Segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi forensik, bersifat dukungan untuk
kegiatan litigasi (litigation support). Pengertian litigation support ini bisa diperluas dengan
liigation ang non litigation support atau legal support. Akuntansi forensik dimulai sesudah
ditemukannya indikasi awal adanya fraud. Audit investigatif merupakan bagian awal dari
akuntansi forensik. Pihak – pihak yang bersengketa dalam urusan bisnis dapat meminta satu
pihak membeli seluruh saha pihak lainnya atau mereka dapat menyepakati bahwa pembeli
akhirnya adalah penawar yang mengajukan tertinggi. Ini adalah valuation analysis.
2. ASSET RECOVERY
Berdasarkan Asset Recovery Handbook yang diterbitkan oleh Stolen Asset Recovery (StAR),
World Bank, tahapan dalam pelaksanaan Asset Recovery adalah sebagai berikut.
2. Pengamanan Aset
Pengamanan aset diwujudkan dengan sebuah tindakan pemblokiran yang menurut
pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 adalah pembekuan sementara harta kekayaan
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan dengan
tujuan untuk mencegah dialihkan atau dipindahtangankan agar orang tertentu atau semua
orang tidak berurusan dengan harta kekayaan yang telah diperoleh, atau mungkin telah
diperoleh dari dilakukannya tindak pidana tersebut.
3. Proses Peradilan
Proses terpenting dalam tahapan peradilan ini adalah pengumpulan bukti yang
dilaksanakan melalui penyitaan. Definisi penyitaan menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 ayat (16) adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
4. Pelaksanaan Putusan
Pada saat proses peradilan telah menghasilkan putusan yang menginstruksikan
perampasan aset maka berbagai langkah harus ditempuh untuk melaksanakan putusan
tersebut. Namun, mengingat tindakan pidana saat ini sudah merambah ke dunia internasional
maka semakin mudah bagi pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan melarikan harta
hasil tindak pidananya ke luar negeri. Untuk itulah diperlukan kerja sama internasional dalam
pelaksanaan program pengembalian aset tindak pidana.
5. Pengembalian Aset
Menurut Yanuar (2007: 206), mekanisme atau prosedur yang dapat diterapkan untuk
proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berupa: (i) pengembalian aset
melalui perampasan jalur pidana, (ii) pengembalian aset melalui perampasan jalur perdata,
(iii) pengembalian aset melalui jalur administrasi atau politik. Dalam proses pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung dan KPK sebagai
aparat berwenang dalam penegakan hukum juga mengenal dua mekanisme pengembalian
aset, yaitu; (i) pengembalian aset melalui perampasan aset tanpa pemidanaan, serta (ii)
pengembalian aset secara sukarela. Untuk mengembalian aset hasil tindak pidana korupsi,
KPK diberikan wewenang sebatas pengembalian aset dengan jalur pidana dan penyerahan
secara sukarela, apabila diharuskan menempuh jalur di luar pidana maka kejaksaan selaku
pengacara negara menerapkan mekanisme selanjutnya, baik secara perdata maupun
mekanisme jalur administratif dan politik.
3. EXPERT WITNESS
Dalam kasus yang dikenal sebagai Dabert case, Makamah Agung (Supreme
Court) menginterpretasikan bahwa kondisi berikut dipenuhi:
1. teknik atau teori sudah diuji secara ilmiah,
2. teknik atau teori sudah dipublikasi dalam majalah ilmiah dimana sesama rekan dapat
menelaahnya (peer-reviewed scientific journal),
3. tingkat kesalahan dalam menerapkan teknik tersebut dapat ditaksir dengan memadai
atau diketahui, serta
4. teknik atau teori sudah diterima dalam masyarakat atau asosiasi ilmuwan terkait.
Mahkamah agung tidak bermaksud untuk menerapkan semua butir di atas pada
semua kasus. Butir-Butir di atas dikenal sebagai Daubert test. Hal ini dikehendaki adalah
bahwa butir-butir yang relevan harus diterapkan secara kasus per kasus. Butir-Butir tersebut
juga tidak perlu diterapkan secara ketat untuk semua jenis keterangan saksi ahli. Hal
terpenting adalah butir-butir tersebut diterapkan seketat mungkin dalam kasus yang dihadapi.
Ada kriteria lain yang dikenal sebagai Frye test. Frye test lebih dulu dikenal
daripada Daubert test. Di beberapa pengadilan Negara bagian, Frye test masih
diterapkan. Frye test hanya mensyaratkan bahwa keterangan saksi ahli didasarkan pada
prinsip atau metode yang sudah diterima oleh masyarakat atau asosiasi ilmuwan terkait.
Howard R. Davia dalam Tuanakotta (2010 : 99) memberi lima nasihat kepada
seorang auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu
1. Menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur.
Identifikasi lebih dahulu siapa pelaku atau yang mempunyai potensi menjadi pelaku. Banyak
auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan, tetapi tidak menjawab pertanyaan yang
paling penting : Who did it ? Ada kalanya kebiasaan penyembunyian nama pelaku didorong
oleh keinginan untuk “memperhalus” pengungkapan sesuatu yang kelihatannya kurang elok.
Dalam bahasa Inggris, penghalusan ini disebut euphemism.
3. Seorang auditor forensik harus kreatif, berpikir seperti pelaku fraud, jangan dapat
ditebak. Dalam proses audit investagatif, keadaan dapat berubah dengan cepat, misalnya,
bukti dan barang bukti disembunyikan atau dihancurkan atau pelaku bersembunyi atau
melarikan diri. Dalam kondisi seperti tersebut auditor forensik harus berpikir kreatif dalam
menggunakan prosedur, kombinasi prosedur atau alternatif prosedur untuk mengumpulkan
bukti. Seorang auditor forensik harus dapat berpikir layaknya seorang pelaku fraud agar
dapat mengantisipasi langkah-langkah yang akan diambil pelaku fraud jika mereka
mengetahui bahwa tindakan mereka telah tercium atau terungkap. Seorang auditor forensik
juga tidak gampang ditebak dalam melakukan proses audit investigatif, agar tidak dengan
mudah dapat diantisipasi oleh pelaku fraud.
4. Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan.
Ada dua macam persengkongkolan yaitu :
Di Amerika Serikat, (ACFE) telah menetapkan kode etik bagi para fraud
auditor yang bersertifikat, yang terdiri atas delapan butir yaitu :
1. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam segala keadaan, harus menunjukkan
komitmen terhadap profesionalisme dan ketekunan dalam pelaksanaan tugasnya
2. .Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak diperkenankan untuk melakukan
tindakan yang bersifat ilegal atau melanggar etika, atau segenap tindakan yang dapat
menimbulkan adanya konflik kepentingan.
3. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam semua keadaan, harus menunjukkan
integritas setinggitingginya dalam semua penugasan profesionalnya, dan hanya akan
menerima penugasan yang memiliki kepastian yang rasional bahwa penugasan
tersebut akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
4. Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mematuhi peraturan/perintah dari
pengadilan, dan akan bersumpah/bersaksi terhadap suatu perkara secara benar dan
tanpa praduga.
5. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam melaksanakan tugas pemeriksaan,
harus memperoleh bukti atau dokumentasi lain yang dapat mendukung pendapat
yang diberikan. Tidak boleh menyatakan pendapat bahwa seseorang atau pihak-
pihak tertentu “bersalah” atau “tidak bersalah”.
6. Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak boleh mengungkapkan informasi yang
bersifat rahasia yang diperoleh dari hasil audit tanpa melalui otorisasi dari pihak-
pihak yang berwenang.
7. Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mengungkapkan seluruh hal yang
material yang diperoleh dari hasil audit yakni, apabila informasi tersebut tidak
diungkapkan akan menimbulkan distorsi terhadap fakta yang ada.
8. Seorang fraud auditor yang bersertifikat secara sungguh-sungguh harus senantiasa
meningkatkan kompetensi dan efektivitas hasil kerjanya yang dilakukan secara
profesional.
2.4 STANDAR AUDIT AKUNTANSI FORENSIK
Standar ini berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh anggota
organisasi auditor dalam mematuhi kode etik dan menjalankan tugas serta
kewajiban profesional sebagaimana tercantum dalam Kode Etik bagi auditor.
Dengan mematuhi standar audit, auditor diharapkan dapat menunjukkan komitmen
yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa secara profesional.
K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dalam Tuanakotta (2005 : 52)
merumuskan beberapa standar untuk mereka yang melakukan investigasi terhadap
fraud. Standar –standar ini akan dijelaskan dengan konteks Indonesia :
Standar 1
Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui (accepted
best practices). Dalam hal ini tersirat dua hal yaitu adanya upaya
membandingkan antara praktek-praktek yang ada dengan merujuk kepada
yang terbaik pada saat itu (benchmarking) dan upaya benchmarking
dilakukan terus menerus mencari solusi terbaik.
Standar 2
Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga
bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan.
Standar 3
Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan
diindeks, dan jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai
referensi apabila ada penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan
bahwa investigasi sudah dilakukan dengan benar. Referensi ini juga
membantu perusahan dalam upaya perbaikan caracara investigasi sehingga
accepted best practices yang dijelaskan di atas dapat dilaksanakan..
Standar 4
Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan
senantiasa menghormatinya. Apabila investigasi dilakukan dengan cara yang
melanggar hak asasi pegawai yang bersangkutan dapat membuat perusahaan
dan investigator dituntut.
Standar 5
Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan
kecurangan dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut baik
dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.
Standar 6
Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat
kritis ditinjau dari segi waktu.
Standar 7
Liput seluruh tahapan kunci dalan proses investigasi, termasuk perencanaan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak
ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara
atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi,
kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
http://dokumentasiilmu90.blogspot.com/2017/02/resume-bab-3-lingkup-akuntansi-
forensik.html
http://yuliansahri.blogspot.com/2018/02/lingkup-akuntansi-forensik.html
http://dokumentasiilmu90.blogspot.com/2017/02/resume-bab-4-atribut-dan-kode-etik.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37161/Chapter%20II.pdf?
sequence=3&isAllowed=y