Anda di halaman 1dari 29

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Definisi Lansia

Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara

tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan

akhirnya menjadi tua (Pudjiastuan enunjti & Utomo, 2003 dalam (Made, 2018)).

Lanjut usia adalah tahap akhir dari proes penuaan. Pada tahap ini biasanya

individu tersebut sudah mengalami kemunduran fungsi fisiologis organ tubuhnya.

Sedangkan batasan lanjut usia menurut undang-undang no.13 tahun 1998 adalah

60 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 64 tahun sebagai usia yang

menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah

disebut lanjut usia (DwiW & Fitrah, 2010 dalam(Fadhila, 2018)).

Nugroho (2008) menyatakan proses menua merupakan proses yang terus-

menurus atau berkelanjutan secara alamiah an umumnya dialalmi oleh semua

makhluk hidup. Misalnya, dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot,

susunan saraf, dan jaringan lain, hingga tubuh mati sedikit demi sedikit.

Kecepatan proses menua setiap individu pada organ tubuh tidak akan sama.

Manusia secara lambat dan progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi

dan akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menempuh semakin

banyak distori meteoritic dan structural yang disebut sebagai penyakit

degenerative misalnya, hipertensi, arteriosclerosis, diabetes mellitus, dan kanker.


8

2.1.2 Batasan-batasan lanjut usia

Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda umumnya

berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa para ahli tentang batasan usia lansia

adalah sebagai berikut :

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) ada empat yaitu :

1. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun.

2. Lanjut usia (elderly) usia ( 60-74) tahun.

3. Lanjut usia tua (old) usia (75-90) tahun. 4. Usia sangat tua (very old)

usia > 90 tahun.

2.1.3 Tipe lansia

Tipe lansia tergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,

kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Padila, 2013). Tipe tersebut

diantaranya adalah :

1. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah rendah

hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi

panutan.

2. Tipe mandiri

Menggantikan kegiatan yang hilang dengan baru, selektif dalam

mencari pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi

undangan.
9

3. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabra, mudah tersinggung, sulit dilayani,

pengkritik, dan banyak menuntut.

4. Tipe bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,

menyesal,

pasif dan acuh tak acuh.

2.1.4 Tugas perkembangan lansia

Padila ( 2013) menyatakan kesiapan lansia untuk beradaptasi terhadap

tugas perkembangan lansia dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap

sebelumnya. Tugas perkembangannya adalah sebagai berikut :

1. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.

2. Mempersiapkan diri untuk pensiun.

3. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.

4. Mempersiapkan kehidupan baru.

5. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial / masyarakat secara

santai.

2.1.5 Proses menua (Aging Proces)

Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan

manusia. Proses menua adalah proses sepanjang hidup yang ridak hanya

dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimuali sejak permulaan

kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang

telah memulai tahap-tahap kehidupan yang neonatus, toddler, pra school,


10

school, remaja, dewasa, dan lansia. Tahapan berbeda ini dimulai baik

secara biologis maupun psikologis (Padila, 2013).

2.1.6 Perubahan fisik (fisiologis)

Perubahan yang lazim pada usia lanjut : Menurut Padila tahun 2013,

usia lanjut mengalami perubahan fisik /biologis sebagai berikut :

1. Perubahan dan konsekuensi fisiologis usian lanjut pada sistem kardiovaskuler:

a. Elastis dinding aorta menurun.

b. Perubahan miokard, atrofi menurun.

c. Lemak sub endocard menurun, fibrosis, menebal, sclerosis.

d. Katup jantung mudah fibrosis dan klasifikasi (kaku).

e. Peningkatan jaring ikat pada Sa Nod

2. Perubahan dan konsekuensi fisiologis usian lanjut pada sistem gastroistestinal:

a. Terjadi atropi mukosa.

b. Atropi dari sel kelenjar, sel pariental, dan sel chief akan menyebabkan

sekresi asam lambung, pasien dan faktor intrinsik berkurang.

c. Ukuran lambung pada lansia menjadi kecil, sehingga daya tampung

makanan menjadi lebih berkurang.

3. Perubahan dan konsekuensi fisiologis usian lanjut pada sistem respiratori:

a. Perubahan seperti hilangnya silia dan menurunnya refleks batuk dan

muntah
11

mengubah keterbatasan fisiologis dan kemampuan perlindungan pada

sistem pulmonal.

b. . Perubahan anotomis sperti penurunan komplians paru dan dinding dada

turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada usia

60 tahun.

c. Atrofi otot-otot pernafasan dan penururn kekuatan otot-otot pernapasan

pada

lansia.

4. Perubahan dan konsekuensi fisiologis usian lanjut pada sistem

muskuloskeletal:

a. Penurunan kekuatan otot yang di sebabkan oleh penurunan massa otot

(atropi otot).

b. Ukuran otot mengecil dan penurunan massa otot lebih banyak terjadi

pada

ekstremitas bawah.

c. Sel otot yang mati di gantikan oleh jaringan ikat dan lemak.

d. Kekuatan atau jumlah daya yang di hasilkan oleh otot menurun dengan

bertambahnya usia.

e. Kekuatan otot ekstremitas bawah berkurang sebesar 40% antara usia 30

sampai 80 tahun.
12

5. Perubahan dan konsekuensi fisiologis usia lanjut pada sistem endokrin:

Sistem endokrin mempunyai fungsi yaitu sebagai sistem yang utama

dalam mengontrol seluruh sistem menstimulus sperti proses yang

berkesinambungan dalam tubuh sebagai pertumbuhan dan perkembangan,

metabolisme dalam tubuh, reproduksi, dan pertahanan tubuh terhadap berbagai

serangan-serangan penyakit atau virus.

6. Perubahan dan konsekuensi fisiologis usia lanjut pada sistem intergumen:

Perubahan pada sistem intergumen yang terjadi pada dewasa lanjut yaitu

keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang keelastisannya

karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa, kelenjar-kelenjar

keringat mulai tak bekerja dengan baik, sehingga tidak begitu tahan terhadap

panas dengan temperatur yang tinggi, kulit pucat dan terdapat bintik-bintik hitam

akibat menurunnya aliran darah dan menurunnya sel- sel yang memproduksi

pigmen, menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan penyembuhan

luka-luka kurang baik, kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh

dan temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang menurun.

7. Perubahan dan konsekuensi fisiologi usia lanjut pada sistem neurologi:

Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem syaraf pada dewasa lanjut

atau lansia yaitu berat otak menurun, hubungan persyarafan cepat menurun,

lambat dalam respon dan waktu untuk berpikir, berkurangnya penglihatannya,

hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf pencium dan perasa lebih sensitif

terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin, kurang

sensitif terhadap sentuhan, cepat menurunkan hubungan persyarafan, reflek


13

tubuh akan semakin berkurang serta terjadi kurang koordinasi tubuh dan

membuat dewasa lanjut menjadi cepat pikun dalam mengingat sesuatu.

8. Perubahan dan konsekuensi fisiologis usia lanjut pada sistem genetourinari:

Dengan bertambahnya usia, ginjal akan kurang efisien dalam

memindahkan kotoran dari aliran darah. Kondisi kronis, seperti diabetes atau

tekanan darah tinggi, dan beberapa pengobatan dapat merusak ginjal. Dewasa

lanjut yang berusia 65 tahun akan mengalami kelemahan dalam kontrol kandung

kemih. Inkontinensia urine dapat di sebabkan oleh beragam masalah kesehatan,

seperti obesitas, konstipasi, dan batuk kronik.

9. Perubahan dan konsekuensi fisiologis usia lanjut pada sistem sensori:

Perubahan pada panca indra. Pada hakekatnya panca indra merupakan

suatu organ yang tersusun dari jaringan, sedangkan jaringan sendiri merupakan

kumpulan sel yang mempunyai fungsi yang sama. Karena mengalami proses

penuaan (aging) sel yang telah berubah bentuk maupun komposisi sel tidak

normal. Maka secara otomatis fungsi indra pun akan mengalami penurunan. Hal

ini dapat dilihat pada orang tua yang berangsur-angsur mengalami penurunan

pendengarannya dan mata kurang kesanggupan melihat secara fokus objek yang

dekat bahkan ada yang menjadi rabun, demikian juga indra pengecap, perasa,

penciuman berkurang sensitifitasnya.

2.1.7 Perubahan fisik (patologis) yang lazim pada usia lanjut


14

Menurut Padila tahun 2013 usia lanjut mengalami perubahan fisik /biologis

(patologis) sebagai berikut :

1. Perubahan dan kosekuensi patologis usia lanjut pada sistem kardiovaskuler.

Penyakit kardiovaskuler yang sering terjadi pada lansia :

a. Hipertensi

Kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg

dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena

menurunnya elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak di tangani, hipertensi

dapat memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah (Arteriokolosies),

serangan / gagal jantung, dan ginjal.

b. Penyakit jantung koroner

Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah menuju jantung

terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri dada, sesak napas, pingsan,

hingga kebingungan.

c. Disritmia

Insiden disritmia arterial dan vaskuler meningkat pada lansia karena

perubahan struktual dan fungsional pada penuaan. Masalah di picu oleh disritmia

dan tidak terkoordinasinya jantung sering di manifestasikan sebagai perubahan

perilaku, palpitasi, sesak nafas, keletihan, dan jatuh.

d. Penyakit peripheral vascular

Gejala yang paling sering adalah rasa terbakar, kram, dan nyeri sangat yang

terjadi pada saat aktivitas fisik dan hilang pada saat istirahat.
15

2. Perubahan dan kosekuensi patologis usia lanjut pada sistem gastroistestinal :

a. Produksi saliva menurun sehingga proses perubahan kompleks

karbohidrat menjadi disakarida.

b. fungsi ludah sebagai pelicin berkurang sehingga proses menelan

lebih sukar.

c. Penurunan fungsi kelenjar pencernaan sehingga keluhan

kembung, perasaan tidak di perut.

d. Intoleransi terhadap makanan terutama lemak.

e. Kadar selulosa menurun sehingga sembelt (konstipasi).

f. Gangguan motilitas otot polos esofagus atau refluks disease pada

usia 60-70 th.

g. Penyakit yang sering diderita : gastritits, ulkus peptikum.

h. Gejala : biasanya tidak spesifik, penurunan berat badan, mual-

mual dan perasaan tidak enak di perut.

i. Tingkat komplikasi (perforasi), cukup tinggi kurang lebih 50% pada usia diatas

70 th.

2.2 Konsep Hipertensi pada Lansia

2.2.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140

mmHg atau tekanan diastolic sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya


16

beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain

seperti penyakit syaraf, ginjal dan pembuluh darah dan semakin tinggi tekanan

darah, semakin besar resikonya (Sylvia A. Price, 2015).

2.2.2 Etiologi

Corwin (2000) yang dikutip oleh Wijaya & Putri (2013),

menjelaskan hipertensi tergantung pada kecepatan jantung, volume

sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Peningkatan kecepatan

denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau

hormon pada nobus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang

berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun,

peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh

penurunan volume sekuncup sehingga tidak menimbulkan hipertensi.

Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi

apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat

ganguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang

berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun

penurunan darah keginjal dapat mengubah penanganan air dan garam

oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan

volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup

dan tekanan darah. Peningkatan preload biasanya berkaitan dengan

peningkatan tekanan sistolik (Wijaya & Putri, 2013).

Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada

peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau resposivitas


17

yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal

tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Padah

peningkatan TPR, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan

demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong

darah melintasi pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebabkan

peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan

peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung

lama, maka ventrikel kiri mungkin mengalami hipertrofi (membesar).

Dengan hipertrofi, kebutuhan oksigen pada ventrikel semakin meningkat

sehinga ventrikel harus mampu memompa darah lebih keras lagi untuk

memenuhi kebutuhan tersebut. Pada hipertrofi, sarat-sarat otot jantung

juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya

menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup (Wijaya &

Putri, 2013).

2.2.3 Klasifikasi

klasifikasi hipertensi terbagi menjadi 2 yaitu:

a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun

dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak

(inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi.

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang

terindentifikasi lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi


18

renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan

obat-obatan.

Kemenkes RI (2014) menyatakan terdapat jenis hipertensi yang lain:

Terdapat jenis hipertensi yang lain:

1. Hipertensi Pulmonal

Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada

pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan

pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi

pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan toleransi

dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Hipertensi pulmonal primer

sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering didapatkan

pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3

kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival / sampai timbulnya gejala

penyakit sekitar 2-3 tahun.

2. Hipertensi Pada Kehamilan

Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya terdapat pada saat

kehamilan, yaitu:

a. Preeklampsia-eklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang diakibatkan

kehamilan/keracunan kehamilan ( selain tekanan darah yang meninggi, juga

didapatkan kelainan pada air kencingnya ). Preeklamsi adalah penyakit yang


19

timbul dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena

kehamilan.

b. Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu

mengandung janin.

c. Preeklampsia pada hipertensi kronik, yang merupakan gabungan preeklampsia

dengan hipertensi kronik.

d. Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat.

Penyebab hipertensi dalam kehamilan sebenarnya belum jelas. Ada yang

mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah, ada

yang mengatakan karena faktor diet, tetapi ada juga yang mengatakan disebabkan

faktor keturunan, dan lain sebagainya (Kemenkes.RI,2014).

Tabel 2.1Klasifikasi hipertensi Menurut European Society Of

Cardiologi

Kategori Tekanan Sistolik Tekanan diastolik


(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 Dan < 80
Normal 120 – 129 dan/atau 80 – 84
Normal tinggi 130 – 139 dan/atau 85 – 89
Hipertensi derajat I 140 – 159 dan/atau 90 – 99
Hipertensi derajat II 160 – 179 dan/atau 100 – 109
Hipertensi derajat III ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Hipertensi sistolik ≥ 190 Dan < 90
terisolasi
Sumber : Koass saraf Untar periode 28 Januari –2 Maret 2013

2.2.4 Faktor Risiko Hipertensi

Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat

dikontrol, antara lain:

Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:

a. Jenis kelamin
20

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun

wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang

belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan

dalam meningkatkan kadarHigh Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol

HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses

aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya

imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai

kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi

pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon

estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami,

yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun. Hal ini sering

dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause.

b. Umur

Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi

orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang

yang berusia lebih muda. Hipertensi sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun;

wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah

menopause. Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan

dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-

arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan

mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu

kehilangan daya penyesuaian diri.

c. Keturunan (Genetik)
21

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga

itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium

terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko

dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak

mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki

kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah

penderita hipertensi.

Faktor resiko yang dapat dikontrol:

1. Obesitas

Pada usia > 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi

penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan

meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat

memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah,

hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah,

terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada

orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya

normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan

lebih.

2. Kurang Olahraga.

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak

menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer

yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung

sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih
22

berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko

tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-

orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot

jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan

sering jantung

harus memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri.

3. Kebiasaan Merokok

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat

dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya

stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.

4. Mengkonsumsi garam berlebih

Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)

merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya

hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100

mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium

yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler

meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga

volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler

tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada

timbulnya hipertensi.

5. Minum alkohol
23

Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan

organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol berlebihan

termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.

6. Minum kopi

Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi

mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi

meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.

7. Stress

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf

simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak

menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah

menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di

masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat

dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang

tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan

resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi

aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat berhubungan dengan pekerjaan,

kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.

2.2.5 Penatalaksanaan Hipertensi

a. Manajemen Non Farmakologi


24

Managemen non farmakologi (modifikasi gaya hidup terapeutik)

memainkan peranan penting dalam managemen hipertensi. Beberapa manajemen

non farmakologi dalam mengontrol tekanan darah antara lain :

1. Penurunan berat badan

Penurunan berat badan adalah yang paling menguntungkan bagi pasien

yang mempunyai lebih dari 10% kelebihan berat badan. Target praktis untuk

pasien kelebihan berat badan adalah pengurangan minimum 5% berat badan.

Namun penurunan berat badan sebesar 4,5 kg secara signifikan mengurangi TD.

2. Mengurangi Konsumsi Sodium

Pengaruh pembatasan natrium dalam hipertensi dapat bervariasi. Subyek

lansia lebih sensitif terhadap asupan natrium. Rata-rata, pengurangan 4 mmHg

sistolik dan diastolik 2 mmHg dicapai dengan pembatasan natrium. Konsumsi

<100 mmol natrium atau 6g natrium klorida sehari dianjurkan (setara dengan <1/4

sendok teh garam atau 3 sendok teh monosodium glutamat).

3. Menghindari konsumsi alkohol berlebihan

Alkohol memiliki efek akut dalam meningkatkan TD. Saran standar untuk

membatasi asupan tidak lebih dari 21 unit untuk pria dan 14 unit untuk wanita per

minggu (1 unit setara dengan 1/2 gelas bir atau 100 ml anggur atau 20ml wiski).

Pasien hipertensi yang menjadi peminum berat lebih cenderung memiliki

hipertensi resisten terhadap obat. Satu-satunya cara untuk mengurangi TD pasien

efektifnya adalah dengan mengurangi atau menghentikan konsumsi alkohol.

Mengurangi alkohol dapat menurunkan tekanan sistolik 10 mmhg dan diastolik 7

mmhg.

4. Olahraga secara teratur


25

Jenis latihan aerobik lebih efektif daripada latihan yang melibatkan

pelatihan resistensi, (misalnya angkat besi). Saran umum kesehatan jantung

olahraga ringan, seperti jalan cepat selama 30-60 menit setidaknya 3 kali

seminggu.

5. Pengaturan diet

Tujuan dari diet hipertensi adalah untuk membantu menurunkan tekanan

darah dan membantu menghilangkan penimbunan cairan dalam tubuh atau

bengkak. Syarat diet meliputi

a. Makanan beraneka ragam mengikuti pola gizi seimbang

b. Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi

penderita

c. Jumlah garam disesuaikan dengan berat ringannya penyakit dan

obat yang diberikan.

6. Berhenti merokok

Hal ini penting dalam manajemen keseluruhan dari pasien dengan

hipertensi dalam mengurangi risiko kardiovaskular. Dengan berhenti merokok

tekanan darah akan turun secara perlahan , disamping itu jika masih merokok

maka obat yang dikonsumsi tidak akan bekerja secar optimal dan dengan berhenti

merokok efektifitas obat akan meningkat (Santoso, 2001).

7. Relaksasi otot progresif

Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rustono et al, 2015. relaksasi

progresif yang dilakukan secara rutin selama ±20 menit dalam 5 hari berturut-

turut dapat menurunkan tekanan darah, hal ini dapat disebabkan pembuluh darah
26

didalam tubuh dapat lebih elastis dan badan lebih rileks setelah dilakukan teknik

relaksasi progresif tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan ada penurunan

tekanan darah sistole kurang lebih 30 mmHg dan diastole 10 mmhg sesudah

dilakukan relaksasi progresif.

b. Manajemen Farmakologi

Muttaqin (2009) menyatakan pengobatan farmakologi hipertensi terdiri dari:

1. Diuretik

Hidroklorotiazid adalah diuretik yang paling sering diresepkan untuk

mengobati hipertensi ringan. Dapat diberikan sendiri pada klien dengan hipertensi

ringan atau klien yang baru. Banyak obat antihipertensi dapat menyebabkan

retensi cairan; karena itu, sering kali diuretik diberi bersama antihipertensi.

2. Simpatolitik (menekan simpatetik)

Penghambat (adrenergik bekerja di sentral simpatolitik), penghambat

adrenergik alfa, dan penghambat adrenergik beta, juga dianggap sebagai

simpatolitik dan menghambat reseptor beta.

3. Vasodilator arteriol yang berkerja langsung

Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja

merelaksasikan otot-otot polos pembuluh darah, terutama arteri, sehingga

menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akan

turun dan natrium serta air tertahan sehingga terjadi edema perifer.

4. Antagonis angiotensin (ACE inhibitor)


27

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara

kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif,

yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan

otak. Angiotensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan

aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan

angiotensin II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐

aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi

diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar.

5. Penghambat saluran kalsium (blocker calcium antagonis)

Blokir jalur kalsium akan memperlambat gerakan kalsium ke dalam sel-sel

pembuluh darah jantung dan darah, karena kalsium menyebabkan kontraksi

jantung kuat, maka obat ini mudah membuat kontraksi jantung dan mengendurkan

pembuluh darah.

2.2.6 Komplikasi Hipertensi

1. Gagal Jantung

Terjadi bila jantung memompa terlalu keras dalam waktu yang terlalu lama.

Hal ini akan memicu penurunan efisiensi jantung dan sering menyebabkan gagal

jantung. Dengan tekanan darah tinggi, tercatat bahwa resiko untuk mengalami

gagal jantung meningkat sampai enam kali lipat.

2. Stroke

Stroke dapat disebabkan karena adanya sumbatan pada arteri yang

membawa darah ke otak. Sumbatan tersebut menghambataliran darah dan oksigen

ke otak dan memicu terjadinya infark(kematian sel-sel).


28

Terlihat bahwa pasien dengan tekanan darah tinggi beresiko tigakali lebih

besar untuk terkena stroke. Banyak pasien dengan tekanan darah tinggi tidak

mengalami gejala tekanan darah tinggi sampai mereka terkena serangan jantung

atau stroke.

3. Kebutaan atau Kerusakan Penglihatan

Dapat terjadi bila pembuluh darah kecil yang di belakang mata mengalami

kerusakan atau tersumbat. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan

kebutaan.

4. Infark Miokardial

Infark miokardial atau sering dikenal serangan jantung terjadi ketika ada

bagian dari otot jantung yang kekurangan oksigen sehingga mengalami kematian.

Kemungkinan terjadinya serangan jantung meningkat tiga kali lipat pada orang

yang memiliki tekanan darah tinggi.

2.3 Konsep Relaksasi Otot Progresif

2.3.1 Definisi

Relaksasi merupakan suatu bentuk tekhnik yang melibatkan pergerakan

anggota badan dan bisa dilakukan dimana saja (potter & perry, 2005). Tekhnik ini

didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh berespon pada ansietas yang

merangsang karena nyeri atau kondisi penyakitnya, tekhnik relaksasi dapat

menurunkan ketegangan fisiologis (Asmadi, 2008).

Relaksasi progresif adalah latihan terinstruksi yang meliputi pembelajaran

untuk mengerutkan dan merilekskan kelompok otot secara sitemik, dimulai

dengan kelompok otot wajah dan berakhir pada otot kaki. Tindakan ini biasanya
29

memerlukan waktu 15-30 menit, dapat disertai dengan instruksi yang

mengarahkan individu untuk memperhatikan kelompok otot yang direlaksasikan

( Johnson, 2005). Selain itu manfaat tekhnik relaksasi progresif bagi pasien

diantaranya mengurangi ketengangan dan kecemasan (paula, 2002).

Manuver slow deep breathing (nafas dalam) adalah tindakan

nonfarmakologis pada pasien hipertensi yang dapat membantu dalam menurunkan

tekanan darah. Maneuver ini memiliki system yang meningkatkan sensitivitas

baroreflek dari arteri kemudian peningkatan firing rate dari baroreseptor ini

kemudian berdampak pada beberapa faktor , diantaranya menurunkan impuls

saraf simpatis dan membuat pembuluh darah ferifer menjadi vasodilatasi yang

kemudian dapat menurunkan tekanan darah (Wendy et al, 2016).

Terapi latihan adalah gerak tubuh, aktifitas fisik yang dilakukan secara

sistematis dengan tujuan :

a. Memperbaiki atau menghindari keluhan

b. Memperbaiki atau meningkatkan aktivitas fungsional

c. Menghindari atau tindakan preventif dari adanya penurunan derajat kesehatan

dari factor-faktor resiko

d. Optimalisasi status sehat, kebugaran atau kondisi yang baik (Kisner, 2007)

2.3.2 Kegunaan Relaksasi Otot Progresif

Tujuan latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan responden yang

dapat mengurangi respon stress. Bila tujuannya telah tercapai maka aksi

hipotalamus akan menyesuaikan dan terjadi penurunan aktifitas system saraf


30

simpatis dan parasimpatis. Urutan efek fisiologis dan gejala maupun tandanya

akan terputus dan stress psikologis akan berkurang (Hamarno, 2010).

Setyoadi& kushariyadi( 2010) menyatakan tujuan dari teknik ini adalah untuk :

a. Menurunkan ketegangan otot, kececmasan, nyeri leher dan

punggung,tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolic.

b. Mengurangi disritma jantung, kebutuhan oksigen.

c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan tidak

memfokuskan perhatin serta rileks.

d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.

e. Memperbaiki kemampuan untuk menangani stress.

f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilias, spasme otot, fobia

ringan.

g. Membangun emosi positif dan emosi negatif

Burn dikutip oleh Beech, dkk (2000) menyatakan ada beberapa

keuntungan yang diperoleh dari relaksasi yaitu :

a. Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang

berlebihan karena adanya stress

b. Masalah yang berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit kepala,

insomnia dapat diobati atau diatasi dengan relaksasi

c. Mengurangi tingkat kecemasan

d. Mengontrol antixipatory anxiety sebelum situasi yang meminimalkan

kecemasan

e. Kelelahan, aktivitas mental, latihan fisik dapat diatasi lebih cepat dengan

tekhnik relaksasi
31

f. Relaksasi merupakan bantuan untuk menyembuhkan penyakit tertentu dan

pasca operasi

Pengoptimalan stimulasi pada muscle spindle dan golgi tendon organ lebih

maksimal karena terdapat respon authogenic inhibition yang ditimbulkan oleh

adanya prinsip isometric yang memberikan respon relaks melalui perangsangan

otot kemudian dibantu dengan ekspirasi diakhir pelaksanaan isometric. Hal ini

akan menyebabkan pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot (fascia

dan tendon), sehingga relaksasi yang optimal pada otot terjadi kemudian nyeri

menurun (Sibernagl, 2009).

2.3.3 Kaitan Relaksasi Otot Progreif dengan penuruan tekanan darah

Hasil penelitian Iham dkk (2019) ini sejalan dengan teori yang mengatakan

bahwa menciptakan keadaan rileks seperti melakukan teknik relaksasi otot

progresif merupakan salah satu cara penatalaksanaan hipertensi secara non

farmakalogis yang efektif karena Relaksasi otot progresif bersifat vasodilator

yang efeknya memperlebar pembuluh darah dan dapat menurunkan tekanan darah

secara langsung (Muttaqin, 2014). Relaksasi ini menjadi metode relaksasi

termurah, tidak ada efek samping, mudah dilakukan, membuat tubuh dan pikiran

terasa tenang dan rileks (Jacob, 2010 dalam Erwanto, 2017). Sesuai dengan teori

Kushariyadi dan Setyoadi (2011) yang menyatakan bahwa relaksasi otot progresif

dapat menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,

tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolik, mengurangi distrima

jantung, kebutuhan oksigen, meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi

ketika klien sadar dan tidak memfokuskan perhatian serta rileks, mengatasi

kelelahan dan spasme otot.


32

Pada penelitian ini ditemukan adanya penurunan tekanan darah pada lansia.

penurunan tekanan darah terjadi karena pada saat kondisi tubuh seseorang yang

merasakan relaks, tenang, istirahat pikiran, otot-otot rileks mata tertutup dan

pernapasan teratur maka keadaan inilah yang dapat menurunkan tekanan darah

pada lansia yang menderita hipertensi. Sehingga lansia yang serius dalam

melakukan relaksasi otot progresif mengalami penurunan tekanan darah. Dengan

demikian, saat melakukan relaksaksi otot progresif dengan tenang, rileks dan

penuh kosentrasi terhadap tegang dan relaksasi otot yang dilatih selama 30 menit

maka sekresi CRH (cotricotropin releasing hormone) dan ACTH

(adrenocorticotropic hormone) di hipotalamus menurun. Penurunan kedua sekresi

hormon ini menyebabkan aktivitas syaraf simpatis menurun sehingga pengeluaran

adrenalin dan noradrenalin berkurang, akibatnya terjadi penurunan denyut

jantung, pembuluh darah melebar, tahanan pembuluh darah berkurang dan

penurunan pompa jantung sehingga tekanan darah arterial jantung menurun

(Smeltzer & Bare,2010).

2.4 Kerangka Konsep

Faktor resiko
1. Resiko yang dapat dikontrol: obesitas, kurang,stress.
2. Resiko yang tidak dapat dikontrol: Keturunan,jenis
kelamin,umur

Penyempitan pembuluh darah

Hipertensi
33

Gejala: Pusing, mual,muntah, lemas, kelelahan,

Terapi non Farmakologi Terapi Farmakologi

Terapi akivitas 1. Diuretik


Terapi komplementer
2. Antagonis
angiotensin
Relaksasi Otot Progresif 3. Blocker calcium
antagonis

Penurunan CRH (cotricotropin releasing hormone) dan ACTH


(adrenocorticotropic hormone) sekresi hormon ini menyebabkan aktivitas
syaraf simpatis menurun sehingga pengeluaran adrenalin dan noradrenalin
berkurang, akibatnya terjadi penurunan denyut jantung, pembuluh darah
melebar, tahanan pembuluh darah berkurang dan penurunan pompa jantung
sehingga tekanan darah arterial jantung menurun.

Penurunan Tekanan darah

: Diteliti
:
Tidak Diteliti

Gambar 2.1 kerangka konsep terapi Relaksasi Otot Progresif untuk menurunkan tekanan darah

Ket :
Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140

mmHg atau tekanan diastolic sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya

beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain

seperti penyakit syaraf, ginjal dan pembuluh darah dan semakin tinggi tekanan

darah, semakin besar resikonya (Sylvia A. Price, 2015), Anggraini,dkk (2009)

menyatakan bahwa faktor-faktor yang tidak dapat di control yaitu keturunan,jenis


34

kelamin,umur sedangkan faktor Resiko yang dapat dikontrol obesitas,

kurang,stress sehingga menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan

mengakibatkan hipertensi, adapun gejala dari hipertensi dalam buku (Nanda NIC-

NOC,2015) yaitu pusing, mual,muntah, lemas,kelelahan.

Penanganan hipertensi secara garis besar menurut lewis (2000) dibagi

menjadi 2 jenis yaitu nonfarmakologis dan farmakologis. Kondisi patologis

hipertensi memerlukan penanganan atau terapi. Terapi hipertensi dapat

dikelompokan dalm terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis. Terapi

nonfarmakologis merupakan terapi tanpa menggunakan agen obat dalam proses

terapinya, sedangkan terapi farmakologis menggunakan obat atau senyawa yang

dalam kerjanya dapat mempengaruhi tekanan darah pasien. Pengelompokan terapi

farmakologis yang digunakan untuk mengontrol tekanan darah pada pasien

hipertensi adalah Diuretik , Antagonis angiotensin, blocker calcium antagonis

sesese sedangkan terapi nonfarmakologis yaitu terapi aktivitas dan terapi

komplementer, adapun jenis terapi komplementer untuk menurunkan hipertensi

yaitu ada terapi relaksasi otot progresif.

Relaksasi progresif adalah latihan terinstruksi yang meliputi pembelajaran

untuk mengerutkan dan merilekskan kelompok otot secara sitemik, dimulai

dengan kelompok otot wajah dan berakhir pada otot kaki,kaitan dengan relaksasi

otot progresif untuk menurunkan hipertensi yaitu saat melakukan relaksaksi otot

progresif dengan tenang, rileks dan penuh kosentrasi terhadap tegang dan

relaksasi otot yang dilatih selama 30 menit maka sekresi CRH (cotricotropin

releasing hormone) dan ACTH (adrenocorticotropic hormone) di hipotalamus

menurun. Penurunan kedua sekresi hormon ini menyebabkan aktivitas syaraf


35

simpatis menurun sehingga pengeluaran adrenalin dan noradrenalin berkurang,

akibatnya terjadi penurunan denyut jantung, pembuluh darah melebar, tahanan

pembuluh darah berkurang dan penurunan pompa jantung sehingga tekanan darah

arterial jantung menurun (Smeltzer & Bare,2010).

Anda mungkin juga menyukai