H’) Diadema - 0.07 - 0.77 0.77
sp.
Indeks Holothuri 0.99 0.23 0.99 0.98 0.56
Keseragaman (E) a sp.
Diadema - 0.23 - 0.98 0.98
sp.
 Kelompok 2

 Kelompok 3

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Dominansi Teripang 0,25 0,56
(D)
Timun
Laut 0,25

21
Bulu
Babi 0.25 0,56
Kelimpahan Teripang 50% 75%
Relatif (Kr)
Timun 50%
Laut

Bulu
Babi 50% 75%
Indeks Teripang 0,07 0,16
Keanekaragaman
(H’) Timun
Laut 0,07

Bulu
Babi 0,07 0,16
Indeks Teripang 1,16 0,26
Keseragaman (E)
Timun 1,16
Laut

Bulu
Babi 1,16 0,26

 Kelompok 4

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Dominansi Luria 0 0 0,082 0 0
(D) lurida
Cymadece 0 1 0,51 1 0,73
a

22
ratondata
Linckia 0 0 0 0 0,02
laevigata
Kelimpahan 0 0 100 0 100
Relatif (Kr)
makrobenthos
Kelimpahan 0 100% 100 100 100
Relatif (Kr)
lamun
Indeks Luria 0 0 0,064 0 0
Keanekaragaman lurida
(H’)
Cymadece 0 -0,30 0,004 -0.301 -0,118
a
ratondata
Linckia 0 0 0 0 1,4
laevigata

Indeks 1,079 1 1,13 1 2,35


Keseragaman (E)

 Kelompok 5

Indeks Penting Spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks - Asterias 0,0002
Dominansi (D) sp. (1) 0

-
Holothuria
0,0002
fuscocinere
0
a (1)
Kelimpahan - Asterias 0,014%
Relatif (Kr) sp. (1)

-
0,014%
Holothuria

23
fuscocinere
a (1)
Indeks - Asterias 0,0000
Keanekaragama sp. (1) 6
n (H’)
-
Holothuria
0,0000
fuscocinere
6
a (1)
Indeks - Asterias 0,0000
Keseragaman (E) sp. (1) 3

-
Holothuria
0,0000
fuscocinere
3
a (1)

 Kelompok 6

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Protoreaster nodosus 1 0,108 0 0 0
Dominansi (D)
Actinopyga echinites 0 0,435 0 1 0

Diadema setosum 0 0 0 0 1
Kelimpahan 1% 67% 0% 0% 0%
Relatif (Kr) Protoreaster nodosus
0% 67 0% 100% 0%
Actinopyga echinites
0% 0% 0% 0% 100
Diadema setosum
Indeks 0,3 0,13 0 0 0
Keanekaragama Protoreaster nodosus
n (H’)
0 0,13 0 0,3 0
Actinopyga echinites

24
0 0 0 0 0,3
Diadema setosum
Indeks Protoreaster nodosus 0,99 0,86 0 0 0
Keseragaman (E) Actinopyga echinites 0 0,86 0 0 2,98

Diadema setosum 0 0 0 0 3,98

 Kelompok 7

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Holoturia 1
Dominansi (D) impatiens

Opiotrix sp. 0,562 0,023

Diadema 0,053
sp.

Protoreaste 0,625
r nodusus
Kelimpahan Holoturia 100%
Relatif (Kr) impatiens

Opiotrix sp. 0,75% 31%

Diadema 69%
sp.
0,25%
Protoreaste
r nodusus
Indeks Holoturia 0,031
Keanekaragama impatiens

25
n (H’)
Opiotrix sp. 0,226 0,028

Diadema 0,143
sp.
0,075
Protoreaste
r nodusus
Indeks Holoturia 0 0,1
Keseragaman impatiens
(E)
Opiotrix sp. 0,29 0

Diadema 0,031
sp.
0,249
Protoreaste
r nodusus

 Kelompok 8

Indeks Penting Spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks 1. Linckia 0 0 1 0 0
Dominansi (D) laevigata
2. Thelenota 0 0 0 0,25 1
ananas
3. Holothuri 0 0 0 0,25 0
a atra
Kelimpahan 1. Linckia 0 0 100% 0 0
Relatif (Kr) laevigata

26
2. Thelenota 0 0 0 50% 100%
ananas
3. Holothuri 0 0 0 50% 0
a atra
Indeks 1. Linckia 0 0 0,3 0 0
Keanekaragaman laevigata
(H’) 2. Thelenota 0 0 0 0,07 0,3
ananas
3. Holothuri 0 0 0 0,07 0
a atra
Indeks 1. Linckia 0 0 1 0 0
Keseragaman (E) laevigata
2. Thelenota 0 0 0 0,23 1
ananas
3. Holothuri 0 0 0 0,23 0
a atra

4.1.4 Tabel Indeks Penting Flora

 Kelompok 1

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Thalassia 1 1 - - -
Dominansi (D) hemprich
i
Kelimpahan Thalassia 100% 100% - - -
Relatif (Kr) hemprich
i
Indeks Thalassia 0.3 0.3 - - -

27
Keanekaragaman hemprich
(H’) i
Indeks Thalassia 0.99 0.99 - - -
Keseragaman (E) hemprich
i

 Kelompok 2

Indeks Spesies Stasiun


Penting I II III IV V
Indeks Thalassia 0,021 0,592 0,286 0,037 0
Dominansi (D) hemprichi

Syringodiu 0,725 0,048 0,096 0,515 0,492


m
isoetikolium
0 0 0 0,0083 0,033
Halophila
ovalis
0 0 0 0 0,0134
Halophila
tricostata
Kelimpahan Thalassia 14,49% 76,92 53,52 19,14% 0
Relatif (Kr) hemprichi % %

Syringodiu 85,14% 71,77% 70,12%


m 21,97 30,98
isoetikolium % %
0 9,09% 18,29%
Halophila
ovalis 0 0
0 0 11,58%

28
Halophila
tricostata 0 0
Indeks Thalassia 0,195 0,183 0,075 0,0108 0
Keanekaragaman hemprichi
(H’)
Syringodiu 0,0063 0,015 0,027 0,147 0,147
m
isoetikolium
0 0 0 0,0024 0,0097
Halophila
ovalis
0 0 0 0 0,0039
Halophila
tricostata
Indeks Thalassia 0,25 0,235 0,096 0,188 0
Keseragaman (E) hemprichi

Syringodiu 0,008 0,019 0,034 0,0138 0,188


m
isoetikolium
0 0 0 0,03 0,0124
Halophila
ovalis
0 0 0 0 0,05
Halophila
tricostata

 Kelompok 3

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Dominansi Lamun 0,25 0,56 0,25 0,25 0,56
(D) Thallasia

29
hemprichi
i
Kelimpahan Lamun 50% 25% 50% 50% 25%
Relatif (Kr) Thallasia
hemprichi
i
Indeks Lamun 0,07 0,01 0,07 0,07 0,01
Keanekaragaman Thallasia
(H’) hemprichi
i
Indeks Lamun 1,16 0,01 1,16 1,16 0,01
Keseragaman (E) Thallasia
hemprichi
i

 Kelompok 4

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Dominansi Luria 0 0 0,082 0 0
(D) lurida
Cymadece 0 1 0,51 1 0,73
a
ratondata
Linckia 0 0 0 0 0,02
laevigata
Kelimpahan 0 0 100 0 100
Relatif (Kr)
makrobenthos
Kelimpahan 0 100% 100 100 100
Relatif (Kr)
lamun
Indeks Luria 0 0 0,064 0 0
Keanekaragaman lurida
(H’)
Cymadece 0 -0,30 0,004 -0.301 -0,118
a
ratondata
Linckia 0 0 0 0 1,4
laevigata

30
Indeks 1,079 1 1,13 1 2,35
Keseragaman (E)

 Kelompok 5

Indeks Penting Spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Thalassia 1 0,943
Dominansi (D) hemprichii

Halophila 1 1
minor

Cymodece
a rotunda 1
Kelimpahan Thalassia 100% 0,971%
Relatif (Kr) hemprichii

Halophila 100% 100%


minor

Cymodece 100%
a rotunda
Indeks Thalassia 0,30 0,28
Keanekaragama hemprichii
n (H’)
Halophila 0,30 0,30

31
minor

Cymodece 0,30
a rotunda
Indeks Thalassia 0,16 0,15
Keseragaman (E) hemprichii

Halophila 0,16 0,16


minor

Cymodece 0,16
a rotunda

 Kelompok 6

 Indeks spesies Stasiun


Penting I II III IV V
Indeks Cymodocea rotundata 1 0,184 0,688 0,688 0,168
Dominansi (D) Cymodocea serrulata 0 0,313 0,025 0,435 0,336
Kelimpahan Cymodocea rotundata 100% 43% 83% 33% 41%
Cymodocea serrulata 0% 56% 16% 67% 58%
Relatif (Kr)
Indeks Cymodocea rotundata 0,3 0,05 0,20 0,03 0,05
Cymodocea serrulata 0 0,09 0,24 0,13 0,1
Keanekaragama
n (H’)
Indeks Cymodocea rotundata 0,99 1,16 9,96 0,89 0,83
Cymodocea serrulata 0 2,69 0,06 0,70 2,32
Keseragaman (E)

 Kelompok 7

Indeks Penting spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Halodule 1 0,0176 0,017
Dominansi (D) uninevis

32
Cymodoce 0,227 0,026 1
a
rotundata
Kelimpahan Halodule 100% 44% 40%
Relatif (Kr) uninevis

Cymodoce 56% 60% 100%


a
rotundata
Indeks Halodule 0,301 0,56 0,045
Keanekaragama uninevis
n (H’)
Cymodoce 0,094 0,112 0,301
a
rotundata
Indeks Halodule 0,185 0,58 0,45 0,301
Keseragaman (E) uninevis

Cymodoce 0,094 0,112


a
rotundata

 Kelompok 8

Indeks Penting Spesies Stasiun


I II III IV V
Indeks Thalassia 0 0 1 1 1
Dominansi (D) hemprichi
i
Kelimpahan Thalassia 0 0 100% 100% 100%
Relatif (Kr) hemprichi
i
Indeks Thalassia 0 0 0,3 0,3 0,3

33
Keanekaragama hemprichi
n (H’) i
Indeks Thalassia 0 0 0,019 0,025 0,043
Keseragaman (E) hemprichi
i
D = (n1/N)2
= (3/4) 2
4.2 Perhitungan = 0,5625
Fauna (1 Protoreaster nodosus)
4.2 Hasil Perhitungan D = (n1/N)2
= (1/4) 2
4.2.1 Indeks Dominasi = 0,0625

D = (n1/N)2

Keterangan :
D = Indeks Dominasi
n1 = Jumlah individu pada jenis ke i Stasiun 3
N = Jumlah Individu seluruh jenis Flora (11 Halodule uninervis)
D = (n1/N)2
Stasiun 1 = (11/25) 2
Fauna (Tidak ditemukan) = 0,0176
D = (n1/N)2 Flora (14 Cymodocea rotundata)
= (0/0) 2 D = (n1/N)2
=0 = (14/25) 2
Flora (Tidak ditemukan ) = 0,227
D = (n1/N)2
= (0/0) 2 Stasiun 4
=0 Fauna (4 Ophiothrix sp.)
D = (n1/N)2
Stasiun 2 = (4/13) 2
Fauna ( 1 Holothuria impatients) = 0,023
D = (n1/N)2 Fauna (9 Deadema sp)
= (1/1) 2 D = (n1/N)2
=1 = (9/13) 2
Flora (21 Halodule uninervis) = 0,053
D = (n1/N)2
= (21/21) 2 Flora (9 Halodule uninervis)
=1 D = (n1/N)2
= (9/23) 2
Stasiun 3 = 0,017
Fauna (3 Ophiothrix sp.) Flora (14 Cymodocea rotundata)

34
D = (n1/N)2 Kr = (ni/N) x 100 %
= (14/23) 2 = (1/4) x 100 %
= 0,026 =0,0625 %

Stasiun 5 Flora (11 Halodule uninervis)


Fauna ( tidak ditemukan ) Kr = (ni/N) x 100 %
D = (n1/N)2 = (11/25) x 100 %
= (0/0) 2 = 44 %
=0
Flora (23 Cymodocea rotundata) Flora (14 Cymodocea rotundata)
D = (n1/N)2 Kr = (ni/N) x 100 %
= (23/23) 2 = (14/25) x 100 %
=1 = 56 %

4.2.2 Kelimpahan Relatif Stasiun 4


Fauna (4 Ophiothrix sp.)
Kr = (ni/N) x 100% Kr = (ni/N) x 100 %
Stasiun 1 = (4/13) x 100 %
Fauna (Tidak ditemukan ) = 31 %
Kr = (ni/N) x 100 % Fauna (9 Deadema sp)
= (0/0) x 100 % Kr = (ni/N) x 100 %
=0% = (9/13) x 100 %
Flora (Tidak ditemukan ) =69 %
Kr = (ni/N) x 100 %
= (0/0) x 100 %
=0 % Flora (9 Halodule uninervis)
Kr = (ni/N) x 100 %
Stasiun 2 = (9/23) x 100 %
Fauna (1 Holothuria impatients) = 40 %
Kr = (ni/N) x 100 % Flora (14 Cymodocea rotundata)
= (1/1) x 100 % Kr = (ni/N) x 100 %
=1% = (14/23) x 100 %
Flora (21 Halodule uninervis) = 60 %
Kr = (ni/N) x 100 %
Stasiun 5
= (21/21) x 100 %
=100 % Fauna (Tidak ditemukan )
Kr = (ni/N) x 100 %
Stasiun 3 = (0/0) x 100 %
Fauna (3 Ophiothrix sp.) =0%
Kr = (ni/N) x 100 % Flora (23 Cymodocea rotundata)
= (3/4) x 100 % Kr = (ni/N) x 100 %
= 0,5625 % = (23/23) x 100 %
Fauna (1 Protoreaster nodosus) =100 %

35
= 0,226
4.2.3 Indeks Keanekaragaman Fauna (1 Protoreaster nodosus)
hi
H’ = −∑ ( ¿ )log 2 x ¿ ¿
hi N N
H’ = −∑ ( ¿ )log2 x ¿ ¿
N N 1 1
= −∑ ( ¿ )log 2 x ¿
Keterangan : 4 4
= 0,025
hi = Jumlah individu pada jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis Flora (11 Halodule uninervis)
t = Jumlah jenis hi
H’ = −∑ ( ¿ )log 2 x ¿ ¿
N N
Stasiun 1 11 11
= −∑ ( ¿ ) log 2 x ¿
Fauna (Tidak ditemukan ) 25 25
hi = 0,58
H’ = −∑ ( ¿ )log2 x ¿ ¿
N N Flora (14 Cymodocea rotundata)
0 0 hi
= −∑ ( ¿ )log 2 x ¿ H’ = −∑ ( ¿ )log 2 x ¿ ¿
0 0 N N
=0 14 14
= −∑ ( ¿ ) log 2 x ¿
Flora (tidak ditemukan) 25 25
hi = 0,094
H’ = −∑ ( ¿ )log2 x ¿ ¿
N N Stasiun 4
0 0 Fauna (4 Ophiothrix sp.)
= −∑ ( ¿ )log 2 x ¿
0 0 hi
H’ = −∑ ( ¿ )log 2 x ¿ ¿
=0 N N
Stasiun 2 4 4
= −∑ ( ¿ )log 2 x ¿
Fauna ((1 Holothuria impatients) 13 13
hi = 0,028
H’ = −∑ ( ¿ )log2 x ¿ ¿
N N Fauna (9 Deadema sp)
1 1 hi
= −∑ ( ¿ ) log 2 x ¿ H’ = −∑ ( ¿ )log 2 x ¿ ¿
1 1 N N
= 0,031 9 9
= −∑ ( ¿ )log 2 x ¿
Flora ((21 Halodule uninervis) 13 13
hi = 0,143
H’ = −∑ ( ¿ )log2 x ¿ ¿
N N Flora (9 Halodule uninervis)
21 21 hi
= −∑ ( ¿ ) log2 x ¿ H’ = −∑ ( ¿ )log 2 x ¿ ¿
21 21 N N
= 0,301 9 9
= −∑ ( ¿ ) log 2 x ¿
Stasiun 3 23 23
Fauna (3 Ophiothrix sp) = 0,45
hi Flora (14 Cymodocea rotundata)
H’ = −∑ ( ¿ )log2 x ¿ ¿ hi
N N
H’ = −∑ ( ¿ )log 2 x ¿ ¿
3 3 N N
= −∑ ( ¿ )log 2 x ¿
4 4

36
14 14 0
= −∑ ( ¿ ) log 2 x ¿ =
23 23 log 2.0
= 0,112 0
=
Stasiun 5 log 0
Fauna (Tidak ditemukan ) =0
hi
H’ = −∑ ( ¿ )log2 x ¿ ¿
N N Stasiun 2
0 0 Fauna (1 Holothuria impatients)
= −∑ ( ¿ )log 2 x ¿
0 0 H'
E=
=0 H maks
Flora (23 Cymodocea rotundata) 0,03
=
hi log 2.t
H’ = −∑ ( ¿ )log2 x ¿ ¿
N N 0,03
=
23 23 log 2.1
= −∑ ( ¿ ) log2 x ¿
23 23 0,03
=
= 0.301 log 2
4. Indeks Keseragaman = 0,1
Flora (21 Halodule uninervis)
H'
E= H'
H maks E=
H maks
Keterangan : 0,01
=
log 2.t
E = Indeks Keseragaman 0,01
=
H’= Indeks Keanekaragaman log 2.21
H maks = log 2t 0,01
=
log 42
Stasiun 1 = 0,185
Fauna (Tidak ditemukan)
H' Stasiun 3
E=
H maks Fauna (3 Ophiothrix sp)
0 H'
= E=
log 2.0 H maks
0 0,226
= =
log 2.0 log 2.t
0 0,226
= =
log 0 log 2.3
=0 0,226
=
log6
Flora (Tidak ditemukan) = 0,290
H' Fauna (1 Protoreaster nodosus)
E= H'
H maks E=
0 H maks
=
log 2.0

37
0,075 H'
= E=
log 2.1 H maks
0,075 0,143
= =
log2 log 2.9
0,075 0,143
= =
log2 log 2.9
0,143
=0,249 =
log 18
=0,114
Flora (11 Halodule uninervis) Flora (9 Halodule uninervis)
H' H'
E= E=
H maks H maks
0,58 0,045
= =
log 2.t log 2.t
0,58 0,045
= =
log 2.11 log 2.9
0,58 0,045
= =
log 22 log 18
= 0,432 = 0,036
Flora (14 Cymodocea rotundata) Flora (14 Cymodocea rotundata)
H' H'
E= E=
H maks H maks
0,094 0,112
= =
log 2.t log 2.t
0,094 0,112
= =
log 2.14 log 2.14
0,094 0,112
= =
log 28 log 28
=0,065 =0,078

Stasiun 4 Stasiun 5
Fauna (4 Ophiothrix sp) Fauna (tidak ditemukan )
H' H'
E= E=
H maks H maks
0,028 0
= =
log 2.t log 2.t
0,028 0
= =
log 2.4 log 2.0
0,028 0
= =
log 8 log 0
=0 =0
Fauna (9 Deadema sp) Flora (23 Cymodocea rotundata)
H'
E=
H maks
38
0,301
=
log 2.t
0,301
=
log 2.23
0,301
=
log 46
= 0,181
5. kelimpahan relative
Fauna
Stasiun 1 = Tidak produktif
Stasiun 2 =Sangat produktif
Stasiun 3 = Kurang produktif
Stasiun 4 = Tidak produktif
Stasiun 5 = Sangat produktif

Flora
Stasiun 1 = Tidak produktif
Stasiun 2 =Sangat produktif
Stasiun 3 = Kurang produktif
Stasiun 4 = Tidak produktif
Stasiun 5 = Tidak produktif

39
4.3 Pembahasan
1. Suhu
Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan
organisme di perairan. Suhu merupakan salah satu faktor eksternal yang paling mudah
untuk diteliti dan ditentukan. Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari
dan gelombang arus. Aktivitas metabolisme serta penyebaran organisme air banyak
dipengaruhi oleh suhu air. (Hamuna, dkk., 2018). Pada umumnya suhu permukaan
umumnya berkisar antara 28℃-32℃. Kisaran suhu hasil pengukuran tersebut berada
dalam batas normal dan sesuai dengan kbutuhan untuk metabolisme biota laut dan
ekosistem pesisir laut (Hamuna, dkk., 2018). Suhu perairan mengalami penurunan dan
kenaikan dikarnakan suhu dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang jatuh
kepermukaan air. (Sambada, 2018).

2. O2
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah total jumlah oksigen yang ada
(terlarut) di air (Hamuna, dkk., 2018). DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk
pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk
oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Umumnya oksigen
dijumpai pada lapisan permukaan karena oksigen dari udara di dekatnya dapat secara
langsung larut berdifusi ke dalam air laut (Hamuna, dkk., 2018). Berdasarkan
pengamatan, kandungan O2 di perairan Pulau Tabuhan adalah 4 mg/l, hal tersebut adalah
konsentrasi O2 yang umum di perairan. Kandungan oksigen dalam perairan yang ideal
adalah 3-7 mg/l. (Kodim, dkk.m 2017). Kadar oksigen dalam perairan dipengaruhi oleh
meningkatnya bahan-bahan organik yang masuk kedalam perairan disamping faktor-
faktor lainnya diantaranya yaitu kenaikan suhu, salinitas, respirasi biota laut, adanya
lapisan diatas air, senyawa yang mudah teroksidasi dan tekanan atmosfir (Patty, 2018).

3. PO4

40
Pantai pulau Tabuhan memiliki kandungan fosfat 2,0 mg/l. Kadar fosfor dalam
bentuk fosfat untuk kepentingan perikanan tidak boleh lebih dari 1 mg/l Fosfor
merupakan suatu komponen penting sekaligus sering menimbulkan permasalahan
lingkungan dalam air (Achmad, 2004 dalam Agustiningsih, 2012). Di perairan laut, fosfat
berada dalam bentuk anorganik dan organik terlarut seta partikulat fosfat. Fosfat
merupakan zat hara yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan dan metabolisme
fitoplankton dan organisme laut lainnya dalam menentukan kesuburan perairan,
kondisinya tidak stabil karena mudah mengalami proses pengikisan, pelapukan dan
pengenceran. Kandungan fosfat pada perairan pantai semakin tinggi, karena menurut
Agustiningsih (2012) distribusi fosfat dari daerah lepas pantai ke daerah pantai
menunjukkan konsentrasi yang semakin tinggi menuju ke arah pantai. fosfor menjadi
faktor pembatas yang sangat penting di perairan produktif dan tidak produktif, fosfor
memainkan peranan penting dalam determinasi jumlah fitoplankton.

4. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi seluruh larutan garam yang diperoleh dalam air laut,
dimana salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi salinitas
maka akan semakin besar pula tekanan osmotiknya (Hamuna, dkk., 2018). Berdasarkan
pengamatan, salinitas di perairan Pulau Tabuhan berkisar antara 30-34 mg/l. Salinitas air
laut umumnya berkisar antara 30-37 ppt dan berubah-ubah berdasarkan waktu dan ruang.
Nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh suplay air tawar ke laut, curah hujan, nutrisi,
topografi, pasang surut dan evaporasi (Amirta, 2011).

5. NO3
Nitrat (NO3-N) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah
satu nutrient senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan.
Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersedian nutrient. Nitrifikasi
yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang
penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Berdasarkan baku

41
mutu kandungan nitrat di perairan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 51 tahun 2004, maka kandungan nitrat di perairan Pulau Tabuhan sebagian besar
telah melebihi baku mutu, dimana standar baku mutu konsentrasi nitrat untuk biota laut
adalah 0,008 mg/l. Konsentrasi nitrat pada perairan Pulau Tabuhan adalah 12,5 mg/l.
Kondisi ini sangat membahayakan biota laut, karena menurut Hamuna et al (2018) bahwa
konsentrasi nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya
eutrofikasi (pengayaan) perairan dan selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan
tumbuhan air secara pesat (blooming).

6. pH

Derajat keasaman (pH) merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion-ion


hidrogen yang terlepas dalam suatu cairan dan merupakan indikator baik buruknya suatu
perairan. pH suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting
dalam memantau kestabilan perairan (Hamuna, dkk., 2018). pH di perairan pantai Pulau
Tabuhan adalah 8. pH air laut relatif stabil biasanya berada dalam kisaran 7,5 – 8,4,
kecuali dekat pantai. Faktor yang mempengaruhi pH diantaranya aktivitas fotosintesa
biota laut, suhu, dan salinitas perairan (Hamuna, dkk., 2018). Rendahnya pH suatu
perairan disebabkan karena kandungan asam sulfat yang terkandung pada perairan cukup
tinggi. Sebaliknya untuk tingginya pH suatu perairan dapat disebabkan oleh tingginya
kapur yang masuk ke perairan tersebut

7. Kecerahan
Kecerahan merupakan tingkat transparansi perairan yang dapat diamati secara visual
menggunakan secchi disk (Hamuna, dkk., 2018). Fluktuasi kenaikan dan penurunan suhu
di sebabkan oleh intensitas cahaya matahari dan juga pada substrat yang ada di dasar
perairan. Kecerahan sangat ditentukan oleh adanya benda-benda halus yang tersuspensi,
jasad-jasad renik serta warna air yang antara lain di timbulkan oleh zat-zat kolonial yang
berasal dari daun-daun tumbuhan yang terurai secara alami dalam perairan (Rasjid,
2017). Berdasarkan pengamatan kecerahan di pulau Tabuhan adalah 100%, hal tersebut
dikarenakan merupakan zona fotik yang mana intensitas cahaya dapat masuk secara
penuh hingga ke dasar perairan (Hamuna et al, 2018).

42
8. NO2
Nitrit merupakan bentuk nitrogen yang teroksidasi. Nitrit biasanya tidak bertahan lama
dalam perairan dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amonia dan
nitrat (Diana, 2017). Nilai rata-rata pengamatan terhadap kandungan nitrit pada perairan
Pulau Tabuhan adalah sebesar 0,3 mg/l memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan
kandungan nitrit di perairan laut (0,054mg/l) (Diana,2017). Nilai tersebut jauh lebih
rendah apabila dibandingkan dengan nilai kandungan nitrat. Sebagaimana dijelaskan nitrit
biasa ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil
daripada nitrat, karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Senyawa nitrit juga
berasal dari hasil ekskresi fitoplankton, terutama pada saat timbulnya ledakan populasi
fitoplankton

Hasil pengamatan yang telah dilakukan dengan menghitung jumlah flora dan fauna
menggunakan metode transek diperoleh 6 jenis individu yang didapat dari stasiun 1 hingga
stasiun 5. 6 individu tersebut terdiri dari fauna berupa Holothuria impatients, Ophiothrix sp.,
Protoreaster nodosus dan Deadema sp., dan flora berupa lamun jenis Halodule uninervis dan
Cymodocea rotundata. Secara kuantitatif dari stasiun 1 hingga stasiun ke-5 diperoleh indeks
dominasi berkisar 0-1 indeks dominasi, kelimpahan relative yang didapat berkisar 0-100%,
indeks keanekaragaman yang didapat berkisar 0-0,45, indeks keseragaman berkisar 0-0,43 dan
kelimpahan relative yang diperoleh berbeda beda setiap stasiun. Menurut Yusron, 2016 Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai berbagai faktor, antara lain jumlah jenis atau jumlah individu
yang didapat, adanya beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah,
homogenitas substrat dan kondisi dua ekosistem penting di daerah pesisir (padang lamun dan
terumbu karang) sebagai habitat dari fauna perairan.
Lamun yang ditemukan dalam perhitungan metode transek adalah jenis Halodule
uninervis dan Cymodocea rotundata, di stasiun 1 tidak ditemukan jenis lamun, sedangkan di
stasiun 2 ditemukan jenis lamun Halodule uninervis, pada stasiun 3 dan 4 ditemukan dua jenis
lamun yaitu Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata dan pada stasiun 5 ditemukan

43
lamun Cymodocea rotundata Lamun memegang fungsi yang utama dalam daur berbagai zat
hara dan elemen- elemen langka di lingkungan laut. Sebagai contoh akar Zostera dapat
mengambil fosfat yang keluar dari daun yang membusuk yang terdapat pada celah-celah
sedimen. Zat hara tersebut secara potensial dapat digunakan oleh epifit apabila mereka berada
dalam medium yang miskin fosfat.
Cymodocea rotundata memiliki tepi daun halus atau licin, tidak bergerigi, tulang daun
sejajar, akar pada tiap nodusnya terdiri dari 2-3 helai, akar tidak bercabang, dan tidak
mempunyai rambut akar. Akar tumbuh pada bagian rhizoma yang menjalar mendatar dan
memanjang, batang berwarna coklat. Tumbuh-tumbuhan ini terdapat tepat di bawah air surut
rata-rata pada pasang surut purnama pada pantai pasir dan pantai lumpur(Wirawan, 2014)
Klasifikasi Cymodocea rotundata menurut Den Hartog (1970) dan Menez et al. (1983)
dalam Wirawan (2014) :
Divisi: Anthophyta
Kelas :Angiospermae
Ordo : Potamogetonales
Famili : Cymdoceaceae
Genus :Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata
Halodule uninervis memiliki ujung daun yang berbentuk gelombang menyerupai huruf W,
jarak antara nodus kurang lebih 2 cm, dan rimpangnya berbuku-buku. Setiap nodusnya berakar
tunggal, banyak dan tidak bercabang. Selain itu juga setiap nodusnya hanya terdiri dari satu
tegakan, dan tiap tangkai daun terdiri dari 1 sampai 2 helaian daun (Nontji, 1993 dalam
Wirawan,2014)
Klasifikasi Cymodocea rotundata menurut Den Hartog (1970) dan Menez et al. (1983)
dalam Wirawan (2014)
Divisi : Anthophyta
Kelas :Angiospermae
Ordo :Potamogetonales
Famili :Cymdoceaceae
Genus :Halodule
Spesies :Halodule uninervis

44
Persebaran lamun pada setiap stasiun ini dipengerahui oleh beberapa faktor, antara lain
jumlah jenis atau jumlah individu yang didapat, adanya beberapa jenis yang ditemukan dalam
jumlah yang melimpah, homogenitas substrat dan kondisi dua ekosistem penting di daerah
pesisir (padang lamun dan terumbu karang) sebagai habitat dari fauna perairan(Yusron,2016).
Ophiothrix sp. sesuai pengamatan yang dilakukan dengan menghitung menggunakan
metode transek pada setiap stasiun, distasiun 1,2,5 Ophiothrix sp. tidak ditemukan, Ophiothrix
sp. Ditemukan pada stasiub 3 dan 4 Ophiothrix sp. Yang ditemukan memiliki lengan yang
panjang seperti cambuk, setiap lengan terlapisi oleh duri-duri halus. Kelima lengan
ophiuroidea menempel pada cakram pusat yang disebut dengan calyx, , bagian ventral
ditemukan mulut dan kaki tabung atau amburakal berfungsi sebagai pergerakan yang terletak
disetiap lengannya, madreporitnya terdapat di permukaan oral dan juga terdpat anus pada
bagian dorsal, madreporit adalah sejenis lubang yang mempunyai saringan dalam
menghubungkan air laut demgan system pembuluh air dan lubang kelamin. Selain berfungsi
sebagai lokomosi (pergerakan) kaki tabung juga berfungsi sebagai sirkulasi tempat keluar
masuknya air dari lingkungan kedalam tubuhnya (Fitriana, 2010)

Kingdom : Animalia 
Phylum : Echinodermata 
Class : Ophiuroidea 
Order : Amphilepidida 
Suborder : Gnathophiurina 
Family : Ophiotrichidae 
Genus : Ophiothrix
Spesies : Ophiothrix sp ( Muller and Trosckel,1840 dalam Fitriana,2010)
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan menghitung menggunakan metode
transek pada setiap stasiun, distasiun 3 ditemukan Protoreaster nodosus. Protoreaster nodosus
yang ditemukan memiliki warna yang paling dominan yaitu berwarna orange dan memiliki duri-
duri tumpul yang berwarna hitam diatas tubuhnya Spesies ini hidup di daerah berpasir, lamun,
dan terumbu karang. Saat penelitian P. nodosus selalu menempati daerah yang tergenang air.
Saat penelitan spesies P. nodosus ada yang ditemukan sementara berjalan. Jumlah individu yang

45
sedikit dikarenakan kedua spesies tersebut sangat sulit ditemukan di lokasi penelitian dan juga
cara hidup kedua spesies tersebut soliter atau hidup sendiri (Binambuni dkk,2019).
Klasifikasi Protoreaster nodosus menurut (Gray, 1840).
Kingdom :Animalia
Phylum :Echinodermata
Subphylum :Asterozoa
Class :Asteroidea
Order : Valvatida
Family :Oreasteridae
Genus : Protoreaster
Spesies :Protoreaster nodosus

Diadema sp. sesuai pengamatan yang dilakukan dengan menghitung menggunakan


metode transek pada setiap stasiun, distasiun 3 ditemukan Deadema sp.. diadema atau sering
disebut dengan Bulu babi ini terbagi dalam dua kelompok yakni bulu babi beraturan (regular
sea urchin) dan bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin). Kelompok bulu babi tidak
beraturan umumnya memiliki tubuh simetris bilateral sedangkan bulu babi beraturan umumnya
memiliki bentuk tubuh simetris pentaradial.Bulu babi tidak beraturan memiliki duri (spina)
yang lebih pendek daripada kelompok bulu babi beraturan, mulut terletak pada bagian tengah
dari sisi oral, dan anus dengan posisi asentris pada sisi aboral (Schultz, 2015). Tubuh bulu babi
beraturan maupun tidak beraturan memiliki dua lubang yang disebut peristome dan periproct.
Bulu babi beraturan maupun tidak beraturan memiliki peristome yang terletak di bagian tengah
permukaan oral tubuhnya(Alfarizi,2012)

Klasifikasi Diadema sp menurut (Chow et al,2014)

Kingdom : Animalia
Phylum :Echinodermata
Class :Echinoidea
Order :Diadematoida
Family :Diadematidae
Genus :Diadema
Spesies :Diadema sp

46
Holothuria impatients sesuai pengamatan yang dilakukan dengan menghitung
menggunakan metode transek pada setiap stasiun, distasiun 2 ditemukan Holothuria
impatients. Secara morfologi dan anatomi, masing-masing jenis teripang memiliki perbedaan.
Perbedaan yang tampak secara nyata dapat dilihat langsung dari bentuk, warna dan corak warna
yang dimiliki oleh teripang. Jenis Holothuria impatiens memiliki penampang tubuh bulat, sisi
ventral cenderung datar, dan lubang anus bulat. Warna tubuh adalah abu-abu dengan belang
berwarna hitam di punggungnya. Tubuhnya lunak dan tipis. Tipe spikula yang ditemukan di
bagian dorsal (Elfidasari dkk,2012).

Klasifikasi Holothuria impatiens menurut (Hansson, 2001)


Kingdom : Animalia
Phylum :Echinodermata
Subphylum : Echinozoa
Class :Holothuroidea
Order :Holothuriida
Family :Holothuriidae
Genus :Holothuria
Spesies :Holothuria impatiens
Keanekaragaman jenis suatu komunitas akan tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh
banyak jenis dan tidak ada species yang mendominasi. Sebaliknya, jika suatu komunitas
memiliki nilai keanekaragaman jenis yang rendah, maka komunitas tersebut disusun oleh
sedikit jenis dan ada species yang dominan Menurut Manurung dan Nirawati, (2016). jika nilai
indeks keseragaman rendah, maka keseragaman species dalam komunitas kurang, artinya
jumlah individu setiap jenis relatif sangat berbeda, sehingga ada kecenderungan didominasi
oleh species tertentu. Sebaliknya, semakin besar nilai indeks keseragaman menunjukkan bahwa
jumlah individu setiap jenis relatif merata, dan tidak ada jenis tertentu yang bersifat dominan.

47
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa makrozoobenthos di pulau
Tabuhan banyak ditemukan diantaranya Opiothrix sp., Diadema sp., Holoturia impantiens,
dan Proteaster nodosus. Sedangkan jenis lamun yang ditemukan adalah spesies jenis
Halodue uninervis dan Cymodocea rotundata. Parameter kimia pada pulau Tabuhan
memiliki kondisi standar umum perairan laut.
5.2 Saran
Praktikan memberi saran pada praktikum sebaiknya peralatan praktikum lebih
diperhatikan kelayakannya, agar praktikan dapat lebih mudah menggunakannya

48
49
DAFTAR PUSTAKA
Agustiningsih, D. (2012). Kajian Kualitas Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal
Dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Air Sungai (Doctoral Dissertation,
Program Magister Ilmu Lingkungan Undip).
Alfarizi,A.2017. Struktur Anggota Kelas Bulu Babi (Echinoidea)di Zona Intertidal
Pantai Batu Lawang Taman Nasional Alas Purwo. Skripsi. Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Umiversitas Jember.
Jember.hal: 8-13

Armita, D. 2011. Analisis Perbandingan Kualitas Air Di Daerah Budidaya Rumput


Laut Dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Di Dusun
Malelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar.
Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Jurusan
Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makassar. Hal 3-6.

Bahri, S., E. Rudi dan I. Dewiyanti. 2015. Kondisi Terumbu Karang Dan Makro
Invertebrate Di Perairan Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh
Besar. Jurnal Depik. 4(1): 1-7.

Binambuni,P., Langoy,M dan Katili,D.Y.2019. Keanekaragaman Jenis Bintang Laut


Di Pantai Bahowo Kecamatan Bunaken Kota Manado Sulawesi Utara.
Jurnal Ilmiah Farmasi. 8 (1):65-71.

Chow, S., Kajigaya, Y., Kurogi, H., Niwa, K., Shibuno, T., Nanami, A. & Kiyomoto,
S. (2014). On the Fourth Diadema Species (Diadema-sp) from Japan. PLoS
ONE. 9(7): e102376.

Diana, A. 2017. Kajian Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Tanjungpinang Provinsi


Kepulauan Riau. Dinamika Maritim, 6(1) : 47-53

50
Diyanti, K. 2017. From Marine Biota As Source Of Idea In Making Metal Souvenirs
Tourism Pasir Putih Beach Situbondo District. Jurnal Seni Rupa. 5(3): 526-
536.

Elfidasari,D .,Noriko,N., Wulandari,N dan Perdana,A.T.2012. Identifikasi Jenis


Teripang Genus Holothuria Asal Perairan Sekitar Kepulauan Seribu
Berdasarkan Perbedaan Morfologi. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI
SAINS DAN TEKNOLOGI. 1(3):141-143.

Emilia, I. 2019. Analisa Kandungan Nitrat Dan Nitrit Dalam Air Minum Isi Ulang
Menggunakan Metode Sprektrofotometri UV-Vis. Jurnal Indobiosains. 1(1):
32-39.

Fitriana, N.2010.Inventarisasi Bintang Laut (Echinodermata:Asteridea) di Pantai


Pulau Pari, Kabupaten ADM. Kepulauan Seribu.JUrnal Ilmiah Faktor
Exacta .Vol3{2}:167-174.

Gemilang, W.A., dan Kusumah, G. 2017. Status Indeks Pencemaran Perairan


Kawasan Mangrove Berdasarkan Penilaian Fisika-Kimia Di Pesisir Kecamatan
Brebes Jawa Tengah. Enviroscienteae, 13(2), 171-180.

Gray, J.E. (1840). XXXII. A synopsis of the genera and species of the class
Hypostoma (Asterias, Linnaeus). Annals of the Magazine of Natural History.
6: 275-290

Hamuna, Baigo, et al. "Kajian Kualitas Air Laut dan Indeks Pencemaran Berdasarkan
Parameter Fisika-Kimia di Perairan Distrik Depapre, Jayapura." Jurnal Ilmu
Lingkungan 16.1 (2018): 35-43.

Hansson, H.G. (2001). Echinodermata, in: Costello, M.J. et al. (Ed.) (2001).
European register of marine species: a check-list of the marine species in
Europe and a bibliography of guides to their identification. Collection
Patrimoines Naturels,. 50: pp. 336-351

51
Hartini, H. dan Y. Lestarini. 2019. Pemetaan Padang Lamun Sebagai Penunjang
Ekowisata Di Kabupaten Lombok Timur. Jurnal Biologi Tropis. 19(1): 1-7.

Juliasih, N.L.G.R., D. Hidayat, M.P. Ersa dan Rinawati. Penentuan Kadar Nitrit Dan
Nitrat Pada Perairan Teluk Lampung Sebagai Indicator Kualitas Lingkungan
Perairan. Jurnal Analit: Analitycal And Environmental Chemistry. 2(2): 45-53.

Kusumaningtyas, M.A., Bramawanto, R., Daulat, A., dan Pranowo, W.S. 2014.
Kualitas perairan Natuna pada musim transisi. Depik. 3(1), 10-20.

Kodim, M.K., Pasisingi, N. Dan Paramata, A.R. 2017. Kajian Kualitas Perairan Teluk
Gorontalo Dengan Menggunakan Metode Storet. Jurnal Depik. Vol 6(3). Hal
235-241.

Lasabuda, R. 2013. Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Lautan Dalam Prespektif


Negara Kepulauan Republic Indonesia. Jurnal Ilmiyah Platax. 1(2): 25-36.

Manurung, B., Nira Wati, 2016. Kajian Ekologi Tumbuhan Liana di Hutan Primer
Taman Nasional Gunung Leuser Resort Sei Betung Kecamatan Besitang
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.Program Studi Biologi, Universitas
Negeri Medan.Medan

Megawati, C., Yusuf, M., dan Maslukah, L. 2014. Sebaran Kualitas Perairan Ditinjau
Dari Zat Hara, Oksigen Terlarut Dan Ph Di Perairan Selatan Bali Bagian
Selatan. Jurnal Oseanografi, 3(2), 142-150.

Munaf, D.R. dan R. Windari. 2015. Pengembangan Sumberdaya Kelautan Dalam


Industry Maritime Dunia. Jurnal Sosioteknologi. 14(2):154-163.

Patty, S.I. 2018. Oksigen Terlarut Dan Apparent Oxygen Utilization Diperairan Selat
Lembeh, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax. Vol 6(1). Hal 54-60.

Purba, H.E., Djuwito dan Haeruddin. 2015. Distribusi Dan Keanekaragaman


Makrozoobenthos Pada Lahan Pengembangan Konservasi Mangrove Di Desa

52
Timbul Sloko Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Diponegoro journal of
maquares. 4(4): 57-65.

Rasjid, Y. 2017. Analisis Keanekaragaman Plankton Sebagai Indikator Kualitas


Perairan Pantai Batu Gosok Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat
Nusa Tenggara Timur. Jurnal Bionature. Vol 18(1). Hal 44-52.

Sambada, A.P. 2018. Keterkaitan Kelimpahan Fitoplankton Dengan Parameter


Kualitas Air Di Perairan Gundil Situbondo Jawa Timur. Skripsi. Program Studi
Ilmu Kelautan. Jurusan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Dan Kelautan.
Universitas Brawijaya. Malang. Hal 30-31.

Setiyawan, L. 2017. Penciptaan Progam Features Perjalanan “Ngeluyur” Episode


“Mengenal Kegigihan Kelompok Nelayan Ikan Hias Samudra Bakti”. Skripsi.
Jurusan televise. Fakultas seni media rekam. Institute seni Indonesia
Yogyakarta. Yogyakarta.

Tangke, U. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi Dan Rehabilitasi).


Jurnal Ilmiyah Agribisnis Dan Perikanan. 3(1): 2-29.

Widiadmoko, W. 2013. Pemantauan Kualitas Air Secara Fisika dan Kimia di Perairan
Teluk Hurun. Bandar Lampung: Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut
(BBPBL) Lampung.

Wirawan,A.A.2014. Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun Yang Ditransplantasi


Secara Multispesies Di Pulau Barranglompo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin
Makassar.Makassar. hal:6-10.

Yusron, 2016. Struktur Komunitas Ekhinodermata (Asteroidea, Ophiuroidea,


Echinoidea Dan Holothuroidea) Di Perairan Taman Nasional Wakatobi
Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 8(1):357-
366

53
54

Anda mungkin juga menyukai