Makalah Pendarahan Benar
Makalah Pendarahan Benar
PENDAHULUAN
MAKALAH PERDARAHAN POST PARTUM
1
1
dalam hal ini penting dilakukan suatu pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda
vital penderita dan keseimbangan cairannya.(Prawirohardjo S,2002)
a. Tujuan Umum
Setelah pelaksanaan seminar diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan mengetahui
asuhan keperawatan pada ibu postpartum dengan perdarahan pasca partum.
2
BAB II
PERDARAHAN PASCA SALIN
2.1 Definisi
2.2 EPIDEMIOLOGI
1. Insiden
Angka kejadian perdarahan pasca salin setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %.
Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan
pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk
menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.(Alan H, Decherney,2003)
2. Peningkatan angka kematian di Negara berkembang
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal.
Hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan
transfusi, kurangnya layanan operasi.
3
terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar.
Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita
hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada
perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan
pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.(Tsu VD,1993)
4
4
2.3 ETIOLOGI
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan pasca salin, faktor-
faktor yang menyebabkan perdarahan pasca salin adalah atonia uteri, perlukaan jalan
lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan, pembekuan darah. Secara garis besar
dapat disimpulkan penyebab perdarahan post partum adalah 4 T: ( Mukherjee S,
Arulkumaran S, 2009 )
5
2. Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
Retensio Plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam
setelah bayi lahir. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
1.Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus;
serta pembentukan constriction ring.
2.Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan placenta pada uterus.
3.Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi
yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan
serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus.
Sebab-sebab terjadinya retensio plasenta ini adalah:
1. Plasenta belum terlepas dari dinding uterus karena tumbuh melekat lebih
dalam. Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta belum lepas sama sekali dan akan
terjadi perdarahan jika lepas sebagian. Hal ini merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:
a.Plasenta adhesiva, melekat pada endometrium, tidak sampai membran basal.
b.Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai
ke miometrium.
c.Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke miometrium tetapi belum menembus
serosa.
d.Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim.
2.Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan
kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta (plasenta inkarserata)
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah fundus naik dimana pada perabaan uterus terasa
bulat dan keras, bagian tali pusat yang berada di luar lebih panjang dan terjadi
perdarahan sekonyong-konyong. Cara memastikan lepasnya plasenta:
1.Kustner
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan kiri menekan di atas simfisis. Bila tali
pusat tak tertarik masuk lagi berarti tali pusat telah lepas.
2.Strassman
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan kiri mengetuk-ngetuk fundus. Jika
terasa getaran pada tali pusat, berarti tali pusat belum lepas.
6
3.Klein
Ibu disuruh mengejan. Bila plasenta telah lepas, tali pusat yang berada diluar
bertambah panjang dan tidak masuk lagi ketika ibu berhenti mengejan.Apabila
plasenta belum lahir ½ jam-1 jam setelah bayi lahir, harus diusahakan untuk
mengeluarkannya. Tindakan yang dapat dikerjakan adalah secara langsung dengan
perasat Crede dan Brant Andrew dan secara langsung adalah dengan manual plasenta.
Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta) merupakan penyebab umum
terjadinya pendarahan lanjut dalam masa nifas (pendarahan pasca persalinan
sekunder). Pendarahan pasca salin yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi
potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan bayi
harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus
dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan. (Winkjosastro H dkk ,2002)
Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus
tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan
perdarahan. Tetapi mungkin saja pada beberapa keadaan tidak ada perdarahan dengan
sisa plasenta. (Winkjosastro H dkk ,2002)
3. Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir
a. Ruptur uterus
b.Robekan jalan lahir
c. Inversio uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain
grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan
dengan induksi oxytosin. Rupture uterus sering terjadi akibat jaringan parut section
secarea sebelumnya.Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari
perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya
disebabkan oleh robekan serviks atau vagina. Setelah persalinan harus selalu
dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan
spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.
1. Robekan vulva
Sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang primipara, bisa timbul luka pada
vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang
bisa timbul perdarahan banyak, khususnya pada luka dekat klitoris.
2. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah
dan menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil
7
daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih
besar dari sirkumferensia suboksipitobregmatika atau anak dilahirkan dengan
pembedahan vaginal. Tingkatan robekan pada perineum:
§ Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek
§ Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-
otot diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka.
§ Tingkat 3: robekan total m. Spintcher ani externus dan kadang-kadang dinding
depan rektum.
Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi kerusakan dan peregangan m.
puborectalis kanan dan kiri serta hubungannya di garis tengah. Kejadian ini
melemahkan diafragma pelvis dan menimbulkan predisposisi untuk terjadinya
prolapsus uteri.
3. Perlukaan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum jarang dijumpai.
Kadang ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat
ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat
pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum. Robekan atas
vagina terjadi sebagai akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila ligamentum latum
terbuka dan cabang-cabang arteri uterina terputus, dapat timbul perdarahan yang
banyak. Apabila perdarahan tidak bisa diatasi, dilakukan laparotomi dan pembukaan
ligamentum latum. Jika tidak berhasil maka dilakukan pengikatan arteri hipogastika.
§ Kolpaporeksis
Adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi apabila
pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terdapat regangan segmen bawah uterus
dengan serviks uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga
tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina. Jika tarikan ini melampaui kekuatan
jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang
lebih bawah dan yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa
timbul apabila pada tindakan per vaginam dengan memasukkan tangan penolong ke
dalam uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar
untuk mencegah uterus naik ke atas.
§ Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal
yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio secarea. Fistula dapat
terjadi mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau
rektum, misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan
serviks menjalar ke tempat menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih
luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa fistula vesikovaginalis
atau rektovaginalis.
8
4. Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara
berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas
menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi
perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus
sudah berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan
serviks uteri. Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa
cunam ovum, supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik. Apabila serviks
kaku dan his kuat, serviks uteri dapat mengalami tekanan kuat oleh kepala janin,
sedangkan pembukaan tidak maju. Akibat tekanan kuat dan lama ialah pelepasan
sebagian serviks atau pelepasan serviks secara sirkuler. Pelepasan ini dapat
dihindarkan dengan seksio secarea jika diketahui bahwa ada distosia
servikalis. (Winkjosastro H dkk ,2002)
Inversio uteri dapat menyebabkan pendarahan pasca persalinan segera, akan tetapi
kasus inversio uteri ini jarang sekali ditemukan. Pada inversio uteri bagian atas uterus
memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam
kavum uteri. Inversio uteri terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta
keluar.
Inversio uteri bisa terjadi spontan atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan
atonia uteri kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau
meneran, dapat menyebabkan masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang
merupakan permulaan inversio uteri. Tindakan yang dapat menyebabkan inversio
uteri adalah perasat Crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan
pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada
tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam
dapat menunjukkan tumor yang lunak di atas serviks atau dalam vagina sehingga
diagnosis inversio uteri dapat dibuat. Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam
vagina terdapat pula tumor yang serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam
bentuk dan pada tempat biasa, sedang konsistensi mioma lebih keras daripada korpus
uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali mioma submukosum ditemukan
pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup bulan. (Winkjosastro H dkk ,2002)
Walaupun inversio uteri kadang-kadang bisa terjadi tanpa gejala dengan penderita
tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan
gawat dengan angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi
harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita. (Winkjosastro H dkk ,2002)
9
4. Thrombin : Kelainan pembekuan darah
Kegagalan pembekuan darah atau koagulopati dapat menjadi penyebab dan akibat
perdarahan yang hebat. Gambaran klinisnya bervariasi mulai dari perdarahan hebat
dengan atau tanpa komplikasi trombosis, sampai keadaan klinis yang stabil yang
hanya terdeteksi oleh tes laboratorium. Setiap kelainan pembekuan, baik yang
idiopatis maupun yang diperoleh, dapat merupakan penyulit yang berbahaya bagi
kehamilan dan persalinan, seperti pada defisiensi faktor pembekuan, pembawa faktor
hemofilik A (carrier), trombopatia, penyakit Von Willebrand, leukemia, trombopenia
dan purpura trombositopenia. Dari semua itu yang terpenting dalam bidang obstetri
dan ginekologi ialah purpura trombositopenik dan hipofibrinogenemia.
a. Purpura trombositopenik
Penyakit ini dapat bersifat idiopatis dan sekunder. Yang terakhir disebabkan oleh
keracunan obat-obat atau racun lainnya dan dapat pula menyertai anemia aplastik,
anemia hemolitik yang diperoleh, eklampsia, hipofibrinogenemia karena solutio
plasenta, infeksi, alergi dan radiasi.
b. Hipofibrinogenemia
Adalah turunnya kadar fibrinogen dalam darah sampai melampaui batas tertentu,
yakni 100 mg%, yang lazim disebut ambang bahaya (critical level). Dalam kehamilan
kadar berbagai faktor pembekuan meningkat, termasuk kadar fibrinogen. Kadar
fibribogen normal pada pria dan wanita rata-rata 300mg% (berkisar 200-400mg%),
dan pada wanita hamil menjadi 450mg% (berkisar antara 300-600mg%).
10
Semua hal tersebut dapat menyebabkan ketuban pecah dini. Pada ibu dengan ketuban
pecah dini tetapi his (-) sehingga pembukaan akan terganggu dan terhambat sementara
janin mudah kekeringan karena pecahnya selaput amnion tersebut, maka Janin harus
segera untuk dilahirkan atau pengakhiran kehamilan harus segera dilakukan.
Ketuban yang telah pecah dapat menyebabkan persalinan menjadi terganggu karena
tidak ada untuk pelicin Jalan lahir. Sehingga persalinan menjadi kering ( dry labor).
Akibatnya terjadi persalinan yang lama. (Iche Baretz, 2012)
4) Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi ketika darah yang dipompakan oleh
jantung mengalami peningkatan tekanan, hingga hal ini dapat membuat adanya
tekanan dan merusak dinding arteri di pembuluh darah. Seseorang dikatakan
mengalami hipertensi jika tekanan darahnya di atas 140/90 mmHG (berarti 140
mmHg tekanan sistolik dan 90 mmHg tekanan diastolik). Hipertensi pada kehamilan
banyak terjadi pada usia ibu hamil di bawah 20 tahun atau di atas 40, kehamilan
dengan bayi kembar, atau terjadi pada ibu hamil dengan kehamilan pertama.
5) Kehamilan multiple
Uterus yang mengalami peregangan secara berlebihan akibat keadaan-keadaan seperti
bayi besar, kehamilan kembar dan polihidramnion cenderung mempunyai daya
kontraksi yang jelek. (Oktinikilah, 2009)
6) Injeksi Magnesium sulfat dan Perpanjangan pemberian oxytocin
Terjadi relaksasi miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi serta retraksi,
atonia uteri dan perdarahan post partum.
Stimulasi dengan oksitoksin atau protaklandin dapat menyebabkan terjadinya inersia
sekunder karena kelelahan pada otot-otot uterus( (Oktinikilah, 2009)
11
yang disebabkan atonia uteri dilakukan massage rahim dan suntikan ergometrin ke
dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu
singkat, dilakukan kompresi bimanual pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade
utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa kedalam rahim sampai rongga rahim
terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinann dilakukan pengikatan
pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau pengangkatan rahim.
Adapun Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri : Umur, Paritas, Partus lama dan
partus terlantar, Obstetri operatif dan narkosa, Uterus terlalu regang dan besar
misalnya pada gemelli, hidramnion atau janin besar, Kelainan pada uterus seperti
mioma uterii, uterus couvelair pada solusio plasenta, Faktor sosio ekonomi yaitu
malnutrisi. (Abdul Bari, dkk, 2008)
12
Ibu bisa juga memiliki riwayat perdarahan yang tidak teratur, atau perdarahan yang
berlebihan setelah kelahiran. (Abdul Bari, dkk, 2008)
13
Persalinan Selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga servik seorang multipara
berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan servik yang luas
menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi
perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus
sudah berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya
robekan servik uteri
2) Robekan Vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi
sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar.
Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum
3) Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah
dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih
kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang
lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipito bregmatika
4) Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang
berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat. (Dian Husada, 2011)
14
4) Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara
hati-hati dan halus.
5) Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
6) Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
7) Berikan antibivotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g
supp/oral ). ( Widfa Satriani, 2013)
c. Plasenta inkaserata
1) Tentukan diagnosis kerja
2) Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat,
tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang
kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi
gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
3) Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan
plasenta.
4) Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
5) Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan speculum
6) Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
7) Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan
agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
8) Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
9) Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik
plasenta keluar perlahan-lahan. ( Widfa Satriani, 2013)
d. Ruptur uteri
1) Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan
laparatomi
2) Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan
kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
3) Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan,
lakukan operasi uterus
4) Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan
lakukan histerektomi
5) Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
6) Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi. ( Widfa Satriani,
2013)
e. Sisa plasenta
1) Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah
dilahirkan
2) Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
3) Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah
atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa
plasenta dengan dilatasi dan kuret.
4) Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10
hari. ( Widfa Satriani, 2013)
f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
1) Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan
15
2) Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic
3) Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap
4) Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal
5) Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis
dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
a) Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan
b) Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa,
menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit
kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
c) Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang
yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
d) Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
e) Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.
( Widfa Satriani, 2013)
g. Robekan serviks
a) Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami
robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
b) Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio
c) Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan
dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan
lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah
luar sehingga semua robekan dapat dijahit
d) Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan
perdarahan paska tindakan
e) Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
f) Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr%
berikan transfusi darah( Widfa Satriani, 2013)
16
BAB III
MANAJEMEN PERDARAHAN PASCA SALIN
17 17
Resusitasi yang terlambat menurunkan kemungkinan untuk bertahan hidup
oleh karena sudah terjadi asidosis metabolic. Oleh karena itu satu jam pertama
merupakan waktu yang penting untuk probabalitas bertahan hidup. Suatu ‘RULE 30’
telah diusulkan untuk penanganan perdarahan yang akut. Penurunan tekanan darah
sistolik 30 mmHg, denyut jantung meningkat 30 /menit, laju nafas lebih dari 30
kali/menit, hemoeglobin atau hematrocit turun 30%, dan produksi urine < 30 ml/jam
menandakan bahwa telah kehilangan darah 30 % dari volume darah dan dalam
keadaan shock sedang yang mengarah shock berat.(Ramanathan G,Arulkumaran
S,2006)
18
Carboprost, prostaglandin F2 analog merupakan obat lini kedua untuk
menagani atonia uteri dengan dosis 0,25 mg diulang tiap 15-20 menit sampai dosis
maksimal 2 mg dan diberikan intramuscular. Efektifitas 80-90% mengurangi
kehilangan darah pada perdarahan pasca salin yang refrakter terhadap oksitosin dan
ergometrin.
Pemberian misoprostol, untuk perdarahan pasca salin pemberiannya
dianjurkan adalah per-oral atau rektal, dengan dosis 400 – 1000 mg. Tidak dianjurkan
per-vaginam karena adanya perdarahan sehingga kurang efektif. Absorpsi segera
terjadi pada pemberian per-oral maupun per-rektal, dalam waktu 3 menit setelah
pemberian per-rektal sudah didapatkan peningkatan kontraksi uterus, sedangkan yang
per-oral kadar misoprostol mencapai puncak pada 60 menit kemudian. Untuk
penanganan perdarahan pasca salin, pemberian 400 mg misoprostol atau 600 mg per-
oral sama efektifnya dengan oksitosin. Sedangkan pemberian 1000 mg per-rektal
dapat memberikan efek uterotonika dalam waktu 3 menit setelah pemberian pada
atonia uteri yang tidak responsive terhadap oksitosin dan ergometrin. Efek samping
yang dilaporkan adalah demam dan menggigil. Tetapi tidak seperti prostaglandin
yang lain, misoprostol aman diberikan untuk penderita asma karena tidak
menyebabkan spasme bronkus. Misoprostol juga tidak mengganggu tekanan darah
sehingga aman untuk penderita hipertensi atau Pre-eklamsia. Penyimpanannya mudah
dan stabil pada suhu kamar. (Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)
19
ditinggalkan. Pada dekade akhir ini pemakaian tampon mulai dicobakan lagi dengan
beberapa modifikasi, yaitu dengan tampon balon memakai Sengstaken-Blakemore
tube, Folley catheter ataupun SOS Bakri Tamponade Ballon Catheter yang diisi
dengan cairan dengan hasil yang cukup baik. Sengstaken-Blakemore tube jarang
tersedia dan bentuk balonnya tidak sesuai dengan cavum uteri sedang Folley catheter
memerlukan lebih dari satu buah karena penggelembungan balon kateternya terbatas
bila dibandingkan rongga di cavum uteri, sedangkan pada Bakri Balloon walaupun
balonnya disebutkan bisa mencapai bentuk dan anatomi cavum uteri dan sudah
disetujui oleh FDA namun pendistribusiannya masih terbatas sehingga sukar dicari di
Indonesia , maka ada alternatif lain pemakaian tampon balon yaitu dengan
menggunakan kondom yang diikatkan ke Folley catheter ( metode Sayeba ),
keuntungan cara ini adalah mudah penyediaannya, murah, dan karena dinding
kondom tipis, lebih mudah melapisi permukaan rongga uterus sehingga efektif
sebagai tampon. Dari penelitian yang dikerjakan oleh Sayeba Akhter dkk, pada atonia
uteri dan kelainan penempelan plasenta ( akreta ) efektivitas metode tersebut 100%
( 23/23 kasus ).(Akhter S dkk,2003
Gambar 5 : Penggunaan ballon tamponade uterus
Beberapa modifikasi dari B- lynch dilakukan dan memberikan hasil yang baik.
Jahitan vertical dua atau lebih untuk meningkatkan kekuatan tekanan. Sedangkan
penjahitan horizontal lebih ditujukan untuk mengontrol perdarahan dari plasenta bed
pada kasus plasenta previa. Untuk mencegah resiko trauma pada kandung kencing
atau traktus urinarius, kandung kencing disisihkan sehingga berada di bawah jahitan
dan jahitan 2cm medial dari batas lateral uterus. Kompresi uterus menggunakan
benang mudah dilakukan, waktu singkat, dan alternative efektif daripada histerektomi.
Laporan kasus akhir-akhir ini pemakainnya tidak menggangu kesuburan dan
kehamilan selanjutnya. (Ramanathan G,Arulkumaran S,2006)
20
S (Systematic pelvic devascularisation)
Tindakan selanjutnya bila gagal adalah dengan ligasi arteri yang mensuplai
uterus: arteri uterine , cabang tuba a ovarica dan a. iliaca interna . arteri uterine
mensuplai 90 % aliran darah ke uterus. Ligasi arteri uterine merupakan prosedur yang
sederhana . jahitan didaerah lateral dilakukan pada daerah avaskular ligmentum latum
sedangkan yang dimedial menembus miometrium bagian bawah 2 cm dari bagian
lateral tadi. Prosedur ini dilakukan bilateral. 95% dilaporkan sukses dengan prosedur
ini. Jika perdarahan masih terjadi dilakukan ligasi pada cabang tuba arteri ovarica
dengan menusukkan jarum pada area bebas di daerah mesosalping medial dari
ligamentum ovarii. Ligasi arteri illiaca interna efektif untuk mengurangi perdarahan
dari daerah traktus genitalia. Namun prosedurnya lebih sulit dan sering menyebabkan
kerusakan pada organ sekitarnya. (Ramanathan G,Arulkumaran
S,2006) (Chandraharan E, Arulkumaran S.2008)
Gambar 9. Ligasi arteri uterine dan arteri ovarica
21
histerektomi tidak efektif mengontrol perdarahan dari segmen bawah rahim, serviks
atau forniks. Seksio cesaria dengan plasenta previa mempunyai resiko 1: 100 untuk
peripartum histerektomi dikarenakan plasenta accrete. (Ramanathan G,Arulkumaran
S,2006)(Castaneda dkk,2000).
BAB IV
22
ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU POST PARTUM DENGAN
PERDARAHAN PASCA PARTUM
4.1 Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian
Identitas klien : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering didapatkan dari klien dengan perdarahan post partum
adalah perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin,
kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
2) Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli,
hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat hamil.
Persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus
lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala II dan III. (Reza
Syahbandi, 2013)
3) Riwayat kesehatan :
a) Riwayat kesehatan dahulu
Dikaji untuk mengrtahui apakah seorang ibu perah menderita penyakit yang lain yang
menyertai dan bisa memperburuk keadaan
atau mempersulit penyambuhan. Seperti penyakit diabetus mellitus dan jantung
(hipertensi)
b) Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada yang
mempunyai riwayat yang sama
c. Pengkajian Fisik
1) Tanda-tanda vital
a) Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg)
b) Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
c) Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
d) Suhu : Normal/ meningkatn
e) Kesadaran : Normal / turun (Barbara R.Stright, 2004)
2) Inspeksi
a) Inspeksi perineum apakah ada memar, bengkak, dan karakteristik episiotomi
b) Kaji karakter lokia, yakni warna, bau dan jumlah
c) Pervaginam: keluar darah, robekan
d) Inspeksi kaki apakah ada edema atau goresan merah
e) Inspeksi payudara adakah area kemerahan
f) Inspeksi putting susu apakah ada pecah-pecah, memepuh dan
perdarahan(Barbara R. Stright, 2004)
3) Palpasi
a) Palpasi apakah uterus lembek, lokasi dan nyeri tekan
b) Palpasi adakah nyeri tekan, hangat, benjolan, dan nyeri pada kaki
c) Palpasi payudara untuk memeriksa bengkak, benjolan dan nyeri tekan
d) Kulit apakah dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang
23
23
e) Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang ( Barbara R.
Stright, 2004)
4) Pola pengkajian keluarga
a) Aktivitas istirahat : Insomia mungkin teramat.
b) Sirkulasi : kehilangan darah selama proses post portum
c) Integritas ego : Peka rangsang, takut atau menangis sering terlihat kira-kira 3hari
setelah melahirkan “post portum blues”
d) Eliminasi : BAK tidak teratur sampai hari ke 2dan ke 5
e) Makan dan cairan : Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan kira-kira
sampai hari ke 5
f) Persepsi sensori: Tidak ada gerakan dan sensori
g) Nyeri dan ketidaknyamanan: Nyeri tekan payudara dan pembesaran dapat
terjadi diantara hari ke 3 sampai hari ke 5 post partum
h) Seksualitas:
· Uterus diatas umbilikus pada 12 jam setelah kelahiran menurun satu jari setiap
harinya
· Lochea rubra berlanjut sampai hari ke 2
· Payudara produksi kolostrum 24 jam pertama
i) Pengkajian Psikologis
· Apakah pasien dalam keadaan stabil
· Apakah pasien biasanya cemas sebelum persalinan dan masa penyembuhan
d. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1) Biakan dan uji sensitivitas (pada luka, drainase atau urine) digunakan untuk
mendiagnosis infeksi
2) Venografi adalah metode yang paling akurat untuk mendiagnosis thrombosis
vena profunda
3) Ultrasonografi Doppler real-time dan Ultrasonografi Doppler berwarna adalah
metode diagnostik untuk mendiagnosis adanya tromboflebitis dan thrombosis.
4) Urinalisis : Memastikan kerusakan kandung kemih
5) Profil koagulasi : Peningkatan degeradasi kadar produk fibrin/ produk spilit
fibrin (SDP/FSP)
6) Sonografi : Menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan. ( Barbara R.
Stright, 2004)
4.2 Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
b. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
c. Nyeri berhubungan dengan terputusnya inkontinuitas jaringan
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan keadaan dan ancaman kematian
e. Resiko infeksi berhubungan dengan perdarahan dan prosedur yang kurang steril
f. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
4.3 Rencana Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
Tujuan: Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
24
1) Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap
terlentang
R/: Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan memungkinkan
darah keotak dan organ lain.
2) Monitor tanda vital
R/: Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
3) Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
R/: Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
4) Evaluasi kandung kencing
R/: Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
5) Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan diatas
simpisis
R/: Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan placenta,
satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio uteri
6) Batasi pemeriksaan vagina dan rectum
R/: Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan terjadinya
perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks / perineum atau terdapat
hematom
7) Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan cepat,
pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera kolaborasi. Berikan
infus atau cairan intravena
R/: Cairan intravena mencegah terjadinya shock
8) Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/: Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
9) Berikan antibiotic
R/: Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan pada
subinvolusio
10) Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R/: Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.
25
Tujuan: skala nyeripada pasien berkurang
Rencana Tindakan:
1) Pertahankan tirah baring selama fase akut
R/: meminimalkan stimulasi dan mengurangi intensitas nyeri
2) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam atau teknik distraksi
R/: untuk mengurangi intensitas nyeri
3) Hindar atau minimalkan aktivitas yang berat
R/: Aktivitas berat dapat memperparah kondisi dan menyebabkan nyeri bertambah
4) Kolaborasi dengan pemberian analgetik
R/: Menurunkan atau mengontrol nyeri dan menurunkan rangsang sistem saraf
simpatis
e. Resiko infeksi berhubungan dengan perdarahan dan prosedur yang kurang steril
Tujuan: Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal )
Rencana tindakan :
1) Catat perubahan tanda vital
R/: Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
2) Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang lembek,
dan nyeri panggul
R/: Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang tidak
terdeteksi
3) Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/: Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang
berkepanjangan
4) Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas,
mastitis dan saluran kencing
R/: Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
5) Tindakan kolaborasi
a) Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
26
b) Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan
infeksi ).
4.4 Evaluasi Tindakan
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
a. Tanda vital dalam batas normal :
1) Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
2) Denyut nadi : 70-80 x/menit
3) Pernafasan : 20 – 24 x/menit
4) Suhu : 36 – 37 oc
b. Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
c. Gas darah dalam batas normal
d. Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi
dan pengobatan yang dilakukan
e. Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan
perasaan psikologis dan emosinya
f. Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
g. Klien tidak merasa nyeri
h. Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya (Reza Syahbandi,
27
BAB IV
PENUTUP
5.1 Simpulan
Perdarahan post partum adalah pendarahan yang terjadi sampai 24 jam setelah
kelahiran dan biasanya melibatkan kehilangan banyak darah melalui saluran genital.
Perdarahan postpartum dibagi menjadi dua yaitu perdarahan postpartum primer, yang
terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir dan perdarahan postpartum sekunder yang
terjadi lebih dari 24 jam sampai dengan 6 minggu setelah kelahiran bayi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perdarahan post partum, antara lain 4T (tone
dimished, trauma, tissue, thrombin). Faktor resiko yang dapat menyebabkan
perdarahan post partum antara lain grande multipara, perpanjangan persalinan,
chorioamnionitis, hipertensi , kehamilan multiple, injeksi magnesium sulfat,
perpanjangan pemberian oxytocin.
Tanda dan gelaja perdarahan postpartum secara umum antara lain perdarahan yang
hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam
keadaan syok. Pasien mengeluh lemah,limbung, berkeringat dingin, menggigil. Pada
perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah
(sistolik <90 mmHg) nadi (>100x/menit) dan napas cepat, pucat (Hb <8%), extremitas
dingin, sampai terjadi syok.
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus perdarahan postpartum adalah anemia dan
kematian akibat perdarahan yang tidak segera ditangani. Diagnosa yang muncul
antara lain kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam,
gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan pervaginam, nyeri
berhubungan dengan terputusnya inkontinuitas jaringan, ansietas berhubungan dengan
perubahan keadaan dan ancaman kematian, resiko infeksi berhubungan dengan
perdarahan dan prosedur yang kurang steril dan resiko syok hipovolemik
berhubungan dengan perdarahan
Perdarahan pasca persalinan adalah suatu kejadian mendadak dan tidak dapat
diramalkan yang merupakan penyebab kematian ibu di seluruh dunia. Sebab yang
paling umum dari pendarahan pasca persalinan dini yang berat (yang terjadi dalam 24
jam setelah melahirkan) adalah atonia uteri (kegagalan rahim untuk berkontraksi
sebagaimana mestinya setelah melahirkan). Plasenta yang tertinggal, perlukaan jalan
lahir dan inversio uteri, juga merupakan sebab dari pendarahan pasca persalinan.
Pendarahan pasca persalinan lanjut (terjadi lebih dari 24 jam setelah kelahiran bayi)
sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta
yang tertinggal.
Saat-saat setelah kelahiran bayi dan jam-jam pertama pasca persalinan adalah saat
penting untuk pencegahan, diagnosa, dan penanganan pendarahan. Dibandingkan
dengan resiko-resiko lain pada ibu seperti infeksi, maka kasus pendarahan dengan
cepat dapat mengancam jiwa. Seorang ibu dengan pendarahan hebat akan cepat
meninggal jika tidak mendapat perawatan medis yang sesuai, termasuk pemberian
obat-obatan, prosedur klinis sederhana, transfusi darah dan atau operasi.
28
28
Di daerah atau wilayah dengan akses terbatas memperoleh perawatan petugas medis,
transportasi dan pelayanan gawat darurat, maka keterlambatan untuk memperoleh
pelayanan kesehatan menjadi hal yang biasa, sehingga resiko kematian karena
pendarahan pasca persalinan menjadi tinggi. Semua ibu hamil harus didorong untuk
mempersiapkan kehamilan dan kesiagaan terhadap komplikasi, dan agar melahirkan
dengan bantuan seorang dokter atau bidan, yang dapat memberikan perawatan
pencegahan pendarahan pasca persalinan. Keluarga dan masyarakat harus mengetahui
tanda-tanda bahaya utama, termasuk pendarahan masa kehamilan. Semua ibu harus
dipanatau secara dekat setelah melahirkan terhadap tanda-tanda pendarahan tidak
normal, dan para pemberi perawatan harus dapat dan mampu menjamin akses ke
tindakan penyelamatan hidup bilamana diperlukan.
Penanganan perdarahan pasca salin memerluka penanganan multi disiplin untuk
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas. Salah satu algoritma penanganan
perdarhan pasca salin yang disebabkan atoni arteri adalah ‘HAEMOSTASIS’.
29
Daftar Pustaka
Akhter S, Begum MR, Kabir Z, Rashid M, Laila TR, Zabeen F.(2003): Use of a
condom to control massive PPH. Medscape General Medicine.
AlanH, DeCherney , Lauren Nathan ( 2003) Curren Obstretric & Gynecologic
Diagnosis & Tretment, Ninth edition; The McGraw-Hill Companies, Inc
30