Anda di halaman 1dari 8

OPINI

Terorisme Kuasi-Agama
Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta

Dalam esainya "The End of History" (1989, 1992 bentuk buku),


Francis Fukuyama, sosiolog Amerika, menjabarkan hipotesisnya
tentang kemenangan demokrasi liberal dan pasar bebas bersamaan
dengan berakhirnya era Perang Dingin antara blok Barat (AS dan
sekutunya) dan blok komunis (Uni Soviet dan sekutunya).

Dalam perkembangannya, hipotesis itu digugurkan dua fakta


yang di luar perhitungan Fukuyama. Yang pertama, bubarnya
negara Uni Soviet berganti dengan Rusia di bawah Putin, yang tetap
komunis dan muncul sebagai sebuah kekuatan baru yang tidak bisa
didikte AS. Juga China yang komunis, semakin kokoh tak
tergoyahkan, menantang hegemoni AS. Ideologi komunisme sintas
dengan mengadopsi kapitalisme dan pasar bebas.

Menurut Jacques Derrida (Spectres de Marx, 1993),


runtuhnya komunisme di Eropa Timur hanya kegagalan sebuah
eksperimen hantu Marxisme. Sampai sekarang, komunisme masih
tetap menarik di tempat-tempat yang tinggi ketimpangan sosialnya.
Untuk kita, ideologi komunisme sudah kehilangan daya tariknya.
Kalaupun narasi hantu-hantu Marx berusaha dihidupkan, itu sarat
dengan kepentingan politik elektoral.

Mondialisasi terorisme

Yang relevan untuk kita dan mendesak adalah mondialisasi


terorisme yang mengatasnamakan agama seperti diusung Negara
Islam Irak dan Suriah (NIIS). Istilah mondialisasi (gerakan yang
mendunia) dipinjam dari Derrida dalam dialognya dengan Giovanna
Borradori (Filsafat dalam Masa Teror, 143).

Terorisme sudah lama ada, tetapi tak pernah diperhitungkan


dalam politik internasional sampai Tragedi 11 September 2001.
Sejak itu, terorisme kuasi-agama berhasil mendikte pola politik
hubungan bilateral AS. Selama era Perang Dingin, politik hubungan
bilateral AS didasarkan pada afiliasi suatu negara dengan
komunisme.

Pasca Perang Dingin, politik bilateral AS didasarkan pada


afiliasi suatu negara dengan terorisme, bahkan parameter
demokrasi yang biasanya dipakai AS ternyata bisa diabaikan seperti
hubungannya dengan rezim otoriter Pakistan ketika bersama-sama
memerangi pasukan Taliban.

Dalam optimisme Fukuyama, kejayaan pasar bebas dan


konsumtivisme menjadi saluran hasrat berperang yang destruktif,
sehingga perdagangan meningkat, terutama untuk produk-produk
elektronik. Lagi-lagi di luar perhitungan Fukuyama, rezim Taliban
justru melarang pemakaian segala produk elektronik. Afganistan
tidak takluk oleh kapitalisme dan pasar bebas, melainkan akhirnya
oleh mesin perang terlatih dan super canggih AS, ironisnya
menghadapi para pejuang yang mengatasnamakan agama.
KOMPAS/ PRIYOMBODO Warga dari berbagai golongan dan lintas
agama mengikuti aksi solidaritas #KamiBersamaPOLRI di depan
Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (10/5/2018) malam. Sebanyak
lima orang anggota Polri gugur dalam peristiwa penyerangan oleh
narapidana terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa
Barat. Kompas/Priyombodo (PRI) 10-05-2018 Alih-alih berakhir,
sejarah justru berulang. Itulah sejarah kekerasan, sejarah teror.
Sejarah berulang tetapi kita lambat belajar dari sejarah. Ketika kita
masih berdebat sendiri apakah benar ada kamp pelatihan teroris di
Sulawesi Tengah, Pemerintah Singapura sudah menerbitkan Buku
Putih yang mudah diperoleh publik tentang struktur dan
operasionalisasi organisasi teroris kuasi-agama. Sampai sekarang
tidak satu bom pun meledak di negeri yang menjadi salah satu
pusat perdagangan dunia itu. KOMPAS/RYAN RINALDY Seorang
peserta aksi solidaritas untuk korban bom di Surabaya, yang
diselenggarakan di Taman Suropati, Jakarta, Minggu (13/5/2018)
malam, membawa bendera merah putih. Mereka berharap agar
masyarakat Indonesia tetap bersatu melawan terorisme. Alih-alih
sejarah berakhir, mondialisasi terorisme kuasi-agama memulai
sejarah baru dunia yang dihantui perang dengan modus baru
melawan suatu kekuatan organisasi sel-sel tanpa bentuk, bukan
perang antarnegara, tanpa penumpukan senjata. Musuh negara
adalah warga sendiri yang memiliki ideologi berseberangan. Sel-sel
teroris memiliki mobilitas tinggi. Lokasi kediamannya sulit
terdeteksi. Publik baru sadar lokasi mereka ketika aksi bom bunuh
diri sudah terjadi atau ketika bom yang sedang dirakit meledak di
kediaman sendiri. Senjata yang dipakainya mulai dari propaganda
di media sosial sampai senjata konvensional dan bom rakitan,
mungkin suatu kali senjata kimia atau senjata kuman. Aksi teror
tidak hanya menyasar masyarakat sipil, tetapi juga polisi sebagai
aparat negara di garda depan. Penegak hukum antiteror yang
sangat terlatih disandera dan gugur justru di markas komando.
Orang beribadah di Bait Tuhan menjadi sasaran bom. Benteng
pertahanan rasa aman masyarakat hendak dijebol. Ada desain
besar rekayasa sosial untuk menjadikan rasa takut sebagai hantu
kehidupan, yang lebih nyata daripada di layar lebar. Teror untuk
negara Kita tidak bisa hanya berlindung di balik retorika bahwa
negara tidak akan kalah oleh terorisme. Target aksi teror memang
bukan mengalahkan negara, melainkan menebar rasa takut.
Antarkelompok masyarakat menjadi saling curiga. Rasa saling
percaya tergerus. Rakyat akhirnya meragukan kemampuan
pemerintah untuk menjamin rasa aman. Investor pun ragu-ragu
berbisnis di Indonesia. KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA Suasana
pemakaman Iptu Luar Biasa Anumerta Yudi Rospuji Siswanto di
Taman Makam Pahlawan Kusumatama II, Kecamatan Bumiayu,
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Kamis (10/5/2018). Iptu Yudi
merupakan salah satu anggota Polri korban aksi penyerangan oleh
narapidana terorisme di Rumah Tahanan Cabang Salemba, Markas
Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/5/2018).
Dengan menumpuknya keraguan rakyat kepada pemerintah,
diharapkan terbentuk opini bahwa pemerintah ini lemah (kalau
perlu, layak diganti). Dengan menggerogoti otoritas negara, kaum
teroris berharap negara melunak dalam perang melawan terorisme.
Meski tidak besar, sel-sel teroris nyatanya dihadapi negara dengan
alokasi sumber daya manusia dan dana yang besar sekali. Fokus
pemerintah untuk membangun negeri dibuat terpecah dengan
berbagai program kontrateror. Persoalan terorisme adalah
gangguan serius sehingga negara gagal fokus pada fungsi pokok
"melindungi segenap bangsa Indonesia … untuk memajukan
kesejahteraan umum" (alinea IV Pembukaan UUD 1945).
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA The situation at the house of First
Insp. Yudi Rospuji Siswanto's parent in Penggarutan village,
Bumiayu district, Brebes, Central Java Thursday (10/5/2018). Yudi
was one of the five police personnel killed during terrorist attack at
Mako Brimob detention center in Kelapa Dua, Depok, West Java on
Wednesday. Dari mana kekuatan kecil itu memiliki motivasi besar
meneror negara, bahkan sampai rela mati? Keyakinan agama.
Memang keyakinan agama tidak sama dengan agama, tetapi tidak
bisa sama sekali dipisahkan. Kesadaran religius begitu dekat
dengan kesadaran diri, bahkan kesadaran kolektif, sebagai
kesadaran pertama (primordial), sebelum kesadaran berbangsa dan
bernegara. Secara historis, memang agama lebih dulu ada sebelum
bentuk pemerintahan. Bahkan, ada keyakinan bahwa agama datang
dari Tuhan sedangkan negara berasal dari konsensus manusia.
Karena itu, untuk alasan yang lebih luhur dan universal (for a
greater cause) orang beragama berani melawan (aparat) negara.
KOMPAS/AYU SULISTYOWATI Sejumlah siswa sekolah di Kabupaten
Badung, Bali, membubuhkan tanda tangan sebagai komitmen anti
radikalisme dan terorisme di atas kain putih sepanjang 20 meter.
Aksi ini merupakan rangkaian peringatan tujuh tahun peledakan
bom Bali 1 Oktober 2005, di Nyoman Cafe, Jimbaran. Benar arus
utama agama di era modern tidak membenarkan kekejaman atas
nama agama. Namun, agama di era pasar bebas juga bebas
diyakini dengan berbagai cara, termasuk dengan cara-cara radikal.
Teroris tak peduli aksinya dianggap biadab dan tidak dibenarkan
agama, sejauh dibenarkan keyakinan agama. Bahkan, mereka
menganggap yang paling tahu agama dan konsisten beragama.
Karena yakin di jalan yang benar, mereka radikal dalam beragama.
Dan, kesalehan mereka diakui lingkungan sosial. Di AS juga ada
kelompok radikal yang memperjuangkan terbentuknya suatu
pemerintahan yang berdasarkan hukum-hukum agama (Frederick
Clarkson, Eternal Hostility: The Struggle between Theocracy and
Democracy, 1997). Namun, radikalisme agama di sana tidak
mendapat lahan subur untuk berkembang sebab negara itu pada
dasarnya sekuler. Helmy Purnama Fauzi, simpatisan Negara Islam
di Irak dan Suriah, yang menjadi terdakwa kasus terorisme terkait
dengan peristiwa bom di Jalan MH Thamrin, Jakarta, mengikuti
sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa
(15/11). Helmy divonis hukuman 4 tahun penjara. Kompas/Yuniadhi
Agung (MYE) 15-11-2016 Tidak begitu dengan Indonesia sebagai
negara berketuhanan. Terorisme kuasi-agama merasa nyaman
karena perjuangan politiknya dilihat oleh sebagian masyarakat
sebagai perjuangan di jalan agama. Ada simpati masyarakat,
bahkan secara terbuka. Sebagai bentuk radikal intoleransi,
terorisme kuasi-agama kondusif di lahan praktik-praktik beragama
yang toleran terhadap intoleransi. Di sinilah akarnya. Toleran
terhadap intoleransi. Ada porsi pemerintah, umat, dan pemuka
agama. Hilangnya kewaspadaan dalam praktik beragama telah
membuat anak-anak bangsa terpikat ideologi NIIS, pergi berjuang di
luar negeri, kemudian kembali untuk memerangi bangsa dan negeri
sendiri. Bahkan, orangtua berhasil menyatuhatikan anak-anaknya
sehingga satu keluarga melakukan baiat bom bunuh diri. Kepala
Badan Nasional penanggulangan Teroris (BNPT) Komisaris Jenderal
(Pol) Tito Karnavian (kedua kanan) dan Deputi Bidang Kerja Sama
Internasional BNPT Irjen (Pol) Petrus Reinhard Golose (kanan) dalam
The General Briefing on Counter Terorism di Jakarta, Selasa (19/4).
Acara yang diikuti oleh sejumlah duta besar negara sahabat itu
sebagai ajang bertukar informasi terkait penanganan teroris di tiap-
tiap negara. Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT) 19-04-2016

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub

http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2018/05/terorisme-kuasi-
agama-yonky-karman.html

Pertemuan antara Presiden dan aktor-aktor strategis


masyarakat sipil di satu sisi rentan dimaknai sebagai proses
kooptasi politik. Namun, realitas politik tidak selalu bercorak
penundukan dan kooptasi. Dialog bersama antara pemimpin dan
rakyatnya juga bisa berlangsung dalam praktik komunikasi yang
merdeka. Saat ini waktu yang tepat untuk duduk,mendengar, dan
menyikapi aspirasi dari bawah oleh pemimpin. Sebuah langkah
pembuka untuk meneguhkan komitmen atas proses demokrasi.

Sehubungan dengan pertimbangan atas komitmen


penyelenggara negara terhadap proses demokrasi, setidaknya ada
dua sisi dari satu keping mata uang demokrasi yang patut
dipertimbangkan. Pertama, komitmen negara terhadap demokrasi
sebagai pengelolaan tatanan sosial. Kedua, komitmen negara
memfasilitasi demokrasi sebagai laku partisipasi.

Dalam perbincangan publik selama ini, demokrasi kerap


dimaknai berbenturan dengan pengelolaan tata sosial. Penghadap-
hadapan antara demokrasi dan tata sosial dalam konteks
pengalaman bernegara di Indonesia memang dapat dimaklumi. Ini
mengingat selama 32 tahun di bawah rezim Orde Baru, tata sosial
selalu dimaknai sebagai pembungkaman saluran-saluran partisipasi
politik. Merawat tatanan sosial pada masa lalu identik dengan teror
kekerasan negara terhadap mereka yang kritis.

Namun, hal yang luput dipertimbangkan bahwa demokrasi dan


hal-hal substansial di dalamnua, yakni kebebasan dan partisipasi,
adalah buah dari keberhasilan negara demokrasi. Jadi, demokrasi
bukan hanya perlu diperdalam, demokrasi juga perlu dilindungi dari
kekuatan-kekuatan di luar dirinya berusaha mengancurkan tatanan
demokrasi.

Dalam konteks seperti ini, beberapa kebijakan pemerintah


untuk menangkal ancaman terhadap tata sosial negara demokrasi,
seperti Perppu Ormas dan UU Antiterorisme, dalam dirinya tidak
harus dimaknai bertentangan dengan demokrasi. Sebab, hadirnya
rasa aman dalam negara demokrasi adalah prasyarat utama
demokrasi.

Landasan penting bagi tugas selanjutnya adalah jaminan


kesetaraan ataupun kebebasan politik dari setiap warga negara.
Yang absen dari inisiatif perundang-undangan dari negara adalah
argumen-argumen demokrasi untuk menghubungkan tugas
menjamin keamanan negara dan penyelenggaraan tatanan
demokrasi.

Karena itu, patut pula negara belajar pada negara-negara


Eropa, seperti Jerman, Inggris, atau Yunani, yang memperkuat
argumen demokrasi untuk bertindak tegas terhadap kelompok fasis
sayap kanan yang mengancam demokrasi.

Demokrasi dan partisipasi

Demokrasi sebagai pemenuhan hak-hak warga negara dan


keterlibatan partisipatoris warga bukanlah imperatif abstrak, tetapi
hidup dalam laku. budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, selain
pengawalan atas tata sosial, demokrasi hanya dapat hidup dalam
praktik kehidupan berkomunitas, yang ditandai hadirnya solidaritas
sosial sebagai napas hidupnya.

Satu hal yang patut dipertimbangkan terkait dengan eksplosi


fanatisme dan stop antidemokrasi, terutama di kalangan kelas
menengah urban, adalah absennya solidaritas bersama. Hal ini
dapat ditemui, misalnya, dalam kehidupan di kampus-kampus.
Maraknya ketertarikan mahasisvva baru terhadap fenomena
fanatisme beragama terjadi dalam suasana alienasi sosial, ketika
komunikasi yang terbuka dan lintas budaya tidak terjadi, dan setiap
orang berlindung di balik kepompong identitasnya untuk dapat
eksis secara sosial.

Tentu negara tak boleh diam Inisiatif-inisiatif yang dapat


dilakukan oleh negara berupa fasilitasi atas kerja-kerja budaya
antarkomunitas sosial untuk menggali lebih dalam tradisi-tradisi
yang menyejarah dan berakar pada memori kolektif kewargaan,
memperkuat solidaritas dan partisipasi sosial agar demokrasi dapat
tumbuh sehat dan dinamis.

Kerja konkret yang dapat dilakukan dapat berupa mendorong


institusi seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, atau lembaga terkait agar membangun narasi
demokratik dan hadir dalam komunitas sosial. Juga melibatkan
mereka menggali tradisi historis berbudaya, bersarna dengan
budayawan dan akademisi lokal, untuk mengelaborasi kearifan dan
pengetahuan di tingkat lokal, merenung dan berdialog bersama
untuk merawat harapan dan menjaga ketahanan budaya
berdemokrasi.

Strategi kebudayaan seperti inilah, misalnya, yang pernah


diselenggarakan oleh AS pada era Franklin Delano Roosevelt (FDR)
ketika mayoritas warganya mengalami krisis sosial sejak depresi
besar 1929. Formulasi New Deal dari FDR untuk melawan krisis
sosial tidak saja terbumikan melalui penguatan kebijakan struktural,
juga strategi kebudayaan berupa pelibatan para budayawan,
akademisi, tokoh masyarakat yang saling terkonsolidasi untuk
merawat harapan melewati krisis dan menemukan kehidupan lebili
baik (Nussbaum, 2013).

Langkah-langkah kebijakan strategis di atas tentu tidak mudah


untuk diimplementasikan mengingat problem sosial yang terjadi di
era reformasi .tidak terlepas dari problem relasi kelaiasaan yang
menghambat capaian-capaian demokrasi.

Meski demikian, seperti pernah diutarakan intelektual inisiator


cultural studies Raymond Williams, sikap progresif ditentukan oleh
seberapa kuat kita berjuang di atas harapan dalam kondisi yang
dianggap tidak mungkin, daripada meyakinkan bahwa ketiadaan
harapan itu begitu pasti.•

=================

Kompas, Rabu, 16 Mei 2018


Halaman 6 Kolom 2 - 6

Anda mungkin juga menyukai