Anda di halaman 1dari 23

OTITIS

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Yang Di Bina Oleh Ibu Sulastyawati,S.Kep, Ns,M.Kep

Disusun oleh:

1. Yuli Kartika (P17220181005)

2. Sari Kristina Putri (P17220181015)

3. Aprilia Dwi Nisa Anjani (P17220181019)

4. Dwi Adefiya Salsabila (P17220182022)

5. Veren Aurelli Nasywa (P17220183034)

6. Faulya Isro’atul Chandya (P17220183037)

7. Adelia Fitriana Sari (P17220183045)

POLTEKKES KEMENKES MALANG

D-III KEPERAWATAN LAWANG 2020/2021


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
limpahan segala rahmat-Nya, penulisan makalah yang berjudul Otitis dapat
terselesaikan tepat pada waktunya dan berjalan dengan baik tanpa suatu halangan
yang berarti.
Sudah tentu dalam penulisan makalah ini, tidak terlepas dari dorongan
moral, bimbingan, dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Sulastyawati,S.Kep, Ns,M.Kep yang telah mencurahkan segala perhatiannya
untuk membimbing dan mengarahkan penulis dengan ikhlas dalam penulisan
makalah ini;
2. Bapak dan ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu.
3. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, yangtelah memberikan dorongan dan bantuan selama dan sampai
terseselesaikannya penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik maupun saran dan
sumbangan pemikiran dari semua pihak yang bersifat membangun. Semoga materi
dalam penulisan makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan bagi pembaca agar dapat memahami dan
mencari solusi yang tepat.

Lawang, 11 Febuari 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI
Halaman Judul…........................................................................................
Kata Pengantar............................................................................................ 1
Daftar Isi..................................................................................................... 2

BAB 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang.............................................................................. 3
1.2. Rumusan Masalah......................................................................... 4
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................... 4

BAB 2 Tinjauan Pustaka


2.1. Pengertian...................................................................................... 5
2.2. Etiologi/ penyebab......................................................................... 6
2.3. Patofisiologi................................................................................... 8
2.4. Macam-Macam Stadium Otitis...................................................... 9
2.5. Komplikasi ................................................................................... 14
2.6. Manifestasi Klinis......................................................................... 14
2.7. Penatalaksanaan Medis................................................................. 15
2.8. Pemeriksaan Penunjang ………………………………….…….. 19

BAB 3 Simpulan Dan Saran......................................................................


3.1 Kesimpulan......................................................................................21
3.2 Saran................................................................................................21
Daftar Pustaka...............................................................................................22

2
3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut telinga tengah. Penyakit ini
masih merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak-anak. Diperkirakan 70%
anak mengalami satu atau lebih episode otitis media menjelang usia 3 tahun.
Penyakit ini terjadi terutama pada anak dari baru lahir sampai umur sekitar 7 tahun,
dan setelah itu insidennya mulai berkurang.
Anak umur 6-11 bulan lebih rentan menderita OMA. Insiden sedikit lebih tinggi
pada anak laki-laki dibanding perempuan. Sebagian kecil anak menderita penyakit ini
pada umur yang sudah lebih besar, pada umur empat dan awal lima tahun. Beberapa
bersifat individual dapat berlanjut menderita episode akut pada masa dewasa.
Kadang-kadang, orang dewasa dengan infeksi saluran pernafasan akut tapi tanpa
riwayat sakit pada telinga dapat menderita OMA.
Faktor-faktor risiko terjadinya OMA adalah bayi yang lahir prematur dan berat
badan lahir rendah, umur (sering pada anak-anak), anak yang dititipkan kepenitipan
anak, variasi musim dimana OMA lebih sering terjadi pada musim gugur dan musim
dingin, predisposisi genetik, kurangnya asupan air susu ibu, imunodefisiensi,
gangguan anatomi seperti celah palatum dan anomaly kraniofasial lain, alergi,
lingkungan padat, sosial ekonomi rendah, dan posisi tidur tengkurap.
Penatalaksanaan OMA tanpa komplikasi mendapat sejumlah tantangan unik.
Pilihan terapi OMA tanpa komplikasi berupa observasi dengan menghilangkan nyeri
(menggunakan asetaminofen atau ibuprofen), dan atau antibiotik. Di Amerika Serikat
(AS), kebanyakan anak dengan OMA secara rutin mendapat antibiotik. Cepatnya
perubahan spectrum patogen menyebabkan sulitnya pemilihan terapi yang paling
sesuai. Berkembangnya pengetahuan baru tentang patogenesis OMA, perubahan pola
resistensi, dan penggunaan vaksin baru memunculkan tantangan yang lebih lanjut
pada penatalaksanaan efektif pada OMA. Food and Drug Administration (FDA)
menyetujui penggunaan vaksin pneumokokus konjugat sebagai cara baru dalam
menurunkan prevalensi OMA dan mencegah sekuele dari infeksi telinga.
4

1.2 Rumusan masalah


Dari latar belakang dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dari otitis?
2.      Bagaimana etiologi dari otitis?
3. Bagaimana patofisiologi otitis?
4. Apa saja macam-macam stadium otitis?
5.      Apa saja komplikasi dari otitis?
6.      Bagaimana manifestasi klinis dari otitis?
7.      Bagaimana penatalaksanaannya?
8. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari otitis?

1.3 Tujuan Penulisan


1.      Untuk mengetahui pengertian dari otitis?
2.      Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari otitis?
3.      Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari otitis?
4. Untuk mengetahui bagaimana macam-macam stadium otitis?
5.      Untuk mengetahui bagaimana komplikasi dari otitis?
6. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari otitis?
7.      Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaannya ?
8.      Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari otitis?
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya
dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing
memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis
media adhesiva (Djaafar, 2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-
tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi
secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta
otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau
inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging,
mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani,
dan otore (Kerschner, 2007).
6

2.2 Etiologi/Penyebab
Berdasarkan penyebab nya penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
1. Disfungsi atau sumbatan tuba eustachius merupakan penyebab utama dari
otitis media yang menyebabkan pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba
eustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga
tengah juga akan terganggu
2. ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), inflamasi jaringan di sekitarnya
(misal : sinusitis, hipertrofi adenoid), atau reaksi alergi (misalkan rhinitis
alergika). Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar
kemungkinan terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA
dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak
horisontal.
3. Bakteri
Bakteri yang umum ditemukan sebagai mikroorganisme penyebab adalah
Streptococcus peumoniae, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis,
dan bakteri piogenik lain, seperti Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus
aureus, E. coli, Pneumococcus vulgaris.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan
faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke
dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibody.

Otitis media akut (OMA) terjadi karena factor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba eustachius merupakan factor penyebab utama dari otitis media.
Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan infasi kuman ke dalam telinga
tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk kedalam telinga tengah dan terjadi
peradangan.

Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas
atas.
7

Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar
kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena
tuba eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.
8

2.3 Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas (ISPA) yang
diebabkan oleh bakteri, kemudian menyebar ke telinga tengah melewati tuba
eustachius. Ketika bakteri memasuki tuba eustachius maka dapat menyebabkan
infeksi dan terjadi pembengkakan, peradangan pada saluran tersebut. Proses
peradangan yang terjadi pada tuba eustachius menyebabkan stimulasi kelenjar
minyak untuk menghasilkan sekret yang terkumpul di belakang membran timpani.
Jika sekret bertambah banyak maka akan menyumbat saluran eustachius,
sehingga pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang osikel
(maleus, incus, stapes) yang menghubungkan telinga bagian dalam tidak dapat
bergerak bebas. Selain mengalami gangguan pendengaran, klien juga akan
mengalami nyeri pada telinga.
Otitis media akut (OMA) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat
berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higiene kurang
diperhatikan, terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanya daya tahan
tubuh yang kurang baik.
2.4 Macam-Macam Stadium Otitis
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung
pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius,
stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan
stadium resolusi (Djaafar, 2007).

Gambar 4. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai
oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif
di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran
timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya
juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga
menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-
kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit
dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus
dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).

9
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran
timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema
mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis
disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi
oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan
membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi
bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh
dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan
ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena
terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala
berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

Gambar 5. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen
atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema
pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial

10
terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani
menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga
luar.

Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah
dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran
konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.

Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa
dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus
berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil,
sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.

Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan


miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada
membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju
liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali,
sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak
utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 6. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

11
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga
sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah
ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi
(berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian
antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah
menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah
tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih
satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media
supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 7. Membran Timpani Peforasi

12
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran
timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup
kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran
kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman
rendah.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi


otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi
membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus
atau hilang timbul.

Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum
timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).

13
2.5 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi,
mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang
semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif
kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi
OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani,
mastoiditis akut , paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis),
ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis). Komplikasi yang serius adalah: Infeksi pada tulang di
sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis) Labirinitis (infeksi pada
kanalis semisirkuler) Kelumpuhan pada wajah, Tuli Peradangan pada selaput
otak (meningitis).
Adapun contoh komplikasi dari otitis bila dibiarkan dapat
menyebabkan :
1. Peradangan telinga tengah (otitis media) yang tidak diberi terapi secara
benar dan adekuat dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga tengah
termasuk ke otak, namun ini jarang terjadi setelah adanya pemberian
antibiotik.
2. Mastoiditis
3. Kehilangan pendengaran permanen bila OMA tetap tidak ditangani
4. Keseimbangan tubuh terganggu
5. Peradangan otak kejang

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari OMA tergantung pada stadium penyakit dan umur
klien.
a. Stadium Hiperemi
 Nyeri dan rasa penuh dalam telinga karena tertupnya tuba eustachius yang
mengalami hiperemi dan edema
 Demam

14
 Pendengaran biasanya masih normal
b. Stadium Oklusi
 Nyeri dan demam bertambah hebat
 Pada anak : panas tinggi disertai muntah, kejang, dan meningismus
 Pendengaran mulai berkurang
c. Stadium Supurasi
 Keluar sekret dari telinga
 Nyeri berkurang karena terbentuk drainase akibat membran timpani ruptur
 Demam berkurang
 Gangguan pendengaran bertambah karena terjadi gangguan mekanisme
konduksi udara dalam telinga tengah
d. Stadium Koalesen
Nyeri tekan pada daerah mastoid, dan akan terasa berat pada malam hari
e. Stadium Resolusi
Pendengaran membaik atau kembali normal.

2.8 Penatalaksanaan Medis


Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada
stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.
1. Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan
negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,25
% untuk anak < 12 tahun atau HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis
untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi lokal harus diobati.
Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.
2. Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani
sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan

15
pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi
resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
3. Stadium Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila
membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur.
4. Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci
telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri
dalam 7-10 hari.
5. Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu.
Bila tetap, mungkin telah terjadi mastoiditis.

Pengobatan yang biasa diberikan adalah:


1. Antibiotik
OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan
sendirinya. Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik.
Penggunaan antibiotik tidak mengurangi komplikasi yang dapat terjadi,
termasuk berkurangnya pendengaran. Observasi dapat dilakukan pada
sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik dalam 48-72 jam atau ada
perburukan gejala, antibiotik diberikan. American Academy of Pediatrics
(AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera
diterapi dengan antibiotik sebagai berikut:

16
Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan
demam <39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri
telinga sedang – berat atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72
jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan – dua tahun dengan
gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas
dua tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus dipastikan dapat
terlaksana. Analgesia tetap diberikan pada masa observasi.
British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda
untuk menerapkan observasi ini. Menurut BMJ, pilihan observasi dapat
dilakukan terutama pada anak tanpa gejala umum seperti demam dan muntah.
Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian
besar anak adalah amoxicillin.
a. Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician)
menganjurkan pemberian 40 mg/kg berat badan/hari pada anak dengan
risiko rendah dan 80 mg/kg berat badan/hari untuk anak dengan risiko
tinggi. Risiko tinggi yang dimaksud antara lain adalah usia kurang dari
dua tahun, dirawat sehari-hari di daycare, dan ada riwayat pemberian
antibiotik dalam tiga bulan terakhir.
b. WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan
maksimumnya 500 mg.
c. AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari. Dosis ini terkait
dengan meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat diatasi dengan
dosis standar di Amerika Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada
data yang mengemukakan hal serupa, sehingga pilihan yang bijak adalah
menggunakan dosis 40 mg/kg/hari. Dokumentasi adanya bakteri yang
resisten terhadap dosis standar harus didasari hasil kultur dan tes resistensi
terhadap antibiotik.
d. Buku ajar THT UI menganjurkan pemberian pada anak, ampisilin
diberikan dengan dosis 50-100 mg/BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau

17
amoksisilin 40 mg/BB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40
mg/BB/hari.

Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-


72 jam. Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua
mulai terjadi perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam,
kemungkinan ada penyakit lain atau pengobatan yang diberikan tidak
memadai. Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik lini
kedua. Misalnya:
a. Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang
kemudian dipilih adalah amoxicillin-clavulanate. Sumber lain menyatakan
pemberian amoxicillin-clavulanate dilakukan jika gejala tidak membaik
dalam tujuh hari atau kembali muncul dalam 14 hari.
b. Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan
cephalosporin seperti cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.
c. Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah
azithromycin atau clarithromycin.
d. Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-
trimethoprim. Namun kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang
tidak membaik dengan amoxicillin.
e. Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil,
pilihan yang diambil adalah ceftriaxone selama tiga hari.Perlu
diperhatikan bahwa cephalosporin yang digunakan pada OMA umumnya
merupakan generasi kedua atau generasi ketiga dengan spektrum luas.
Demikian juga azythromycin atau clarythromycin. Antibiotik dengan
spektrum luas, walaupun dapat membunuh lebih banyak jenis bakteri,
memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal di tubuh akan dapat
terbunuh sehingga keseimbangan flora di tubuh terganggu. Selain itu
risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik akan lebih

18
besar. Karenanya, pilihan ini hanya digunakan pada kasus-kasus dengan
indikasi jelas penggunaan antibiotik ini kedua.
Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari
pada anak berusia di bawah dua tahun atau anak dengan gejala berat. 6 Pada
usia enam tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris,
anjuran pemberian antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari. Ulasan dari
Cochrane menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antara pemberian
antibiotik dalam jangka waktu kurang dari tujuh hari dibandingkan dengan
pemberian lebih dari tujuh hari. Dan karena itu pemberian antibiotik selama
lima hari dianggap cukup pada otitis media. Pemberian antibiotik dalam
waktu yang lebih lama meningkatkan risiko efek samping dan resistensi
bakteri.

2. Analgesik
Selain antibiotik, penanganan OMA selayaknya disertai penghilang
nyeri (analgesia). Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia
sederhana seperti paracetamol atau ibuprofen. Namun perlu diperhatikan
bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus dipastikan bahwa anak tidak
mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena ibuprofen
dapat memperparah iritasi saluran cerna.

3. Pembedahan
Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk
mengeluarkan cairan yang menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan
pada kasus-kasus khusus di mana terjadi gejala yang sangat berat atau ada
komplikasi. Cairan yang keluar harus dikultur.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
2. Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani.

19
3. Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis
(Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).
4. Laboratorium
Biasanya tidak diperlukan tes laboraturium sampai infeksi mereda dan
pemeriksaan tindak lanjut akan mencakup audiometri dan timpanometri bila
terdapat otore, contoh nanah dapat diambil untuk pemeriksaan kultur dan
sensitivitas antimikroba.
5. CT Scan dan MRI

20
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media


Aesculapius Fakultas Kedokteran Indonesia.Jakarta.
2. Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit
THT. FKUI : Jakarta.
3. Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
4. Commisso, R., Romero-Orellano, F., Montanaro, P.B., Romero-Moroni, F., Romero-
Diaz, R., 2000. Acute Otitis Media: Bacteriology and Bacterial Resistance in 205
Pediatric Patients. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 56: 23-31.
5. Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,
E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-
86.

22

Anda mungkin juga menyukai