Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1

STUDI KASUS: OSTEOARTRITIS

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
Anggota
WIA AMALIA G 701 16 003
NUR AFIFAH SIDANG G 701 16 038
MYRA KARTIKA G 701 16 059
INDAH SAFITRI G 701 16 094
ANGGY RISKI AKHIKA G 701 16 097
ADITYA ARIWINARDI ARIF G 701 16 131
ARUNDINI SUKMA AMALIA G 701 16 144
KLERENSIA DEFNEIR TITING G 701 16 179
MOH. SYAHRIR HIDAYAT G 701 16 269
MUKARRIMA G 701 16 271
NUR ALAM G 701 16 273
YEYEN APRIANA G 701 16 279

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
PHARMACEUTICAL CARE

I. IdentitasPasien
Nama Pasien : Ny. S
Umur : 43 tahun

II. Subjektif
II.1 Keluhan Utama
Nyeri pada lutut kiri sejak 6 bulan yang lalu, nyeri terasa seperti
ditusuk-tusuk. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri hilang setelah
istirahat beberapa saat.
II.2 Keluhan Tambahan
Kaku pada lutut kiri biasanya sehabis bangun tidur dan terasa panas
pada lutut kirinya.
II.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Trauma, hipertensi dan diabetes mellitus disang
II.4 Riwayat Pengobatan
Meloxicam tab 2 x 15 mg/hari, ranitidine tab 2 x 150 mg/hari,
vitaneuron 2x1 tab/hari.

III. Objektif
III.1 Tanda Vital
Tekanan darah = 120/80 mmHg
Frekuensi nadi = 92x/menit
Frekuensi pernapasan = 20x/menit
Suhu = 36,3°C

IV. Assesment
Didiagnosa osteoarthritis artikulasion genu sinistra.
V. Plan(s)
1. Mengkombinasikan meloxicam dengan tramadol
2. Mengganti vitaneuron dengan glukosamin sulfat.
3. Melakukan pemeriksaan lanjutan.
4. Injeksi hyaluronan (Jika perlu, dan sakit sudah tidak tertahankan)
A. DEFINISI
 Osteoarthiritis adalah suatu gangguan persendian dimana terjadi
perubahan berkurangnya tulang rawan sendi dan terjadi hipertropi tulang
hingga terbentuk tonjolan tulang pada permukaan sendi (oskopi) (Yatim,
2007).
 Osteoarthiritis adalah kondisi yang ditandai dengan nyeri dan kekakuan
pada daerah persendian (Krishna, 2013).
 Osteoarthiritis merupakan penyakit degeneratif pada sendi yang ditandai
dengan adanya destruksi pada kartilago dan pertumbuhan osteofil. (Karta,
2018)
 Osteoarthiritis merupakan penyakit rematik yang terkait dengan penuaan
dan merupakan penyakit seumur hidup (Ramayulis, 2007).
 Osteoarthiritis adalah gangguan sendi juga, tetapi bukan gangguan imun,
penyebabnya bisa bermacam-macam, seringkali bersifat Idiopatik (tidak
diketahui penyebabnya) dengan ciri terjadinya degenerasi tulang rawan.
(Ikawati, 2011)

B. EPIDEMIOLOGI
OA adalah penyebab utama kecacatan di Amerika Serikat. Prevalensi
kecacatan terkait arthritis diperkirakan akan meningkat menjadi 11,6 juta di
Amerika Serikat pada tahun 2020. Biaya tahunan yang dikaitkan dengan OA
(perawatan medis dan kehilangan upah) diperkirakan mencapai $65 juta di
Amerika Serikat (Dipiro, 2011).
Perkiraan prevalensi untuk OA bervariasi dengan usia, jenis kelamin,
genetika, kelompok etnis, sendi spesifik yang terlibat, dan metode yang
digunakan untuk diagnosis atau pemastian. Prevalensi OA meningkat seiring
bertambahnya usia. Di Amerika Serikat, untuk orang yang berusia 25 hingga
74 tahun, prevalensi diperkirakan 12%, dengan 60% hingga 70% dari mereka
yang berusia di atas 70 tahun terkena. Prevalensi untuk OA lutut simptomatik
adalah 5% untuk semua orang di atas usia 25, tetapi 12% untuk mereka yang
berusia di atas 55 tahun. Prevalensi OA hip simtomatik adalah 4%, yang
menyebabkan sekitar 200.000 penggantian panggul total per tahun di Amerika
Serikat. OA pinggul yang dikonfirmasi secara radiologis menunjukkan tren
yang jelas melalui semua kelompok usia, mempengaruhi 1,6% dari mereka
yang berusia antara 30 hingga 39 tahun, hingga prevalensi 14% pada mereka
yang berusia lebih dari 85 tahun. 5% dari mereka yang berusia 40 tahun, tetapi
pada 65% dari mereka yang berusia di atas 80 tahun. Prevalensi OA pinggul
adalah 9% pada populasi kulit putih, tetapi hanya 4% untuk populasi Asia,
kulit hitam, dan India. Sebelum usia 50, pria lebih cenderung memiliki OA
daripada wanita, dikaitkan dengan tingkat olahraga yang lebih tinggi dan
cedera lainnya. OA tangan ditemukan pada wanita menunjukkan prevalensi
OA pinggul dan lutut lebih tinggi daripada pria, dan pada risiko OA tangan
yang lebih besar, dengan 26% wanita dan 13% pria di atas usia 70 tahun
terkena. Wanita juga lebih mungkin mengalami OA inflamasi pada sendi
interphalangeal proksimal dan distal dari tangan, sehingga memunculkan
pembentukan nodus Bouchard dan Heberden (Dipiro, 2011).
Dengan menggunakan database populasi sekitar 4 juta orang, studi Kanada
baru-baru ini memperkirakan tingkat insiden tahunan OA yang didiagnosis
dokter pada pria menjadi 11,6 per 1000 pada periode 2003 hingga 2004,
serupa dengan tingkat 11,3 per 1000 perkiraan untuk tahun 1996 1997. Untuk
wanita, tingkat kejadian secara signifikan meningkat dari 14,7 menjadi 16,7
per 1000 dari periode 1996 hingga 1997 hingga periode 2003 hingga 2004.
Beberapa peningkatan yang diamati untuk wanita dapat disebabkan oleh
penuaan penduduk dan dengan harapan usia hidup yang lebih lama (Dipiro,
2011).

C. ETIOLOGI
Menurut Rahmawati (2016), Osteoarthritis dapat terjadi oleh beberapa hal,
tetapi pada sebagian besar penderita etiologinya tidak diketahui. Akan tetapi
ada beberapa faktor etiologi yang berhubungan dengan penyakit ini yaitu:
1. Usia, Osteoarthritis cenderung menyerang pada lansia, hal ini terlihat
dengan bertambahnya usia maka bertambah pula prevalensi penderita
Osteoarthritis.
2. Obesitas, pada keadaan normal berat badan akan melalui medial sendi
lutut yang diimbangi oleh otot-otot paha bagian lateral sehingga resultan
gaya akan melewati bagian tengah sendi lutut. Pada obesitas resultan gaya
akan bergeser ke medial sehingga beban gaya oyang diterima sendi lutut
tidak seimbang.
3. Aktifitas, semua aktifitas yang membebani sendi lutut berlebih
4. Trauma, trauma yang menyerang persendian seperti fraktur dekat sendi
lutut.
5. Faktor hormonal, perubahan degeneratif pada lutut lebih banyak ditemui
pada penderita diabetes mellitus.

D. PATOFISIOLOGIS DAN PATOGENESIS


1. Patofisiologis
Penyakit sendi degenerative (osteoartritis) merupakan suatu penyakit
kronik, tidak meradang, dan progresif lambat, yang seakan-akan
merupakan proses penuaan, rawan sendi mengalami kemunduran dan
degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi
sendi. Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit
yang merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga
diawali oleh stress biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom
menyebabkan dipecahnya polisakarida protein yang membentuk matriks di
sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan kerusakan tulang rawan.
Sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang harus menanggung
berat badan, seperti panggul, lutut dan kolumna vertebralis. Sendi inter
falang distal dan proksimasi. Osteoartritis pada beberapa kejadian akan
mengakibatkan terbatasnya gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa
nyeri yang dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang
digunakannya sendi tersebut. Perubahan-perubahan degeneratif yang
mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya cedera sendi
infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan sendi lainnya
akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat intrinsik dan
ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur pada ligamen atau adanya
perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang
rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi
penyempitan rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki krepitasi,
deformitas, adanya hipertropi atau nodulus (Aspiani, 2014).

2. Patogenesis
Menurut Sudoyo (2007), OA terjadi karena degradasi pada rawan
sendi, remodeling tulang, dan inflamasi.Terdapat 4 fase penting dalam
proses pembentukan osteoarthritis yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri,
fase degradasi.
 Fase inisiasi: Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan
sendi berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit
mengalami replicasi dan memproduksi matriksbaru. Fase ini
dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang
mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel,
faktor tersebut seperti Insulin-like growth factor (IGF-1), growth
hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni
stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi
khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan
protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran
penting dalam perbaikan rawan sendi.
 Fase inflamasi: Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitive
terhadap IGF-1 sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan
jumlah leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-1 (Inter Leukin-1)
dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi
seperti collagenase dan gelatinase untuk membuat produk
inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi memiliki dampak
negative pada jaringansendi, khususnya pada kartilago sendi, dan
menghasilkan kerusakan pada sendi.
 Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas
fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini
menyebabkan penumpukan thrombus dan komplek lipid pada
pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan terjadinya
iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya
mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat
menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya
mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan
tendon, ligament serta spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan
oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf
yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena
intramedular akibat stasis vena pada proses remodeling trabekula
dan subkondrial.
 Fase degradasi: IL-1 mempunyai efek multiple pada sel cairan
sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan
sendi. Peran makrofag di dalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu
apabila terjadi jejasmekanis, material asing hasil nekrosis jaringan
atau CSFs akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA).
Sitokin ini akan merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs.
Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawansendi. Faktor
pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan
selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang
degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor
pertumbuhan merangsang sintesis

E. FAKTOR RESIKO
Menurut Departemen Kesehatan (2006), penyebab OA bersifat multifaktoral,
terutama meningkat pada usia diatas 50 tahun. Penyebab OA antara lain:
1. Usia.
Usia adalah faktor resiko terkuat timbulnya OA. Prevalensi dan berat OA
semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih dari 75% orang
berusia >65 tahun memiliki bukti radiografi terkena OA. Menurut Survei
Kesehatan Finlandia (2000), prevalensi radiografi dan klinis OA
meningkat pada pria dan wanita pada umur 35- 85 tahun. Pada 45 tahun,
sekitar 1-5% memiliki OA tangan, sedangkan pada usia 75-79 tahun
sekitar 85% memiliki OA tangan. OA lutut terjadi pada kurang dari 0,1%
25-34 tahun, tetapi dalam 10%-20% terjadi pada usia 65-74 tahun. Proses
penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di sekitar
sendi, penurunan kelenturan sendi dan tulang rawan dan menurunkan
fungsi kondrosit.
2. Jenis kelamin dan Hormonal
Wanita lebih memiliki resiko menderita OA daripada laki-laki. Hal ini
terbukti bahwa 31% wanita dengan bukti radiografi memiliki gejala OA,
dibandingkan dengan laki-laki hanya sebesar 21%. Pada usia dibawah 55
tahun, distribusi sendi OA pada laki-laki dan perempuan sama, pada usia
lanjut OA pinggul lebih sering terjadi pada laki-laki, sedangkan OA sendi
antar jari tangan, pangkal jempol, dan lutut sering terjadi pada perempuan.
OA lutut simptomatik lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-
laki. Frekuensi OA lebih banyak pada wanita daripada pria diperkirakan
karena turunnya kadar estrogen yang signifikan setelah menopause. Pada
kartilago terdapat reseptor estrogen yang mempengaruhi banyak penyakit
inflamasi dengan merubah pergantian sel, metabolisme, dan pelepasan
sitokin. Ini membuktikan bahwa estrogen berperan dalam osteoarthritis.
Perempuan yang mendapat estrogen replacement therapy (ERT)
mempunyai kemungkinan menderita OA pinggul dan lutut lebih kecil
daripada yang tidak mendapatkan terapi estrogen.
3. Obesitas
Berat badan yang berlebih berkaitan dengan meningkatnya resiko OA
pada pria dan wanita. Pasien dengan obesitas seringkali berpeluang untuk
terkena OA lutut dan tangan. Kelebihan berat badan akan menambah
beban lebih tinggi sehingga sendi akan menahan beban lebih besar.
Pembebanan lutut dan panggul dapat menyebabkan kerusakan kartilago,
kegagalan ligamen dan kerusakan struktur tulang lain. Untuk OA lutut
yang parah, resiko akan meningkat menjadi 1,9% pada laki-laki dan 3,2%
pada perempuan. Setiap penambahan berat 0,5 kg, tekanan total pada satu
lutut meningkat sebesar 1–1,5 kg dan setiap penambahan 1 kg pada lutut
meningkatkan risiko terjadinya OA sebesar 10%. Bagi pasien dengan
obesitas, setiap penurunan berat walau hanya 5 kg akan mengurangi fakor
risiko OA di kemudian hari sebesar 50%. Pada penderita OA, perempuan
maupun laki-laki mengalami peningkatan kepadatan mineral tulang pada
beberapa tempat di tulang kerangka. Pasien obesitas mempunyai densitas
tulang yang lebih tinggi, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya OA.
Pada OA, trauma yang berulang dapat menyebabkan degenerasi kartilago,
sedangkan pada pasien osteoporosis, tulang menjadi lunak secara
abnormal. Pasien Osteoporosis sangat jarang mengalami OA, karena pada
pasien OA memiliki densitas kepadatan tulang yang lebih tinggi akibat
dari beban tulang yang diterima. Tetapi, karena hal ini juga merupakan
faktor resiko terbentuknya OA bila tulang sendi menerima beban
berlebihan.
4. Faktor genetic
Faktor keturunan mempunyai peran terhadap terjadinya OA. Pada sendi
jari tangan (nodus Heberden) ibu dari wanita yang terkena OA, akan
beresiko 2 kali lebih sering mengalami OA dan anak-anak perempuannya
cenderung 3 kali lebih sering, dibandingkan dengan ibu dan anak–anak
perempuan dari wanita tanpa OA. Sinovitis yang terjadi seringkali
dihubungkan dengan adanya mutasi genetik. Gen tersebut adalah gen
prolagen II atau gen–gen struktural lain untuk unsur tulang rawan sendi
seperti kolagen IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan. Gen
tersebut berkaitan dengan peningkatan pirofosfat intraselular 2 kali lipat,
dimana deposit pirofosfat diyakini dapat menyebabkan sinovitis. Pengaruh
faktor genetik mempunyai kontribusi sekitar 50% terhadap risiko
terjadinya OA tangan dan panggul, dan sebagian kecil OA lutut.
5. Ras
Prevalensi dan pola terkena sendi pada OA berbeda setiap suku bangsa.
OA lutut pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak berbeda,
sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika-Amerika
memiliki risiko menderita OA lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras
Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki risiko menderita OA lutut lebih
tinggi dibandingkan ras Kaukasia. OA lebih sering ditemukan pada orang
Amerika asli daripada orang berkulit putih. Populasi kulit berwarna lebih
banyak terserang OA dibandingkan kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan
dengan cara hidup, maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital
dan pertumbuhan.
6. Aktivitas fisik yang berat
Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian sendi secara terus-menerus
dapat berkaitan dengan peningkatan resiko OA. Tetapi, di sisi lain
seseorang yang memiliki aktivitas minim sehari-hari juga berisiko
mengalami OA lutut. Ketika seseorang tidak melakukan gerakan, aliran
cairan sendi akan berkurang dan berakibat aliran nutrisi yang masuk ke
sendi juga berkurang. Hal tersebut akan mengakibatkan proses degeneratif
menjadi berlebihan.
7. Olah raga dan Cedera sendi
Cedera sendi dan olahraga dapat menimbulkan terjadi peningkatan resiko
OA yang lebih tinggi. Atlit memiliki resiko 2-3 kali lipat lebih tinggi
terkena OA lutut dan pinggul. Hasil penelitian lain mengevaluasi risiko
OA pada atlet profesionalpria yang mengalami cidera pergelangan kaki,
lutut, pinggul akan mengalami OA pada umur >65 tahun. Tetapi dampak
aktivitas fisik pada penyebab dan resiko terkena OA jug a tergantung pada
jenis, intensitas dan komponen aktivitas fisik. Trauma lutut yang akut
terjadi karena robekan pada ligamentum krusiatum dan meniskus
merupakan faktor risiko timbulnya OA lutut. Umur pada saat cedera akan
mempengaruhi peningkatan risiko OA. Cedera ligamen pada manula
cenderung menyebabkan OA berkembang lebih cepat dibanding orang
muda dengan cedera yang sama. Pada pasien yang mengalami riwayat
cederapinggul akan memiliki risiko 2,1 kali lipat OA panggul unilateral
dan 1,5 kali lipat memiliki OA pinggul bilateral.

F. KLASIFIKASI
Menurut Departemen Kesehatan (2006), Osteoartritis diklasifikasikan menjadi
2 golongan, yaitu OA primer dan OA sekunder.
1. Osteoartritis primer
Osteoartritis primer atau OA idiopatik belum diketahui penyebabnya dan
tidak berhubungan dengan penyakit sistematik maupun proses perubahan
lokal pada sendi. Meski demikian, osteoartritis primer banyak di
hubungkan dengan penuaan. Pada orang tua, volume air dari tulang muda
meningkat dan susunan protein tulang mengalami degenerasi dengan
mengelupas atau membentuk tulang muda yang kecil. Pada kasus-kasus
lanjut, ada kehilangan total dari bantal kartilago antara tulang-tulang dan
sendi-sendi. Penggunaan ulang dari sendi-sendi yang terpakai dari tahun
ke tahun dapat membuat bantalan tulang mengalami iritasi dan meradang,
menyebabkan nyeri dan pembengkakan sendi. Kehilangan bantalan tulang
ini menyebabkan gesekan antar tulang, menjurus pada nyeri dan
keterbatasan mobilitas sendi.Peradangan dari kartilago dapat juga
menstimulasi pertumbuhan-pertumbuhan tulang baru yang terbentuk di
sekitar sendi-sendi. Osteoartritis primer ini dapat meliputi sendi-sendi
perifer (baik satu maupun banyak sendi), sendi interphalang, sendi besar
(panggul, lutut), sendi-sendi kecil (carpometacarpal,
metacarpophalangeal), sendi apophyseal dana tau intervertebral pada
tulang belakang, maupun variasi lainnya seperti OA inflamatorik erosif,
OA generalisata, chondromalaciapatella, atau Diffuse Idiopathic Skeletal
Hyperostosis (DISH).
2. Osteoartritis skunder
Osteoartritis skunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lainnya, seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan
pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi,
penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin, metabolik, inflamasi,
imobilitas yang terlalu lama, serta factor resiko lainnya seperti obesitas,
operasi yang berulang kali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya.

G. GEJALA DAN DIAGNOSA


1. Gejala
Menurut Sudoyo (2007), tanda dan gejala osteoarthritis adalah sebagai
berikut:
 Nyeri sendi
Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang
dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang– kadang
menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain.
Nyeri pada Osteoarthritis juga dapat berupa penjalaran atau akibat
radikulopati, misalnya pada Osteoarthritis servikal dan lumbal.
Osteoarthritislumbal menimbulkan stenosis spinal mungkin
menimbulkan keluhan nyeri di betis, yang biasa disebut dengan
claudicatio intermitten.
 Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan
pelan – pelan sejalan denganbertambahnya rasa nyeri.
 Kekakuan sendi
Setelah sendi tersebut digerakkan beberapa lama, tetapi kekakuan
iniakan menghilang setelah sendi digerakkan, misalnya kaku
setelah duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama
atau bahkan setelah bangun tidur.
 Pembesaran sendi (deformitas)
Pasien mungkin menunjukkan bahwa pada salah satu sendinya
(seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan
membesar. Krepitasi tulang, rasa gemeretak (kadang – kadang
dapat terdengar) pada sendi yang sakit
 Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir
semua pasien Osteoarthritis pergelangan kaki, tumit, lutut atau
panggul menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi
sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian
pasien Osteoarthritis yang umumnya tua.

2. Diagnosa
Diagnosis osteoartritis biasanya didasarkan pada anamnesis yaitu
riwayat penyakit, gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari
pemeriksaan radiologis. Anamnesis terhadap pasien osteoartritis lutut
umumnya mengungkapkan keluhan-keluhan yang sudah lama, tetapi
berkembang secara perlahan-lahan (Koentjoro, 2010).
Nyeri sendi merupakan keluhan utama yang dirasakan setelah aktivitas
dan menghilang setelah istirahat. Bila progresifitas OA terus berlangsung
terutama setelah terjadi reaksi radang (sinoritis) nyeri akan terasa saat
istirahat. Sedangkan istirahat ataupun immobilisasi yang lama dapat
menimbulkan efek-efek pada jaringan ikat dan kekuatan penunjang sendi.
Bila akut dapat ditemukan tanda-tanda radang: rubor (merah), tumor
(membengkak), calor (terasa panas), dolor (terasa nyeri), dan fuctio laesa
(gangguan fungsi) yang jelas (Pranatha, 2011).
Diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi dari American
College of Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini
(Schumacher, 1993):
Kriteria diagnosis dari OA lutut berdasarkan American College of
Rheumatology yaitu adanya nyeri pada lutut dan pada foto rontgen
ditemukan adanya gambaran osteofitserta sekurang kurangnya satu dari
usia > 50 tahun, kaku sendi pada pagi hari < 30 menit dan adanya
krepitasi. Nyeri pada sendi tersebut biasanya merupakan keluhan utama
yang membuat pasien datang ke dokter. Nyeri biasanya bertambah berat
dengan gerakan dan berkurang dengan istirahat. Pada umumnya pasien
OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama tetapi
berkembang secara perlahan. Daerah predileksi OA biasanya mengenai
sendi-sendi penyangga tubuh seperti di pada lutut (Imayati, 2011).
Pemeriksaan penunjang rutin yang dilakukan untuk evaluasi OA lutut
adalah pemeriksaan rontgen konvensional. Gambaran khas pada OA lutut
adalah adanya osteofit dan penyempitan celah sendi (Moskowitz, 2007)
Berdasarkan pemeriksaan radiologi, Kellgren & Lawrence menyusun
gradasi OA lutut menjadi:
H. PROGNOSIS DAN MONITORING
1. Prognosis
Prognosis pasien dengan osteoarthritis primer bervariasi dan terkait
dengan sendi yang terlibat. Pasien dengan osteoarthritis sekunder,
prognosisnya terkait dengan faktor penyebab terjadinya osteoarthritis.
Sebagian besar nyeri dapat diatasi dengan obat-obat konservatif. Hanya
kasus-kasus berat yang memerlukan pembedahan, yaitu apabila
pengobatan dengan menggunakan obat tidak rasional pada pasien (Hansen
& Elliot, 2005).

2. Monitoring
Monitoring farmakoterapi pada pasien OA sangat spesifik, terfokus
pada derajat dan tingkat perluasan dari persendiaan yang dilibatkan, umur
pasien, obat-obat yang diberikan secara bersamaan, pemilihan terapi obat
dan non obat yang dipilih. Untuk memonitoring respon sakit pasien dapat
dinilai dari Visual Analog Scale, daerah pergerakan sendi yang terlibat.
Hal ini dapat dilihat gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi sendi
yang terlibat. Keparahan OA dapat dihitung dari kekuatan cengkraman dan
waktu yang diperlukan diperlukan saat berjalan 50 kaki. Hal-hal lain yang
perlu dimonitoring adalah penggunaan analgesik dan NSAIDs. Salah satu
cara lain untuk membantu monitoring OA adalah, penilaian kualitas hidup
lewat pemberian kuisioner khusus arthritis. Monitoring efek samping obat
yang diberikan dapat dilakukan secara langsung dan hasilnya sangat baik.
Monitoring secara langsung melalui observasi ataupun interview akan
dapat mengetahui masalah-masalah yang dialami pasien selama
pengobatan dilakukan. Contohnya, pengobatan dengan menggunakan
beberapa obat NSAIDs secara bersamaan. Dari monitoring dapat diketahui
efek samping apa yang terjadi ada pasien seperti apakah ada rasa sakit
pada abdominal, sakit kepala, mual atau apakah ada perubahan warna
feses atau tidak. Untuk memonitoring apakah ada toksisitas pada ginjal,
hati, saluran GI dan sumsum tulang dapat dilakukan dengan determinasi
serum kreatinin, profil hematologi, dan level serum transaminase. Untuk
pasien yang menerima kortikosteroid intraartikular, perbaikan harus
dimulai dengan 2 sampai 3 hari dan terakhir 4 sampai 8 minggu. Pasien
harus dianjurkan tentang kemungkinan reaksi di tempat suntikan, serta
efek sistemik yang mungkin terjadi, terutama bagi mereka dengan
hipertensi atau diabetes, karena ada potensi peningkatan tekanan darah
atau glukosa darah (lebih mungkin untuk dosis yang lebih tinggi diberikan
lebih sering). Untuk pasien yang menerima asam hialuronat intraartikular,
perbaikan dapat dimulai dalam waktu 3 sampai 4 minggu dan bisa
bertahan beberapa bulan, dan pasien harus disarankan tentang
kemungkinan reaksi injeksi-situs dan reaksi alergi. Untuk pasien yang
menerima opioid atau tramadol, bantuan dari rasa sakit diharapkan dapat
terjadi dengan cepat. Pasien, terutama jika lemah atau tua, harus dipantau
secara hati-hati dan memperingatkan tentang sedasi, disforia, mual, risiko
jatuh, sembelit, dan pengembangan toleransi (Dipiro, 2008). Dilakuakn
evaluasi serum kreatinin, hitung darah lengkap, dan serum tranasaminases
pada awal terapi dan setiap 6 -12 bulan pada pasien yang diobati dengan
NSAID atau acetaminophen serta memantau interaksi obat, termasuk
alkohol, pada setiap kunjungan. (Burns et al., 2008).
I. TATALAKSANA TERAPI
1. Terapi Non-farmakologi
Terapi nonfarmakologi untuk OA meliputi: edukasi pada pasien,
memperkuat dan memperbanyak gerakan, penggunaan alat bantu (jika
perlu), perlindungan terhadap sendi, dan penurunan berat badan jika
dibutuhkan. Pengaturan diet diperlukan untuk mencegah kelebihan berat
badan yang sering kali menjadi penyebab memburuknya nyeri sendri,
terutama pada sendi-sendi yang harus menopang berat badan. Terapi fisik
bisa dilakukan dengan berendam pada air hangat, atau alat penghangat
lain, untuk mengurangi nyeri dan kaku pada sendi (Ikawati, 2011).

2. Terapi Farmakologi
a. Analgesik Non-Opiod
Menurut The American College of Rheumatology (ACR) dan The
Amerika Pain Society (APS), parasetamol adalah obat lini pertama
untuk pengobatan OA. Parasetamol efektif, murah, serta relatif aman
untuk pengobatan OA ringan sampai OA sedang. Dosis dan durasi
terapi yang tepat harus digunakan sebelum beralih kegolongan obat
lainnya (Epstein et al., 2008).
b. Analgesik Topikal
Analgesik topikal digunakan untuk nyeri ringan dan sebagai
tambahan untuk terapi sistemik. A nalgesik yang biasa digunakan
adalah krim capsaicin, namun capsaicin tidak efektif untuk nyeri akut.
Capsaicin yang terkadung dalam cabai, efektif mengurangi rasa nyeri
dengan cara menghilangkan substanse P (mediator neuropeptida untuk
nyeri) dari saraf sensorik neuron di tulang belakang, sehingga
transmisi rasa nyeri berkurang. Beberapa pasien akan mengalami
sensasi rasa terbakar pada bagian yang diaplikasi kan . Capsaicin
tersedia dalam bentuk krim, gel, atau lotion dengan konsentrasi
0,025% sampai 0,075%. Agar efektif, capsaicin harus digunakan
secara teratur dengan penggunaan 4x sehari selama 2 minggu (Buys
and Elliott, 2008). NSAID topikal juga dapat digunakan untuk
mengatasi rasa nyeri pada OA. Salah satu sediaan yang sering
digunakan adalah diklofenak topikal dalam pembawa DMSO, sediaan
ini aman dan efektif untuk mengatasi nyeri pada OA lutut (Herowati,
2014).
c. NSAID
Non steroid anti-inflamasi drugs (NSAIDs) digunakan bila terapi
analgesik non opioid kurang adekuat. Pada dosis yang tepat, semua
NSAIDs menimbulkan analgesik dan efek anti -inflamasi yang sama.
NSAIDs bekerja memblok sintesis prostaglandin dengan cara
menghambat enzim COX-1 dan COX-2 dan faktor-faktor lain yang
menyebabkan rasa sakit dan inflamasi. Terdapat dua NSAIDs yaitu
non selektif NSAIDs dan selektif menghambat COX-2 (McAlindon et
al, 2014).
d. Analgesik Opioid
Analgesik opioid digunakan bila parasetamol, analgesik lokal,
danNSAIDs, tidak memberikan respon yang adekuat. Obat ini juga
digunakan pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi NSAIDs
karena mengalami kegagalan ginjal dan memiliki resiko tinggi
arthoplasti (Buys and Elliott, 2008). Pemilihan sebuah analgesik opioid
untuk lansia dengan nyeri kronis dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
intensitas nyeri, usia terkait perubahan dalam sifat farmakokinetik dan
farmakodinamik, kondisi komorbiditas, dan efek samping obat (O’Neil
et al., 2012).
e. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid sistemik tidak disarankan pada pasien
OA karena dapat menimbulkan banyak efek samping yang muncul
pada penggunaan jangka panjang, sehingga manajemen terapi OA
merekomendasikan injeksi intraartikular. Injeksi Intraartikular ini
diberikan bila nyeri sudah tidak teratasi oleh terapi OA lain (Jones,
1996).
f. Glukosamin dan Kondroitin
Glukosamin ditemukan secara alami dalam tulang rawan artikular
dan berperan dalam pembentukan dan perbaikan tulang rawan.
Glukosamin merupakan suatu amino monosakarida larut air yang
merupakan prekursor untuk sintesis protein terglikosilasi dan lemak
(Sherman et al., 2012).
Kondroitin ada dalam tubuh dan memiliki peran dalam
mencegah degradasi artikular kartilago oleh enzim tubuh.
Chondroitin sulfate (CS) merupakan glikosaminoglikan tersulfitasi
yang biasa ditemukan terikat pada protein sebagai bagian dari
proteoglikan (Sherman et al., 2012).
g. Injeksi Hialuronat
Tulang rawan yang sehat penuh dengan asam hialuronat, yaitu cairan
kental sebagai pelumas untuk mengurangi benturan pada sendi. Asam
hialuronat adalah zat alami dalam tubuh yang berguna untuk
elastisitas serta pelumasan sinovial dan tulang rawan dalam sendi.
Pasien dengan OA menunjukkan penurunan asam hialuronat secara
mutlak dan fungsional, sehingga pemberian hialuronat dari luar sangat
dibutuhkan (Epstein et al., 2008).
Algoritma Terapi untuk Osteoatritis (Depkes RI, 2006)
Algoritma Terapi untuk Osteoatriti pada lutut dan panggul (Dipiro,
2017)

Algoritma Terapi untuk Osteoatritis pada tangan (Dipiro, 2017).


DAFTAR PUSTAKA
Anonim1. (2006). Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Aplikasi
NANDA, NIC, dan NOC Jilid 1. Jakarta: CV Trans Info Media.
Brandt, K. D. (2014). Osteoarthritis In: Isselbacher, Kurt J., Braunwald, E.,
Wilsom, Jean D., Martin, Joseph B., Fauci, Anthony S., Kasper, Dennis
L., Harrison’s Rheumatology. Philadelphia: The McGraw Hill Company
Inc.
Dipiro JT, Talbert RI and Yee GC. (2008). Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. 7th Ed.Syamford: Appleton & Lange.
Epstein, BJ., Osteoarthritis in: Dipiro, JT., Gums, GJ., Hall, Karen., Burns, Marie
A., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry L., Malone, Patrick
M., Kolesar, Jill M., Rotschafer, J. (2008). Pharmacoterapy Pinciples and
Practice. 8th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies Inc, p. 879 –
890
Ikawati, Z. (2011). Resep Hidup Sehat. Jakarta: Pustaka Utama.
Karta, S. (2018). Diagnosis Diferensial Nyeri Lutut. Jakarta: Samuelkarta.com
Koentjoro SL. (2010). Hubungan Antara Indeks Masa Tubuh (IMT) Dengan
Derajat Oasteoartritis Lutut Menurut Kellgren Dan Lawrence. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang
Krishna, A. (2013). Mengenai Keluhan Anda. Yogyakarta: Informasi Medika.
Moskowitz RW, Altman RD, et al. (2007). Osteoarthritis Diagnosis and
Medical/Surgical Management. 4th ed. Lippincot Williams-Wilkins.
O’Neil, Christine K., Hanlon, Joseph T., Marcum, Zachary A. (2012).
Adverse Effects of Analgesics Commonly Used by Older Adults With
Osteoarthritis : Focus on Non-Opioid and Opioid Analgesics. The
American Journal of Geriatric Pharmacotherapy. Elsevier HS Journals,
Inc.Vol 10. No 6.
Pranatha INA. (2011). Penambahan Latihan Pengutan Dengan En Tree Pada
Intervensi Ultra Sound Dan Tens Untuk Mengurangi Nyeri Pada
Penderita Osteoartritis Lutut Di RSUP Sanglah Denpasar. Denpasar:
Bagian Fisioterapi Universitas Udayana Denpasar
Rahmawati, F. (2016). Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien dengan Kondisi
Osteoarthritis Genue Sinistra di RSU Aisyiyah Ponorogo. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ramayulis, R. (2007). Jus Super Ajaib. Jakarta: Penerbit Plus.
Schumacher Jr, H; Ralph, MD; Klippel, John H, MD; Koopman, William J, MD.
(1993). Osteoarthritis: Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In :
Primer on the Rheumatic Diseases. 10th ed. Arthritis Foundation. Atlanta.
p.184-190
Sherman, A.L., Ojeda-Correal, G., dan Mena, J. (2012). Use of glucosamine and
chondroitin in persons with osteoarthritis. Osteoarthritis Supplement, Vol.
4. p. S110-S116
Sudoyo, A.W., dkk. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Yatim, F. (2007). Penyakit Tulang Dan Persendian. Bandung: Yayasan Obor
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai