Anda di halaman 1dari 17

KONSEP TEORI

GBS (SINDROM GUILLAIN – BARE)


A. Pengertian
Sindrom Guillain-Barre (GBS) adalah sindrom klinik yang penyebabnya
tidak diketahui secara pasti yang menyangkut saraf perifer dan cranial (Brunner
dan Suddart, 2015).
Sindrom Guillain-Barre (GBS dilafalkan ghee-yan bahray) adalah suatu
demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu
polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi akut.
Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan
segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian
bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk gerakan motorik juga.
(Sylvia A. Price, 2015)

B. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara
lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a) keganasan
b) systemic lupus erythematosus
c) tiroiditis
d) penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Telah diketahui bahwa infeksi salmonela tiposa dapat menyebabkan
GBS.Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid
perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam
tifoid masih merupakan penyakit menular yang besar.

C.
C.
C.
C.
C.
C.
C.
Manifestasi klinis
 Terdapat kelemahan progresif simetris akut, biasanya lebih berat disebelah
distal daripada sebelah proksimal dan lebih buruk di tungkai daripada di
lengan.
 Pasien sering mengeluh kesulitan bergerak, bangun dari kursi atau naik
tangga.
 Paralisis asenden mengenai saraf motorik sering daripada sensorik. Sensorik
hilang (terutama kedudukan dan sesuai sensasi getar) bervariasi tetapi
biasanya ringan.
 Pada beberapa pasien , gejala awal mencakup otot cranial atau ekstremitas
atas (misalnya kesemutan di tangan).
 Secara umum kelemahan mencapai maksimum dalam 14 hari.

D. Penatalaksanaan
 Plasmaferisis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antobiotik
kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan
dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan demielinasi.
 Pemberian immunoglobulin IV
1. Pengertian
Imunoglobulin (Antibodi) adalah protein-protein pelindung yang
terbentuk untuk melawan sel-sel asing yang masuk dalam tubuh. Di dalam
tubuh imunoglobulin yang diproduksi terdiri dari berbagai tipe antara lain :
IgA, IgE, IgD, IgG, IgM.
2. Tujuan terapi immunologi
- Ada imunoglobulin yang sengaja diproduksi untuk pengobatan. Pada
pasien dengan GBS penggunaan terapi imunoglobulin sangat
bermanfaat selain plasmafaresis.
- Terapi imunoglobulin bertujuan untuk menghambat terbentuknya
antibodi dari dalam tubuh yang merusak saraf dan meningkatkan
kekebalan tubuh. Immunoglobulin dapat menetralisasi autoantibodi
patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut, IVIg
juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
- Tujuan pemberian imunoglobulin adalah untuk menormalkan kembali
sistem pertahanan tubuh.
3. Rute pemberian immunoglobulin
Imunoglobulin diberikan secara intravena. Sebelumnya
immunoglobulin diberikan secara intramuskular tapi sekarang diberikan
secara IV.
4. Dosis Imunoglobulin

350-500 mg/kg BB yang diberikan sebulan sekali.

150-250 mg/kg BB yang diberikan setiap 2 minggu sekali.


Dosis untuk bayi neonatus 500 mg/Kg BB

Bayi Prematus 750 mg/Kg BB.

Pemberian IVIG ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncu

dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Khusus pada pasien GBS.
Waktu pemberiannya selama 1/2-1jam.

5. Efek samping
Efek samping dari pemberian imunoglobulin terjadi pada 5% pasien.
 Efek samping yang muncul seperti nyeri kepala, menggigil, nyeri sendi,
pusing, mual, lelah, myalgia, nyeri punggung, peningkatan tekanan
darah pada pasien dengan resiko hipertensi.
 Reaksi dapat muncul setelah 30 menit pemberian imunoglobulin
intravena dan berkurang setelah infus dihentikan.
6. Kontraindikasi
 Hipersensitivitas terhadap imunogobulin
 Defisiensi IgA
 Antibodi anti IgE / IgG.
7. Hal-hal yang perlu diperhatikan
a) Dosis imunoglobulin dihitung berdasarkan berat badan pasien.
b) Untuk terapi awal, sebaiknya digunakan konsentrasi yang lebih rendah
dan/atau laju infusi yang lebih lambat.
c) Diberikan pada jalur infus yang terpisah dari obat-obat lainnya. Bila
menggunakan jalur primer, bilas dengan salin sebelum pemberian.
d) Pada pasien berisiko gagal ginjal dosis, laju dan/atau konsentrasi infus
dikurangi. Pengurangan laju infus atau penghentian infus dapat
membantu meringankan beberapa efek samping (kemerahan pada
wajah, perubahan kecepatan nadi, perubahan tekanan darah).
e) Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg
8. Macam-macam sediaan obat immunoglobulin:

a) Octagam 10 % Sediaan 100 mg/ml

b) Octagam 10 g/200 ml

c) Octagam 5 g/100 ml

d) Octagam 2,5 g/50 ml

e) Gammaplex 5 g/100 ml

f) Octagam 5 % Sediaan 1 g/20 ml

g) GAMMAGARD LIQUID 10 % berisi 100 mg/mL protein. 98% dari


protein adalah gammaglobulin, immunoglobulin A (IgA) dan
immunoglobulin M, Ig G.

9. Octagam(R)
Octagam 10% adalah solusi cairan (100 mg/ml) Globulin Imun
untuk pemberian intravena (IVIG)
Diindikasikan untuk penggunaan pada:

a) Imunodefisiensi humoral primer(PI);

b) Myeloma atau kanker darah limfa kronis dengan hipogamaglobulinemia


sekunder yang parah dan infeksi berulang, pada anak dengan AIDS
bawaan yang telah terinfeksi bakteri berulang kali;

c) Purpura trombositopenik imun (ITP) pada anak-anak atau orang dewasa


yang berisiko tinggi mengalami pendarahan atau sebelum operasi untuk
memperbaiki jumlah trombosit;

d) Sindrom Guillain Barre

10. Penatalaksanaan
a) Persiapan alat dan bahan
 Obat immunoglobulin
 NaCl 0,9 % sediaan 25 ml
 Spuit 20 cc dan jarum 21 G
 Kapas alkohol
 Bengkok
 Infus set
 Sarung tangan
b) Persiapan pasien
Jelaskan pada pasien tujuan pemberian immunoglobulin.
c) Prosedur
 Cuci tangan
 Sabung infus set baru ke botol immunoglobulin, masukan cairan ke
slang untuk mengeluarkan udara, lalu klem selang.
 Jika pasien sudah mendapatkan infus NaCl 0,9 % atau RL maka tidak
perlu dibilas. Klem infus set lama lalu cabut dari IV cath yang ada
pada pasien. Kemudian sambungkan ujung selang infus set baru dari
botol immunoglobulin ke pasien. Buka klem dan atur tetesannya.
Waktu pemberian selama 1/2-1jam.
 Jika pasien mendapat infus yang tidak isotonis maka perlu dibilas
dengan NaCl 0,9 %. Caranya
 Dengan menggunakan spuit 20 cc tarik NaCl dari sediaan 25 cc.
 Klem set infus lama. Desinfeksi tempat suntikan pada infus set
yang lama dengan kapas alcohol.
 Masukan 20 cc NaCl 0,9 % dari spuit ke dalam aliran.
 Setelah selesai dibilas cabut set infus lama dan gantikan denga set
infus yang sudah tersambung pada botol immunoglobulin. Atur
tetesan dalam waktu 1/2-1jam.
 Jika telah selesai siapkan lagi bilas lagi dengan NaCl 0,9 % (caranya
sama seperti di atas). Pada pasien yang sudah mendapat terapi NaCl
atau RL maka tidak perlu dibilas lagi cukup diganti infusnya.
 Setelah selesai bereskan alat
 Cuci tangan
 Dokumentasi (nama obat, jumlah tetesan, waktu pemberian, nama
dan tanda tangan perawat).
 GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis sehingga Pasien
diatasi/dirawat di unit perawatan intensif. Amati fungsi respirasi
secara ketat, ukur kapasitas vital untuk mengetahui kekuatan otot
paru.
 Karena gagal pernapasan merupakan problema utama pada sindroma
Guillain-Barre. Pasien yang mengalami masalah pernafasan
memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama.
Ventilasi mekanik mungkin diperlukan jika volume ekspirasi paksa
adalah < 12-15 mL/kg, kapasitas vital cepat menurun atau < 1000
mL dan Pao2 < 70 mmHg, atau jika pasien sangat sukar
mengeluarkan dahak dan diaspirasi. Sekitar 10% sampai 20% pasien
memerlukan ventilasi. Jika melakukan intubasi endotrakeal, hindari
obat-obatan yang menimbulkan paralisis (misalnya suksinilkolin)
karena meningkatnya resiko hiperkalemia yang membahayakan
hidup.
 Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan
perubahan kecepatan atau ritme jantung.
 Pemasangan NGT untuk mengatasi kekurangan nutrisi akibat
kesulitan mengunyah dan menelan.
 Distrimia jangan dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom
yang diobati dengan propanonol untuk mencegah takikardia dan
hipertensi.
 Atropine dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia
selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LCS
- Disosiasi sitoalbumin
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa
peningkatan dari sel < 10 limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel metabolik
tidak begitu bernilai 5 Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV,
membantu menegakkan etiologi.
a. Antibodi glicolipid
b. Antibodi GMI
2. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis
motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H
abnormal.
3. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.

F. Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kelemahan atau paralisis pada
otot-otot pernafasan, kardiovaskuler dan kelumpuhanm otot yang menetap.
Komplikasi lain meliputi disritmia jantung, trombosis vena profunda dan emboli
paru. (Buku Saku Patofisiologi. Elizabeth J. Corwin. 2009: hal 266)
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas
Umur : Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74
tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang
pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun.
Jenis kelamin : Semua orang baik wanita maupun laki-laki dapat
mengalaminya
b. Keluhan utama
Pasien mengeluhkan parastesia (kesemutan dan kebas) pada otot kaki, sesak
napas.
c. Riwayat penyakit sekarang
Gejala yang sering dirasakan pasien yaitu kesemutan dan kebas (parestesia),
kelemahan pada otot kaki yang berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh
dan otot wajah.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengalami infeksi pada saluran pernapasan, gastroinstentinal yang
lama, bedah saraf, penggunaan obat-obat seperti kortisteroid dan berbagai
jenis antibiotic.
e. Riwayat psikososial dan spiritual
Umumnya pasien cepat marah, merasa takut, cemas akan kemungkinan
paralisis yang permanen, sehingga pasien menjadi pendiam dan malas
berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Terkadang pasien merasa Tuhan
tidak adil dengannya akibat penyakit yang diderita (hubungan spiritualnya
kurang baik)
f. Pola pemenuhan kebutuhan dasar
- Nutrisi : Asupan nutrisi pada pasien yang kurang karena adanya kelemahan
otot untuk mengunyah dan menelan.
- Higyene perseorangan : Kebutuhan personal hyegiene pasien dibantu oleh
keluarga dan perawat
- Eliminasi : Pasien sering mengalami konstipasi, adanya penurunan
haluaran urin (< 500 cc),retensi urine atau inkontinensia.
- Aktivitas dan tidur : Pasien tidak mampu beraktivitas seperti biasa kerena
kelemahan pada kedua tungkai. Pasien menjadi gelisah dan kurang tidur.
2. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing)
Pasien tidak dapat batuk efektif, pengeluaran sputum, ronkhi, dispneu, adanya
penggunaan otot-otot bantu pernapasan, apneu.
b. B2 (bleeding)
Wajah kemerahan, takikardi/ bradikardi, hipotensi/ hipertensi (tekanan
darahnya labil, naik turun).
c. B3 (Brain)
Pusing, letargi
Pengkajian fungsi motorik :
 Syaraf II : Penurunan pada kemampuan membuka dan menutup mata,
paralisis ocular.
 Syaraf V, VII, XII : Paralisis otot lidah, rahang.
 Syaraf IX, X, XI : Paralisis pada otot orofaring.
Fungsi sensoris : klien mengalami penurunan kemampuan menilai sensorik
nyeri, raba dan suhu
d. B4 (Bledder)
Adanya distensi kandung kemih.
e. B5 (Bowel)
Pasien sulit menelan atau mengunyah makanan, bising usus menurun, pasien
mengalami konstipasi.
f. B6 (Bone)
Adanya kelemahan pada otot, dan penurunan kekuatan otot
Pemeriksaan fisik (data dasar pengkajian klien)
a. Aktivitas /istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang cepat
kerah atas.
Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris)
Cara berjalan tidak mantap
b. Sirkulasi
Tanda :Perbahan tekanan darah (hipotensi dan hipertensi).
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan,diaforesis.
c. Integritas ego
Gejala :Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi
Tanda :Tampak takut dan binggung.
d. Eliminai
Gejala :Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda :kelemahan pada otot-otot abdomen .
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfinger.
e. Makanan/ cairan
Gejala :Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
f. Neurosenori
Gejala :
Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik (distribusi stoking atau sarung tangan).
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi tubuh.
Perubahan dalam ketajaman penglihatan.
Tanda :
Hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata
(keterlibatan saraf karnil).
Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala :Nyeri tekan otot; seperti terbakar, mengganggu, sakit nyeri
(terauma pada bahu, pelvis pinggang, punggung dan bokong).
Hipersensitif terhadap sentuhan
h. Pernapasan
Gejala :Kesulitan dalam bernapas, napas pendek
Tanda :
Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas,
apnea,penurunan/hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru-paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks gag/ menelan/ batuk.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Analisis pungsi lumbal menunjukkan peningkatan protein CSS dan jumlah sel
darah putih rendah.
b. Pemeriksaan EMG elektrofisiologis menunjukkan pelambatan velositas
konduksi saraf, menunjukkan demielinasi.
c. Pemeriksaan gas darah SaO2 menurun, PCO2 meningkat.
4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
2. Perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
3. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
5. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis
orofaringeal.
7. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
8. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
9. Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.

D. PERENCANAAN KEPERAWATAN
1. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam pola napas efektif
dengan kriteria hasil
intervensi :
a. Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan Perhatikan
gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot.
b. Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan membrane
mukosa.
c. Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
d. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi bersandar.
e. Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress
pernapasan.
f. Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
g. Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui perksusi
dada, drainase postural, vibrasi.

2. Dx. 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonom.


setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam Perfusi jaringan
efektif
intervensi:
a. Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan
ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
b. Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya
distrimia.
c. Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
d. Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki.
e. Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
f. Pemberian heparin sesuai indikasi.
g. Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.

3. Dx 3 : Ganguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler


setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x24 jam mempertahankan
fungsi sensori penglihatan
intervensi :
a. Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap keamanan
b. Pantau dan dokumentasikan perubahan status neurologis pasien
c. Pantau tingkat kesadaran pasien
d. Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa, jika diperlukan jangan
memindahkan barang-barang di dlam kamar pasien tanpa menberitakn
pasien
e. Ajarkan pasien untuk secara visual memantau posisi bangian tubuh, jika
tedapat kerusakan propriosepsi
4. Dx. 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
setelah dilakukan tindakan keperawatn selama …x24 jam Peningkatan
keoptimalan mobilitas
intervensi :
a. Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan menggunakan skala
0-5. Lakukan pengkajian secara teratur sesuai kebutuhan secara
individual.
b. Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll, papan
kaki.
c. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
d. Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan
bergantung pada toleransi secara individual.
e. Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.
5. Dx 5 : Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam Nyeri teratasi
intervensi
a. Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan menggunakan skala 0-10.
b. Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut.
c. Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual.
d. Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
e. Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.

6. Dx 6 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis


orofaringeal.
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam Keseimbangan
pemenuhan nutrisi teratasi
intervensi
a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, pada keadaan yang teratur.
b. Catat masukan kalori setiap hari.
c. Catat makanan yang disukaii oleh pasien termasuk pilihan diet yang
dikehendaki.
d. Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang menyenangkan
bagi pasien
e. Beri diet tinggi kalori.
f. Pasang/pertahankan selang NGT.
g.
7. Dx 7 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam Konstipasi tidak
ada.
Intervensi
a. Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.
b. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika pasien
dapat menelan).
c. Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara teratur.
d. Beri obat pelembek feses.
e. Tingkatkan diet makanan yang berserat.

8. Dx 8 : hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah


setelah dilakukan tindakan keperawatan …x24 jam menunjukkan
keterampilan interaksi social
intervensi
a. Kaji pola dasar interaksi antara pasien dengan orang lain
b. Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan keterbatasan
dalam berkomuniikasi dengan orang lain
c. Minta dan harapkan kominikasi verbal
d. Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan dan
teknik berkomunikasi.
9. Dx 9 : Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x24 jam Ansietas berkurang.
intervensi
a. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
b. Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan dan
prognosis.
c. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan
kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi.
d. Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk meneruskan
aktivitas sehari-hari dan lainnya meskipun ansietas.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3.


Jakarta: EGC

Carpernito, Lynda Juall. 2007. Buku saku Diagnosis Keperawatan edisi 10. Jakarta:
EGC

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3.


Jakarta : EGC

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC

Saputra, Lyndon. Intisari ILmu Penyakit Dalam disertai Contoh Kasus Klinik.
Tanggerang : BINARUPA AKSARA Publisher

Anda mungkin juga menyukai