Anda di halaman 1dari 7

TUGAS INDIVIDU

METODE PENELITIAN

“REVIEW JURNAL”

OLEH:

NAMA : NURCAHYANI PRATIWI R


NIM : O1A1 18 185
KELAS : D
DOSEN : YAMIN, S. Pd., M. Sc

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019

REVIEW JURNAL
UJI EFEK IMUNOMODULATOR EKSTRAK BUAH PARE MELALUI
PENGUKURAN AKTIVITAS DAN
KAPASITAS FAGOSITOSIS SEL MAKROFAG
PERITONEUM MENCIT SECARA IN VITRO

PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya

angka kesakitan dan kematian di dunia. Sekitar 75% dari beban infeksi ini

terdapat di negara-negara berkembang. Studi yang dilakukan di berbagai belahan

dunia menunjukkan bahwa di Amerika Utara dan Eropa 5% - 10% dari semua

rumah sakit mengakibatkan infeksi nosokomial, sementara Amerika Latin, Sub-

Sahara Afrika dan Asia menunjukkan lebih dari 40% rawat inap dengan infeksi

nosokomial (Khan, dkk., 2015). Di Indonesia infeksi nosokomial mencapai 15,74

% jauh di atas negara maju yang berkisar 4,8-15,5% (Ranjith, 2008).

National Healthcare Safety Network bersama dengan Pusat Pengendalian

dan Pencegahan Penyakit mengklasifikasikan infeksi nosokomial ke dalam 13

jenis dengan 50 tempat infeksi yang spesifik atas dasar kriteria biologis dan klinis.

Agen yang biasanya terlibat di dalam infeksi nosokomial termasuk Streptococcus

spp., Acinetobacter spp., Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, coagulase-

negative Staphylococci, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Legionella dan

familia Enterobacteriaceae yaitu Proteus mirablis, Klebsiella pneumonia,

Escherichia coli, dan Serratia marcescens (Khan, dkk., 2015).

Staphylococcus epidermidis sebelumnya dianggap sebagai

mikroorganisme flora normal pada kulit manusia, sekarang dilihat sebagai

patogen oportunistik penting. Berasal dari familia yang sama, S. aureus sangat
virulen, namun S. epidermidis menempati peringkat pertama di antara penyebab

agen infeksi nosokomial lainnya (Paul dan Sarmistha, 2010).

S. epidermidis merupakan sumber yang paling umum dari infeksi pada

perangkat medis. Ini mungkin berasal dari kenyataan bahwa S. epidermidis

merupakan bakteri permanen dan terdapat dimana-mana pada kulit manusia dan

menghasilkan probabilitas tinggi kontaminasi perangkat sisipan. Meskipun infeksi

S. epidermidis jarang berkembang menjadi penyakit yang mengancam kehidupan,

frekuensi, dan kenyataan bahwa bakteri ini sangat sulit untuk diobati merupakan

beban serius bagi sistem kesehatan masyarakat. Penggunaan antibiotik spektrum-

luas yang berlebihan dan tidak tepat, terutama dalam pengaturan kesehatan, tidak

hanya menjadi masalah kesehatan besar tapi juga menyebabkan kerugian ekonomi

di masyarakat (Khan, dkk., 2015).

Sistem imun alami tubuh, secara normal dapat mengatasi infeksi jika

sistem imun tersebut tidak mengalami supresi atau gangguan. Sistem tersebut

sangat membantu dalam mendukung homeostasis tubuh. Namun, apabila sistem

imun ini terganggu maka perlu pengobatan dengan menggunakan bahan-bahan

yang dapat memodulasi sistem imun tubuh yang dikenal sebagai imunomodulator.

Obat golongan imunomodulator bekerja menurut tiga cara, yaitu melalui

imunosupresi, imunorestorasi, dan imunostimulasi. Imunorestorasi dan

imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan

imunosupresi disebut down regulation (Assidqi, dkk., 2015).

Salah satu tanaman yang telah banyak dikenal dan digunakan secara luas

oleh masyarakat Indonesia adalah buah pare (Momordica charantia L.).


Kandungan kimia yang terdapat pada buah pare adalah momordicin, charantin,

polipeptida-P insulin, ascorbigen, asam amino-asam aspartat, serin, asam

glutamat, treonin, alanin, asam g-aminobutirat, asam pipecolic, luteolin, asam

lemak–laurat, miristat, palmitat, palmitoleat, stearat, oleat, linoleat, dan asam

linolenat. Beberapa buah pare secara empiris digunakan sebagai obat diabetes,

rabies, antivenom, anthelmintik, penyakit kuning, wasir, kusta, rematik, asam

urat, dan malaria (Paul dan Sarmistha, 2010). Penelitian yang telah dilakukan,

pare berkhasiat sebagai antidiabetes, antiulserogenik, antimutagenik, antioksidan,

antitumor, dan imunomodulator. Telah dilaporkan kandungan protein (α- dan β-

momorcharin) pada buah pare memiliki efek penghambatan terhadap virus HIV.

Peranginangin, 2009 menyatakan bahwa ekstrak etanol buah pare dengan dosis

245, 490, dan 980 mg/kg BB menunjukkan bahwa pada dosis 980 mg/kg BB

dapat meningkatkan fagositosis makrofag sebesar 74,6% dibanding kontrol

negatif sebanding dengan Imboost® (Anilakumar, dkk., 2015).


METODE

Metode In Vitro

Metode in vitro adalah proses metabolisme yang terjadi di luar

tubuh ternak. Metode in vitro (metode tabung) harus menyerupai sistem in

vivo agar dapat menghasilkan pola yang sama sehingga nilai yang didapat juga

tidak terlalu berbeda jauh dengan pengukuran secara in vivo (Khan, dkk.,

2015).

Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam

tubuh ternak (Gusasi, 2014). Pada prinsipnya pemeriksaan in vitro adalah jenis

pemeriksaan yang dilakukan dalam tabung reaksi, piring kultur sel atau di

luar tubuh mahluk hidup. Penelitian in vitro mensyaratkan adanya kontak

antara bahan atau suatu komponen bahan dengan sel, enzim, atau isolasi dari

suatu sistem biologik. Proses kontak dapat terjadi secara langsung, dalam arti

bahan langsung berkontak dengan sistem sel tanpa adanya barier atau dengan

menggunakan barier (Khan, dkk., 2015).

Pemeriksaan in vitro dapat digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas

atau pertumbuhan sel, metabolisme serta fungsi sel. Selain itu, pemeriksaan in

vitro untuk mengetahui pengaruh suatu bahan terhadap genetik sel. Ada

beberapa keuntungan dari pemeriksaan in vitro dibandingkan dengan jenis

pemeriksaan biokompatibilitas lainnya, sebagai berikut (Sunarintyas, 2014):

a. Membutuhkan waktu yang relatif singkat

b. Membutuhkan biaya yang relatif sedikit

c. Dapat dilakukan standarisasi


d. Bisa dilakukan kontrol

Pada pemeriksaan in vitro terdapat dua macam sel yang biasa digunakan

yaitu sel primer dan sel kontinyu. Kedua sel tersebut mempunyai peran

penting dalam melakukan pemeriksaan in vitro, diantaranya (Sunarintyas, 2014):

a. Sel primer: sel yang langsung diambil dari organisme hidup untuk

kemudian

langsung dibiakkan dalam kultur. Sel jenis primer akan tumbuh hanya untuk

waktu yang terbatas, tetapi mempunyai keuntungan bahwa masih tetap

mempertahankan sifat sel pada kondisi in vivo. Merupakan jenis sel yang sering

digunakan untuk melakukan pemeriksaan sitotoksisitas.

b. Sel kontinyu: jenis sel primer yang ditransformasikan untuk dapat ditumbuhkan

dalam kultur. Oleh karena dilakukan transformasi, maka jenis sel ini tidak

lagi mempertahankan semua sifat sel pada kondisi in vivo.


DAFTAR PUSTAKA

Anilakumar, K.R., Garlapati, P.K., dan Nallamuthu, I., 2015, Nutritional,


Pharmacological and Medicinal Properties of Momordica charantia,
International Journal of Nutrition and Food Sciences, 4(1): 75-83.

Assidqi, K., Wahyu T., dan Setyawati S., 2012, Potensi Ekstrak Daun Patikan
Kebo (Euphorbia hirta) sebagai Antibakteri terhadap Aeromonas
Hydrophila, Journal of Marine and Coastal Science, 1(2): 113 – 124.

Ginting, B., 2012, Antifungal Activity of Essential Oils Some Plants in Aceh
Province against Candida Albican, Jurnal Natural, 12(2).

Khan, H.A., Aftab, A., dan Riffat, M., 2015, Nosocomial Infections and their
Control Strategies, Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 5(7):
509-514.

Paul, A., dan Sarmistha, S.R., 2010, Medicinal Uses and Molecular Identification
of Two Momordica charantia Varieties – A Review, Electronic Journal of
Biology, 6(2): 43-51.

Ranjith, M.S., 2008, Enhanced Phagocytosis and Antibody Production by


Tinospora cordifolia – A new dimension in Immunomodulation,
African Journal of Biotechnology, 7(2).

Anda mungkin juga menyukai