Anda di halaman 1dari 22

Jakarta-andalas Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpesan kepada seluruh anggota Gerakan

Pramuka agar menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gerakan
Pramuka harus menanggalkan pola-pola pendekatan lama yang tidak cocok dengan era milenia
saat ini serta terus mengobarkan semangat rasa bangga pada Tanah Air.

Ajakan itu disampaikan Presiden Jokowi saat berpidato pada hari ulang tahun ke-56 Gerakan
Pramuka di Bumi Perkemahan Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur, Senin (14/8).

“Walaupun usia bertambah tetapi saya minta semangatnya harus tetap muda, selalu produktif
dalam berkarya, inovatif kreatif dan menjadi terdepan menjaga NKRI,” katanya.

Dia mengatakan, kewajiban untuk menjaga keutuhan NKRI menjadi tugas seluruh unsur
Gerakan Pramuka, baik yang ada di Indonesia maupun di kantor perwakilan di luar negeri.
Gerakan Pramuka juga harus berdiri garda terdepan untuk membela kedaulatan NKRI.

“Ingat, Pramuka adalah Praja Muda Karana, yang artinya jiwa muda yang suka berkarya. Tepuk
Pramuka,” ujarnya.

Presiden mengingatkan, bahwa generasi Pramuka sekarang ini adalah generasi millenial,
generasi Y, yang cara berfikirnya sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka
adalah generasi yang adaptif dengan kemajuan teknologi, generasi yang sangat kreatif, generasi
yang sangat inovatif.

Untuk itu, menurut Presiden Jokowi, Gerakan Pramuka harus melakukan terobosan. Jangan
berpikir linier, jangan terjebak dengan cara-cara rutinitas dan monoton. 

“Kita harus mendidik adik-adik Pramuka bukan saja latihan baris-berbaris, cara membangun
tenda, atau membuat simpul tali saja. Tapi juga harus memandu adik-adik Pramuka dalam
disiplin menggunakan media sosial yang positif dan yang produktif,” tegas Presiden Jokowi.

Gerakan Pramuka, lanjut Presiden, harus memakai cara-cara kreatif, cara-cara kekinian, cara-
cara yang lebih dekat dengan generasi millenial untuk menanamkan rasa bangga dan cinta Tanah
Air di dalam diri setiap anggotanya.

“Kita harus meninggalkan pendekatan-pendekatan lama, yang tidak pas digunakan untuk
generasi saat ini. Sentuhlah rasa cinta, bangkitkan rasa bangga generasi muda pada tanah airnya.
Sehingga benar-benar tertanam di dalam diri setiap anggota Gerakan Pramuka,” kata Presiden
menuturkan.

Kepala Negara meyakini, generasi muda Indonesia adalah generasi yang unggul, generasi yang
hebat, generasi yang kreatif, generasi petarung, dan bukan generasi pecundang. Untuk itu,
Kepala Negara meminta agar teruslah berkreasi, berkarya dalam wadah Gerakan Pramuka.

“Isilah waktu muda kalian dengan kegiatan yang positif, yang produktif,” ujar Kepala Negara
seraya menambahkan, bahwa seorang Pramuka itu harus berani, termasuk berani melakukan
inovasi.
Menurut Presiden Jokowi, seorang Pramuka itu harus terampil, termasuk terampil dalam
menggunakan teknologi secara positif. Tapi yang paling penting, ditegaskan Presiden, bahwa
seorang Pramuka Indonesia itu cinta Tanah Air, selalu mau menolong sesama, dan takwa kepada
Tuhan yang Maha Esa.

Pada akhir sambutannya, Presiden Jokowi berpesan kepada segenap anggota Gerakan Pramuka
di seluruh penjuru tanah air, agar selalu mengingat hymne Pramuka, bahwa Pramuka Indonesia
adalah manusia Pancasila.

“Satyaku kudarmakan, darmaku kubaktikan agar jaya Indonesia. Jadilah patriot bangsa yang
tetap kokoh menghayati dan mengamalkan Pancasila, menjaga Bhinneka Tunggal Ika demi
kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tutur Presiden.

Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi juga membuka Raimuna Nasional XI 2017 sebagai
rangkaian acara Hari Pramuka ke-56 di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur.

Raimuna Nasional XI Gerakan Pramuka itu diikuti oleh 15.000 Pramuka usia 16-25 tahun dari
34 provinsi dan 514 kota/kabupaten dari seluruh Indonesia dan beberapa perwakilan dari negara
sahabat.

Dalam acara itu juga hadir Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, Menteri Pemuda dan
Olahraga Imam Nahrawi, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menkominfo Rudiantara, Kapolri
Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, anggota DPR RI, dan
pimpinan lembaga negara.

Sementara itu dalam sambutannya Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Adhyaksa Dault
mengatakan bahwa pertemuan tersebut merupakan pertemuan generasi milenial dan generasi Z
terlengkap.

"Mereka datang ke Jakarta dengan penuh perjuangan, bahkan ada yang naik kapal laut selama
lima-enam hari. Yang mengharukan mereka mengirimkan foto-foto mereka selama di kapal laut
lewat handphone tergambar kegembiraan di foto-foto tersebut, tergambar kerinduan untuk segera
bertemu dengan teman-teman sebangsa se-Tanah Air di Bumi Perkemahan ini," katanya.

Ia mengatakan beberapa program nyata dalam acara itu dilakukan agar Gerakan Pramuka
mempersiapkan anggotanya dalam menghadapi tantangan global yang terus berubah.
(BST/ANT/DBS)
Tanggal 2 Mei 2018 lalu kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, hari yang ditetapkan
pemerintah Indonesia untuk memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh pelopor
pendidikan di Indonesia dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa. Meskipun bukan hari
libur nasional, Hari Pendidikan Nasional diperingati secara luas di Indonesia. Peringatannya
biasanya ditandai dengan pelaksanaan upacara bendera di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi,
dari tingkat kecamatan hingga pusat, disertai penyampaian pidato bertema pendidikan oleh
pejabat terkait.
Uniknya, ada yang sedikit berbeda dengan perayaan HARDIKNAS tahun ini. Yang membuat
berbeda adalah dengan diadakannya pameran pendidikan sebagai bentuk perayaan Hari
Pendidikan Nasional. Bekerjasama dengan Kemenristek DIKTI, MSW Global menggelar
“World Post Graduate 2018” di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, tanggal 12-13 Mei
2018 kemarin. Pameran yang terbuka untuk umum tanpa biaya tiket masuk ini menargetkan
pelajar yang ingin melanjutkan pendidikannya ke program pascasarjana.

Melibatkan berbagai pihak

Tak hanya pemerintah, bahkan Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) turut serta dalam menyukseskan
acara ini. Organisasi profesi dosen terbesar di Indonesia yang berdiri sejak 1998 ini memberikan
mendukung penuh untuk kegiatan WPG yang merupakan salah satu event besar yang memiliki
potensi strategis dalam mengembangkan wawasan masyarakat Indonesia khususnya kaum
milenial untuk terus mengembangkan karier dan potensi akademik ke jenjang S2 dan S3.

Acara yang disponsori Cleo dan Garuda Indonesia ini turut menyediakan rangkaian kegiatan bagi
pimpinan perguruan tinggi, seperti “International Education High Meeting” yang memberikan
kesempatan kepada Pimpinan Perguruan Tinggi Indonesia untuk berdiskusi langsung dengan
Perwakilan Pimpinan Perguruan Tinggi asing dan kedutaan besar, lembaga pendidikan resmi dari
berbagai negara untuk membahas program-program kerja sama antar universitas (joint-lecture,
joint-research, joint-publication, joint-lab, dll), selain itu akan diadakan kegiatan RAPIMNAS
ADI (Rapat Pimpinan Nasional ADI) untuk membahas isu-isu terkait organisasi ADI dan
program-program yang dapat disinergikan dengan peserta pameran serta rangkaian seminar
nasional “Kebangkitan Dosen Indonesia” serta launching program pembelajaran untuk dosen dan
mahasiswa di era digital dengan menggunakan aplikasi.

Jadi, dipastikan tidak hanya pelajar yang bergerak untuk menghadapi persaingan ketat di era
digital ini, namun dosen dan juga pimpinan perguruan tinggi turut serta menyiapkan strategi
dalam menghadapi generasi milenial, baik dalam metode pembelajaran namun juga menciptakan
inovasi dalam sistem pendidikan di Indonesia yang diharapkan dapat menunjang program
pembelajaran perguruan tinggi di Indonesia.
Berbagai universitas terkemuka

Selain mendatangkan lebih dari 50 universitas terkemuka di dunia baik lokal maupun interlokal,
World Post Graduate pun menyediakan panel diskusi terbuka dengan tema “Milenial Berkarier”.
Diskusi ini dipandu moderator Taufan T. Akbari, selaku Dekan Fakultas Bisnis LSPR dan
Founder dari Rumah Millennials, panel diskusi ini turut menghadirkan pembicara profesional,
seperti Marsya Gusman, Miss Internet Indonesia 2017; Vania Santoso, Founder & CEO
Heystartic, Lina Yunita, Certified Financial Planner and Entrepreneur; Daniel Oscar Baskoro,
Innovation Project Assistant – United Nations & Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden; Indra
Sugiarto, Founder & CEO Masuk Kampus.
Panel diskusi terbuka ini terbilang sangat menarik karena membahas isu-isu terkait karier dan
pendidikan bagi generasi milenial, dimulai dari pengaruh teknologi masa kini terhadap peluang
kerja generasi milenial di Indonesia, seperti apa tantangan kerja generasi milenial, apa tantangan
generasi ini di era digital, juga urgensi pendidikan pascasarjana untuk generasi milenial.
Tentunya topik ini sangat berguna bagi generasi milenial yang hendak mempersiapkan diri dalam
menghadapi dunia kerja dan pendidikan.

Berbagai seminar bermanfaat

Tak cuma panel diskusi terbuka, pameran pendidikan yang diadakan untuk kedua kalinya di
tahun 2018 ini juga menyediakan berbagai sesi seminar yang dipersembahkan oleh Kemenristek
DIKTI dan juga LPDP serta dari universitas yang tergabung dalam acara ini, yang menarik
adalah, setiap peserta yang hadir mendapatkan e-certificate secara gratis. Sebagai pelengkap,
UTS Insearch Gramedia pun turut memberikan tes simulasi IELTS gratis bagi pengunjung
supaya mereka dapat mempersiapkan diri ketika menghadapi tes yang sebenarnya. Tentunya tes
ini sangat digandrungi kaum muda yang ingin mendapatkan pengalaman dan juga tips agar
sukses dengan tesnya di waktu mendatang.

Sama seperti di tahun sebelumnya, pameran pendidikan yang dikhususkan bagi mahasiswa
pascasarjana ini terbilang sangat sukses, “Apa yang ada di sini sebenarnya melebihi ekspektasi
saya, gak nyangka kalau ternyata antusias anak-anak ini untuk mengejar pendidikan luar biasa
tinggi, tentunya saya berharap semangat anak-anak muda ini gak akan berhenti sampai sini aja,
karena mereka motivasi kita untuk berdedikasi di dunia pendidikan,” ucap Anastasia Sri selaku
Operational Director dari MSW Global.

Hal yang sama juga dikemukakan Michael Tan selaku Director dari MSW Global, pada dasarnya
acara ini dibuat sebagai bentuk nyata dari kepedulian MSW Global terhadap pendidikan anak di
Indonesia dan pameran ini menjangkau masyarakat seluas mungkin karena itu pameran ini
terbuka untuk umum secara gratis.
KURAT.CO, Pada saat ini, jika anda mendengar istilah “pemuda,” apa yang muncul di dalam
pikiran? Apakah aksi patriotik pemuda yang mendeklarasikan Pemuda' class='related-
tag'>Sumpah Pemuda tahun 1928, aksi heroik pemuda ketika menculik Sukarno-Hatta untuk
memproklamairkan kemerdekaan, atau kisah heroik para pemuda yang hampir selalu menjadi
aktor penting dalam pergantian rezim di negeri ini? Mungkin di antara kita ada yang ketika tema
“pemuda” disebut, ingatan terhadap peran pemuda sebagai motor penggerak perubahan muncul
kembali.

Hanya saja, minimal di telinga dan mata saya, citra “pemuda” sebagai motor penggerak
perubahan itu lambat laun mulai memudar. Bukan karena pemuda tidak lagi mempunyai spirit
dan daya dobrak yang mendorong perubahan. Tapi, lebih karena istilah “pemuda” dibajak oleh
organisasi-organisasi kepemudaan yang cenderung fanatik dan mati-matian dalam
memperjuangkan kepentingan kelompok dan menjaga kemapanan. Mereka enggan
mengembalikan makna “muda” kepada mereka yang benar-benar berusia muda, yang berspirit
muda, dan mempunyai daya dobrak untuk perubahan.

Begitu istilah “pemuda” disebut, ingatan saya langsung tertuju pada organisasi-organisasi
kepemudaan seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia, Pemuda Pancasila, Pemuda Panca
Marga, Gerakan Pemuda Ansor, Pemuda Muhammadiyah, dan sejenisnya. Para aktivisnya rata-
rata berusia 30 tahun ke atas, bahkan tidak sedikit yang 40 tahun ke atas. Ketua Umum Pemuda
Muhammadiyah berusia 35 tahun. Ketua Umum KNPI berusia 41 tahun. Ketua GP Ansor
berusia 42 tahun. Lebih tua lagi, Japto Soerjosoemarno yang merupakan Ketua Umum Pemuda
Pancasila berusia 67 tahun.

baca juga:

 Jelajahi 34 Provinsi, Peserta Kirab Pemuda 2018 Akan Menginap di Rumah Warga
 Menpora: Bonus Atlet Diserahkan Pasca Asian Paragames
 Ketum PB HMI Imbau Semua Pihak Solid Tangani Korban Gempa Lombok

Apa yang dapat diharapkan dari “pemuda” yang tidak saja menua dari sisi usia tapi juga menua
dari sisi ide dan pemikiran? Kebanyakan “pemuda” dalam organisasi kepemudaan adalah para
penjaga tradisi dan ideologi untuk komunitasnya masing-masing. Mereka yang menyalahi atau
melenceng dari tradisi dan ideologi akan dibereskan oleh milisi-milisi yang sengaja mereka buat
dan pelihara. Cara pandang mereka cenderung “menggebuk” siapa saja yang dianggap
menyeleweng dan berbeda, bukan mengayunkan palu godam untuk mendobrak dan membongkar
kejumudan. Lalu, kepada siapa harapan “pendobrakan” untuk perubahan itu ditumpukan?

Generasi Millenial. Generasi yang disinyalir lahir pada kurun 1982-2004 ini tidak lagi menjadi
tamu, orang asing, atau penumpang gelap di zaman teknologi informasi ini. Mereka adalah
native, penduduk asli, yang sudah mengakrabi komputer, tablet, smartphone, internet, google,
amazon, facebook, twitter,  snapchat, dan laman medsos atau perangkat canggih lainnya sedari
mereka lahir. Tidak seperti orang dari generasi sebelumnya yang sering terkaget-kaget, tergagap-
gagap, dan tertatih-tatih dalam mengikuti perkembangan zaman dan teknologi yang begitu cepat.
Tidak seperti generasi sebelumnya, yang meskipun mengklaim sebagai “pemuda” tapi
berkecenderungan hanya merawat kebiasaan dan pemahaman lama, generasi “millennial”
mendesakkan perubahan yang mau atau tidak mau, cepat atau lambat, pasti akan terjadi. Kalau
dulu garda depan perubahan sosial itu dimotori organisasi-organisasi pelajar, mahasiswa, dan 
pemuda seperti KAMI, HMI, Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, atau Badan Eksekutif
Mahasiswa, kini kekuatan perubahan itu diambil alih oleh generasi milenial yang punya
wawasan global, kompetensi handal, serta visi sosial yang kuat selain tentu saja jaringan
internasional.

Mereka bisa berada di mana saja. Organisasi atau tempat kerjanya bisa berbeda-beda, tapi
semangat dan visinya kurang lebih sama.  Salah satunya, sebut saja Nadiem Makarim, CEO Go-
Jek. Anak muda yang berusia 33 tahun dan mengenyam pendidikan tinggi di Amerika itu berani
keluar dari tempat kerjanya untuk membangun Go-Jek. Dia tidak hanya berhasil membuka
banyak lapangan pekerjaan, tapi juga mengubah gaya hidup banyak orang. Orang yang semula
terbiasa macet dengan menggunakan mobil menjadi terbiasa memakai jasa ojek online untuk
mobilitas yang lebih liat. Demikian pula dengan Ferry Unardi yang berusia 31 tahun. Setelah
mengenyam pendidikan di Amerika, dia berhasil membangun “Traveloka” dan mengubah cara
orang bertransaksi dalam membeli tiket atau mencari penginapan secara praktis.

Hal yang kurang lebih serupa terjadi di sektor social-entrepreneurship. CEO Santri online,
Abdul Wahab (28 tahun), yang bahkan tidak sampai lulus SMP berhasil membangun gerakan
sosial dan pencerahan melalui blog, website, media, dan jaringan pesantren yang dibuatnya.  M.
Alfatih Timur yang baru berusia 26 tahun mengubah cara kita dalam berderma dan membantu
orang yang membutuhkan melalui jasa crowd-funding yang dibangunnnya, Kitabisa.com.

Masih banyak lagi karya dan gerakan perubahan yang dipelopori oleh generasi millennial ini.
Mereka bersiap diri dan mempersiapkan bangsanya untuk menghadapi tantangan zaman yang
makin kompleks. Mereka bersiap untuk berkompetisi dan berkontribusi bagi peradaban dan
kemanusiaan di tingkat global.

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, perubahan-perubahan sosial


menjadi tak terhindarkan. Cara kita dalam berinteraksi, berkomunikasi, dan bertransaksi
mengalami pergeseran. Pola pikir dan tindak generasi baru tidak lagi sama dengan
pendahulunya. Apakah dengan demikian,  kita juga perlu untuk menyesuaikan cara kita berpikir,
bertindak, dan bahkan beragama?

Hemat saya, iya. Kita perlu mengembangkan cara berpikir, bertindak, dan beragama yang tidak
konvensional, yang tidak bergaya lama, untuk menghadapi zaman baru. Jika tidak, kita akan
tergerus atau hanya menjadi penonton di pinggiran arus utama sejarah. Kita hanya akan menjadi
pihak penggerutu yang reaksioner setiap kali melihat perubahan terjadi.

Komitmen satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa dalam Pemuda' class='related-
tag'>Sumpah Pemuda tidak boleh lagi hanya menjadi sekedar kenangan dan nostalgia tentang
spirit dan daya dobrak pemuda di zaman itu. Pemuda' class='related-tag'>Sumpah Pemuda adalah
nyawa yang menggerakkan dan menghidupkan nafas generasi muda pada zamannya. Kini nyawa
dan nafas apa yang menggerakkan generasi baru? Tentu bukan sekedar kenangan atau ingatan
masa lalu. Yang jauh punya kekuatan menghidupkan dan menggerakkan adalah aspirasi masa
depan mereka. 

Pemuda' class='related-tag'>Sumpah Pemuda di masa lalu telah mewariskan rasa kebangsaan dan
nasionalisme yang yang mendarah-daging. Tanpa harus berideologi nasionalis, orang Indonesia
di tanah air maupun di perantauan (Diaspora Indonesia) memiliki rasa sebangsa dan setanah air
itu. Namun demikian, rasa sebangsa, setanah air, dan sebahasa saja kini tidak lagi bisa
menggerakkan.

Masih dalam balutan rasa kebangsaan, generasi millennial menemukan “nyawa” baru yang
menggerakkan dan menghidupkan vitalitas mereka. “Nyawa” itu bernama pergaulan global dan
bahasa kemanusiaan. Mereka bukan hanya warga Indonesia lagi, tapi juga warga dunia. Mereka
bukan hanya ingin bermanfaat untuk Indonesia, namun juga bagi kemanusiaan dan semesta raya.

Kalau cara bepikir, bertindak, dan beragama kita masih sektarian dan sibuk mempertentangkan
identias primordial, kita akan ditinggal oleh gerbong generasi millennial yang siap menyongsong
zaman baru. Kita akan berpilin di persoalan yang sama dan merasa paling jagoan di tempat yang
sama, sementara orang lain berlomba dan berkarya untuk kemaslahatan peradaban global. 

Untuk itu, cara pikir, bertindak, dan beragama kita hendaknya juga berubah; menjadi semakin
terbuka dan berorientasi pada sumbangan terbaik buat kemanusiaan. Dengan begitu, mudah-
mudahan kita tidak menjadi penggerutu di pinggiran zaman yang berubah, tapi menjadi pioneer
yang menghidupkan kebahagiaan dan antusiasme di garda depan sejarah. Amin.[]

(Penulis adalah dosen di Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)


PENTINGNYA PERANAN PENDIDIKAN PANCASILA UNTUK MEMBANGUN
GENERASI BANGSA YANG CERDAS DAN BERKARAKTER

March 24, 2016

IT RAPENDIK

Perkembangan era globalisasi yang nampak begitu cepat turut mempengaruhi kehidupan bangsa
indonesia. Tak mau ketinggalan, segala kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang ada
dan baru senantiasa berusaha diikuti oleh bangsa Indonesia. Keinginan kita untuk selalu maju
agaknya tak sedikit berdampak dan membawa pengaruh bagi bangsa ini. Baik itu berupa dampak
positif maupun negatif.

            Dinamisme zaman yang terjadi saat ini, memudahkan manusia dalam menjalankan
kehidupannya. Namun, berbagai tawuran antar pelajar, genk motor, pergaulan bebas,
penggunaan narkotika dan obat terlarang saat ini merupakan hal yang biasa dan sering didengar
oleh telinga kita. Indonesia menangis. Degradasi moral terjadi hampir di semua kalangan, di
masyarakat. Termasuk pula dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Sebenarnya
apakah yang salah? Sistem pendidikankah? Peran aparat pemerintahkah? Atau yang lain? Hal ini
tentu patut menjadi PR untuk kita semua.

Akan tetapi, apapun upaya yang ingin dirancang dan diimplementasikan oleh para pemangku
kepentingan, instansi pendidikan, sekolah-sekolah dalam rangka mendidik bangsa ini entah itu
melalui pendidikan karakter atau yang lainnya, pada dasarnya yang perlu diperhatikan kembali
adalah efektifitasnya dalam mengemban amanah untuk mendidik putra-putri bangsa secara
komprehensif dan humanis sehingga benar-benar menjadikan para peserta didik yang tidak
hanya cakap secara intelektual tetapi anggun dalam moral.

Secara kuantitas jika melihat orang-orang Indonesia yang dapat mengenyam dunia pendidikan
tentunya cukup banyak, terlepas dari apakah mereka bisa menuntaskan wajib belajar sembilan
tahun atau lebih, bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi misalnya. Akan tetapi ironisnya
segala problematika moral yang tersebut diatas bukankah tidak lepas dari tingkah laku orang
yang pernah mengenyam dunia pendidikan, dan lebih miris lagi jika di dalam dunia pendidikan
terciderai oleh insan-insan akademik sendiri.

            Degradasi moral dapat terjadi karena suatu bangsa kehilangan jati dirinya. Mereka tidak
dapat mempertahankan apa yang menjadi identitasnya selama ini. Mereka terlalu terlena dan
kurang dapat menyaring budaya yang masuk ke Indonesia. Padahal sebenarnya, bangsa ini
memiliki Pancasila. Pancasila merupakan karakteristik yang kini mulai luntur kesadaran untuk
menghayatinya. Mulai dari sila pertama hingga ke - lima, semuanya mencakup berbagai lini
kehidupan yang dijalani manusia. Oleh karena itu, sudah seharusnyalah kita perlu meneguhkan
kembali jati diri bangsa ini, Pancasila.

John F Kennedy mengatakan, “ Bila ada sesuatu yang salah pada sistem disuatu Negara, maka
lihatlah apa yang salah pada pendidikannya.” Mengingat maju atau mundurnya suatu bangsa
salah satu faktor utamanya adalah pada pendidikannya, maka seberapa besar peran sentral dunia
pendidikan dalam mencetak sumber daya manusia yang berkarakter akan ikut menjadi
determinan dalam memajukan suatu bangsa. Dan disinilah dunia pendidikan sangat memegang
peranan yang strategis. Tentunya dengan cara mengaktualisasi implementasi dari Pancasila
dalam berbagai basis pendidikan yang ada agar lebih optimal dalam menjalankan fungsi
pendidikan dan pengajarannya.

            Aktualisasi Pancasila harus mulai digaungkan mulai dari berbagai lingkungan
pendidikan. Baik itu di keluarga sebagai pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal, maupun dalam masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal.
Kesemua ranah pendidikan tersebut harus melekat dengan nilai- nilai Pancasila.

            Pertama, dalam lembaga pendidikan informal seperti keluarga. Keluarga merupakan
jenjang pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Ini berarti, bagaimana karakter anak
berkembang nantinya bergantung dari pola asuh yang diterapkan di rumah. Apakah pola asuh
permisif yang memberi kebebasan pada anak, pola asuh otoriter yang mewajibkan anak untuk
selalu patuh, atau pola asuh autoritatif yang artinya antara orangtua dan anak saling mengerti
tanggungjawab, hak dan kewajiban masing-masing. Selanjutnya untuk menanamkan moral yang
baik pada anak, orang tua juga harus memiliki karakter yang tentu saja lebih baik terlebih
dahulu. Dengan begitu orangtua seakan menjadi teladan atau row model bagi  anak dalam
bertindak sehingga anak senantiasa berhati-hati dalam bertingkah laku.

            Kedua, dalam ranah lembaga pendidikan formal atau sekolah, peran seorang guru
sangat urgen dalam membentuk karakter siswanya. Para guru yang merupakan orangtua kedua
siswa di sekolah, perlu senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya.
Mulai dari kebiasaan untuk berdoa setiap kegiatan belajar mengajar, saling toleransi antar teman,
menumbuhkan sikap peduli sesama, dan tidak membeda- bedakan antara siswa satu dengan
siswa lain.

            Ketiga, implementasi pendidikan Pancasila di masyarakat tentu dimulai dari sekitar
lingkungan rumah. Keberagaman etnis yang ada di masyarakat hendaknya menjadi suatu warna
tersendiri bagi mereka, sebagaimana semboyan yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu “Bhinneka
Tunggal Ika”. Walaupun negara Indonesia terdiri dari beragam suku, namun kerukunan antar
seluruh umat tetap perlu dijunjung tinggi.

            Nah, mengingat barbagai fenomena moral yang sangat krusial, dunia pendidikan baik itu
pendidikan informal, formal maupun non formal hendaknya terus menerus melakukan inovasi
dan melakukan perbaikan agar benar-benar bisa menjadi lebih optimal dalam menjalankan
fungsinya sebagai alat untuk melakukan transformasi dan menginternalisasikan nilai-nilai moral
untuk terbentuknya insan yang berkarakter.

            Adalah dengan cara kembali melakukan aktualisasi Pendidikan Pancasila di berbagai
bidang, moral bangsa Indonesia dapat kembali menuju jati dirinya. Aktualisasi tersebut akan
terimplementasi dalam sisi kognitif, afektif dan psikomotorik bangsa. Hal tersebut sangat penting
untuk diingat karena dapat menjadi parameter atau tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat
perubahan tingkah laku seseorang, dan untuk mengetahui tingkat ketercapaian dalam menempuh
proses pendidikan. Sehingga pada akhirnya dapat benar-benar menghasilkan output yang cerdas,
unggul, berdaya saing, bermoral dan berkarakter.

            Dengan demikian, aktualisasi pendidikan Pancasila sebagai karakter bangsa Indonesia
adalah sebuah konsekuensi logis guna semakin terciptanya sumber daya manusia yang cerdas
holistik sebagaimana tertera dalam tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas, yakni bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreaif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.

           

# PENTINGNYA PERANAN PENDIDIKAN PANCASILA UNTUK


MEMBANGUN GENERASI BANGSA YANG CERDAS DAN BERKARAKTER#

Seiring  perkembangan  zaman di era globalisasi saat ini turut mengiringi adanya trend yang


semakin dinamis dan selalu diwarnai oleh ketidakteraturan dan ketidakpastian. Kondisi ini
memunculkan kecenderungan permasalahan baru yang semakin beragam dan multi dimensional.
Teknologi informasi yang berkembang cepat, telah membawa dampak bagi kehidupan manusia.
Dapat berdampak menguntungkan  dan merugikan ,berdampak menguntungkan apabila mampu
memanfaatkannya untuk meningkatkan taraf hidup. Namun juga dapat berdampak merugikan,
apabila terperdaya dengan pemanfaatan untuk kepentingan yang negatif. Hal ini berarti dampak
teknologi informasi berimplikasi secara langsung pada perubahan berbagai aspek kehidupan,
termasuk terhadap karakter generasi muda.

Persoalan karakter para pemuda kini menjadi sorotan tajam dalam masyarakat. Berbagai sorotan
tersebut termuat dalam media cetak, wawancara, dialog atau gelar wicara di beberapa media
elektronik. Ironisnya, persoalan yang muncul seperti meningkatnya tindak kriminal,semakin
menjadi-jadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kekerasan, kejahatan seksual,
pengrusakan, perkelahian massal, kehidupan yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak
produktif, dan lain-lain yang seringkali menjadi topik hangat  dan  tidak ada henti-hentinya untuk
dibicarakan .Padahal sudah lebih dari setengah abad bangsa Indonesia merdeka, tapi sampai saat
ini justru bangsa Indonesia semakin mengalami degradasi karakter kebangsaan. Tampaknya
bangsa ini khususnya generasi muda telah dihadapkan pada dinamika perkembangan lingkungan
strategis yang penuh dilema, tantangan hidup yang semakin kompleks dan diwarnai dengan
fenomena terjadinya degradasi nilai-nilai luhur bangsa.

Bahkan pendidikan di Indonesia saat ini cenderung lebih mengedepankan penguasaan aspek
keilmuan dan  kecerdasan, namun mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang
kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini
semakin ditinggalkan. Sebagian orang mulai tidak memperhatikan lagi bahwa pendidikan
tersebut berdampak pada perilaku seseorang.

Dalam mengahadapi masalah yang begitu rumit dan komplek seperti  di atas dibutuhkan


pendidikan karakter  yang dibangun melalui pendidikan, yang melibatkan  berbagai elemen
bangsa terlebih sebagai pemangku kepentingan seperti pendidikan pancasila misalnya. Dengan
manajemen yang seperti ini diharapkan dapat meminimalisir dan menangkal kemungkaran yang
terjadi saat ini. Pendidikan pancasila  diharapkan mampu menghadirkan karakter generasi muda
yang tidak hanya cerdas namun juga berkarakter. Maksudnya adalah generasi muda yang tidak
hanya berkompeten tatapi juga perduli terhadap kemajuan Indonesia. Pendidikan pancasila
sangatlah penting bagi para generasi muda Indonesia agar dapat terbentuk karakter yang unggul
dan bereakhlak mulia. Sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan dan santun dalam
bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Karena karakter merupakan nilai – nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perhatian, dan
perbuatan berdasarkan norma – norma agama, hukum, tatakrama, budaya dan adat
istiadat.Sehingga tidak akan ada lagi tindak kriminal seperti kasus korupsi dan lainnya.

 Menurut Ali Ibrahim Akbar,2000 : Ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata –
mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis  (  hard skill ) saja, tetapi lebih oleh pengetahuan
mengelola diri dan orang lain ( soft skill ). Hal ini membuktikan bahwa kesuksesan seseoarang
lebih ditentukan oleh kemampuan manage self daripada kemampuan knowlage. Dan juga sebagai
isyarat bahwa mutu pendidikan karakter seperti pancasila mampu  meningkatkan mutu dan
kualitas pendidikan di masa yang akan datang. Maka dari itu peranan pendidikan
pancasila  sangatlah penting. Dengan adanya pendidikan pancasila diharapkan bisa menjadi
motor ”perbaikan” sekaligus ”pembentukan” karakter generasi pemuda yang tidak hanya unggul
tetapi juga berakhlak mulia. 

KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa pendidikan pancasila merupakan satu
aspek penting untuk membangun karakter generasi bangsa. Hampir semua bangsa menempatkan
pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam Program Pembangunan Nasional.
Sumber daya manusia yang bermutu yang merupakan Produk Pendidikan dan merupakan kunci
keberhasilan suatu Negara.Oleh sebab itu pendidikan sangat diharuskan sekali karena
memberikan peranan yang sangat penting baik itu untuk diri sendiri, orang lain ataupun Negara.
Untuk diri sendiri keuntungan yang didapat adalah ilmu, untuk orang lain kita bisa mengajarkan
ilmu yang kita ketahui kepada orang yang masih awam dan untuk Negara jika kita pintar maka
kita akan mengangkat nama baik Negara kita di dunia internasional.

Pancasila sebagai pedoman pelaksanaan pembaharuan sistem pendidikan memeiliki peranan


yang sangat penting yaitu diharapkan mampu mendukung upaya mewujudkan kualitas
masyarakat Indonesia yang maju dan mampu menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Wajib Belajar Sembilan Tahun merupakan implementasi dari pancasila sebagai
ideologi negara yang merupakan program bersama antara pemerintah, swasta dan lembaga-
lembaga sosial serta masyarakat. Penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun adalah program
nasional. Oleh karena itu, untuk mensukseskan program itu perlu kerjasama yang menyeluruh
antara antara pemerintah, swasta dan lembaga-lembaga sosial serta masyarakat,karena program
ini sangat baik untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab kita semua terhadap masa
depan generasi penerus bangsa yang berkualitas serta upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Generasi Millennial dan Arah Pembangunan Kepemudaan di Indonesia
Kamis, 26/01/2017 | 23:48 WIB

Oleh : Aris Sukamto

Pemuda selalu menjadi garda depan dalam setiap perubahan dan pembangunan nasional.
Reformasi 1998 adalah bukti, dimana pemuda dan mahasiswa berada di garis depan dalam
menumbangkan rezim yang dinilai sudah menyimpang dari cita-cita Undang-Undang Dasar 1945
dan pembangunan nasional. Sehingga tidak berlebihan ketika kita menyebut kata “pemuda”
selalu identik dengan idealisme, semangat, pantang menyerah, kreatif, dan berdaya saing.

Seiring berkembangnya teknologi, arus informasi dan globalisasi tentu memiliki dampak yang
sangat besar bagi tatanan kehidupan – tak terkecuali generasi muda. Perubahan zaman yang
begitu cepat dan informasi yang tak terbatas menuntut manusia untuk selalu siap dalam berbagai
situasi dan kondisi. Hal ini kemudian menjadi tantangan serius bagi generasi muda Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana pemuda menjawab tantangan zaman
tersebut agar tetap menjadi pemuda yang selalu diidentikkan dengan idealisme, semangat,
pantang menyerah, kreatif, dan berdaya saing?. Tentu tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak
mungkin, karena setiap generasi lahir dengan tantangan dan zamannya sendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, baik di Indonesia mapun di luar negeri, wacana dan diskursus
tentang kepemudaan selalu menjadi tema dan perbincangan yang menarik. Salah satu yang
menjadi fokus kajian adalah tentang keberadaan generasi millennial.

Seperti kita ketahui, generasi millennial lahir dalam rentan waktu antara tahun 1980-an hingga
2000-an atau disebut juga sebagai generasi “Y”. Generasi millennial ini mempunyai corak dan
cara pandang yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya (generasi X). Perkembangan
teknologi, arus informasi dan digitalisasi menjadi faktor utama dalam perkembangan dan
perubahan kehidupan bagi generasi ini.
Jika dilihat dari jumlah penduduk di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
sampai dengan tahun ini jumlah generasi millennial mencapai hampir 40% dari total penduduk
Indonesia. Bahkan, angka itu akan terus bertambah menjadi 70% pada tahun 2030. Artinya,
dalam rentan waktu 2015-2030, Indonesia memiliki penduduk yang usia produktifnya lebih besar
dari pada usia non-produktif.

Dengan demikian, jika kualitas sumber daya manusia yang dimiliki tersebut baik maka akan
menjadi “bonus demografi” dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun sebaliknya, jika
kualitas sumber daya manusia yang dimiliki itu buruk maka akan menjadi “beban demografi”.

Generasi millennial memiliki tantangan yang sangat kompleks. Ketergantungan akan internet
dan produk digital telah membuat generasi millennial sering di cap sebagai generasi instan,
generasi copas (copy paste), dan tidak mahu ribet (susah). Jika seperti itu adanya, tentu sangat
jauh dari identitas pemuda itu sendiri.

Akan tetapi, harus diyakini bahwa tidak semua generasi millennial itu buruk, ada sisi-sisi positif
yang jika dikembangkan akan menjadi sesuatu yang luar biasa dampaknya bagi ekonomi dan
bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat. Karena di tangan generasi millennial inilah
pertaruhan Indonesia akan memperoleh bonus demografi atau beban demografi.

Langkah Kongkret
Untuk menjawab berbagai kegelisahan tersebut, maka dibutuhkan langkah-langkah konkret dan
berkesinambungan. Tentunya dengan melibatkan peran lintas sektoral – baik pemerintah, swasta
dan masyarakat.

Pertama, penguatan kualitas sumber daya manusia. Ini merupakan faktor penting dan utama
dalam rangka meningkatkan kualitas individu-individu di berbagai sektor. Sehingga
keberadaannya mampu menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia,
dan berdaya saing.

Dalam hal ini pemerintah mempunyai peran yang cukup besar untuk memberikan stimulus dan
kebijakan-kebijakan yang ditujukan dalam rangka penguatan kualitas sumber daya manusia,
khususnya bagi generasi muda. Di antaranya peningkatan mutu pendidikan, layanan
kepemudaan, penambahan lapangan kerja, penguatan skill tenaga kerja, dukungan penguatan
kewirausahaan dan kebijakkan lainnya yang berdampak langsung terhadap peningkatan skill dan
kualitas.

Swasta dan msyarakat juga mempunyai peranan yang cukup penting, di antaranya memberikan
kesempatan yang lebih bagi angkatan muda untuk berkarya dan berinovasi, membantu penguatan
modal, turut serta dalam menjaga stabilitas dan iklim ekonomi. Untuk itu, dibutuhkan sinergi
yang baik dalam lintas sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kedua, pengarusutamaan kebijakan pemuda. Wacana dan kajian ini bukanlah hal yang baru,
tetapi sampai saat ini belum mampu terimplementasikan menjadi sebuah kebijakan. Padahal ini
sangat penting untuk pembangunan kepemudaan kita. Partisipasi pemuda menjadi titik kunci
dalam pembangunan, karena selama ini posisi pemuda dalam pembangunan masih dijadikan
sebagai objek bukan subyek.

Kenyataannya, pemuda Indonesia mempunyai kemampuan, skill, inovasi dan daya saing yang
mumpuni untuk bisa terlibat dalam pembangunan dan ekonomi – baik di tingkat daerah, nasional
maupun internasional. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya karya anak muda yang mampu
bersaing pada level internasional. Karenanya, pembangunan berbasis kepemudaan harus
dilakukan secara spesifik, terstruktur dan berkelanjutan. Jumlah angkatan muda yang kian
banyak tidak cukup jika hanya dibebankan pada satu kelembagaan saja. Tentunya, dibutuhkan
peran lintas sektoral, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Di tahun 2017 ini kita patut bersyukur, wacana penerapan kebijakan tentang pengarusutamaan
pemuda yang terus didengungkan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sebagai
leading sector di bidang kepemuduaan telah manjadi prioritas kajian di Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas). Semoga tahun ini pula bisa direalisasikan menjadi sebuah
kebijakan, baik melalui Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres).

Ketiga, proteksi dan penguatan ekonomi kreatif. Arus globalisasi secara tidak langsung telah
menghapus batas-batas kedaulatan suatu Negara, penduduk antar suatu Negara akan dengan
sangat mudah menjalin komunikasi dan interaksi dengan penduduk di belahan bumi yang lain.
Hal ini akan berdampak terhadap peningkatan arus perpindahan orang dan produk dari satu
Negara ke Negara yang lain. Jika tidak diatur dalam satu kerangka kebijakan yang tepat, maka
masuknya orang dan produk-produk tersebut akan membanjiri pasar dalam negeri dan lambat
laun akan membuat produk-produk dalam negeri kita semakin sulit untuk bersaing.

Sebagai Negara penganut sistem ekonomi demokrasi yang merupakan perwujudan dari falsafah
Pancasila dan UUD 1945 dengan berasaskan kekeluargaan dan gotong royong dari, oleh, dan
untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah. Maka pemerintah harus hadir
untuk melindungi dan memberikan proteksi terhadap produk-produk dalam negeri demi
kepentingan dan kemakmuran rakyat.

Selain itu, sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia
merupakan Negara dengan pengguna internet terbesar keenam. Akses mudah dan murah
membuat banyak pelaku usaha baru yang mengusung jenis usaha baru, bahkan mungkin tidak
pernah terbayangkan sebelumnya.

Pengembangan aplikasi dan game, arsitektur dan desain interior, desain komunikasi visual,
desain produk, fashion, film, animasi video, fotografi, kriya (kerajinan tangan), kuliner, musik
dan banyak industri kreatif lainnya kini sudah mulai marak. Hal ini akan sangat membantu untuk
menopang penciptaan lapangan kerja baru dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita.

Penelitian Bank Indonesia (BI) yang bekerja sama dengan Bank Dunia (November, 2015), dirilis
Maret 2016, menyebutkan, sepanjang tahun 2010-2013, kontribusi industri kreatif terhadap
produk domestik bruto (PDB) diperkirakan sebesar 7,1%. Terhadap keseluruhan nilai ekspor
sebesar 6,1% dan terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 10,7%. Kontribusi ekonomi kreatif
terhadap PDB nasional sebesar 7.05 % atau setara dengan Rp. 641,81 triliun. Ekonomi kreatif
menduduki peringkat ketujuh dari 10 sektor kontributor PDB nasional. Lima kelompok industri
kreatif yang menjadi penyumbang PDB terbesar adalah kuliner (32,51%), mode atau fashion
(28,29%), kerajinan (14,44%), penerbitan dan percetakan (8,11%), dan desain (3,90%).

Perlu diketahui, potensi besar perkembangan sektor ekonomi kreatif juga ditopang oleh bonus
demografi. Tahun 2030, jumlah penduduk usia produktif diperkirakan di atas 60% dari total
penduduk, dimana sekitar 27% di antaranya berusia 16 tahun hingga 30 tahun.

Oleh karena itu, pemerintah melalui badan ekonomi kreatif yang berkoordinasi dengan lintas
sektoral dan swasta harus terus bahu-membahu dalam merumuskan, merancang, melindungi dan
mendorong penguatan ekonomi kreatif yang berdaya saing. Bagaimanapun, generasi millennial
ini merupakan tonggak awal untuk menikmati manisnya bonus demografi di masa yang akan
datang.

*) Penulis adalah Pembina Lembaga MOEDA Institute dan Tim Asistensi Stafsus Bidang
Kepemudaan Kemenpora.

Anda mungkin juga menyukai