Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN IKM – IKK TUGAS K2

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2020

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MIGRAIN TANPA AURA DENGAN PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA


DAN DIAGNOSIS HOLISTIK

DISUSUN OLEH:

11120182087 Muh. Asy Shidiq


PEMBIMBING :Dr. Hj Hermiaty, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN IKM-IKK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian

secara global. Salah satu penyakit tidak menular yang cukup

memengaruhi angka kesakitan dan angka kematian adalah penyakit

kardiovaskular (PKV) Riskesdas pada tahun 2007 menyatakan bahwa

salah satu PTM yang memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia adalah

hipertensi, yakni 31,7%. Hipertensi merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat yang terjadi di negara maju maupun negara

berkembang.(1)

Menurut International Headache Society, 2013, migren adalah

nyerikepala dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam. Nyeri

biasanyaunilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai

berat dandiperberat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual, muntah,

fotofobia danfonofobia.

Konsep klasik mengatakan migren adalah gangguan fungsional

otakdengan manifestasi nyeri kepala unilateral yang sifatnya mendenyut

ataumendentum yang terjadi mendadak disertai mual atau

muntah.Konsep tersebuttelah diperluas oleh The Research Group On

Migraine and Headache of TheWorld Federation Of Neurology. Migren

merupakan gangguan bersifat familialdengan karakteristik serangan nyeri

3
kepala yang berulang-ulang yang intensitas,frekuensi dan lamanya

bervariasi.Nyeri kepala umumnya unilateral, disertaianoreksia, mual, dan

muntah.Dalam beberapa kasus migren ini didahului olehgangguan

neurologik dan gangguan perasaan hati.

1.2 Aspek Disiplin Ilmu yang Terkait dengan Pendekatan Diagnostik Holistik
Penderita migraine tanpa aura
Untuk pengendalian permasalahan Migrain tanpa aura baik pada
tingkat individu maupun masyarakat dilakukan secara komprehentif dan
holistik yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI), maka mahasiswa program profesi dokter Universitas Muslim
Indonesia melakukan kegiatan kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer
(Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi yang
dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan
diri, serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan
berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran,
keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.2.1. Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian hipertensi secara
individual, masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai agama,
etik moral dan peraturan perundangan.
1.2.2. Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa
mampu mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis,
sosial dan budaya sendiri dalam penanganan migrain, melakukan

4
rujukan sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang
berlaku serta mengembangkan pengetahuan.
1.2.3. Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian Migrain.
1.2.4. Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu
memanfaatkan teknologi informasi komunikasi dan informasi
kesehatan dalam praktik kedokteran.
1.2.5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian migraine secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas
berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil
yang optimum.
1.2.6. Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah migraine dengan
menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan
keselamatan orang lain.
1.2.7. Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat
secara komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif dan
berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer

1.2 Tujuan Dan Manfaat Studi Kasus


Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah
menatalaksana masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai
individu yang utuh terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan
prinsip pencegahan penyakit promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan
pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine).

5
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk dapat menerapkan
pelayanan dokter keluarga secara paripurna dan holistik pada pasien
hipertensi dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta
prinsip penatalaksanaan pasien Migraine tanpa aura berdasarkan
kerangka penyelesaian masalah pasien.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui cara penegakan diagnosis klinis migrain di fasilitasi
pelayanan primer.
b. Mengidentifikasi diagnosi psikososial pada pasien migraine tanpa aura
c. Mengidentifikasi faktor resiko yang berhubungan dengan migrain
d. Mengetahui terapi hipertensi dengan pendekatan holistic pada fasilitas
pelayanan dokter primer.
e. Mengetahui dan melakukan pengendalian hipertensi dalam hal ini
pengobatan maupun pencegahan komplikasi hipertensi.
1.2.3. Manfaat
1. Bagi Institusi pendidikan.
Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut
sekaligus sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.
2. Bagi Penderita (Pasien).
Menambah wawasan akan migrain yang meliputi proses penyakit dan
penanganan migrain sehingga dapat memberikan keyakinan untuk
tetap berobat secara teratur.
3. Bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
pemerintah daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang
terlibat di dalamnya mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita
migrain

6
4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka
memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai evidenve based
dan pendekatan diagnosis holistik hipertensi serta dalam hal penulisan
studi kasus.

1.3 Indikator Keberhasilan Tindakan


Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan
pasien dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna,
berbasis evidence based medicine adalah:
1. Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas)
sudah teratur.
2. Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai
dengan didapatkan.
3. Pemeriksaan fisik berupa tekanan darah pasien secara signifikan.
4. Gejala lain seperti sakit kepala, dan tegang pada tengkuk sudah tidak
lagi dirasakan oleh pasien.
5. Keluarga memahami dengan baik akan penyakit penderita dalam hal
ini mengenai penyebab, faktor yang menjadi penyebabnya,
pengobatannya dan bersedia melakukan pencegahan kenaikan
tekanan darah.
6. Keterlibatan petugas Puskesmas yang intensif dalam
penanggulangan.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian
keberhasilan tindakan pengobatan didasarkan pada penderita yaitu hasil
pemeriksaan darah rutin, fisik, dan klinis, keluarga yaitu memahami dan
melakukan penanggualangan dan pemberantasan vektor
nyamuk.Kesembuhan migrain yang baik akan memperlihatkan meningkatnya

7
jumlah trombosit ,adanya perbaikan klinis, dan menghilangnya gejala, serta
tidak terjadinya penyakit yang sama didalam keluarganya lagi.

8
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1. Kerangka Teoritis

Konsep Mandala Of Health:

2.2. migrain tanpa aura

A. 2.1.1 DEFINISI
Nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72 jam.
Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan mual dan/atau
fotofobia dan fonofobia.1
B. EPIDEMIOLOGI
Migraine dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang
hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine timbul

9
pada 11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang. 2 Prevalensi
migraine ini beranekaragam bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Migraine
dapat tejadi dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migraine lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun,
tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu paling sering pada
kelompok umur 25-44 tahun. Onset migraine muncul pada usia di bawah 30 tahun
pada 80% kasus. Migraine jarang terjadi setelah usia 40 tahun. Wanita hamil pun
tidak luput dari serangan migraine yang biasanya menyeang pada trimester I
kehamilan. Risiko mengalami migraine semakin besar pada orang yang mempunyai
riwayat keluarga penderita migraine.3

10
C. ETIOLOGI
Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70-80% penderita migraine
memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena
migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine
dengan aura.1,3 Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik yang
mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara riwayat
migraine dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada orang-orang
dengan kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial myopathy,
encephalopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien dengan
kelainan genetik CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy with
subcortical infarcts and leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane dengan
aura.
D. KLASIFIKASI
Secara umum migraine dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Migraine dengan aura
Migraine dengan aura disebut juga sebagai migraine klasik. Diawali dengan
adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh nyeri kepala unilateral,
mual, dan kadang muntah, kejadian ini terjadi berurutan dan manifestasi nyeri kepala
biasanya tidak lebih dari 60 menit yaitu sekitar 5-20 menit.
2. Migraine tanpa aura
Migraine tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit kepalanya
hampir sama dengan migraine dengan aura. Nyerinya pada salah satu bagian sisi kepala
dan bersifat pulsatil dengan disertai mual, fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala
berlangsung selama 4-72 jam.

E. PATOFISIOLOGI 3,4
1. Teori vaskular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya
migren dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai

11
denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi
terutama terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat.
Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial
mengalami vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini
akan menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang
demikian, vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala,
sedangkan vasodilator seperti nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala.
2. Teori Neurovaskular dan Neurokimia
Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang dianut oleh
para neurologist di dunia. Pada saat serangan migraine terjadi, nervus trigeminus
mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide) dalam jumlah besar. Hal
inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga
menimbulkan nyeri kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota
keluarga calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin.
Seperti calcitonin, CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid.
Namun CGRP juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer,
sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital. Ketika
CGRP diinjeksikan ke sistem saraf, CGRP dapat menimbulkan berbagai efek
seperti hipertensi dan penekanan pemberian nutrisi. Namun jika diinjeksikan ke
sirkulasi sistemik maka yang akan terjadi adalah hipotensi dan takikardia.
CGRP adalah peptida yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator poten.
Aksi keja CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan CGRP 2. Pada
prinsipnya, penderita migraine yang sedang tidak mengalami serangan
mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral, terutama di korteks
oksipital, yang diketahui dari studi rekaman MRI dan stimulasi magnetik
transkranial.
Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migraine menjadi rentan
mendapat serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para pengidap epilepsi.
Pendapat ini diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migraine, sering terjadi

12
alodinia (hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut
tersensitisasi saat episode migraine.
Mekanisme migraine berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular yang
tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat segmental ini yang
memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan terjadi dorongan
pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan aferen pada
pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut.
3. Teori cortical spreading depression (CSD)
Patofisiologi migraine dengan aura dikenal dengan teori cortical spreading
depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di substansia
nigra yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit. Penyebaran ini diikuti
dengan gelombang supresi neuron dengan pola yang sama sehingga membentuk
irama vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD
ialah pelepasan Kalium atau asam amino eksitatorik seperti glutamat dari
jaringan neural sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi.

F. MANIFESTASI KLINIS2,3
1. Migraine tanpa aura
Serangan dimulai dengan nyeri kepala berdenyut di satu sisi dengan durasi
serangan selama 4-72 jam. Nyeri bertambah berat dengan aktivitas fisik dan
diikuti dengan nausea dan atau fotofobia dan fonofobia.
2. Migraine dengan aura
Sekitar 10-30 menit sebelum sakit kepala dimulai (suatu periode yang
disebut aura), gejala-gejala depresi, mudah tersinggung, gelisah, mual atau
hilangnya nafsu makan muncul pada sekitar 20% penderita. Penderita yang
lainnya mengalami hilangnya penglihatan pada daerah tertentu (bintik buta atau
skotoma) atau melihat cahaya yang berkelap-kelip. Ada juga penderita yang
mengalami perubahan gambaran, seperti sebuah benda tampak lebih kecil atau
lebih besar dari sesungguhnya. Beberapa penderita merasakan kesemutan atau

13
kelemahan pada lengan dan tungkainya. Biasanya gejala-gejala tersebut
menghilang sesaat sebelum sakit kepala dimulai, tetapi kadang timbul bersamaan
dengan munculnya sakit kepala.
Nyeri karena migraine bisa dirasakan pada salah satu sisi kepala atau di
seluruh kepala. Kadang tangan dan kaki teraba dingin dan menjadi kebiru-
biruan. Pada penderita yang memiliki aura, pola dan lokasi sakit kepalanya pada
setiap serangan migran adalah sama. Migraine bisa sering terjadi selama waktu
yang panjang tetapi kemudian menghilang selama beberapa minggu, bulan
bahkan tahun.
Migraine dengan aura dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu:
a. Fase I Prodromal
Sebanyak 50% pasien mengalami fase prodromal ini yang berkembang
pelan-pelan selama 24 jam sebelum serangan. Gejala: kepala terasa ringan,
tidak nyaman, bahkan memburuk bila makan makanan tertentu seperti
makanan manis, mengunyah terlalu kuat, sulit/malas berbicara.
b. Fase II Aura.
Berlangsung lebih kurang 30 menit, dan dapat memberikan
kesempatan bagi pasien untuk menentukan obat yang digunakan untuk
mencegah serangan yang dalam. Gejala dari periode ini adalah gangguan
penglihatan (silau/fotofobia), kesemutan, perasaan gatal pada wajah dan
tangan, sedikit lemah pada ekstremitas dan pusing.
Periode aura ini berhubungan dengan vasokonstriksi tanpa nyeri yang
diawali dengan perubahan fisiologi awal. Aliran darah serebral berkurang,
dengan kehilangan autoregulasi lanjut dan kerusakan responsivitas CO2.
c. Fase III sakit kepala
Fase sakit kepala berdenyut yang berat dan menjadikan tidak mampu
yang dihubungkan dengan fotofobia, mual dan muntah. Durasi keadaan ini
bervariasi, beberapa jam dalam satu hari atau beberapa hari.
d. Fase IV pemulihan

14
Periode kontraksi otot leher dan kulit kepala yang dihubungkan dengan
sakit otot dan ketegangan lokal. Kelelahan biasanya terjadi, dan pasien dapat
tidur untuk waktu yang panjang.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG5
1. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan untuk menyingkirkan sakit kepala yang diakibatkan oleh
penyakit struktural, metabolik, dan kausa lainnya yang memiliki gejala hampir
sama dengan migraine. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan
apakah ada penyakit komorbid yang dapat memperparah sakit kepala dan
mempersulit pengobatannya.
2. Pencitraan
CTscan dan MRI dapa dilakukan dengan indikasi tertentu, seperti: pasien
baru pertama kali mengalami sakit kepala, ada perubahan dalam frekuensi serta
derajat keparahan sakit kepala, pasien mengeluh sakit kepala hebat, sakit kepala
persisten, adanya pemeriksaan neurologis abnormal, pasien tidak merespon
terhadap pengobatan, sakit kepala unilateral selalu pada sisi yang sama disertai
gejala neurologis kontralateral.
3. Pungsi Lumbal
Indikasinya adalah jika pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala,
sakit kepala yang dirasakan adalah yang terburuk sepanjang hidupnya, sakit
kepala rekuren, onset cepat, progresif, kronik, dan sulit disembuhkan. Sebelum
dilakukan LP seharusnya dilakukan CT scan atau MRI terlebih dulu untuk
menyingkirkan adanya massa lesi yang dapat meningkatkan tekanan intracranial.
H. DIAGNOSIS
1. Migraine tanpa aura
a. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D.
b. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak
berhasil diobati).

15
c. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik berikut:
1) Lokasi unilateral
2) Kualitas berdenyut
3) Intensitas nyeri sedang atau berat
4) Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau penderita menghindari
aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik tangga).
d. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:
1) Mual dan/atau muntah
2) Fotofobia dan fonofobia
e. Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain.
2. Migraine dengan aura
Aura tipikal terdiri dari gejala visual dan/atau sensoris dan/atau berbahasa.
Yang berkembang secara bertahap, durasi tidak lebih dari 1 jam, bercampur
gambaran positif dan negatif, kemudian menghilang sempurna yang memenuhi
kriteria migraine tanpa aura.
Kriteria diagnostik:
a. Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi criteria B-D.
b. Adanya aura yang terdiri paling sedikit satu dari dibawah ini tetapi tidak dijumpai
kelemahan motorik:
1) Gangguan visual yang reversibel seperti : positif (cahaya yang berkedip-kedip,
bintik-bintik atau garis-garis) dan negatif (hilangnya penglihatan).
2) Gangguan sensoris yang reversible termasuk positif (pins and needles),
dan/atau negatif (hilang rasa/baal).
3) Gangguan bicara disfasia yang reversibel
c. Paling sedikit dua dari dibawah ini:
1) Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral 17
2) paling tidak timbul satu macam aura secara gradual > 5 menit dan /atau jenis
aura yang lainnya > 5 menit.
3) masing-masing gejala berlangsung > 5 menit dan < 60 menit.

16
d. Nyeri kepala memenuhi kriteria B-D
e. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.

I. TATALAKSANA4,6,7
1. Terapi Abortif dilakukan antara lain dengan pemberian farmasi sebagai berikut :
a. Sumatriptan
b. Zolmitriptan
c. Eletriptan
d. Rizatriptan
e. Naratriptan
f. Almotriptan
g. Frovatriptan
h. Analgesik opioid seperti meperidin
i. Cafergot yaitu kombinasi antara ergotamin tartat 1 mg dan kafein 100 mg.
Pada terapi abortif para penderita migraine pada umumnya mencari tempat
yang tenang dan gelap pada saat serangan migraine terjadi karena fotofobia dan
fonofobia yang dialaminya. Serangan juga akan sangat berkurang jika pada saat
serangan penderita istirahat atau tidur.

2. Terapi Profilaktif
Tujuan dari terapi profilaktif adalah untuk mengurangi frekuensi berat dan
lamanya serangan, meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan, serta
pengurangan disabilitas. Terapi preventif yang dilaksanakan mencakup
pemakaian obat dimulai dengan dosis rendah yang efektif dinaikkan pelan-pelan
sampai dosis efektif. Efek klinik tercapai setelah 2-3 bulan pengobatan,
pemberian edukasi supaya pasien teratur memakai obat, diskusi rasional tentang
pengobatan, efek samping obat. Pasien juga dianjurkan untuk menulis headache
diary yang berguna untuk mengevaluasi serangan, frekuensi, lama, beratnya
serangan, disabilitas dan respon terhadap pengobatan yang diberikan.

17
Pasien harus memperhatikan pencetus dari serangan migraine yang
dialami, seperti kurang tidur, setelah memakan makanan tertentu misalnya kopi,
keju, coklat, MSG, akibat stress, perubahan suhu ruangan dan cuaca, kepekaan
terhadap cahaya terang, kelap kelip, perubahan cuaca, dan lain-lain. Selanjutnya,
pasien diharapkan dapat menghindari faktor-faktor pencetus timbulnya serangan
migraine. Disamping itu, pasien dianjurkan untuk berolahraga secara teratur
untuk memperlancar aliran darah. Olahraga yang dipilih adalah yang membawa
ketenangan dan relaksasi seperti yoga dan senam. Olahraga yang berat seperti
lari, tenis, basket, dan sepak bola justru dapat menyebabkan migraine.
J. PROGNOSIS
Untuk banyak orang, migraine dapat remisi dan menghilang secara utuh
pada akhirnya, terutama karena faktor penuaan/usia. Penurunan kadar estrogen
setelah menopause bertanggungjawab atas remisi ini bagi beberapa wanita.
Walaupun demikian, migraine juga dapat meningkatkan faktor risiko seseorang
terkena stroke, baik bagi pria maupun wanita terutama sebelum usia 50 tahun.
Sekitar 19% dari seluruh kasus stroke terjadi pada orang-orang dengan riwayat
migraine. Migrain dengan aura lebih berisiko untuk terjadinya stroke khususnya
pada wanita. Selain itu, migraine juga meningkatkan risiko terkena penyakit
jantung. Para peneliti menemukan bahwa 50% pasien dengan Patent Foramen
Ovale menderita migraine dengan aura dan operasi perbaikan pada pasien Patent
Foramen Ovale dapat mengontrol serangan migraine.1,7

2.2.12. Peranan Keluarga Dalam Penanggulangan migrain


Duvall ( 1985) menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan
orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang
bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota. Undang-

18
Undang No.10 tahun 1992 menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak atau ayah, ibu dan
anak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1998) menyebutkan
bahwa keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang tediri dari
kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Tugas kesehatan keluarga dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
migrain :
1. Harus mampu mengenal masalah yang berkaitan dengan
penyakit hipertensi, keluarga dapat mengenal masalah hipertensi
dengan beberapa cara seperti penyuluhan dari petugas
kesehatan, informasi dari majalah ataupun peran aktif keluarga
untuk mencari tahu informasi mengenai hipertensi. Keluarga
harus mengetahui pentingnya minum obat secara teratur dan
pentingnya melakukan pemeriksaan tekanan darah secara teratur
supaya mengerti perkembangan kesehatannya dan mengerti
kondisi pasien saat ini.
2. Harus mampu memutuskan tindakan yang tepat jika salah satu
anggota keluarga yang terkena penyakit hipertensi, keluarga
harus dengan cepat memutuskan tindakan yang tepat pada
anggota keluarganya yang terkena hipertensi dengan
membawanya ke fasilitas kesehatan. Keputusan harus diambil
keluarga karena keluarga yang dapat memantau anggota
keluarganya yang terkena hipertensi.
3. Harus dapat memantau kesehatan pasien misalnya dengan
mengatur pola makan pasien. Misalnya makanan yang tinggi
lemak, dan tinggi garam/natrium dapat dihindari
Perilaku keluarga yang dimaksud dalam pencegahan Hipertensi
adalah keterlibatan semua anggota keluarga baik tanggung jawab secara

19
mental dan emosional. Pengelolaan sarana yang diadakan agar tetap
terjamin dan terpelihara sehingga tidak menjadi tempat perkembangbiakan
vektor penyakit DBD. Rony(2017) mengatakan bahwa beberapa dukungan
keluarga yang dapat membantu tiga bentuk dukungan keluarga sebagai
pencegahan hipertensi yang dirasakan responden dengan nilai tertinggi
adalah keluarga mengingatkan responden untuk menjaga tekanan darahnya,
keluarga menganjurkan untuk makan sayur dan buah setiap hari, dan
keluarga menjaga kedekatan dan kehangatan untuk memotivasi responden
menjaga tekanan darahnya. Sedangkan tiga bentuk dukungan keluarga yang
dirasakan responden ada beberapa masih harus ditingkatkan karena memiliki
nilai terendah yaitu bantuan keluarga dalam memecahkan setiap masalah
dan kendala dalam hal menjaga tekanan darah responden, upaya keluarga
dalam mengingatkan responden meluangkan waktu untuk rekreasi saat hari
libur, dan upaya keluarga dalam menyediakan buah dan sayur yang
dibutuhkan oleh responden.
Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga merupakan suatu
bentuk hubungan interpersonal dimana lingkungan keluarga memberikan
bantuan berupa perhatian emosional, bantuan instrumental, pemberian
informasi dan penghargaan atau penilaian terhadap anggota keluarga yang
sedang sakit termasuk dalam perawatan hipertensi. Jenis bantuan dari
dukungan emosional merupakan bentuk dukungan atau bantuan yang
diberikan keluarga dalam bentuk perhatian, simpati dan kasih sayang.
Dengan adanya dukungan emosional di dalam keluarga, secara positif akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anggota
keluarganya. keluarga memberikan perhatian dengan cara menyuruh untuk
segera berobat ke Puskesmas, memberikan kasih sayang yang penuh
dengan cara memenuhi semua kebutuhan yang informan inginkan , lebih
rileks, memberikan suasana yang aman, nyaman dan tenang.

20
Dalam penelitian Gascón, et. all (2004) mengenai faktor-faktor
penyebab pasien hipertensi kurang patuh dalam melakukan pengobatan
adalah kurangnya pengetahuan tentang manfaat pengobatan yang sedang
dilakukan. Kurangnya informasi yang diberikan kepada pasien dari keluarga
ataupun tenaga medis, adanya faktor rasa takut dan gambaran yang negatif
dari mengkonsumsi obat-obatan antihipertensi, dan rasa ketidak puasan
pasien akibat lamanya program pengobatan yang harus dilakukan.

2.3. Pendekatan Diagnostik Holistik Pada Pelayanan Kedokteran


Keluarga di Layanan Primer
Pengertian holistik adalah memandang manusia sebagai mahluk
biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai makhluk biologis manusia
adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-sel yang
kompleks fungsionalnya.
Diagnostik holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan
menentukan dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta
kegawatan yang diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat
penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, penilaian
risiko internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta
keluarganya. Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem Kesehatan
Nasional 2004, maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan
sebagai pelaku pelayanan pertama (layanan primer).
Tujuan Diagnostik Holistik:
1. Penyembuhan penyakit dengan pengobatan yang tepat
2. Hilangnya keluhan yang dirasakan pasien
3. Pembatasan kecacatan lanjut

21
4. Penyelesaian pemicu dalam keluarga (masalah sosial dalam
kehidupannya)
5. Jangka waktu pengobatan pendek
6. Tercapainya percepatan perbaikan fungsi sosial
7. Terproteksi dari risiko yang ditemukan
8. Terwujudnya partisipasi keluarga dalam penyelesaian masalah
Diagnosa secara holistik sangat penting dilakukan sebelum melakukan
terapi, tujuannya yakni:
1. Menentukan kedalaman letak penyakit
2. Menentukan kekuatan serangan pathogen penyakit
3. Menentukan kekuatan daya tahan tubuh yang meliputi kekuatan fungsi
organ
4. Menentukan urutan tatacara terapi dan teknik terapi  yang akan
dipilihnya.
5. Menentukan interfal kunjungan terapi. (Modul Pelatihan dan Sertifikasi
ASPETRI Jateng 2011).
Diagnostik Holistik memiliki standar dasar pelaksanaan yaitu :
1. Membentuk hubungan interpersonal antar petugas administrasi
(penerimaan, pencatatan biodata) dengan pasien
2. Membentuk hubungan interpersonal antara paramedis dengan pasien.
Melakukan pemeriksaan sarinagn (Triage), data diisikan dengan
lembaran penyaring
3. Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
4. Melakukan anamnesis
5. Melakukan pemeriksaan fisik
6. Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,
prognosis, dan kemungkinan untuk dilakukan intervensi
7. Menentukan resiko individual diagnosis klinis sangat dipengaruhi
faktor individual termasuk perilaku pasien

22
8. Menentukan pemicu psikososial dari pekerjaan maupun komunitas
kehidupan pasien
9. Menilai aspek fungsi sosial.
Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran
keluarga di layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai
bagian dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan
secara terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu
Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit
dan proteksi khusus (preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan
(curative), pencegahan kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi
setelah sakit (rehabilitation) dengan memperhatikan kemampuan sosial serta
sesuai dengan mediko legal etika kedokteran.
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang
disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang
melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus
menerus demi kesehatan pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan
dokter keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter
dengan pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan
kemitraan lintas program dengan berbagai institusi yang menunjang
pelayanan kedokteran, baik dari formal maupun informal.

23
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
1. Comprehensive care and holistic approach
2. Continuous care
3. Prevention first
4. Coordinative and collaborative care
5. Personal care as the integral part of his/her family
6. Family, community, and environment consideration
7. Ethics and law awareness
8. Cost effective care and quality assurance
9. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnostik holistik, maka perlu kita
melihat dari beberapa aspek yaitu:
I. Aspek Personal: Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.
II. Aspek Klinis: Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup
dengan diagnosis kerja dan diagnosis banding.
III. Aspek Internal: Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan lingkungan.
IV. Aspek Eksternal: Psikososial dan ekonomi keluarga.
V. Derajat Fungsi Sosial:
o Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
o Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
o Derajat 3: Ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa
dilakukan, hanya dapat melakukan kerja ringan.

24
o Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja,
tergantung pada keluarga.
o Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

DAFTAR PUSTAKA

1. Entjang, Indan. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra ADitya Bakti;
2000. Hal.105-8.
2. Notoatmodjo, Soekidjo. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta, 2007. p. 167-172
3. Anonymous. Syarat-Syarat Rumah Sehat. [online]. 2009. Available from : URL:
http://www.smallcrabonline619-syarat-syarat-rumah-sehat.htm
4. Heinz Frick. 10 patokan untuk rumah ekologis sebagai rumah sehat. [online].
2009. Available fromURL: http://www.panda.org/downloads/general/lpr2004.pdf
5. Supraptini.Gambaran Rumah Sehat Di Indonesia, Berdasarkan Analisis Data
Susenas 2001 Dan 2004. Puslitbang Ekologi Dan Status Kesehatan Badan
Litbangkes; 2004.hal 1-12
6. Nurhidayah, I., dkk. Hubungan Antara Karakteristik Lingkunga Rumah dengan
Kejadian Tuberkulosis (TB) pada Anak di Kecamatan Paseh Kabupaten
Sumedang. Bandung: Universitas Padjadjaran Fakultas Ilmu Keperawatan; 2007.
7. Anonymous. Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat. [online]. 2005.
Available from : URL: http://www.lmbunika.com/PDF/StandardI.pdf
8. Profil Kesehatan. Rumah Sehat. Dalam: Profil Kesehatan Kalimantan Tengah.
2005. hal 1-5

25
9. Manda et al. Pedoman Pengembangan Kabupaten/Kota Percontohan Program
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat ( PHBS ) Pemerintah. Dinas Kesehatan Subdin
Promosi Dan Kesehatan Masyarakat. 2006. hal. 14-21
10. Persit Kartika Chandra Kirana. Tolok Ukur Rumah Tangga Bahagia. [online].
2009. Available fromURL:http://www.redaksi@persit-kckjaya.org

26

Anda mungkin juga menyukai