Anda di halaman 1dari 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/324601122

Pengkajian, Penulisan, dan Proses Advokasi

Conference Paper · January 2016

CITATIONS READS

0 747

1 author:

Dion Valerian
University of Indonesia
4 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Dion Valerian on 19 April 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pengkajian, Penulisan, dan Proses Advokasi1
oleh Dion Valerian2

Pendahuluan
Latar belakang keilmuan yang penulis pelajari di perguruan tinggi adalah ilmu hukum.
Hal tersebut perlu ditegaskan dari awal, sebab materi yang penulis sampaikan di Kelas
Penulisan ini, misalnya mengenai perspektif analisis kajian dan sistematika penulisan, tentu
sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan itu. Namun, keadaan ini tidak berarti
bahwa penulis sama sekali mengacuhkan perspektif-perspektif lain di luar disiplin ilmu hukum.
Justru, kajian yang baik dan komprehensif seharusnya dirumuskan dengan perspektif analisis
yang beragam. Kecenderungan untuk memakai hanya satu perspektif seringkali mengakibatkan
suatu kajian tidak dapat menangkap suatu fenomena secara utuh. Hukum positif, misalnya,
kerapkali tak mengenal perubahan-perubahan sosial dan tidak jarang mengesampingkan
dimensi kemanusiaan demi mengejar kepastian hukum. Perspektif dari ilmu-ilmu lain perlu
digunakan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan itu. Masalah reklamasi Teluk Benoa
dan Pesisir Utara Jakarta, tentu tidak dapat didekati dengan perspektif hukum saja; kita
memerlukan pendekatan filsafat, ekologi, sosiologi, ekonomi, perairan/kelautan, hak asasi
manusia, dan gender sekaligus agar dapat merumuskan kajian yang mantap.
Meskipun penulis tumbuh dalam tradisi berpikir ilmu hukum, penulis akan mencoba
menyampaikan materi yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua peserta, yang tentu
datang dari berbagai macam disiplin ilmu. Jika pengkajian dan penulisan hukum adalah
keadaan khusus, maka penulis perlu mencari keadaan umum (universal) dari keadaan khusus
tersebut; keadaan umum inilah yang dapat diterapkan oleh semua peserta dalam merumuskan
kajiannya masing-masing. Keadaan umum itu, menurut penulis, tak lain tak bukan adalah
metode penalaran masalah dan logika penulisan dalam suatu kajian. Kedua hal ini adalah
keadaan umum yang dikenal dan dapat dipakai oleh semua disiplin ilmu.
Penulis memandang bahwa tulisan ini lebih layak disebut sebagai esai reflektif daripada
artikel ilmiah. Ia merupakan esai reflektif sebab ditulis berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan penulis sendiri dalam membuat kajian dan analisis selama kuliah di Fakultas
Hukum UI. Sebab ia berperan sebagai panduan dalam menalar suatu masalah dan

1
Esai disampaikan pada Kelas Kajian dan Kepenulisan, Change Maker Academy BEM Universitas
Indonesia 2016, 7 Oktober 2016, Depok.
2
_Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2016. Pernah menjabat sebagai Wakil
Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis Bidang Kajian di BEM FHUI 2014.

1
menuliskannya dalam suatu kajian, maka esai reflektif ini juga memiliki dimensi praktikal.
Tidak berhenti pada proses penulisan kajian, segi praktikal itu juga sangat tampak dalam hal
penggunaan kajian itu sebagai salah satu bagian dalam strategi gerakan sosial. Pertama, penulis
akan membahas mengenai proses identifikasi masalah dan pemilihan perspektif analisis yang
tepat untuk suatu masalah tertentu. Kemudian, penulis akan menyampaikan tentang metode
penulisan kajian yang tepat serta komprehensif. Terakhir, penulis akan menguraikan mengenai
peran kajian dalam suatu proses advokasi.

Tahap Pengkajian
Hal yang pertama dan utama dalam setiap upaya pengkajian adalah memahami
masalah (fenomena yang dihadapi) secara utuh dan menyeluruh. Ini syarat yang sangat
penting dan tidak dapat ditawar-tawar. Ketidakberhasilan pengkaji dalam memahami suatu
masalah secara utuh-menyeluruh akan membuat analisisnya menjadi sia-sia dan kehilangan
arah. Jika masalah itu tidak bisa dipahami secara utuh-menyeluruh, pengkaji setidaknya harus
mengumpulkan serpihan-serpihan informasi yang diperlukan untuk mendapatkan gambaran
besar dari masalah itu. Informasi-informasi mengenai fenomena yang hendak dipahami itu
dapat ditemukan dalam banyak bentuk, misalnya pemberitaan di media massa, atau didapatkan
langsung dari penelitian lapangan.3 Jika yang hendak dianalisis adalah isu kontemporer, maka
informasi-informasi mengenainya dapat ditemukan di media massa. Apabila informasi itu
masih belum cukup, dapat dilakukan wawancara atau audiensi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.4
Agar didapat suatu gambaran utuh dari masalah yang dikaji, pengkaji harus mengetahui
beberapa hal, antara lain:
1. Apa substansi masalahnya?
2. Apa dan siapa yang menyebabkan masalah itu muncul?
3. Pihak-pihak apa saja yang berkepentingan dengan masalah itu?
4. Bagaimana konteks historis dan sosiologis dari masalah itu?
5. Bagaimana perkembangan dari masalah itu hingga sekarang?
6. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap masalah itu?

3
_Mayoritas analisis hukum, misalnya, adalah penelitian kepustakaan. Pengkaji hukum cukup
memahami peristiwa hukum yang ia hadapi, untuk kemudian menganalisisnya dengan hukum positif ataupun teori
hukum.
4
_Pada beberapa kesempatan, audiensi kepada pihak berwenang justru merupakan tujuan dari kajian dan
aksi massa yang dilakukan. Audiensi itu dapat digunakan untuk mengetahui status atau perkembangan dari
masalah yang diadvokasi, misalnya perkembangan penyidikan suatu kasus pidana. Selain itu, audiensi juga
digunakan untuk menyampaikan rekomendasi dan tuntutan kepada pihak yang berwenang.

2
7. Upaya-upaya apa saja yang sudah dilakukan untuk memahami dan menyelesaikan
masalah itu?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas tidak selalu dapat ditemukan dalam
data kepustakaan. Ada kalanya, pengkaji perlu melakukan penelitian lapangan untuk
mendengar langsung dari masyarakat atau pihak yang terkena dampak dari masalah itu. Kajian
yang dilakukan untuk keperluan advokasi (hukum maupun non-hukum) terhadap suatu
masyarakat tertentu, memerlukan penelitian lapangan untuk mengetahui masalah yang benar-
benar terjadi di situ. Dengan penelitian lapangan, selain dapat mendengar pendapat masyarakat
mengenai masalah yang menimpanya, pengkaji juga dapat membangun kedekatan dengan
masyarakat yang diadvokasi sebagai mitra yang setara.5 Advokasi masalah konflik agraria,
penggusuran permukiman kaum miskin kota, serta masalah-masalah lain yang kerap menimpa
kaum tertindas, selalu membutuhkan penelitian lapangan.
Setelah memahami duduk persoalan, pengkaji kemudian menentukan perspektif-
perspektif apa saja yang akan dipakainya untuk menganalisis masalah tersebut. Pada
tahap ini, pengkaji dapat menganalisis masalah itu dengan perspektif keilmuan yang dia
dalami. Jika pengkaji merasa hanya mampu menganalisis suatu masalah berdasarkan perspektif
disiplin ilmunya sendiri, itu bukan masalah, asalkan pengkaji tersebut mau menerima dan
mempertimbangkan analisis dari pengkaji yang menggunakan disiplin ilmu lain. Sebagai
contohnya adalah penyikapan isu di tingkat BEM se-UI (biasanya dibahas di Sospolnet atau
CEM). Terhadap suatu masalah, katakanlah kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi
UI, masing-masing perwakilan fakultas bertemu untuk menyampaikan hasil analisisnya.
Fakultas Hukum datang dengan analisis hukum pidana dan hukum acara pidana terhadap
penyidikan kasus tersebut; Fakultas Psikologi menguraikan analisis keadaan trauma korban
kekerasan seksual; Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya memaparkan analisis feminisme;
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menyampaikan analisis gender dan viktimologi; dst.
Akhirnya, kajian dari semua disiplin ilmu itu membuat analisisnya menjadi lengkap dan
komprehensif.
Penentuan perspektif analisis berhubungan dengan satu perdebatan klasik tentang
hubungan kajian dan penyikapan masalah. Perdebatan itu, pada pokoknya, adalah sebagai
berikut: mana yang paling benar, apakah: a. hasil kajian menentukan sikap; atau b. sikap
ditentukan terlebih dahulu, baru membuat kajiannya? Penulis sendiri berpendapat bahwa

5
_Mengenai kesetaraan posisi antara pelaku advokasi dan masyarakat yang diadvokasikan, juga tentang
filsafat dan metode pendidikan untuk membebaskan masyarakat tertindas, penulis merekomendasikan agar peserta
membaca buku klasik Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008).

3
sikap terhadap masalah apapun harus ditentukan berdasarkan kajian terlebih dahulu. Namun,
poin krusialnya terletak pada perspektif analisis yang dipilih oleh pengkaji. Menurut penulis,
hasil akhir dari suatu kajian sebenarnya sudah dapat diperkirakan dengan melihat perspektif
apa yang dipakai untuk menganalisis masalah tersebut. Misalnya, mengenai penyikapan
masalah pidana mati. Apabila pengkaji hanya menggunakan perangkat analisis berupa hukum
positif dan menalarnya dengan pikiran yang formalistik, maka tentulah hasil kajiannya sudah
tertebak: pengkaji mendukung pidana mati. Namun, jika pengkaji menggunakan paradigma
hak asasi manusia, dan pendekatan hukum atau kriminologi yang kritis serta progresif, hasilnya
juga tertebak: pengkaji menolak pidana mati. Di sini, penulis berpendapat bahwa suatu masalah
dapat dianalisis dengan beragam pendekatan, yang hasil analisisnya dapat berbeda antara satu
dan lainnya. Pada titik ini, pengkaji menentukan pada perspektif atau metode analisis mana ia
berpihak.

Tahap Penulisan
Tahap selanjutnya setelah pengkaji memahami masalah dan menentukan perpektif
analisis adalah tahap penulisan kajian. Suatu kajian harus dituliskan secara padat, jelas, dan
argumentatif. Terutama pada kajian yang dibuat untuk kepentingan advokasi, intensi dan
intonasi tulisan harus diarahkan untuk meyakinkan khalayak pembaca kajian itu. Dengan bekal
argumen yang kuat dan logis, pengkaji berkesempatan untuk membuat si pembaca kajian agar
menjadi sepemikiran dengannya (pada titik ini, kajian juga memiliki nilai propaganda dan
agitasi). Tulisan harus dibuat dengan sistematis dan berurutan, Pengkaji sangat disarankan
untuk tidak menulis paparan yang melantur dari tema besar tulisan. Jika tulisan diibaratkan
sebagai suatu pohon, maka tidak boleh ada ranting-ranting kecil yang mencuat keluar dari
rerimbunan daun yang menyelubungi pohon itu.6 Untuk menjamin kuatnya argumen dalam
suatu tulisan, maka jalinan rantai pemikiran yang dinalar oleh pengkaji harus disajikan dalam
tulisan yang runut.
Bagian paling awal dalam tubuh suatu tulisan adalah bagian pernyataan masalah.
Pada bagian ini, pengkaji menguraikan tentang fakta-fakta dari suatu fenomena yang dikaji.
Setelah fakta-fakta itu dikemukakan, pengkaji kemudian melokalisasi masalah-masalah apa
saja yang terdapat dalam fenomena itu. Masalah-masalah tersebut harus dituliskan dengan

6
_Jika ada hal yang perlu dipaparkan namun tidak berkaitan langsung dengan substansi tulisan, hal
tersebut dapat dituliskan di catatan kaki.

4
tegas dalam bentuk poin-poin yang berurutan. Semakin pengkaji memahami fenomena yang ia
hadapi, maka kemungkinan munculnya masalah akan semakin banyak.
Masalah-masalah itu kemudian akan dijelaskan dengan perspektif analisis yang sudah
pengkaji tentukan. Pengkaji perlu menjelaskan secara singkat mengenai perspektif yang ia
gunakan tersebut. Setiap poin masalah kemudian dianalisis berdasarkan perspektif itu. Kajian
yang padat dan komprehensif mensyaratkan adanya analisis menyeluruh terhadap masalah-
masalah yang ditemukan. Artinya, tidak boleh ada sisi-sisi dari masalah yang tertinggal dan
tidak dianalisis. Terakhir, pada bagian akhir tulisan, pengkaji kemudian menguraikan
kesimpulan-kesimpulan apa saja yang ia dapat dari analisisnya. Kesimpulan ini juga harus
dihubungkan dengan proses advokasi yang akan dilakukan selanjutnya.
Pada penulisan kajian, setiap mengkaji dapat menggunakan gaya penulisannya masing-
masing. Pengkaji juga bebas mengeksplorasi gaya bahasa apa saja yang ingin ia terapkan dalam
tulisannya. Meskipun demikian, pengkaji sebisa mungkin tidak menggunakan gaya bahasa
yang berlebih-lebihan dan tidak relevan dengan pokok argumen dalam tulisan. Jika
digunakan dengan dosis yang tepat, gaya bahasa akan membuat tulisan enak dan menarik
dibaca. Jika dosisnya tidak tepat, gaya bahasa dapat membuyarkan fokus tulisan. Bahkan, gaya
bahasa yang tak pada tempatnya bisa mengaburkan argumen yang hendak disampaikan
pengkaji. Selanjutnya, dalam pemilihan kata, pengkaji sedapat mungkin menggunakan istilah-
istilah yang efektif dan tidak digunakan berulang-ulang.
Untuk membuat tulisannya menjadi menarik, pengkaji harus sering berlatih menulis.
Dengan latihan yang rutin, pengkaji dapat menemukan gaya penulisan yang khas dirinya. Pula,
seorang pengkaji sebaiknya banyak membaca literatur dan belajar cara menulis dari tulisan
para penulis yang kredibel. Dari tulisan para penulis itu, seorang pengkaji dapat mempelajari
caranya menganalisis masalah dan bagaimana ia menuangkan analisis itu ke dalam tulisannya.
Pengkaji juga sangat perlu membaca banyak literatur untuk menambah perbendaharaan
perspektif analisisnya. Jika ia tidak banyak membaca, maka pengkaji akan terjebak pada cara
pandang yang itu-itu saja; ia tak akan bisa berkembang. Akibatnya, tak ada kesegaran
pemikiran dalam tulisan-tulisannya.

Peran Kajian dalam Advokasi


Secara praktikal, kajian biasanya dijadikan sebagai landasan bergerak dalam
menghadapi suatu isu. Tetapi, sebenarnya, kajian memiliki peran yang lebih dari itu jika
digunakan secara optimal dalam proses advokasi. Contohnya, dalam advokasi hukum kasus
penggusuran pedagang Stasiun Kereta Api se-Jabodetabek, kajian yang dibuat oleh BEM FHUI
5
2013, BEM FHUI 2014, dan LBH Jakarta digunakan sebagai materi dalam gugatan perdata
yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta. Hasil kajian itu pula yang dijadikan dasar
argumen dalam setiap audiensi ke pihak-pihak berwenang.
Selain dibuat untuk menganalisis substansi masalah, kajian juga dapat dibuat untuk
membuat dan mengatur strategi advokasi. Pada kajian strategi advokasi, pengkaji dapat
menganalisis mengenai pihak-pihak atau jaringan-jaringan mana saja yang dapat dihubungi
untuk membangun aliansi dalam mengadvokasi suatu masalah. Pengkaji dapat pula
menentukan bentuk-bentuk advokasi apa saja yang perlu dilakukan terhadap suatu masalah
tertentu, juga langkah demi langkah pelaksanaannya.

Penutup
Dalam esai singkat ini, penulis telah mengemukakan beberapa pokok pikiran mengenai
pengkajian, penulisan, dan peran kajian dalam proses advokasi. Penulis paham bahwa materi
yang penulis sampaikan masih akan terasa terlalu abstrak dan normatif untuk beberapa
pembaca. Materi ini hanya dapat dikonkretkan dan dibawa ke alam nyata apabila ia dipakai
dan diterapkan pembaca dalam menuliskan kajian-kajiannya. Adalah suatu hal yang
menggembirakan bagi penulis jika para pembaca mendapatkan manfaat dari esai ini. Di
samping itu, penulis juga memohon maaf apabila esai ini memiliki kekurangan dan tidak cukup
memuaskan bagi para pembaca. Selebihnya, materi dalam esai ini dapat disempurnakan dengan
proses diskusi dua arah di dalam Kelas Penulisan ini.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai