Anda di halaman 1dari 7

Masalah Penelitian Kualitatif

P erumusan masalah merupakan suatu tahap yang tidak mungkin ditinggalkan dalam kegiatan penelitian.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nachmias dan Nachmias (1981: 22-24) bahwa proses penelitian terdiri dari 7
tahapan utama, yaitu (1) perumusan masalah, (2) perumusan hipotesis,(3) pembuatan desain
penelitian, (4) pengukuran, (5) pengumpulan data, (6) analisis data, dan (7) generalisasi. Dari serangkaian
langkah tersebut ada beberapa di antaranya yang untuk jenis penelitian tertentu dapat ditinggalkan, namun
sebaliknya ada langkah-langkah tertentu yang bagi penelitian jenis apapun tidak mungkin untuk ditinggalkan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa tahap perumusan hipotesis bagi penelitian kuantitatif, khususnya
penelitian survei, tidak dapat ditinggalkan. Namun bagi penelitian kualitatif tahap tersebut tidak harus
dilakukan, artinya boleh menggunakan perumusan hipotesis dan boleh juga tidak menggunakan. Akan tetapi
untuk tahap perumusan masalah bagi penelitian jenis apa pun harus dilakukan, atau dengan kata lain tidak
boleh dilupakan.
Perumusan masalah atau yang biasa disebut sebagai “research questions” merupakan bagian dari
rangkaian penelitian yang tidak mungkin dapat ditinggalkan karena “research questions” merupakan ”sukma”
dari suatu kegiatan penelitian. Bahkan Nachmias dan Nachmias (1981: 54), menyatakan bahwa research
questions atau research problems merupakan salah satu di antara sejumlah elemen dasar dari penelitian. Suatu
kegiatan penelitian baru dapat dilakukan ketika telah memiliki permasalahan yang jelas. Tanpa permasalahan
penelitian maka kegiatan penelitian menjadi tidak jelas fokus dan arahnya sehingga tidak dapat diketahui jenis
data yang akan dikumpulkan.
Melalui penampilan perumusan masalah, paling tidak seorang peneliti akan dituntun untuk dapat
memahami dan atau menentukan apakah kegiatan penelitiannya bersifat deskriptif, yaitu sekedar mencari
jawaban atau penjabaran terhadap satu variabel atau gejala, atau dia akan melakukan penelitian untuk
menjawab hubungan antar dua atau lebih variabel atau gejala. Lebih dari sekedar menentukan jenis datanya,
dengan perumusan masalah seorang peneliti menjadi tahu mengenai apa sebenarnya yang akan atau ingin
diketahui.

Setelah mempelajari buku ini maka secara umum Anda diharapkan dapat memberikan contoh perumusan
masalah dalam rangka kegiatan penelitian. Kemudian secara khusus Anda diharapkan dapat:
1. menjelaskan mengenai pengertian dan fungsi perumusan masalah di dalam rangkaian
kegiatan penelitian;
2. menyebutkan beberapa kriteria perumusan masalah penelitian;
3. membuat contoh-contoh perumusan masalah.

D alam uraian pendahuluan telah saya kemukakan bahwa


perumusan masalah penelitian merupakan tahap yang sangat penting di dalam suatu rangkaian kegiatan
penelitian. Mengapa demikian, karena dengan melakukan perumusan masalah penelitian terlebih dahulu
maka para peneliti akan menjadi lebih mudah di dalam melakukan kegiatan penelitiannya, terutama dalam
merumuskan fokus penelitian, jenis data yang akan dikumpulkan, serta sifat penelitian yang akan dilakukan.
Tahap perumusan masalah ini bahkan dinyatakan sebagai salah satu elemen penting di antara sejumlah
elemen dasar lain di dalam suatu kegiatan penelitian. Oleh karena itu, apabila seorang peneliti telah
melakukan perumusan masalah penelitian maka ia sering kali dianggap telah melakukan separuh dari
keseluruhan rangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Mengingat betapa pentingnya kedudukan
tahap perumusan masalah penelitian ini maka saya mengajak Anda untuk memahami terlebih dahulu
mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan tahap perumusan masalah penelitian itu.
A. PERAN PENTING PERUMUSAN MASALAH
Dalam uraian mengenai pengertian metode penelitian kualitatif, telah saya kemukakan bahwa ”penelitian”
berasal dari kata ”research”, yang berarti ”mencari kembali”. Apa sebenarnya yang dicari kembali? Yang
dicari kembali adalah data yang setelah diolah dan dianalisis, yang dapat memberikan jawaban terhadap
permasalahan penelitian. Kalimat yang berbunyi ”dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan
penelitian”, merupakan bukti bahwa suatu kegiatan penelitian sudah pasti akan memiliki perumusan masalah.
Persoalannya sekarang adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan perumusan masalah penelitian itu?
Secara umum, kata ”masalah” menunjuk pada suatu fenomena atau gejala yang tidak sesuai dengan apa
yang sebenarnya terjadi. Masalah juga merujuk pada fenomena atau gejala yang mengundang pertanyaan yang
memerlukan jawaban yang tidak sederhana, atau yang untuk menjawabnya memerlukan waktu yang panjang
dan harus melalui pengamatan yang seksama.
Sebagai pembanding dapat dikemukakan pendapat Guba dan Lincoln, sebagaimana dikutip Lexy J.
Moleong dalam Metodologi Penelitian Kualitatif (2000: 62-64), bahwa ”masalah” lebih daripada sekadar
pertanyaan dan jelas berbeda dengan tujuan. Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan
antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan (Guba, 1978: 44; Lincoln dan
Guba, 1985: 218; dan Guba dan Lincoln, 1981: 88). Faktor yang berhubungan tersebut dalam hal ini mungkin
berupa konsep, data empiris pengalaman, atau unsur lainnya.

http://images.google.co.id/imgres?imgurl
Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor
atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan

Lebih dari apa yang dimukakan oleh Moleong di atas, perlu diketahui juga bahwa fenomena yang tidak
sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi atau yang mengundang pertanyaan, ada yang bersifat mandiri dan
ada pula yang bersifat saling berkaitan. Maksud dari ”mandiri” di sini adalah tidak memiliki kaitan hubungan
atau pengaruh dengan fenomena lain di sekitarnya, baik dalam arti tidak dipengaruhi oleh fenomena lain
maupun juga dalam arti tidak mengakibatkan pengaruh apapun terhadap fenomena lain di sekitarnya.
Sedangkan maksud dari ”saling berkaitan” adalah memiliki kaitan hubungan atau pengaruh di antara fenomena
yang satu dengan fenomena yang lain, baik dalam kedudukan sebagai penyebab maupun sebagai akibat.
Perumusan masalah yang menunjuk pada suatu fenomena yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya
terjadi, atau yang mengundang pertanyaan, dan bersifat mandiri, disebut sebagai perumusan masalah
deskriptif. Kata deskriptif di sini menunjuk pada suatu gambaran tentang sesuatu, atau merupakan suatu potret
tentang sesuatu, tanpa ada pertanyaan tentang mengapa sesuatu itu terjadi, atau pertanyaan tentang apa akibat
dari sesuatu itu. Jadi, pada dasarnya tidak dikaitkan dengan hal lain. Contohnya: Bagaimana tingkat kepadatan
lalu lintas di kota Palembang?
Permasalahan di atas tidak akan menjawab mengapa padat, atau apa akibat dari kepadatan tersebut. Sedangkan
perumusan masalah yang menunjuk pada suatu fenomena yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya
terjadi, atau yang mengundang pertanyaan dan diperkirakan memiliki kaitan hubungan atau pengaruh dengan
fenomena lain, disebut sebagai perumusan masalah eksplanatoris. Contohnya: Apa dampak perceraian orang
tua bagi perlindungan anak? Apa yang mempengaruhi rendahnya tingkat kelulusan siswa SMA pada tahun
2009? dan sebagainya.
Melalui serangkaian uraian tersebut di atas dapat kiranya dinyatakan maksud dari perumusan masalah
penelitian. Pada dasarnya perumusan masalah penelitian adalah suatu rumusan yang mempertanyakan suatu
fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri atau fenomena tunggal maupun dalam
kedudukannya sebagai fenomena yang saling berkaitan atau diperkirakan berkaitan di antara fenomena yang
satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.
Suatu rumusan yang mempertanyakan suatu fenomena, ada yang secara eksplisit diwujudkan dalam
bentuk kalimat interogatif namun ada pula yang secara implisit tersirat dalam uraian diskusi dan tersembunyi
dalam uraian latar belakang permasalahan. Seperti digambarkan oleh Moleong bahwa sesuai dengan prinsip
yang berkaitan dengan bentuk dan caranya, perumusan masalah yang biasa disajikan ternyata menawarkan tiga
bentuk perumusan masalah, yaitu (1) secara diskusi, yakni yang disajikan secara deskriptif tanpa pertanyaan-
pertanyaan penelitian, (2) secara proposisional, yakni secara langsung menghubungkan faktor-faktor dalam
hubungan logis dan bermakna dalam hal ini ada yang disajikan dalam bentuk uraian atau deskriptif dan ada
pula yang langsung dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (3) secara gabungan, yakni terlebih
dahulu disajikan dalam bentuk diskusi, kemudian ditegaskan lagi dalam bentuk proposisional.
Pertanyaan yang timbul sekarang adalah, di antara cara-cara tersebut di atas yang mana yang dianggap
terbaik? Subjektivitas penulis (dalam hal ini Moleong) mengarah pada bentuk yang ketiga. Akan tetapi
Moleong juga menyatakan bahwa sifat keterbukaan dan keluwesan penelitian kualitatif menghendaki agar
peneliti sendiri memilih bentuk mana yang sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, selera dan gayanya. Jadi
tidak harus terpancang memilih bentuk yang mana, yang penting pilihan tersebut sesuai dengan tujuan dari
peneliti dan yang lebih penting lagi adalah sesuai dengan jenis tema atau judul dari penelitian yang
bersangkutan.
Sekarang saya akan mengupas dua sifat perumusan masalah yang tadi telah disebut, yaitu perumusan
masalah deskriptif dan perumusan masalah eksplanatoris. Perumusan masalah penelitian deskriptif biasanya
ditemukan pada jenis-jenis penelitian yang bersifat deskriptif, dan perumusan masalah eksplanatoris biasanya
juga ditemukan pada jenis-jenis penelitian yang bersifat eksplanatoris.
Peneliti berjenis deskriptif adalah suatu jenis penelitian yang berusaha untuk menjelaskan mengenai
gambaran dari sebuah fenomena, tanpa mencoba menghubungkannya dengan fenomena lain. Contoh-contoh
judul dari penelitian berjenis deskriptif dapat dikemukakan sebagai berikut:
(1) Profil sosial masyarakat kumuh di perkotaan, (2) Strategi dan kebijakan pembangunan perkotaan di kota
Palembang, (3) Profil sosial dan problema pekerja rumah tangga, (4) Studi pemetaan tindak kriminalitas di
kota Palembang, dan (5) Tingkat partisipasi masyarakat desa dalam kegiatan pemilu.
Sedangkan penelitian berjenis eksplanatoris adalah suatu jenis penelitian yang berusaha mencari
penjelasan mengenai hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih fenomena. Adapun contoh-contoh judul
dari penelitian berjenis eksplanatoris ini adalah sebagai berikut; (1) Berbagai faktor penentu tingkat
kebetahan/kekerasanan para lansia di Panti Werdha kota Palembang,
(2) Relevansi gender dan tingkat partisipasi pria dalam penggunaan alat kontrasepsi, (3) Pengaruh pola
kepemimpinan terhadap tingkat produktivitas kerja karyawan, (4) Hubungan antara status sosial ekonomi
orang tua dengan tingkat prestasi belajar SMU, (5) Pengaruh intensitas menonton televisi terhadap tingkat
konsumtif masyarakat.
Agar pemahaman terhadap pengertian mengenai perumusan masalah penelitian menjadi lebih mudah
didapatkan oleh para pembaca, maka perlu kiranya diberikan beberapa contoh perumusan masalah sesuai
dengan masing-masing jenis maupun sifat judul sebagaimana telah di sebutkan di atas. Contoh perumusan
masalah deskriptif yang berkaitan dengan contoh- contoh judul penelitian deskriptif di atas adalah:
1. Bagaimanakah gambaran struktur sosial dan budaya masyarakat kumuh di perkotaan?
2. Pola strategi dan kebijakan apa saja yang ditempuh pemerintah dalam pembangunan perkotaan?
3. Bagaimana profil sosial pekerja rumah tangga dan problema apa saja yang dihadapinya?
4. Jenis tindakan apa saja yang terjadi kota Palembang?
5. Sampai sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat desa dalam kegiatan pemilu?
Kemudian, contoh-contoh perumusan masalah eksplanatoris, yang juga disesuaikan dengan contoh-contoh
judul penelitian eksplanatoris sebagaimana dikemukakan di atas adalah:
1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kekerasan pada Lansia di Panti Werdha kota
Palembang.?
2. Bagaimana relevansi gender dengan tingkat partisipasi pria dalam penggunaan alat kontrasepsi?
3. Sejauh mana pola kepemimpinan yang ditempuh pemimpin dapat berpengaruh terhadap tingkat
produktivitas karyawan?
4. Sejauh mana hubungan antara status sosial ekonomi orang tua dengan tingkat prestasi pelajar SMU?
5. Sampai sejauh mana intensitas menonton televisi dapat berpengaruh terhadap tingkat konsumtif
masyarakat?

Tugas
Buatlah perumusan permasalahan deskriptif dan eksplanatoris
mengenai sesuatu fenomena yang terjadi dan atau bahkan
berkembang di sekitar tempat tinggal, tempat kuliah, tempat kerja
atau di lingkungan lain yang lebih luas!
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................

B. FUNGSI PERUMUSAN MASALAH


Telah berulang kali saya kemukakan pada uraian sebelumnya bahwa tahap perumusan masalah merupakan
salah satu di antara sejumlah elemen kegiatan penelitian yang tidak sekadar berkedudukan sebagai salah satu
elemen pelengkap. Akan tetapi lebih dari sekadar itu, dia merupakan elemen yang sangat penting bagi suatu
kegiatan penelitian.
Oleh Moleong (2000) dikemukakan bahwa titik tolak penelitian jenis apa pun tidak lain bersumber pada
masalah. Tanpa masalah maka penelitian tidak dapat dilaksanakan. Pada waktu akan mulai memikirkan suatu
penelitian, masalah sudah harus dipikirkan dan dirumuskan secara jelas, sederhana, dan tuntas.

Hal ini disebabkan karena seluruh unsur penelitian lainnya akan berpangkal pada perumusan masalah
tersebut. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa pada dasarnya penelitian kualitatif tidak mulai dari sesuatu yang
kosong, tetapi dilakukan berdasarkan persepsi seseorang terhadap adanya suatu masalah.
Nasikun, dalam suatu makalah Pelatihan Metodologi Penelitian, menyatakan banyak orang berpikir
bahwa penelitian pada dasarnya merupakan kegiatan pengumpulan fakta-fakta. Mereka yang akrab dengan
kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan (penelitian) akan segera menyadari bahwa pandangan yang
demikian itu tidak sepenuhnya benar. Terkait dengan hal ini, Cohen (Kerlinger, 1973) menyatakan bahwa:

There is … no genuine progress in scientific insight through Baconian method of accumulation in empirical
facts without hypotheses or anticipation of nature without some guiding idea we do not know that facts
together … we cannot determine what is relevant and what is irrelevant.
Menurut Cohen, penelitian juga merupakan perumusan hipotesis yang akan memandu peneliti memahami
keseluruhan fakta. Tanpa hipotesis maka peneliti tidak akan dapat menentukan fenomena mana yang relevan
dan yang tidak relevan.
Selain kesalahan persepsi seperti di atas, kesalahan persepsi lainnya adalah bahwa peneliti dianggap sudah
pasti obyektif. Tidak benar pendapat yang mengira bahwa ilmuwan adalah seorang peneliti yang sangat
obyektif, yang mengumpulkan data tanpa prasangka-prasangka dan gagasan-gagasan yang tersimpan di
belakang kepala. Itulah yang dimaksud Poincare (Kerlinger, 1973) ketika mengatakan bahwa suatu eksperimen
tanpa gagasan- gagasan yang lebih dahulu ada di belakang kepala adalah mustahil:
It is often said that experiments should be made without preconceived ideas that is impossible not
only would it make experiment fruitless, but even if we wishes to do so, it could not be done.
Dari uraian saya di atas dapat dikatakan bahwa setiap kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan atau
penelitian yang direncanakan dengan baik, apakah itu dilakukan secara implisit atau eksplisit, senantiasa
bermula dari pemilihan dan perumusan masalah dan kalau perlu hipotesis. Hal itu sama sekali tidak berarti
bahwa setiap penemuan ilmiah penting selalu merupakan hasil dari kegiatan penelitian yang direncanakan.
Kita maklum pula akan adanya banyak penemuan ilmiah yang sangat penting ternyata merupakan hasil dari
apa yang oleh Robert K. Merton (1968) disebut sebagai “serendipity” (penemuan secara kebetulan).

Sebagaimana selalu saya kemukakan pada uraian-uraian saya di atas bahwa perumusan masalah dan
hipotesis yang baik dapat dianggap sebagai separuh langkah dari keseluruhan kegiatan penelitian. Ungkapan
yang nampaknya terlalu berlebihan itu muncul karena tahap perumusan masalah memiliki fungsi yang sangat
besar bagi kegiatan penelitian.
Fungsi pertama dari perumusan masalah adalah dengan menampilkan permasalahan penelitian maka akan
menjadi penyebab kegiatan penelitian menjadi ada dan dapat dilakukan. Tanpa perumusan masalah maka
penelitian itu tidak pernah ada karena selain kegiatannya menjadi sia-sia juga dapat dikatakan bahwa penelitian
itu tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa fungsi pertama dari
perumusan masalah adalah sebagai sumber inspirasi kegiatan penelitian.
Fungsi kedua dari perumusan masalah adalah bahwa perumusan masalah dapat dijadikan sebagai pedoman
penentu arah atau fokus dari suatu penelitian. Walaupun begitu tidak berarti bahwa masalah yang telah
disiapkan dirumuskan oleh peneliti akan berharga mati, dalam arti tidak dapat berubah. Masalah yang telah
dirumuskan bersifat luwes, dalam arti apabila di dalam proses perjalanan penelitian ditemukan fenomena yang
berbeda maka bisa saja perumusan masalah yang ada mengalami perubahan atau pengembangan setelah
peneliti sampai di lapangan penelitian. Sehubungan dengan kedudukan perumusan masalah sebagai penentu
fokus ini, Moleong menyatakan bahwa masalah penelitian kualitatif dinamakan “fokus”.
Pada dasarnya penentuan masalah menurut Lincoln dan Guba (1985:
226) bergantung pada jenis paradigma apa yang dianut oleh seorang peneliti, yaitu apakah dia sebagai peneliti,
evaluator, ataukah sebagai peneliti kebijakan. Dengan demikian maka ada beberapa macam masalah, yaitu
masalah untuk peneliti, evaluasi untuk evaluator, dan pilihan kebijakan untuk peneliti kebijakan. Uraian
berikut hanya akan membatasi diri pada masalah umum sebagai bagian penelitian.

http://images.google.co.id/images?gbv=2&hl=id&sa=1&q=researcher&btnG Terdapat
beberapa macam masalah yaitu masalah untuk peneliti, evaluasi untuk evaluator, dan
pilihan kebijakan untuk peneliti kebijakan

Lebih lanjut Moleong mengemukakan ada dua maksud tertentu yang ingin dicapai dalam menetapkan
fokus. Pertama, penetapan fokus dapat membatasi studi. Jadi, dalam hal ini fokus akan membatasi bidang
inkuiri. Misalnya jika kita membatasi diri pada upaya menemukan teori dasar maka lapangan penelitian lainnya
tidak akan kita manfaatkan lagi.
Kedua, penetapan fokus berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi- eksklusi atau memasukkan
mengeluarkan (inclusion-exclusion criteria) suatu informasi yang baru diperoleh di lapangan. Dengan
bimbingan dan arahan suatu fokus, seorang peneliti dapat mengetahui dengan pasti data mana yang perlu
dikumpulkan dan data mana pula yang tidak perlu dikumpulkan walaupun mungkin menarik dikarenakan data
tersebut tidak relevan. Jadi, dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap maka seorang peneliti dapat
membuat keputusan yang tepat tentang data mana yang akan dikumpulkan, data mana yang tidak perlu
dijamah, dan data mana yang sebaiknya dibuang. Penetapan fokus atau masalah dalam penelitian kualitatif
bagaimana pun akhirnya akan dicari kepastiannya sewaktu peneliti sudah berada di arena
atau lapangan penelitian. Dengan kata lain, walaupun rumusan masalah sudah cukup baik dan telah
dirumuskan atas dasar penelaahan kepustakaan dan dengan ditunjang oleh sejumlah pengalaman tertentu,
ternyata bisa saja terjadi bahwa situasi di lapangan tidak memungkinkan peneliti untuk meneliti masalah itu.
Ketiga, perumusan masalah adalah sebagai penentu jenis data macam apa yang perlu dan harus
dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data mana yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti. Melalui
perumusan masalah ini peneliti menjadi tahu data yang bagaimana yang relevan dan data yang bagaimana yang
tidak relevan bagi kegiatan penelitiannya.

Melalui perumusan masalah yang ada maka peneliti menjadi tertuntun untuk bersikap dan bersifat sensitif
terhadap data yang tersedia dengan jelas maupun data yang masih tersimpan dan perlu digali sehingga peneliti
menjadi tidak salah memilih data.
Keempat, dengan perumusan masalah maka peneliti juga akan tertuntun untuk mengetahui dan dapat
menentukan mengenai siapa yang bakal menjadi subjek penelitiannya sehingga ia menjadi lebih mudah di
dalam proses penentuan populasi dan sampel penelitian.

Tugas
Diskusikan dengan teman-teman Anda mengenai fungsi perumusan
masalah! Tambahkan fungsi lain apabila hasil diskusi Anda menemukan
fungsi yang lainnya!
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan perumusan masalah penelitian!
2) Jelaskan sedikitnya dua fungsi dari perumusan masalah penelitian!

Petunjuk Jawaban Latihan


1) Untuk menjawab soal ini uraikan pendapat Nachmias and Nachmias, Guba dan Lincoln, serta
Moleong tentang perumusan masalah penelitian.
2) Untuk menjawab soal ini kemukakan fungsi perumusan masalah secara umum maupun fungsi
perumusan masalah menurut Moleong.
RANGKUMAN

Perumusan masalah merupakan salah satu tahap di antara sejumlah tahap penelitian yang
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian. Tanpa perumusan masalah,
suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Perumusan masalah atau research questions atau disebut juga sebagai research problem, diartikan
sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagi fenomena yang saling terkait di
antara fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.
Mengingat demikian pentingnya kedudukan perumusan masalah di dalam kegiatan penelitian,
sampai-sampai memunculkan suatu anggapan yang menyatakan bahwa kegiatan melakukan
perumusan masalah merupakan kegiatan separuh dari penelitian itu sendiri.
Perumusan masalah penelitian dapat dibedakan dalam dua sifat yaitu perumusan masalah
deskriptif dan eksplanatoris. Perumusan masalah deskriptif apabila tidak menghubungkan antar
fenomena, dan perumusan masalah eksplanatoris apabila rumusannya menunjukkan adanya
hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih fenomena.
Perumusan masalah memiliki fungsi, yaitu (1) sebagai penyebab kegiatan penelitian itu
menjadi ada dan dapat dilakukan, (2) sebagai pedoman, penentu arah, atau fokus dari suatu
penelitian, (3) sebagai penentu jenis data macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh
peneliti serta jenis data apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti, dan (4) dengan
adanya perumusan masalah penelitian maka para peneliti menjadi dapat dipermudah di dalam
menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian.

Anda mungkin juga menyukai