Dimensi Pajak
Aspek
Internasional Taxing Inbound
Taxing Outbound Income
Income
Subjek Pajak SP DN SP LN BUT SP LN non BUT
Objek Pajak Pasal 4 ayat (1) minus Pasal 5 ayat (1) a, b, Pasal 26 ayat (1), (2) ,
ayat (3) dan c dan (4)
Pengurang Pasal 6 dan 9 Pasal 5 ayat (2) minus
ayat (3), Pasal 6
Menghitung Pajak Pasal 16 ayat (1), (2), Pasal 16 ayat (3) Pasal 26 ayat (1), (2) ,
dan (4) dan (4)
Tarif Pajak Pasal 17 ayat (1) a/b Pasal 17 ayat (1) b Pasal 26 ayat (1), (2) ,
dan (4)
Penghilangan Pasal 24
Pajak Berganda
Pelunasan Pajak Self Assessment & Self Assessment & Withholding
Withholding Withholding
Berikut ini penjelasan tentang subjek pajak luar negeri yang tertera dalam UU PPh
Pasal 2 (4), yaitu :
1.Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia yang menjalankan usaha/
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia
2. Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan
3. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yg menerima/
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha/ melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia
Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia. Batasan waktu sebanyak 183 hari dalam satu tahun
diterapkan apabila anatara Indonesia dan negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki tax
traety atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Berikut ini pengecualian subjek pajak dari Bentuk Usaha Tetap (BUT), yaitu :
1. Atribusi Faktual: penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta
yang dimiliki atau dikuasai (Pasal 5 ayat 1a)
2. “Force of Attraction”: penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau
yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (Pasal 5 ayat 1b)
3. Atribusi karena hubungan efektif: penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal
26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif
antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
(Pasal 5 ayat 1c).
Berikut ini pengecualian objek pajak dari Bentuk Usaha Tetap (BUT), yaitu :
1. P3B Indonesia-Perancis
2. P3B Indonesia-Jepang
3. P3B Indonesia-Seychelles
4. P3B Indonesia-Singapore
5. P3B Indonesia-Switzerland
6. P3B Indonesia-Taipei (Penjualan similar goods o/ kntr pst msh bisa ditarik)
7. P3B Indonesia-Turkey
8. P3B Indonesia-United Kingdom
Contoh: dalam P3B antara Indonesia dan Jepang, yang menjadi objek pajak BUT
hanyalah laba usaha dari BUT tersebut. Laba usaha kantor pusat yang berasal dari penjualan
barang atau transaksi lainnya yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT di Indonesia
tidak dapat ditarik menjadi penghasilan BUT. Meskipun demikian, penghasilan kantor
pusat yang berupa passive income yang mempunyai hubungan efektif dengan BUT-nya
di Indonesia masih dapat dianggap sebagai penghasilan yang berasal dari BUT (Lihat Pasal-
pasal P3B yang mengatur passive income).
5. Biaya - biaya
Biaya-biaya yang dapat dikurangkan untuk menghitung laba Badan Usaha Tetap
(BUT) (Pasal 5 ayat 2 & 3)
2. Biaya administrasi kantor pusat yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT
(Kep.Dirjen Pajak No.Kep-62/PJ./1995). Pasal 5 ayat (3) huruf a
a. Royalti atau imbalan lain sehubungan dng penggunaan harta, paten, atau
hak-hak lainnya,
b. jasa manajemen dan jasa lainnya,
c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.Pasal 5 ayat (3)
huruf b
BUT tidak boleh mengurangkan biaya-biaya yang dimaksud dalam Pasal 9 UU PPh
dan juga tidak boleh mengurangkan:
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau
hakhak lainnya;
Terkait dengan laba usaha ada perbedaan antara Model P3B Indonesia dengan
OECD Model dan UN Model
1) Pasal 7 ayat 1, Untuk Model UN dan Indonesia, laba BUT lebih diperjelas, termasuk
jika perusahaan induk melakukan penjualan barang-barang atau barang dagangan di
negara lainnya, yang jenisnya sama atau serupa, atau Kegiatan usaha lainnya yang
dilakukan di negara lain yang jenisnya sama atau serupa seperti yang dilakukan
Bentuk Usaha Tetap di negara sumber.
2) Pasal 7 ayat 3, Biaya yang tidak dapat dikurangkan oleh BUT untuk Model UN dan
Indonesia, lebih diperjelas, yaitu tentang biaya yang tidak dapat dikurangkan
ialah pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh BUT kepada kantor pusatnya
atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya (selain dari penggantian biaya yang
benarbenar dikeluarkan), yaitu yang berupa royalty, imbalan atau pembayaran
serupa untuk jasa yang dilakukan atau untuk jasa manajemen atau, kecuali
dalam usaha perbankan, berupa bunga atas uang yang dipinjamkan kepada
kantor pusat atau kantor-kantor lainnya.
3) Pasal 7 ayat 5, Untuk Model OECD, ditambah tidak dianggap ada laba BUT,
jika hanya karena pembelian barang atau barang dagangan kepada perusahaan induk.
4) Indonesia Model tidak menggunakan pasal 7 ayat 4 dalam UN Model, Indonesia tidak
menggunakan rumus atas suatu pembagian laba BUT, namun menggunakan
perbandingan omzet untuk menentukan biaya yang wajar, bagi BUT di dalam negeri
dengan neraca konsolidasi.
Branch Profit Tax (PPh ps 26) = Tarif PPh pasal 26 x Laba Setelah Pajak Terutang
Catatan :
PPh psl 26 atas Laba Setelah Pajak yg diperoleh BUT yaitu tambahan PPh yg
dikenakan atas laba setelah pajak (net income after tax) yang diperoleh BUT sebesar
20% atau sesuai tarif dlm Tax Treaty.
Tambahan PPh tsb wajib dilunasi oleh BUT dlm waktu yg bersamaan dgn pelunasan
PPh Psl 29 (setoran akhir PPh tahunan), yaitu paling lambat tgl 30 bln ke 4 setelah
berakhirnya tahun buku .
Tambahan PPh atas laba setelah pajak yg diperoleh BUT tsb tdk dikenakan apabila
laba setelah pajak BUT tsb ditanamkan kembali di Indonesia
penghasilan Rp 55.000.000.000
Pasal 8 Model P3B Indonesia, laba yang bersumber di Indonesia yang diperoleh
suatu perusahaan yang merupakan penduduk negara treaty partner dari pengoperasian
kapal-kapal laut dalam jalur lalu lintas internasional dapat dikenakan pajak di
Indonesia (negara sumber), tetapi pajak yang dikenakan tersebut akan dikurangi dengan
jumlah yang sama dengan 50%-nya. Yang dapat dikenakan pajak di Indonesia dengan tarif
sebesar 50% dari tarif yang berlaku adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia dari
pengoperasian kapal laut dalam jalur lalu lintas internasional.
Berbeda dengan perusahaan pelayaran, laba dari pengoperasian pesawat udara dalam
jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan penerbangan dari treaty partner hanya
akan dikenakan pajak di negara treaty partner tersebut (negara domisili). Indonesia
hanya berhak memajaki penghasilan sehubungan dengan pengoperasian pesawat udara
dalam jalur lalu lintas domestik Indonesia.
1) Pasal 7 ayat 1, Untuk Model UN dan Indonesia, laba BUT lebih diperjelas, termasuk
jika perusahaan induk melakukan penjualan barang-barang atau barang dagangan di
negara lainnya, yang jenisnya sama atau serupa, atau Kegiatan usaha lainnya yang
dilakukan di negara lain yang jenisnya sama atau serupa seperti yang dilakukan
Bentuk Usaha Tetap di negara sumber.
2) Pasal 7 ayat 3, Biaya yang tidak dapat dikurangkan oleh BUT untuk Model UN dan
Indonesia, lebih diperjelas, yaitu tentang biaya yang tidak dapat dikurangkan
ialah pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh BUT kepada kantor pusatnya
atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya (selain dari penggantian biaya
yang benarbenar dikeluarkan), yaitu yang berupa royalty, imbalan atau pembayaran
serupa untuk jasa yang dilakukan atau untuk jasa manajemen atau, kecuali
dalam usaha perbankan, berupa bunga atas uang yang dipinjamkan kepada
kantor pusat atau kantor-kantor lainnya.
3) Pasal 7 ayat 5, Untuk Model OECD, ditambah tidak dianggap ada laba BUT,
jika hanya karena pembelian barang atau barang dagangan kepada perusahaan induk.
4) Indonesia Model tidak menggunakan pasal 7 ayat 4 dalam UN Model, Indonesia tidak
menggunakan rumus atas suatu pembagian laba BUT, namun menggunakan
perbandingan omzet untuk menentukan biaya yang wajar, bagi BUT di dalam negeri
dengan neraca konsolidasi.
1. Fasilitas yang diberikan melalui UU PPh, diatur dlm psl 31 A UU PPh- diberikan kpd:
b. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
penanaman yang dilakukan;
d. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan
industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31A Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki
keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian
nasional.
Fasilitas yang diberikan kepada perusahaan penanaman modal menurut pasal 18, yaitu :
3)Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang
dianggap perlu;
Pasal 18 ayat 5 UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) berbunyi :