Anda di halaman 1dari 11

Upaya Indonesia Dalam Mengatasi Kebakaran Hutan :

Kebijakan Luar Negeri Indonesia Tentang Penanggulangan Bencana Alam


(Asap) Lintas Negara Menggunakan Pendekatan Collective good

Di jurnal ini kita akan bahas bagaimana kebijakan yang di keluarkan pemerintah
yang tepat dan efektif mengenai permasalahan kabut asap yang terjadi lintas Negara
menggunakan pendekatan collective good. Penelitian ini termasuk dalam politk
lingkungan yang berkaitan dengan benca alam .
Sebagai negara yang beriklim tropis dan memiliki gunung api yang aktif terbanyak di
dunia membuat Indonesia memiliki tanah yang subur nan kaya akan potensi alamnya.
Tidak sedikit bencana alam yang terjadi di Indonesia, di antara nya ialah kebakaran
hutan yang menghasilkan kabut asap yang menerpa beberapa negara tataran di Asia
tenggara, terutama negara yang bersebelahan langsung dengan Indonesia.
Kebakaran yang melanda hutan Indonesia sebenarnya telah terjadi dalam beberapa
periode terakhir. Tercatat mulai nya pada tahun 1982, pada saat itu kebakaran hutan
terjadi pada hutan Kalimantan timur.
Akibat ada nya kebakaran hutan tersebut, dampak nya menyebar ke negara-negara
tetangga dan memberikan dampak yang buruk dalam aktivitas sehari-hari, mulai dari
pernapasan yang terganggu, jarak pandang menjadi tidak jelas yang terhalang dari
kabut, aktivitas produktif masyarakat terganggu hingga penundaan penerbangan
pesawat.
Penelitian ini akan membahasa bagaimana Indonesia menanggapai Respon dari
pihak luar terkait kabut asap yang menerpa beberapa Negara di kawasan asia tenggara
dengan memanfatkan status Negara penghasil oksigen terbesar di dunia menggunakan
pendekatan Collective good.
Suatu kebijakan yang akan di keluarkan khusus nya kebijakan luar negeri yang
harus memperhatikan point-point penting yang bukan hanya untuk menyelamatkan
sebuah negara dalam bidang kesehatan dan sumber daya nya namun, juga harus
menemukan ruang dalam kesalahan sebab akibat nya dengan begitu dapat di temukan
elemen yang bisa di perbaiki untuk mengurangi resiko terjadinya bencana alam itu
sendiri.
Teori
collective goods
yaitu barang milik bersama dibuat oleh anggota group, yang ada untuk semua
anggota group. Bisa juga kontribusi itu banyak missal Indonesia. dalam environment,
udara yang bersih, kepentingan bersama menjaga udara yang bersih itu, milik semua
negara.Jadi ada free rider disini e.g. Australia yang tidak mau menandatangani dengan
alasan ekonomi juga menikmati udara bersih tersebut.

Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan yang luas dan sebagai penghasil
oksigen terbesar di dunia, tidak heran Indonesia di nobatkan sebagai paru-paru dunia.
Dengan posisi Indonesia sebagai penyumbang oksigen terbesar di dunia tidak heran
Indonesia memanfaatkan kondisi tersebut untung memanfaatkan kepentingan nasiol
nya yang di balut menggunakan kebijakan luar negeri. Jika di kaji lebih dalam
Indonesia memanfaatkan kondisi sebagai negara penghasil oksigen terbesar
menggunakan teori collective good, dimana dunia sama-sama berkontribusi untuk
menciptakan udara yang bersih. Seperti yang kita ketahui udara yang bersih
merupakan kebutuhan mahluk hidup. Indonesia sebagai negara penghasil oksigen
terbesar memanfaatkan kondisi tersebut, salah satu nya meretafikasi Asean
Agreement On Transboundary Gaza Pollution (AATHP) dengan mengeluarkan
kebijakan luar negeri yang menguntungkan Indonesia. Para negara tataran Asean
khawatir akan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 di Riau
yang mengakibatkan aktivitas masyarakat terganggu tidak hanya di Indonesia tetapi di
Singapura dan Malaysia. Asap yang lintas negara ini mengkhawatirkan para negara
Asean, sehingga para negara di tataran Asean membuat AATHP guna untuk
mencegah kebakaran hutan yang menyebabkan asap lintas negara. Asean yang
membuat kebijakan tersebut untuk mencegah kejadian yang merugikan tersebut.
Pembuatan kebijakan AATHP ini berlangsung pada tahun 2003 namun Indonesia
menjadi negara terakhir menandatangani perjanjian ini. Indonesia berdalih karena
terdapat persepsi bahwa perjanjian tersebut melanggar batas kedaulatan dan
kurangnya kesiapan serta koordinasi lembaga pemerintah Indonesia untuk
mengimplementasikan perjanjian ini. Selain itu Indonesia tidak menemukan
keuntungan bila menandatangani perjanjian tersebut, dimana Indonesia sebagai
negara penghasil oksigen terbesar di dunia dan negara Asean juga mendapat manfaat
dari hutan Indonesia, seharusnya yang di lakukan negara lain memberi dukungan
finansial untuk merawat hutan di Indonesia. Seperti statement yang di keluarkan oleh
wakil presiden Indonesia Yusuf Kalla, beliau mengatakan "Malaysia dan Singapura
masalah asap mereka mengeluhkan secara berlebihan, mereka tidak sadar mereka
mendapatkan oksigen dari mana, justru mereka harus peka akan persoalan ini dan
memberi dukungan secepatnya mungkin". Dari statement ini, Indonesia menggunakan
teori collective good. Pada tahun 2014 Indonesia menandatangani perjanjian AATHP
dengan mengeluarkan kebijakan luar negeri yang tentunya memberi manfaat bagi
Indonesia. Karena dalam kesepakatan di perbarui yang menyatakan AATHP terdiri
dari 32 pasal dan sebuah lampiran yang memberi pengaruh bagi Indonesia.
1. Pasal 2 : Tujuan
Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk mencegah dan memonitor transboundary
haze pollution yang diakibatkan oleh kebakaran hutan yang sebaiknya dilakukan
dengan upaya-upaya nasional dan dengan kerjasama regional dan internasional.
2. Pasal
a. Prinsip tanggung jawab negara
b. Prinsip pencegahan
c. Prinsip precautionary
d. Prinsip pembangunan yang aman
e. Prinsip kerjasama dengan semua pihak termasuk masyarakat lokal,
3. Pasal
a. Bekerjasama dalam upaya pencegahan polusi udara lintas batas
akibat kebakaran hutan termasuk didalamnya pengembangan upaya
monitor, adanya sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan
teknologi dan saling memberi bantuan,
b. Ketika terjadi transboundary haze pollution dari suatu negara,
segera merespon dan menginformasikan negara atau negara-negara yang terkena
atau akan terkena polusi udara tersebut untuk meminimalisir akibatnya.
c. Melakukan upaya legislatif dan administratif untuk melaksanakan kewajiban
dalam kesepakan ini.
4. Pasal 5 : adanya ASEAN center yang dibuat untuk memfasilitasi kerjasama dan
koordinasi antar pihak dalam mengelola dampak polusi asap. Ketika suatu negara
menyatakan keadaan darurat, dapat meminta bantuan kepada ASEAN center
5. Pasal 16 : Kerjasama secara teknis dan penelitian termasuk pertukaran
informasi, para ahli, teknologi dan alat. Memberikan pelatihan, pendidikan dan
kampanye pengembangan kesadaran tentang dampak polusi udara terhadap kesehatan
dan lingkungan.
6. Pasal 27 : Penyelesaian sengket yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi.
Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat banyak model penyelesaian sengketa
internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek.12Hukum
internasional selalu menganggap tujuan fundamentalnya adalah pemeliharaan
perdamaian.13 Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai tercantum
dalam Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai
yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2(3) Piagam PBB.14 Berbagai aturan hukum
internasional dapat dikemukakan prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa
internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam
penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa,
prinsip kesepakatan para pihak, dan prinsip-prinsip hukum internasional tentang
kedaulatan kemerdekaan
Analisis/Pembahasan

Indonesia negara yang kepulauan yang memiliki wilayah yang luas dan beriklim
tropis dan mempunyai gunung berapi yang aktif terbanyak di dunia, kaya akan
sumber alam dan rempah, tak heran banyak menarik negara lain untuk
menginvestasikan bisnis nya. Namun dari semua itu selalu terdapat kendala dalam
menjalankan berbagai aktivitas dan tentu membutuhkan kebijakan yang jeli dalam
menanggapi permasalahan yang. Seperti yang di bahas pada penelitian ini, akan
membahas bencana alam di Indonesia yakni kebakaran hutan yang berkepanjangan
khusus nya pada wilayah Riau dan Kalimantan. Tentu ini menjadi persoalan tertentu
bagi Indonesia, selain mengganggu aktivitas sehari-hari di daerah terdampak, juga
mempengaruhi negara sekitar. Seperti Malaysia dan Singapura yang bertetangga
dengan Indonesia. Tentu Indonesia mendapat teguran dari kedua negara tersebut
untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan meminta pertanggungjawaban atas
kerugian yang mereka alami. Terdengar menjengkelkan bagi Indonesia bila mendapat
teguran dari kedua negara tersebut bagi mereka yang paham pasti akan mengerti
kejengkelan pemerintah Indonesia. Seperti yang di lontarkan oleh wakil presiden
Indonesia Yusuf Kalla beliau mengatakan " negara sebelah yang merengek dan
meminta pertanggungjawaban atas kabut asap itu, sangat tidak tau diri. Kenapa?
Selama ini mereka menghirup udara dari mana ? Dari perhutanan Indonesia tentu nya,
bukan nya membantu dalam mengatasi malah berkoar-koar" kira-kira seperti itu lah
statement yang di keluarkan oleh wakil presiden Indonesia Yusuf Kalla. Seperti yang
kita ketahui permasalahan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia bukan hanya
sekali dua kali, tetapi telah terjadi dalam periode 2000-2018 yang di sebabkan oleh
beberapa hal. Berikut penulis akan memaparkan data-data nya.
1. Bencana asap yang akibat kan oelh izin pemanfaatan ruang yang di berikan
terhadap perusahaan besar yang berada di provinsi Riau dengan kontribusi titip api
berjumlah sekitar 33.748 (60.88%)
a. Munculnya bencana asap di Riau setiap tahun diakibatkan oleh izin pemanfaatan
ruang yang diberikan terhadap perusahaan besar yang ada di provinsi Riau dengan
kontribusi titik api berjumlah sekitar 34.748 atau 60.88%,
b. Kebakaran terjadi akibat degradasi lingkungan sebagai akibat dari pemberian izin
pemanfaatan ruang pada kawasan yang berkategori lindung menurut Kepres 32 Tahun
1990, PP 47 Tahun 1997 dan PP 26 Tahun 2008,
c. Jumlah titik api yang menimbulkan asap berada pada kawasan bergambut
pada periode 2000- 2008 dengan jumlah titik api 39.813 atau 69,76% dari
total titik api dan
d. Penyebab dari kebakaran pada kawasan bergambut terjadi karena
pembuatan drainase skala besar, sehingga mengganggu keseimbangan
hidrologi pada kawasan gambut pada musim kemarau.
Adapun para pakar menganalisis kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia
yang khusus nya pada daerah pulau Sumatra dan Kalimantan menunjukkan kurang
nya pengawasan dan pengelolaan kawasan yang sensitif terbakar yang di akibatkan
oleh aktivitas perusahaan dan juga pada kawasan bergambut kawasan budidaya.
Kebakaran hutan yang terjadi tentu merugikan rakyat sekitar atau yang berdekatan
pada daerah proyek. Ini sering kali di akibatkan oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab dari pelaksanaan proyek yang tidak mematuhi peraturan. Dan yang menjadi
pusat perhatian, kebakaran sering terjadi dan selalu di timbulkan oleh ulah perusahaan
yang beroperasi. Seharusnya pemerintah Indonesia membuka mata atas kasus ini.

A. Perumusan Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terkait Bencana Kabut Asap


Bencana yang di alami Indonesia seperti kabut asap, selain merugikan Indonesia
juga merugikan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Melihat persoalan
ini, ASEAN sebagai institusi regional bergerak dalam mengatasi nya dalam masalah
bencana alam lintas batas ini. Dengan begitu Asean pun mengeluarkan kebijakan atau
perjanjian yang dapat mengatur perihal pencemaran kabut asap lintas negara yang di
gagas langsung oleh beberapa negara terkait yang mengalami kerugian, perjanjian itu
di nama kan ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP). Tetapi
perjanjian yang di gagas terhambat, di karenakan pemerintah Indonesia mengeluarkan
kebijakan luar negeri nya pada saat itu menolak untuk mendatangi nya. Menurut
pengamat, ratifikasi terhambat di sebabkan oleh beberapa faktor politik.
• Alasan Indonesia belum meratifikasi Perjanjian AATHP
Adapun perumusan kebijakan luar negeri Indonesia di keluarkan untuk merespon
negara yang terkena dampak kabut asap yang di sebabkan oleh kebakaran hutan,
penulis menganalisis ada nya perumusan kebijakan luar negeri ada nya isu
pembangunan ekonomi yang menjadi salah satu faktor sebab internal dalam kebijakan
luar negeri Indonesia. Yang mana Indonesia sudah di kenal luas dengan kelapa sawit
sejak periode 1980-an yang memberikan keuntungan finance serta membuka lapangan
kerja, semakin terasa juga dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di ikuti
dengan peningkatan pendapatan daerah dan devisa negara. Tidak hanya itu, berkat
kesusksesan dalam kelapa sawit nya, Indonesia menarik perhatian para investor luar
untuk berinvestasi perkebunan kelapa sawit. Ini terlihat jelas bahwa pengembangan
komoditas ekspor kelapa sawit terus mengalami peningkatan tiap tahun maka tak
heran kelapa sawit menjadi salah satu tanaman perkebunan peran penting untuk
mendongkrak perekonomian negara.
Seperti yang telah di jelaskan di atas bahwa penyebab terjadinya kebakaran di
karenakan kebakaran dan lahan gambut yang nanti nya akan di gunakan untuk
menanam kelapa sawit. Masalah ini terjadi di karenakan ada yang salah dengan
kebijakan lingkungan Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia terkait menunda
menandatangani perjanjian AATHP ternyata tidak lepas di lihat kepentingan para elit
dan di lihat adanya struktur politik yang bergejolak dalam pembangunan ekonomi.
Dapat di lihat bahwa perusahaan yang beroperasi dalam kelapa sawit memiliki
kepentingan dengan menjalin hubungan erat dengan elit setempat sementara di sisi
lain pemerintah ingin mendongkrak investasi yang memberikan dampak bagi
perekonomian dan menciptakan lapangan kerja. Dengan adanya kenyataan tersebut.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan dengan mudah mengembangkan budaya
perkebunan kelapa sawit dengan memotong peraturan pemerintah sebelum membuka
lahan bisnis dalam jumlah besar dan tentunya dengan peraturan yang menguntungkan.
Di kutip dari pendapat Jerger, politik dalam negeri dapat menjadi faktor utama
penghalang bagi negara untuk mendatangi suatu perjanjian di karenakan ada nya
kewajiban untuk menyediakan sejumlah anggaran sebagai akomodasi dalam
perjanjian. Adapun faktor penghambat lain yakni adanya persyaratan dari pemerintah
Indonesia, meminta negara di Asean untuk menambah kasus pembalakan liar dalam
upaya menanggulangi kabut asap dengan mengambil tindakan serius bila terdapat
mengambil kayu secara ilegal dari Indonesia. Pemerintah Indonesia menentang hal
tersebut di karenakan Asean tidak banyak berperan dalam membantu mengurangi
peradangan kayu secara ilegal yang berasal dari hutan Indonesia yang kemudian di
ekspor. Selain itu, konflik antara Indonesia dengan Singapura dan Malaysia turut
mempengaruhi kebijakan Indonesia untuk meratifikasi. Yang sebelumnya Indonesia
harus terlebih dahulu di dorong oleh Haze bill yaitu peraturan bencana asap di
Singapura. Proses ratifikasi AATHP melalui berbagai tahap dan proses yang sangat
rumit dan berkepanjangan sejak di gagas pada tahun 2003.
• Dampak mendatangi perjanjian AATHP bagi kepentingan Dan Kebijakan
Indonesia
Setalah melalui tahapan dan revisi berulang kali, baru setelah 12 tahun Indonesia
meratifikasi AATHP melalui tahapan yang telah di setujui, dan di rancang undang-
undang tentang AATHP atau perjanjian Asean tentang pencemaran asap lintas batas
untuk di jadikan peraturan. Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut tentu nya
dengan ada nya kepentingan nasional. Tepat nya pada tahun 2014 Indonesia
menandatangani perjanjian AATHP dengan mengeluarkan kebijakan luar negeri yang
tentunya memberi manfaat bagi Indonesia. Karena dalam kesepakatan di perbarui
yang menyatakan AATHP terdiri dari 32 pasal dan sebuah lampiran yang memberi
pengaruh bagi Indonesia.
1. Pasal 2 : Tujuan
Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk mencegah dan memonitor transboundary
haze pollution yang diakibatkan oleh kebakaran hutan yang sebaiknya dilakukan
dengan upaya-upaya nasional dan dengan kerjasama regional dan internasional.
2. Pasal
a. Prinsip tanggung jawab negara
b. Prinsip pencegahan
c. Prinsip precautionary
d. Prinsip pembangunan yang aman
e. Prinsip kerjasama dengan semua pihak termasuk masyarakat lokal,
3. Pasal
a. Bekerjasama dalam upaya pencegahan polusi udara lintas batas
akibat kebakaran hutan termasuk didalamnya pengembangan upaya
monitor, adanya sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan
teknologi dan saling memberi bantuan,
b. Ketika terjadi transboundary haze pollution dari suatu negara,
segera merespon dan menginformasikan negara atau negara-negara yang terkena
atau akan terkena polusi udara tersebut untuk meminimalisir akibatnya.
c. Melakukan upaya legislatif dan administratif untuk melaksanakan kewajiban
dalam kesepakan ini.
4. Pasal 5 : adanya ASEAN center yang dibuat untuk memfasilitasi kerjasama dan
koordinasi antar pihak dalam mengelola dampak polusi asap. Ketika suatu negara
menyatakan keadaan darurat, dapat meminta bantuan kepada ASEAN center
5. Pasal 16 : Kerjasama secara teknis dan penelitian termasuk pertukaran
informasi, para ahli, teknologi dan alat. Memberikan pelatihan, pendidikan dan
kampanye pengembangan kesadaran tentang dampak polusi udara terhadap kesehatan
dan lingkungan.
6. Pasal 27 : Penyelesaian sengket yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi.
Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat banyak model penyelesaian sengketa
internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek.12Hukum
internasional selalu menganggap tujuan fundamentalnya adalah pemeliharaan
perdamaian.13 Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai tercantum
dalam Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai
yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2(3) Piagam PBB.14 Berbagai aturan hukum
internasional dapat dikemukakan prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa
internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam
penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa,
prinsip kesepakatan para pihak, dan prinsip-prinsip hukum internasional tentang
kedaulatan kemerdekaan.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang di keluarkan untuk meratifikasi AATHP
merupakan langkah nyata di tahap regional untuk menanggulangi bencana alam kabut
asap lintas batas. Sebelumnya, di lihat bahwa Indonesia hanya memiliki beberapa
kebijakan nasional, namun kebijakan tersebut di rumuskan tanpa ada nya intervensi
eksternal. Setalah Indonesia mengeluarkan kebijakan luar negeri nya untuk
meratifikasi AATHP pada September 2014, dengan begitu Indonesia mengemban
tanggung jawab baru dalam pencegahan dan pengendalian hutan yang mengakibatkan
kabut asap lintas negara ini. Indonesia berkomitmen memperhitungkan dan berharap
dapat mengatasi bencana kabut asap yang bukan hanya mencari udara tetapi juga
merugikan kesehatan dan terganggu nya transfortasi. Sebenarnya,jauh sebelum
meratifikasi perjanjian AATHP ini, Indonesia telah mengeluarkan kebijakan luar
negeri nya untuk menunggalani bencana alam kabut asap, Indonesia telah meratifikasi
protokol Tokyo yang mana di tuntut untuk mengelola hutan dan lingkungan yang
berguna untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang mencangkup sektor
kehutanan. Tapi kebijakan tersebut tidak efektif, bukti pada tahun 2013 menjadi tahun
titik api kebakaran hutan.
Proses bagi Indonesia untuk meratifikasi AATHP sangat lah panjang, sejak di
gagas pada tahun 2003. Banyak faktor pebghalang bagi Indonesia untuk meratifikasi
AATHP seperti yang telah di jelaskan di atas. Proses ratifikasi AATHP ini di
harapkan mampu membuat negara lebih patuh sehingga mengimplementasikan
dengan seefektif mungkin untuk membangun koordinasi yang baik bagi
pemerintahan. Jelas Indonesia menjadi bagain terpenting dalam perjanjian ini mulai
dari penegakan peraturan nya dan pengolaan lahan serta hutan yang mengingat
wilayah Indonesia merupakan penghasil oksigen terbesar di dunia. Di lihat secara
internal beberapa pasal penting yang telah di revisi berulang kali dalam perjanjian
AATHP di atas, bahwa Indonesia mendapat kan keuntungan banyak.
Berikut keuntungan bagi Indonesia dalam perjanjian AATHP.
1. Indonesia dapat memanfaatkan SDM dan dana yang disediakan dalam
kesepakatan ini. Transboundary haze pollution dianggap sebagai masalah bersama
oleh para anggota ASEAN. Bagi Indonesia tentunya menguntungkan mengingat
keterbatasan dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan sendiri.
2. Dari perspektif tanggung jawab negara, Indonesia akan terhindar dari potensi
dimintai ganti rugi oleh negara tetangga. Hal ini karena masalah asap merupakan
masalah seluruh anggota ASEAN. Segala potensi yang ada di negara anggota
ASEAN, termasuk dana yang dialokasi dapat dimanfaatkan untuk menangani masalah
asap.
3. Melihat kondisi asap yang berasal dari Indonesia maka ratifiaksi akan
menguntungkan karena negara ASEAN yang dari tahun ke tahun mengalami masalah
asap adalah Indonesia. Bila tidak terkena dampak baru akan rugi karena dana dan
berbagai sumber tidak bermanfaat bagi kepentingan nasional namun karena adanya
solidaritas ASEAN saja.
4. Indonesia akan ada anggaran yang terkumpul dari berbagai sumber yang dapat
digunakan untuk mengatasi kebakaran hutan. Tanpa meratifikasipun kita juga akan
mengeluarkan dana untuk memadamkan kebakaran, namun dengan meratifikasi maka
dana yang bisa digunakan akan menjadi lebih besar. Dengan AATHP,
penanggulangan kebakaran tersebut dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan
negara ASEAN lainnya. ndonesia diuntungkan juga karena akan menjadi tuan rumah
bagi adanya pertemuan ASEAN tentang perjanjian tersebut serta menjadi pusat
kegiatan untuk penanggulangan polusi asap di ASEAN.
Dapat di tarikan kesimpulan, perumusan kebijakan luar negeri Indonesia untuk
meratifikasi AATHP sangat lah benar, karena Indonesia sangat memerlukan bantuan
dan kerjasamanya dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk menunggalani
bencana alam kabut asap lintas negara. Yang sebelumnya dari awal hingga akhir
penanggulangan kebakaran hutan, Indonesia membutuhkan sumber daya dan suntikan
dana yang besar yang tentunya tidak dapat di tanggung sendiri. Belum lagi ada nya
masalah illegal logging dan isu lingkungan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai