Anda di halaman 1dari 57

PRESENTASI KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE, PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY,


PNEUMONIA KOMUNITI

Disusun oleh :

Risdinar Ulya Fauziyah G4A016048

Pembimbing:

dr. Abraham Avicenna, SP. JP

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE, PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY,


PNEUMONIA KOMUNITI

Disusun oleh :

Risdinar Ulya Fauziyah G4A016048

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian

Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal: September 2018

Dokter Pembimbing:

dr. Abraham Avicenna, SP. JP

2
I. STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. M
Umur : 38 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tambak sari kidul RT 1/1 kembaran
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
No RM : 00242676
Tgl. Masuk RS : 22 Juli 2018
Tgl Periksa : 30 Juli 2018
Bangsal : Mawar

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Sesak nafas
2. Keluhan Tambahan: batuk, nyeri dada, demam, badan bengkak
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak nafas yang
memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan
terus-menerus tanpa disertai dengan bunyi ngik. Sesak dirasa semakin
memberat terutama jika beraktivitas maupun tidur terlentang, dan
membaik jika beristirahat dengan posisi duduk. Pasien juga sering
terbangun saat tidur malam akibat sesak, namun sesak membaik apabila
pasien tidur dengan menambah bantalnya menjadi 3-4 bantal. Sesak
membuat pasien tidak dapat beraktivitas seperti menyapu, mencuci, atau
mengepel rumah, bahkan keluhan sering muncul meski pasien sedang
beristirahat. Keluhan sesak ini awalnya dirasakan 2 bulan yang lalu setelah
melahirkan anak keempatnya, yang kemudian memberat 1 minggu
terakhir.
Keluhan disertai dengan dengan batuk berdahak warna putih
kekuningan bercampur dengan darah sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Darah berwarna merah segar, tidak berbui atau bercampur dengan
makanan. Batuk muncul sewaktu-waktu tanpa dipengaruhi udara, namun
memberat saat aktivitas dan membuat pasien bertambah sesak. Dada

3
pasien terasa nyeri terutama setelah batuk. Nyeri dirasa tumpul seperti
pegal dan tidak disertai penjalaran ke bagian tubuh lain. Keluhan lain yaitu
adanya demam teru-menerus serta bengkak pada semua badan sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit.
Dua bulan yang lalu saat melahirkan di RSMS pasien sempat
mengalami keluhan sesak dan didiagnosis mempunyai gangguan jantung.
Setelahnya pasien rutin kontrol ke poli jantung, namun pasien mengaku
tidak meminum obat yang diberikan secara rutin. Obat yang diberikan dari
poli jantung yaitu furosemide, spironolakton, curcuma dan digoxin. Tiga
tahun yang lalu pasien sempat mengalami tekanan darah tinggi 150/90
mmHg saat hendak melahirkan anak ketigannya. Setelah melahirkan
hingga sekarang tekanan darah tertinggi menjadi 130/90 mmHg tanpa
meminum obat antihipertensi. Pasien tidak disarankan hamil lagi, namun
pasien juga tidak mau memakai kontrasepsi.
Pasien menyangkal pernah mengalami nyeri dada yang terasa
tumpul menjalar ke dagu, lengan kiri atau tembus ke punggung
sebelumnya. Sejak kecil hingga sebelum kehamilan keempatnya pasien
menyangkal mudah lelah atau sesak jika beraktivitas. Pasien juga
menyangkal sering lemas atau jantung terasa beredebar-debar secara tiba-
tiba saat aktivias maupun istirahat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi dalam kehamilan: diakui, 3 th yll
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : diakui, 1 bulan yll
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit paru : disangkal
g. Riwayat alergi ` : disangkal
h. Riwayat sakit kuning : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal

4
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi ` : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal bersama suami dan dua anaknya, sedangkan
anak ketiganya dirawat oleh saudaranya karena keterbatasan biaya
hidup. Rumah pasien berukuran 40 m2 yang berada di lingkungan
padat penduduk. Rumah pasien beratapkan genting dan beralaskan
lantai dengan dinding tembok, ventilasi cukup dan jendela selalu
terbuka serta sinar matahari mudah masuk.
b. Occupational
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, dan suaminya bekerja
sebagai buruh serabutan. Awalnya sebelum hamil anak ke empatnya
pasien berkerja di semuah rumah makan yang berjarak ±7km dari
rumah pasien. Setiap hari pasien berangkat dan pualng bekerja denagn
mengayuh sepedanya. Namun semenjak hamil keempatnya sampai
sekarang pasien tidak lagi bekerja.
c. Personal Habit
Pasien makan 3 kali sehari dengan menu makan terdiri dari
nasi, sayur-mayur, dan lauk-pauk seadanya. Pasien tidak mempunyai
kebiasaan minum alkohol, kopi, maupun merokok. Suami pasien juga
bukan seorang perokok aktif.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sesak, Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : TD : 100/70 mmHg
N : 124 x/menit, regular, teraba lemah
RR : 28 x/menit, regular
S : 36,2 OC
Status Generalis
Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)

5
Rambut : Warna hitam, mudah rontok (-), distribusi
merata
Pemeriksaan Mata
Palpebra : Edema (+/+), ptosis (-/-)
Konjunctiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
rinore (-/-)
Pemeriksaan Mulut : Bibir sianosis (+), tepi hiperemis (-), bibir
kering (+), lidah kotor (-), tremor (-), ikterik (-),
sariawan (-)
Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfonodi : Tidak membesar, nyeri tekan (-)
JVP : Meningkat, 5+5 cmH2O

Status Lokal
Paru-Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi interkostal (-) suprasternal (+)
Palpasi : Vocal fremitus apex dan basal simetris (dekstra
= sinistra)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikular di kedua lapang paru,
wheezing (-/-), ronki basah kasar (+/+), ronki
basah halus (+/+)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di SIC V linea axilaris
anterior sinistra, Pulsasi Parasternal (-),
Pulsasi Epigastrium (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea axilaris
anterior sinistra, kuat angkat (+), thrill (-)
Perkusi : Kanan atas di SIC II LPSD
Kiri atas di SIC II 1 cm dari LPSS
Kanan bawah di SIC IV linea midclavicula dextra
Kiri bawah di SIC V linea axilari anterior sinistra
Auskultasi : S1>S2 di SIC IV LPSS, reguler, gallop (-),
murmur (+) sistolik di SIC IV LPSD dan SIC V
linea axilari anterior sinistra
Abdomen

6
Inspeksi : Datar, venektasi abdomen (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) di regio epigastrik dan regio
hipokondriaka bilateral
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran

Extremitas
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) + + + +
Sianosis - - - -
Kuku kuning - - - -
(ikterik)
Akral dingin - - + +
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + + + +
Patela
Reflek patologis
Reflek babinsky - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium 22 Juli 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11.4 L 14–18 g/dL
Leukosit 13950 H 4.800–10.800 U/L
Hematokrit 37 35-47 %
Eritrosit 4.0 3.3-5.2 ^6/uL
Trombosit 149.000 L 150.000– 450.000 /uL
MCV 93.0 30 – 106 fL
MCH 28.6 26 – 94 Pg/cell
MCHC 30.7 L 33 – 36 %
RDW 17.7 H 11.5 – 14.5 %
MPV 10.2 9.4-12.2 fL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0.3 0–1%
Eosinofil 0.1 L 2–4%
Batang 1.2 L 3–5%
Segmen 77.9 H 50 – 70 %
Limfosit 15.7 L 25 – 40 %
Monosit 4.8 2–8%
Kimia Klinik
Total Protein 5.99 L 6.40 – 8.20 g/dL
Albumin 2.34 L 3.40 – 5.00 g/dL

7
Globulin 3.65 H 2.70 – 3.20 g/dL
SGOT 29
SGPT 19
Ureum 30.20 14.98-38.52 mg/dL
Kreatinin Darah 0.96 0,7 – 1,30 mg/dL
Glukosa Sewaktu 114 <= 200
Natrium 133 L 134 – 146 mmol/L
Kalium 2.7 L 3,4 – 4,5 mmol/L
Klorida 96 96 – 108 mmol/L
Table 1.1 pemeriksaan darah Ny M 22/07/2018

2. Pemeriksaan Laboratorium 23 Juli 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Albumin 2.13 L 3.40-5.00 g/dL
Kalium 4.2 3.4-4.5 mmol/L
Table 1.2 pemeriksaan albumin dan kalium Ny M 23/07/2018

3. Pemeriksaan Laboratorium 24 Juli 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Kalium 4.2 3.4-4.5mmol/L
Table 1.3 pemeriksaan kalium Ny M 24/07/2018

4. Pemeriksaan Laboratorium 25 Juli 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Albumin 2.43 L 3.40-5.00 g/dL
Natrium 132 L 134 – 146 mmol/L
Kalium 4.5 3,4 – 4,5 mmol/L
Klorida 94 L 96 – 108 mmol/L
Kalsium 8.4 L 8,5 – 10,1 mgdL
Table 1.4 pemeriksaan albumin dan elektrolit Ny M 25/07/2018

5. Pemeriksaan Laboratorium 30 Juli 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Natrium 133 L 134 – 146 mmol/L
Kalium 2.5 L 3,4 – 4,5 mmol/L
Klorida 89 L 96 – 108 mmol/L
Table 1.5 pemeriksaan elektrolit Ny M 25/07/2018

6. Pemeriksaan Laboratorium 1 Agustus 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 10.4 L 14–18 g/dL
Leukosit 8405 4.800–10.800 U/L
Hematokrit 33 L 35-47 %
Eritrosit 3.5 L 3.3-5.2 ^6/uL

8
Trombosit 120.000 L 150.000– 450.000 /uL
MCV 94.0 30 – 106 fL
MCH 29.5 26 – 94 Pg/cell
MCHC 31.1 L 33 – 36 %
RDW 18.8 H 11.5 – 14.5 %
MPV 9.7 9.4-12.2 fL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0.2 0–1%
Eosinofil 0.0 L 2–4%
Batang 1.7 L 3–5%
Segmen 67.9 H 50 – 70 %
Limfosit 7.0 L 25 – 40 %
Monosit 3.2 2–8%
Kimia Klinik
Natrium 135 134 – 146 mmol/L
Kalium 3.3 L 3,4 – 4,5 mmol/L
Klorida 89 L 96 – 108 mmol/L
Tabel 1.6 Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit Ny M 1/8/2018

7. Ekokardiogram 22 Juli 2018

Gambar 1.1 EKG Ny M 22/07/2018


Interpretasi:
- Irama sinus takikardi
- HR = 300/2,5 = 120x/menit
- Axis : lead I defleksi +, avF defleksi +  tidak ada hipertrofi
ventrikel

9
- Gelombang P = durasi 0,08 detik, amplitudo 0.04 mm  tidak
ada hipertrofi atrium
- P-R interval 0,24 detik  av blok derajat I
- Kompleks QRS 0,08 detik  sempit
- Segmen ST  normal
- Gelombang T  normal
- EKG abnormal: sinus takikardi dg av blok derajat I

8. Elektrokardiogram 02 Agustus 2018

Gambar 1.2 EKG Ny M 2/08/2018


Interpretasi
- Irama sinus takikardi
- HR = 300/2,5 = 120x/menit
- Axis : lead I defleksi +, avF defleksi +  tidak ada hipertrofi
ventrikel
- Gelombang P = durasi 0,06 detik, amplitudo 0.04 mm  tidak
ada hipertrofi atrium
- P-R interval 0,2 detik  normal
- Kompleks QRS 0,08 detik  sempit
- Segmen ST  normal

10
- Gelombang T  normal
- EKG abnormal: sinus takikardi
9. Rontgen Thorax 23 Juli 2018

Gambar 1.3 Rontgen Thorax 23/07/2018


Kesan :
a. Suspek efusi pericardium dd/ pankardiomegali
b. Elongation aorta
c. Gambaran pneumonia dd/ edem pulmonum
d. Efusi pleura dupleks (kiri prominens)

E. DIAGNOSIS KERJA
1. CHF NYHA IV
2. PPCM
3. Pneumonia komuniti

F. TERAPI
1. Farmakologi
a. O2 4 LPM NK
b. IVFD RL 10 tpm
c. Inj Furosemid 3x2 Amp
d. Inj gentamisin 160mg / 24 jam

11
e. Inj Ceftazidime 1gr/8 jam
f. PO Spironolakton 1x100 mg
g. PO Vip Albumin 3x2 caps
h. PO Curcuma 3x1 tab
i. PO NAC 3x1
j. Drip Dopamin 3mcg/kg/mnt
k. Drip Dobutamin 7mcg/kg/mnt
l. Nebucombivent 3x/hr
2. Non- farmakologi
a. Ballance cairan target negatif
b. Istirahat, dianjurkan tirah baring dengan posisi setengah duduk.
c. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,
prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.

G. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad malam
2. Ad functionam : dubia ad malam
3. Ad sanationam : dubia ad malam

H. HASIL FOLLOW UP
Tanggal S O A P
- Batuk KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  O2 4 LPM NK
berdahak TD : 110/60mmHg RR: 28 x/mnt  IVFD RL 10 tpm
bercampur N : 96 x/menit T : 36.7°C  Inj furosemide 3x1
bercak darah amp  3x2 amp
- Lemas dan Mata : CA +/+, SI -/-  PO spironolakton
22/7 sesak nafas Cor : BJ I,II reg M(+)G(-)  CHF
1x100mg
2018 - Badan  PPCM
Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO ramipril 1x2,5
bengkak Abd : cembung, supel, timpani  Hemoptisis mg
HP -1 - Sulit tidur BU(+)N,NT (-)  PO digoxin 1x1 tab
Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+  tunda
CTR: <2 dtk P/ trf albumin 20%
100cc
Ballance cairan target -
23/7 - Batuk KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  CHF  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 100/70mmHg RR: 28 x/mnt  PPCM  IVFD RL 10 tpm
bercampur N : 100 x/menit T : 35.8°C  Hemoptisis  Inj furosemide 3x2
HP -2 bercak darah amp
- Lemas dan Mata : CA +/+, SI -/-  PO spironolakton

12
sesak nafas Cor : BJ I,II reg M(+)G(-) 1x100mg
- Badan Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO ramipril 1x25
bengkak Abd : cembung, supel, timpani mg
BU(+)N,NT (-)  PO vip albumin 3x2
Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+ caps
CTR: <2 dtk  PO curcuma 3x1 tab
 Dopa 3 mcg/kg/mnt
Balance cairan +250cc P/ cek elektrolit,
albumin post koreksi
24/7 - Batuk tidak KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 100/70mmHg RR: 24 x/mnt  IVFD RL 10 tpm
- Nyeri dada N : 88 x/menit T : 36.8°C  Inj furosemide 3x2
HP -3 tembus amp
punggung Mata : CA +/+, SI -/-  PO spironolakton
kiri terutama Cor : BJ I,II reg M(+)G(-)  CHF
1x100mg
setelah batuk  PPCM
Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO ramipril 1x25
- Sesak nafas Abd : cembung, supel, timpani  Hemoptisis mg
berkurang BU(+)N,NT (-)  PO vip albumin 3x2
- Bengkak di Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+ caps
tangan CTR: <2 dtk  PO curcuma 3x1 tab
berkurang
 Dopa 3 mcg/kg/mnt
Balance cairan -2150cc
25/7 - Batuk tidak KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 80/60mmHg RR: 28 x/mnt  IVFD RL 10 tpm
- Sesak nafas N : 102 x/menit T : 36.5°C  Inj furosemide 3x2
HP -4 bertambah amp
- Bengkak di Mata : CA +/+, SI -/-  PO spironolakton
tangan dan Cor : BJ I,II reg M(+)G(-)  CHF
1x100mg
kaki  PPCM
Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO ramipril 1x25
- Keringat Abd : cembung, supel, timpani  Hemoptisis mg  tunda
dingin dan BU(+)N,NT (-)  PO vip albumin 3x2
berdebar- Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+ caps
debar CTR: <2 dtk  PO curcuma 3x1 tab
 Dopa 3 mcg/kg/mnt
Balance cairan -2250cc
26/7 - Batuk tidak KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 80/60mmHg RR: 28 x/mnt  IVFD RL 10 tpm
- Bengkak di N : 102 x/menit T : 36.5°C  Inj furosemide 3x2
HP -5 tangan dan amp
kaki Mata : CA +/+, SI -/-  PO spironolakton
- Sesak nafas , Cor : BJ I,II reg M(+)G(-)  CHF
1x100mg
eringat  PPCM
Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO vip albumin 3x2
dingin dan Abd : cembung, supel, timpani  Hemoptisis caps
berdebar- BU(+)N,NT (-)  PO curcuma 3x1 tab
debar Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+  Dopa 3 mcg/kg/mnt
CTR: <2 dtk  Dobu 7 mcg/kg/mnt

Balance cairan -500cc


27/7 - Batuk tidak KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  CHF  O2 4 LPM NK

13
2018 berdahak TD : 100/70mmHg RR: 28 x/mnt  IVFD RL 10 tpm
- Bengkak di N : 96 x/menit T : 36.5°C  Inj furosemide 3x2
HP -6 tangan dan amp
kaki Mata : CA +/+, SI -/-  PO spironolakton
- Sesak nafas , Cor : BJ I,II reg M(+)G(-) 1x100mg
keringat  PPCM
Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO vip albumin 3x2
dingin dan Abd : cembung, supel, timpani  Hemoptisis caps
berdebar- BU(+)N,NT (-)  PO curcuma 3x1 tab
debar Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+  Dopa 3 mcg/kg/mnt
CTR: <2 dtk  Dobu 7 mcg/kg/mnt

Balance cairan -500cc


28/7 - Batuk KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 110/90mmHg RR: 24 x/mnt  IVFD RL 10 tpm
bercampur N : 100 x/menit T : 36.2°C  Inj furosemide 3x2
HP -7 darah amp
- Bengkak di Mata : CA +/+, SI -/-  PO spironolakton
tangan dan Cor : BJ I,II reg M(+)G(-)  CHF
1x100mg
kaki  PPCM
Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO vip albumin 3x2
- Sesak nafas Abd : cembung, supel, timpani  Hemoptisis caps
membaik BU(+)N,NT (-)  PO curcuma 3x1 tab
- pusing dan Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+  Dopa 3 mcg/kg/mnt
berdebar- CTR: <2 dtk  Dobu 7 mcg/kg/mnt
debar
Balance cairan -1400cc p/ cek elektrolit
29/7 - Batuk KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 80/60mmHg RR: 28 x/mnt  IVFD RL 10 tpm
bercampur N : 104 x/menit T : 36.1°C  Inj furosemide 3x2
HP -8 darah amp
- Bengkak di Mata : CA +/+, SI -/-  PO spironolakton
tangan dan Cor : BJ I,II reg M(+)G(-)  CHF
1x100mg
kaki  PPCM
Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO vip albumin 3x2
- Sesak nafas , Abd : cembung, supel, timpani  Hemoptisis caps
keringat BU(+)N,NT (-)  PO curcuma 3x1 tab
dingin, dan Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+  Dopa 3 mcg/kg/mnt
berdebar- CTR: <2 dtk  Dobu 7 mcg/kg/mnt
debar
Balance cairan -1000cc
30/7 - Batuk KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  CHF  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 80/60mmHg RR: 28 x/mnt  PPCM  IVFD RL 10 tpm
bercampur N : 100 x/menit T : 36.5°C  Hemoptisis  Inj Furosemid 3x2
HP -9 darah Amp
- Bengkak di Mata : CA +/+, SI -/-  PO Spironolakton
tangan dan Cor : BJ I,II reg M(+)G(-) 1x100 mg
kaki Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO Vip Albumin 3x2
- Sesak nafas Abd : cembung, supel, timpani caps
dan BU(+)N,NT (-)  PO Curcuma 3x1 tab
berdebar- Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+  Dopa 3 mcg/kg/mnt
debar CTR: <2 dtk  Dobu7 mcg/kg/mnt

14
Balance total: -4200cc
31/7 - Batuk KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 100/60mmHg RR: 20 x/mnt  IVFD RL + KCL
bercampur N : 96 x/menit T : 36.2°C 25meq  10 tpm
HP -10 darah  Inj Furosemid 3x1
- Bengkak di Mata : CA +/+, SI -/- Amp
tangan dan Cor : BJ I,II reg M(+)G(-)  PO Spironolakton
kaki Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  CHF 1x100 mg
- Sesak nafas , Abd : cembung, supel, timpani  PPCM  PO Vip Albumin 3x2
keringat BU(+)N,NT (-)  Hemoptisis caps
dingin, dan Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+ susp CAP  PO Curcuma 3x1 tab
berdebar- CTR: <2 dtk  PO KSR 3x2 tab
debar
 Dopa 3 mcg/kg/mnt
Balance total: -3200cc  Dobu 5 mcg/kg/mnt
p/ cek Kalium 6jam
post koreksi
konsul paru
1/8 - Batuk KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  O2 4 LPM NK
2018 berdahak TD : 110/90mmHg RR: 28 x/mnt  IVFD RL 10 tpm
bercampur N : 110 x/menit T : 36.7°C  Inj Furosemid 3x1
HP -11 darah Amp
- Bengkak di Mata : CA +/+, SI -/-  PO Spironolakton
tangan dan Cor : BJ I,II reg M(+)G(-) 1x100 mg
kaki Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh -/-  PO Vip Albumin 3x2
- Sesak nafas , Abd : cembung, supel, timpani caps
keringat  CHF
BU(+)N,NT (-)  PO Curcuma 3x1 tab
dingin, dan  PPCM
Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+  Dopa 3 mcg/kg/mnt
berdebar-  CAP
CTR: <2 dtk  Dobu 5 mcg/kg/mnt
debar
Konsul paru:
Balance cairan total = -1700cc  PO NAC 3x1
 Inj gentamisin
160mg/ 24 jam
 Inj Ceftazidime 1gr/8
jam
 Pro pungsi irigasi
 Kultur sputum
2/8 - Batuk KU/Kes:Sesak, lemah /E4M5V6  CHF  O2 5 LPM NK
2018 berdahak TD : 90/70mmHg RR: 28 x/mnt  PPCM  IVFD RL 10 tpm
bercampur N : 104 x/menit T : 36.5°C  CAP  Inj Furosemid 3x2
HP -12 darah Amp
- Bengkak di Mata : CA +/+, SI -/-  Inj gentamisin 160mg
tangan dan Cor : BJ I,II reg M(+)G(-) / 24 jam
kaki Pulmo :SD Ves +/+, Rbk +/+ Rbh +/+  Inj Ceftazidime 1gr/8
- Sesak nafas , Abd : cembung, supel, timpani jam
keringat BU(+)N,NT (-)  PO Spironolakton
dingin, dan Ext : hangat +/+/+/+ edema +/+/+/+ 1x100 mg
berdebar- CTR: <2 dtk  PO Vip Albumin 3x2
debar
caps
Ballance cairan total= -1200cc  PO Curcuma 3x1 tab

15
 PO NAC 3x1
 Nebucombivent 3x/hr
 Dopa 3mcg/kg/mnt
 Dobu7mcg/kg/mnt
P/ Pro pungsi irigasi
Kultur sputum

16
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Jantung
1. Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana
seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung
(nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas
disertai atau tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau
edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur
atau fungsi jantung saat istrahat (PERKI, 2015).
2. Epidemiologi
Gagal jantung kongestif, data WHO tercatat 1,5% sampai 2%
orang dewasa di Amerika Serikat menderita gagal jantung dan 700.000
diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit per tahun. Faktor
risiko terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah usia lanjut, 75%
pasien yang dirawat dengan gagal jantung berusia 65-75%. Terdapat 2
juta kunjungan pasien rawat jalan per tahun yang menderita gagal
jantung. Kemudian menurut penelitian angka kejadian gagal jantung
kronik di Amerika Serikat, jumlahnya sekitar tiga juta orang, lebih dari
empat ratus ribu kasus baru dilaporkan tiap tahun (Djausal, 2016).
Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi
Di Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah
(0,18%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala
tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,8%), diikuti Sulawesi Tengah
(0,7%), sementara Sulawesi Selatan dan Papua sebesar 0,5 persen.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Beberapa etiologi dan faktor risiko dari penyakit gagal jantung
kongestif ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk
menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner
dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan

17
penyakit jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit
gagal jantung kongestif (Hellerman, 2003).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan
komplikasi terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Hipertrofi
ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia
atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung
kongestif (Lip et al., 2000).
c. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan
kongenital. Kardiomiopati terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya
ialah dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab
tersering terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy
berupa dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan (Lip et al., 2000). Hipertrophic cardiomiopathy merupakan
salah satu jenis cardiomiopathy yang bersifat herediter autosomal
dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut
otot miokardium. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta
(aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri
yang buruk, peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan
ventrikel (Scoote et al., 2005).
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy.
Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan
komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari
jantung. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat
diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal.
Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah Amiloidosis,
Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya
(Scoote et al., 2005).
d. Kelainan Katup Jantung

18
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral.
Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi
peningkatan volume di jantung. Peningkatan volume jantung
memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut
dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung
lama menyebabkan gagal jantung kongestif (Lip et al., 2000)
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal
jantung tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK
atau hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal
berupa atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien gagal jantung
memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan
echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung
tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas (Cowie et.al., 2008).
f. Alkohol dan Obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang
menyebabkan atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi
alkohol dalam jangka panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy.
Didapati 2-3% kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh
konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang
memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah agen
kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan
antiviral (Cowie, 2008).
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen
untuk menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki
sedangkan pada wanita belum ada fakta yang konsisten. Sementara
diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan kejadian
rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme
perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas

19
menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko
penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari
gagal jantung kongestif (Lip et al., 2000).
4. Klasifikasi gagal jantung kongestif
The New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung
menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau
usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut
(Yancy et al., 2013):
a. Klas I : tidak ada keterbatasan dalam melakukan aktifitas apapun,
tidak muncul gejala dalam aktivitas apapun.
b. Klas II : mulai ada keterbatasan dalam aktivitas, pasien masih bisa
melakukan aktivitas ringan dan keluhan berkurang saat istirahat
c. Klas III : terdapat keterbatasan dalam melaksanakan berbagai
aktivitas, pasien merasa keluhan berkurang dengan istirahat.
d. Klas IV : keluhan muncul dalam berbagai aktivitas, dan tidak
berkurang meskipun dengan istirahat.
Sedangkan pada tahun 2001, the American College of
Cardiology/American Heart Association working group membagi
kegagalan jantung ini menjadi empat stage (Figueroa dan Peters, 2006):
a. Stage A : memiliki resiko tinggi untuk terkena CHF tapi belum
ditemukan adanya kelainan struktural pada jantung
b. Stage B : sudah terdapat kelainan struktural pada jantung, akan tetapi
belum menimbulkan gejala.
c. Stage C : adanya kelainan struktural pada jantung, dan sudah muncul
manifestasi gejala awal jantung, masih dapat diterapi dengan
pengobatan standard.
d. Stage D : pasien dengan gejala tahap akhir jantung, dan sulit diterapi
dengan pengobatan standard.
5. Patomekanisme
Heart failure dapat terjadi karena beberapa hal, (Sylvia, 2005):
a. Gangguan kontraktilitas ventrikel,
b. Meningkatnya afterload, atau

20
c. Gangguan pengisian ventrikel.
Heart failure yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan
ventrikel (karena gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload)
disebut disfungsi sistolik, sedangkan heart failure yang dikarenakan oleh
abnormalitas relaksasi diastol atau pengisian ventrikel disebut disfungsi
diastolik. Pada dasarnya terdapat perbedaan antara heart failure sistolik
dengan heart failure diastolik. Heart failure sistolik disebabkan oleh
meningkatnya volume, gangguan pada miokard, serta meningkatnya
tekanan. Sehingga pada heart failure sistolik, stroke volume dan cardiac
output tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh secara adekuat.
Sementara itu heart failure diastolik dikarenakan meningkatnya kekakuan
pada dinding ventrikel (Sylvia, 2005).
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan heart failure mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis
aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati (Sylvia, 2005).

Gambar 2.1. Patogenesis heart failure (Shah, 2007)

21
Heart failure merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan
penyakit jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk
memompa darah terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung
yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit
atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi
atau tahanan aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara
itu disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering disfungsi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi (Shah, 2007).

Gambar 2.2. Mekanisme kompensasi dari heart failure (Shah, 2007)

Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien


heart failure sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta
untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk
memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup
mekanisme Frank Starling, perubahan neurohormonal dan remodelling
serta hipertrofi ventrikel (Shah, 2007).

22
Gambar 2.3. Mekanisme adaptif dari heart failure (Shah, 2007).
Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan
jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya
untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis,
perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matrix ekstraselular
(terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan
fungsional dan struktural yang semakin mengganggu fungsi ventrikel kiri
(Shah, 2007).
6. Manifestasi klinis
a. Dispnea
Gawat pernapasan yang terjadi sebagai akibat dari
meningkatnya usaha pernapasan adalah gejala gagal jantung yang
paling umum. Dispnea jantung diamati paling sering pada pasien
dengan peningkatan vena pulmonalis dan tekanan kapiler. Pasien
biasanya mengalami pembendungan pembuluh darah paru dan edema
paru interstitialis yang mungkin terbukti pada pemeriksaan radiologik
dan mengurangi kelenturan paru dan oleh karena itu meningkatkan
kerja otot-otot pernapasan yang dibutuhkan untuk mengembangkan
paru. Aktivasi reseptor dalam paru menimbulkan pernapasan yang
cepat dan dalam. Kebutuhan oksigen pernapasan ditingkatkan oleh
kerja berlebihan dari otot-otot pernapasan. Hal ini dilipatgandakan

23
dengan berkurangnya pengantaran oksigen ke otot-otot ini, yang
terjadi sebagai konsekuensi berkurangnya curah jantung dan yang
mungkin menyebabkan kelelahan otot-otot pernapasan dan sensasi
sesak napas (Braunwald, 2000).
b. Ortopnea
Dispena dalam posisi berbaring biasanya merupakan
manifestasi akhir dari gagal jantung dibanding dipsnea pengerahan
tenaga. Ortopnea terjadi karena distribusi cairan dari abdomen dan
ekstremitas bawah ke dalam dada menyebabkan peningkatan
diafragma. Pasien dengan ortopnea harus meninggikan kepalanya
dengan beberapa bantal pada malam hari dan sering kali terbangun
karena sesak napas atau batuk, jika bantalnya hilang atau terjatuh.
Sensasi sesak napas dapat hilang dengan posisi duduk tegak; karena
posisi ini mengurangi aliran balik vena dan tekanan kapiler paru
(Braunwald, 2000).
c. Dipsnea paroksismal (nokturnal)
Istilah ini merujuk pada serangan sesak napas berat dan batuk
yang umumnya terjadi pada malam hari, sering kali membangunkan
pasien dari tidur. Meskipun ortopnea sederhana dapat dikurangi
dengan duduk tegak pada tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung
pada pasien dengan dispnea nokturnal paroksisimal, batuk dan mengi
sering kali menetap bahkan dalam posisi ini. depresi pusat pernapasan
selama tidur mungkin mengurangi ventilasi yang cukup untuk
menurunkan tegangan oksigen arteri, terutama pada pasien dengan
edema paru intersisial dan berkurangnya kelenturan paru (Braunwald,
2000).
d. Pernapasan Cheyne-Stokes
Pernapasan semacam ini juga dikenal sebagai pernapasan
periodik atau siklik. Pernapasan Ceyne-Stokes juga ditandai oleh
berkurangnya sensitivitas pusat pernapasan terhadap PCO 2. Terdapat
fase apneu, yang selama fase tersebut PO2 arteri turun dan PCO2 arteri
naik. Perubahan ini dalam darah arteri merangsang pusat penekanan

24
pernapasan, menimbulkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti
kemudian oleh apnea (Braunwald, 2000).
e. Kelelahan, kelemahan, dan berkurangnya kapasitas exercise
Gejala yang tidak spesifik tetapi umum dari gagal jantung ini,
berkaitan dengan berkurangnya perfusi otot rangka. Kapasitas exercise
berkurang dengan terbatasnya kemampuan jantung yang gagal untuk
meningkatkan curahnya dan menghantarkan oksigen ke otot yang
sedang exercise, yang mungkin berkaitan dengan kongesti hepar dan
sistem vena porta (Braunwald, 2000).
f. Gejala serebral
pada gagal jantung berat, terutama pada pasien usia lanjut
disertai dengan arteriosklerosis serebralis, berkurangnya perfusi
serebral, dan hipoksemia arterial, perubahan status mental yang
ditandai dengan konfusi, kesulitan berkonsentrasi, gangguan
mengingat, sakit kepala, insomnia, dan kecemasan (Braunwald, 2000).
7. Diagnosis
a. Anamnesis
1) Gagal ventrikel kiri : sesak napas, ortopnea, dispnea nocturnal
paroksisimal (masalah pernapasan pada malam hari dan jumlah
bantal yang dipakai), batuk, wheezing, toleransi olahraga yang
berkurang
2) Gagal ventrikel kanan : edema perifer khususnya pada pergelangan
kaki, tungkai, ascites yang menyebabkan distensi abdomen, efusi
pleura yang menyebabkan sesak napas, ikterik, nyeri perut kanan
atas, mual dan nafsu makan menurun
3) Mengenai riwayat penyakit dahulu dan obat-obatan, penyakit dada,
penyakit jantung sebelumnya, faktor risiko aterosklerosis, penyakit
pernapasan atau ginjal, merokok dan alkohol.
4) Adanya toleransi terhadap olahraga serta masukan garam dan air.
b. Pemeriksaan fisik

25
Diagnosis heart failure ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian klinis,
serta pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto toraks,
laboratorium, dan ekokardiografi Doppler (Manurung, 2006).
Tabel 2.1. Kriteria Framingham (Sudoyo, 2009).

Kriteria Mayor
 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea  Waktu sirkulasi ≥ 25 detik
 Distensi venaleher  Refluks hepatojugular
 Ronki paru  Edema pulmonal, kongesti
 Kardiomegali viseral, atau kardiomegali saat
 Edema paru akut autopsi
 Gallop S3
 Peninggian tekanan vena
jugularis lebih dari 16 cm H2)
Kriteria Minor
 Edema ekstremitas  Efusi pleura
 Batuk malam hari  Penurunan kapasitas vital 1/3
 Dyspnea d’effort dari normal
 Hepatomegali  Takikardia (>120/menit)
Kriteria Mayor atau Minor
Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

1) Keadaan umum dan tanda vital


Gagal jantung ringan atau sedang, pasien tidak merasa sesak
pada istirahat kecuali merasa tidak nyaman ketika berbaring pada
tempat yang datar untuk beberapa menit. Pada gagal jantung yang
berat, pasien harus duduk tegak, sesak napas, dan tidak dapat
menyelesaikan kalimat ketika berbicara karena napas yang pendek.
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada gagal jantung
awal, namun secara umum tekanan darah menurun pada gagal jantung
akhir karena disfungsi ventrikel kiri berat. Tekanan nadi dapat
berkurang yang menunjukkan reduksi dari volume sekuncup. Sinus
takikardi merupakan gejala non spesifik karena peningkatan aktivitas
adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan ekstremitas terasa
dingin dan sianosis pada bibir dan bantalan kuku yang juga
disebabkan karena aktivitas adrenergik yang meningkat (Mann dan
Murali, 2011).
2) Vena jugular

26
Pemeriksaan vena jugular dapat memperkirakan tekanan atrium
kanan. Pada gagal jantung dini, tekanan vena jugular dapat normal
pada istirahat, namun dapat meningkat abnormal ketika terdapat
tekanan yang tetap pada abdomen (Mann dan Murali, 2011).
3) Pemeriksaan paru
Bunyi rhonki pada auskultasi pari berasal dari transdasi cairan
dari ruangan intravaskuler menuju ke alveoli. Pada pasien dengan
edema pulmo, rhonki dapat terdengar luas pada kedua lapang paru
dan dapat disertai dengan wheezing ketika ekspirasi. Efusi pleura
terjadi berasal dari peningkatan tekanan kapiler pleura dan
menghasilkan transudasi cairan ke kavitas pleura. Sejak vena pleura
mengalir ke vena sistemik dan pulmonar, efusi pleura terjadi umum
pada kegagalan biventrikular. Walaupun efusi pleura sering terjadi
pada kanan dan kiri, ketika terjadi unilateral, efusi pleura lebih sering
terjadi pada sisi kanan (Mann dan Murali, 2011).
4) Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan jantung acap kali tidak menyediakan informasi
tentang keparahan dari gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali,
point maximal impulse (PMI) terdapat berpindah ke bawah SIC 5
dan/atau lateral dari garis midkalvikula, dan detak dapat terasa hingga
2 SIC. Pada beberapa pasien, suara jantung ke-3 (S3) dapat didengar
dan teraba pada apeks. Suara jantung ke-4 (S4) bukan merupakan
indikator yang spesifik pada gagal jantung namun biasanya terdapat
pada disfungsi diastolik. Murmur mitral dan regurgitasi trikuspid
sering terdengar pada gagal jantung parah (Mann dan Murali, 2011).
5) Abdomen dan ekstremitas
Hepatomegali merupakan tanda yang penting pada pasien
dengan gagal jantung. Ketika hepatomegali muncul, hepar membesar
dengan konsistensi halus dan dapat muncul pulsasi ketika sistol jika
regurgitasi trikuspid ada. Asites, tanda akhir, terjadi sebagai
konsekuensi terhadap peningkatan tekanan pada vena hepatikum dan
vena yang memperdarahi peritonium. Jaundis, juga tanda akhir pada

27
gagal jantung, merupakan hasil dari fungsi hepar yang enurun akibat
dari kongesti pada hepar dan hipoksemia hepatoseluler dan
diasosiasikan dengan peningkatan bilirubin direk dan indirek (Mann
dan Murali, 2011).
c. Pemeriksaan penunjang
1) Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) harus dikerjakan pada
semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering
dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai
prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung (Mann dan Murali, 2011).
2) Foto toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi
pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang
menyebabkan atau memperberat sesak napas. Kardiomegali dapat
tidak diteukan pada gagal jantung akut dan kronik (Mann dan Murali,
2011).
3) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal
jantung adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit,
trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR),
glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan
laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis
atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan
gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia
ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering
dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik
dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB
(Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone (Siswanto
et al., 2015).
4) Ekokardiografi

28
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan
ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler,
colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi
diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan
secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik
dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi
ventrikel kiri (normal > 45 - 50%) (Siswanto et al., 2015).
8. Tatalaksana
a. Tatalaksana Non-Farmakologi (Siswanto et al., 2015).
1) Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas
dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60%
pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun non-
farmakologi.
2) Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika
terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus
menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter.
3) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30
kg/m2) dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah
perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan
kualitas hidup
b. Tatalaksana Farmakologi (Siswanto et al., 2015).
1) Angiotensi-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I)
Semua pasien gagal jantung memerlukan penghambat ACE
atau ARB bila tidak ada kontraindikasi. Penghambat AEC
kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema

29
(jarang), oleh sebab itu penghambat ACE hanya diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
2) Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada
semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan
hidup.
3) Antagonis aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis
aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien
dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat
(kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan
gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
4) Angiotensin receptor blockers
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik
walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal,
kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung
ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.

30
Gambar 2.4 Dosis obat yang umum dipakai pada gagal jantung
5) Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin
dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat,
walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan.
Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,
menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup.
Inisiasi pemberian digoksin
a) Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi
ginjal normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi
ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1
x/hari
b) Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi
kronik. Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
6) Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian
diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur
sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi.

31
Gambar 2.5 Dosis diuretik yang digunakan pada pasien gagal jantung

Gambar 2.5 Algoritma Penatalaksanaan CHF sesuai stage (AHA, 2013)

9. Prognosis
Prognosis heart failure tergantung dari derajat disfungsi
miokardium. Menurut New York Heart Assosiation, heart failure kelas I-
III didapatkan mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dab 52%.
Sedangkan kelas IV mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-50% (Selwyn,
2007).
Tabel 2.2. Mortalitas heart failure berdasarkan New York Heart
Association Classification (Selwyn, 2007).

32
Class Symptoms 1-year
Mortality
I None, asymptomatic left ventricular 5%
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical 10 %
exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal daily 10 % - 20 %
activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.

B. Peripartum Cardiomyopathy
1. Definisi
Kardiomiopati adalah istilah umum yang dipakai untuk
menggambarkan abnormalitas dari fungsi otot jantung yang dapat
menyebabkan gejala gagal jantung. Peripartum Cardiomyopathy (PPCM)
adalah gangguan pada jantung yang terjadi selama periode peripartum. Hal
ini ditandai dengan disfungsi ventrikel kiri dan gejala gagal jantung yang
dapat timbul pada trimester terakhir kehamilan atau sampai dengan 5
bulan setelah melahirkan (Givertz, 2013).
2. Faktor risiko
Faktor risiko penyebab PPCM yang umum dilaporkan adalah usia
tua, multiparitas, kehamilan mutipel, ras kulit hitam, obesitas, malnutrisi
hipertensi dalam kehamilan, preeklamsia, pemeriksaan antenatal yang
kurang, penyalahgunaan alkohol, kokain dan tembakau, dan kondisi sosial
ekonomi yang rendah. PPCM telah dilaporkan sebagian besar pada wanita
lebih dari 30 tahun, tetapi dapat terjadi pada berbagai kelompok umur.
Meskipun PPCM telah dilaporkan pada primigravida, ditemukan terjadi
lebih sering dengan multiparitas. Di Amerika Serikat sebagian besar
penderita adalah dari golongan Afrika Amerika, meskipun, golongan Asia
(Korea, Jepang, Cina dan India), dan hispanik juga pernah dilaporkan.
Kehamilan kembar tampaknya mempunyai risiko lebih tinggi terkena
PPCM (Bhakta, Biswas, dan Banerjee, 2007).
Preeklamsia dan hipertensi telah dikaitkan dengan sejumlah besar
kasus PPCM. Banyak penulis bahkan melaporkan sebagai bentuk gagal
jantung hipertensi. Namun, preeklamsia sendiri jarang menyebabkan gagal
jantung pada wanita sehat. Tidak adanya perubahan vaskular dan

33
hilangnya hipertensi dan preeklamsia sebelum timbulnya gagal jantung
menunjukkan hanya hipertensi yang mungkin terkait dan memperburuk
PPCM, dan bukan merupakan penyebab (Cunningham, 2011).
Malnutrisi, status sosial ekonomi rendah, dan pemeriksaan
antenatal yang kurang juga disebutkan sebagai faktor risiko dalam laporan
sebelumnya, tetapi korelasi faktor-faktor ini belum ditemukan dalam studi
lebih lanjut. Ada juga laporan tentang faktor resiko yang langka seperti
penyalahgunaan kokain, alkohol dan tembakau (Lok et al, 2011).
3. Etiologi
Penyebab pasti PPCM tidak diketahui. Beberapa hipotesis
penyebab PPCM seperti miokarditis, virus, faktor autoimun, sitokin
inflamasi, respon hemodinamik abnormal terhadap perubahan fisiologis
pada kehamilan, penggunaan tokolitik berkepanjangan dan defisiensi
selenium ((Bhakta, Biswas, dan Banerjee, 2007). .
a. Miokarditis
Miokarditis didefinisikan sebagai infiltrasi inflamasi perivaskular
limfosit dan makrofag yang menyebabkan nekrosis miosit dengan atau
tanpa fibrosis. EMB dipandu Magnetic Resonance Imaging (MRI)
pada daerah kontras yang lebih tinggi dapat meningkatkan bukti
terjadinya miokarditis akut pada tahap awal penyakit. Eosinofil dikenal
memiliki sifat kollagenolitik dan kardiotoksik ditemukan dalam jumlah
yang signifikan pada penderita PPCM. Hal tersebut menyiratkan peran
eosinofil dalam perkembangan miokarditis di PPCM (Ramaraj dan
Sorrel, 2009).
b. Sitokin inflamasi
Silwa dkk, dalam sebuah studi yang besar, menemukan konsentrasi
tinggi sitokin inflamasi seperti faktor nekrosis tumor (TNF α), protein
C-reaktif (CRP), Interleukin-6 (IL-6) dan Fas/Apo-1 (sebuah penanda
apoptosis) pada pasien PPCM. Kadar CRP berkorelasi terbalik dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) dalam studi mereka. Konsentrasi
TNF α yang tinggi dapat menyebabkan remodeling ventrikel lebih
lanjut melalui reseptor jantung spesifik, yang menyebabkan disfungsi

34
ventrikel. Ditemukan kadar sinyal transduser dan aktivator transkripsi-
3 yang lebih tinggi terhadap miokardium pada tikus hamil mati yang
menunjukkan terjadinya gagal jantung dan apoptosis. Temuan dari
studi lain menunjukkan bahwa apoptosis miokard mungkin merupakan
penyebab terjadinya PPCM. Penelitian yang lebih besar menargetkan
sitokin ini perlu dikembangkan untuk mengetahui peran mereka
terhadap terjadinya PPCM (Cunningham, 2011).
c. Infeksi Virus
Infeksi virus juga terlibat sebagai penyebab miokarditis. Penurunan
kekebalan selama kehamilan dapat menyebabkan infeksi virus.
Bultmann dkk, menemukan materi genomik virus dalam spesimen
biopsi pasien PPCM. Polymerase chain reaction (PCR) dan ekstraksi
bahan genom dari EMB dipandu kontras MRI sangat membantu dalam
mendeteksi genom virus. Pada saat yang sama, ada beberapa laporan
tidak menunjukkan adanya prevalensi infeksi virus pada pasien PPCM,
dan berpendapat bahwa kardiomiopati virus tidak perlu dimasukkan
dalam kriteria penyebab PPCM. Pentingnya dilakukan penelitian lanjut
yang lebih spesifik untuk membangun hubungan miokarditis virus dan
PPCM (Lok et al, 2011).
d. Faktor autoimun
Telah dihipotesiskan bahwa sel-sel janin dari haplotype ayah
masuk ke dalam sirkulasi ibu berkaitan dengan penurunan kekebalan
akibat kehamilan, dan mungkin tetap beredar untuk waktu yang lama
tanpa penolakan. Sel-sel tersebut dianggap sebagai antigen asing
setelah normalisasi kekebalan ibu pasca persalinan dan dapat memicu
respon imun. Autoantibodi dapat dibentuk terhadap plasenta, rahim
atau janin pada ibu hamil. Autoantibodi ini mungkin silang bereaksi
dengan miokardium dan dapat menyebabkan kardiomiopati (Ramaraj
dan Sorrel, 2009).
e. Respon hemodinamik abnormal terhadap perubahan fisiologis pada
kehamilan

35
Volume darah dan cardiac output (CO) meningkat, sedangkan
resistensi pembuluh darah sistemik (SVR) menurun selama kehamilan.
Dilatasi ventrikel kiri dapat terjadi sebagai respons terhadap
peningkatan beban. Pengurangan fungsi ventrikel kiri pada kehamilan
lanjut dan awal masa nifas secara khas terlihat. Di duga bahwa PPCM
mungkin merupakan eksaserbasi fenomena yang normal tersebut
(Ramaraj dan Sorrel, 2009).
f. Defisiensi Selenium
Cenac dkk, menemukan konsentrasi selenium yang rendah pada
pasien PPCM, yang mungkin hanya suatu kebetulan daripada menjadi
penyebab. Levander menyatakan bahwa defisiensi selenium
menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus, yang
pada gilirannya menyebabkan kardiomiopati (Bhakta, Biswas, dan
Banerjee, 2007).
4. Patofisiologi
Peripartum kardiomiopati adalah salah satu bentuk kardiomiopati
dilatasi. Masalah yang mendasar adalah menghilangnya kontraktilitas
miokardium, yang ditandai dengan menghilangnya kemampuan sistolik
jantung. Kardiomiopati dilatasi menyebabkan penurunan fraksi ejeksi,
peningkatan volume end-diastolik, dan volume residual, penurunan
volume sekuncup ventrikel, serta gagal biventrikel (Bambang dan
Leonardo, 2010).
Sekitar setengah kasus, etiologi kardiomiopati dilatasi adalah
idiopatik, tetapi kemungkinan besar kelainan ini merupakan hasil akhir
dari kerusakan miokard akibat produksi berbagai macam toksin, zat
metabolit, atau infeksi. Kerusakan akibat infeksi viral akut pada miokard
yang akhirnya mengakibatkan terjadi kardiomiopati dilatasi ini terjadi
melalui mekanisme imunologis. Pada kardiomiopati dilatasi yang
disebabkan oleh penggunaan alkohol, kehamilan (pada 3-4 bulan pertama),
penyakit tiroid, penggunaan kokain dan keadaan takikardia kronik yang
tidak terkontrol, dikatakan kardiomiopati tersebut bersifat reversibel.
Obesitas akan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung,sebagaimana

36
juga gejala sleep apnea. Kardiomiopati dilatasi dapat juga diakibatkan oleh
konsekuensi lanjut infeksi virus, bakteri, parasit atau proses autoimun.
Respon inflamasi dan autoimun termasuk pelepasan sitokin dan interleukin
yang menghasilkan terjadinya miokarditis dan fungsi kontraktil.Jenis ini
diklasifikasikan ke dalam “inflammatory cardiomyopathy” oleh WHO.
Penyakit ini bersifat genetik heterogen tetapi kebanyakan transmisinya
secara autosomal dominan, walaupun dapat pula secara autosomal resesif
dan diturunkan secara x-linked. Sampai saat ini belum diketahui
bagaimana seseorang akan memiliki predisposisi kardiomiopati dilatasi
apabila tidak diketahui riwayat kejadian penyakit ini dalam keluarganya
(Bambang dan Leonardo, 2010).
5. Manifestasi klinis
Kriteria untuk diagnosis peripartum kardiomiopati ditegakkan oleh
Demakis et al pada tahun 1971. Gagal jantung harus bermanifestasi dalam
bulan-bulan terakhir kehamilan atau dalam waktu 5 bulan sebelum
melahirkan dan ditemukan penyebab lain gagal jantung. Kriteria
diagnostik untuk peripartum kardiomiopati (Givertz, 2013) :
 Ditemukan disfungsi ventrikel kiri (yakni, fraksi ejeksi ventrikel kiri
<45%).
 Gejala gagal jantung bermanifestasi dalam bulan-bulan terakhir
kehamilan atau dalam waktu 5 bulan sebelum melahirkan.
 Tidak ditemukan penyebab lain untuk gagal jantung.
Peripartum kardiomiopati bermanifestasi dengan gejala-gejala
dyspnea, orthopnea, dispnea paroksismal nokturnal, batuk, nyeri dada,
anorexia, fatigue dan edema pedis. Pasien dengan peripartum
kardiomiopati adalah mirip dengan pasien lain dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri. Gejala-gejala umum terdiri dari distensi vena dileher,
takikardi, takipneu, hepatomegali, hepatojugular refluks, asites, edema
perifer, terjadinya perubahan status mental dan tromboemboli jantung.
Gejala kardiak terdiri dari adanya irama gallop, murmur regurgitasi mitral,
loud P2 dan rales. Dokter haruslah berhati-hati mendiagnosis
kardiomiopati peripartum dan menolak diagnosis-diagnosis yang lain.

37
Selama kehamilan terdapat banyak perubahan fisiologis yang dapat
menyerupai gagal jantung (Givertz, 2013).
Pada trimester pertama terjadi peningkatan volume darah, yang
dapat menyebabkan distensi vena jugularis. Pada bulan-bulan terakhir
kehamilan normal sering ditemukan edema pedis. Dyspneu dan fatigue
juga gejala sering pada kehamilan normal. Perubahan fisiologis normal ini
dapat membuka kedok penyakit jantung subklinis atau kompensasi untuk
pertama kalinya. Misalnya jika status cairan pasien meningkat, penyakit
jantung valvular asimptomatis dapat menjadi simptomatis untuk pertama
kalinya (Sliwa et al, 2010).
6. Pemeriksaan diagnostik
a. EKG
EKG biasanya menunjukkan takikardia sinus, meskipun mungkin
ada fitur flutter / fibrilasi atrium, hipertrofi atrium dan ventrikel kiri
(LVH), deviasi aksis kiri, kelainan ST-T non-spesifik, low voltage
complex, aritmia, gelombang Q pada lead anteroseptal dan
abnormalitas konduksi sepert perpanjangan interval PR, QRS dan
bundle branch blocks. Dilaporkan juga terjadinya supraventricular /
ventrikel takikardia, denyut prematur dan gambaran infark miokard.
Dalam banyak kasus, EKG bahkan mungkin normal (Sliwa et al,
2010).
b. Foto thoraks
Mungkin ada bukti kardiomegali, LVH, edema paru, kongesti vena
paru dan efusi pleura bilateral pada foto thoraks, atau mungkin normal
PPCM (Ramaraj dan Sorrel, 2009).
c. Ekokardiografi Doppler
Ekokardiografi Doppler adalah alat diagnostik yang paling penting
untuk menilai keparahan dan prognosis pasien PPCM. Gambaran
umum ekokardiografi meliputi peningkatan left ventricular end
diastolic diameter (LVEDD), penurunan left ventricular fractional
(LVFS) dan LVEF. Dilatasi dari semua ruang jantung, regurgitasi
mitral, trikuspid, paru dan aorta, pergerakan abnormal difus dinding

38
dan efusi perikardium ringan juga dilaporkan. Murmur regurgitasi
mungkin merupakan konsekuensi dari dilatasi jantung. Pasien dengan
miokarditis memiliki disfungsi sistolik yang lebih berat dari mereka
yang tidak miokarditis. Peningkatan tekanan arteri paru (PAP) dan
hipertensi arteri paru (PAH) juga terlihat di sebagian besar kasus.
Kadang-kadang, disfungsi ventrikel kanan dan pembesaran atrium kiri
mungkin juga ditemukan. MRI adalah alat yang lebih sensitif dari
ekokardiografi untuk mendiagnosa trombus. Pemeriksaan
ekokardiografi telah digunakan untuk menentukan prognosis PPCM,
tapi dobutamin stress echocardiography, memiliki kemampuan untuk
menunjukkan cadangan kontraktil, mungkin alat yang lebih baik
(Bhakta, Biswas, dan Banerjee, 2007).
d. Biopsi Endomiokardial (EMB)
Peran EMB pada pasien PPCM masih kontroversial. Sensitivitas
diagnostik EMB dilaporkan sekitar 50%, sedangkan spesifisitas sangat
tinggi (99%). EMB memiliki hasil negatif palsu yang tinggi dan dapat
bervariasi dengan waktu dilakukan biopsi. EMB yang dilakukan pada
awal dari proses penyakit memberikan hasil positif yang lebih baik.
EMB dipandu kontras MRI dapat memberikan hasil yang lebih positif.
EMB mempunyai beberapa risiko prosedural, dan oleh karena itu
hanya dipertimbangkan jika pasien tidak membaik setelah dua minggu
manajemen konvensional atau ada kecurigaan klinis kuat adanya
miokarditis (Bhakta, Biswas, dan Banerjee, 2007). .
e. Kateterisasi jantung
Kateterisasi jantung digunakan untuk evaluasi fungsi ventrikel kiri,
melakukan EMB dan angiografi koroner. Kateterisai akan
menunjukkan peningkatan tekanan pengisian jantung dan penurunan
CO dan PAH, tetapi indikasinya terbatas pada gagal jantung berat,
perburukan gejala penyakit jantung dan penyakit jantung iskemik
(IHD). Angiografi koroner harus selalu dipertimbangkan pada pasien
dengan gambaran klinis dan EKG dari IHD, sindrom koroner akut,

39
hiperlipidemia, riwayat merokok dan diabetes mellitus (Lok et al,
2011)..
f. Investigasi lain yang lebih sering digunakan (Lok et al, 2011) :
1) Polymerase chain reaction (PCR)
Digunakan untuk deteksi patologi virus pada pasien PPCM yang
tidak membaik dengan pengobatan konvensional.
2) Compliment fixation tests
Untuk mendeteksi infeksi oleh mikroorganisme. Kultur darah
untuk menyingkirkan penyebab infeksi.
3) Radionuklida ventrikulografi
Metode ini telah digunakan untuk menilai fungsi jantung, namun
memiliki kelemahan karena paparan radiasi dan digantikan dengan
ekokardiografi. Radionuklida ventrikulografi mungkin lebih
unggul dalam mendeteksi kelainan gerakan dinding regional pada
pasien IHD.
4) Immunofluoresensi dan pewarnaan imunohistokimia
Pewarnaan spesimen EMB digunakan untuk mendeteksi
autoantibodi terhadap miokardium.
5) Estimasi enzim jantung
Enzim jantung dan angiografi koroner ditemukan dalam batas
normal pada PPCM.
6) Hematologi rutin , biokimia dan tes serologi
Untuk menyingkirkan penyakit jantung umum lainnya.
Peningkatan CRP dan sitokin menunjukkan kardiomiopati
inflamasi. Namun, efektivitas tes tersebut harus dinilai kasus per
kasus.
7. Diagnosis
Diagnosis PPCM didasarkan pada pengecualian penyebab umum
kegagalan jantung seperti infeksi, toksin dan metabolik, penyakit jantung
iskemik atau katup. Diagnosis dini PPCM mungkin sulit karena banyak
kesamaan gejala klinis dengan kehamilan lanjut. Harus diingat bahwa
komplikasi kehamilan tua (seperti anemia, toksemia dan emboli cairan

40
ketuban) memiliki manifestasi yang sama. Presentasi paling umum PPCM
adalah dalam periode postpartum ketika sebagian dari gejala ini
menghilang. Ekokardiografi dan evaluasi laboratorium lain akan
memperkuat diagnosis klinis. Diagnosis diferensial PPCM termasuk
accelerated hypentension, preeklamsia, IDCM, emboli paru, anemia dan
tirotoksikosis (Bhakta, Biswas, dan Banerjee, 2007).
8. Penatalaksanaan
Penanganan medis PPCM mirip penanganan pada penyakit gagal
jantung. Pengobatan utama adalah pembatasan cairan dan garam, digoksin,
diuretik, vasodilator dan antikoagulan. Kehamilan dan menyusui harus
selalu menjadi pertimbangan sebelum memilih obat (Givertz, 2013).
a. Tatalaksana Non-Farmakologis
Bed rest total selama 6 - 12 bulan, seperti yang telah dianjurkan
sebelumnya, terkait dengan kejadian rendah kardiomegali, tetapi hasil
yang sama dapat dicapai tanpa istirahat di tempat tidur
berkepanjangan. Bed rest total mungkin merupakan predisposisi
terjadinya trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) dan
selanjutnya meningkatkan risiko emboli paru. Setelah gejala klinis
membaik dengan manajemen medis, olahraga sederhana sebenarnya
dapat meningkatkan perbaikan otot serta tonus arteri. Asupan cairan
dan garam dan cairan harus dibatasi masing-masing 2 - 4 gram / hari
dan 2 L / hari, dan juga penting dalam perbaikan gejala (Givertz,
2013).
b. Tatalaksana Farmakologis
1) Digoksin
Digoksin bermanfaat sebagai ionotropik, dan mengurangi
gejala simptomatik. Digoksin dalam dosis rendah aman selama
kehamilan dan menyusui (dosis tinggi akan meningkatkan sitokin
inflamasi) dan kadar digoksin serum harus dimonitor, terutama bila
dikombinasi dengan diuretik. Pengobatan digoksin selama 6 - 12
bulan dapat mengurangi risiko kekambuhan dari PPCM (Givertz,
2013).

41
2) Diuretik
Diuretik aman pada kehamilan dan menyusui. Diuretik
diindikasikan untuk mengurangi preload dan mengurangi gejala.
Namun, harus hati-hati terhadap dehidrasi iatrogenik yang
menyebabkan hipoperfusi rahim dan mengakibatkan gawat janin.
Loop diuretik biasa digunakan di rumah sakit, tapi thiazides dapat
digunakan pada kasus-kasus ringan. Dapat terjadi alkalosis
metabolik akibat dehidrasi yang dipicu oleh diuretik. Penambahan
acetazolamide akan mengurangi alkalosis dengan menghilangkan
bikarbonat. Spironolactone, karena sifat antagonisme
aldosteronnya, telah terbukti dapat mengurangi gejala, frekuensi
perawatan di rumah sakit dan kematian pada pasien gagal jantung
berat bila dikombinasi dengan manajemen standar. Namun,
spironolactone mungkin tidak aman pada kehamilan dan sebaiknya
dihindari pada periode antepartum (Givertz, 2013).
3) Vasodilator
Vasodilator sangat penting dalam penanganan gagal
jantung karena efek menurunkan preload dan afterload. Vasodilator
meningkatkan CO dan keberhasilan pengobatan gagal jantung.
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau
Angiotensin Reseptor Blocker II (ARB) sekarang dianggap sebagai
manajemen utama dan telah terbukti menurunkan angka kematian
pasien gagal jantung secara signifikan. ACE-I dan ARB
dikontraindikasikan pada kehamilan karena teratogenisitas, tapi
harus dipertimbangkan setelah melahirkan, dan bahkan dapat
diberikan pada kehamilan lanjut ketika obat lainnya tidak efektif.
ACE-I diekskresikan melalui ASI sehingga ASI harus dihentikan
pada pasien yang membutuhkan ACE-I. Infus nitrogliserin dan
natrium nitroprusside (SNP) mungkin diperlukan dalam kondisi
yang parah. Karena toksisitas sianida yang tinggi, SNP mungkin
bukan pilihan yang baik pada periode antepartum (Givertz, 2013).
4) Calsium channel blockers

42
Awalnya, penggunaan calcium channel blockers (CCB)
pada gagal jantung tidak dapat diterima karena efek kontraktil
negatif dan potensi risiko hipoperfusi rahim. Amlodipine sekarang
telah terbukti meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pada
pasien kardiomiopati non-iskemik. Pada pengujian Prospective
Randomized Amlodipine Survival Evaluation (PRAISE),
amlodipine dapat menurunkan kadar IL-6 dan menunjukkan peran
potensial dalam pengelolaan PPCM. Levosimendan, sebuah
sensitizer kalsium memiliki efek vasodilatasi dan meningkatkan
kontraktilitas jantung pada pasien gagal jantung. Akhir-akhir ini,
Levosimendan telah digunakan pada pasien PPCM dan berhasil
menurunkan peningkatan Pulmonary Capillary Wedge Pressure
(PCWP) dan selanjutnya meningkatkan CO. Karena kurangnya
laporan tentang keamanannya, levosimendan sebaiknya dihindari
pada pasien menyusui (Givertz, 2013).
5) Beta bloker
Beta blocker tidak dikontraindikasikan pada kehamilan,
tetapi penggunaannya dikaitkan dengan berat badan lahir rendah.
Beta blockers dengan sifat tambahan blok alpha (seperti carvedilol)
juga mengurangi afterload. Carvedilol telah digunakan dengan
aman pada kehamilan dan PPCM. Beta blockers dan ACE-I
mungkin mempunyai peran tambahan dalam penekanan respon
imun, dan juga mencegah remodeling ventrikel dan mengurangi
ukuran ventrikel. Obat dapat dikurangi secara bertahap selam 6 -
12 bulan bila secara klinis fungsi ventrikel dan ekokardiografi
kembali normal. Jika ada bukti disfungsi jantung terus-menerus
yang terkait dengan hipertensi atau diabetes, obat harus dilanjutkan
untuk waktu yang lama (Bhakta, Biswas, dan Banerjee, 2007). .
6) Agen antiaritmia
Agen anriaritmia kadang mungkin diperlukan untuk
mengobati keluhan simptomatik. Tidak ada agen antiaritmia yang
benar-benar aman pada kehamilan. Quinidine dan Procainamide

43
merupakan pengobatan lini pertama karena profil keamanan yang
lebih tinggi dan pengobatan harus dilakukan di rumah sakit.
Digoksin dapat dipertimbangkan untuk aritmia atrium, dan
adenosin juga dapat digunakan dalam keadaan darurat.
Amiodarone dapat menyebabkan hipotiroidisme, retardasi
pertumbuhan dan kematian perinatal, sehingga harus dihindari
pada trimester pertama dan diberikan hanya pada aritmia berat
yang mengancam kehidupan (Bhakta, Biswas, dan Banerjee,
2007).
7) Terapi antikoagulan
Diberikan pada pasien dengan LVEF <35% dan pasien
terbaring di tempat tidur dengan atrial fibrilasi, trombus, obesitas
dan riwayat tromboemboli. Keadaan hiperkoagulasi yang biasa
terjadi pada kehamilan dan stasis darah karena disfungsi ventrikel
membuat pasien PPCM lebih rentan terhadap pembentukan
trombus dan komplikasinya. Situasi ini dapat bertahan selama
enam minggu masa nifas, sehingga diperlukan penggunaan heparin
dalam antepartum dan heparin atau warfarin dalam periode
postpartum. Warfarin merupakan kontraindikasi pada kehamilan
karena efek teratogenik, tetapi baik heparin maupun warfarin aman
digunakan selama menyusui (Ramaraj dan Sorrel, 2009).
8) Terapi imunosupresif
Terapi imunosupresif dengan azathioprine dan prednisolon
telah diteliti pada pasien PPCM dengan miocarditis-positif. Melvin
dkk, pertama mencatat perbaikan dramatis dalam tiga pasien
dengan terapi imunosupresif. Dalam studi lain, 9 dari 10 pasien
menunjukkan perbaikan PCWP dan Left Ventricular Stroke Work
Index (LVSWI) dengan terapi prednisolon. Namun, Pengujian
Pengobatan Miokarditis gagal untuk menunjukkan keuntungan dari
terapi imunosupresif pada pasien PPCM. Saat ini, tampaknya tidak
ada indikasi rutin terapi imunosupresif, tetapi dapat

44
dipertimbangkan bila hasil biopsi terbukti tidak berespon setelah 2
minggu pengobatan standar (Ramaraj dan Sorrel, 2009).
9) Terapi immunoglobulin
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah terbukti
meningkatkan perbaikan disfungsi ventrikel akibat PPCM.
Mengingat bukti-bukti meningkatnya autoimunitas pada PPCM,
mungkin bijaksana untuk mempertimbangkan IVIG pada pasien
PPCM yang tidak berespon terhadap pengobatan konvensional
(Ramaraj dan Sorrel, 2009).
10) Interferon
Interferon telah digunakan bila hasil biopsi membuktikan
miokarditis virus. Interferon hanya memperbaiki parameter
echocardiografi, namun tidak menghasilkan banyak manfaat
terhadap gejala simtomatik pasien PPCM (Ramaraj dan Sorrel,
2009).
11) Immunomodulasi
Pentoxifylline, agen imunomodulasi dikenal untuk
mengurangi produksi TNFa, CRP dan Fas/Apo-1, telah terbukti
dalam penelitian dapat memperbaiki kelas NYHA, LVEF dan hasil
akhir pengobatan pada pasien PPCM bila dikombinasikan dengan
pengobatan konvensional. Namun, dibutuhkan lebih banyak bukti
sebelum pentoxifylline dapat direkomendasikan (Ramaraj dan
Sorrel, 2009).
c. Manajemen Operasi
Transplantasi jantung hanya diperuntukkan bagi mereka
yang resisten terhadap semua manajemen medis, tetapi tingkat
penolakan lebih besar karena tingginya titer antibodi yang beredar.
Pasien dengan usia muda, kerusakan end-organ minimal dan
PPCM onset dini memiliki hasil yang lebih menguntungkan
(Ramaraj dan Sorrel, 2009).
9. Prognosis

45
Studi menunjukkan bahwa sekitar 50% pasien dengan
kardiomiopati peripartummengalami pemulihkan fungsi jantung menjadi
normal, 25% terus-menerus mengalami penurunan fungsi jantung tetapi
tetap stabil pada konsumsi obat, dan 25% berkembang menjadi gagal
jantung berat. Penelitian menunjukkan bahwa hasil terapi kardiomiopati
peripartum telah membaik, dengan tingkat kelangsungan hidup setinggi
90% sampai 95% dengan terapi medis. Meskipun perbaikan awal fraksi
ejeksi dalam 3-6 bulan pertama memprediksi hasil yang baik, beberapa
wanita akanmengalami proses pemulihan yang lambat, peningkatan fraksi
ejeksibertahapselama bertahun-tahun. Keputusan kapan harus berhenti
minum obat jantung sepenuhnya setelah pulih, yang biasanya didefinisikan
sebagai fraksi ejeksi lebih besar dari 50%, masih
kontroversial.Kebanyakan dokter setuju bahwa ACE inhibitor dan β-
blocker harus dilanjutkan selama minimal 1 tahun setelah normalisasi
fraksi ejeksi (Givertz, 2013).
C. Pneumonia Komuniti
1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-
obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003).
Terdapat beberapa klasifikasi dari pneumonia (PDPI, 2003)
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
1) Pneumonia komunitas (Community acquired Pneumonia)
2) Pneumonia nosocomial ( Hospital acquired Pneumonia)
3) Pneumonia apirasi
4) Pneumonia pada penderita immunocompromised
b. Berdasarkan bakteri penyebab
1) Pneumonia bacterial/ tipikal ( staphylococcus, klabsiella)
2) Penumonia atipikal (Mycoplasma, clamidia, Legionella)
3) Pneumonia virus

46
4) Pneumonia Jamur
c. Berdasarkan predileksi infeksi
1) Pneumonia Lobaris
Sering terjadi pada pneumonia karena bacterial. Pneumonia terjadi
pada satu lobus atau segmen yang kemungkinan disebabkan oleh
obstruksi.
2) Bronkopneumonia
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrate pada lapang paru. Biasanya
terjadi pada bayi dan orang tua.
3) Pneumonia intersisial
2. Etiologi
Sementara itu, berdasarkan laporan hasil pemeriksaan sputum dari
beberapa pusat paru di Indonesia (1997-2003) dengan beberapa cara
pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi didapatkan hasil
pemeriksaan sputum sebagai berikut :
- Klebsiella pneumoniae 45,18%
- Streptococcus pneumoniae 14,04%
- Streptococcus viridans 9,21%
- Staphylococcus aureus 9%
- Pseudomonas aeruginosa 8,56%
- Steptococcus haemolyticus 7,89%
- Enterobacter 5,26%
- Pseudomonas sp. 0,9%
3. Faktor Resiko
Beberapa factor resiko pneumonia adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3 Faktor Resiko Pneumoni

47
4. Patomekanisme
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme
di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat
tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas (PDPI, 2003).
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan (PDPI, 2003) :
a. Inokulasi langsung
b. Penyebaran melalui pembuluh darah
c. Inhalasi bahan aerosol
d. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara
Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5
-2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan

48
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi
dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan
penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia
(PDPI, 2003).
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi
atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas
bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada
beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama
(PDPI, 2003).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri
ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan.
Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4
zona pada daerah parasitik terset yaitu :
a. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
b. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah.
c. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak.
d. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan
perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas.

49
5. Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala yang biasanya ditemukan pada CAP adalah adanya
infeksi akut paru yang didapat dari komunitas dan tidak didapat di
rumah sakit, demam, menggigil, suhu tubuh meningkat hingga >40° C,
batuk disertai dahak mukoid atau purulent dan dapat juga disertai darah,
sesak nafas dan nyeri dada.
Diagnosis pasti CAP ditegakkan jika pada foto thoraks terdapat
infiltrate baru atau infiltrate progresif ditambah dengan 2 atau lebih
gejala dibawah ini :
1) Batuk yang semakin sering
2) Dahak yang purulent
3) Suhu tubuh >38°C atau riwayat demam
4) Pemeriksaan fisik didapatkan suara nafas bronchial, atau ronkhi.
5) Leukosit > 10.000 atau <4500
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik tergnatung dari adanya luas lesi pada
paru. Pada inspeksi pemeriksaan paru dapat terlihat bagian yang sakit
tertinggal waktu bernafas, pada palpasi dapat ditemukan vocal fremitus
yang lebih keras antara kedua paru, pada perkusi dapat ditemukan
redup, dan pada auskultasi dapat terdengar suara nafas bronkovesikuler
sampai bronchial yang mungkin disertai ronki basah halus atau ronki
basah kasar.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Gambaran Radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrate, peningkatan corakan bronkovaskulaar, sampai
konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kavitas. Foto toraks saja tidak dapat
secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia

50
lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral
atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia
sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan
meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
2) Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan
jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang
mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 2025%
penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.
6. Penatalaksanaan
a. Terapi Farmakologis
Terdapat beberapa regimen terapi dalam penatalaksanaan
pneumonia. Pemberian antibiotik merupakan terapi utama dalam
penatalaksanaan pneumonia disamping pemberian terapi simtomatik.
Pemberian antibiotik untuk pneumonia diklasifikasian sebagai berikut
(Donovan, 2015, ATS, 2007) :
1) Pasien baru tanpa factor resiko dan penyakit penyerta
a) Golongan macrolide : Azytrimisin PO 500 mg single dose
kemudian diberikan 250 mg PO selama 4 hari.
b) Golongan macrolide : Claritomycin 500 mg PO 1 kali per hari
c) Doksisiklin 100 mg
2) Terdapat penyakit penyerta seperti bronkiektasis, PPOK,DM,
insufisiensi renal dan liver.
a) Golongan kuinolon : Levofloksasin 750 mg PO/ 24 jam
b) Golongan kuinolon : moxifloksasin 400 mg PO/ 24 jam

51
c) Kombinasi golongan beta-lactam (amoksisilin 1g PO/8 jam atau
amoksisilin klavulanat PO/12 jam atau ceftriaxone 1g IV/IM /
24 jam dengan golongan macrolide.
Durasi pemberian minimal 5 hari.
3) Non- ICU
a) Golongan kuinolon : Levofloksasin 750 mg PO/ 24 jam
b) Golongan kuinolon : moxifloksasin 400 mg PO/ 24 jam
c) Kombinasi golongan beta-lactam (ceftriaxone 1g IV/IM / 24 jam
atau cefotaxim 1g /IV/ 8 jam digabung dengan golongan
macrolide, azitromisin 500 mg/IV/ 24 jam.
Durasi pemberian 5 hari.
4) ICU
a) Golongan kuinolon : Levofloksasin 750 mg PO/ 24 jam
b) Golongan kuinolon : moxifloksasin 400 mg PO/ 24 jam
c) Ceftriaxone 1 g IV/24 jam dengan aztitromisin 500 mg IV/24
jam.
5) Pneumonia aspirasi, abses pada paru
a) Klindamisin 300-450 mg PO/ 8 jam
b) Ampicillin – sulbactam 3 g. IV/ 6jam
c) Ceftriaxon (gol. Cephalosporin) 1 gr IV/24 jam dengan
metronidazole (gol. Aminoglikosida) 500 mg IV/ 6 jam
d) Influenza  oseltamvir 75 mg IV atau PO/ 12 jam selama 5
hari.

52
Tabel 2.4 Terapi Pneumonia menurut American Thoracic Society,
2007 :

b. Terapi Non Farmakologi


Meningkatkan pola hidup sehat, tidak merokok, menghindari
kontak dengan penderita merupakan beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya pneumonia. Vaksinasi juga dapat
dilakukan terutama pada orang yang memiliki factor resiko pneumonia
seperti usia tua, penyakit kronik, diabetes, penyakit jantung coroner,
dan PPOK (PDPI 2003).
7. Komplikasi
Efusi pleura, emfema, abses paru, pneumothoraks, gagal nafas,
bahkan sepsis dpaat menjadi komplikasi yang umum dari Pneumonia, jika
tidak segera ditangani (PDPI, 2003).
8. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor
penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta
adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis
penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita
pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan ,

53
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut
Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian
pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1%
dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV
8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko
kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas.
Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998
adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo
angka kematian 20 -35% (PDPI, 2003).

54
III. KESIMPULAN

A. Diagnosis CHF karena memenuhi kriteria framingham yaitu kriteria mayor


orthopneu, peningkatan JVP, dan kardiomegali serta kriteria minor batuk
malam, dipsneu d’effort, edem pergelangan kaki, dan takikardi.
B. Diagnosis PPCM ditegakkan dari adanya gagal jantung yang terjadi dalam
kurun waktu sebulan terakhir kehamilan sampai <5 bulan post partum, disertai
dengan tidak adanya riwayat penyakit jantung atau tidak ditemukannya
penyebab gagal jantung lainnya.
C. Diagnosis CAP pada pasien ditegakkan karena rontgen thorax menunjukkan
adanya infiltrate baru disertai dengan adanya batuk yang bertambah, riwayat
demam, rhonki, dan lukositosis >10.000.
D. Faktor resiko yang dimiliki oleh pasien adalah pasien riwayat multiparitas
dengan kehamilan pada usia tua, serta riwayat hipertensi dalam kehamilan.
E. Penatalaksanaan yang diberikan berupa pembatasan asupan cairan, diuretik,
antibiotik, ekspektoran/mukolitik, antipiretik dan perbaikan kondisi pemberat
yang lain, seperti koreksi immbalance elektrolit.
F. Prognosis secara keseluruhan adalah dubia ad malam

55
IV. DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2014. Evaluation and Management of ChronicHeart


Failure in the Adult. Available from : http://circ.ahajournals.org/co
ntent/104/24/2996.full.pdf. Diakses pada 3 Oktober 2017.
Bambang Budi S, Leonardo Paskah S. 2010. Majalah Kedokteran Indonesia;
Kardiomiopati Terkini. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
FKUI. Jakarta
Bhakta P, Biswas BK and Banerjee B. 2007. “Peripartum Cardiomyopathy : Review of
the Literature”, Yonsei Medicine Journal, Vol. 48 (4) : 731-747.

Cowie, M.R., Wood, D.A., Coats, A.J.S., Thompson, S.G., Poole-Wilson, P.A.,
Suresh, V., Sutton, G.C., 1998. Incidence and Aetiology of Heart Failure.
Available from : http://eurheartj.Oxfordjournals.org/content/20/6/421.full.
pdf
Cunningham C, Rivera J and Spence D. 2011. “Severe Preeclampsia, Pulmonary Edema,
and Peripartum Cardiomyopathy in a Primigravida Patient”, AANA Journal, Vol.
79 (3).

Djausal, AN., Oktafany. 2016. Gagal Jantung Kongestif. J Medula Unila. 5 (1) :
10-14.
Donovan, Fabrian M. 2015. Community Acquired Pneumoni Empiric Therapy.
Available at : http://emedicine.medscape.com/article/2011819-
overview#a1, pada tanggal 07 Juni 2017
Figueroa MS and Peters JI. 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care. Respir
Care. 51(4), pp. 403– 412
Givertz, M. 2013. “Peripartum cardiomyopathy”, Journal American Heart
Association, Vol. 127 (20) : 622-626.
Gray, H.H, Dawkins D.K, Simpson L.A, Morgan, M.J. 2005. Lecture Notes:
Kardiologi, Alih Bahasa: JKFT, Edisi Nomor 2, Januari 2016 | 85 Agoes,
A.Z, 2005: Penerbit Erlangga.
Hellermann, J.P., Goraya, T.Y., Jacobsen, S.J., Weston, S.A., Reeder, G.S.,
Gersh, B.J., Redfield, M.M., Rodheffer, R.J., Yawn, B.P., Roger, V.L.,
2003. Incidence of heart failure after myocardial infarction: is it changing
over time?. Am. J. Epidemiology 157 (12): 1101–1107.
Kemenkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Lip, G.Y.H., Gibbs, C.R., Beevers, D.G. 2001. Aetiology. In: ABC of Heart
Failure

56
Lok SI et all. 2011. “Peripartum cardiomyopathy: the need for a national database”,
Netherland Heart Journal, Vol. 19:126–133.

Longo, D.L., D.L., Kasper, J.L. Jameson, A.S. Fauci, S.L. Hauser, dan J.
Loscalzo. 2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc
Mann, D.L. dan M. Chakinala. 2011. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
McGrawHill Medical.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung Edisi Pertama. Jakarta : PP PERKI.
Persatuan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia. Jakarta: PDPI
Ramaraj R and Sorrel VL. 2009. “Peripartum cardiomyopathy: Causes, diagnosis, and
treatment”, Cleveland clinic journal of medicine, Vol. 76 (5) : 289-296.

Saunders WB. 2000. Goldman: Cecil Textbook of Medicine, 21st ed. Publisher:
W. B. Company, pp.74-80.
Scoote M., Purcell I.F., Poole-Wilson P.A. 2005. Pathophysiology of Heart
Failure. In : Essential Cardiology. 2th Ed. 347-369.
Selwyn, AP. 2007. Penyakit Jantung Iskemik Dalam Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
Shah R.V. 2007. Heart Failure in Pathophysiology of Heart Disease a
Collaborative Project of Medical Student and Faculty. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Siswanto, B.B., N. Hersunarti, Erwinanto, R. Barack, R.S. Pratikto, S.E. Nauli, et
al., 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler: Jakarta
Sliwa et al. 2010. “Current state of knowledge on aetiology, diagnosis,
management, and therapy of peripartum cardiomyopathy: a position
statement from the Heart Failure Association of the European Society of
Cardiology Working Group on peripartum cardiomyopathy”, European
Journal Heart, Vol. 12 (8) : 767-778
Sylvia, A. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC.
Wells GL and Twomley KM. 2010. “Peripartum Cardiomyopathy: A Current Review”,
Journal of Pregnancy. Article ID 149127, 5 pages.

57

Anda mungkin juga menyukai