Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PENGANTAR AKUNTANSI FORENSIK

2.1. RUANG LINGKUP AKUNTANSI FORENSIK


Jasa-jasa forensik di sektor swasta: Fraud & finansial Investigations, Analytic &
Forensic Technology, Fraud Risk Management, FCPA Reviews and Investigations, Anti
Money Laundering Services, Whistleblower Hotline, Litigations Support, Intelectual
Property Protection,  Client Training, Business Intelligence Services. Tahapan-tahapan dalam
jasa asset recovery: Mengumpulkan bukti dan menelusuri aset, Mengamankan aset, Proses
peradilan, Melaksanakan putusan, Mengembalikan aset.
Masalah utama dalam jasa expert witness adalah pengujian kompetensi. Untuk itu,
dikenal dua metode, yaitu Daubert test dan Frye test. Daubert test adalah pemenuhan
kondisi-kondisi yang meliputi (1) teknik atau teori sudah diuji secara ilmiah, (2) teknik atau
teori sudah dipublikasi dalam majalah ilmiah dimana sesama rekan dapat menelaahnya (peer-
reviewed scientific journal), (3) tingkat kesalahan dalam menerapkan teknik tersebut dapat
ditaksir dengan memadai atau diketahui, serta (4) teknik atau teori sudah diterima dalam
masyarakat atau asosiasi ilmuwan terkait. Adapun Frye test adalah hanya mensyaratkan
bahwa keterangan saksi ahli didasarkan pada prinsip atau metode yang sudah diterima oleh
masyarakat atau asosiasi ilmuwan terkait.

1.    PRAKTIK DI SEKTOR SWASTA

Segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi forensik, bersifat dukungan untuk
kegiatan litigasi (litigation support). Pengertian litigation support ini bisa diperluas dengan
liigation ang non litigation support atau legal support. Akuntansi forensik dimulai sesudah
ditemukannya indikasi awal adanya fraud. Audit investigatif merupakan bagian awal dari
akuntansi forensik. Pihak – pihak yang bersengketa dalam urusan bisnis dapat meminta satu
pihak membeli seluruh saha pihak lainnya atau mereka dapat menyepakati bahwa pembeli
akhirnya adalah penawar yang mengajukan tertinggi. Ini adalah valuation analysis.

 Analytic & Forensic Technology


Ini adalah jasa-jasa yang dikenal sebagai computer forensic, seperti data imaging
(termasuk memulihkan kembali data computer yang hilang atau dihilangkan) dan data
mining. Beberapa perangkat lunak ini dilindungi hak cipta seperti DTect.
 Fraud Risk Management
Jasa ini serupa dengan FOSA dan COSA yang dijelaskan dalam Bab 1. Beberapa
peralatan analisisnya terdiri atas perangkat lunak yang dilindungi hak cipta, seperti
Tip-Offs Anonymous, DTermine, dan DTect.
 FCPA Reviews and Investigations
FCPA adalah Undang-undang di Amerika Serikat yang memberikan sanksi hukum
kepada entitas tertentu atau pelakunya (agent) yang meyuap pejabat atau
penyelenggara Negara di luar wilayah Amerika Serikat. FCPA Reviews seupa dengan
FOSA, tetapi orientasinya adalah pada potensi pelanggaran terhada FCPA. FCPS
investigations merupakan jasa investigasi ketika pelanggaran terhadap FCPA sudah
terjadi.
 Anti Money Laundering Services
Jasa yang diberikan kantor akuntan ini serupa dengan FOSA, tetapi orientasinya
adalah pada potensi pelanggaran terhadap undang-undang pemberantasan pencucian
uang.
 Whistleblower Hotline
Banyak fraud terungkap karena Whistleblower memberikan informasi (tip-off) secara
diam-diam atau tersembunyi (anonymous) tenang fraud yang sudah atau sedang
berlangsung. Kantor Akuntan ini menggunakan perangkat yang lunak yang dilindungi
hak cipta (Tip-offAnonymous).
 Business Intelligence Services
Istilah Intelligence memberi kesan bahwa kantor akuntan memberikan jasa mata-mata
aau melakukan pekerjaan detektif. Hal yang dilakukan adalah pemeriksaan latar
belakang (background check) seseorang atau suatu entitas. Jasa ini diperlukan oleh
perusahaan yang akan melakukan akuisisi, merger atau menanamkan uangnya pada
perusahaan lain. Ini adalah bagian dari jasa yang dikenal desbagai due diligence. Jasa
intelligence juga bermanfaat dalam menciptakan kesadaran mengenai siapa pelanggan
perusahaan. Jasa intelligence juga berguna dalam rangka merekrut orang untuk
jabatan yang memerlukan kejujuran dan integritas.

2. ASSET RECOVERY

Asset recovery adalah upaya pemulihan kerugian dengan cara menemukan dan


menguasai kembali aset yang dijarah, misalnya dalam kasus korupsi, penggelapan, dan
pencucian uang (money launder). Asset recovery terbesar dalam sejaarah akuntasi adalah
likuidasi Bank of Credit and Commerce International (BCCI). BCCI bangkrut karena
sarat fraud. Para ahli dan paktisi perbankan menggambarkan kasus BCCI
sebagai fraud terbesar dan paling rumit dalam industry perbankan. BCCI dituduh melakukan
pencucian uang (money laundering), praktik tidak sehat dalam memberikan pinjaman,
penggelapan pembukuan, perdagangan valuta asing yang amburadul, dan pelanggaran
ketentuan perbankan berskala besar. Karena tenggelam dalam fraud, nama bank tersebut
diplesetkan menjadi Bank of Crook and Criminal International.

Berdasarkan Asset Recovery Handbook yang diterbitkan oleh Stolen Asset Recovery (StAR),
World Bank, tahapan dalam pelaksanaan Asset Recovery adalah sebagai berikut.

1. Pengumpulan Bukti dan Penelusuran Aset


Brun, et. al. (2011: 41) menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam
pemulihan kerugian adalah menunjukkan bukti yang menghubungkan aset yang akan disita
dengan kegiatan kriminal tertentu atau membuktikan bahwa aset merupakan keuntungan yang
diperoleh dari tindak kejahatan yang dilakukan tersangka. Untuk memperoleh bukti tersebut
pemeriksa harus mengidentifikasi dan menelusuri aset atau “follow the money” sampai
diperoleh hubungan antara aset tersebut dengan tindakan kriminal yang dimaksud atau
sampai dengan lokasi aset yang dimaksud dapat ditentukan. Teknik-teknik yang dapat
digunakan dalam pengumpulan bukti dan penelusuran aset antara lain:
 merencanakan tindakan investigatif,
 membuat profil subjek,
 mendapatkan bukti keuangan dan bukti-bukti lain,
 mengorganisasikan data: membuat profil keuangan,
 menganalisis data: membandingkan aliran kas dengan profil rekening,
 melaksanakan kerja sama internasional.

2. Pengamanan Aset
Pengamanan aset diwujudkan dengan sebuah tindakan pemblokiran yang menurut
pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 adalah pembekuan sementara harta kekayaan
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan dengan
tujuan untuk mencegah dialihkan atau dipindahtangankan agar orang tertentu atau semua
orang tidak berurusan dengan harta kekayaan yang telah diperoleh, atau mungkin telah
diperoleh dari dilakukannya tindak pidana tersebut.

3. Proses Peradilan
Proses terpenting dalam tahapan peradilan ini adalah pengumpulan bukti yang
dilaksanakan melalui penyitaan. Definisi penyitaan menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 ayat (16) adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

4. Pelaksanaan Putusan
Pada saat proses peradilan telah menghasilkan putusan yang menginstruksikan
perampasan aset maka berbagai langkah harus ditempuh untuk melaksanakan putusan
tersebut. Namun, mengingat tindakan pidana saat ini sudah merambah ke dunia internasional
maka semakin mudah bagi pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan melarikan harta
hasil tindak pidananya ke luar negeri. Untuk itulah diperlukan kerja sama internasional dalam
pelaksanaan program pengembalian aset tindak pidana.

5. Pengembalian Aset
Menurut Yanuar (2007: 206), mekanisme atau prosedur yang dapat diterapkan untuk
proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berupa: (i) pengembalian aset
melalui perampasan jalur pidana, (ii) pengembalian aset melalui perampasan jalur perdata,
(iii) pengembalian aset melalui jalur administrasi atau politik. Dalam proses pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung dan KPK sebagai
aparat berwenang dalam penegakan hukum juga mengenal dua mekanisme pengembalian
aset, yaitu; (i) pengembalian aset melalui perampasan aset tanpa pemidanaan, serta (ii)
pengembalian aset secara sukarela. Untuk mengembalian aset hasil tindak pidana korupsi,
KPK diberikan wewenang sebatas pengembalian aset dengan jalur pidana dan penyerahan
secara sukarela, apabila diharuskan menempuh jalur di luar pidana maka kejaksaan selaku
pengacara negara menerapkan mekanisme selanjutnya, baik secara perdata maupun
mekanisme jalur administratif dan politik.

3.    EXPERT WITNESS

Pemberian jasa forensik berupa penampilan Ahli (Expert witness) di pengadilan


Negara-negara Anglo Saxon begitu lazim sehigga seorang praktisi menulis bahwa secara
teknis, “akuntasi forensik ” berarti menyiapkan seorang akuntan menjadi saksi ahli dalam
ligitasi, sebagai bagian dari tim penuntut umum ,atau pembela dalam perkara yang berkenaan
dengan  fraud. Namun, dalam perkembangan selanjutnya istilah “akuntasi forensik”
bermakna sama dengan prosedur akuntansi investigatif.

Masalah yang timbul dalam penggunaan akuntan forensik sebagai ahli di


persidangan, khususnya dalam tindak pidana korupsi, adalah kompetensi dan independensi.
Masalah kompetensi dan independensi sering dipertanyakan tim pembela atau pengacara
terhadap akuntan forensik yang membantu penuntut umum. Sebaliknya, tidak ada pertanyaan
mengenai kompetensi dan independensi akuntan forensik yang membantu tim pembela
(pengacara).

Di Amerika Serikat, ada persyaratan yang harus dipenuhi agar pengetahuan


tertentu dapat digunakaan sebagai dasar untuk keterangan saksi ahli. Saksi ahli yang
memenuhi kualifikasi karena memiliki pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, pelatihan atau
pendidikan ilmiah diperkenankan memberikan keterangan atau pendapat jika:
1. keterangan atau pendapatnya didasarkan atas fakta atau data yang cukup,
2. keterangan atau pendapatnya merupakan hasil dari prinsip dan metode yang andal;
dan
3. saksi ahli sudah menerapkan prinsip dan metode dengan benar pada fakta dalam kasus
yang dihadapi.
Kata kunci dalam aturan di Amerika Serikat adalah prinsip dan metode yang andal
(reliable principles and methods). Frasa ini menjadi standar umum untuk apa yang diterima
sebagai keterangan saksi ahli.

Dalam kasus yang dikenal sebagai Dabert case, Makamah Agung (Supreme
Court) menginterpretasikan bahwa kondisi berikut dipenuhi:
1. teknik atau teori sudah diuji secara ilmiah,
2. teknik atau teori sudah dipublikasi dalam majalah ilmiah dimana sesama rekan dapat
menelaahnya (peer-reviewed scientific journal),
3. tingkat kesalahan dalam menerapkan teknik tersebut dapat ditaksir dengan memadai
atau diketahui, serta
4. teknik atau teori sudah diterima dalam masyarakat atau asosiasi ilmuwan terkait.
Mahkamah agung tidak bermaksud untuk menerapkan semua butir di atas pada
semua kasus. Butir-Butir di atas dikenal sebagai Daubert test. Hal ini dikehendaki adalah
bahwa butir-butir yang relevan harus diterapkan secara kasus per kasus.  Butir-Butir tersebut
juga tidak perlu diterapkan secara ketat untuk semua jenis keterangan saksi ahli. Hal
terpenting adalah butir-butir tersebut diterapkan seketat mungkin dalam kasus yang dihadapi.

Ada kriteria lain yang dikenal sebagai  Frye test. Frye test lebih dulu dikenal
daripada Daubert test. Di beberapa pengadilan Negara bagian, Frye test masih
diterapkan. Frye test hanya mensyaratkan bahwa keterangan saksi ahli didasarkan pada
prinsip atau metode yang sudah diterima oleh masyarakat atau asosiasi ilmuwan terkait.

Penerapan Daubert test dan Frye test bervariasi dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi


yang lain. Semua pengadilan federal dan beberapa pengadilan Negara bagian
menerapkan Daubert test. Pengadilan Negara bagian lainnya menerapkan Frye test saja,
kombinasi dari Frye test dan Daubert test atau test lainnnya.

Masing – masing yurisdiksi umumnya tidak mendaftarkan para aahli yng


disetujui pengadilan (court-approved-experts). Secara Umum, setiap saksi ahli harus diterima
(melalui proses persidangan yang dijelaskan di atas) sebagai ahli dalam setiap kasus dimana
dia bersaksi. Oleh karena itulah, akuntan forensik harus siap, kalau pengadilan menerapkan
Daubert test kepadanya. Itu berarti sidang pengadilan (khususnya pihak lawan) bukan saja
menanyakan keahlian profesional dari saksi ahli yang dihadirkan, tetapi juga teknik, teori,
dan metode yang digunakan untuk merumuskan pendapat atau keterangan ahlinya.

4. PRAKTIK DI SEKTOR PEMERINTAHAN


Pada sektor publik praktik akuntan forensik serupa dengan apa yang
digambarkan  pada sektor swasta, perbedaannya adalah tahap-tahap dalam seluruh rangkaian
akuntansi forensik di antara berbagai lembaga. Dimensi yang membedakan akuntansi
forensik di sektor publik dan swasta: Landasan penugasan, Imbalan, Hukum, Ukuran
Keberhasilan, Pembuktian, Teknik audit investigatif, Akuntansi

Disamping itu keadaan politik dan macam-macam kondisi lain akan


memepengaruhi lingkup akuntansi forensik yang diterapkan.termasuk pendekatan hukum dan
non hukum.
GAMBAR 2.1.1
Perbandingan antara akuntansi forensik di sektor publik dan swasta:

        Dimensi         Sektor publik         Sektor swasta


        Landasan         Amanat undang-         Penugasab tertulis secara
penugasan undang spesifik
        Imbalan         Lazimnya tanpa         Free dan biaya
imbalan
        Hukum         Pidana umum dan         Perdata,arbritrasi,
khusus, hukum administrasi administrative, aturan internal
negara perusahaan
        Ukuran         Memenangkan perkara         Memulihkan kerugian
keberhasilan pidana dan memulihkan
kerugian
        Pembuktian         Dapat melibatkan         Bukti intern, dengan bukti
instansi lain di luar lembaga eksten yang terbatas
yang bersangkyutan
        Teknik audit         Sangat bervariasi         Relatif lebih sedikit
investigatif karena kewenangan dibandingkan di sektor publik,
kreativitas dalam pendekatan
lebih menentukan
        Akutansi         Tekanan pada kerugian         Penilaian bisnis
negara dan kerugian
keuangan negara

2.2 ATRIBUT AKUNTAN FORENSIk

Howard R. Davia dalam Tuanakotta (2010 : 99)  memberi lima nasihat kepada
seorang auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu

1.      Menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur.
Identifikasi lebih dahulu siapa pelaku atau yang mempunyai potensi menjadi pelaku. Banyak
auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan, tetapi tidak menjawab pertanyaan yang
paling penting : Who did it ? Ada kalanya kebiasaan penyembunyian nama pelaku didorong
oleh keinginan untuk “memperhalus” pengungkapan sesuatu yang kelihatannya kurang elok.
Dalam bahasa Inggris, penghalusan ini disebut euphemism.

2.      Fraud auditor harus mampu membuktikan “niat pelaku melakukan kecurangan”.


Banyak kasus kecurangan kandas di sidang pengadilan karena penyidik dan saksi ahli
(akuntan forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan atau pelanggaran. Menurut
Davia, tujuan proses pengadilan adalah menilai orang, bukan mendengar celotehan yang
berkepanjangan tentang kejahatannya.

3.      Seorang auditor forensik harus kreatif, berpikir seperti pelaku fraud, jangan dapat
ditebak. Dalam proses audit investagatif, keadaan dapat berubah dengan cepat, misalnya,
bukti dan barang bukti disembunyikan atau dihancurkan atau pelaku bersembunyi atau
melarikan diri. Dalam kondisi seperti tersebut auditor forensik harus berpikir kreatif dalam
menggunakan prosedur, kombinasi prosedur atau alternatif prosedur untuk mengumpulkan
bukti. Seorang auditor forensik harus dapat berpikir layaknya seorang pelaku fraud agar
dapat mengantisipasi langkah-langkah yang akan diambil pelaku fraud jika mereka
mengetahui bahwa tindakan mereka telah tercium atau terungkap. Seorang auditor forensik
juga tidak gampang ditebak dalam melakukan proses audit investigatif, agar tidak dengan
mudah dapat diantisipasi oleh pelaku fraud.
4.      Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan.
Ada dua macam persengkongkolan yaitu :

 Persengkongkolan yang sifatnya sukarela, dan pesertanya memang mempunyai niat


jahat. Davia menamakannya, ordinary conspiracy
 Persengkongkolan dimana pesertanya tidak menyadari bahwa keluguannya
dimanfaatkan oleh rekan kerjanya, contohnya memberikan password komputernya.
Davia menamakannya pseudo-conspiracy

Dalam tindakan fraud yang dibarengi dengan persekongkolan, auditor forensik


harus memiliki indra atau intuisi yang tajam untuk merumuskan “teori persekongkolan”
untuk memudahkan dalam pengumpulan bukti.

Auditor harus mengenali pola fraud yang dilakukan oleh pelaku, yaitu si


auditor harus mempertimbangkan apakah kecurangan dilakukan di dalam pembukuan
atau di luar pembukuan. Pendeteksian dan pengumpulan bukti terhadap fraud yang
dilakukan dalam pembukuan, seperti pencatatan ganda atas pembayaran kepada pemasok,
akan memerlukan tehnik dan prosedur audit yang berbeda dengan pola fraud yang ada di
luar pembukuan seperti kickback, penagihan piutang yang sudah dihapus dan penjualan
barang yang sudah dubesituakan. Untuk membuktikan fraud yang dilakukan dengan
pembayaran ganda misalnya, auditor forensik akan lebih efektif dan efisien  jika
menggunakan prosedur vouching, yaitu menelusuri dari transaksi ke bukti pendukung.
Jika auditor forensik melakukan sebaliknya, yaitu dengan menggunakan trashing
(menelusuri dari bukti pendukung ke transaksi), maka pencatatan ganda atas pembayaran
tersebut tidak akan terdeteksi.

5. Dalam memilih proactive fraud detection strategy (strategi untuk menemukan


kecurangan dalam investigasi proaktif), si auditor harus mempertimbangkan apakah
kecurangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.

2.3 KODE ETIK AKUNTANSI FORENSIK

Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan sesamanya,


dengan pemakai jasanya dan stakeholder lainnya, dan dengan masyarakat luas. Kode
etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas
menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi
profesional.

Di Amerika Serikat, (ACFE) telah menetapkan kode etik bagi para fraud
auditor yang bersertifikat, yang terdiri atas delapan butir yaitu :

1. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam segala keadaan, harus menunjukkan
komitmen terhadap profesionalisme dan ketekunan dalam pelaksanaan tugasnya
2. .Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak diperkenankan untuk melakukan
tindakan yang bersifat ilegal atau melanggar etika, atau segenap tindakan yang dapat
menimbulkan adanya konflik kepentingan.
3. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam semua keadaan, harus menunjukkan
integritas setinggitingginya dalam semua penugasan profesionalnya, dan hanya akan
menerima penugasan yang memiliki kepastian yang rasional bahwa penugasan
tersebut akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
4. Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mematuhi peraturan/perintah dari
pengadilan, dan akan bersumpah/bersaksi terhadap suatu perkara secara benar dan
tanpa praduga.
5. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam melaksanakan tugas pemeriksaan,
harus memperoleh bukti atau dokumentasi lain yang dapat mendukung pendapat
yang diberikan. Tidak boleh menyatakan pendapat bahwa seseorang atau pihak-
pihak tertentu “bersalah” atau “tidak bersalah”.
6. Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak boleh mengungkapkan informasi yang
bersifat rahasia yang diperoleh dari hasil audit tanpa melalui otorisasi dari pihak-
pihak yang berwenang.
7. Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mengungkapkan seluruh hal yang
material yang diperoleh dari hasil audit yakni, apabila informasi tersebut tidak
diungkapkan akan menimbulkan distorsi terhadap fakta yang ada.
8. Seorang fraud auditor yang bersertifikat secara sungguh-sungguh harus senantiasa
meningkatkan kompetensi dan efektivitas hasil kerjanya yang dilakukan secara
profesional.
2.4 STANDAR AUDIT AKUNTANSI FORENSIK

Standar ini berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh anggota
organisasi auditor dalam mematuhi kode etik dan menjalankan tugas serta
kewajiban profesional sebagaimana tercantum dalam Kode Etik bagi auditor.
Dengan mematuhi standar audit, auditor diharapkan dapat menunjukkan komitmen
yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa secara profesional.
K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dalam Tuanakotta (2005 : 52)
merumuskan beberapa standar untuk mereka yang melakukan investigasi terhadap
fraud. Standar –standar ini akan dijelaskan dengan konteks Indonesia :

 Standar 1
Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui (accepted
best practices). Dalam hal ini tersirat dua hal yaitu adanya upaya
membandingkan antara praktek-praktek yang ada dengan merujuk kepada
yang terbaik pada saat itu (benchmarking) dan upaya benchmarking
dilakukan terus menerus mencari solusi terbaik.
 Standar 2
Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga
bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan.
 Standar 3
Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan
diindeks, dan jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai
referensi apabila ada penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan
bahwa investigasi sudah dilakukan dengan benar. Referensi ini juga
membantu perusahan dalam upaya perbaikan caracara investigasi sehingga
accepted best practices yang dijelaskan di atas dapat dilaksanakan..
 Standar 4
Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan
senantiasa menghormatinya. Apabila investigasi dilakukan dengan cara yang
melanggar hak asasi pegawai yang bersangkutan dapat membuat perusahaan
dan investigator dituntut.
 Standar 5
Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan
kecurangan dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut baik
dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.
 Standar 6
Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat
kritis ditinjau dari segi waktu.
 Standar 7
Liput seluruh tahapan kunci dalan proses investigasi, termasuk perencanaan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak
ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara
atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi,
kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.

2.5 STANDAR PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA (SPKN)

yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, juga diatur mengenai


standar audit kecurangan yaitu dalam bagian standar pemeriksaan dengan tujuan
tertentu. Adapun standar pelaksanaan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berisikan:

 Hubungan dengan Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh


Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
 Komunikasi auditor
 Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya
 Pengendalian intern
 Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari
ketentuan Peraturan Perundangundangan; Kecurangan (Fraud), serta
Ketidakpatuhan (Abuse)
 Dokumentasi pemeriksaan
 Pemberlakuan standar pemeriksaan

http://dokumentasiilmu90.blogspot.com/2017/02/resume-bab-3-lingkup-akuntansi-
forensik.html

http://yuliansahri.blogspot.com/2018/02/lingkup-akuntansi-forensik.html
http://dokumentasiilmu90.blogspot.com/2017/02/resume-bab-4-atribut-dan-kode-etik.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37161/Chapter%20II.pdf?
sequence=3&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai