Anda di halaman 1dari 4

OPINI

Feminisasi Gerakan Radikal


Lies Marcos
Koordinator Program Berdaya, Rumah Kitab

Betapa pun pahitnya, terdapat sejumlah pembelajaran penting dari


tragedi bom Surabaya (13-14  Mei 2018). Salah satunya tentang pelibatan
perempuan dan anak-anak sebagai "pelaku" bom bunuh diri.

Tulisan ini hendak memetakan kemungkinan terjadinya perubahan


pola dalam pelibatan perempuan dan anak sebagai pelaku penyerangan
oleh kelompok radikal, serta bagaimana perempuan dalam perannya
sebagai ibu menjadi pelaku aktif gerakan radikal kekerasan.

Sejak lima tahun terakhir, para pemerhati gerakan radikal,  baik di


dunia internasional maupun di Indonesia, telah mengenali adanya
pelibatan perempuan dewasa sebagai pelaku aksi kekerasan. Bacaan itu
telah membawa pada sejumlah hipotesis yang menyatakan bahwa
keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal disebabkan oleh relasi
kuasa yang sangat timpang, yang menyebabkan mereka secara terpaksa
ikut kehendak suaminya yang lebih dulu terpapar oleh radikalisme.

Pelaku aktif-langsung

Anggapan serupa bisa jadi benar. Namun, mengingat yang


dipertaruhkan adalah nyawa dan bukan hanya satu tetapi empat,  hampir
tidak mungkin  ketimpangan relasi kuasa melahirkan keyakinan untuk
secara aktif "berjihad". Sebab ketimpangan relasi kuasa tak akan
melahirkan penundukkan penuh tanpa ada isyarat perlawanan.
Sebaliknya  proses ideologisasi akan mampu melahirkan peran keagenan
perempuan dalam gerakan radikal.
Penelitian Rumah Kitab soal pendidikan karakter memperlihatkan
peran dan pengaruh ibu dalam menetapkan sikap intoleransi kepada
anak,  dengan alasan untuk  melidungi keyakinan anak  dari pengaruh
keyakinan lain (2016). Studi Rumah Kitab lainnya menunjukkan,
perempuan dalam kelompok radikal merupakan pelaku aktif yang
menjadikan tubuh, kehidupannya  dan keluarganya sebagai
pengejawantahan ideologi yang dianutnya, seperti penerapan syariah
sesuai dengan yang dipahaminya (2014).

Analisis lain dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa


perempuan dalam kelompok radikal  memiliki hasrat untuk ikut
menegakkan hukum agama yang diyakininya. "Kalau saya diperbolehkan
imam ke Suriah, biar saya saja yang berangkat, habis suami saya
penakut" demikian seorang istri bercerita tentang betapa besarnya hasrat
untuk ikut ke kancah perang untuk memerangi musuh-musuh agamanya.
Di luar alasan itu, perempuan dalam kelompok radikal kekerasan juga
menghendaki untuk direkognisi peran dalam kelompoknya.

Sebagian mereka sama sekali tak berminat menjalankan peran-


peran penopang dalam ber-"jihad" kecil, sebagaimana dilakukan
perempuan secara tradisional seperti beranak banyak, atau menyiapkan
anak menjadi tentara Tuhan (jundullah), atau  sabar dan ikhlas sepanjang
suami sedang berperang.

Namun, dalam perkembangannya, mereka  lebih berminat


menjadi pelaku langsung aksi radikal atau jihad akbar. Fenomena itu
tampaknya  menunjukkan telah terjadinya  proses maskulinisasi gerakan
radikal kekerasan,  yang ditandai dengan terlibatnya perempuan sebagai
pelaku tindakan kekerasan secara langsung. Di dunia internasional orang
pun mengenali perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri, seperti yang
dilakukan Hasna Aitboulahcen,  di Saint-Denis, Perancis, tahun 2015.

Pada mulanya perempuan memang diberi peran  untuk


menjalankan peran-peran feminin tradisional yang mengadopsi
pembagian kerja dalam keluarga; lelaki ke luar untuk ber-"jihad" istri
menjadi pihak penopang dan mengurus anak-anak. Namun, dalam
perkembangannya terjadi perubahan di internal mereka. Ini terutama
karena  aparat keamanan di berbagai negara semakin ketat dalam
melakukan pengawasan kepada lelaki yang dicurigai. Situasi ini
mendorong untuk  melibatkan kaum muda perempuan dalam aksi
kekerasan. Dalam waktu yang bersamaan, adanya penghargaan dan
pemujaan yang luar biasa terhadap mereka yang langsung bertempur  di
kancah peperangan telah menarik minat dan hasrat, tak terkecuali
perempuan.

Kajian Sidney Jones menunjukkan sejumlah perempuan muda di


Indonesia yang terlibat dalam gerakan radikal yang tak lagi berminat
sebagai pengumpul uang derma perjuangan (fa'i), atau menjalankan
peran tradisional mereka seperti menjadi istri dan ibu meskipun mereka
tetap berhasrat untuk diperistri para petinggi organisasi radikal di mana ia
bernaung. Perempuan muda yang terlibat dalam gerakan radikal itu
secara aktif mengambil pola-pola maskulin dalam aksi "jihad", seperti ikut
ke  kancah perang, atau mempelajari teknologi perakitan bom, atau
menjadi pembawa bom bunuh diri. Corak maskulin dalam kelompok
radikal kekerasan ini diimpikan oleh perempuan-perempuan muda  yang
mendambakan untuk terlibat langsung dalam perang di Suriah.

Namun aksi radikal kekerasan yang dilakukan lelaki maupun


perempuan tak lagi mudah mereka lakukan. Pengawasan pihak keamanan
tak lagi terlalu bias gender dengan anggapan hanya lelaki yang bisa
menjadi pembawa bom dan pelaku bom bunuh diri. Dalam kasus "bom
panci" misalnya, kelompok radikal kekerasan gagal menjadikan Dian Novi
sebagai pengantin melakukan bom bunuh diri.

Mengadopsi maskulinitas

Lalu bagaimana dengan perempuan yang telah berkeluarga?


Hasrat untuk mengubah watak pengabdiannya menjadi pelaku aktif
kekerasan radikal mendapat tantangan yang tidak kecil. Perhatian pihak
keamanan boleh jadi tak sekadar kepada lelaki dan perempuan muda.
Namun  langkah mereka terbatas. Tantangan utamanya adalah adanya
anak-anak. Karena itu mereka begitu bangga jika suaminya  dapat
diyakinkan ikut "berangkat", atau  memiliki banyak anak lelaki yang
diyakini kelak menjadi pelanjut perjuangan. Sebab, dalam tafsir mereka,
hanya anak lelaki yang berjihad yang  dapat membawa ibunya masuk ke
dalam surga.

Meskipun dengan langkah yang terbatas, bukan berarti


perempuan yang telah berkeluarga tak memiliki peluang untuk
melakukan upaya "jihad".  Anak dan suami bagi mereka merupakan
ladang amal.  Sejumlah kasus dari  mereka yang  ber-'hijrah' ke Suriah
benar-benar  mendapatkan penguatan dari istrinya yang menghendaki
agar keluarganya selamat dengan memasuki negara yang dicita-citakan,
yang akan melindungi dari kematian sia-sia.

Feminisasi gerakan radikal justru terjadi di sini. Ketika kaum lelaki


dan atau kelompok perempuan yang mengambil peran aktif  dalam
gerakan radikal dengan mengadopsi peran maskulin mengalami
kegagalan, perempuan dalam perannya  sebagai ibu dengan karakter
femininnya dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk melancarkan 
aksinya. Sang ibu niscaya telah terlebih dahulu memiliki ideologi radikal,
baik diperoleh dari suaminya atau dari lingkungan kelompoknya atau
proaktif mencarinya melalui media. Tanpa peran ibu yang memiliki
ideologi kuat soal gerakan radikal kekerasan, hampir mustahil sebuah
keluarga dapat teryakinkan untuk melakukan bom bunuh diri bersama.

Namun, satu hal yang tampaknya tidak bisa disangkal adalah


terjadinya perubahan dalam pola aksi kekerasan. Bukan lagi dari individu
lelaki dewasa kepada individu perempuan dewasa, melainkan dari
individu lelaki/perempuan dewasa kepada keluarga yang terdiri dari
bapak ibu dan anak. •
=================

Kompas, Rabu, 16 Mei 2018


Halaman 7 Kolom 3 – 7

Anda mungkin juga menyukai