Anda di halaman 1dari 14

Gasifikasi Batubara

Secara umum, teknologi pemanfaatan batubara terbagi menjadi pembakaran


(combustion), pirolisis (pyrolysis), pencairan (liquefaction), dan gasifikasi (gasification).

Pembakaran merupakan pemanfaatan batubara secara langsung untuk memperoleh energi


panas, menghasilkan produk sampingan berupa gas buang (flue gas) dan abu. PLTU
merupakan salah satu contoh pemanfaatan batubara secara langsung, dimana batubara
dibakar di boiler untuk menghasilkan panas yang akan digunakan untuk mengubah air
menjadi uap air (steam), yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin uap dan
memutar generator untuk menghasilkan energi listrik.

Sedangkan pada pirolisis, batubara dipanaskan dalam kondisi tanpa oksigen. Pada
keadaan demikian, zat terbang (volatile matter) di dalamnya akan terusir keluar. Bila suhu
pemanasannya rendah, proses ini disebut pirolisis suhu rendah (low temperature pyrolysis),
menghasilkan produk berupa bahan bakar padat non asap (coalite). Sedangkan pada pirolisis
suhu tinggi, bila batubara yang diproses adalah batubara kokas, maka akan dihasilkan kokas
yang keras. Selain padatan yang disebut char ataupun kokas, produk sampingan berupa gas
dan material cair yang disebut tar juga akan dihasilkan pada pirolisis. Pada awalnya, gas dan
tar ini tidak dimanfaatkan. Gas hasil pirolisis ini dimulai dimanfaatkan sejak tahun 1800an,
yang digunakan untuk keperluan penerangan. Pemanfaatannya bahkan meluas hingga untuk
bahan bakar (fuel gas), sehingga industri pirolisis yang bertujuan untuk menghasilkan gas
dari batubara pun berkembang pesat. Pada industri ini, gas merupakan produk utama,
sedangkan char atau kokas dan tar merupakan produk sampingan. Sebelum tahun 1960an
ketika bahan baku migas mulai menggeser peranan batubara, suplai gas kota (town gas)
terutama berasal dari pirolisis batubara ini. Adapun untuk tar, pemanfaatannya dimulai pada
pertengahan abad ke-19, ketika perkembangan teknik kimia telah memungkinkan untuk
melakukan distilasi dan pemurnian tar menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia.
Jadi, sebelum industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut
dengan petrochemical berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut
dengan coal-chemical telah lebih dulu eksis.

Dibandingkan dengan minyak, salah satu kekurangan batubara adalah bentuknya yang
berupa padatan, menyebabkan skala dan nilai pemanfaatannya menjadi terbatas. Pencairan
batubara sebenarnya berangkat dari pemikiran untuk lebih meningkatkan nilai guna batubara
seperti halnya minyak. Seperti disinggung pada bahasan pirolisis di atas, salah satu produk
batubara ketika dilakukan pemanasan adalah tar, yang berupa cairan. Pada dasarnya, batubara
dan minyak merupakan material hidrokarbon yang susunan utamanya terdiri dari karbon (C),
hidrogen (H), dan oksigen (O), hanya saja jumlah unsur hidrogen dalam batubara lebih
sedikit bila dibandingkan dengan minyak. Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk cairan
dari batubara yang karakteristiknya menyerupai minyak, perlu diupayakan agar kandungan
hidrogennya diperbanyak sehingga mendekati minyak. Proses ini disebut dengan hidrogenasi
(hydrogenation), dimana batubara dipanaskan dalam kondisi tekanan tertentu, disertai
penambahan katalis. Pencairan batubara dengan metode ini merupakan salah satu pencairan
batubara secara langsung (direct coal liquefaction, DCL) yang disebut dengan proses
Bergius. Metode ini digunakan oleh Jerman selama Perang Dunia I dan II untuk memenuhi
kebutuhan minyak sintetik oleh militer. Selain itu, Jepang pun berhasil mengembangkan
sendiri teknologi DCL ini dengan menggabungkan 3 macam metode pencairan pada batubara
bituminus yaitu, direct hydrogenation, solven extraction, dan Solvolysis. Teknologi tersebut
dikenal dengan proses NEDOL, yang dapat diaplikasikan pula untuk pencairan batubara
muda.

Selain pencairan secara langsung, metode lain untuk menghasilkan minyak sintetik dari
batubara adalah dengan pencairan tidak langsung (indirect coal liquefaction, ICL), yaitu
melalui proses gasifikasi batubara yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Pada
perkembangannya, pencairan batubara akhirnya lebih banyak menggunakan metode tidak
langsung, yaitu melalui gasifikasi.

Teknologi Gasifikasi

Gasifikasi (gasification) adalah konversi bahan bakar karbon menjadi produk gas – gas
yang memiliki nilai kalor yang berguna. Pengertian ini tidak memasukkan istilah pembakaran
(combustion) sebagai bagian daripadanya, karena gas buang (flue gas) yang dihasilkan dari
pembakaran tidak memiliki nilai kalor yang signifikan untuk dimanfaatkan [Higman, van der
Burgt, 2003]. Karena proses ini merupakan konversi material yang mengandung karbon,
maka semua hidrokarbon seperti batubara, minyak, vacuum residue, petroleum
coke atau petcoke, Orimulsion, bahkan gas alam dapat digasifikasi untuk menghasilkan gas
sintetik (syngas).
Karena bertujuan untuk mengenalkan gasifikasi batubara, maka tulisan ini membatasi
pembahasannya hanya pada ruang lingkup gasifikasi batubara dan aplikasinya.

Pada dasarnya, terdapat 3 cara untuk memproduksi gas sintetik dari batubara, yaitu
pirolisis, hidrogenasi, dan oksidasi sebagian (partial oxidation).

Meskipun produksi gas sintetik pada awalnya memanfaatkan teknologi pirolisis, tapi saat
ini pirolisis lebih banyak diaplikasikan untuk memproduksi bio-oil dari bahan baku biomassa.
Metode yang dipakai adalah flash pyrolysis, dimana biomassa dipanaskan secara cepat tanpa
oksigen pada suhu tinggi antara 450~600℃, dengan waktu tinggal gas (residence time) yang
pendek yaitu kurang dari 1 detik. [Bramer, Brem, 2006].

Adapun hidrogenasi yang dimaksud disini adalah hidrogasifikasi (hydro-gasification),


yang bertujuan memproduksi gas metana (Synthetic Natural Gas) langsung dari batubara.
Karena operasional hidrogasifikasi memerlukan tekanan yang tinggi, teknologi ini kurang
berkembang dan akhirnya tidak sampai ke tahap komersial. [Higman, van der Burgt, 2003]

Sedangkan pada oksidasi sebagian, pemanasan batubara dilakukan dengan mengatur


kadar oksigen dari oksidan yang digunakan selama proses berlangsung. Oksidan tersebut
dapat berupa udara (air), oksigen murni, maupuan uap air (steam). Produk yang dihasilkan
oleh oksidasi sebagian adalah gas sintetik, dimana 85% lebih volumenya terdiri dari hidrogen
(H2) dan karbon monoksida (CO), sedangkan karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4)
terdapat dalam jumlah sedikit. Dengan karakteristik produk yang dihasilkan, secara praktikal,
istilah gasifikasi sebenarnya merujuk ke metode oksidasi sebagian. Untuk selanjutnya,
penjelasan tentang gasifikasi batubara akan mengacu ke penggunaan metode oksidasi
sebagian.

Gasifikasi Batubara

Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batubara,
yaitu tipe moving bed (lapisan bergerak), fluidized bed (lapisan mengambang),
dan entrained flow (aliran semburan). Karena masing – masing penggas memiliki kelebihan
dan kekurangan, maka alat mana yang akan digunakan lebih ditentukan oleh karakteristik
bahan bakar dan tujuan gasifikasi.

Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran agak besar,
sekitar beberapa sentimeter (lump coal). Batubara dimasukkan dari bagian atas, sedangkan
oksidan berupa oksigen dan uap air dihembuskan dari bagian bawah alat. Mekanisme ini akan
menyebabkan batubara turun pelan – pelan selama proses, sehingga waktu tinggal (residence
time) batubara adalah lama yaitu sekitar 1 jam, serta menghasilkan produk sisa berupa abu.
Karena penggas model ini beroperasi pada suhu relatif rendah yaitu maksimal sekitar 6000C,
maka batubara yang akan digasifikasi harus memiliki suhu leleh abu (ash fusion temperature)
yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar abu tidak meleleh yang akhirnya mengumpul di bagian
bawah alat sehingga dapat menyumbat bagian tersebut. Disamping produk utama yaitu gas
hidrogen dan karbon monoksida, gasifikasi pada suhu relatif rendah ini akan meningkatkan
persentase gas metana pada produk gas. Karena gas metana ini dapat meningkatkan nilai
kalor gas sintetik yang dihasilkan, maka penggas moving bed sesuai untuk produksi SNG
(Synthetic Natural Gas) maupun gas kota (town gas).Contoh alat tipe ini adalah penggas
Lurgi, yang digunakan oleh Sasol di Afrika Selatan untuk produksi BBM sintetis dan Dakota
Gasification di AS untuk produksi SNG.

Gambar 1. Tipikal penggas jenis moving bed

(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)

Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil dibandingkan
pada moving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10 mm saja. Tipikal penggas ini
memasukkan bahan bakarnya dari samping (side feeding) dan oksidan dari bagian bawah.
Oksidan disini selain sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan
mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang
demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi
lainnya, atau bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat konversi karbon pada
tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe moving bed dan entrained
flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena penggas
ini beroperasi pada suhu sekitar 600~10000C, maka batubara yang akan diproses harus
memiliki temperatur melunak abu (softening temperature) di atas suhu operasional tersebut.
Hal ini bertujuan agar abu yang dihasilkan selama proses tidak meleleh, yang dapat
mengakibatkan terganggunya kondisi lapisan mengambang. Dengan suhu operasi yang relatif
rendah, penggas ini banyak digunakan untuk memproses batubara peringkat rendah seperti
lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis batubara yang lain.
Pengembangan lebih lanjut teknologi penggas jenis ini sangat diharapkan untuk dapat
mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batubara peringkat rendah, biomassa, dan
limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste). Contoh alat model ini adalah penggas Winkler
yang merupakan pionir penggas fluidized bed, penggas HTW (High Temperature Winkler),
dan KBR (Kellog Brown Root) Transport Gasifier.

Gambar 2. Tipikal penggas jenis fluidized bed

(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)

Kemudian untuk tipe entrained flow, penggas ini sekarang mendominasi proyek – proyek


gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun minyak residu. Pada alat ini, batubara
yang akan diproses dihancurkan dulu sampai berukuran 100 mikron atau kurang. Batubara
serbuk ini disemburkan ke penggas bersama dengan aliran oksidan, dapat berupa oksigen,
udara, atau uap air. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200~18000C, dengan
waktu tinggal batubara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi, pada
dasarnya tidak ada batasan jenis batubara yang akan digunakan karena abunya akan meleleh
membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert. Meski demikian, batubara
sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih disukai untuk penggas jenis ini. Lignit
atau brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis karena
kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi energi yang besar. Meskipun abu
akan meleleh membentuk slag, tapi batubara berkadar abu tinggi sebaiknya dihindari pula
karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses pelelehan abu dalam jumlah
banyak. Batubara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur dengan kapur (limestone)
untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada penggas pun dapat ditekan. Gasifikasi
suhu tinggi pada penggas ini menyebabkan kandungan metana dalam gas sintetik sangat
sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat diperoleh.

Terdapat beberapa tipe penggas entrained flow berdasarkan kondisi dan cara mengumpan


bahan bakarnya. Penggas Koppers-Totzek yang merupakan pionir jenis ini mengumpan
batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian bawah, atau disebut dry up. Gas sintetik
akan keluar dari bagian atas alat. Tipe dry up ini juga dijumpai pada penggas Shell dan
Mitsubishi (CCP). Untuk arah umpan dari bawah, selain terdapat bahan bakar dalam kondisi
kering, terdapat pula bahan bakar dalam kondisi basah atau disebut slurry up. Tipikal jenis ini
adalah penggas E-Gas dari Conoco Phillips. Selain slurry up, terdapat pula metode slurry
down, yang dijumpai pada penggas Chevron – Texaco. Secara umum, bahan bakar berupa
batubara kering mengkonsumsi energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan dalam
keadaan basah (slurry) sehingga lebih menguntungkan.

Gambar 3. Tipikal penggas jenis entrained flow (dry down)

(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)

Aplikasi Gasifikasi Batubara

Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Bahan bakar sintetik (Coal to Liquid, CTL)

Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui gasifikasi batubara
terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan batubara dunia yang begitu
melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun 2004, dengan tingkat produksi
sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir 2003), cadangan terbukti batubara dapat bertahan
hingga 192 tahun. Sedangkan minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu, masing –
masing hanya mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu, harga minyak
yang fluktuatif dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari batubara (CTL)
menjadi semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS (DOE Annual Energy Outlook
2005) menyebutkan potensi CTL diperkirakan sebesar 2 juta barel per hari pada tahun 2025,
ditambah Cina yang diperkirakan memiliki potensi 1 juta barel per hari.

Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk menghasilkan
gas sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO),
kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch (FT) untuk menghasilkan hidrokarbon
ringan (paraffin). Hidrokarbon tersebut kemudian diproses lebih lanjut untuk menghasilkan
bensin dan minyak diesel. Karena nilai oktan pada produk bensin yang dihasilkan rendah,
maka dilakukan upaya untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi dari gas sintetik ini.
Proses tersebut dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas sintetik terlebih dulu,
kemudian metanol diproses untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi. Metode ini
disebut MTG (Methanol to Gasoline), yang dikembangkan oleh Mobil pada tahun 1970an.

Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetik dari batubara adalah South
African Coal Oil and Gas Corporation atau yang dikenal dengan Sasol di Afrika Selatan,
yang saat ini memproduksi gas sintetik sebesar 55 juta Nm3 per hari menggunakan penggas
Lurgi, dan memproduksi minyak sintetik sebanyak 150 ribu barel per hari melalui sintesis
Fischer-Tropsch.

Berawal dari boikot dunia terhadap politik apartheid sehingga menyebabkan Afsel tidak
dapat membeli minyak mentah di pasaran, pemerintah setempat akhirnya meluncurkan
proyek CTL setelah menyadari bahwa Afsel memiliki cadangan batubara yang melimpah.
Pabrik pertama (Sasol I) selesai didirikan di Sasolburg pada tahun 1954, dan minyak sintetik
pertama dipasarkan pada tahun berikutnya. Pada tahun 1960, keuntungan pertama (first
profit) berhasil diraih oleh Sasol setelah 5 tahun operasional. Pabrik Sasol II diumumkan
pada tahun 1974 ketika harga minyak dunia mencapai US$13/barel saat itu (setara
US$40/barel tahun 2003) akibat perang Oktober di Timteng tahun 1973. Sedangkan Sasol III
diumumkan tahun 1979 ketika harga minyak mencapai US$35/barel saat itu (setara
US$80/barel tahun 2003) akibat revolusi Iran. Sasol II dan Sasol III masing – masing selesai
didirikan pada tahun 1980 dan 1984.
Saat ini, Sasol mempekerjakan 170 ribu karyawan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang merupakan 2% tenaga kerja sektor formal di Afsel. Selain itu, Sasol juga
menyumbang 4% GDP atau sekitar US$ 7 milyar, serta menyuplai 40% kebutuhan BBM
dalam negeri Afsel (28% dari batubara). [van de Venter, 2005]

2. Pembangkit listrik (Coal to Power)

Standar mutu lingkungan yang semakin ketat tentunya akan memaksa fasilitas
pembangkit listrik yang telah terpasang untuk dapat mengakomodasi peraturan tersebut. Ada
3 pilihan yang dapat dilakukan untuk itu, yaitu modifikasi dan upgrade fasilitas sehingga
teknologi pembersihan pasca pembakaran (post-combustion clean up technology) dapat
diterapkan, modifikasi sistem pembangkitan berbahan bakar batubara menjadi pembangkitan
kombinasi berbahan bakar gas alam (Natural Gas Combined Cycle, NGCC), dan modifikasi
sistem pembangkitan dengan memanfaatkan mekanisme gasifikasi batubara untuk
menghasilkan pembangkitan kombinasi. [Childress, 2000]

Gambar 4. Konsep Sistem Gasifikasi

(Sumber: http://www.fossil.energy.gov/programs/powersystems/gasification/howgasi
ficationworks.html)

Pada pilihan pertama di atas, biaya pemasangan peralatan pembersihan pasca


pembakaran sangat besar. Sebagai contoh, untuk pembangkit berbahan bakar batubara serbuk
(pulverized coal) yang saat ini mendominasi, biaya pemasangan unit desulfurisasi (Flue Gas
Desulfurization, FGD) dapat mencapai 20% dari total biaya pembangunannya. Untuk pilihan
kedua yaitu mekanisme NGCC, meskipun emisi yang rendah dapat dicapai, tapi ongkos
bahan bakar yang relatif tinggi otomatis akan mempengaruhi biaya pembangkitan. Pilihan
ketiga merupakan alternatif terbaik, dimana pembangkitan kombinasi tersebut mampu
menghasilkan emisi yang sangat rendah dengan mengoptimalkan fasilitas pembangkit yang
ada serta menggunakan bahan bakar berbiaya rendah yaitu batubara.

Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi batubara disebut
dengan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Pada IGCC, pembangkitan listrik
dihasilkan dari mekanisme kombinasi antara turbin gas, HRSG (Heat Recovery Steam
Generator), dan turbin uap. Tipikal penggas yang digunakan pada IGCC adalah
bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy), SFG
(Siemens), Mitsubishi, dan Shell.

Secara garis besar, gas sintetik yang dihasilkan oleh penggas akan diproses di pendingin
gas (gas cooler) dan fasilitas pembersih gas (gas clean up) terlebih dulu sebelum mengalir ke
turbin gas. Setelah melewati siklus Brayton, gas buang dari turbin gas kemudian mengalir ke
HRSG, dimana panas dari gas tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menghasilkan uap air.
Selain dari turbin gas, panas buangan yang dihasilkan dari proses pendinginan gas juga
dialirkan ke HRSG pula. Uap air dari HRSG inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk
menggerakkan turbin uap melalui mekanisme siklus Rankine. Dengan kombinasi 2 siklus ini,
tidaklah mengherankan apabila efisiensi netto pembangkitan pada IGCC lebih unggul
dibandingkan dengan efisiensi pada sistem pembangkitan konvensional (pulverized coal)
yang saat ini mendominasi.

Pada proses pembersihan gas, unsur lain yang tidak ramah lingkungan yang dihasilkan
dari gasifikasi seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char dibersihkan. H2S dan
COS dapat diproses dengan mudah dan diubah menjadi sulfur padat atau asam sulfat yang
merupakan produk sampingan, sedangkan NH3 dapat dibersihkan dengan menggunakan air.
Uap air raksa dibersihkan dengan melewatkan gas sintetik tekanan tinggi ke lapisan karbon
aktif. Adapun abu akan meleleh selama proses gasifikasi, yang kemudian diubah menjadi
padatan (glassy slag) yang stabil. Material ini dapat digunakan untuk campuran bahan pada
pekerjaan konstruksi.[Phillips, 2006].

Contoh pembangkit ini adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda,
berkapasitas 253MWe. Meskipun saat ini beroperasi secara komersial, pembangkit ini pada
awalnya merupakan demonstration plant yang dikenal dengan proyek Demkolec. Pembangkit
ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi baku
mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang
dari 10 ppm, kemudian efisiensi pengambilan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash,
senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah
yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke lingkungan.[Chhoa,
2005].

Meskipun IGCC memiliki berbagai kelebihan, tapi masalah utama saat ini adalah biaya
pembangkitannya yang masih tinggi. Secara garis besar, disamping unit pembangkitan, IGCC
juga tersusun dari unit pemisah udara (Air Separation Unit, ASU) yang berfungsi menyuplai
oksigen ke penggas, dan unit penggas itu sendiri. Unit pembangkitan (turbin gas, turbin uap,
HRSG) dan unit ASU merupakan teknologi yang sudah mapan dan terbukti sehingga dari
segi ongkos, tidak mungkin untuk ditekan lagi. Untuk menekan biaya pembangkitan pada
IGCC, satu – satunya cara adalah dengan meningkatkan performa penggas dan membangun
sistem (building block) gasifikasi yang efisien. [van der Burgt, 1998]. Dengan upaya
demikian serta makin makin menguatnya isu lingkungan, biaya pembangkitan pada IGCC
diharapkan akan semakin kompetitif terhadap biaya pembangkitan pada
pembangkit pulverized coal (PC) yang saat ini mendominasi yang ongkos pembangkitannya
cenderung meningkat untuk mengakomodasi baku mutu lingkungan. Dan pada tahun 2010, di
Amerika diharapkan biaya pembangkitan IGCC akan menyamai ongkos pembangkitan pada
PC, yaitu sekitar US$1200/kW.[Arai, 2006].

Karena pada PLTU maupun IGCC dikenal dengan istilah scale merit, maka semakin
besar unit otomatis biaya pembangkitan juga semakin rendah. Salah satu laporan
menyebutkan bahwa IGCC komersial akan bernilai ekonomis pada kapasitas pembangkitan
minimal 550 MWe.[Trapp, 2005].

3. Industri kimia (Coal to Chemical)

Gas sintetik hasil gasifikasi batubara juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri
kimia, diantaranya untuk pembuatan ammonia, pupuk, metanol, DME (Dimethyl Ether),
olefin, paraffin, dan lain – lain.

Eastman Chemical di Kingsport, Tennessee, AS, memanfaatkan gasifikasi batubara


untuk memproduksi bahan baku industri kimia yaitu asam asetat. Fasilitas ini beroperasi
sejak tahun 1983, menggunakan penggas Texaco. Pada awalnya, kapasitasnya hanya mampu
memenuhi separoh dari kebutuhan asam asetat yang diperlukan, tapi sejak tahun 1991
kapasitasnya ditingkatkan hingga mampu memenuhi seluruh kebutuhan asam asetat untuk
produksi hilir. Perusahaan ini mengkonsumsi batubara sebanyak 1300 ton per hari untuk
gasifikasi, dan memproduksi lebih dari 400 jenis bahan kimia, serat sintetis, serta plastik,
dengan omzet sekitar US$5 miliar per tahun.[Trapp, 2001].

Di Cina yang memiliki cadangan batubara melimpah, Shell melalui kerjasama joint


venture dengan Sinopec membangun pabrik pupuk menggunakan mekanisme gasifikasi
batubara berkapasitas 2000 ton per hari di Yueyang, propinsi Hunan. Pembangunannya
sendiri dimulai tahun 2003 dan direncanakan beroperasi pada akhir 2006. Selain itu, Shell
juga menangani sekitar 12 proyek gasifikasi batubara lainnya di Cina, dimana hampir
70%nya untuk keperluan industri pupuk dan sisanya untuk produksi metanol, serta hidrogen
untuk keperluan pencairan batubara secara langsung. [Chhoa, 2005].

Selain Shell, GE Energy juga menyediakan teknologi gasifikasi batubara di Cina. Sampai
dengan Oktober 2006, dari 7 proyek yang direncanakan, 3 unit telah telah beroperasi untuk
memproduksi metanol dan ammonia.[Lowe, 2006].

Penutup

Dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya,
kemudian ketersediaannya yang melimpah, serta penyebaran cadangan yang relatif merata di
seluruh dunia, batubara merupakan sumber energi primer yang menjanjikan. Apabila selama
ini pemanfaatan batubara terkesan terbatas untuk pembangkitan listrik saja, maka gasifikasi
batubara memberikan harapan yang besar untuk pemanfaatan batubara secara optimal di
masa mendatang. Dari paparan di atas dapat pula disimpulkan bahwa batubara memiliki
kekuatan yang besar untuk menarik roda perekonomian suatu bangsa melalui teknologi
gasifikasi.

Gasifikasi batubara tidak semata hanya dapat digunakan untuk satu tujuan saja, misalnya
untuk pembangkitan listrik, tapi dapat pula dirancang untuk tujuan yang lain secara
bersamaan. Sebagai contoh, fasilitas gasifikasi dapat didesain untuk menghasilkan listrik,
memproduksi bahan baku industri kimia, maupun membuat bahan bakar sintetis sekaligus.
Mekanisme ini disebut dengan polygeneration (polygen) atau co-generation (co-gen).
Gambar 5. Polygeneration

(Sumber: B. Trap, dkk, Eastman Gasification Services Company)

Memperhatikan nilai tambah (added value) batubara melalui teknologi gasifikasi dan
efek ekonomis yang ditimbulkannya, dapat dipahami bahwa batubara sesungguhnya lebih
dari sekedar komoditas dagang belaka. Batubara sesungguhnya merupakan sumber daya
strategis untuk menjamin kemandirian energi dan industri suatu bangsa di masa mendatang.

Penulis akan mencoba membandingkan kondisi perbatubaraan di Cina dan Indonesia


terkait hal ini. Meskipun data yang diambil hanya pada tahun 2003 dan 2004 saja, tapi
penulis melihat bahwa tahun tersebut merupakan titik balik penting yang merefleksikan
kebijakan energi pemerintah Cina yang perlu dijadikan pelajaran.

Berdasarkan laporan World Coal Institute (WCI), Cina memproduksi batubara sebanyak
1,502 milyar ton dengan ekspor sebesar 95,1 juta ton (6,3% total produksi) pada tahun 2003.
Di tahun berikutnya, terjadi peningkatan produksi sekitar 450 juta ton sehingga total produksi
menjadi 1,956 milyar ton. Menariknya, meskipun terjadi kenaikan produksi, volume ekspor
batubara Cina justru menurun menjadi 86 juta ton (4,4% total produksi). Bersamaan dengan
penurunan ekspor, volume impor justru naik dari 10,29 juta ton pada tahun 2003 menjadi
18,36 juta ton pada tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akhirnya memaksa
pemerintah Cina untuk memikirkan keamanan energi dalam negeri, dan batubara merupakan
pilihan utama. Hal inilah yang mengakibatkan penurunan ekspor dan meningkatnya volume
impor batubara. Disamping itu, pemerintah Cina juga meluncurkan proyek – proyek
pembangunan pabrik pupuk, metanol, dan industri petrokimia lainnya sampai tahun 2020
untuk mendongkrak perekonomian mereka melalui mekanisme gasifikasi batubara.
Dari laporan WCI pula, produksi batubara Indonesia pada tahun 2003 mencapai 120,1
juta ton, dengan volume ekspor sebesar 90,1 juta ton (75% total produksi). Kemudian pada
tahun 2004 terjadi peningkatan produksi sehingga total produksi batubara Indonesia menjadi
129 juta ton, dengan peningkatan ekspor mencapai 107 juta ton (83% total produksi).
Sungguh ironis bahwa pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman, dimana Indonesia yang
dulunya eksportir minyak, sekarang menjadi importir murni sejak tahun 2004. Sangat
disayangkan pula, pemerintah nampaknya menganggap bahwa batubara tidak lebih dari
komoditas ekspor belaka seperti halnya minyak dulu.

Referensi

1. Arai, Y., Beikoku no Sekitan Gasuka Jigyouka Doukou ni tsuite, JCOAL Journal


Vol. 3, January 2006.

2. Bramer, EA., Brem, G., A New Technology for Fast Pyrolysis of Biomass:
Development of the PyRos Reactor, Pamflet Laboratorium Rekayasa Termal, Fakultas
Teknik, Universitas Twente, Belanda, 2006.

3. Childress, J., Repowering Conventional Coal Plants with Texaco Gasification:


The Environmental & Economic Solution, Gasification Technologies Conference, San
Francisco, 2000.

4. Chhoa, T., Shell Gasification Business in Action, Gasification Technologies


Conference, San Francisco, 2005.

5. Higman, C., van der Burgt, M., Gasification, New York: Gulf Professional
Publishing, 2003.

6. Holt, N., Gasification Process Selection – Trade-offs & Ironies, Gasification


Technologies Conference, Washington DC, 2004.

7. http://www.fossil.energy.gov/

8. Lowe, E., GE Energy Gasification Business Overview, Gasification Technologies


Conference, Washington DC, 2006.

9. Phillips, J., Coal Gasification, EPRI, 2006.


10. Trapp, B., dkk, Coal Gasification, When Does It Make Sense?, Power-Gen
International, Las Vegas, 2005.

11. Trapp, B., dkk, Eastman & Gasification: The Next Step – Building on Past
Success, Gasification Technologies Conference, San Francisco, 2001.

12. van de Venter, E., dkk, Sasol Coal-to Liquids Developments, Gasification


Technologies Conference, San Francisco, 2005.

13. van der Burgt, M., How to Reduce Capital Cost of IGCC Power


Stations, 17th EPRI Conference on Gas-Fired Power Plants, San Francisco, 1998.

Anda mungkin juga menyukai