Anda di halaman 1dari 16

Perlindungan Hukum Debitur yang Dikejar Debt Collector dari

Persepsi Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 2 :


EKA RISANTY PUTRI SUHARTO (31115039)
ELTAVIA FIRDA RIZKI (31115052)
DESY PEBRIANTY SIMANJUNTAK (31115026)
SUSTRI (31115021)
HAZLI PUTRI UTAMI (31115005)
ULFA SUKRIYA YUHARSIH (31115072)
KARISA LISTIA (31116078)
ARI SUSANTO (31115006)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha sehingga kami dapat

menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Perlindungan Hukum

Debitur yang Dikejar Debt Collector dari Persepsi Undang-Undang Republik

Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu syarat

penilaian untuk tugas semester ini dalam mata kuliah Hukum Bisnis.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalamanan

pengetahuan yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan

kepada Dosen mata kuliah maupun rekan rekan pembaca untuk memberikan

masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Batam, Desember 2018


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I: PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH

C. TUJUAN PENULISAN

BAB II: PEMBAHASAN

A. PERJANJIAN KREDIT

B. PENAGIH UTANG/DEBT COLLECTOR DAN PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI DEBITUR

BAB III: PENUTUP

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini, jasa peminjaman uang atau perkreditan semakin banyak di


jadikan solusi permasalahan ekonomi di masyarakat. Usaha perkreditan mulai dari
kredit yang di sediakan oleh Bank hingga Perusahaan yang bergerak di bidang
perkreditan.

Perjanjian kredit yang dilakukan antara Debitur dan Kreditur kemudian


menjadi acuan dan pedoman dari kegiatan tersebut. Semakin banyak yang
menggunakan kredit sebagai solusi tentu beragam kendala yang ditemui baik yang
dirasakan oleh Kreditur maupun Debitur.

Salah satu kendala yang sering terjadi ialah kredit macet, dimana tidak ada
usaha pelunasan dari nasabah tersebut. Munculnya kendala membuat penyedia
kredit atau kreditur mencari solusi untuk menerima hak nya. Salah satu yang
menjadi solusi adalah dengan Debt Collector dimana kreditur menggunakan jasa
orang-perorangan atau suatu kelompok untuk mendapatkan pelunasan dari
nasabah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Debt Collector dari Persepsi Undang


Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen?

2. Bagaimana Perlindungan Hukum Debitur terhadap Debt Collector dalam


Undang Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen?
C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan dari makalah ini ialah untuk mendalami serta memahami
permasalahan hukum yang menyangkut Pengaturan Hukum Pengaturan Hukum
Debt Collector dari Persepsi Undang Undang Republik Indonesia No 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen serta Perlindungan Hukum Debitur
terhadap Debt Collector dalam Undang Undang Republik Indonesia No 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perjanjian Kredit

Perjanjian atau dalam bahasa Belanda overeenkomst, yang terdapat pada Pasal
1313 KUHPerdata dimana, perjanjian adalah “Perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari
peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang
disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak.”

Sedangkan kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi, yaitu “credere” yang
mempunyai arti kepercayaan.1 Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu
Credere yang berarti kepercayaan. Dengan demikian, dasar pemberian kredit
adalah kepercayaan dan keyakinan bahwa debitur akan melunasi hutangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan atau tepat waktu.2

Pengertian kredit menurut Pasal 1(11) Undang Undang Republik Indonesia


No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagai berikut: “Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”.

Perjanjian kredit adalah sebuah perjanjian yang terjadi atas kesepakatan antara
pihak yang kemudian disebut Debitur (Peminjam) dan Kreditur (Pemberi
Pinjaman dalam hal ini Bank) yang kemudian melahirkan adanya hubungan
utang-piutang antar pihak. Dimana Debitur berkewajiban membayar kembali

1
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm 69.
2
Widjanarto, Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, Info Bank, Jakarta, 1998, hlm 4.
pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi
yang telah disepakati oleh para pihak.

Perjanjian kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjam-meminjam


karena berupa hubungan kontraktual yang terdapat dalam Pasal 1754 KUHPer :
“Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula.”

Walaupun perjanjian kredit berakar dari perjanjian pinjam-meminjam, tetapi


perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam dalam KUHPer.

Dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri tidak


disebutkan secara rinci mengenai hal Perjanjian Kredit tersebut. Namun
bersadarkan pada syarat sah suatu perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

 Suatu hal tertentu

 Suatu sebab yang diperkenankan

Sehingga dasar dari Perjanjian Kredit mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata
tersebut. Dan perjanjian kredit tersebut mengikat para pihaknya semenjak detik
ditanda tanganinya perjanjian kredit tersebut.

Adapun unsur-unsur dari suatu Perjanjian Kredit ialah :

 Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur,


yang disebut dan dituangkan dengan perjanjian kredit.
 Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan
pinjaman, seperti bank. Dan pihak debitur yang merupakan pihak yang
membutuhkan uang pinjaman atau barang atau jasa.
 Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur akan dan
mampu membayar kreditnya.
 Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitur
kepada pihak kreditur.
 Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada
debitur.
 Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak
debitur kepada pihak kreditur, disertai dengan pemberian imbalan atau
bunga atau pembagian keuntungan.
 Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dan
pengembalian kredit oleh debitur.
 Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu
tadi, semakin jauh tenggang waktu pengembalian, semakin besar pula
resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatu kredit.3
Dalam perjanjian Kredit ada dua pihak yakni Kreditur dan Debitur,
dimana keduanya memiliki hak dan kewajibannya masing-masing.

Hak Debitur dalam Perjanjian Kredit adalah :

 Menerima sejumlah dana yang dipinjam dari pihak kreditur.

 Memakai dana sesuai dengan peruntukannya.

Kewajiban Debitur dalam Perjanjian Kredit adalah :

 Melakukan pembayaran kredit sesuai dengan tanggal yang disepakati

 Membayar denda dan biaya administrasi lainnya apabila terlambat dalam


membayar kredit.

 Menyerahkan hak kebendaan dari benda jaminan hutang.

Sedangkan, Hak Kreditur dalam suatu Perjanjian Kredit ialah :

 Menerima pembayaran hutang debitur.

 Menetapkan sejumlah biaya dari proses hutang piutang debitur.

3
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 7
 Menetapkan denda atas keterlambatan pembayaran debitur.

 Menguasai objek jaminan hutang.

Kewajiban Kreditur dalam Perjanjian Kredit ialah :

 Menyerahkan sejumlah dana yang dipinjam oleh debitur.

 Mengelola penguasaan hak kebendaan secara baik.

Dalam pelaksanaannya, kedua pihak berhak dan wajib melaksanakan serta


mendapatkan hak yang sudah tertulis dalam Perjanjian Kredit, yang apabila terjadi
wanprestasi atau pelanggaran akan menimbulkan kendala terhadap Perjanjian
Kredit tersebut.

Setiap hal tentu tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan. Begitu pula
dengan perjanjian kredit. Tentu banyak kendala yang kemudian di hadapi, adapun
kendala yang di hadapi antara lain adanya tingkat perbedaan kelancaran pelunasan
kredit yang dilakukan nasabah :

 Kredit Lancar, jenis ini adalah dimana tidak adanya tunggakan pinjaman
dan pelunasan dilakukan nasabah sesuai dengan perjanjian. Adapun bila
terdapat tunggakan tidak sampai melewati batas kompensasi yang di
berikan kreditur.

 Kredit Tidak Lancar, jenis ini adalah dimana pembayaran atau pelunasan
yang dilakukan nasabah tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian namun tunggakannya tidak melewati dari jangka waktu 3 bulan.

 Kredit Diragukan, jenis ini adalah dimana nasabah tidak mampu


menyelamatkan kreditnya, dimana nasabah tidak mampu membayar
angsuran pokok ataupun bunga nya namun jaminan nasabah masih dapat
menutupi hingga 75% dari jumlah pinjaman.

 Kredit Macet, jenis ini adalah dimana nasabah tidak mampu dan tidak ada
usaha sama sekali dalam menyelamatkan kreditnya. Kredit macet
tergolong mulai dari 18 bulan sejak kredit di masukkan kedalam kategori
kredit di ragukan. 4

Adanya kendala tersebut membuat pihak Kreditur harus kreatif dalam


mendapatkan kembali dana yang mereka keluarkan kepada debitur.

Salah satu cara yang dirasa efektif adalah dengan cara menyewa jasa penagih
utang atau debt collector. Cara ini dirasa efektif karena adanya tekanan terhadap
debitur yang didatangi hingga ke tempat tinggalnya guna menuntut pelunasan
kredit.

B. Penagih Utang/Debt Collector dan Perlindungan Hukum bagi Debitur.

Istilah debt collector berasal dari bahasa Inggris, yang jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia yaitu debt artinya hutang, collector artinya pemungut,
pemeriksa, penagih, pengumpul. Jadi, debt collector merupakan kumpulan
orang/sekumpulan orang yang menjual jasa untuk menagih hutang seseorang atau
lembaga yang menyewa jasa mereka. debt collector adalah pihak ketiga yang
menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit.5

Kehadiran debt collector sebagai pihak ketiga dalam perjanjian kredit ini
kemudian menimbulkan pro dan kontra. Debt collector dimanfaatkan oleh
Lembaga Pembiayaan sebagai mata pedang dalam meminta atau menuntut
pelunasan kepada nasabah.

Kedudukan Lembaga Pembiayaan yang jauh lebih kuat tentu saja


mengintimidasi debitur, belum lagi dengan munculnya oknum yang mengaku
pihak yang diberi kuasa oleh Lembaga Pembiayaan untuk menakut-nakuti,
menginitimidasi, bahkan tak jarang mengeksekusi dengan cara pengambilan paksa
atau penyitaan harta benda Debitur.

4
https://www.simulasikredit.com/apa-yang-biasanya-dilakukan-bank-bila-ada-kredit-macet/
5
https://www.suduthukum.com/2017/03/pengertian-debt-collector.html
Keadaan ini tentu melanggar berbagai hal, kehadiran pihak Penagih Utang
kemudian mengalihkan permasalahan dari jalur Hukum Perdata ke dalam Hukum
Pidana. Mulai dari munculnya kasus perusakan, pencurian, hingga pencemaran
nama baik.

Kedudukan hukum debt collector sendiri masih simpang siur dalam hukum
positif di Indonesia. Dimana adanya ketidaksinkronan antara beberapa peraturan
yang ada. Dimana si satu sisi keadaan debt collector diakui legalitasnya6 namun
secara langsung melanggar Prinsip Perlindungan Konsumen mengenai Klausula
Baku7 dimana pihak Lembaga Pembiayaan mengalihkan tanggung jawabnya
dengan mendatangkan Penagih Utang sebagai pihak ketiga penerima kuasa.

Debitur atau nasabah dalam hal transaksi barang dan jasa, merupakan
konsumen yang perlindungan hukumnya sendiri diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen atau
biasa dikenal dengan UUPK.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang


Perlindungan Konsumen sendiri diciptakan sebagai bentuk kepastian hukum
terhadap hak –hak konsumen dalam proses transaksi barang dan jasa.

Selain Pasal 18 ayat (1) huruf (a) mengenai keberadaan debt collector yang
seringkali mengintimidasi juga melanggar Pasal 4 huruf (a) 8 mengenai Hak
Konsumen.

6
Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“SEBI 2009”)
7
Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen :

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan

dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian

apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;


8
Hak konsumen adalah: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Dimana seringkali kedatangan debt collector berupa sekelompok preman
yang menakut-nakuti, mengintimidasi, bahkan seringkali menganiaya debitur.9
Bahkan menyebabkan nasabah meninggal dunia10. Hal ini tidak hanya membuat
buruk nama Lembaga Pembiayaan, tapi tentu saja menjadi pertanyaan. Bagaimana
perlindungan hukum seorang nasabah atau calon nasabah yang melakukan atau
akan melakukan perjanjian kredit dengan suatu Lembaga Pembiayaan.

Masuknya pihak baru dalam hal ini debt collector melanggar Pasal 18 ayat
(1) huruf (a) mengenai Klausula Baku. Dimana pelaku usaha dilarang
menambahkan Klausula Baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawabnya.
Dalam hal ini ialah menagih pelunasan kepada nasabah.

Hal ini secara tidak langsung membebaskan kreditur dari kewajibannya,


adapun yang dimaksud dengan membebaskan dari kewajibannya yaitu kondisi
membatasi atau bahkan menghapus sama skali tanggung jawab yang semestinya
dibebankan kepada pihak bank itu sendiri.11 Yang membuat hal ini
menguntungkan bagi Pelaku Usaha dan membebani nasabah dengan adanya
Klausula tersebut.

Akibatnya posisi nasabah sangatlah lemah, karena format dan isi perjanjian
telah dirancang oleh pihak bank yang tentu saja dapat dipastikan bahwa perjanjian
tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan pihak bank namun
bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.12

Selain daripada dilanggarnya Pasal mengenai Klausula Baku, adanya debt


collector juga melanggar Prinsip Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 4
9
Hasil Pencarian Laman Google : “Kasus Penganiayaan oleh Debt Collector”
https://www.google.com/search?
newwindow=1&safe=strict&rlz=1C1CHWL_idID780ID780&ei=qSkzXMbtF8z8vASx5o7gDA&
q=kasus+penganiayaan+oleh+debt+collector&oq=kasus+penganiayaan+oleh+debt+collector&gs_
l=psy-ab.3...132717.132717..134074...0.0..0.77.77.1......0....1..gws-wiz.5HkRd8rbnUM
10
Kasus Irzen Octa, tahun 2012 nasabah Citibank
11
H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta: Yogyakarta, 2000, hlm. 34.
12
Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank Jurnal Oleh Diana
Simanjuntak / D 101 09 185
huruf (a) mengenai Hak Konsumen dimana Konsumen memiliki Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa; yang bertolak belakang dengan munculnya debt collector yang notabene
melanggar kenyamanan, keamanan, dan keselamatan nasabah sebagai konsumen
jasa Lembaga Pembiayaan.

Meskipun demikian, kehadiran debt collector yang ramah dirasa


menguntungkan kedua belah pihak dimana debt collector datang untuk
bernegosiasi bahkan dapat memperpanjang tenggat waktu pelunasan kredit.
13
Sehingga keadaannya di Indonesia semakin menimbulkan pro dan kontra.

Adapun mengenai legalnya Jasa Penagih Utang dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No. 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“SEBI 2009”) kemudian
mencerminkan perlunya sinkronisasi peraturan hukum yang berlaku di Indonesia
seputaran Perjanjian Kredit.

Dimana Perjanjian kredit tersebut bukan hanya terdapat pihak Pelaku Usaha
saja yang musti diperhatikan keadaannya, namun juga terdapat konsumen yaitu
Nasabah yang kedudukan seharusnya sama dengan Pelaku Usaha. Sehingga suatu
perjanjian haruslah saling menguntukan kedua belah pihak di dalamnya.

13
Dokumenter oleh VICE yang Dipublikasikan tanggal 20 Jul 2018 mengenai debt collector di
Indonesia
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Perjanjian kredit adalah sebuah perjanjian yang terjadi atas kesepakatan


antara pihak yang kemudian disebut Debitur (Peminjam) dan Kreditur
(Pemberi Pinjaman dalam hal ini Bank) yang kemudian melahirkan adanya
hubungan utang-piutang antar pihak. Dimana Debitur berkewajiban
membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan
berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.

2. Istilah debt collector berasal dari bahasa Inggris, yang jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia yaitu debt artinya hutang, collector artinya pemungut,
pemeriksa, penagih, pengumpul. Jadi, debt collector merupakan kumpulan
orang/sekumpulan orang yang menjual jasa untuk menagih hutang seseorang
atau lembaga yang menyewa jasa mereka. debt collector adalah pihak ketiga
yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit.

3. Masuknya pihak baru dalam hal ini debt collector melanggar Pasal 18 ayat (1)
huruf (a) mengenai Klausula Baku. Dimana pelaku usaha dilarang
menambahkan Klausula Baku yang menyatakan pengalihan tanggung
jawabnya. Dalam hal ini ialah menagih pelunasan kepada nasabah.

4. Adanya debt collector juga melanggar Prinsip Perlindungan Konsumen


khususnya Pasal 4 huruf (a) mengenai Hak Konsumen dimana Konsumen
memiliki Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; yang bertolak belakang dengan
munculnya debt collector yang notabene melanggar kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan nasabah sebagai konsumen jasa Lembaga Pembiayaan.

5. Kedudukan hukum debt collector sendiri masih simpang siur dalam hukum
positif di Indonesia. Dimana adanya ketidaksinkronan antara beberapa
peraturan yang ada. Dimana si satu sisi keadaan debt collector diakui
legalitasnya namun secara langsung melanggar Prinsip Perlindungan
Konsumen mengenai Klausula Baku dimana pihak Lembaga Pembiayaan
mengalihkan tanggung jawabnya dengan mendatangkan Penagih Utang sebagai
pihak ketiga penerima kuasa.
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


Konsumen

Undang Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“SEBI
2009”)

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm 69.

Widjanarto, Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, Info Bank, Jakarta,


1998, hlm 4.

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung,


1995, hlm 7

https://www.simulasikredit.com/apa-yang-biasanya-dilakukan-bank-bila-ada-
kredit-macet/

https://www.suduthukum.com/2017/03/pengertian-debt-collector.html

Hasil Pencarian Laman Google : “Kasus Penganiayaan oleh Debt Collector”

H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta: Yogyakarta,


2000, hlm. 34.

Jurnal Oleh Diana Simanjuntak / D 101 09 185 Tinjauan Hukum Perlindungan


Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank

Dokumenter oleh VICE yang Dipublikasikan tanggal 20 Jul 2018 mengenai debt
collector di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai