Anda di halaman 1dari 64

Lampiran

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah


Nomor : 332/KPTS/M/2002
Tanggal : 21 Agustus 2002
Tentang : Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan
Gedung Negara

BAB I
UMUM

A. PENGERTIAN
1. BANGUNAN GEDUNG
Yang dimaksud dengan bangunan gedung adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya untuk kegiatan hunian atau tinggal, kegiatan
usaha, kegiatan sosial, kegiatan budaya, dan/atau kegiatan khusus.
2. BANGUNAN GEDUNG NEGARA
Bangunan Gedung Negara adalah bangunan gedung untuk keperluan dinas yang
menjadi/akan menjadi kekayaan milik negara dan diadakan dengan sumber
pembiayaan yang berasal dari dana APBN, dan/atau APBD, dan/atau sumber
pembiayaan lainnya, antara lain seperti : gedung kantor, gedung sekolah, gedung
rumah sakit, gudang, dan rumah negara, yang dapat dibedakan atas :
a. Bangunan Gedung Negara Pusat, yaitu bangunan gedung untuk keperluan dinas
pelaksanaan tugas Pusat/Nasional;
b. Bangunan Gedung Negara Provinsi, yaitu bangunan gedung untuk keperluan dinas
pelaksanaan tugas otonomi Provinsi;
c. Bangunan Gedung Negara Kabupaten/Kota, yaitu bangunan gedung untuk
keperluan dinas pelaksanaan tugas otonomi Kabupaten/Kota;
d. Bangunan Gedung Negara BUMN/BUMD, yaitu bangunan gedung untuk
keperluan dinas pelaksanaan tugas BUMN/BUMD.
3. PENGADAAN
Yang dimaksud dengan pengadaan adalah proses menyediakan bangunan gedung baik
melalui proses pembangunan, pembelian, hibah maupun proses tukar menukar, tukar
bangun, maupun kerjasama operasi.
4. PEMBANGUNAN
Yang dimaksud dengan pembangunan adalah proses mendirikan bangunan gedung
baik merupakan pembangunan baru, perbaikan sebagian atau seluruhnya, maupun
perluasan bangunan gedung yang sudah ada, maupun lanjutan pembangunan bangunan
gedung yang belum selesai, dan/atau perawatan (rehabilitasi, renovasi, restorasi), yang
terdiri dari tahap perencanaan konstruksi dan tahap pelaksanaan konstruksi.
5. INSTANSI TEKNIS SETEMPAT

1
a. Untuk Bangunan Gedung Negara Pusat dan BUMN, Instansi Teknis setempat
adalah :
1) Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah untuk wilayah Pusat dan DKI
Jakarta, atau;
2) Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/Dinas Pekerjaan Umum/Dinas
Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung
untuk wilayah Provinsi, di luar DKI Jakarta.
b. Untuk Bangunan Gedung Negara Provinsi dan BUMD Provinsi, Instansi Teknis
setempat adalah Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/Dinas Pekerjaan
Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan
bangunan gedung untuk wilayah Provinsi.
c. Untuk Bangunan Gedung Negara Kabupaten/Kota dan BUMD Kabupaten/Kota,
Instansi Teknis setempat adalah Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah/Dinas
Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dalam
pembinaan bangunan gedung untuk wilayah Kabupaten/Kota.

B. ASAS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA


Pelaksanaan pembangunan bangunan gedung negara berasaskan :
1. Hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan;
2. Terarah dan terkendali sesuai rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap
Departemen/Lembaga/Instansi pengguna bangunan gedung;
3. Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negri dengan
memperhatikan kemampuan/potensi nasional.

C. MAKSUD DAN TUJUAN


1. Pedoman ini dimaksudkan sebagai petunjuk pelaksanaan bagi para penyelenggara
pembangunan dalam melaksanakan pembangunan bangunan gedung negara;
2. Dengan pedoman ini diharapkan :
a. Bangunan gedung negara diselenggarakan sesuai dengan fungsinya, memenuhi
persyaratan keselamatan, kesehatan, kemudahan, dan kenyamanan, serta efisiensi
dalam penggunaan sumber daya dan serasi dengan lingkungannya;
b. Penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara dapat berjalan dengan
tertib, efektif dan efisien.

D. LINGKUP MATERI PEDOMAN


Lingkup materi Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara adalah sebagai
berikut :
1. Bab I : Umum, yang memberikan gambaran umum, meliputi pengertian, asas
bangunan gedung negara, maksud dan tujuan, serta lingkup materi pedoman.

2
2. Bab II : Persyaratan Bangunan Gedung Negara, meliputi klasifikasi bangunan
gedung negara, tipe rumah negara, standar luas, persyaratan teknis, dan persyaratan
administrasi bangunan gedung negara.
3. Bab III : Tahapan Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi tahapan
persiapan, perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, masa pemeliharaan
konstruksi, dan pendaftaran bangunan gedung negara.
4. Bab IV : Pembiayaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi standar
harga satuan tertinggi, komponen pembiayaan pembangunan, pembiayaan
pembangunan pekerjaan standar, dan pekerjaan nobo-standar bangunan gedung
negara.
5. Bab V : Tata Cara Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi ketentuan
penyelenggara pembangunan, organisasi dan tata laksana, prosedur penyelenggaraan,
pedoman perawatan/pemeliharaan, serta pembinaan dan pengawasan teknis.
6. Bab VI : Penutup, penjelasan yang menguraikan apabila terjadi persoalan atau
penimpangan dalam penerapan pedoman teknis penyelenggaraan pembangunan
bangunan gedung negara.

BAB II
PERSYARATAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA

A. KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG NEGARA


1. BANGUNAN SEDERHANA
Klasifikasi bangunan sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter
sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana, atau bangunan
gedung negara yang sudah ada disain protoripenya. Masa penjaminan kegagalan
bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun.
Yang termasuk klarifikasi Bangunan Sederhana, antara lain :
 Gedung kantor yang sudah ada disain prototipenya, atau bangunan gedung kantor
dengan jumlah lantai s.d. 2 lantai dengan luas sampai dengan 500 m2;
 Bangunan rumah dinas tipe C, D, dan E yang tidak bertingkat;
 Gedung pelayanan kesehatan; puskesmas;
 Gedung pendidikan tingkat dasar dan/atau lanjutan dengan jumlah lantai s.d. 2
lantai.

3
2. BANGUNAN TIDAK SEDERHANA
Klasifikasi bangunan tidak sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter
tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan atau teknologi tidak sederhana. Masa
penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun.
Yang termasuk klarifikasi Bangunan Tidak Sederhana, antara lain :
 Gedung kantor yang belum ada disain prototipenya, atau gedung kantor dengan
luas di atas dari 500 m2, atau gedung kantor bertingkat di atas 2 lantai;
 Bangunan rumah dinas tipe A dan B; atau rumah dinas C, D, dan E yang
bertingkat;
 Gedung Rumah Sakit Kelas A, B, C, dan D;
 Gedung pendidikan tinggi Universitas/Akademi; atau gedung pendidikan
dasar/lanjutan bertingkat di atas 2 lantai.

3. BANGUNAN KHUSUS
Klasifikasi bangunan khusus adalah bangunan gedung negara yang memiliki
penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya
memerlukan penyelesaian/teknologi khusus. Masa penjaminan kegagalan
bangunannya minimum adalah 10 (sepuluh) tahun.
Yang termasuk klarifikasi Bangunan Khusus. antara lain :
 Istana Negara dan Rumah Jabatan Presiden & Wakil Presiden;
 Wisma Negara;
 Gedung Isntalasi Nuklir;
 Gedung Laboratorium;
 Gedung Terminal Udara/Laut/Darat;
 Stasiun Kereta Api;
 Stadion Olahraga;
 Rumah Tahanan;
 Gudang benda berbahaya;
 Gedung bersifat monumental;
 Gedung untuk pertahanan;
 Gedung kantor perwakilan negara R.I. di luar negri.

4
B. TIPE BANGUNAN RUMAH NEGARA
Untuk bangunan rumah negara, disamping klasifikasinya berdasarkan klasifikasi
bangunan gedung negara tersebut diatas. Juga digolongkan berdasarkan tipe yang
didasarkan pada tingkat jabatan penghuninya.

Tipe Untuk Kepentingan Pejabat

1) Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kepala Lembaga


Khusus Tinggi/Tertinggi Negara;
2) Pejabat-Pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1).

1) Sekjen, Dirjen, Irjen, Kepala Badan, Deputi;


A
2) Pejabat-Pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1).

1) Sekjen, Dirjen, Irjen, Kepala Badan, Deputi;


B
2) Pejabat-Pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1).

1) Kepala Sub Direktorat, Kepala Bagian, Kepala Bidang;


C
2) Pejabat-Pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1).

1) Kepala Seksi, Kepala Sub Bagian;


D
2) Pejabat-Pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1).

1) Kepala Sub Seksi;


E
2) Pejabat-Pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1).

Untuk rumah pejabat daerah, tipe rumahnya dapat menyesuaikan dengan Tipe Bangunan
Rumah Negara di atas, dan atau ketentuan daerah yang berlaku.

C. STANDAR LUAS BANGUNAN GEDUNG NEGARA


1. GEDUNG KANTOR
Dalam menghitung luas ruang bangunan gedung kantor yang diperlukan, dihutung
berdasarkan ketentuan sebagai berikut :
a. Standar luas ruang gedung kantor pemerintah yang termasuk klasifikasi tidak
sederhana rata-rata sebesar 9,6 m2 per-personil;
b. Standar luas ruang gedung kantor pemerintah yang termasuk klasifikasi sederhana
rata-rata sebesar 8 m2 per-personil.
Kebutuhan total luas gedung kantor dihitung berdasarkan jumlah personil yang akan
ditampung dikalikan standar luas sesuai dengan klasifikasi bangunannya.
Untuk bangunan gedung kantor yang memerlukan ruang-ruang khusus atau ruang
pelayanan masyarakat, kebutuhannya dihitung secara tersendiri di luar luas ruangan
untuk seluruh pesonil yang akan ditampung. Standar Luas Ruang Kerja Kantor
Pemerintah tercantum pada Tabel C.

5
2. RUMAH NEGARA
Standar luas Rumah Negara ditentukan sesuai dengan tipe peruntukannya, sebagai
berikut :

Tipe Luas Bangunan Luas Lahan*)

Khusus 400 m2 1.000 m2


A 250 m2 600 m2
B 120 m2 350 m2
C 70 m2 200 m2
D 50 m2 120 m2
E 36 m2 100 m2
Jenis dan jumlah ruang minimum yang harus ditampung dalam tiap Tipe Rumah
Negara, sesuai dengan yang tercantum dalam Tabel D. Luas teras beratap dihitung
50%, sedangkan luas teratas tidak beratap dihitung 30%.
*) Luas lahan disesuaikan dengan kondisi daerah/ketentuan yang diatur dalam RTRW
yang dituangkan dalam Peraturan Daerah.
3. STANDAR LUAS GEDUNG NEGARA LAINNYA
Standar luas gedung negara lainnya, seperti : sekolah/universitas, rumah sakit dan
lainnya mengikuti ketentuan-ketentuan luas ruang yang dikeluarkan oleh instansi yang
bersangkutan.

D. PERSYARATAN TEKNIS
Secara umum, persyaratan teknis bangunan gedung negara mengikuti ketentuan dalam :
 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan
Teknis Bangunan Gedung;
 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS/1998 tentang persyaratan
Teknis Akesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan;
 Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan
Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan;
 Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan Gedung, serta;
 Standar teknis lainnya yang berlaku.
Persyaratan teknis Bangunan Gedung Negara harus tertuang secara lengkap dan jelas pada
Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) dalam Dokumen Perencanaan.
Secara garis besar, persyaratan teknis bangunan gedung negara adalah sebagai berikut :
1. PERSYARATAN TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN
Persyaratan tata bangunan dan lingkungan bangunan gedung negara meliputi
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam pembangunan bangunan gedung
negara dari segi tata bangunan dan lingkungannya, sesuai dengan ketentuan yang

6
diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten/Kota atau Peraturan
Daerah tentang Bangunan Gedung Kabupaten/Kota yang bersangkutan, yaitu :
a. Peruntukan Lokasi
Setiap Bangunan gedung negara harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan
lokasi yang diatur dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
b. Jarak antar blok/massa bangunan
Sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah setempat tentang
Bangunan Gedung, maka jarak antar blok/masa bangunan harus
mempertimbangkan hal-hal seperti :
1) Keselamatan terhadap bahaya kebakaran;
2) Kesehatan, termasuk sirkulasi udara dan pencahayaaan;
3) Kenyamanan;
4) Keselarasan dan kesimbangan dengan lingkungan.
c. Ketinggian bangunan
Ketinggian bangunan gedung negara, sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Daerah setempat tentang ketinggian maksimum bangunan pada lokasi,
maksimum adalah 8 lantai.
Untuk bangunan gedung negara yang akan dibangun lebih dari 8 lantai, harus
mendapat persetujuan dari :
1) Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Ketua Bappenas setelah memperoleh pendapat teknis dari Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah, untuk bangunan gedung negara yang
pembiayaannya bersumber dari APBN;
2) Gubernur, setelah memperoleh pendapat teknis dari Instansi Teknis setempat,
untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber pada APBD
Provinsi;
3) Bupati/Walikota, setelah memperoleh pendapat teknis dari Instansi Teknsi
setempat, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber
pada APBD Kabupaten/Kota.
d. Ketinggian langit-langit
Ketinggian langit-langit bangunan gedung kantor minimum adalah 2,80 meter
dihitung dari permukaan lantai. Untuk bangunan gedung olah-raga, ruang
pertemuan, dan bangunan lainnya dengan dengan fungsi yang memerlukan
ketinggian langit-langit khusus, agar mengikuti Standar Nasional Indonesia yang
berlaku.
e. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
Ketentuan besarnya Koefisien Dasar Bangunan (KDB) mengikuti ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan Gedung untuk lokasi
yang bersangkutan.
f. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)

7
Ketentuan besarnya Koefisien Lantai Bangunan (KLB) mengikuti ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan Gedung untuk lokasi
yang bersangkutan.
g. Koefisien Daerah Hijau (KDH)
Perbandingan antara luas seluruh daerah hijau dengan luas persil bangunan gedung
negara, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah Setempat tentang
bangunan, harus diperhitungkan dengan mempertimbangkan :
1) Daerah resapan air;
2) Ruang terbuka hijau.
Untuk bangunan gedung yang mempunyai KDB kurang dari 40%, harus
mempunyai KDH minimum sebesar 15%.
h. Garis Sempadan Bangunan
Ketentuan besarnya garis sempadan, baik garis sempadan pagar maupun garis
sempadan bangunan harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Daerah setempat tentang Bangunan Gedung untuk lokasi yang bersangkutan.
i. Wujud Arsitektur
Wujud arsitektur bangunan gedung negara harus memenuhi kriteria-kriteria
sebagai berikut :
1) Mencerminkan fungsi sebagai bangunan gedung negara;
2) Seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya;
3) Indah namun tidak berlebihan;
4) Efisien dalam penggunaan sumber daya dalam pemanfaatan dan
pemeliharaannya;
5) Memenuhi tuntutan sosial budaya setempat;
6) Pelestarian bangunan bersejarah.
j. Kelengkapan Sarana dan Prasarana Lingkungan Bangunan
Bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana bangunan
yang memadai, dengan biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pekerjaan
non-standar. Prasarana dan sarana bangunan yang harus ada pada bangunan
gedung negara, seperti :
1) Sarana parkir kendaraan;
2) Sarana untuk penyandang cacat;
3) Sarana penyediaan air bersih;
4) Sarana drainase, limbah, dan sampah;
5) Sarana ruang terbuka hijau;
6) Sarana hidran kebakaran halaman;
7) Sarana penerangan halaman;
8) Sarana jalan masuk dan keluar.
k. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan Asuransi

8
1) Setiap pembangunan bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan
K3, sesuai yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersana Menteri Tenaga
Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : Kep. 174/MEN/1986 dan
104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat
Kegiatan Konstruksi, dan atau peraturan penggantinya.
2) Ketentuan asuransi selama pelaksanaan pembangunan bangunan gedung
negara mengikuti ketentuan yang berlaku.

2. PERSYARATAN BAHAN BANGUNAN


Bahan bangunan untuk bangunan gedung negara diupayakan menggunakan bahan
bangunan setempat/produksi dalam negeri, termasuk bahan bangunan sebagai bagian
dari sistem fabrikasi komponen bangunan. Spesifikasi teknis bahan bangunan gedung
negara meliputi ketentuan-ketentuan :
a. Bahan penutup lantai
1) Bahan penutup lantai menggunakan bahan ubin PC, teraso, keramik, papan
kayu, vinyl, marmer, granit, granito, maupun karpet yang disesuaikan dengan
fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya;
2) Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai
dengan jenis bahan penutup yang digunakan.
b. Bahan dinding
1) Bahan dinding pengisi : batu bata, batako, papan kayu, kaca dengan rangka
kayu/aluminium, panil grc, dan/atau aluminium;
2) Bahan dinding partisi : kayu lapis, kaca, particle board dan/atau gypsum-board
dengan rangka kayu kelas kuat II atau rangka lainnya, yang dicat tembok atau
bahan finishing lainnya, sesuai dengan fungsi ruang dan klasifikasi
bangunannya;
3) Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai
bahan jenis bahan dinding yang digunakan;
4) Untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah,
rumah negara, dan bangunan gedung lainnya yang telah ada komponen
fabrikasinya, bahan dindingnya dapat mengunakan bahan prefabrikasi yang
telah ada.
c. Bahan langit-langit
Bahan langit-langit terdiri atas rangka langit-langit dan penutup langit-langit :
1) Bahan kerangka langit-langit : digunakan bahan yang memenuhi standar
teknis, untuk penutup langit-langit kayu lapis atau yang setara, digunakan
rangka kayu kelas kuat II dengan ukuran minimum :
 5/7 cm untuk balok pembagi ;
 6/12 cm untuk balok penggantung, dan
 5/10cm untuk balok tepi.
2) Bahan penutup langit-langit : kayu lapis, aluminium, akustik, gypsum, atau
sejenis yang disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunannya ;

9
3) Lapisan finishing yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknsi dan
sesuai dengan jenis bahan penutup yang digunakan.
d. Bahan penutup atap
1) Bahan penutup atap bangunan gedung negara harus memenuhi ketentuan yang
diatur dalam SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku tentang bahan penutup atap, baik
berupa genteng, sirap, seng, aluminium, maupun asbes gelombang. Untuk
penutup atap dari bahan beton harus diberikan lapisan kedap air. Penggunaan
bahan penutup atap disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan serta
kondisi daerahnya.
2) bahan kerangka penutup atap : digunakan bahan yang memenuhi Standar
Nasional Indonesia. Untuk penutup atap genteng digunakan rangka kayu kelas
II dengan ukuran :
 2/3 cm untuk reng;
 5/7 cm untuk kaso.
e. Bahan kosen dan daun pintu/jendela
Bahan kosen dan daun pintu/jendela mengikuti ketentuan sebagai berikut :
1) Digunakan kayu kelas II dengan ukuran jadi minimum 5,5 cm x 11 cm dan
dicat kayu atau dipelitur sesuai persyaratan standar yang berlaku;
2) Rangka daun pintu untuk pintu yang dilapisi kayu lapis/teakwood digunakan
kayu kelas kuat II dengan ukuran minimum 3,5 cm x 10 cm, khusus untuk
ambang bawah minimum 3,5 cm x 20 cm. Daun pintu dilapis dengan kayu
lapis yang dicat atau dipelitur;
3) Daun pintu panil kayu digunakan kayu kelas II kuat, dicat kayu atau dipelitur;
4) Daun jendela kayu, digunakan kayu kelas II, dengan ukuran rengka minimum
3,5 cm x 8 cm, dicat kayu atau dipelitur;
5) Penggunaan kaca untuk daun pintu maupun jendela disesuaikan dengan fungsi
ruang dan klasifikasi bangunannya.
f. Bahan struktur
Bahan struktur bangunan baik untuk struktur beton bertulang, struktur kayu
maupun struktur baja harus mengikuti Standar Nasional Indonesia tentang Bahan
Bangunan yang berlaku.
Ketentuan penggunaan bahan bangunan untuk bangunan gedung negara tersebut di
atas, dimungkinkan disesuaikan dengan kemajuan teknologi bahan bangunan,
khususnya disesuaikan dengan kemampuan sumber daya setempat dengan tetap
harus mempertimbangkan kekuatan dan keawetannya sesuai dengan peruntukan
yang telah ditetapkan. Ketentuan lebih rinci agar mengikuti ketentuan yang diatur
dalam Standar Nasional Indonesia yang berlaku.

3. PERSYARATAN STRUKTUR BANGUNAN


Struktur bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan keselamatan (safety)
dan kelayakan (serviceability) dan standar konstruksi bangunan yang berlaku.

10
Spesifikasi teknis struktur bangunan gedung negara secara umum meliputi ketentuan-
ketentuan :
a. Struktur pondasi
1) Struktur pondasi harus diperhitungkan agar dapat menjamin kestabilan
bangunan terhadap berat sendiri, beban hidup dan gaya-gaya luar seperti
tekanan angin dan gempa termasuk stabilitas lereng apabila didirikan di lokasi
yang berlereng;
2) Pondasi bangunan gedung negara disesuaikan dengan kondisi tanah/lahan,
beban yang dipikul, dan klasifikasi bangunanya. Untuk bangunan yang
dibangun di atas tanah/lahan yang kondisinya memerlukan penyelesaian
pondasi secara khusus, maka kekurangan biayanya dapat diajukan secara
khusus di luar biaya standar sebagai biaya pekerjaan pondasi non-standar;
3) Untuk pondasi bangunan bertingkat lebih dari 3 lantai atau pada lokasi dengan
kondisi khusus maka perhitungan pondasi harus didukung dengan penyelidikan
kondisi tanah/lahan secara teliti.
b. Struktur lantai
Bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan sebagai
berikut :
1) Struktur lantai kayu
 Dalam hal digunakan lantai papan setebal 2 cm, maka jarak antara balok-
balok anak tidak boleh lebih dari 75 cm;
 Balok-balok lantai yang masuk ke dalam pasangan dinding harus dilapisi
bahan pengawet terlebih dahulu;
 Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku.
2) Struktur lantai beton
 Lantai beton yang diletakan langsung di atas tanah, harus diberi lapisan
pasir di bawahnya dengan tebal sekurang-kurangnya 5 cm;
 Bagi pelat-pelat lantai beton bertulang yang mempunyai ketebalan lebih
dari 25 cm harus digunakan tulangan rangkap, kecuali ditentukan lain
berdasarkan hasil perhitungan struktur;
 Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku.
3) Struktur lantai baja
 Tebal pelat baja harus diperhitungkan, sehingga bila ada lendutan masih
dalam batas kenyamanan;
 Sambungan-sambungannya harus rapat betul dan bagian yang tertutup
harus dilapisi dengan bahan pelapis untuk mencegah timbulnya korosi;
 Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku.
c. Struktur kolom
1) Struktur kolom kayu

11
Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku.
2) Struktur kolom pasangan bata
 Adukan yang digunakan sekurang-kurangnya harus mempunyai kekuatan
yang sama dengan adukan IPC : 3 PS;
 Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku.
3) Struktur kolom beton bertulang
 Kolom beton bertulang yang dicor di tempat harus mempunyai tebal
minimum 25 cm;
 Selimut beton bertulang minimum setebal 2,5 cm;
 Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SKBI/SKSNI/SNI yang berlaku.
4) Struktur kolom baja
 Kolom baja harus mempunyai kelangsingan () maksimum 150;
 Kolom baja yang dibuat dan profil tunggal maupun tersusun harus
mempunyai minimum 2 sumbu simetris;
 Sambungan antara kolom baja pada bangunan bertingkat tidak boleh
dilakukan pada tempat pertemuan antara balok dengan kolom, dan harus
mempunyai kekuatan minimum sama dengan kolom;
 Sambungan kolom baja yang menggunakan las harus menggunakan las
listrik, sedangkan yang menggunakan baut harus menggunakan baut mutu
tinggi;
 Penggunaan profil baja tipis yang dibentuk dingin, harus berdasarkan
perhitungan-perhitungan yang memenuhi syarat kekuatan, kekakuan, dan
stabilitas yang cukup;
 Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam SKBI/SKSNI/SNI yang berlaku.
d. Rangka atap, dan kemiringan atap
1) Umum
 Konstruksi atap harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan yang
dilakukan secara keilmuan/keahlian teknis yang sesuai;
 Kemiringan atap harus disesuaikan dengan bahan penutup atap yang akan
digunakan, sehingga tidak akan mengakibatkan kebocoran;
 Bidang atap harus merupakan bidang yang rata, kecuali dikehendaki
bentuk-bentuk khusus.
2) Sturktur rangka atap kayu
 Ukuran kayu yang digunakan harus sesuai dengan ukuran yang
dinormalisir;
 Rangka atap kayu harus dilapis bahan anti rayap;

12
 Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku.
3) Struktur rangka atap beton bertulang
Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku.
4) Struktur rangka atap baja
 Sambungan yang digunakan pada rangka atap baja baik berupa baut, paku
keling, atau las listrik harus memenuhi ketentuan pada Pedoman
Perencanaan Bangunan Baja untuk Gedung;
 Rangka atap baja harus dilapisi dengan pelapis anti korosi;
 Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan SNI/SKSNI/SKBI yang berlaku;
 Untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah,
dan rumah negara yang telah ada komponen fabrikasi, struktur rangka
atapnya dapat menggunakan komponen prefabrikasi yang telah ada.
Persyaratan struktur bangunan sebagaimana butir 3 huruf a s.d. d di atas secara lebih
rinci mengikuti ketentuan yang diatur dalam Standar Nasional Indonesia yang berlaku.

4. PERSYARATAN UTILITAS BANGUNAN


Utilitas yang berada di dalam dan di luar bangunan gedung negara harus memenuhi
persyaratan standar ulititas bangunan (SNI) yang berlaku. Spesifikasi teknis utilitas
bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan :
a. Air bersih
1) Setiap pembangunan baru bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan
prasarana air bersih yang memenuhi standar kualitas, cukup jumlahnya dan
disediakan dari saluran air minum kota (PDAM), atau sumur;
2) Setiap bangunan gedung negara, selain rumah negara (yang bukan dalam
bentuk rumah susun), harus menyediakan air bersih untuk keperluan
pemadaman kebakaran dengan mengikuti ketentuan dalam SNI yang berlaku;
3) Bahan pipa yang digunakan harus mengikuti ketentuan teknis yang ditetapkan.
b. Saluran air hujan
1) pada dasarnya semua air hujan harus dialirkan ke jaringan umum kota. Apabila
belum tersedia jaringan umum kota, maka harus dialirkan melalui proses
peresapan atau cara lain dengan persetujuan instansi teknis yang terkait;
2) Ketentuan lebih lanjut mengikuti ketentuan dalam SNI yang berlaku.
c. Pembuangan air kotor
1) Semua air kotor yang berasal dari dapur, kamar mandi, dan tempat cuci,
pembuangannya harus melalui pipa tertutup dan/atau terbuka sesuai dengan
persyaratan yang berlaku;
2) Pada dasarnya pembuangan air kotor yang berasal dari dapur, kamar mandi,
dan tempat cuci, harus dibuang atau dialirkan ke saluran umum kota;

13
3) Tetapi apabila ketentuan dalam butir 2) tersebut tidak mungkin dilaksanakan,
karena belum terjangkau oleh saluran umum kota atau sebab-sebab lain yang
dapat diterima oleh instansi teknis yang berwenang, maka pembuangan air
kotor harus dilakukan melalui proses pengolahan dan/atau peresapan.
d. Pembuangan limbah
1) Setiap bangunan gedung negara yang dalam pemanfaatannya mengeluarkan
limbah cair atau padat harus dilengkapi dengan tempat penampungan dan
pengolahan limbah, sesuai ketentuan dari peraturan yang berlaku;
2) Tempat penampungan dan pengolahan limbah dibuat dari bahan kedap air, dan
memenuhi persyaratan teknis yang berlaku sehingga tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan.
e. Pembuangan sampah
1) Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan tempat penampungan
sampah sementara yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang
dikeluarkan setiap harinya, sesuai dengan ketentuan dari peraturan yang
berlaku;
2) Tempat penampungan sampah sementara harus dibuat dari bahan kedap air,
mempunyai tutup, dan dapat dijangkau secara mudah oleh petugas
pembuangan sampah dari Dinas Kebersihan setempat.
f. Sarana pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai fasilitas pencegahan dan
penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam :
 Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor : 10/KPTS/2000 tentang
Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan
dan Lingkungan, dan
 Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor : 11/KPTS/2000 tentang
Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan;
 Peraturan Daerah setempat tentang Penanggulangan dan Pencegahan Bahaya
Kebakaran.
Beserta standar-standar teknis yang berlaku.
g. Instalasi listrik
1) Pemasangan instalasi listrik harus diperhitungkan dan aman sesuai dengan
Peraturan Umum Instalasi Listrik yang berlaku;
2) Setiap bangunan gedung negara yang dipergunakan untuk kepentingan umum,
bangunan khusus, dan gedung kantor tingkat Departemen/Kementerian/
Lembaga Tinggi/Tertinggi Negara, harus memiliki pembangkit listrik darurat
sebagai cadangan, yang besar dayanya dapat memenuhi kesinambungan
pelayanan;
3) Penggunaan pembangkit tenaga listrik harus memenuhi syarat keamanan
terhadap gangguan dan tidak boleh menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan.
h. Penerangan alam/pencahayaan

14
1) Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai penerangan
alam/pencahayaan yang cukup sesuai dengan fungsi ruang dalam bangunan
tersebut, sehingga kesehatan dan kenyamanan pengguna bangunan dapat
terjamin;
2) Ketentuan besarnya pencahayaan dan sarana/prasarananya mengikuti ketentuan
standar yang berlaku.
i. Tata udara
1) Setiap bangunan harus mempunyai tata udara yang sehat agar terjadi sirkulasi
udara segar di dalam bangunan untuk menjaga kesehatan dan kenyamanan
penghuni/penggunanya;
2) Penggunaan tata udara mekanik (air-conditioning) harus mengikuti ketentuan
standar yang berlaku;
3) Pemilihan jenis tata udara mekanik harus sesuai dengan fungsi bangunan dan
perletakan isntalasinya tidak menggangu wujud bangunan.
j. Sarana transportasi dalam bangunan
1) Setiap bangunan bertingkat harus dilengkapi dengan sarana transportasi
vertikal yang memadai, baik berupa tangga, eskalator, dan atau elevator (lift);
2) Setiap bangunan gedung negara yag bertingkat di atas 5 lantai, harus
dilengkapi dengan lift;
3) Penggunaan lift harus diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah
pengguna, waktu tunggu, dan jumlah lantai bangunan;
4) Pemilihan jenis lift harus mempertimbangkan jaminan pelayanan purna
jualnya;
5) Ruang lift harus merupakan dinding tahan api;
6) Ketentuan lebih rinci harus mengikuti ketentuan dari standar lift yang berlaku.
k. Sarana komunikasi
1) Pada prinsipnya, setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan
sarana komunikasi intern dan ekstern;
2) Penetuan jenis dan jumlah sarana komunikasi harus berdasarkan pada fungsi
bangunan dan kewajaran intern dan ekstern;
3) Ketentuan lebih rinci harus mengikuti ketentuan dari standar sarana
komunikasi yang berlaku.
l. Penangkal petir
1) Penentuan jenis dan jumlah sarana penangkal petir untuk bangunan gedung
negara harus berdasarkan pada lokasi bangunan, fungsi bangunan dan
kewajaran kebutuhan;
2) Ketentuan lebih rinci harus mengikuti ketentuan dari standar penangkal petir
yang berlaku.
m. Instalasi gas

15
1) Instalasi gas yang dimaksud meliputi instalasi gas pembakaran seperti gas
kota/LPG dan instalasi medis seperti gas oksigen, gas nitrogen dioksida (N2O),
udara tekan, dsb;
2) Rancangan sistem isntalasi dan ukuran pipa gas mengikuti ketentuan standar
teknis yang berlaku.
n. Kebisingan dan getaran
1) Bangunan gedung negara harus memperhitungkan baku tingkat kebisingan dan
atau getaran sesuai dengan fungsinya, dengan mempertimbangkan kenyamanan
dan kesehatan sesuai diatur dalam standar teknis yang berlaku;
2) Untuk bangunan gedung negara yang karena fungsinya mensyaratkan baku
tingkat kebisingan dan/atau getaran tertentu, agar mengacu pada hasil analisis
mengenai dampak lingkungan yang telah dilakukan atau ditetapkan oleh ahli.
o. Aksesibilitas bagi penyandung cacat
1) Bangunan gedung negara yang berfugsi untuk pelayanan umum dan sosial
harus dilengkapi dengan fasilitas yang memberikan kemudahan bagi
penyandang cacat;
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai aksesibilitas bagi penyandang cacat mengikuti
ketentuan dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468/KPTS/1999
tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan
Lingkungan.

5. PERSYARATAN SARANA PENYELAMATAN


Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana penyelamatan dari
bencana atau keadaan darurat, serta harus memenuhi persyaratan standar sarana
penyelamatan bangunan (SNI) yang berlaku. Spesifikasi teknis sarana penyelamatan
bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan :
a. Tangga penyelamatan
1) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus
mempunyai tangga penyelamatan;
2) Tangga penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api, minimum 2
jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis.
Pintu harus dilengkapi dengan lampu dan petunjuk KELUAR atau EXIT;
3) Tangga penyelamatan yang terletak di dalam bangunan harus dipisahkan dari
ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, serta jarak capai
maksimum 25 m;
4) Lebar tangga penyelamatan minimum adalah 1,20 m;
5) Tangga penyelamatan tidak boleh berbentuk tangga puntir;
6) Ketentuan lebih lanjut tentang tangga penyelamatan mengikuti ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam standar yang berlaku.
b. Penerangan darurat dan tanda penunjuk arah keluar
1) Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum
seperti : kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun),

16
asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan penerangan
darurat dan tanda penunjuk arak KELUAR/EXIT;
2) Tanda KELUAR/EXIT atau panah penunjuk arah harus ditempatkan pada
persimpangan koridor, jalan ke luar menuju ruang tangga, balkon atau teras,
dan pintu menuju tangga;
3) Ketentuan lebih lanjut tentang penerangan darurat dan tanda penunjuk arah
keluar mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang berlaku.
c. Pintu darurat
1) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus
dilengkapi dengan pintu darurat;
2) Lebar pintu darurat minimum 100 cm, membuka ke arah tangga penyelamatan,
kecuali pada lantai dasar membuka ke arah luar (halaman);
3) Jarak antara pintu darurat dalam satu blok bangunan gedung maksimum 25 m
dari segala arah;
4) Ketentuan lebih lanjut tentang pintu darurat mengikuti ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam standar yang berlaku.
d. Koridor/selasar
1) Lebar koridor minimum 1,80 m;
2) Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu kebakaran atau arah keluar yang
terdekat tidak boleh lebih dari 25 m;
3) Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukkan
arah ke pintu kebakaran atau arah keluar.
e. Sistem Peringatan Bahaya
1) Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum
seperti : kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun),
asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan sistem
komunikasi internal dan sistem peringatan bahaya;
2) Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal tersebut mengacu pada
ketentuan/standar teknis yang berlaku.
Penerapan persyaratan teknis bangunan gedung negara sesuai klarifikasinya terulang
dalam Tabel A1, sedangkan persyaratan teknis khusus untuk rumah negara tertuang dalam
Tabel A2.

E. PERSYARATAN ADMINISTRASI
Setiap Bangunan Gedung Negara harus memenuhi persyaratan administrasi baik dalam
tahap pembangunan maupun tahap pemanfaatan bangunan gedung negara.
Persyaratan adminstrasi bangunan gedung negara meliputi pemenuhan persyaratan :
1. DOKUMEN PEMBIAYAAN
Setiap kegiatan pembangunan Bangunan Gedung Negara harus disertai/memiliki bukti
tersedianya anggaran yang diperuntukkan untuk pembiayaan kegiatan tersebut yang
disahkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundangan yang berlaku

17
yang dapat berupa Daftar Isian Proyek (DIP) atau dokumen lainnya yang
dipersamakan, termasuk surat penunjukan/penetapan Pimpinan Proyek. Dalam
dokumen pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara terdiri atas :
a. Biaya pelaksanaan konstruksi fisik;
b. Biaya perencanaan konstruksi;
c. Biaya manajemen kosntruksi/pengawasan konstruksi;
d. Biaya pengelolaan proyek.

2. STATUS HAK ATAS TANAH


Setiap bangunan gedung negara harus memiliki kejelasan tentang status hak atas tanah
lokasi tempat bangunan gedung negara berdiri. Kejelasan status atas tanah ini dapat
berupa hak milik atau hak guna bangunan. Status hak atas tanah ini dapat berupa
sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah Instansi/lembaga pemerintah/negara
yang bersangkutan.

3. PERIZINAN
Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen perizinan yang berupa : Izin
Mendirikan Bangunan, dan Izin Penggunaan Bangunan dalam hal Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan mengharuskan adanya IPB dari Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota setempat, serta Izin Penghunian dari Satminkal yang
bersangkutan bagi rumah negara.

4. DOKUMEN PERENCANAAN
Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen perencanaan, yang
dihasilkan dari proses perencanaan teknis, baik yang dihasilkan oleh Penyedia Jasa
Perencana Konstruksi, Tim Swakelola Perencanaan, ataupun yang berupa Disain
Prototipe dari bangunan gedung negara yang bersangkutan.

5. DOKUMEN PEMBANGUNAN
Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen pembangunan yang terdiri
atas : Dokumen Perencanaan, Izin Mendirikan Bangunan, Dokumen Pelelangan,
Dokumen Kontrak Kerja Konstruksi, dan As Built Drawings, hasil uji coba/test run
operational, dan Sertifikat Penjamin atas Kegagalan bangunan sesuai ketentuan yang
berlaku.

6. DOKUMEN PENDAFTARAN
Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen pendaftaran untuk
pencatatan dan penetapan HDNO meliputi :
a. Fotokopi Dokumen Pembiayaan/DIP (otorisasi pembiayaan);
b. Fotokopi sertifikasi atau bukti kepemilikan/hak atas tanah;
c. Kotrak Kerja Konstruksi Pelaksanaan;

18
d. Berita Acara Serah Terima I dan II;
e. As built drawings (gambar sesuai yang dilaksanakan) disertai gambar leger;
f. Fotokopi Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Surat Izin Penggunaan
Bangunan (IPB) dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan
mengharuskan adanya IPB.

BAB III
TAHAP PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA

A. PERSIAPAN
1. PENYUSUNAN PROGRAM DAN PEMBIAYAAN
Penyusunan program dan pembiayaan bangunan adalah merupakan tahap awal proses
penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara, yang merupakan kegiatan
menentukan program kebutuhan ruang dan fasilitas bangunan yang diperlukan sesuai
dengan fungsi dan tugas pekerjaan dari isntansi yang bersangkutan, serta penyusunan
kebutuhan biaya pembangunannya.
a. Penyusunan program dan pembiayaan pembangunan adalah merupakan tahap awal
proses penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara disusun oleh
instansi yang memerlukan bangunan gedung negara, yaitu Pemegang Mata
Anggaran;
b. Penyusunan program kebutuhan dan pelaksanaan pembangunan bangunan gedung
negara dilakukan dengan :
1) Menentukan kebutuhan luas ruang bangunan yang akan dibangun, antara lain :
 Ruang kerja;
 Ruang sirkulasi;
 Ruang penyimpanan;
 Ruang mekanikal/elektrikal;
 Ruang pertemuan, dan
 Ruang-ruang lainnya.
Yang disusun sesuai kebutuhan dan fungsi bangunan gedung.
2) Menentukan kebutuhan prasarana dan sarana bangunan gedung, antara lain :
 Kebutuhan parkir;
 Sarana penyelamatan;
 Utilitas bangunan;

19
 Sarana transportasi;
 Jalan masuk dan keluar;
 Aksesibilitas bagi penyandang cacat;
 Drainase dan pembuangan limbah, serta
 Prasarana dan sarana lainnya sesuai dengan kebutuhan dan fungsi
bangunan gedung.
Yang disusun sesuai kebutuhan dan fungsi bangunan gedung.
3) Mentukan kebutuhan lahan bangunan;
4) Menyusun jadwal pelaksanaan pembangunan.
Penyusunan program kebutuhan dilakukan dengan mengikuti pedoman, standar,
dan petunjuk teknis pembangunan bangunan gedung negara yang berlaku.
c. Penyusunan program kebutuhan bangunan gedung negara yang belum ada disain
prototipenya dan luasnya bangunannya di atas 1.500 m2, dapat menggunakan jasa
konsultan ahli, sebagai pekerjaan non-standar;
d. Berdasarkan program kebutuhan yang telah ditetapkan, selanjutnya disusun
kebutuhan pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara yang
bersangkutan, yang terdiri atas :
1) Biaya pelaksanaan konstruksi fisik;
2) Biaya perencanaan konstruksi;
3) Biaya manajemen konstruksi atau pengawasan konstruksi, dan
4) Biaya pengelolaan proyek.
e. Penyusunan pembiayaan bangunan gedung negara didasarkan pada standar harga
per-m2 tertinggi bangunan gedung negara yang berlaku. Untuk penyusunan
program dan pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara yang belum ada
standar harganya atau memerlukan penilaian khusus, harus dikonsultasikan kepada
Instansi Teknis setempat;
f. Pembangunan bangunan gedung negara yang pelaksanaan pembangunannya akan
dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (sebagai multi-years project), program
dan pembiayaannya harus mendapat persetujuan dari :
1) Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Ketua Bappenas setelah memperoleh pendapat teknis dari Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah, untuk bangunan gedung negara yang
pembiayaannya bersumber dari APBN;
2) Gubernur, setelah memperoleh pendapat teknis dari Instansi Teknis setempat,
untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber pada APBD
Provinsi;
3) Bupati/Walikota, setelah memperoleh pendapat teknis dari Instansi Teknis
setempat, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber
pada APBD Kabupaten/Kota.
g. Dokumen program dan pembiayaan merupakan dokumen yang harus diserahkan
kepada pimpinan proyek yang ditetapkan untuk melaksanakan pembangunan
bangunan gedung negara yang bersangkutan, sebagai bahan acuan.

20
2. PERSIAPAN PROYEK
a. Tahap persiapan proyek merupakan kegiatan persiapan setelah program dan
pembiayaan tahunan yang diajukan telah disetujui atau DIP telah diterima oleh
pimpinan proyek;
b. Tahap persiapan proyek dilakukan oleh pemegang mata anggaran, yang
pelaksanaannya dilakukan oleh pimpinan proyek, berdasarkan program dan
pembiayaan yang telah disusun sebelumnya;
c. Kegiatan yang harus dilakukan oleh pimpinan proyek pembangunan bangunan
gedung engara meliputi :
1) Pembentukan Organisasi Pengelola Proyek dan Panitia Pengadaan Barang dan
Jasa yang diperlukan;
2) Pengadaan Konsultan manajemen Konstruksi untuk proyek yang menggunakan
penyedia jasa manajemen konstruksi.

B. PERENCANAAN KONSTRUKSI
1. Perencanaan konstruksi merupakan tahap penyusunan rencana teknis (disain)
bangunan, termasuk yang penyusunannya dilakukan dengan menggunakan disain
berulang atau dengan disain prototipe, sampai dengan penyiapan dokumen lelang;
2. Penyusunan rencana teknis bangunan dilakukan dengan menggunakan penyedia jasa
perencana konstruksi, baik perorangan ahli maupun badan hukum yang kompeten,
sesuai ketentuan yang berlaku;
3. Rencana teknis disusun berdasarkan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang disusun oleh
pengelola proyek dan ketentuan teknis (pedoman dan standar teknis) yang berlaku;
4. Dokumen rencana teknis bangunan secara umum meliputi :
a. Gambar-gambar rencana teknis bangunan, seperti rencana arsitektur, rencana
struktur, dan rencana utilitas bangunan;
b. Rencana kerja dan syarat-syarat (RKS), yang meliputi persyaratan umum,
administrasi dan persyaratan teknis bangunan yang direncanakan;
c. Rencana anggaran biaya pembangunan;
d. Laporan akhir perencanaan, yang meliputi :
1) Laporan arsitektur;
2) Laporan perhitungan struktur; dan
3) Laporan perhitungan utilitas.
e. Keluaran akhir tahap perencanaan adalah dokumen pelelangan, yaitu Gambar
Rencana Teknis, Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS), Rencana Anggaran
Biaya (Engineering Estimate), dan Daftar Volume (Bill of Quantity) yang siap
untuk dilelangkan;
f. Penyusunan Kontrak Kerja Perencanaan Konstruksi dan Berita Acara Kemajuan
Pekerjaan/Serah Terima Pekerjaan Perencanaan disusun dengan mengikuti
ketentuan yang tercantum dalam Keppres tentang Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Pedoman/Petunjuk Teknis pelaksanaannya.

21
5. Tahap perencanaan konstruksi untuk bangunan gedung negara :
 Yang bertingkat diatas 4 lantai, dan/atau;
 Dengan luas total diatas 5.000 m2, dan/atau;
 Dengan klarifikasi khusus, dan/atau;
 Yang melibatkan lebih dari satu konsultan perencana maupun pemborong,
dan/atau;
 Yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyear project).
Diharuskan melibatkan penyedia jasa manajemen konstruksi, sejak awal tahap
perencanaan.

C. PELAKSANAAN KONSTRUKSI
1. Pelaksanaan konstruksi merupakan tahap pelaksanaan mendirikan, memperbaiki, dan
atau memperluas bangunan gedung negara dilakukan dengan menggunakan penyedia
jasa pelaksana konstruksi, yang merupakan badan hukum yang kompeten;
2. Pelaksanaan konstruksi fisik dilakukan berdasarkan dokumen pelelangan yang telah
disusun oleh perencana konstruksi, dengan segala tambahan dan perubahannya pada
penjelasan pekerjaan waktu pelelangan, serta ketentuan teknis (pedoman dan standar
teknis) yang berlaku;
3. Pelaksanaan pekerjaan konstruksi harus memperhatikan kualitas masukan (bahan,
tenaga, dan alat), kualitas proses (tata cara pelaksanaan pekerjaan), dan kualitas hasil
pekerjaan. Kecuali terjadi perubahan pekerjaan yang disepakati dan dicantumkan
dalam berita acara, ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan rencana teknis yang telah
ditetapkan harus dibongkar dan disesuaikan;
4. Pelaksanaan konstruksi fisik harus mendapatkan pengawasan dari penyedia jasa
pengawas konstruksi atau penyedia jasa manajemen konstruksi;
5. Pelaksana pekerjaan konstruksi fisik juga harus memperhatikan ketentuan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang berlaku;
6. Keluaran akhir yang harus dihasilkan pada tahap ini adalah :
a. Bangunan gedung negara yang sesuai dengan dokumen untuk pelaksanaan
konstruksi;
b. Dokumen pelaksanaan Pembangunan, yang meliputi :
1) Gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (as built drawings);
2) Semua berkas perizinan yang diperoleh pada saat pelaksanaan konstruksi fisik,
termasuk Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
3) Kontrak pekerjaan pelaksanaan konstruksi fisik, pekerjaan pengawasan beserta
segala perubahan/addendumnya;
4) Laporan harian, mingguan, bulanan yang dibuat selama pelaksanaan konstruksi
fisik, laporan akhir manajemen konstruksi/pengawasan dan laporan akhir
pengawasan berkala;

22
5) Berita acara perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah/kurang, serah terima I dan
II, pemeriksaan pekerjaan, dan berita acara lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan konstruksi fisik;
6) Foto-foto dokumentasi yang diambil pada setiap tahapan kemajuan
pelaksanaan konstruksi fisik;
7) Manual pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung, termasuk petunjuk
yang menyangkut pengoperasian dan perawatan peralatan dan perlengkapan
mekanikal-elektrikal bangunan.
c. Dokumen Pendaftaran Bangunan Gedung Negara.
7. Penyusunan Kontrak Kerja Konstruksi Pelaksanaan dan Berita Acara Kemajuan
Pekerjaan/Serah Terima Pekerjaan Pelaksanaan Konstruksi maupun Pengawasan
Konstruksi mengikuti ketentuan yang tercantum dalam Keppres tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Pedoman/Petunjuk Teknis
pelaksanaannya.

D. PEMELIHARAAN KONSTRUKSI
1. Pemeliharaan konstruksi adalah tahap uji coba dan pemeriksaan atas hasil pelaksanaan
konstruksi fisik. Di dalam masa pemeliharaan ini penyedia jasa pelaksana konstruksi
berkewajiban memperbaiki segala cacat atau kerusakan dan kekurangan yang terjadi
selama masa konstruksi;
2. Dalam masa pemeliharaan semua peralatan yang dipasang di dalam dan di luar
gedung, harus diuji coba sesuai fungsinya. Apabila terjadi kekurangan atau kerusakan
yang menyebabkan peralatan tidak berfungsi, maka harus diperbaiki sampai berfungsi
dengan sempurna;
3. Masa pemeliharaan konstruksi apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak kerja
pelaksanaan konstruksi, untuk bangunan sederhana minimal selama 2 (dua) bulan,
sedangkan untuk bangunan tidak sederhana dan khusus minimal selama 3 (tiga) bulan
terhitung sejak terima pertama pekerjaan konstruksi.

E. PENDAFTARAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA


Pendaftaran bangunan gedung negara, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Pedoman/Petunjuk
Teknis pelaksanaanya, maka bangunan gedugn negara yang sudah selesai dibangun harus
didaftarkan.
1. DOKUMEN PENDAFTARAN
Dokumen pendaftaran bangunan gedung negara untuk pencatatan dan penetapan
HDNO meliputi :
a. Fotokopi Dokumen Pembiayaan/DIP (otorisasi pembiayaan);
b. Fotokopi sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah;
c. Kontrak atau Perjanjian Pemborongan;
d. Berita Acara Serah Terima I dan II;
e. As built drawings (gambar sesuai yang dilaksanakan) disertai gambar leger;

23
f. Fotokopi Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Surat Izin Penggunaan
Bangunan (IPB) dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan
mengharuskan adanya IPB.

2. PROSEDUR PENDAFTARAN
Khusus untuk bangunan gedung negara yang sumber pembiayaannya berasal dari
APBN, maka prosedur pendaftarannya adalah sebagai berikut :
a. Bila suatu proyek seluruhnya atau sebagian telah selesai. Pimpinan Proyek/Bagian
Proyek harus segera menyerahkan proyek atau bangunan yang telah selesai
dibangun berikut seluruh kekayaannya kepada Departemen/Lembaga c.q.
Satminkal Eselon I yang bersangkutan melalui Kakanwil Departemen/Lembaga
atau Direktur pada Direktorat yang bersangkutan selaku sub Penguasa Barang
dengan dibuatkan Berita Acara Serah Terima;
b. Departemen/Lembaga c.q. Satminkal Eselon I menyerahkan kepengurusan/
pengelolaan/pemanfaatan bangunan tersebut kepada salah satu Pengurus Barang di
lingkungannya dengan Berita Acara Serah Terima. Selanjutnya Pengurus Barang
mendaftarkan bangunan tersebut dengan menggunakan Dokumen Pendaftaran
yang telah disiapkan oleh Proyek kepada Direktur Bina Teknik, Direktorat
Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah;
c. Untuk bangunan gedung Negara yang berada di luar wilayah DKI Jakarta
pendaftarannya melalui Dinas Permukiman dan Prasarana wilaya Provinsi/Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi/Dinas Provinsi yang bertanggung jawab dalam
pembinaan bangunan gedung sebagai bentuk penyelenggaraan tugas
dekonsentrasi;
d. Untuk pendaftaran bangunan Gedung Negara dari Pengurus Barang yang ada di
luar DKI Jakarta, Dinas Permukiman Prasarana wilayah Provinsi/Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi/Dinas Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan
bangunan gedung meneruskan pendaftarannya kepada Direktorat Bina Teknik,
Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah, dengan menyampaikan Dokumen Pendaftaran yang terdiri atas
: daftar inventaris, kartu leger dan gambar leger, sedangkan lampiran dokumen
pendaftaran lainnya menjadi data/arsip Instansi Teknis setempat;
e. Tembusan pendaftaran bangunan gedung Negara oleh Pengurus Barang/Pengelola
Barang. Penguasa Barang, juga disampaikan kepada Inspektur Jenderal
Departemen/Pimpinan Bidang Pengawasan pada Lembaga Non Departemen/
Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara yang bersangkutan serta Direktorat Jenderal
Anggaran Departemen Keuangan;
f. Berdasarkan data pendaftaran Bangunan Gedung Negara dari Pengurus Barang
setiap Departemen/Lembaga, Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal
Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
mendaftar bangunan gedung negara tersebut dengan memberikan Huruf Daftar
Nomor (HDNO);
g. Untuk bangunan gedung Negara yang dibangun pada tahun-tahun anggaran yang
lalu dan belum terdaftar, Pengurus Barang/Pengelola bangunan gedung negara dari

24
Departemen/Lembaga yang bersangkutan wajib mendaftar bangunan gedung
Negara tersebut.
Untuk bangunan gedung negara yang sumber pembiayaannya bukan bersal dari
APBN, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

BAB IV
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA

A. UMUM
Pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara digolongkan pembiayaan
pembangunan untuk pekerjaan standar (yang ada standar harga satuan tertingginya) dan
pembiayaan pembangunan untuk pekerjaan non-standar (yang belum tersedia standar
harga satuan tertingginya). Pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara
dituangkan dalam Dokumen Pembiayaan yang terdiri atas komponen-komponen biaya
untuk kegiatan pelaksanaan konstruksi, kegiatan pengawasan konstruksi atau manajemen
konstruksi, kegiatan perencanaan konstruksi, dan kegiatan pengelolaan proyek.

B. STANDAR HARGA SATUAN TERTINGGI


Standar Harga Satuan Tertinggi merupakan biaya per-m2 konstruksi fisik maksimum
untuk pembangunan bangunan gedung negara, khususnya untuk pekerjaan standar
bangunan gedung negara, yang meliputi pekerjaan struktur, arsitektur dan finishing, serta
utilitas bangunan gedung negara.
Standar Harga Satuan Tertinggi pembangunan bangunan gedung engara ditetapkan secara
berkala untuk setiap Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota setempat.
Standar Harga Satuan Tertinggi ditetapkan untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik per
m2 pembangunan bangunan gedung negara dan diberlakukan sesuai dengan klasifikasi,
lokasi, dan tahun pembangunannya.

1. HARGA SATUAN PER M2 TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN


BANGUAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI SEDERHANA DAN TIDAK
SEDERHANA
Harga satuan tertinggi untuk gedung negara dibedakan untuk setiap klasifikasi gedung
sederhana dan tidak sederhana, lokasi Kabupaten/Kota-nya dan untuk bangunan yang
bertingkat dan yang tidak bertingkat. Disamping itu juga diperlakukan koefisien/faktor
pengali untuk bangunan gedung bertingkat dan koefisien/faktor pengali untuk
bangunan/ruang dengan fungsi khusus.

25
2. HARGA SATUAN PER M2 TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN
BANGUNAN RUMAH NEGARA
Harga satuan per m2 tertinggi untuk bangunan rumah negara dibedakan untuk setiap
tipe rumah negara dan lokasi Kabupaten/Kota-nya. Untuk harga satuan per m2
tertinggi untuk pembangunan bangunan gedung pemerintah bertingkat tidak
sederhana, sesuai dengan lokasi Kabupaten/Kota-nya.

3. HARGA SATUAN PER M2 TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN PAGAR


BANGUNAN GEDUNG NEGARA
a. Harga satuan per m2 tertinggi pembangunan pagar bangunan gdung negara
ditetapkan sesuai klasifikasi bangunan gedung letak pagar serta lokasi
Kabupaten/Kota-nya;
b. Harga satuan m2 tertinggi untuk pembangunan pagar rumah negara, sesuai dengan
tipe rumah, letak pagar, dan lokasi Kabupaten/Kota-nya;
c. Harga satuan m2 tersebut, dengan ketentuan tinggi pagar sebagai berikut :
1) Pagar depan dengan tinggi minimum 1,5 m;
2) Pagar samping dengan tinggi minimum 2 m;
3) Pagar belakang dengan tinggi minimum 2 m.
Atau berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah setempat.
Harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung negara dengan klasifikasi bangunan
khusus, ditetapkan berdasarkan rincian anggaran biaya (RAB) yang dihitung sesuai
dengan kebutuhan dan kewajaran harga yang berlaku.

C. KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN


Anggaran biaya pembangunan bangunan gedung negara ialah anggaran yang tersedia
dalam Dokumen Pembiayaan yang berupa Daftar Isian Proyek (DIP)/DIP Suplemen, atau
Rencana Anggaran lainnya, yang terdiri atas komponen biaya konstruksi fisik, biaya
manajemen/pengawasan konstruksi, biaya perencanaan konstruksi, dan biaya pengelolaan
proyek.
1. BIAYA KONSTRUKSI FISIK
Yaitu besarnya biaya yang dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan konstruksi
fisik bangunan gedung negara yang dilaksanakan oleh pemborong secara kontraktual
dari hasil pelelangan, penunjukan langsung, atau pemilihan langsung.
Penggunaan biaya kostruksi fisik selanjutnya diatur sebagai berikut :
a. Biaya konstruksi fisik dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan konstruksi
fisik proyek yang bersangkutan;
b. Biaya konstruksi fisik maksimum untuk pekerjaan standar, dihitung dari hasil
perkalian total luas bangunan gedung negara dengan standar harga satuan per m2
tertinggi yang berlaku;
c. Untuk biaya konstruksi fisik pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman harga
satuannya (non-standar), dihitung dengan rincian kebutuhan nyata dan
dikonsultasikan dengan Instansi Teknis setempat;

26
d. Biaya konstruksi fisik ditetapkan dari hasil pelelangan pekerjaan yang
bersangkutan, maksimum sebesar biaya konstruksi fisik yang tercantum dalam
dokumen pembiayaan bangunan gedung negara yang bersangkutan, yang akan
dicantumkan dalam kontrak, yang di dalamnya termasuk biaya untuk :
1) Pelaksanaan pekerjaan di lapangan (material, tenaga, dan alat);
2) Jasa dan overhead pemborong;
3) Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang IMB-nya telah mulai diproses oleh
pengelola proyek dengan bantuan konsultan perencana konstruksi dan/atau
konsultan manajemen kosntruksi;
4) Pajak dan iuran daerah lainnya, dan
5) Biaya asuransi selama pelaksanaan konstruksi.
e. Pembayaran biaya konstruksi fisik dapat dibayarkan secara bulanan atau tahapan
tertentu yang didasarkan pada prestasi/kemajuan pekerjaan fisik di lapangan.

2. BIAYA MANAJEMEN KONSTRUKSI


Yaitu besarnya biaya maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan
manajemen konstruksi pembangunan bangunan gedung negara, yang dilakukan oleh
konsultan manajemen konstruksi secara kontraktual dari hasil pelelangan, penunjukan
langsung, atau pemilihan langsung.
Penggunaan biaya manajemen konstruksi selanjutnya diatur sebagai berikut :
a. Biaya manajemen konstruksi dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan
manajemen konstruksi proyek yang bersangkutan;
b. Besarnya nilai biaya manajemen konstruksi maksimum dihitung berdasarkan
prosentase biaya manajemen konstruksi terhadap nilai biaya konstruksi fisik
bangunan yang tercantum dalam Tabel B2 dan B3;
c. Untuk biaya manajemen konstruksi pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman
harga satuan tertingginya (non-standar), besarnya biaya manajemen konstruksinya
dihitung secara orang-bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan
ketentuan billing rate yang berlaku;
d. Biaya manajemen konstruksi ditetapkan dari hasil pelelangan/pemilihan langsung,
maupun penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan yang akan
dicantumkan dalam kontrak, termasuk biaya untuk :
1) Honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang;
2) Materi dan penggandaan laporan;
3) Pembelian dan atau sewa peralatan;
4) Sewa kendaraan;
5) Biaya rapat-rapat;
6) Perjalanan (lokal maupun luar kota);
7) Jasa dan overhead manajemen konstruksi;
8) Asuransi/pertanggungan (liability insurance);

27
9) Pajak dan iuran daerah lainnya.
e. Pembayaran biaya manajemen kosntruksi didasarkan pada prestasi kemajuan
pekerjaan perencanaan dan konstruksi fisik di lapangan, yaitu (maksimum) :
1) Tahap persiapan/pengadaan konsultan perencana 5%
2) Tahap review rencana teknis sampai dengan serah terima dokumen
perencanaan 10%
3) Tahap pelelangan pemborong 5%
4) Tahap konstruksi fisik yang dibayarkan berdasarkan prestasi pekerjaan
konstruksi fisik di lapangan s.d. serah terima pertama pekerjaan. 80%

3. BIAYA PERENCANAAN KONSTRUKSI


Yaitu besarnya biaya maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai perencanaan
bangunan gedung negara, yang dilakukan oleh konsultan perencana secara kontraktual
dari hasil pelelangan, penunjukkan langsung, atau pemilihan langsung. Besarnya biaya
perencanaan dihitung berdasarakan nilai total keseluruhan bangunan.
Penggunaan biaya perencanaan selanjutnya diatur sebagai berikut :
a. Biaya perencanaan dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan perencanaan
proyek yang bersangkutan;
b. Besarnya nilai biaya perencanaan maksimum dihitung berdasarkan prosentase
biaya perencanaan konstruksi terhadap nilai biaya konstruksi fisik banguan yang
tercantum dalam Tabel B1, B2, dan B3;
c. Untuk biaya perencanaan pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman harga
satuan tertingginya (non-standar), besarnya biaya perencanaan dihitung secara
orang-bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan billing
rate yang berlaku;
d. Biaya perencanaan ditetapkan dari hasil pelelangan/pemilihan langsung, maupun
penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam
kontrak termasuk biaya untuk :
1) Honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang;
2) Materi dan penggandaan laporan;
3) Pembelian dan sewa peralatan;
4) Sewa kendaraan;
5) Biaya rapat-rapat;
6) Perjalanan (lokal maupun luar kota);
7) Jasa dan overhead perencanaan;
8) Asuransi/pertanggungan (liability insurance);
9) Pajak dan iuran daerah lainnya.
e. Pembayaran biaya perencanaan didasrkan pada pencapaian prestasi/kemajuan
perencanaan setiap tahapnya, yaitu (maksimum) :
1) Tahap konsep rancangan 10%

28
2) Tahap pra-rancangan 15%
3) Tahap pengembangan rancangan 25%
4) Tahap gambar detail 30%
5) Tahap pelelangan 5%
6) Tahap pengawasan berkala 15%

4. BIAYA PENGAWASAN KONSTRUKSI


Yaitu besarnya biaya maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai pengawasan
pembangunan bangunan gedung negara yang dilakukan oleh konsultan pengawas
secara kontrakutal dari hasil pelelangan, penunjukan langsung, atau pemilihan
langsung.
Penggunaan biaya pengawasan selanjutnya diatur sebagai berikut :
a. Biaya pengawasan dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan pengawasan
proyek yang bersangkutan;
b. Besarnya nilai biaya pengawasan maksimum dihitung berdasarkan prosentase
biaya pengawasan konstruksi terhadap nilai konstruksi fisik bangunan yang
tercantum dalam Tabel B1 dan B2;
c. Untuk biaya pengawasan pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman harga
satuan tertingginya (no-standar), besarnya biaya pengawasan dihitung secara
orang-bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan billing
rate yang berlaku;
d. Biaya pengawasan ditetapkan dari hasil pelelangan/pemillihan langsung, maupun
penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam
kontrak termasuk biaya untuk :
1) Honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang;
2) Materi dan penggandaan laporan;
3) Pembelian dan atau sewa peralatan;
4) Sewa kendaraan;
5) Biaya rapat-rapat;
6) Perjalanan (lokal maupun luar kota);
7) Jasa dan overhead pengawasan;
8) Asuransi/pertanggungan (liability insurance);
9) Pajak dan iuran daerah lainnya.
e. Pembayaran biaya pengawasan dapat dibayarkan secara bulanan atau tahapan
tertentu yang didasarkan pada pencapaian prestasi/kemajuan pekerjaan konstruksi
fisik di lapangan, atau penyelesaian tugas dan kewajiban pengawasan.

5. BIAYA PENGELOLA PROYEK

29
Yaitu besarnya biaya maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan
pengelolaan proyek bangunan gedung negara.
Prosentase besarnya nilai komponen biaya pengelolaan proyek dihitung berdasarkan
nilai keseluruhan bangunan.
Penggunaan biaya pengelolaan proyek selanjutnya diatur sebagai berikut :
a. Biaya pengelolaan proyek dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan
pengelolaan proyek dari proyek yang bersangkutan;
b. Besarnya nilai biaya pengelolaan proyek maksimum dihitung berdasarkan
prosentase biaya pegelolaan proyek terhadap nilai biaya konstruksi fisik bangunan
yang tercantum dalam Tabel B1 dan B2;
c. Perincian penggunaan biaya pengelolaan proyek adalah sebagai berikut :
1) Biaya operasional unsur Pemegang Mata Anggaran
Biaya operasional unsur Pemegang Mata Anggaran, adalah sebesar 65% dari
Biaya Pengelolaan Proyek yang bersangkutan, untuk keperluan honorarium
staf dan panitia lelang, perjalanan dinas, rapat-rapat, proses pelelangan, bahan
dan alat yang berkaitan dengan pengelolaan proyek sesuai dengan
pentahapannya, serta persiapan dan pengiriman kelengkapan adminstrasi/
dokumen pendaftaran bangunan gedung negara.
2) Biaya operasional unsur Pengelola Teknis
a) Biaya operasional unsur Pengelola Teknis, adalah sebesar 35% dari Biaya
Pengelolaan Proyek yang bersangkutan, yang dipergunakan untuk
keperluan honorarium Pengelola Teknis, honorarium tenaga ahli (apabila
diperlukan), perjalanan dinas, transport lokal, biaya rapat, biaya
pembelian/penyewaaan bahan dan alat yang berkaitan dengan proyek yang
bersangkutan sesuai dengan pentahapannya;
b) Pembiayaan diajukan oleh Instansi Teknis setempat kepada pemimpin
proyek/bagian proyek.
3) Realisasi pembiayaan pengelolaan proyek dapat dilakukan secara bertahap
sesuai kemajuan pekerjaan (persiapan, perencanaan, dan pelaksanaan
konstruksi).
Besarnya honorarium mengikuti ketentuan yang berlaku.
d. Untuk pekerjaan yang berada di wilayah yang sukar pencapaiannya/sukar
dijangkau transportasi (remote area) kebutuhan biaya untuk
transportasi/perjalanan dinas dalam rangka survei, acnwijzing, pengawasan
berkala, opname lapangan koordinasi dan pengelolaan proyek ke lokasi proyek
tersebut, dapat diajukan sebagai biaya non standar, di luar prosentase biaya
pengelolaan proyek yang tercantum dalam Tabel B1, B2, dan B3.
Di dalam masing-masing komponen biaya pembangunan tersebut termasuk semua beban
pajak dan biaya perizinan yang berkaitan dengan pembangunan bangunan gedung engara
sesuai ketentuan yang berlaku.
Kelebihan biaya berupa penghematan yang didapat dari biaya perencanaan, manajemen
konstruksi atau pengawasan dapat digunakan langsung untuk peningkatan mutu atau
penambahan kegiatan konstruksi fisik, dengan melakukan revisi Dokumen Pembiayaan.

30
D. PEMBIAYAAN BANGUNAN/KOMPONEN BANGUNAN TERTENTU
1. HARGA SATUAN TERTINGGI PER M2 BANGUNAN BERTINGAT UNTUK
BANGUNAN GEDUNG NEGARA
Harga satuan tertinggi rata-rata per m2 bangunan gedung bertingkat adalah didasarkan
pada harga satuan lantai dasar tertinggi per m2 untuk bangunan gedung bertingkat,
kemudian dikalikan dengan koefisien/faktor pengali untuk jumlah lantai yang
bersangkutan, sebagai berikut :

Jumlah lantai bangunan Harga Satuan per m2 Tertinggi

Bangunan 2 lantai 1,090 standar harga gedung bertingkat


Bangunan 3 lantai 1,120 standar harga gedung bertingkat
Bangunan 4 lantai 1,135 standar harga gedung bertingkat
Bangunan 5 lantai 1,162 standar harga gedung bertingkat
Bangunan 6 lantai 1,197 standar harga gedung bertingkat
Bangunan 7 lantai 1,236 standar harga gedung bertingkat
Bangunan 8 lantai 1,265 standar harga gedung bertingkat
Untuk bangunan yang lebih dari 8 lantai, koefisien/faktor pengalinya dikonsultasikan
dengan Instansi Teknis setempat.

2. HARGA SATUAN TERTINGGI RATA-RATA PER M2 BANGUNAN/RUANG


DENGAN FUNGSI KHUSUS UNTUK BANGUNAN GEDUNG NEGARA
Untuk bangunan/ruang yang mempunyai fungsi khusus, yang karena persyaratannya
memerlukan penyelesaian khusus, harga satuan tertinggi untuk per m2-nya didasarkan
pada harga satuan tertinggi untuk klasifikasi bangunan yang bersangkutan setelah
dikalikan koefisien seperti berikut :

Jumlah lantai bangunan Harga Satuan per m2 Tertinggi

ICU/ICCU/UGD/CMU 1,10 standar harga bangunan Rumah Sakit


Ruang Operasi 1,20 standar harga bangunan Rumah Sakit
Ruang Radiology 1,25 standar harga bangunan Rumah Sakit
Laundry/CSSD 1,10 standar harga bangunan Rumah Sakit
Perawatan/Dapur 1,00 standar harga bangunan Rumah Sakit
Asrama Perawat 1,00 standar harga bangunan Rumah Sakit
Laboratorium RS 1,10 standar harga bangunan Rumah Sakit
Workshop 1,00 standar harga bangunan

31
Jumlah lantai bangunan Harga Satuan per m2 Tertinggi

Power house 1,25 standar harga bangunan


Lab. SLTP/SMU 1,15 standar harga bangunan
UGB & prasarananya 1,05 standar harga bangunan
Selasar luar beratap bangunan 0,50 standar harga bangunan klasifikasi
yang sama
Untuk bangunan gedung/ruang yang mempunyai fungsi khusus lainnya, yang
memerlukan standar harga yang khusus, agar pada tahap penyusunan anggaran
berkonsultasi dengan Instansi Teknis setempat.

E. BIAYA PEKERJAAN NON-STANDAR


1. PEKERJAAN/KEGIATAN YANG DIKLASIFIKASIKAN SEBAGAI
PEKERJAAN NON-STANDAR :
a. Penyiapan lahan yang meliputi : pembentukan kualitas permukaan tanah/lahan
sesuai dengan rancangan, pembuatan tanda-tanda lahan, pembersihan lahan dan
pembongkaran;
b. Pematangan lahan yang meliputi : pembuatan jalan dan jembatan dalam kompleks,
jaringan utilitas kompleks (saluran drainase, air bersih, listrik, lampu penerangan
luar, limbah kotoran, hidran kebakaran), lansekap/taman, pagar fungsi khusus dan
tempat parkir;
c. Penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan (termasuk master plan);
d. Penyusunan studi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
e. Peningkatan arsitektur ataupun struktur bangunan: penampilan, keamanan,
keselamatan, kesehatan, aksesibilitas serta kenyamanan gedung negara;
f. Pekerjaan khusus kelengkapan bangunan seperti : peralatan lift, peralatan tata
udara, generator, pompa listrik, peralatan pencegahan dan penanggulangan
kebakaran, pencegahan dan PABX, peralatan penangkal petir khusus, perabotan,
dan interior khusus bangunan
g. Penyambungan yang meliputi : penyambungan air dari PAM/PDAM,
penyambungan listrik dari PLN, penyambungan gas dari Perusahaan Gas,
penyambungan telepon dari TELEKOM;
h. Pekerjaan-pekerjaan lain seperti :
1) Penyelidik tanah yang terperinci;
2) Pekerjaan pondasi dalam yang lebih dari 5 m atau l/w>20;
3) Pekerjaan basement/bangunan dibawah permukaan tanah;
4) Fasilitas aksesibilitas untuk kepentingan penyandang cacat;
5) Bangunan-bangunan khusus;
6) Bangunan selasar penghubung, bangunan tritisan/emperan khusus dan yang
sejenis.

32
i. Pengelola Proyek/perjalanan dinas untuk wilayah yang sukar pencapaiannya/
dijangkau oleh sarana transportasi (remote area);
j. Perizinan-perizinan khusus karena sifat bangunan, lokasi/letak bangunan, ataupun
karena luas lahan;
k. Biaya Konsultan studi penyusunan program pembangunan bangunan gedung
negara, untuk bangunan gedung yang penyusunannya memerlukan keahlian
konsultan;
l. Biaya Konsultan VE, apabila Proyek menghendaki pelaksanaan VE dilakukan oleh
konsultan indenpenden.

2. PEMBIAYAAN PEKERJAAN NON-STANDAR


a. Besarnya biaya-biaya untuk pekerjaan tersebut dihitung berdasarkan rincian
volume kebutuhan nyata dan harga pasar yang wajar serta pajak-pajak yang
berlaku, dengan terlebih dahulu berkonsultasi kepada Instansi Teknis yang
bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung setempat;
b. Besarnya biaya perencanaan, manajemen konstruksi/pengawasan pekerjaan non-
standar, dihitung berdasarkan billing-rate sesuai ketentuan yang tercantum dalam
keputusan Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas yang berlaku;
c. Total biaya pekerjaan non-standar maksimum sebesar 250% dari total biaya
pekerjaan standar bangunan gedung negara yang bersangkutan, yang dalam
penyusunan anggarannya, perinciannya antara lain dapat berpedoman pada
prosentase sebagai berikut :

Jenis Pekerjaan Biaya Tertinggi

Total Udara (AC) 25-50% dari X


Elevator/Escalator 20-30% dari X
Tata Suara 7-15% dari X
Telepon dan PABX 7-15% dari X
Elektrikal (termasuk genset) 17-30 dari X
Instalasi Pencegahan dan Penanggulangan 17-30% dari X
Kebakaran
Pencegahan bahaya rayap 2-6% dari X
Sewerage Treatment Plant (STP) 5-10% dari X
Interior (termasuk furniture) 30-40% dari X
Pondasi dalam 10-15% dari X
Fasilitas penyendang cacat 5-12% dari X
Penangkal petir khusus 2-5% dari X
Sarana/Prasarana Lingkungan 4-10% dari X

33
Jenis Pekerjaan Biaya Tertinggi

Basement (per m2) 150% dari Y


Peningkatan Mutu *) 15-30% dari Z
Catatan : *) = peningkatan mutu hanya dapat dilakukan dengan memberikan
penjelasan yang secara teknis dapat diterima dan harus
mendapatkan rekomendasi dari isntansi teknis.
X = total biaya konstruksi fisik pekerjaan standar.
Y = standar Harga Satuan Tertinggi per m2.
Z = total biaya komponen pekerjaan yang ditingkatkan mutunya.

F. PROSENTASE KOMPONEN PEKERJAAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA


Untuk pekerjaan standar bangunan gedung dan rumah negara, sebagai pedoman
penyusunan anggaran pembangunan yang lebih dari satu tahun anggaran dan peningkatan
mutu dapat berpedoman pada prosentase komponen-komponen pekerjaan sebagai berikut :
Komponen Gedung Negara

Pondasi 5%-10%
Struktur 25%-35%
Lantai 5%-10%
Dinding 7%-10%
Plafond 6%-8%
Atap 8%-10%
Utilitas 5%-8%
Finishing 10%-15%
Khusus untuk bangunan rumah negara berpedoman pada prosentase komponen-komponen
pekerjaan sebagai berikut :
Komponen Gedung Negara

Pondasi 3%-7%
Struktur 20%-25%
Lantai 10%-15%
Dinding 10%-15%
Plafond 8%-10%
Atap 10%-15%
Utilitas 8%-10%
Finishing 15%-20%

34
BAB V
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA

A. PENYELENGGARA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA


1. PEMEGANG MATA ANGGARAN
a. Pemegang Mata Anggaran (PMA) adalah Instansi yang menyelenggarakan
pembangunan bangunan gedung negara untuk keperluan dinas, sebagai instansi
yang mempunyai program dan pembiayaan pembangunan, baik berupa instansi
pusat, instansi daerah, maupun badan usaha, yaitu :
1) Instansi Pusat meliputi Departemen, Kantor Menteri Negara, Lembaga
Tinggi/Tertinggi Negara, Lembaga Pemerintah Non Departemen;
2) Instansi Daerah meliputi instansi-instansi di lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi, Lembaga Legislatif Daerah Provinsi, serta Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan Lembaga Legislatif Daerah Kabupaten/Kota;
3) Badan Usaha meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha
Miliki Daerah (BUMD).
b. Pemegang mata Anggaran bertanggung jawab untuk menyusun program dan
kebutuhan biaya pembangunan yang diperlukan, melaksanakan pembangunan,
mengendalikan pembangunan, memanfaatkan, dan memelihara, serta merawat
bangunan yang telah selesai;
c. Pemegang Mata Anggaran dalam menyelenggarakan pembangunan dapat pula
melaksanakan melalui upaya tukar bangun, kerjasama operasi (BOT, BOO, dll),
hibah atau cara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Pemegang Mata Anggaran dapat melimpahkan pelaksanaan penyelenggaraan
pembangunannya kepada Instansi Teknis setempat.

2. PEMBINA TEKNIS
a. Sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagai Daerah
Otonom, Pembina Teknis penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung adalah
Menteri yang membidangi bidang permukiman, yaitu Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah;
b. Pembina Teknis bertanggung jawab untuk melaksanakan pembinaan dan
pengawasan teknis penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara;
c. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan teknis di daerah dilakukan oleh Instansi
Teknsi setempat dan melaporkan hasil pelaksanaan pembinaanya kepada Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah.

35
B. ORGANISASI DAN TATA LAKSANA
1. PENGELOLA PROYEK
a. Organisasi Pengelola Proyek
Organisasi Pengelola Proyek untuk pembangunan bangunan gedung negara terdiri
atas :
1) Pemimpin Proyek/Pimpinan Bagian Proyek yaitu pejabat yang ditetapkan oleh
Pimpinan Pemegang Mata Anggaran;
2) Pengelola Keuangan Proyek Yaitu Bendahara Proyek/Bagian Proyek yang
ditetapkan oleh Pimpinan Pemegang Mata Anggaran;
3) Pengelola Administrasi Proyek/Staf Peoyek yaitu staf proyek/staf bagian
proyek yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemimpin Proyek/Pemimpin Bagian
Proyek yang sesuai ketentuan dapat terdiri atas beberapa staf;
4) Pengelola Teknis Proyek yaitu tenaga bantuan dari Instansi Teknis Setempat.
Dalam hal pembangunan bangunan gedung negara yang penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, mengikuti
ketentuan dalam :
 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 62/PRT/1992 tentang Hubungan
Kerja antara Pemimpin Proyek di Lingkungan Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah dengan Atasan Langsung Atasannya, serta
 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 99/KPTS/1984 tanggal 20
Maret 1984 tentang Pedoman, Pembentukan Organisasi Proyek di Lingkungan
Departemen Pekerjaan Umum. Dalam hal PMA melimpahkan pelaksanaan
penyelenggaraan pembangunannya kepada Instansi Teknis setempat, dengan
melibatkan Unsur Pemegang Mata Anggaran sebagai salah satu Asisten.
b. Fungsi Pengelola Proyek :
Pengelola proyek berfungsi membantu Pemegang Mata Anggaran dalam
melaksanakan kegiatan proyek/bagian proyek.
1) Pemimpin Proyek atau Pemimpin Bagian Proyek
Pemimpin Proyek atau Pemimpin Bagian Proyek berfungsi menyelenggarakan
kegiatan proyek pembangunan bangunan gedung negara dan bertanggung
jawab secara fisik maupun keuangan kepada Pemimpin Pemegang Mata
Anggaran yang menetapkannya.
2) Bendaharawan Proyek/Bagian Proyek
Bendaharawan Proyek/Bagian Proyek berfungsi membantu Pemimpin Proyek/
Pemimpin Bagian Proyek dalam melaksanakan pengelolaan keuangan proyek
dan bertanggung jawab secara operasional kepada Pemimpin Proyek Pemimpin
Bagian Proyek.
3) Pengelola Administrasi Proyek
Pengelola Administrasi Proyek berfungsi membantu Pemimpin Proyek/
Pemimpin Bagian Proyek dalam melaksanakan pengelolaan administrasi
proyek. Pengelola Administrasi Proyek bertanggung jawab secara operasional
kepada Pemimpin Proyek/Pemimpin Bagian Proyek.

36
4) Pengelola Teknis Proyek
Pengelola Teknis Proyek berfungsi membantu Pemimpin Proyek/Pemimpin
Bagian Proyek dalam mengelola kegiatan teknis proyek/bagian proyek selama
pembangunan bangunan gedung negara pada setiap tahap, baik di tingkat
program amupun di tingkat operasional.
Pengelola Teknis Proyek adalah pejabat fungsional bidang tata bangunan dan
perumahan atau yang bersertifikat pengelola teknis yang ditetapkan oleh dan
bertanggung jawab secara fungsional kepada :
 Direktur Jenderal Perumahan dan Permukiman c.q. Direktur Bina Teknik
untuk proyek-proyek tingkat Pusat di Wilayah DKI Jakarta, atau oleh
 Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi/Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi/Dinas Provinsi yang bertanggung jawab dalam
pembinaan bangunan gedung sebagai bentuk penyelenggaraan tugas
dekonsentrasi atau desentralisasi untuk proyek-proyek di luar wilayah DKI
Jakarta, atau
 Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi/Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten atau Kota/Dinas Kabupaten atau Kota yang
bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung sebagai bentuk
penyelenggaraan tugas pembantuan atau desentralisasi
Serta bertanggung jawab secara operasional kepada Pemimpin Proyek/Bagian
Proyek yang bersangkutan.

c. Kegiatan Pengelola Proyek meliputi :


1) Pengelolaan tahap persiapan dan perencanaan konstruksi yang terdiri atas :
a) Persiapan dan penetapan organisasi proyek;
b) Penyiapan bahan, penetapan waktu, dan strategi penyelesaian proyek;
c) Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk kegiatan manajemen
konstruksi (MK) dan pengadaan konsultannya;
d) Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk kegiatan perencanaan,
dan pengadaan konsultannya;
e) Pengendalian kegiatan menajemen konstruksi dan kegiatan perencanaan;
f) Penyusunan berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk
pembayaran angsuran dan berita acara lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan perencanaan, serta
g) Penyusunan surat perintah kerja/perjanjian kerja.
2) Pengelolaan tahap pelaksanaan konstruksi yang terdiri atas :
a. Pengadaan konsultan pengawas;
b. Pengadaan pemborong dan sub pemborong;
c. Pengendalian kegiatan pengawasan;
d. Pengendalian kegiatan konstruksi dan penilaian atas kemajuan tahap
konstruksi;

37
e. Penyusunan berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk
pembayaran angsuran dan berita acara lainnya yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan konstruksi;
f. Penerimaan bangunan yang telah selesai dari pemborong dengan berita
acara.
3) Pengelolaan tahap pasca-konstruksi, yaitu kegiatan persiapan untuk
mendapatkan status (dari instansi Pemegang Mata Anggaran/PMA), dan
pendaftaran sebagai bangunan gedung negara yang terdiri atas :
a) Penyiapan dokumen pembangunan;
b) Penyiapan dokumen pendaftaran Bangunan Gedung Negara;
c) Penyerahan bangunan gedung negara yang telah selesai dari Pimpinan
Proyek kepada Satminkal/Eselon I unit kerja dari kantor wilayah PMA.

2. PENYEDIA JASA KONSTRUKSI


Penyedia Jasa Konstruksi pembangunan bangunan gedung negara dalam melakukan
kegiatan dan tugasnya harus berpedoman pada Undang-undang Nomor 18 tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Penyedia Jasa
Konstruksi terdiri atas penyedia jasa manajemen konstruksi/pengawas konstruksi,
penyedia jasa perencana konstruksi, dan penyedia jasa pelaksana konstruksi, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Penyedia Jasa Manajemen Konstruksi
1) Organisasi dan Tata Laksana
a) Organisasi penyedia jasa manajemen konstruksi, disesuaikan dengan
lingkup dan kompleksitas pekerjaan, seperti :
i) Penanggung Jawab Proyek;
ii) Penanggung Jawab Lapangan;
iii) Tenaga Ahli Penyusun dan Pengendali Program;
iv) Tenaga Ahli Estimasi Biaya;
v) Tenaga Ahli Arsitektur/Struktur/M & E;
vi) Pengawas Lapangan.
b) Penyedia jasa manajemen konstruksi yang selanjutnya disebut Konsultan
Manajemen Konstruksi adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan
yang ditetapkan untuk pelaksanaan tugas konsultasi dalam bidang
manajemen konstruksi;
c) Konsultan Manajemen Konstruksi bertugas sejak tahap perencanaan
sampai serah terima II pekerjaan konstruksi fisik, dan berfungsi
melaksanakan pengendalian pada tahap perencanaan dan tahap konstruksi,
baik di tingkat program maupun di tingkat operasional;
d) Konsultan Manajemen Konstruksi dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab secara kontraktual kepada pimpinan proyek/pemimpin
bagian proyek;

38
e) Dalam hal di daerah tempat pelaksanaan proyek tidak terdapat perusahaan
yang memenuhi persyaratan dan bersedia melakukan tugas konsultan
manajemen konstruksi, maka dapat ditunjuk perusahaan yang memenuhi
persyaratan dan bersedia dari daerah lain, atau Provinsi lain yang
berdekatan, atau DKI Jakarta. Apabila tidak terdapat konsultan manajemen
konstruksi seperti tersebut diatas, fungsi tersebut dilakukan oleh unsur
Instansi Teknis setempat;
f) Konsultan Manajemen Konstruksi digunakan untuk pekerjaan :
 Bangunan bertingkat diatas 4 lantai, dan/atau
 Bangunan dengan luas total diatas 5.000 m2, dan/atau
 Bangunan khusus, dan/atau
 Yang melibatkan lebih dari satu konsultan perencana maupun
pemborong, dan/atau
 Yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyear project).
g) Pengadaan Konsultan Manajemen Konstruksi harus berdasarkan ketentuan
yang tercantum dalam Keppres R.I. tentang pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara serta pedoman/petunjuk teknis
pelaksanaannya;
h) Konsultan Manajemen Konstruksi tidak dapat merangkap sebagai
Konsultan Perencana untuk pekerjaan yang bersangkutan;
i) Biaya Konsultan Manajemen Konstruksi dibebankan pada biaya untuk
komponen kegiatan manajemen konstruksi proyek yang bersangkutan.
2) Kegiatan Manajemen Konstruksi.
Kegiatan Manajemen Konstruksi meliputi pengendalian waktu, biaya,
pencapaian sasaran fisik (kuantitas dan kualitas), dan tertib administrasi di
dalam pembangunan bangunan gedung negara, mulai dari tahap
persiapan/perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan konstruksi.
Kegiatan Manajemen Konstruksi terdiri atas :
a) Tahap Persiapan :
i) Membantu pengelola proyek melaksanakan pengadaan konsultan
perencana, termasuk menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK),
memberi saran waktu dan strategi pengadaan, serta bantuan evaluasi
proses pengadaan;
ii) Membantu pengelola proyek menyiapkan kontrak perjanjian pekerjaan
perencanaan.
b) Tahap Perencanaan :
i) Mengevaluasi program pelaksanaan kegiatan perencanaan yang dibuat
oleh konsultan perencana, yang meliputi program penyedia dan
penggunaan sumber-daya, strategi dan pentahapan penyusunan
dokumen lelang;

39
ii) Memberikan konsultasi kegiatan perencanaan, yang meliputi penelitian
dan pemeriksaan hasil perencanaan dari sudut efesiensi sumber daya an
biaya, serta kemungkinan keterlaksanaan konstruksi;
iii) Mengendalikan program perencanaan, melalui kegiatan evaluasi
program terhadap hasil perencanaan, perubahan-perubahan lingkungan,
penyimpangan teknis dan adminstrasi atas persoalan yang timbul, serta
pengusulan koreksi program;
iv) Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat pada tahap
perencanaan;
v) Menyusun laporan bulanan kegiatan konsultansi manajemen konstruksi
tahap perencanaan, merumuskan evaluasi status dan koreksi teknis bila
terjadi penyimpangan;
vi) Meneliti kelengkapan dokumen perencanaan dan dokumen pelelangan,
menyusun program pelaksanaan pelelangan bersama konsultan
perencana, dan ikut memberikan penjelasan pekerjaan pada waktu
pelelangan, serta membantu kegiatan panitia pelelangan;
vii) Menyusun laporan dan berita acara dalam rangka kemajuan pekerjaan
dan pembayaran angsuran pekerjaan perencanaan;
viii) Mengadakan dan memimpin rapat-rapat koordinasi perencanaan,
menyusun laporan hasil rapat koordinasi, dan membuat laporan
kemajuan pekerjaan manajemen konstruksi.
c) Tahap Pelelangan :
i) Membantu Pengelola Proyek dalam mempersiapkan dan menyusun
program pelaksanaan pelelangan pekerjaan konstruksi fisik;
ii) Membantu Panitia Lelang dalam menyusun Harga Perhitungan Sendiri
(Owner’s Estimate) pekerjaan konstruksi fisik;
iii) Membantu Panitia Lelang melakukan pra-kualifikasi calon peserta
pelelangan;
iv) Membantu Pantia Lelang dalam penyebarluasan pengumuman
pelelangan, baik melalui papan pengumuman, media cetak, maupun
media elektronik;
v) Membantu memberikan penjelasan pekerjaan pada waktu rapat
penjelasana pekerjaan;
vi) Membantu melakukan pembukaan dan evaluasi terhadap penawaran
yang masuk;
vii) Membantu menyiapkan draft surat perjanjian pekerjaan pelaksanaan
kosntruksi fisik;
viii) Menyusun laporan proyek tahap pelelangan.
d) Tahap Pelaksanaan
i) Mengevaluasi program kegiatan pelaksanaan konstruksi fisik yang
disusun oleh pemborong, yang meliputi program-program pencapaian
sasaran konstruksi, penyedia dan penggunaan tenaga kerja, peralatan
dan perlengkapan, bahan bangunan, informasi, dana, program Qualitu

40
Assurance/Quality Control, dan program kesehatan dan keselamatan
kerja (K3);
ii) Mengendalikan program pelaksanaan konstruksi fisik, yang meliputi
program pengendalian sumber daya,pengendalian biaya, pengendalian
waktu, pengendalian sasaran fisik (kuantitas dan kualitas) hasil
konstruksi, pengendalian perubahan pekerjaan, pengendalian tertib
administrasi, pengendalian kesehatan dan keselamatan kerja;
iii) Melakukan evaluasi program terhadap penyimpangan teknis dan
manajerial yang timnul, usulan koreksi program dan tindakan turun
tangan, serta melakukan koreksi teknis bila terjadi penyimpangan;
iv) Melakukan koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan konstruksi fisik;
v) Melakukan kegiatan pengawasan yang terdiri atas :
 Memeriksa dan mempelajari dokumen untuk pelaksanaan
konstruksi yang akan dijadikan dasar dalam pengawasan pekerjaan
di lapangan;
 Mengawasi pemakaian bahan, peralatan dan metode pelaksanaan,
serta mengawasi ketepatan waktu, dan biaya pekerjaan konstruksi;
 Mengawasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi dari segi kualitas,
kuantitas, dan laju pencapaian volume/realisasi fisik;
 Mengumpulkan data dan informasi di lapangan untuk memecahkan
persoalan yang terjadi selama pekerjaan konstruksi;
 Menyelenggarakan rapat-rapat lapangan secara berkala, membuat
laporan mingguan dan bulanan pekerjaan pengawasan, dengan
masukan hasil rapat-rapat lapangan, laporan harian, mingguan dan
bulanan pekerjaan konstruksi yang dibuat oleh pemborong;
 Menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk
pembayaran angsuran, pemeliharaan pekerjaan, dan serah terima
pertama dan kedua pekerjaan konstruksi;
 Meneliti gambar-gambar untuk pelaksanaan (shop drawings) yang
diajukan oleh kontraktor;
 Meneliti gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan di
lapangan (As Bulit Drawings) sebelum serah terima I;
 Menyusun daftar cacat/kerusakan sebelum serah terima I, dan
mengawasi perbaikannya pada masa pemeliharaan;
 Bersama dengan Konsultan Perencana menyusun petujuk
pemeliharaan dan penggunaan bangunan gedung;
 Membantu pengelola proyek dalam menyusun Dokumen
Pendaftaran;
 Membantu pengelola proyek mengurus sampai mendapatkan IPB
(Izin Penggunaan Bangunan) dari Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota setempat, dalam hal terdapat ketentuan dalam Peraturan
Daerah setempat.

41
vi) Menyusun laporan akhir pekerjaan manajemen konstruksi.
b. Penyedia Jasa Perencana Konstruksi
1) Organisasi dan Tata Laksana
a) Organisasi penyedia jasa perencana konstruksi disesuaikan dengan lingkup
dan kompleksitas pekerjaan, seperti :
i) Penanggung Jawab Proyek;
ii) Tenaga Ahli Arsitektur;
iii) Tenaga Ahli Struktur;
iv) Tenaga Ahli Utilitas (M & E);
v) Tenaga Ahli Estimasi Biaya;
vi) Tenaga Ahli lainnya.
b) Penyedia jasa perencanan konstruksi, yang selanjutnya disebut Konsultan
Perencana Konstruksi, adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan
untuk melaksanakan tugas konsultasi dalam bidang jasa perencanaan teknis
bangunan gedung beserta kelengkapannya;
c) Konsultan Perencana Konstruksi berfungsi melaksanakan pengadaan
dokumen perecanaan, dokumen lelang, dokumen untuk pelaksanaan
kosntruksi, memberikan penjelasan pekerjaan pada waktu pelelangan, dan
memberikan penjelasan serta saran penyelesaian terhadap persoalan
perencanaan yang timbul selama tahap konstruksi;
d) Konsultan Perencana Konstruksi mulai bertugas sejak tahap perencanaan
sampai dengan waktu Serah Terima I pekerjaan oleh pemborong;
e) Konsultan Perencana Konstruksi dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab secara kontraktual kepada pemimpin proyek/pemimpin
bagian proyek;
f) Dalam hal di daerah suatu pelaksanaan proyek tidak terdapat perusahaan
yang memenuhi persyaratan dan bersedia melakukan tugas konsultasi-
perencanaan, dapat ditunjuk konsultan perencana konstruksi yang
memenuhi persyaratan dan bersedia dari daerah lain, atau Provinsi lain
yang berdekatan, atau dari DKI Jakarta.Apabila tidak terdapat konslutan
perencana konstruksi seperti tersebut diatas maka fungsi perencanaan
tersebut dilakukan oleh Instansi Teknis setempat;
g) Pengadaan Konsultan Perencana Konstruksi harus berdasarkan ketentuan
yang tercantum dalam Keppres R.I. tentang Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara serta pedoman/petunjuk teknis
pelaksanaanya. Untuk proyek tertentu dapat diadakan dengan pendekatan
sayembara perencanaan;
h) Untuk pekerjaan pembangunan dengan luas bangunan diatas 12.000 m2
atau diatas 8 lantai. Konsultan Perencana Konstruksi diwajibkan pada tahap
pra-rencana menyelenggarakan paket kegiatan lokakarya value engineering
(VE) selama 40 jam secara in-house, untuk mengembangkan konsep
perencanaan, dengan melibatkan partisipasi pengelola proyek, konsultan
MK, dan pemberi jasa keahlian VE;

42
i) Biaya penyelenggaraan lokakarya, termasuk biaya kerjasama dengan
pemberi jasa keahlian VE merupakan bagian dari biaya konsultan
perencana;
j) Konsultan Perencana Konstruksi tidak dapat merangkap sebagai Konsultan
Manajemen Konstruksi untuk pekerjaan yang bersangkutan;
k) Konsultan Perencana Konstruksi dapat merangkap sebagai Konsultan
Pengawas Konstruksi untuk pekerjaan dengan klasifikasi konsultan kelas
kecil;
l) Untuk Provinsi Papua, Maluku, dan Kepulauan Riau atau daerah-daerah
yang dinyatakan daerah remote oleh Instansi yang berwenang. Konsultan
Perencana Konstruksi dapat merangkap sebagai Konsultan Pengawas
Konstruksi untuk pekerjaan dengan klasifikasi konsultan sampai dengan
kelas menengah;
m) Biaya Konsultan Perencana Konstruksi dibebankan pada biaya untuk
komponen kegiatan perencanaan proyek yang bersangkutan.
2) Kegiatan Perencanaan Konstruksi
Pekerjaan perencanaan konstruksi dapat meliputi perencanaan lingkungan,
site/tapak bangunan, atau perencanaan fisik bangunan gedung negara.
Kegiatan perencanaan konstruksi terdiri atas :
a) Persiapan atau konsepsi perencanaan, seperti mengumpulkan data dan
informasi lapangan (termasuk penyelidikan tanah sederhana), membuat
interprestasi secara garis besar terhadap Kerangka Acuan Kerja, program
kerja perencanaan, konsep perencanaan, sketsa gagasan, dan konsultasi
dengan pemerintah daerah setempat mengenai peraturan daerah/perizinan
bangunan;
b) Penyusunan pra-rencana, seperti membuat rencana tapak, pra-rencana
bangunan, perkiraan biaya, laporan perencanaan, dan mengurus perizinan
sampai mendapatkan avis panning, keterangan persyaratan bangunan dan
lingkungan, dan IMB pendahuluan dari pemerintah daerah setempat;
c) Menyelenggarakan paket kegiatan lokakarya value engineering untuk
pengembangan konsep perancangan, bagi proyek-proyek yang mewajibkan
kegiatan tersebut;
d) Penyusunan pengembangan rencana, seperti membuat :
i) Rencana arsitektur, beserta uraian konsep dan visualisasi dua dan
trimatra bila diperlukan;
ii) Rencana struktur, beserta uraian konsep dan perhitungannya;
iii) Rencana ulititas, beserta uraian konsep dan perhitungannya;
iv) Garis besar spesifikasi teknis (Outline Specifications);
v) Perkiraan biaya.
e) Penyusunan rencana detail, seperti membuat gambar-gambar detail,
rencana kerja dan syarat-syarat, rincian volume pelaksanaan pekerjaan,
rencanan anggaran biaya pekerjaan konstruksi, dan menyusun laporan akhir
perencanaan;

43
f) Persiapan pelelangan, seperti membantu pemimpin proyek di dalam
menyusun dokumen pelelangan, dan membantu panitia pelelangan dalam
menyusun program dan pelaksanaan pelelangan;
g) Pelelangan, seperti membantu panitia pelelangan pada waktu penjelasan
pekerjaan, termasuk menyusun Berita Acara Penjelasan Pekerjaan,
membantu Panitia Pelelangan dalam melaksanakan evaluasi penawaran,
menyusun kembali dokumen pelelangan, dan melaksanakan tugas-tugas
yang sama apabila terjadi lelang ulang;
h) Pengawasan berkala, seperti memeriksa pelaksanaan pekerjaan
kesesuaiannya dengan rencana secara berkala, melakukan penyesuaian
gambar dan spesifikasi teknis pelaksanaan bila ada perubahan, memberikan
penjelasan terhadap persoalan-persoalan yang timbul selama masa
konstruksi, memberikan rekomendasi tentang penggunaan bahan, dan
membuat laporan akhir pengawasan berkala;
i) Penyusunan petunjuk penggunaan, pemeliharaan dan perawatan bangunan
gedung termasuk petunjuk yang menyangkut peralatan dan perlengkapan
mekanikal elektrikal bangunan.
c. Penyedia Jasa Pengawas Konstruksi
1) Organisasi dan Tata Laksana
a) Organisasi penyedia jasa pengawas konstruksi disesuaikan dengan lingkup
dan kompleksitas pekerjaan, seperti :
i) Penanggung Jawab Proyek;
ii) Penanggung Jawab Lapangan;
iii) Pengawas Pekerjaan Arsitektur;
iv) Pengawas Pekerjaan Struktur;
v) Pengawas Pekerjaan Utilitas (M & E).
b) Penyedia jasa pengawas konstruksi, yang selanjutnya disebut Konsultan
Pengawas Konstruksi, adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan untuk melaksanakan tugas-tugas konsultasi dalam bidang jasa
pengawasan pekerjaan konstruksi;
c) Konsultan Pengawas Konstruksi berfungsi melaksanakan pengawasan pada
tahap konstruksi;
d) Konsultan Pengawas Konstruksi mulai bertugas sejak ditetapkan
berdasarkan surat perintah kerja pengawasan sampai dengan penyerahan
kedua pekerjaan oleh pemborong;
e) Konsultan Pengawas Konstruksi dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab secara kontraktual kepada pemimpin proyek/bagian
proyek;
f) Dalam hal di daerah tempat pelaksanaan proyek tidak terdapat perusahaan
yang memenuhi persyaratan dan bersedia melakukan tugas konsultasi
pengawasan, maka dapat ditunjuk konsultan pengawas konstruksi yang
memenuhi persyaratan dan bersedia dari daerah lain atau Provinsi lain yang
berdekatan atau dari DKI Jakarta. Apabila tidak terdapat konsultan

44
pengawas seperti diatas, fungsi tesebut dilakukan oleh unsur Instansi
Teknsi setempat;
g) Konsultan Pengawas Konstruksi digunakan untuk seluruh jenis proyek
pembangunan bangunan gedung negara, kecuali untuk proyek-proyek yang
harus menggunakan jasa Konsultan Manajemen Konstruksi;
h) Pemilihan/penunjukan Konsultan Pengawas Konstruksi harus berdasarkan
ketentuan yang tercantum dalam Keppres R.I. tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta pedoman/petunjuk teknis
pelaksanaanya;
i) Konsultan Pengawas Konstruksi dapat dirangkap oleh Konsultan Perencana
Konstruksi pekerjaan yang bersangkutan untuk pekerjaan yang
bersangkutan untuk pekerjaan dengan klasifikasi konsultan kecil;
j) Untuk Provinsi Papua, Maluku, dan Kepulauan Riau atau daerah-daerah
yang dinyatakan daerah remote oleh Instansi yang berwenang, Konsultan
Pengawas Konstruksi dapat dirangkap oleh Konsultan Perencana
Konstruksi untuk pekerjaan dengan klasifikasi konsultan sampai dengan
kelas menengah;
k) Biaya Konsultan Pengawas Konstruksi dibebankan pada biaya untuk
komponen kegiatan pengawas konstruksi proyek yang bersangkutan.
2) Kegiatan Pengawasan Konstruksi
Kegiatan pengawas konstruksi terdiri atas :
a) Memeriksa dan mempelajari dokumen untuk pelaksanaan konstruksi yang
akan dijadikan dasar dalam pengawasan pekerjaan di lapangan;
b) Mengawasi pemakaian bahan, peralatan dan metode pelaksanaan, serta
mengawasi ketepatan waktu, dan biaya pekerjaan konstruksi;
c) Mengawasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi dari segi kualtias, kuantitas,
dan laju pencapaian volume/realisasi fisik;
d) Mengumpulkan data dan informasi di lapangan untuk memecahkan
persoalan yang terjadi selama pekerjaan konstruksi;
e) Menyelenggarakan rapat-rapat lapangan secara berkala, membuat laporan
mingguan dan bulanan pekerjaan pengawasan, dengan masukan hasil rapat-
rapat lapangan, laporan harian, mingguan dan bulanan pekerjaan kosntruksi
yang dibuat oleh pemborong;
f) Menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk pembayaran
angsuran, pemeliharaan pekerjaan, dan serah terima pertama dan kedua
pekerjaan konstruksi;
g) Meneliti gambar-gambar untuk pelaksanaan (shop drawings) yang diajukan
oleh kontraktor;
h) Menetili gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan di lapangan (As
Bulit Drawings) sebelum serah terima I;
i) Menyusun daftar cacat/kerusakan sebelum serah terima I, mengawasi
perbaikannya pada masa pemeliharaan, dan menyusun laporan akhir
pekerjaan pengawasan;

45
j) Bersama Konsultan Perencana menyusun petunjuk pemeliharaan dan
penggunaan bangunan gedung;
k) Membantu pengelola proyek dalam menyusun Dokumen Pendaftaran;
l) Membantu pengelola proyek mengurus sampai mendapatkan IPB (Izin
Penggunaan Bangunan) dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat.
d. Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi
1) Organisasi dan Tata Laksana
a) Organisasi penyedia jasa pelaksana konstruksi disesuaikan dengan lingkup
dan kompleksitas pekerjaan, seperti :
i) Penanggung Jawab Proyek;
ii) Penanggung Jawab lapangan;
iii) Tenaga Ahli Arsitektur/Struktur/M & E;
iv) Tenaga Ahli Estimasi Biaya;
v) Tenaga Ahli K3;
vi) Pelaksana lapangan.
b) Penyedia jasa pelaksana konstruksi, yang selanjutnya disebut Pemborong,
adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk
melaksanakan tugas konstruksi fisik pembangunan gedung;
c) Pemborong berfungsi membantu pengelola proyek untuk melaksanakan
konstruksi fisik pada tahap pelaksanaan;
d) Pemborong mulai bertugas sejak waktu yang ditetapka di dalam SPK
pemborongan sampai dengan penyerahan kedua pekerjaan pemborong;
e) Pemborong dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab secara
kontraktual kepada pemimpin proyek/pemimpin bagian proyek;
f) Pengadaan pemborong harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang
tercantum dalam Keppres R.I. tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara serta pedoman/petunjuk teknis pelaksanaannya;
g) Biaya pemborong dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan
konstruksi fisik proyek yang bersangkutan.
2) Kegiatan Konstruksi Fisik
Kegiatan konstruksi fisik terdiri atas :
a) Melakukan pemeriksaan dan penilaian dokumen untuk pelaksanaan
konstruksi, baik dari segi kelengkapan maupun segi kebenarannya;
b) Menyusun program kerja yang meliputi jadwal waktu pelaksanaan, jadwal
pegadaan bahan, jadwal penggunaan tenaga kerja, dan jadwal penggunaan
peralatan berat;
c) Melaksanakan persiapan di lapangan sesuai dengan pedoman pelaksanaan;
d) Menyusun gambar pelaksanaan (shop drawing) untuk pekerjaan-pekerjaan
yang memerlukannya;

46
e) Melaksanakan pekerjaan konstruksi fisik di lapangan sesuai dengan
dokumen pelaksanaan;
f) Melaksanakan pelaporan pelaksanaan konstruksi fisik, melalui rapat-rapat
lapangan, laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan, laporan
kemajuan pekerjaan, laporan persoalan yang timbul/dihadapi, dan surat
menyurat;
g) Membuat gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan di lapangan (as
bulit drawings) yang selesai sebelum serah terima I, telah disetujui oleh
konsultan manajemen konstruksi/konsultan pengawas konstruksi dan
diketahui oleh konsultan perencana konstruksi;
h) Melaksanakan perbaikan atas kerusakan yang terjadi pada masa
pemeliharaan konstruksi;
i) Untuk pekerjaan yang berdasarkan penetapan dari Pemimpin
Proyek/Bagian Proyek pada waktu pelelangan dapat menggunakan metode
VE, menyusun value engineering change proposal (VECP) dalam rangka
pemberian alternatif penawaran yang disertakan pada surat penawaran;
j) Dalam penyusunan VECP, pemborong secara in-house, bagi yang memiliki
tenaga ahli VE, atau bekerja sama dengan pemberi jasa keahlian VE, harus
menggunakan metodologi sesuai dengan standar pelaksanaan studi VE
yang lazim berlaku;
k) Dalam hal terjadi penghematan karena penggunaan VECP dalam rangka
pemberian alternatif penawaran tersebut, pengaturan biaya hasil
penghematan (H) adalah sebagai berikut :
 60% dari H digunakan untuk meningkatkan mutu dan/atau menambah
kegiatan pekerjaan konstruksi fisik atau disetor ke Kas Negara;
 25% dari H untuk tambahan biaya jasa pemborong dan pelaksana VE;
 10% dari H untuk tambahan biaya jasa konsultan perencana konstruksi;
 5% dari H untuk tambahan jasa konsultan manajemen konstruksi (untuk
proyek yang menggunakan jasa Konsultan Manajemen Konstruksi),
sedangkan untuk proyek yang menggunakan Konsultan Pengawas
Konstruksi, biaya penghematan ini ditambahkan untuk meningkatkan
mutu dan atau menambah kegiatan pekerjaan konstruksi fisik, atau
disetor ke Kas Negara.

3. HUBUNGAN KERJA PENYEDIA JASA KONSTRUKSI DENGAN


PENGELOLA PROYEK (PENGGUNA JASA KONSTRUKSI)
Hubungan kerja antara penyedia jasa kostruksi dengan pegelola proyek sebagai
pengguna jasa konstruksi adalah hubungan kerja sama yang mempunyai kedudukan
sama dan berasaskan kemitraan, yang diwujudkan dalam bentuk kontrak kerja
konstruksi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Hubungan kerja antara penyedia jasa konstruksi
dengan pengelola proyek diatur sebagai berikut :

47
a. Pengelola Proyek bertanggung jawab atas pembayaran semua prestasi pekerjaan
yang telah dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi berdasarkan perjanjian yang
telah disepakati bersama;
b. Para ahli penyedia jasa kosntruksi bertanggung jawab atas hasil pekerjaan yang
dilaksanakan terhitung dari serah terima pekerjaannya;
c. Kecuali ditentukan lain, maka pada dasarnya hubungan kerja antara Pemimpin
Proyek/pemimpin Bagian Proyek dengan pihak penyedia jasa konstruksi masing-
masing : manajemen konstruksi/pengawas konstruksi, perencana konstruksi, dan
pemborong, dilakukan secara kontraktual dalam bentuk Kontak Lump sum/Lump
sum Fixed Price Contract/pasti dan mengikat;
d. Yang dimaksud dengan Kontrak Lump sum adalah suatu kontrak pengadaan
barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan
jumlah harga total penawaran yang pasti dan tetap. Dengan demikian, semua risiko
yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan tersebut sepenuhnya
ditanggung oleh pelaksana yang melakukan kontrak tersebut, sepanjang gambar
dan spesifikasi tidak berubah;

e. Khusus untuk pemborongan, daftar volume dan harga (bills of quantity/BQ)


bersifat tidak mengikat dalam kontrak dan tidak dapat dijadikan dasar perhitungan
untuk melakukan pembayaran. Tahap pembayaran dilakukan berdasarkan prestasi
kerja yang kriterianya ditetapkan dalam kontrak yang bersangkutan.

C. PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN TERTENTU


1. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN LEBIH DARI SATU TAHUN
ANGGARAN
Untuk proyek-proyek yang karena kondisinya tidak dapat diselesaikan dalam satu
tahun anggaran, sehingga memerlukan persetujuan multi years project, pengadaan
dokumen perencanaannya diselesaikan pada tahun anggaran pertama.
Dalam menyusun program pembangunan bangunan gedung negara yang tidak selesai
dalam satu tahun anggaran, maka harus disusun program pembangunan setiap
tahunannya sesuai dengan lingkup pekerjaan yang bisa diselesaikan para tahun yang
bersangkutan. Sebagai pedoman pelaksanaan dapat mengikuti pola sebagai berikut :
a. Bangunan sampai dengan 2 lantai
1) Tahun pertama penyusunan dokumen perencanaan, pelaksanaan pondasi dan
struktur bangunan s.d. lantai 2;
2) Tahun kedua pelaksanaan sisa pekerjaan.
b. Bangunan lebih dari 3 lantai sampai dengan 5 lantai
1) Tahun pertama penyusunan dokumen perencanaan, pelaksanaan pondasi dan
struktur bangunan s.d. lantai 2;
2) Tahun kedua pelaksanaan sisa pekerjaan.
c. Bangunan 6 lantai sampai dengan 8 lantai
1) Tahunpertama penyusunan dokumen perencanaan, pelaksanaan pondasi dan
struktur bangunan s.d. lantai 1;

48
2) Tahun kedua pelaksanaan struktur lantai 2 sampai dengan lantai 8 sebagian
finishing lantai 1, 2, dan 3, sebagian pekerjaan mekanika dan elektrikal;
3) Tahun ketiga pelaksanaan sisa pekerjaan.

2. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DENGAN DESAIN BERULANG


a. Disain berulang adalah disain produk yang sudah ada oleh konsultan yang sama
digunakan secara berulang, dan telah ditetapkan sebelumnya dalam Kerangka
Acuan Kerja (KAK);
b. Disain berulang total adalah disain produk konsultan yang menggunakan seluruh
dokumen pelelangan yang sudah ada secara berulang untuk pekerjaan lain pada
lokasi yang sama atau pada lokasi lain;
c. Disain berulang parsial adalah disain produk konsultan yang menggunakan
sebagian dokumen pelelangan yang telah ada secara berulang untuk pekerjaan lain
pada lokasi yang sama atau pada lokasi lain;
d. Biaya perencanaan untuk disain bangunan yang berulang secara total ataupun
parsial diperhitungkan sebagai berikut :
1) Pengulangan pertama : 75%
2) Pengulangan kedua : 65%
3) Pengulangan ketiga, dan
seterusnya masing-masing sebesar : 50%
Terhadap komponen biaya perencanaan.
Dalam hal ini, biaya perencanaan yang dihepat dapat langsung ditambahkan
kedalam biaya konstruksi fisik untuk penambahan kegiatan dan atau peningkatan
mutu. Untuk daerah yang sukar terjangkau (remote area), penghematan biaya
tersebut dapat digunakan untuk biaya perjalanan konsultasi dalam kegiatan survei,
penjelasan pekerjaan (aanwijzing), pengawasan berkala, dan lain-lain dengan
mengajukan revisi dokumen pembiayaan.

3. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DENGAN DISAIN PROTOTIPE


Disain prototipe adalah penggunaan disain yang telah ditetapkan/dibakukan oleh
pemerintah.
a. Untuk bangunan rumah negara type 46, 50, 70, serta gedung kantor pemerintah
klasifikasi sederhana dan gedung SLTP dan SMU yang sudah ada disain
prototipenya, dibangun berdasarkan Dokumen Pelelangan disain prototipe daerah
setempat yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman
yang ditetapkan oleh Instansi Teknis setempat;
b. Penyesuaian dokumen pelelangan disain prototipe dapat dilakukan apabila
dokumen pelelangan disain prototipe yang telah ditetapkan tersebut tidak sesuai
dengan keadaan lokasi, bahan bangunan dan pelaksanaan di lapangan;
c. Penyesuaian disain prototipe dapat dilakukan oleh konsultan perencana dengan
prosentase biaya perencanaan maksimum sebesar 50% dari biaya perencanaan;

49
d. Apabila penyesuian disain prototipe dilakukan oleh unsur Instansi Teknis
setempat, maka prosentase biaya perencanaan penyesuaian disain prototipe sama
dengan 60% x biaya perencanaan penyesuaian disain prototipe oleh konsultan;
e. Tidak ada biaya tambahan untuk perencanaan bila menggunakan disain
prototipenya secara berulang;
f. Dalam hal pengawasan pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh unsur Instansi
Teknis setempat, jumlah biaya pengawasannya adalah maksimum sebesar 60% x
jumlah biaya pengawasan, dan dilaksanakan dalam rangka swakelola.

D. PEMELIHARAAN/PERAWATAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA


1. UMUR BANGUNAN DAN PENYUSUTAN
a. Umur bangunan adalah jangka waktu bangunan dapat tetap memenuhi syarat dan
keandalan bangunan, sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Untuk
bangunan gedung negara (termasuk bangunan rumah negara) umur bangunan
diperhitungkan 50 tahun;
b. Penyusutan adalah nilai degradasi bangunan yang dihitung secara sama besar
separuhnya selama jangka waktu umur bangunan. Untuk bangunan gedung negara,
nilai penyusutan adalah sebesar 2% per tahun umur bangunan gedung dengan
minimum nilai sisa (salvage value) sebesar 20%;
c. Penyusutan bangunan gedung negara yang dibangun dengan konstruksi semi
permanen, penyusutannya sebesar 4% per tahun, sedangkan umur konstruksi
darurat sebesar 10% per tahun dengan minimum nilai sisa (salvage value) sebesar
20%.

2. KERUSAKAN BANGUNAN
Kerusakan bangunan adalah tidak berfungsinya bangunan atau komponen bangunan
akibat penyusutan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah manusia atau perilaku
alam seperti beban fungsi yang berlebih, kebakaran, gempa bumi, atau sebab lain yang
sejenis.
Intensitas kerusakan bangunan dapat digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yaitu :
a. Kerusakan ringan
Kerusakan ringan adalah kerusakan terutama pada komponen non-struktural,
seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai dan dinding pengis.
b. Kerusakan sedang
Kerusakan sedang adalah kerusakan pada sebagian komponen non-struktural
dan/atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai, dll.
c. Kerusakan berat
Kerusakan berat adalah kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik
struktural maupun non-struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat
berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.
Penentuan tingkat kerusakan adalah setelah berkonsultasi dengan Instansi Teknis
setempat.

50
3. PERAWATAN BANGUNAN
a. Perawatan bangunan adalah usaha memperbaiki kerusakan yang terjadi agar
bangunan dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Perawatan
bangunan dapat digolongkan sesuai dengan tingkat kerusakan pada bangunan
yaitu:
1) Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan;
2) Perawatan untuk tingkat kerusakan sedang;
3) Perawatan untuk tingkat kerusakan berat.
b. Besarnya biaya perawatan disesuaikan dengan tingkat kerusakannya, yang
ditentukan sebagai berikut :
1) Perawatan tingkat kerusakan ringan, biayanya maksimum adalah sebesar 30%
dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku,
untuk tipe/klas dan lokasi yang sama;
2) Perawatan tingkat kerusakan sedang, biayanya maksimum adalah sebesar 45%
dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku,
untuk tipe/klas dan lokasi yang sama;
3) Perawatan tingkat kerusakan berat, biayanya maksimum adalahsebesar 65%
dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku,
untuk tipe/klas dan lokasi yang sama.
c. Untuk perawatan yang memerlukan penanganan khusus atau dalam usaha
meningkatkan wujud bangunan, seperti melalui kegiatan renovasi atau restorasi
(misal yang berkaitan dengan perawatan bangunan gedung bersejarah), besarnya
biaya perawatan dihitung sesuai dengan kebutuhan nyata dan dikonsultasikan
terlebih dahulu kepada Instansi Teknis setempat.

4. PEMELIHARAAN BANGUNAN
a. Pemeliharaan bangunan adalah usaha mempertahankan kondisi bangunan agar
tetap berfungsi sebagaimana mestinya atau dalam usaha meningkatkan wujud
bangunan, serta menjaga terhadap pengaruh yang merusak;
b. Pemeliharaan bangunan juga merupakan upaya untuk menghindari kerusakan
komponen/elemen bangunan akibat keusangan/kelusuhan sebelum umurnya
berakhir;
c. Besarnya biaya pemeliharaan bangunan gedung tergantung pada fungsi dan
klasifikasi bangunan. Biaya pemeliharaan per m2 bangunan gedung setiap
tahunnya maksimum adalah sebesar 2% dari harga satuan per m2 tertinggi yang
berlaku.

E. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TEKNIS


1. Pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung negara
dilaksanakan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah kepada Pemegang
Mata Anggaran dan Penyedia Jasa Konstruksi;

51
2. Pembinaan teknis dilaksanakan melalui pemberian bimbingan teknis untuk
menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Pedoman/Petunjuk Teknis yang
ditetapkan oleh Menteri Permukiman da Prasarana Wilayah;
3. Pembinaan teknis juga dilaksanakan melalui pemberian bantuan tenaga teknis, baik
berupa tenaga pemimpin proyek, panitia, pengelola teknis, maupun tenaga ahli teknis
lainnya;
4. Pengawasan teknis dilaksanakan dengan melakukan pengawasan terhadap penerapan
Standar Nasional Indonesia dan peroman Teknis yang ditetapkan oleh Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah, dengan tujuan agar sumber daya yang berupa
tenaga manusia, biaya, peralatan dan manajemen yang tersedia dapat digunakan secara
efisien dan efektif;
5. Pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung negara
dilaksanakan sebagai berikut :
a. Untuk tingkat nasional dilaksanakan oleh Direktorat Bina Teknik Direktorat
Jenderal Perumahan dan Permukiman;
b. Untuk wilayah Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Permukiman dan Prasarana
Wilayah Provinsi/Pekerjaan UmumProvinsi/Dinas teknis Provinsi yang
bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung;
c. Untuk wilayah Kabupaten oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah
Kabupaten/Pekerjaan Umum Kabupaten/Dinas teknis Kabupaten yang
bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung;
d. Untuk wilayah Kota oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah
Kota/Pekerjaan Umum Kota/Dinas teknis Kota yang bertanggung jawab dalam
pembinaan bangunan gedung.
6. Direktorat/Dinas Teknis yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung
melaporkan hasil pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung
negara di wilayahnya kepada Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah.

52
BAB VI
PENUTUP

1. Apabila terdapat permasalahan di dalam penerapan Pedoman Teknis ini, para petugas
pemerintah yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembangunan bangunan
gedung negara dapat berkonsultasi kepada :
a. Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah;
b. Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi/Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi/Dinas teknis yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung
Provinsi, atau
c. Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten atau Kota/Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten atau Kota/Dnias teknis yang bertanggung jawab dalam pembinaan
bangunan gedung Kabupaten atau Kota.
2. Mengingat terjadinya perubahan klasifikasi bangunan gedung negara, dari klas A, B, dan
C menjadi klas Sederhana, Tidak Sederhana dan Khusus, yang akan berpengaruh pada
penggolongan standar harga satuan tertingginya, maka dalam masa peralihan tahun
anggaran 2002, klasifikasi bangunan gedung negara tetap mengacu pada Keputusan
Direktur Jenderal Cipta Karya No. 295/KPTS/CK/1997 tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Bangunan Gedung Negara, sedangkan ketentuan lainnya mengikuti
ketentuan dalam Keputusan ini.

53
TABEL A1
SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA
KLASIFIKASI
NO. URAIAN KETERANGAN
SEDERHANA TIDAK SEDERHANA KHUSUS

A PERSYARATAN TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


1. Jarak Antar Bangunan Minimal 3 m Minimal 3 m, untuk bangunan bertingkat dihitung berdasarkan Berdasarkan pertimbangan
pertimbangan keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan keselamatan, kesehatan, dan
2. Ketinggian Bangunan Maksimum 2 lantai Maksimum 8 lantai (di atas 8 lantai harus mendapat rekomendasi Menteri kenyamanan, serta ketentuan dalam
Kimpraswil Peraturan Daerah setempat tentang
Bangunan atau Rencana Tata
3. Ketinggian Langit-langit Minimal 2.60 m Minimal 2.80 m Sesuai fungsi Ruang Wilayah Kabupaten/Kota,
atau Rencana Tata Bangunan dan
4. Koefisien Dasar Bangunan Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat
Lingkungan untuk lokasi yang
5. Koefisien Lantai Bangunan Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat bersangkutan.

6. Koefisien Dasar Hijau Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat

7. Garis sempadan Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat

8. Wujud Arsitektur Sesuai fungsi dan kaidah arsitektur Sesuai fungsi dan kaidah arsitektur Sesuai fungsi dan kaidah arsitektur
sederhana
9. Pagar Halaman **) Menggunakan bahan dinding batu bata/batako (1/2 batu), besi baja, kayu, dan bahan lainnya yang disesuaikan
dengan rancangan wujud arsitektur bangunan
10. Kelengkapan Sarana dan Prasarana Lingkungan *) Dihitung berdasarkan kebutuhan
sesuai fungsi bangunan dan
- Parkir kendaraan Minimal 1 parkir kendaraan untuk 60 m2 luas bangunan gedung SNI/ketentuan yang berlaku.

- Aksesibilitas Tersedia sarana aksesibilitas bagi penyandang cacat

- Drainase Tersedia drainase sesuai SNI yang berlaku

- Pembuangan sampah Tersedia tempat pembuangan sampah sementara

- Pembuangan limbah Tersedia sarana pengolahan limbah, khususnya untuk limbah berbahaya

- Penerangan halaman Tersedia penerangan halaman

55
TABEL A1
SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA
KLASIFIKASI
NO. URAIAN KETERANGAN
SEDERHANA TIDAK SEDERHANA KHUSUS

B PERSYARATAN BAHAN BANGUNAN Diupayakan menggunakan bahan


bangunan setempat/produksi dalam
1. Bahan Penutup Lantai Keramik, vinil, tegel PC Marmer lokal, keramik, vinil, kayu Marmer lokal, keramik, vinil, kayu negri, termasuk bahan bangunan
sebagai bagian dari sistem
2. Bahan Dinding Luar Bata, batako diplester dan dicat, Bata, batako diplester dicat/dilapis Bata, batako diplester dicat/dilapis pabrikasi komponen. Apabila
kaca keramik, kaca, panil beton ringan keramik, kaca, panil beton ringan bahan tersebut sukar diperoleh atau
3. Bahan Dinding Dalam Bata, batako diplester dan dicat, Bata, batako diplester dicat/dilapis Bata, batako diplester dicat/dilapis harganya tidak sesuai, dapat diganti
kaca, partisi kayu lapis keramik, kaca, partisi gipsum keramik, kaca, partisi gipsum dengan bahan lain yang sederajat
tanpa mengurangi persyaratan
4. Bahan Penutup Plafond Kayu-lapis dicat Gipsum, kayu-lapis dicat Gipsum, kayu-lapis dicat
fungsi dan mutu dengan
5. Bahan Penutup Atap Genteng, asbes, seng, sirap Genteng keramik, aluminium Genteng keramik, aluminium pengesahan Instansi Teknis
gelombang dicat gelombang dicat Setempat.

6. Bahan Kosen dan Daun Pintu Kayu dicat/aluminium Kayu dipelitur, anodized Kayu dipelitur, anodized
aluminium aluminium

C PERSYARATAN STRUKTUR BANGUNAN Khusus untuk daerah gempa, harus


direncanakan sebagai struktur
1. Pondasi Batu belah, kayu, beton bertulang Batu belah, kayu, beton bertulang Batu belah, kayu, beton bertulang bangunan tahan gempa.
K-200 K-225 atau lebih K-225 atau lebih
2. Struktur Lantai (khusus untuk Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-225 atau lebih, Beton bertulang K-225 atau lebih,
bangunan gedung bertingkat) klas kuat II baja, kayu klas kuat II baja, kayu klas kuat II
3. Kolom Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-225 atau lebih, Beton bertulang K-225 atau lebih,
klas kuat II baja, kayu klas kuat II baja, kayu klas kuat II
4. Balok Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-225 atau lebih, Beton bertulang K-225 atau lebih,
klas kuat II baja, kayu klas kuat II baja, kayu klas kuat II
5. Rangkap Atap Kayu klas kuat II, baja Kayu klas kuat II, baja dilapis anti Kayu klas kuat II, baja dilapis anti
karat karat
6. Kemiringan Atap Genteng min. 30°, sirap min. 22.5°, Genteng min. 30°, sirap min. 22.5°, Genteng min. 30°, sirap min. 22.5°,
seng min. 15° seng min. 15° seng min. 15°

56
TABEL A1
SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA
KLASIFIKASI
NO. URAIAN KETERANGAN
SEDERHANA TIDAK SEDERHANA KHUSUS

D UTILITAS dan PRASARANA DAN SARANA DALAM BANGUNAN


1. Air Bersih PAM, sumur pantek PAM, sumur pantek PAM, sumur pantek

2. Saluran air hujan Talang, saluran lingkungan Talang, saluran lingkungan Talang, saluran lingkungan

3. Pembuangan Air Kotor Bak penampung Bak penampung Bak penampung

4. Pembuangan Kotoran Bak penampung Bak penampung Bak penampung

5. Bak SeptikTank & resapan Berdasarkan kebutuhan Berdasarkan kebutuhan Berdasarkan kebutuhan

6. Sarana Pengaman terhadap Mengikuti ketentuan dalam Kep. Meneg. PU No. 10/KPTS/2000 dan Kep. Meneg. PU No. 11/KPTS/2000, serta
Bahaya Kebakaran *) Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku
7. Sumber daya listrik *) PLN, generator

8. Penerangan 100-215 lux/m2, dihitung berdasarkan kebutuhan dan fungsi bangunan serta SNI yang berlaku Penerangan alam dan buatan

9. Tata Udara 6-10% bukaan atau dengan tata 6-10% bukaan atau dengan tata 6-10% bukaan atau dengan tata Dihitung sesuai SNI yang berlaku
udara buatan (AC*) udara buatan (AC*) udara buatan (AC*)
10. Sarana Transportasi Vertikal *) Tidak diperlukan Untuk bangunan di atas 4 lantai dapat menggunakan Lift sesuai SNI yang Dihitung sesuai kebutuhan dan
berlaku fungsi bangunan
11. Aksesibilitas bagi penyandang Sesuai ketentuan dalam Kep. Men. PU No. 468/KPTS/1998, minimal ramp untuk bangunan klasifikasi sederhana
cacat *)
12. Telepon *) Sesuai kebutuhan Sesuai kebutuhan Sesuai kebutuhan

13. Penangkal petir Penangkal petir lokal Penangkal petir lokal Penangkal petir lokal

E SARANA PENYELAMATAN
1. Tangga Penyelamatan (khusus Lebar minimal = 1.20 m, dan bukan Lebar minimal = 1.20 m, dan bukan Lebar minimal = 1.20 m, dan bukan Jarak antar tangga maksimum 25 m
untuk bangunan bertingkat) tangga putar tangga putar tangga putar
2. Tanda Penunjuk Arah Jelas, dasar putih, huruf hijau

3. Pintu Lebar min. = 0.90 m, satu ruang minimal 2 pintu dan membuka keluar

4. Koridor/selasar Lebar min. = 1.80 m Lebar min. = 1.80 m Lebar min. = 1.80 m
*) Pembiayaan tidak termasuk dalam standar harga satuan tertinggi per-m2, dan dianggarkan tersendiri sebagai biaya non-standar,
**) Pembiayaan tidak termasuk dalam standar harga satuan tertinggi per-m2 bangunan gedung negara, dan dianggarkan tersendiri sesuai dengan harga satuan tertinggi per-m2 bangunan pagar gedung
negara

57
TABEL A2
SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN RUMAH NEGARA
KLASIFIKASI
NO. URAIAN KETERANGAN
Khusus & Tipe A Tipe B Tipe C, D, dan E

A PERSYARATAN TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN


1. Jarak Antar Bangunan Minimal 3 m, untuk bangunan Terutama berdasarkan ketentuan
bertingkat dihitung berdasarkan dalam Peraturan Daerah setempat
pertimbangan keselamatan, tentang Bangunan atau Rencana
kesehatan, dan kenyamanan Tata Ruang Wilayah
2. Ketinggian Bangunan Kabupaten/Kota untuk lokasi yang
bersangkutan
3. Ketinggian Langit-langit Min. 2.70 m Min. 2.70 m Min. 2.70 m

4. Koefisien Dasar Bangunan Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat

5. Koefisien Lantai Bangunan Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat

6. Koefisien Dasar Hijau Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat

7. Garis sempadan Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat

8. Wujud Arsitektur Sesuai fungsi rumah & kaidah Sesuai fungsi rumah & kaidah Sesuai fungsi rumah & kaidah
arsitektur arsitektur arsitektur
9. Pagar Halaman Menggunakan bahan dinding batu bata/batako (1/2 batu), besi, baja, kayu, dan bahan lainnya yang disesuaikan Biayanya mengikuti standar harga
dengan rancangan wujud arsitektur bangunan rumah negara satuan per m2 pagar
10. Tandan Air Bersih Min. 3 m3 Min. 2 m3 Min. 1 m3

B PERSYARATAN BAHAN BANGUNAN


1. Bahan Penutup Lantai Marmer lokal, keramik, vinil, kayu Keramik, vinil Keramik, vinil, legel PC Diupayakan menggunakan bahan
bangunan setempat/produksi dalam
2. Bahan Dinding Bata, batako diplester dan dicat Bata, batako diplester dan dicat Bata, batako diplester dan dicat negeri, termasuk bhan bangunan
tembok tembok tembok sebagai bagian dari sistem pabrikasi
komponen.
3. Bahan Penutup Plafond Gipsum, asbes semen/kayu lapis Asbes semen/kayu lapis dicat Asbes semen/kayu lapis dicat
dicat
4. Bahan Penutup Atap Genteng keramik berglazuur, asbes, Genteng, asbes, seng, sirap Genteng, asbes, seng, sirap
seng, sirap
5. Bahan Kosen dan Daun Kayu dipelitur/dicat Kayu dicat Kayu dicat
Pintu/Jendela

58
TABEL A2
SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN RUMAH NEGARA
KLASIFIKASI
NO. URAIAN KETERANGAN
Khusus & Tipe A Tipe B Tipe C, D, dan E

C PERSYARATAN STRUKTUR BANGUNAN


1. Pondasi Batu belah, kayu klas kuat II, beton Batu belah, kayu klas kuat II, beton Batu belah, kayu klas kuat II, beton Khusus untuk daerah gempa, harus
bertulang bertulang bertulang direncanakan sebagai struktur
2. Struktur Lantai (khusus untuk Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-200, baja, kayu bangunan tahan gempa.
bangunan gedung (bertingkat) klas kuat II klas kuat II klas kuat II
3. Kolom Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-200, baja, kayu
klas kuat II klas kuat II klas kuat II
4. Balok Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-200, baja, kayu Beton bertulang K-200, baja, kayu
klas kuat II klas kuat II klas kuat II
5. Rangka Atap Kayu klas II, baja Kayu klas II, baja Kayu klas II, baja

6. Kemiringan Atap Genteng min. 30°, sirap min. 22.5°, Genteng min. 30°, sirap min. 22.5°, Genteng min. 30°, sirap min. 22.5°,
seng min. 15° seng min. 15° seng min. 15°

D UTILITAS
1. Air Bersih PAM, sumur pantek PAM, sumur pantek PAM, sumur pantek

2. Saluran air hujan Talang, saluran lingkungan Talang, saluran lingkungan Talang, saluran lingkungan

3. Pembuangan Air Kotor Bak penampung Bak penampung Bak penampung

4. Pembuangan Kotoran Bak penampung Bak penampung Bak penampung

5. Bak SeptiTank & resapan 6 m3 5 m3 2-4 m3

6. Sarana Pengamanan Bahaya Mengikuti ketentuan dalam Kep. Meneg. PU No. 10/KPTS/2000 dan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
Kebakaran *) berlaku
7. Sumber daya listrik *) PLN, 2200-4400 VA PLN, 1350-2200 VA PLN, 450-1350 VA

8. Penerangan (alam & 100-215 lux/m2 100-215 lux/m2 100-215 lux/m2

9. Tata Udara 6-10% bukaan atau dengan tata 6-10% bukaan 6-10% bukaan
udara buatan (AC)*)
10. Telepon *) Sesuai kebutuhan Sesuai kebutuhan Tidak disyaratkan

11. Penangkal petir Penangkal petir lokal Penangkal petir lokal Tidak disyaratkan

59
TABEL A2
SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN RUMAH NEGARA
KLASIFIKASI
NO. URAIAN KETERANGAN
Khusus & Tipe A Tipe B Tipe C, D, dan E

E SARANA PENYELAMATAN
1. Tangga Penyelamatan (khusus Lebar min. = 1.20 m Lebar min. = 1.20 m Lebar min. = 1.20 m
untuk yang bertingkat)
2. Tanda Penunjuk Arah Keluar Tidak dipersyaratkan Tidak dipersyaratkan Tidak dipersyaratkan

3. Pintu Lebar min. = 0.90 m Lebar min. = 0.90 m Lebar min. = 0.90 m

4. Koridor/selasar Lebar min. = 1.80 m Lebar min. = 1.80 m Lebar min. = 1.80 m
*) Pembiayaan tidak termasuk dalam harga satuan tertinggi per-m2, dan harus dianggarkan tersendiri sebagai biaya non-standar.
- Untuk Perumahan Dinas klas C, D, dan E, pelaksanaan pembangunannya disamping seperti ketentuan pada tabel tersebut diatas, dibangun berdasarkan “Dokumen Pelelangan Disain Prototip
Daerah Setempat” yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman atau menggunakan disain Perum Perumnas yang telah disetujui oleh Direktorat Jenderal Perumahan
dan Permukiman;
- Untuk bangunan rumah negara yang dibangun dalam bangunan gedung bertingkat banyak (rumah sususn), maka ketentuan-ketentuan teknisnya mengikuti ketentuan teknis untuk bangunan
gedung negara sesuai ketentuan yang berlaku;
- Apabila bahan-bahan tersebut sukar diperoleh atau harganya tidak sesuai, dapat diganti dengan bahan lain yang sederajat tanpa mengurangi persyaratan fungsi dan mutu dengan pengesahan
Isntansi Teknis Setempat.

60
TABEL B1
PROSENTASE KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI SEDERHANA SEDERHANA
BIAYA KONSTRUKSI FISIK
(JUTA RP) 100 250 500 1.000 2.000 5.000 10.000 20.000 50.000 100.000 200.000
s.d.
s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
KOMPONEN 100
250 500 1.000 2.000 5.000 10.000 20.000 50.000 100.000 200.000 500.000
KEGIATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1. PERENCANAAN 8.23 6.83 5.63 4.65 3.90 3.28 2.82 2.44 2.16 1.94 1.80
KONSTRUKSI 8.23 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 6.83 5.63 4.65 3.90 3.28 2.82 2.44 2.16 1.94 1.80 1.72

2. PENGAWASAN 5.35 4.63 3.90 3.27 2.73 2.27 1.92 1.65 1.43 1.26 1.18
KONSTRUKSI 5.35 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 4.62 3.90 3.27 2.73 2.27 1.92 1.65 1.43 1.26 1.18 1.14

3. PENGELOLAAN 1.75 1.45 1.16 0.86 0.65 0.50 0.37 0.28 0.21 0.18 0.16
PROYEK 1.75 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 1.45 1.16 0.86 0.65 0.50 0.37 0.28 0.21 0.18 0.16 0.14

61
TABEL B2
PROSENTASE KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI TIDAK SEDERHANA TIDAK SEDERHANA
BIAYA KONSTRUKSI FISIK
(JUTA RP) 100 250 500 1.000 2.000 5.000 10.000 20.000 50.000 100.000 200.000
s.d.
s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
KOMPONEN 100
250 500 1.000 2.000 5.000 10.000 20.000 50.000 100.000 200.000 500.000
KEGIATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1. PERENCANAAN 9.00 7.55 6.35 5.37 4.55 3.92 3.42 3.02 2.72 2.50 2.32
KONSTRUKSI 9.00 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 7.55 6.35 5.37 4.55 3.92 3.42 3.03 2.72 2.50 2.32 2.25

2. MANAJEMEN
KONSTRUKSI 7.25 6.20 5.25 4.50 3.80 3.25 2.80 2.48 2.19 2.00 1.89
(dalam %) 7.25 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
6.20 5.25 4.50 3.80 3.25 2.80 2.48 2.19 2.00 1.89 1.84
atau

3. PENGAWASAN 6.00 5.20 4.45 3.80 3.20 2.70 2.30 2.00 1.78 1.60 1.50
PROYEK 6.00 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 5.20 4.45 3.80 3.20 2.70 2.30 2.00 1.78 1.60 1.50 1.45

4. PENGELOLAAN 1.90 1.50 1.20 0.90 0.68 0.53 0.40 0.30 0.23 0.19 0.17
PROYEK 1.90 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 1.50 1.20 0.90 0.68 0.53 0.40 0.30 0.23 0.19 0.17 0.15

62
TABEL B3
PROSENTASE KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI KHUSUS KHUSUS
BIAYA KONSTRUKSI FISIK
(JUTA RP) 100 250 500 1.000 2.000 5.000 10.000 20.000 50.000 100.000 200.000
s.d.
s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
KOMPONEN 100
250 500 1.000 2.000 5.000 10.000 20.000 50.000 100.000 200.000 500.000
KEGIATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1. PERENCANAAN 9.75 8.20 6.89 5.85 5.00 4.35 3.85 3.45 3.10 2.90 2.75
KONSTRUKSI 9.75 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 8.20 6.89 5.85 5.00 4.35 3.85 3.45 3.10 2.90 2.75 2.70

2. MANAJEMEN 7.95 6.68 5.70 4.87 4.15 3.60 3.10 2.77 2.49 2.30 2.17
KONSTRUKSI 7.95 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 6.68 5.70 4.87 4.15 3.60 3.10 2.77 2.49 2.30 2.17 2.12

3. PENGELOLAAN 1.90 1.44 1.18 0.86 0.80 0.55 0.43 0.34 0.26 0.21 0.17
PROYEK 1.90 s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d. s.d.
(dalam %) 1.50 1.20 0.90 0.68 0.53 0.40 0.30 0.23 0.19 0.17 0.15

63
TABEL C
STANDAR LUAS RUANG GEDUNG KANTOR

A. RUANG KERJA

LUAS RUANG (M2)


JABATAN RUANG RUANG RUANG RUANG RUANG RUANG RUANG KETERANGAN
JUMLAH
KERJA TAMU RAPAT SEKRET TUNGGU SIMPAN TOILET
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Menteri 9.00 10.00 20.00 8.00 20.00 5.00 4.00 76.00
Standar luas ruang
2. Eselon IA 9.00 10.00 15.00 6.00 12.00 5.00 4.00 61.00
tersebut merupakan
3. Eselon IB 9.00 10.00 10.00 3.00 6.00 5.00 4.00 47.00 acuan dasar, yang dapat
4. Eselon IIA 8.00 6.00 10.00 4.00 9.00 3.00 0.00 40.00 disesuaikan berdasarkan
5. Eselon IIB 8.00 6.00 4.00 3.00 5.00 3.00 0.00 29.00 fungsi/sifat tiap
6. Eselon IIIA 6.00 6.00 0.00 3.00 0.00 3.00 0.00 18.00 eselon/jabatan.
7. Eselon IIIB 6.00 6.00 0.00 0.00 0.00 3.00 0.00 15.00
8. Eselon IV 4.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.00 0.00 6.00
9. Eselon V 3.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 4.00
10. Staf 2.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.00

B. RUANG PENUNJANG
1. Ruang Rapat = 1.2 M2/orang
2. Ruang Arsip = 0.4 M2/orang
3. WC/Urinair = 2 M2/25 orang
4. Mushola = 0.8 M2/orang
5. Ruang Sirkulasi = 25% total luas ruang

64
TABEL D
KETENTUAN JENIS & JUMLAH RUANG BANGUNAN RUMAH NEGARA

TIPE
NO. URAIAN KETERANGAN
Khusus A/250 m2 B/120 m2 C/70 m2 D/50 m2 E/36m2

1. Ruang Tamu 1 1 1 1 1 1 Di dalam hasil rancangan


dimungkinkan adanya penggabungan
2. Ruang Kerja 1 1 1 - - -
beberapa fungsi dalam satu ruang,
3. Ruang Duduk 1 1 1 - - - misalnya fungsi ruang duduk dan
ruang makan.
4. Ruang Makan 1 1 1 1 1 1
5. Ruang Tidur 4 4 3 3 2 2
6. Kamar Mandi/WC 2 2 1 1 1 1
7. Dapur 1 1 1 1 1 1
8. Gudang 1 1 1 1 - -
9. Garasi 2 1 1 - - -
10. Ruang Tidur Pembantu 2 2 1 - - -
11. Ruang Cuci 1 1 1 1 1 1 Tidak dihitung dalam luas bangunan
standar.
12. Kamar Pembantu 1 1 1 - - -

65

Anda mungkin juga menyukai