Anda di halaman 1dari 449

PEMERINTAH PUSAT DAERAH BERBENTUK CAT

a. UU No 1 tahun 1945 yang mengatur tentang kedudukan komite nasional daerah (KND)

UNDANG-UNDANG 1945 NOMOR 1

TENTANG

PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa sebelumnya diadakan pemilihan umum perlu diadakan aturan buat
sementara waktu Untuk menetapkan kedudukan Komite Nasional Daerah; Mengingat : pasal 18
dan 20 Undang Undang Dasar 1945 dan Maklumat Wakil Presiden No. X, tanggal 16 Oktober
1945; Dengan Persetujuan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat; Memutuskan : Menetapkan
Undang-Undang sebagai berikut :

Pasal 1

Komite Nasional Daerah diadakan- ketjuali di Daerah iSurakarta dan Jogjakarta- di Keresidenan,
di ldianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri. ga Kota berautonomi, Kabupaten dan lain-lain
daerah jang e .l

Pasal 2

Rakjat Daerah, jang bersama-sama dengan dan ww Komite Nasional Daerah mendjadi Badan
Perwakilan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerdjaan mengatur rumah-tangga
daerahnja, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
jang lebih luas dari padanja.
Pasal 3

Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang, sebanjak-banjaknja 5 orang sebagai Badan
Executief, jang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah mendjalankan
Pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu.

Pasal 4

Ketua Komite Nasional Daerah jang lama harus diangkat sebagai Wakil Ketua Badan jang
dimaksudkan dalam pasal 2 dan 3.

Pasal 5

Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 6

Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan dan perubahan dalam daerah-daerah
harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari. Djakarta, tanggal 23 Nopember 1945,
PENDJELASAN

UNDANG-UNDANG 1945 NO. 1

Didalam menjalankan Undang-Undang tanggal 23-11-1945 Pemerintah telah memenuhi


beberapa kesulitan jang ta' mudah dipetjahkan, oleh karena menurut faham kami : Undang-
Undang itu tidak disertai "memorie van toelichting" jang lazim disertakan dalam tiap- tiap
rentjana Undang-Undang atau dalam tiap-tiap Undang-Undang jang baru diumumkan. Hal
demikian itu menjebabkan pembatja daari Undang-Undang tersebut tidak dapat mengetahui
tudjuan dari Undang-Undang itu, sehingga tergantung semata-mata pada susunan dan redactie
dari Undang- Undang tersebut dalam menafsirkan isi Undang-Undang itu. Begitu timbullah
beberapa pertanjaan dari masing-masing daerah sepeti :

a. Apakah Kepala Daerah yang qualitatus qua memimpin Badan Perwakilan Rakjat dan badan
sxecutief itu, djuga berkedudukan sebagai anggauta jang mempunjai suara (stem) dalam badan-
badan tersebut?

b. Seterusnja, djika Kepala Daerah (Residen, Bupati atau Kepala-kota) berhalangan, siapakah
jang menjadi gantinja untuk memimpin persidangan dari badan-badan tersebut?

c. Apakah seorang bukan dari anggauta Badan perwakilan Rakjat boleh ditunjuk sebagai
anggauta lita badan executief?

d. Apakah artinja Komite Nasional Indonesia menjadi Badan Perwakilan Rakjat Daerah dan ga
sebagainya? .le Begitulah masih banjak soal-soal jang menimbulkan kesulitan undang-undang
tersebut. Oleh sebab itu didalam kita berusaha mengadakan pendjelasan itu, perlu kita
mengetahui ww tudjuan serta sebab-sebab jang telah menggerakkan Badan Pekerdja Pusat untuk
mengusulkan Undang- Undang tersebut kepada Pemerintah ; dan untuk mengetahui hal itu perlu
kita mendapat notulen rapat Badan Pekerdja ketika merundingkan Undang-Undang itu serta
meneliti pengumuman-pengumuman Badan Pekerja jang mengenai Undang-Undang tersebut
jang dapat kita gunakan sebagai " memorie van toelichting". Meskipun notulen tidak semua ada
pada kita, akan tetapi dalam perundingan itu Prof. Soepomo dan saja sebagai wakil Pemerintah
turut merundingkan rentjana Undang-Undang tersebut dalam Badan Pekerdja, sehingga
walaupun tidak autentik saja dapat memberikan keterangan tentang "wordingsgeschidenisnja"
Undang-Undang ini. Akan tetapi bagaimanapun djuga, untuk mengetahui azas dan tudjuan
Undang-Undang itu tidak tjukup kiranja, djika kita mengambil dasar "ingat-ingatan" sadja. Tjara
sematjam ini "juridis" kurang harganja. Oleh karenanja, maka kita harus mentjoba mentjari dasar
dan tudjuan itu hanja dari pada pengumuman-pengumuman Badan Pekerdja jang dimuat dalam
Berita Republik Indonesia, terutama dalam pengumuman No. 2 dan Nomor 3, serta penjelasan
kedudukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, jang dapat dipergunakan sebagai
perbandingan. Selain dari itu ada pada kita surat pengantar Rantjangan Undang-Undang, dari
Komite Nasional Indonesia Pusat pada Presiden tanggal 27-10-1945 No. 30/B.P. jang dapat
dipergunakan sebagai penjelasan umum. Dalam pengumuman Nomor 2 terdapat alenia jang
demikian bunjinja: "Maka kedudukan Komite Nasional Daerah perlu lekas diatur supaya hilang
keragu-raguan tentang kedudukannya dan lekas tercapai keadaan yang sama diseluruh Negara
kita". 4 Kemudian dalam pengumuman No. 3 ada dikatakan : Dalam waktu dua bulan semenjak
berdirinya Republik kita, sudah ternyata benar-benar Komite-Komite itu memenuhi
kewajibannya sebagai Badan yang harus mempertahankan dan membantu Pemerintah, jang
mula-mula belum terbentuk dan belum dapat bekerdja dengan seksama". Setelah dikatakan
bahwa dalam dua bulan kekuasaan sipil seluruhnya dapat dimiliki oleh Pemerintah kita, maka
dikatakan : ..Dengan keadaan itu setelah berusaha supaya tiap-tiap urusan Negara djangan lagi
diurus oleh Komite Nasional Indonesia, tetapi oleh Badan Pemerintah jang bersangkutan,
sampailah waktunya Komite Nasional berganti sifat". Kemudian dikatakan dalam " Penjelasan
tentang Kedudukan Badan Pekerja K.N.I. Pusat tidak berhak lagi mengurus hal-hal yang
berkenaan dengan tindakan Pemerintah (executief)". Selanjutnya dalam surat pengantar tanggal
27-10-1945 tersebut : " Badan Pekerdja" berpendapat bahwa Komite (Nasional) dan Si-ku dan
Ku dalam kota tak perlu dilanjutkan berdiri. Badan Pekerdja - begitulah surat tersebut - telah
membitjarakan sifat mana hendaknya diberi kepada Komite Nasional Daerah yang terus
diadakan. Kesimpulan pembitjaraan ialah : Komite Nasional Daerah itu hendaknya menjadi
Badan legislatief, dipimpin oleh Kepala Daerah, sedang sebagian dari Komite Nasional itu
dipimpin oleh Kepala Daerah, sedang sebagian dari Komite Nasional itu dipimpin (pula) oleh
Kepala Daerah, hendaknja mendjalankan pemerintahan sehari-hari. Dari pada pengumuman-
pengumuman dan surat-surat pengantar tersebut, dapat kita menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. bahwa Komite Nasional Indonesia mula-mula dibentuk sebagai pembantu pemerintah, dimasa
lita kekuasaan sipil masih ditangan Djepang, pamong-Pradja, Polisi dan lain-lain alat-alat
pemerintah masih ditangan Djepang; ga

2. bahwa sebelum... Djepang, Komite Nasional Indonesia-lah dalam prakteknja mengganti


Pangreh .le Pradja dan polisi, disamping Pangreh Pradja dan Polisi jang telah sama melepaskan
dirinja dari kekuasaan Djepang dan mendjadi pegawai Republik Indonesia. ww

3. bahwa keadaan dualisme jang demikian itu sangat melemahkan kedudukan dan kekuasaan
Pangreh- Pradja dan polisi jang merupakan alat-alat Pemerintahan jang resmi, menurut faham
kami sendiri, jang menjadi ukuran untuk dunia internationaal, apakah benar-benar bahwa local
government de facto ada ditangan kita dengan beres (running well). Berhubung dengan itu maka
soal ini harus lekas dipetjahkan. Oleh karenanja Badan Pekerdja memajukan rantjangan Undang-
Undang kepada Presiden untuk mengaturnja. Dari pada pemandangan diatas dapat ditangkap,
bahwa tudjuan jang terutama dari pada Undang-Undang itu ialah menarik kekuasaan dari Komite
Nasional Indonesia. Sedang penggantian sifat Komite Nasional Indonesia sebagai badan (dan
sebagian executief) dapat dipandang sebagai tindakan jang tepat untuk mengadakan forum,
dalam mana Pemerintahan daerah dapat mempertahankan atau bertanggung jawab atas tindakan
atau sikapnja tentang Pemerintahan sehari-hari. Dengan djalan demikian tertjapailah - menurut
faham saja - usaha Pemerintah Pusat untuk menjempurnakan Pemerintah daerah berdasarkan
kedaulatan Rakjat. Dalam usaha memberi tempat kepada komite Nasional indonesia Daerah
sebagai Badan perwakilan Rakjat perlu diperhatikan:

a. bahwa semangat kedaulatan Rakjat sedang berkobar,

b. bahwa semangat ini selekas mungkin harus diberi tempat,

c. bahwa peraturan diadakan sementara. Mengingat hal-hal diatas maka peraturan-peraturan


harus segera diadakan. Ketjepatan adanja peraturan harus lebih diutamakan daripada
kesempurnaan peraturan. 5 Berhubung terutama dengan "ketjepatan" ini, maka untuk
Pemerintahan Dalam Negeri, jang oleh Badan Pekerdja diserahi untuk mengeluarkan
"uitvoeringsvoorschrift" tentang hal ini sukar sekali mengerdjakan setjara systematis. Maka dari
sebab itu uitvoeringsvoorschrift (pendjelasan) jang akan kami bitjacarakan ini, kami bagi sadja
dalam dua golongan, jaitu : Pendjelasan umum dan pendjelasan sefatsal-sefatsal. Akan tetapi
sebelumnja harus kita tjatat disini, bahwa jang dikehendaki oleh B.P. itu bukannja Undang-
Undang baru, tetapi hanja uitvoeringsvoorschrift (pendjelasan) sadja, jang ta' dapat mengubah
Undang-Undang (Undang-Undang hanja dapat dirubah dengan Undang-Undang), sedang
uitvoeringsvoorschriften tadi lapangannja terbatas sekali, artinja ta' dapat keluar daripada
Undang- Undang (lama atau baru). Batasan ini terasa pula, oleh sebab menurut Peraturan
Presiden No. 1 (Berita Republik Indonesia) segala aturan-aturan dan Undang-Undang lama tetap
berlaku, selama belum diadakan Undang-Undang jang baru menurut Undang-Undang Dasar.
Berhubung dengan ini, maka kita harus memperhatikan pula Stadgemeente- dan
Regentschapsordonnantie jang dalam zaman Djepang telah dirobah kedudukannja oleh Osamu-
Seiren nomor. 12 dan 13 sebagai Ken dan Si, jang autonomie, akan tetapi sifat demokrasinya
dilenjapkan, karena segala hak-hak dari Raad-Raad dan College-College di daerah-daerah di
berikan kepada Kepala Daerah, sehingga dengan sendirinja Raad-Raad dan College-College
tersebut dihapuskan. Akan tetapi Undang-Undang tanggal 23 Nopember 1945 No. 1 itu,
meskipun tidak disebut, lita pada hakekatnya merubah status quo Pemerintahan Daerah :
"Komite Nasional Indonesia, Daerah mendjadi Badan Perwakilan Rakjat Daerah" dengan dasar
kedaulatan rakjat. ga Dengan pemandangan ini sebagai pendahuluan, datanglah waktunja untuk
membicarakan .le uitvoeringsvoorschrift jang akan kita keluarkan itu.

PENDJELASAN UNDANG-UNDANG 1945 NO. 1

A. Pemandangan Umum
Terlebih dahulu perlu dikemukakan disini bahwa undang-Undang No. 1 dibuka dengan
menimbang : bahwa sebelumnja diadakan pemilihan umum, perlu diadakan pemilihan umum,
perlu diadakan aturan sementara waktu untuk menetapkan kedudukan Komite Nasional
Indonesia Daerah. Dalam pembukaan ini ternjata, bahwa Undang-Undang ini dimaksudkan
sekedar mengatur kedudukan Komite Nasional Indonesia Daerah : untuk sementara waktu,
sebelum diadakan pemilihan umum. Sebagai peraturan sementara waktu, tentu perauturan ini
tidak sempurna dan tentu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhja, karena harus diadakan
dengan tjepat sekedar mentjegah kemungkinan kekatjauan. Sebagai badan jang harus menunggu
pemilihan umum, maka tidak perlu diadakan pemilihan baru, agar Komite Nasional Indonesia
dapat mendjelma mendjadi Badan Perwakilan Rakjat. Lain daripada itu perlu diterangkan bahwa
sifat Komite Nasional Indonesia sebagai Badan Perwakilan Rakjat lain sekali daripada sifat
Komite Nasional Indonesia sebelum berganti sifat. Ketika Komite Nasional Indonesia dibentuk,
kekuasaan Djepang masih meradjalela dimana-mana pegawai Pangreh Pradja dan Polisi
sekalipun mereka telah bersumpah setia pada Republik, pada hakekatnya masih dibawah
kekuasaan Djepang. Oleh karena keadaan yang demikian itu, maka Komite Nasional pada masa
itu merupakan kaki tangan Republik dan mengerdjakan banyak hal-hal jang biasanya
dikerdjakan oleh Pangreh Pradja dan Polisi. Setelah kekuasaan sipil dapat direbut daripada
tangan 6 Djepang, dari kekuasaan mereka, maka dengan sendirinja hak-hak kekuasaan Komite
Nasional Indonesia itu harus dikembalikan kepada alat-alat pemerintahan jang resmi, dan dengan
pengembalian itu terbukalah satu lapangan yang lebih sesuai dan indah bagi K.N.I sebagai badan
jang meliputi segenap lapisan dan golongan Rakjat, ialah lapangan jang lebih sesuai dan indah
bagi Komite Nasional Indonesia sebagai Badan jang meliputi segenap lapisan dan golongan
Rakjat, ialah lapangan pendjelmaan kedaulatan Rakjat dan berganti sifat mendjadi : Badan
Perwakilan Rakjat. Sebagai Badan Perwakilan Rakjat, Komite Nasional Indonesia hanja
mempunyai suatu kewadjiban ialah : Mengadakan Undang-Undang untuk daerahnja.
Sungguhpun berbeda dalam dasarnya, tetapi sebagai pendjelmaan dapat dikatakan, bahwa
kewadjiban Komite Nasional Indonesia sebagai Badan Perwakilan Rakjat dapat diumpamakan
sebagai Gemeenteraad dan Regentschapsraad dahulu, jang mempunjai kewadjiban mengadakan
Gemeente dan Regentschapsverordening dan sebagai djuga Gemeenteraad dan
Regenstschapsraad berapat didalam gedong-gedong Kantor Gemeenteraad dan
Regenstschapsraad dan personeelnja tergabung dengan Badan tadi, begitulah pula Komite
Nasional Indonesia sebagai Badan Perwakilan Rakjat tidak seharusnja mempunjai gedung,
administrasi dan personeel jang tersendiri pada kantor-kantor Pemerintahan Daerah.

B. Pendjelasan sefasal-sefasal

Fatsal pertama. Komite Nasional Daerah diadakan di Djawa dan Madura (ketjuali di Daerah
Istimemewa Jogjakarta dan Surakarta) di Keresidenan, di kota berautonomie. Kabupaten dan
lain-lain daerah jang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri. lita
a. Ini berarti bahwa Komite Nasional Daerah di Propinsi, Kawedanan, Asistenan (Ketjamatan)
dan di Siku dan Ku dalam kota, ta' perlu dilandjutkan lagi. ga

b. Tentang Jogjakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar rantjangan Undang-Undang tersebut
.le diterangkan bahwa ketika merundingkan rantjangan itu, B.P. Pusat tidak mempunjai
gambaran jang djelas. Djika - begitulah surat pengantar - sekiranja pemerintah menganggap
perlu untuk ww daerah tersebut diadakan aturan jang berlainan, Badan Pekerdja bersedia
menerima - untuk membicarakannja - rantjangan Undang-Undang jang mengenai daerah itu.

c. Tentang perkataan "di lain-lain daerah jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri". Ini
tambahan diadakan berhubung dengan perkataan "mengatur rumah tangga daerahnja" dalam
fatsal 2. Ketika kita merundingkan ini, kita menggambarkan daerah tersebut, tersusun menurut
faham decentralisatie - wetgeving jang dulu, dengan mempunjai harta benda dan penghatsilan
sendiri (eigen middelen). Dengan kefahaman itu nistjaya sukar sekali untuk merentjanakan
budgetnya, djika andaikata daerah dibawahnya kabupaten, umpama assistenan atau desa djuga
dijadikan badan jang berautonomie dengan mempunyai "eigen middelen". Nistjaja buat
ketamsilan : djika desa telah memungaut padjak kendaraan dan rooiver gunningen dalam desa itu
nistjaja saja Kabupaten tidak akan dapat memungut lagi padjak-padjak itu dari object dan subject
yang sama. Dan lagi Pemerintah, pada waktu itu (seperti jang diutjapkan oleh Menteri
Kehakiman Prof. Soepomo) berkeberatan, bahwa bangunan-bangunan (adatinstituten) jang masih
dihargai oleh penduduk desa, akan dihapuskan okeh bangunan baru ini. Maka dari sebab itu
-begitulah Prof. Soepomo-- Sebelumnja hal ini harus diselidiki sedalam-dalamnja, sehingga kita
dapat gambaran jang terang tentang keadaan didesa-desa. Baiklah kita selidiki soal ini, djangan
sampai kecepatan untuk mengatur soal ini melahirkan akibat : kekalutan. Akan tetapi djika
Rakjat memang menghendaki bangunan baru ini, maka mereka diberi kesempatan untuk
mengusulkan hal itu kepada Menteri Dlam 7 Negeri. Seperti diatas telah diterangkan : desa
autonomie jang digambarkan ini berlainan dengan adatrechtelijke autonomi.

Fatsal kedua. Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah jang bersama-
sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah mendjalankan pekerdjaan mengatur rumah
tangga daerahnja, asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
jang lebih luas dari padanya.

1e. "mendjadi" artinja berganti sifat (eigenschap), djadi samenstellingnia atau anggautanja ta'
perlu diganti. Ketika mendjawab pertanjaan Pemerintah, anggauta B.P. sebagai djurubitjara
Badan Perwakilan mengatakan : "- -- Fatsal 2 dimaksudkan untuk memberi tempat kepada
Komite Nasional Daerah, jang sekarang ada diawang-awang". (lihatlah Notulen Badan Pekerdja,
diterangkan dengan djelas, bahwa Komite Nasional Daerah (Badan Perwakilan Rakjat) itu
mendjadi "badan legislatief", sedang bagian dari Komite Nasional Indonesia jang terdiri dari
sebanjak-banjaknja 5 orang, dipilih oleh Komite Nasional Daerah diantaranja anggauta-
anggautanja, mendjalankan Pemerintahan sehari-hari (executief) bersama-sama dengan dan
dipimpin oleh Kepala Daerah.

2e Susunan :

B.P. Pusat memutuskan, bahwa banjaknya anggauta untuk :

Keresidenan sebanjak-banjaknja ...................................: 100 orang

Kabupaten (kota) ....................................................: 60 orang

3e. "bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah" : meskipun redactie tentang hal ini
sama dengan redactienja fatsal 3, maka menurut keterangan jang kami dapat dari Badan Pekerdja
lita

ketika mengadakan tanja djawab pada tanggal 28 Desember 1945, perkataan "bersama-sama"
disini (fatsal 2) harus diartikan bahwa Kepala Daerah jang memimpin Badan Perwakilan Rakjat
itu ta' ga mempunjai suara dalam Badan Perwakilan Rakjat itu. Djadi bukan "lid tevens
voorzitter" melainkan .le ketua sadja.

4e. "mengatur rumah-tangga", ini agak sulit, sebab dalam Undang-Undang ini ta' diterangkan
ww "wekkring" (lingkungan bekerdja) dari badan-badan tersebut. Lazimnja perkataan autonomi.
Apakah autonomi ini : autonomi Djepang ataukah autonomi Belanda? Dengan Osamu Seirei 12-
13, autonomi-Belanda telah dirobah sifat sebagai autonomi-Nippon. Djika-berhubung dengan
Peraturan Presiden No. 2, jaitu bahwa segala aturan jang ada sampai berdirinja Republik
Indonesia tetap berlaku, selama belum diadakan jang baru-kita dalam menafsirkan tudjuannja
Undang-Undang tersebut hanja memperhatikan redactienja sadja, maka strikt interpretatie badan-
badan tersebut hanja mempunjai hak autonomi Djepang, artinja : Keresidenan, Kabupaten dan
kota berautonomi tidak diperbolehkan mengatur hal-hal jang tidak dapat diatur oleh Sjuurei. Ken
dan Si Zyoorei. Akan tetapi ini semua bukanlah jang dimaksudkan oleh Badan Perwakilan
Rakjat. Seperti jang telah kami uraikan diatas, ketika kita berunding, kita menggambarkan
automi itu sedikitnja sama dengan autonomi menurut kefahaman decentralisatie-wetgeving.
Malahan kita dapat menentukan bahwa autonomi jang kita gambarkan itu bukan autonomi
Djepang atau bukan autonomi Belanda, melainkan autonomi Indonesia, jang berdasarkan
kedaulatan Rakjat. Dan menurut faham saja ini ta' bertentangan dengan Undang-Undang tersebut
diatas, karena pada hakekatnja status quo Pemerintahan daerah sudah dirubah oleh lahirnja
Undang-Undang No. 1, jaitu Badan Perwakilan Rakjat. Jang kami qualifiseer sebagai autonomi-
Indonesia itu lebih luas dari autonomi-Belanda, artinja dalam fatsal ini hanja ada perbatasan :
"asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah jang lebih
luas daripadanja". Ini berarti suatu kemerdekaan untuk mengatur (vrijheid van regeting),
meskipun dengan perbatasan. 8 Bagaimanapun djuga menurut keilhaman tata-usaha jang berlaku
di Negara-negara jang merdeka, maka lapangan pekerdjaan Badan Perwakilan Rakjat sebagai
badan legislatief dapat dibagi atas 3 bagian :
a. kemerdekaan tentang mengadakan aturan-aturan jang lazimnja diterdjemahkan dengan
perkataan : autonomi.

b. Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk mendjalankan (uitvoeren) aturan-aturan jang


ditetapkan oleh Pemerintah itu, lazimnja disebut : medebewind dan self governement.

c. untuk mengadakan aturan buat suatu hal jang diperintahkan oleh Undang-Undang umum,
dengan penetapan bahwa aturan itu harus disahkan dahulu oleh Pemerintah atasan-diantaranja
autonomi dan self-governement. Djika hal-hal ini diperhatika, maka meskipun lapangan
pekerdjaan legislatief tadi ta' disebutkan, buat sementara (sebelum dipihak umum) Badan
Perwakilan Rakjat mengerdjakan pekerdjaaan-pekerdjaan dengan kepuasan.

Fatsal ke-tiga. Oleh Komite Nasional Daerah, dipilih beberapa orang, sebanjak-banjaknya 5
orang, sebagai badan executief jang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah
mendjalankan Pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu.

a. Susunan (samentelling) : anggauta 5 orang itu menurut pengumuman Badan Pekerdja No.2:
"dipilih oleh Komite Nasional Daerah diantara anggauta2-nja". Djadi terang sekali, bahwa 5
orang anggauta badan executief itu anggauta pula dari Badan Perwakilan Rakjat.

b. "bersama-sama dengan", ini menurut putusan dari Badan Pekerdja, berarti bahwa dalam Badan
lita Executief, Kepala Daerah merupakan : Ketua jang mendjadi anggauta pula : sebaliknja
seperti diatas telah didjelaskan, dalam Badan Legislatief, Kepala daerah hanya mendjadi Ketua
sadja. Oleh ga karena dengan Ketua ini djumlahnja anggauta badan-executief dapat mendjadi 6,
angka jang genap .le (even-getal), maka sukar sekali djika ada staking van stemmen (jang
mufakat sama dengan jang tidak mufakat), sedang tentang hal ini belum teratur. Menurut
pendapat kami kita harus ww mempergunakan kefahaman Barat : djika jang diundikan itu
orang.baiklah djika jang mufakat sama dengan jang tidak mufakat (staking van stemmen), hal ini
ditetapkan dengan undian (lot) pula. Djika jang diundikan barang atau hal sesuatu, baiklah dalam
hal demikian, usul dianggap : sebagai tidak diterima.

c. "Kepala-Daerah" qualitatus qua mendjadi ketua kedua badan, sehingga (begitulah putusan
Badan Pekerdja Pusat tgl. 28-12-1945) djika Kepala Daerah ini berhalangan, maka Wakil-Kepala
Daerah pulalah jang memimpinnja (djadi Wakil Residen, Patih atau Wakil-Kepala-Kota).

d. "Anggauta Badan Executief". Menurut keputusan B.P. Pusat, anggauta ini bukannja
"diensthoofd" (kepala djabatan, melainkan "politiek-leider" dari salah satu djawatan sebagai
gambaran Barat : "Wethouder voor openbare werken, wethouder voor onderwijs, dan sebagainja
: sehingga kehendak anggauta. Badan-executief senantiasa harus melalui Kepala-Daerah.
e. "Pemerintahan sehari-hari" (dagelijksche leidjag en uit voering van zaken). Apa jang diartikan
ini, tidak disebutkan : Bestuur. Selandjutnja badan in berkuadjiban untuk mendjalankan Undang-
Undang jang diputuskan oleh badan legislatief.

Dalam hal jang mengenai hak-hak Pemerintahan Pusat jang diperintahkan kepada Kepala-
Daerah in selfgovernment atau lainnja, badan ini tidak berhak menjampurinja, umpama tentang
polisi dll jang pimpinannja diserahan kepadanja. Ini ketjuali djika dengan Undang-Undang
badan-executief diserahi djuga selfgovernment. Bagaimanapun djuga sifatnya Kepala Daerah ini
dua, jaitu : sebagai wakil Pemerintah dan sebagai ketua, pemimpin badan-badan tersebut.

Tentang tanggung-djawab, meskipun menurut kefahaman decentralisatie (bestuurshervorming)


pertanggungan djawab oleh Kepala Daerah (Ketua badan-badan diatas) dan executief komite
hanja mengenal "Rumah-tangga" (huishouding daerah sadja), maka menurut kehendaknja (geest)
dari vordening No. 1 dan mengingat suasana sekarang ini, serta menurut kefahaman jang
diutjapkan oleh Wakil-Presiden dalam pidatonja tentang arti :"kedaulatan rakjat", maka
pertanggungan djawab seharusnya mengenai segala lapangan pekerdjaan djuga tentang
selfgovernment (terutama oleh Kepala- Daerah).

Fatsal keempat. Ketua Komite Nasional Indonesia lama harus mendjadi wakil-ketua-badan
executief dan Badan Perwakilan Rakjat.

Meskipun dalam redaksinja (tadi telah kami utarakan, bahwa accent-nja verordening ini
"ketjepatan", bukanlah "kesempurnaan) terang sekali, bahwa Ketua Komite Nasional Indonesia
lama mendjadi Wakil-Ketua badan tersebut, akan tetapi dalam fatsal 2 dan 3 terang pula, bahwa
jang memimpin kedua badan itu Kepala Daerah. Djadi menurut pendapat Badan Pekerdja : Kalau
Kepala- Daerah berhalangan, Wakil-Ketua-Daerah pula jang menggatinja.

Baiklah soal jang sulit ini kita kupas dengan menafsirkan redaksi dan kehendak serta mengingat :
sifat badan-badan tersebut. Pada azasnja : Kepala-Daerah itu uitvoerder (executief), maka dari itu
Wakil-Kepala-Daerah jang harus memimpin badan executief, djika Kepala-Daerah berhalangan,
sedang Wakil-Ketua (voorzitter K.N.I. lama q.q. duduk sebagai anggauta). Lain halnja dengan
pimpinan badan-legislatief (Badan Perwakilan Rakjat), disinilah pada tempatnja, bahwa Ketua
Komite Nasional Indonesia lama mewakili Kepala-Daerah jang berhalangan.

Fatsal ke-lima. Apabila kekurangan, Negeri nistjaya akan menjokong, djika Pemerintah Pusat
menimbang perlu.
b.UU No 22 tahun 1948 yang mengatur tentang pokok pokok pemerintahan daerah

UNDANG-UNDANG POKOK NOMOR 22 TAHUN 1948

TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH[1]

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

bahwa perlu ditetapkan Undang-Undang berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Dasar, yang


menetapkan pokok-pokok tentang pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur
dan mengurus rumah-tangganya sendiri;

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), pasal 18, pasal 20 ayat (1) dan pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
dan Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 No. X;

Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;

Memutuskan:
Menetapkan peraturan sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG POKOK TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

BAB I.

TENTANG PEMBAGIAN NEGARA DALAM DAERAH-DAERAH YANG DAPAT


MENGATUR DAN MENGURUS RUMAH TANGGANYA SENDIRI.

Pasal 1.

Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Provinsi, Kabupaten
(Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.

Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia
mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-Undang pembentukan
termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan
Provinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerah-daerah tersebut dalam ayat (1) dan (2)
ditetapkan dalam Undang-Undang pembentukan.

BAB II.

TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH.


BAGIAN I.

Peraturan Umum.

Pasal 2.

Pemerintah daerah terdiri dari pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah.

Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh dan dari anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

Kepala Daerah menjabat Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah

BAGIAN II.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 3.

Bagi tiap-tiap daerah jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam
Undang-Undang pembentukan.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih selama lima tahun.


Menyimpang dari pada ketentuan tersebut dalam ayat (2) anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang pertama meletakkan jabatannya bersama-sama pada waktu yang ditentukan
dalam Undang-Undang pembentukan.

Dengan Undang-Undang ditetapkan peraturan tentang pemilihan dan pengganti anggota-anggota


tersebut dalam ayat (1).

Pasal 4.

Yang dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, ialah:

a. Warga Negara Indonesia;

b. Telah berumur dua puluh satu tahun;

c. Bertempat tinggal di dalam daerah yang bersangkutan sedikitnya enam bulan yang terakhir;

d. Cakap menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin;

e. Tidak karena keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi kehilangan hak menguasai
atau mengurus harta bendanya;

f. Tidak dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi dipecat dari hak memilih
atau dipilih;

g. Tidak terganggu ingatannya.

Pasal 5.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh merangkap menjadi:

a. Presiden, Wakil Presiden;

b. Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, Menteri, Menteri Muda;

c. Komisaris Negara;

d. Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

e. Kepala Daerah dari Daerah yang bersangkutan dan dari daerah yang lebih atas;
f. Anggota Dewan Perwakilan Pemerintahan Daerah [sic!] yang setingkat lebih atas;

g. Pegawai yang bertanggung jawab tentang keuangan kepada daerah yang bersangkutan;

h. Kepala Jawatan dan Sekretaris daerah yang bersangkutan.

Pasal 6.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh melakukan pekerjaan yang memberikan
keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan yang bersangkutan.

Anggota yang melanggar larangan tersebut dalam ayat (1) setelah diberi kesempatan untuk
mempertahankan diri dengan lisan atau tertulis dapat diperhentikan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sebelumnya dapat diberhentikan sementara oleh Dewan
Pemerintah Daerah.

Terhadap putusan Pemberhentian tersebut dalam ayat (2) anggota yang bersangkutan dalam
waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu, dapat diminta putusan Dewan Pemerintahan
Daerah yang setingkat lebih atas atau dari Presiden bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Provinsi.

Pasal 7.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menerima uang Sidang, uang jalan dan menginap
menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Peraturan tersebut, harus disahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Provinsi dan bagi lain-lain
daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah dari pada daerah yang setingkat lebih atas.

BAGIAN III.

Sidang dan rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 8.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang atau berapat atas panggilan Ketuanya atau atas
permintaan seperlima dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau atas
permintaan Dewan Pemerintah Daerah; rapat diadakan di dalam satu bulan sesudah permintaan
diterima oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan.

Semua yang hadir dalam rapat tertutup berkewajiban merahasiakan segala hal yang dibicarakan
dalam rapat itu.

Merahasiakan itu berlangsung terus, baik bagi anggota-anggota dan pegawai-pegawai yang
mengetahui hal yang dibicarakan itu dengan jalan lain atau dari surat-surat yang mengenai hal
itu, sampai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membebaska mereka dari kewajiban tersebut.

Pasal 9.

Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersifat terbuka.

Rapat dapat memutuskan untuk mengadakan rapat tertutup.

Dalam rapat yang tertutup tidak boleh diambil putusan tentang:

a. anggaran pendapatan dan belanja, perhitungan anggaran pendapatan dan belanja dan
perubahan anggaran pendapatan dan belanja;

b. penetapan, perubahan dan penghapusan pajak;

c. mengadakan pinjaman uang;

d. tindakan yang mengenai milik dan hak daerah;

e. penyerahan pekerjaan, pengangkutan dan pemasukan barang-barang dengan jalan dibawah


tangan;

f. menghapus penagihan, semuanya atau sebagiannya;

g. mengadakan perjanjian-perjanjian;

h. menerima anggota baru.

Pasal 10.
Untuk ketertiban rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membuat peraturan tata-tertib.

Pasal 11.

Rapat baru boleh berunding atau mengambi sesuatu putusan, jikalau jumlah anggota yang hadir
lebih dari separoh jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sesuatu putusan rapat yang dipandang sah bila mendapat suara yang terbanyak dari anggota yang
hadir.

Bila dalam pemungutan suara mengenai perkara jumlah suara sama, maka pemugutan suara yang
kedua kalinya dipertangguhkan sampai rapat pertama yang akan datang. Bila jumlah suara masih
sama, maka usul dianggap tidak diterima.

[paragraf 1] Pemungutan suara yang mengenai orang harus dengan tulisan diatas kertas dengan
tidak diberi tanda tangan. [paragraf 2] Bila jumlah suara sama, maka undianlah yang memberi
putusan.

Pasal 12.

Ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat dituntut karena
pembicaraannya didalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau karena tulisannya yang
dikirimkan kepada rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAGIAN IV.

Dewan Pemerintah Daerah.

Pasal 13.
Dewan Pemerintah Daerah dipilih oleh dan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas dasar
perwakilan berimbang.

Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh menjadi anggota Dewan
Pemerintah Daerah.

Jumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah ditetapkan dalam Undang-Undang pembentukan.

Pasal 14.

Anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih untuk suatu masa pemilihan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, kecuali jika ia berhenti, baik atas kemauan sendiri, maupun karena keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Barang siapa berhenti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhenti pula menjadi
anggota Dewan Pemerintahan Daerah.

Pasal 15.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membuat pedoman untuk Dewan Pemerintah Daerah guna
mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya.

Pedoman tersebut dalam ayat (1) harus dapat pengesahan lebih dahulu dari Presiden bagi
Provinsi dan bagi ain-lain daerah dari Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari daerah
yang bersangkutan.

Pasal 16.

Anggota Dewan Pemerintah Daerah menerima uang kehormatan menurut peraturan yang
ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Peraturan tersebut harus disahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Provinsi dan bagi lain-lain
daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat yang lebih atas dari daerah yang bersangkutan.

Pasal 17.

Sebelum menjalankan jabatannya anggota Dewan Pemerintah Daerah bersumpah menurut


agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
untuk memenuhi kewajibannya sejujur-jujurnya.
Susunan kata sumpah dan janji tersebut dalam ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Pemerintah.

BAGIAN V.

Kepala Daerah.

Pasal 18.

Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-sedikitnya dua atau sebanyak-
banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

Kepala Daerah Kabupaten (kota besar) diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-
sedikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (kota besar).

Kepala Daerah Desa (kota kecil) diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-sedikitnya
dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Desa (kota kecil).

Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh yang berwajib atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersangkutan.

Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah
itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-
syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu.

Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan
mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota
Dewan Pemerintahan Daerah.

Pasal 19.

Untuk mewakili Kepala Daerah (Wakil Kepala Daerah Istimewa) jika ia berhalangan oleh
Dewan Pemerintahan Daerah ditunjuk seorang diantara anggotanya.
BAGIAN VI.

Sekretaris dan pegawai daerah^)

Pasal 20.

Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diangkat^) dan diberhentikan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah atas usul Dewan Pemerintah Daerah.

Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga menjadi sekretaris Dewan Pemerintah Daerah
dan Sekretaris Kepala Daerah.

Bila Sekretaris berhalangan, Dewan Pemerintah Daerah menunjuk pegawai lain untuk gantinya.

Pasal 21.

Peraturan tentang pengangkatan, penskorsan, pemberhentian, gaji, pensiun, uang tunggu dan
lain-lainnya ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sedapat-dapatnya sesuai dengan
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai Negeri.

Peraturan tersebut dalam ayat (1) harus disahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Provinsi dan
bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah yang setingkat lebih atas.

Pasal 22.

Pegawai Negeri atau pegawai daerah yang diperbantukan kepada daerah yang lebih rendah digaji
dari keuangan daerah yang lebih rendah itu.

Iuran untuk pensiun pegawai tersebut, jandanya, dan untuk tunjangan anak-anaknya bagi
pegawai Negeri atau bagi pegawai dari daerah yang lebih atas, oleh daerah yang dibantu
dipotong dari gaji mereka dan dimasukkan dalam kas Negeri atau kas daerah yang bersangkutan.
BAB III.

TENTANG KEKUASAAN DAN KEWAJIBAN PEMERINTH DAERAH.

BAGIAN I.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 23.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.

Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat (1) ditetapkan dalam Undang-
Undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah.

Pasal 24.

Kewajiban Pemerintah di daerah-daerah yang tidak termasuk urusan rumah tangga daerah, dapat
diserahkan dengan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau kepada
Dewan Pemerintah Daerah untuk dijalankan.

Dengan peraturan daerah, sesuatu daerah dapat menyerahkan kewajibannya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah dibawahnya untuk dijalankan.

Pasal 25.
Jika pemerintahan daerah melalaikan mengatur dan mengurus rumah tangganya, sehingga
merugikan daerah itu atau merugikan Negara, maka Pemerintah dengan peraturan Pemerintah
menentukan cara bagaimana daerah itu harus diatur dan diurus menyipang dari pasal 23.

Jika Pemerintahan daerah tidak menjalankan hal-hal yang diserahkan kepadanya seperti
termasuk dalam pasal 24, maka oleh Pemerintah dengan peraturan Pemerintah atau oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dengan peraturan daerah ditunjuk badan-badan
Pemerintahan yang harus menjalankan pekerjaan itu.

Pasal 26.

Suatu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya
dihadapan Pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Suatu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membela kepentingan daerah dan penduduknya
dihadapan Dewan Pemerintahan Daerah dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atasnya.

Pasal 27

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari beberapa daerah dapat bersama-sama mengatur
kepentingan mereka bersama.

Peraturan tersebut dalam ayat (1), demikian juga tentang perubahan dan pencabutan, harus
disahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Provinsi, bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah
Daerah setingkat lebih atas.

Bila tidak terdapat persetujuan tentang perubahan dan pencabutan dari peraturan bersama
tersebut dalam ayat (1), maka Presiden atau Dewan Pemerintahan Daerah tersebut dalam ayat (2)
yang memutuskan.

Pasal 28

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk kepentingan daerah atau untuk kepentingan pekerjaan
tersebut dalam pasal 24 membuat peraturan-peraturan yang disebut “Peraturan-Daerah” dengan
ditambah tingkatan dan nama daerah.

Dalam Peraturan daerah tidak diperkenankan diatur sesuatu yang telah diatur dalam Undang-
Undang atau Peraturan Pemerintah atau yang telah diatur dalam peraturan daerah yang lebih
tinggi tingkatannya.
Peraturan daerah tingkatan lebih atas tidak boleh mengatur hal-hal yang masuk urusan rumah
tangga daerah tingkatan lebih rendah.

Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnya kemudian diatur dalam
Undang-Undang atau peraturan Pemerintah atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi
tingkatannya

Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah
atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya.

Peraturan daerah dipandang mulai berlaku sesudah ditanda-tangani oleh Kepala Daerah dan
diumumkan menurut cara yang ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 29

Kecuali jikalau dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah diadakan ketentuan lain,
maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menetapkan hukuman selama-lamanya tiga bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.- terhadap pelanggaran peraturan-peraturannya, dengan
atau tidak dengan merampas barang-barang yang ditentukan.

Perbuatan yang dapat dihukum sebagai termaksud dalam ayat (1) dipandang sebagai
pelanggaran.

Peraturan daerah yang memuat peraturan-peraturan pidana untuk berlaku harus disahkan terlebih
dahulu oleh Presiden bagi peraturan Provinsi dan bagi peraturan daerah lain-lainnya oleh Dewan
Pemerintah Daerah tingkatan lebih atas.

Pasal 30

Bila untuk menjalankan sesuatu Putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut Undang-
Undang ini, harus ditunggu pengesahan lebih dulu dari Presiden bagi Provinsi dan bagi lain-lain
daerah dari Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, maka putusan itu dapat dijalankan,
apabila Presiden atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut dalam tiga bulan terhitung mulai hari
putusan itu dikirimkan untuk mendapat pengesahan, tidak mengambil ketetapan.

Waktu tiga bulan itu dapat diperpanjang selama-lamanya tiga bulan lagi oleh Presiden atau
Dewan Pemerintah Daerah tersebut dan hal itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersangkutan.
Bila putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut dalam ayat (1) tidak dapat disahkan,
maka Presiden atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut memberitahkan hal itu dengan
keterangan cukup kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

[paragraf 1] Terhadap penolakan pengesahan itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan dapat memajukan keberatan kepada Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas
dari Dewan Pemerintah Daerah yang menolak. [paragraf 2] Bila penolakan pengesahan itu
terjadi oleh Dewan Pemerintah Daerah Provinsi, maka keberatan itu diajukan kepada Presiden.

Pasal 31

Jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memutuskan hendak melebihi anggaran pendapatan dan
belanja yang telah ditetapkan, maka putusan itu harus disahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi
Provinsi dan bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas.

Pasal 32

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak membuat peraturan-peraturan tentang pemungutan


pajak-pajak daerah.

Dalam Undang-Undang ditetapakan peraturan umum tentang hal ini.

Pembebasan atau pengembalian pajak harus diatur dalam peraturan daerah.

Pasal 33.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan pinjaman uang bagi daerah dengan
pengesahan Presiden bagi Provinsi dan bagi lain-lain daerah dari Dewan Pemerintah Daerah
setingkat lebih atas.

BAGIAN II.

Dewan Pemerintah Daerah.


Pasal 34.

Dewan Pemerintah Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari; mereka itu bersama-sama


atau masing-masing bertanggung jawab terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.

Pasal 35

Dewan Pemerintah Daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

BAGIAN III.

Kepala Daerah.

Pasal 36.

Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah dan berhak menahan dijalankannya putusan-putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Dewan Pemerintah Daerah, bila dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan
kepentingan umum atau bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan-peraturan
Pemerintah dan peraturan-peraturan dari daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu diambil
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah di bawah provinsi.
Penahanan tersebut dalam ayat (1) harus dalam tujuh hari diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan, demikian juga
kepada Presiden bagi Provinsi dan bagi daerah-daerah lainnya kepada Dewan Pemerintah Daerah
yang setingkat lebih atas.

Bila dalam tiga bulan Presiden atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut dalam ayat (2) tidak
mengambil putusan, maka putusan yang ditahan menjalankannya itu, segera sesudah tempo itu
lampau, dijalankan.

BAB IV.

TENTANG KEUANGAN DAERAH.

BAGIAN I.

Pendapatan Daerah.

Pasal 37.

Pendapatan Daerah adalah:

a. pajak daerah, termasuk juga retribusi;

b. hasil perusahaan daerah;

c. pajak Negara yang diserahkan kepada daerah;

d. dan lain-lain.
BAGIAN II.

Urusan Keuangan Daerah.

Pasal 38.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan peraturan cara mengurus keuangan daerah.

Dengan persetujuan Menteri yang bersangkutan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat
menyerahkan pekerjaan yang berupa menerima, mengeluarkan, menyimpan, dan sebagainya
kepada pegawai Negeri yang menjalankan pekerjaan sedemikian rupa bagi Negara.

BAGIAN III.

Anggaran pendapatan dan belanja.

Pasal 39.

Untuk pertama kali anggaran pendapatan dan belanja daerah ditetapkan dengan Undang-Undang.

Buat selanjutnya anggaran pedapatan dan belanja daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

Sesudah tahun pertama anggaran pendapatan dan belanja harus disahkan lebih dahulu oleh
Presiden bagi Provinsi dan bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih
atas.

Pengesahan atau penolakan mengenai seluruh anggaran pendapatan dan belanja.

Tiap-tiap perubahan anggaran pendapatan dan belanja juga harus mendapat pengesahan.
Apabila tidak dapat disahkan maka dalam waktu satu bulan sesudah hari keputusan itu, hal itu
harus diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkuta dengan
keterangan tentang sebab-sebabnya.

[paragraf 1] Terhadap penolakan pengesahan itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat
memajukan keberatan kepada Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari Dewan
Pemerintah Daerah yang menolak. [paragraf 2] Bila penolakan pengesahan itu terjadi oleh
Dewan Pemerintah Daerah Provinsi, maka keberatan itu diajukan kepada Presiden.

Apabila anggaran pendapatan dan belanja bagi tahun yang bersangkutan pada tanggal 1 Januari
belum mendapat pengesahan, maka anggaran tahun yang baru lalu untuk sementara waktu
dipakai sebagai pedoman lebih dahulu.

Pasal 40.

Tentang cara menyusun anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.

BAGIAN IV.

Perhitungan anggaran pendapatan dan belanja.

Pasal 41.

Dalam Peraturan Pemerintah ditetapkan peraturan tentang caranya menyusun perhitungan


anggaran pendapatan dan belanja.

Ketentuan-ketentuan yang mengenai tanggung jawab pegawai atas pengeluaran belanja oleh
pegawai ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

BAB V.
TENTANG PENGAWASAN TERHADAP DAERAH

Pasal 42.

Putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan
dengan kepentingan umum, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau peraturan Daerah yang
lebih tinggi tingkatannya, dapat ditunda atau dibatalkan, bagi Provinsi oleh Presiden dan bagi
lain-lain Daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas.

Putusan penundaan atau pembatalan diberitahukan dalam limabelas hari sesudah hari putusan itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau kepada Dewan Pemerintah Daerah yang
bersangkutan disertai dengan alasan-alasannya.

Lamanya tempo penundaan disebutkan dalam surat ketetapan dan tidak boleh lebih dari enam
bulan.

Apabila dalam enam bulan karena penundaan itu tidak ada putusan pembatalan, maka putusan
daerah itu dipandang berlaku.

Pasal 43.

Perselisihan tentang pemerintahan antara Provinsi dengan Provinsi atau antara Provinsi dengan
Daerah-daerah lain diputus oleh Presiden, perselisihan antara Kabupaten dan Kabupaten dengan
Desa diputus oleh Provinsi perselisihan antara Desa dengan Desa diputus oleh Kabupaten.

Putusan itu diberitahukan kepada Daerah-daerah yang bersangkutan.

Pasal 44.

Tiap-tiap putusan baik oleh Presiden maupun oleh Dewan Pemerintah Daerah sebagai termaksud
dalam pasal 42 dan 43 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia atau menurut cara
yang ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
Pasal 45.

Untuk kepentingan pimpinan dan pengawasan maka Pemerintah dapat: a. meminta keterangan
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah; b. mengadakan
penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala sesuatu yang mengenai pekerjaan mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah.

Ketentuan tersebut dalam ayat (1) berlaku juga bagi daerah tingkatan lebih atas terhadap daerah
yang lebih rendah.

ATURAN PERALIHAN.

Pasal 46.

Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri
menurut Undang-Undang No. 1 tertanggal 23 Nopember 1945 dan lain-lain penetapan
Pemerintah, berjalan terus sehingga diadakan pembentukan Pemerintahan baru untuk Daerah-
daerah itu menurut Undang-Undang ini atau dihapuskan atau dirubah.

Daerah-daerah administrasi yang ada pada waktu berlakunya Undang-Undang ini, terus berdiri
sampai dihapuskan.

Selama Undang-Undang pemilihan belum ada, dan selama pemilihan menurut Undang-Undang
pemilihan belum dapat dijalankan, maka cara pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Dewan Pemerintah Daerah dijalankan menurut cara yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.

Untuk sementara waktu angkatan Kepala Daerah dijalankan menyimpang dari ketentuan dalam
pasal 18 ayat (1), (2), dan (3).

Selama Undang-Undang untuk mengatur dan mengurusdan memperhitungan keuangan Daerah


belum ditetapkan, segala sesuatu dijalankan menurut cara yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.
c.UU tahun 1950 – 1957 yang mengatur perihal terkait pokok pokok pemerintahan daerah

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 20 TAHUN 1958 (20/1958)

Tanggal: 17 JUNI 1958 (JAKARTA)

Sumber: LN 1958/61; TLN NO. 1617

Tentang: PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 22 TAHUN 1957

TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH SWATANTRA TINGKAT I MALUKU

(LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1957 NO. 79) SEBAGAI UNDANGUNDANG *)

Indeks: MALUKU. DAERAH SWATANTARA TINGKAT I. PENETAPAN MENJADI

UNDANG-UNDANG.

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a. Bahwa Pemerintah berdasarkan pasal 96 ayat 1 Undang-undang Dasar

Sementara telah menetapkan Undang-undang Darurat No.22 tahun 1957

tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Maluku (LembaranNegara tahun 1957 No.79).

b. Bahwa peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang

darurat tersebut perlu ditetapkan sebagai undang-undang;

Mengingat :

a. Pasal 97 yo. 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

b. Undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah

daerah (Lembaran-Negara tahun 1957 No.6), sebagaimana sejak itu telah

diubah;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO.22

TAHUN 1957 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH SWATANTRA TINGKAT I


MALUKU

(LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1957 NO.79), SEBAGAI UNDANG-UNDANG

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal I.

Peraturan-peraturan yang termaktub dalam Undang-undang Darurat

No.22 tahun 1957 tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Maluku

(Lembaran-Negara tahun 1957 No.79), ditetapkan sebagai undang-undang yang

berbunyi sebagai berikut;

Pasal 1.

(1) Propinsi Maluku termaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Serikat No.21 tahun 1950 (Lembaran-Negara tahun 1950 No.

59) jis pasal 1 dan pasal 2 ayat 2 UU No. 15 tahun 1956 (Lembaran

Negara tahun 1956 No. 33) yo. Undang-undang No. 20 tahun 1957

(Lembaran-Negara tahun 1957 No. 76) yang wilayahnya meliputi:

1. Wilayah Daerah Maluku Utara, termaksud dalam pasal 14 ayat 1

sub 13 naskah Peraturan Pembentukan Negara Indonesia Timur

No.44 tahun 1950 yo. pasal 2 ayat 3 Undang-undang No.15 tahun

1956 (Lembaran-Negara tahun 1956 No.33) yo. Undang-undang

No.20 tahun 1957 (Lembaran-Negara tahun 1957 No.76).

2. Wilayah Daerah Maluku Tengah, termaksud dalam Peraturan

Pemerintah No.35 tahun 1952 (Lembaran-Negara tahun 1952


No.49) yo. Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1955 tentang

pembubaran Daerah Maluku Selatan dan pembentukan Daerahdaerah Otonom Maluku Tengah
dan Maluku Tenggara (LembaranNegara tahun 1955 No.3).

3. Wilayah Daerah Maluku Tenggara termaksud dalam Peraturan

Pemerintah tersebut pada sub 2 di atas;

4. Wilayah Daerah Ambon, termaksud dalam Peraturan Pemerintah

No. 15 tahun 1955 tentang pembentukan Kota Ambon sebagai

daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri (Lembaran Negara tahun 1955 No.30). dibentuk sebagai

daerah swatantra tingkat I

(2) Untuk selanjutnya Daerah Swatantra Tingkat I Maluku termaksud dalam

ayat 1 pasal ini dalam undang-undang ini disebut "Daerah"

Pasal 2.

(1) Pemerintah Daerah berkedudukan di Ambon.

(2) Jika perkembangan keadaan didaerah menghendakinya, maka setelah

mendengar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan keputusan Menteri

Dalam Negeri, tempat kedudukan Pemerintah Daerah dapat dipindahkan

kelain tempat dalam wilayahnya.

(3) Dalam keadaan darurat, tempat kedudukan Pemerintah Daerah untuk

sementara waktu dapat dipindahkan kelain tempat dalam wilayahnya

oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 3.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdiridari 35 orang anggota.

(2) Dewan Pemerintah Daerah beranggota 5 orang, tidak terhitung Kepala

Daerah.
BAB II

TENTANG URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH

DAN KEWAJIBAN DAERAH

Pasal 4.

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 31 ayat 1 Undangundang No.1 tahun 1957
urusan rumah-tangga dan kewajiban Daerah

meliputi :

A. Urusan tata-usaha Daerah

1. Menyusun dan menyelenggarakan sekretariat serta pembagiannya

menurut yang diperlukan.

2. Menyelenggarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan

urusan kepegawaian, perbendaharaan, pemeliharaan harta dan

milik daerah, serta lain-lain hal untuk melancarkan pekerjaan

daerah.

B. Koordinasi dari kepentingan bersama dari daerah tingkat bawahan

dan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah bawahan itu.

C. Urusan perhubungan antar kepulauan di daerah Maluku. D.

Urusan-urusan lain dilapangan perekonomian dan kesejahteraan.

(2) Penyerahan urusan tersebut sub C dan D selanjutnya akan diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 5.

Untuk menyelenggarakan urusan rumah-tangga, Daerah berhak

membentuk dan menyusun dinas daerah menurut petunjuk-petunjuk yang

diberikan oleh Menteri yang bersangkutan.

BAB III
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 6.

Menjelang terbentuknya Pemerintah Daerah, maka segala tugas

kewajibannya dijalankan oleh seorang petugas yang diangkat atau

ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 7.

Ketentuan-ketentuan mengenai pegawai, keuangan, tanah, bangunan,

gedung, inpentaris, hutang-piutang dan peraturan-peraturan yang

berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini yang lazim berlaku bagi

pembentukan sesuatu daerah swatantra ditetapkan dan soal-soal yang

timbul mengenai hal-hal itu diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri

bersama-sama dengan Menteri yang bersangkutan.

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 8.

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang pembentukan Maluku".

Pasal II

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara

Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 17 Juni 1958.

Presiden Republik Indonesia,

ttd.
SOEKARNO

Diundangkan

pada tanggal 1 Juli 1958.

Menteri Kehakiman,

ttd.

G.A. MAENGKOM

Menteri Dalam Negeri,

ttd.

SANOESI HARDJADINATA

MEMORI PENJELASAN

MENGENAI

USUL UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT


NO.

22 TAHUN 1957 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH SWATANTRA TINGKAT I

MALUKU.

Umum.

Sungguhpun Undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok

pemerintahan daerah sejak hari pengundangannya pada tanggal 18

Januari 1957 sebenarnya telah harus berlaku dalam seluruh wilayah

Negara Republik Indonesia, akan tetapi dalam wilayah bekas Negara

Indonesia Timur, Undang-undang No. 1 tahun 1957 belumlah dapat

berlaku, oleh karena Daerah-daerah dalam wilayah bekas Negara

Indonesia Timur, yang telah dibentuk berdasarkan Undang-undang N.I.T.

No. 44 tahun 1950 masih lanjutan dari Daerah-daerah Swatantra

bentukan Pemerintah Prea-Federal berdasarkan Swatantra ini masih


berbeda dari apa yang dikehendaki oleh Undang-undang No.1 tahun

1957. Dalam wilayah bekas Negara Indonesia Timur ini perlu diadakan

secara formil bentukan baru berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun

1957 untuk dapat memperlakukan Undang-undang tentang pokok-pokok

pemerintahan daerah dimaksud, seperti ditentukan dalam pasal 73 ayat

4 Undang-undang No. 1 tahun 1957 tersebut.

Di dalam wilayah bekas Negara Indonesia Timur itu berdasarkan

Peraturan Pemerintah R.I.S. No. 21 tahun 1950 baharu didapati Propinsipropinsi administratip
saja, yaitu Propinsi-propinsi:

1. Sulawesi

2. Nusa Tenggara

3. Maluku.

Dari ketiga Propinsi administratip itu, pada waktu hendak mengeluarkan

undang-undang darurat ini, Pemerintah baharu mendapat bahan-bahan

yang sewajarnya untuk mengadakan pembentukan Daerah Tingkat I,

mengenai Propinsi Maluku.

Seharusnya pembentukan dilakukan dengan undang-undang. Akan tetapi

didorong oleh pergolakan daerah-daerah di waktu Kabinet Karya mulai

melakukan tugasnya, diiringi pula dengan pernyataan-pernyataan

tentang hasrat murni dari rakyat daerah-daerah yang bersangkutan untuk

dengan segera diberi otonomi yang luas, Pemerintah menganggap perlu

menyimpang dari prosedure biasa, dan mempergunakan hak yang

termaktub dalam pasal 96 Undang-undang Dasar Sementara Republik

Indonesia, yaitu melakukan pembentukan dengan undang-undang

darurat. Suasana politik menghendaki agar Pemerintah bertindak dengan


cepat, jika tidak ada lagi rintangan-rintangan yang memadai.

Penjelasan pasal demi pasal.

Pasal 1.

Yang dibentuk menjadi Daerah Swatantra Tingkat I Maluku ialah wilayah

Daerah Propinsi administratip Maluku, setelah dikurangi dengan wilayah

dari Daerah-daerah, yang telah termasuk atau dimasukkan ke dalam

wilayah Daerah Tingkat I Irian Barat, sebagaimana dapat dimaklumi

dalam Undang-undang No. 15 tahun 1956 (Lembaran Negara tahun 1956

No. 33) jo Undang-undang Darurat No. 20 tahun 1957 (Lembaran Negara

tahun 1957 No. 76).

Ayat 1 dari pasal ini memberikan perincian secara detail untuk

menghindarkan keragu-raguan dengan menyebut dasar-dasar formilnya.

Pasal 2.

Dalam ayat 2 dari pasal ini perkataan "Presiden", yang tercantum dalam

Undang-undang Darurat No. 22 tahun 1957 diubah degan kata-kata

"Menteri Dalam Negeri", dengan tujuan untuk menyederhanakan

administrasi dalam hal ini sesuai dengan jiwa Undang-undang No.1 tahun

1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah hal-hal serupa.

Pasal 3.

Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam ayat I dari pasal

ini harus disesuaikan dengan jumlah minimum menurut pasal 7 Undangundang No. I tahun 1957
seperti telah diubah dengan pasal I Undangundang No. 73 tahun 1957, yaitu harus sama dengan
jumlah tertinggi

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah-daerah Swatantra

tingkat II dalam wilayahnya.

Jumlah tertinggi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah-daerah


tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I Maluku menurut ketentuan

dalam pasal 3 Undang-undang Darurat No. 23 tahun 1957 tentang

pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Daerah Tingkat I Maluku

ialah 35 orang, padahal jumlah penduduk Daerah Tingkat I Maluku

menurut bahan-bahan yang 8 ada hanya 1.749.71 1 jiwa.

Pasal 4.

Selain dari menegaskan tugas Daerah Tingkat I Maluku mengenai urusan

tata-usaha, koordinasi dan pengawasan atas daerah-daerah Swatantra

bawahan, pasal ini hanya menyebut secara umum bidang urusan rumah

tangga bagi Daerah Tingkat I Maluku tersebut, yang akan diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Dalam hal ini Pemerintah bekerja berhati-hati sekali, oleh karena

berpegang pada pendirian, bahwa hak-hak otonomi yang telah dimiliki

oleh daerah-daerah Swatantra yang telah ada sebelum berlakunya

Undang-undang No.1 tahun 1957 dan yang dibentuk sebagai Daerah

Swatantra Tingkat II berdasarkan Undang-undang tentang pokok-pokok

pemerintahan tersebut dengan Undang-undang Darurat No. 23 tahun

1957, sebanyak mungkin dipertahankan. Prinsip ini ditegaskan dalam

pasal 4 dari Undang-undang Darurat No. 23 tahun 1957 tentang

pembentukan daerah-daerah Swatantra tingkat II dalam wilayah Daerah

Tingkat I Maluku.

Pasal 5

Telah jelas.

Pasal 6.

Ketentuan ini berdasarkan pasal 75 ayat 3 Undang-undang No. 1 tahun


1957.

Pasal 7, 8 dan 9.

Telah cukup jelas.

--------------------------------

CATATAN

*) Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-49 pada tanggal 7 Mei

1958 pada hari Rabu, P. 251/1958

Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1958

YANG TELAH DICETAK ULANG


c.UU tahun 1957

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 1965

TENTANG

POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan dalam rangka

kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 sejak Dekrit Presiden Republik

Indonesia tanggal 5 Juli 1959, maka ketentuan-ketentuan perundangan tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah perlu diperbaharui sesuai dengan Manifesto

Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara

dan pedoman-pedoman pelaksanaannya;

b. bahwa pembaharuan itu, sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, haruslah berbentuk satu Undang-undang

tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan kegotongroyongan

Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari Undang-undang

No. 22 tahun 1948, Undang-undang No. 1 tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6

tahun 1959 (disempurnakan). Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 dan

Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan

Presiden No. 7 tahun 1965 serta untuk mewujudkan Daerah-daerah yang dapat

berswadaya dan berswasembada;


c. bahwa agar dapat dilaksanakan pembentukan Pemerintah Daerah tingkat III

selekas mungkin;

Memperhatikan : Usul Panitia Negara yang dibentuk dengan Keputusan Presiden

Republik Indonesia No. 514 tahun 1961 dan No. 5 47 tahun 1961:

Mengingat:

1. Pasal 1 ayat (1), pasal 5 ayat (1), pasal 18 dan pasal 20 ayat (1) Undang-undang

Dasar;

2. Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, No. IV/MPRS/ 1963, No. V/MPRS/1965.

No. VI/MPRS/1965, No. VII/ MPRS 1965 dan No. VIII/MPRS/1965;

Mendengar: Presidium Kabinet Republik Indonesia;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

Memutuskan:

Pertama mencabut:

1. Undang-undang No, 1 tahun 1957;

2. Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan);

3. Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960;

4. Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan

Presiden No. 7 tahun 1965;

Kedua menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-2-

BAB I.

KETENTUAN UMUM.
Pasal 1.

(1) Yang dimaksud dengan "Daerah" dalam Undang-undang ini, ialah daerah besar

dan daerah kecil tersebut dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang berhak

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(2) Istilah-istilah "Propinsi", "Kabupaten" dan "Kecamatan" sebagaimana halnya

dengan istilah-istilah "Kotaraya", "Kotamadya" dan "Kotapraja", adalah istilahistilah untuk nama
jenis Daerah dan bukan merupakan penunjukan sesuatu

wilayah administratif.

(3) Yang dimaksud dengan "Kota" ialah kelompokan penduduk yang bertempat

tinggal bersama-sama dalam satu wilayah yang batasnya menurut peraturanperaturan yang telah
ditentukan.

(4) Yang dimaksud dengan "Desa" atau daerah yang setingkat dengan itu adalah

kesatuan masyarakat hukum dengan kesatuan penguasa yang berhak mengatur

dan mengurus rumah-tangganya sendiri seperti dimaksud dalam penjelasan

pasal 18 Undang-undang Dasar.

(5) Jika dalam Undang-undang ini disebut "setingkat lebih atas", maka yang

dimaksudkan adalah:

a. Daerah tingkat I bagi Daerah tingkat II yang terletak dalam wilayah

Daerah tingkat I itu;

b. Daerah tingkat II bagi Daerah tingkat III yang terletak dalam wilayah

Daerah tingkat II itu.

(6) Dalam Undang-undang ini istilah keputusan dapat diartikan juga peraturan.

BAB II.

PEMBAGIAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM DAERAH.

Pasal 2.

(1) Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis dalam Daerah-daerah yang
berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri dan tersusun dalam

tiga tingkatan sebagai berikut:

a. Propinsi dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat I.

b. Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah tingkat II dan

c. Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat III.

(2) Ibu-kota Negara Republik Indonesia Jakarta dimaksud dalam Undang-undang

No. 10 tahun 1964, sebagai Kotapraja tersebut pada ayat (1) pasal ini, baik

bagi perubahan dan penyempurnaan batas-batas wilayahnya maupun

mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam

wilayahnya Daerah-daerah tingkat lain ataupun pemerintahan dalam bentuk

lain yang sedapat mungkin akan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan

dalam Undang-undang ini yang pengaturannya ditetapkan dengan Undangundang.

Pasal 3.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-3-

(1) Pembentukan Daerah termaksud dalam pasal 2 ayat (1), nama, ibu-kota dan

batasnya, serta tugas kewenangan pangkalnya dan anggaran keuangannya yang

pertama, diatur dengan Undang-undang.

2) Penyempurnaan batas wilayah Daerah begitu pula pemindahan ibu-kota,

perubahan nama dan batas wilayah kemudian yang tidak mengakibatkan

pembubaran sesuatu Daerah, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4.

(1) Kota dengan memperhatikan faktor-faktor sosial ekonomis, penduduk dan lainlain, dapat
dibentuk menjadi Kotaraya, Kotamadya atau Kotapraja dimaksud
dalam pasal 2.

(2) Sesuatu atau beberapa desa atau daerah yang setingkat dengan desa, dengan

mengingat kehidupan masyarakat dan kemajuan perkembangan sosial

ekonominya serta dengan memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat dan

susunan asli yang masih hidup dan berlaku, dapat dibentuk menjadi Daerah

tingkat III.

BAB III.

BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAGIAN I. Ketentuan Umum.

Pasal 5.

(1) Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.

(2) Kepala Daerah melaksanakan politik Pemerintah dan bertanggung jawab

kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarchi yang ada.

Pasal 6.

Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil

Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian.

Pasal 7.

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdiri dari seorang Ketua dan beberapa

orang Wakil Ketua sampai terjadi poros Nasakom.

Pasal 8.

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menjalankan tugasnya

mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah.

Pasal 9.

(1) Ketua dan Wakil-wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh dan

dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disahkan bagi:


a. Daerah tingkat I oleh Menteri Dalam Negeri,

b. Daerah-daerah lain oleh Kepala Daerah yang setingkat lebih atas.

(2) Selama Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum ada,

rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipimpin oleh seorang anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang tertua usianya.

Pasal 10.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-4-

(1) Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas

Pemerintah Daerah dilakukan oleh Sekretariat Daerah, yang disusun dan

pembiayaannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan pedoman

yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2) Sekretariat Daerah dikepalai oleh seorang Sekretaris Daerah yang melakukan

pekerjaannya langsung dibawah pimpinan Kepala Daerah.

BAGIAN II

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

$ 1. Kepala Daerah.

Pasal 11.

Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:

a. Presiden bagi Daerah tingkat I,

b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat

II dan

c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi

Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.


Pasal 12.

(1) Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan

sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang bersangkutan.

(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk

diangkat menjadi Kepala Daerah, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden untuk

mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangand tentang

alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama

(3) Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti di maksud ayat (2) diatas

tidak ada calon yang memenuhi syarat, maka Presiden mengangkat seorang

Kepala Daerah diluar pencalonan.

Pasal 13.

(1) Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dengan

persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya emapt

orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan.

(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon dyang memenuhi syarat untuk

diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan

persetujuan Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengajukan

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-5-

pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang


menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.

(3) Apabila juga dalam pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam ayat (2)

diatas tidak,ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala

Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka

Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.

Pasal 14.

(1) Kepala Daerah tingkat III diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I dengan

persetujuan Menteri Dalam Negeri dari sedikit- dikitnya dua dan sebanyakbanyaknya empat
orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang bersangkutan

(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk

diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Kepala Daerah tingkat I dengan

persetujuan Menteri Dalam Negeri, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

yang bersangkutan diminta oleh Kepala Daerah tingkat I untuk mengajukan

pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang

menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.

(3) Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam ayat (2)

diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala

Daerah oleh Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri,

maka Menteri tersebut mengangkat seorang Kepala Daerah di luar pencalonan.

Pasal 15.

Yang dapat diangkat menjadi Kepala Daerah ialah warga negara Indonesia yang selain

memenuhi peraturan-peraturan kepegawaian tentang syarat-syarat untuk diangkat

menjadi pegawai Negeri:

1. berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi


Indonesia;

2. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi

Terpimpin, Ekonomi Terpinpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti juga

menyetujui dan turut serta aktip melaksanakan Manifesto Politik Republik

Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman

pelaksanaannya

3. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan

pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi;

4. A. bagi Daerah tingkat I:

a.1. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi

pemerintahan;

a.2. berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Tinggi atau sekurangkurangnya


berpendidikan yang dapat disamakan dengan Sekolah

Lanjutan Tingakt Atas;

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-6-

a.3. sekurang-kurangnya berumur 35 tahun;

B. bagi Daerah tingkat II:

b.1. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi

pemerintahan;

b.2. berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat disamakan dengan

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;

b.3. sekurang-kurangnya berumur 30 tahun;


C. bagi Daerah tingkat III:

c.1. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi

pemerintahan;

c.2. berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama atau sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Dasar;

c.3. sekurang-kurangnya berumur 30 tahun.

Pasal 16.

(1) Kepala Daerah dilarang:

a. dengan sengaja melakukan kegiatan-kegiatan atau tidak melakukan

tindakan, yang hanya menguntungkan dan/atau mendahulukan

kepentingan partainya, sesuatu golongan atau sesuatu partai, sehingga

merugikan kepentingan Pemerintah dan Rakyat Daerah;

b. langsung atau tidak langsung turut serta dalam atau menjadi

penanggung untuk sesuatu perusahaan yang mempunyai dasar ikatan

perjanjian dengan Negara atau dengan Daerah untuk memperoleh laba

atau keuntungan;

c. langsung atau tidak langsung turut serta dalam atau menjadi

penanggung untuk sesuatu usaha menyelenggarakan pekerjaan umum,

pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan guna kepentingan Daerah;

d. melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang memberikan keuntungan

baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan Daerah yang

bersangkutan;

e. menjadi adpokat, pkrol atau kuasa dalam perkara dimuka pengadilan,

dalam mana Daerah yang bersangkutan tersangkut.

(2) Terhadap larangan-larangan dimaksud dalam ayat (1) huruf b, c dan d,


Presiden dapat memberikan pengecualian, apabila kepentingan Daerah

memerlukan.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-7-

Pasal 17.

(1) Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 tahun atau untuk masa yang

sama dengan masa duduk Dewan Perwakilan Daerah yang bersangkutan tetapi

dapat diangkat kembali.

(2) Kepala Daerah tidak dapat diperhentikan karena sesuatu keputusan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, terkecuali apabila Penguasa yang berhak

mengangkat menghendakinya.

(3) Kepala Daerah berhenti karena meninggal dunia atau diperhentikan oleh

Penguasa yang berhak mengangkat;

a. atas permintaan sendiri;

b. karena berakhir masa jabatannya dan telah diangkat Kepala Daerah yang

baru;

c. karena tidak memenuhi lagi sesuatu syarat dimaksud dalam pasal 15;

d. karena tidak memenuhi lagi ketentuan larangan-larangan bagi Kepala

Daerah dimaksud dalam pasal 16;

e. karena sebab-sebab lain.

Pasal 18.

(1) Menteri Dalam Negeri menetapkan peraturan tentang pejabat yang mewakili

Kepala Daerah, apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan.
(2) Selama Pemerintah Daerah dari Daerah yang dibentuk berdasarkan Undangundang ini belum
terbentuk dan tersusun menurut ketentuan-ketentuan dalam

pasal 5 dan selama kekuasaan pemerintahan dari Daerah termaksud belum

diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini,

kekuasaan dijalankan oleh Penguasa yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Pasal 19.

Kepala Daerah adalah pegawai Negara, yang nama jabatan dan gelarnya, kedudukan

dan penghasilannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 20.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah mengangkat sumpah menurut

cara agamanya atau mengucapkan janji menurut kepercayaannya dalam sidang

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan:

a. bagi Daerah tingkat I dihadapan Menteri Dalam Negeri atau pejabat yang

ditunjuk olehnya;

b. bagi Daerah lainnya dihadapan Kepala Daerah setingat lebih atas atau

pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.

(2) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat (1) adalah

sebagai berikut:

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-8-

"Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk dipilih dan diangkat menjadi

Kepala Daerah, langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun,

tidak memberikan atau menjanjikan atau akan memberikan sesuatu kepada

siapapun juga.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung ataupun

tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai

Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya

senantiasa akan membantu memelihara Undang-undang Dasar 1945 dan segala

peraturan-perundangan yang berlaku bagi Republik Indonesia.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang

menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau

pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mementingkan kepentingan Negara dan

Daerah daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan, dan akan

menjunjung tinggi kehormatan Negara, Daerah, Pemerintah dan Pegawai

Negara.

Saya bersumpah (berjanji), bawha saya akan berusaha sekuat tenaga

membantu memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan

memajukan kesejahteraan Rakyat di Daerah pada khususnya dan akan setia

kepada Negara, Bangsa dan Republik Indonesia".

$2 Wakil Kepala Daerah.

Pasal 21.

(1) Wakil Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 6 diangkat dari antara sedikitdikitnya dua dan
sebanyak-banyaknya empat orang calon Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah oleh:

a. Presiden bagi Daerah tingkat I;

b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat


II dan

c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi

Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I yang bersangkutan.

(2) Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah sebagai dimaksud dalam

pasal 15 berlaku juga untuk Wakil Kepala Daerah.

(3) Larangan bagi Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 16 berlaku pula bagi Wakil

Kepala Daerah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-9-

(4) Wakil Kepala Daerah adalah pegawai Negara yang gelar dan nama jabatannya,

kedudukan dan penghasilannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah.

(5) Wakil Kepala Daerah diangkat untuk suatu masa jabatan yang sama dengan

masa jabatan Kepala Daerah atau untuk masa yang sama dengan masa duduk

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, tetapi dapat diangkat

kembali.

(6) Wakil Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terkecuali apabila Penguasa yang berhak

mengangkat menghendakinya.

(7) Wakil Kepala Daerah berhenti karena meninggal dunia atau diberhentikan oleh

Penguasa yang berhak mengangkat:

a. atas permintaan sendiri;

b. karena berakhir masa jabatannya;

c. karena tidak memenuhi lagi sesuatu syarat dimaksud dalam pasal 15 jo.
ayat (2) pasal ini;

d. karena tidak memenuhi lagi ketentuan larangan-larangan dimaksud

dalam pasal 16 jo. ayat (3) pasal ini;

e. karena sebab-sebab lain.

(8) Sebelum memangku jabatannya, Wakil Kepala Daerah mengangkat sumpah atau

mengucapkan janji menurut agamanya didepan Menteri Dalam Negeri atau

pejabat yang ditunjuk olehnya

(9) Susunan kata-kata sumpah ata janji yang dimaksud dalam ayat (8) adalah sama

dengan susunan kata-kata sumpah atau janji dalam pasal 20 ayat (2) dengan

ketentuan, bahwa perkataan Kepala Daerah harus dibaca Wakil Kepala Daerah.

BAGIAN III.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

$ 1. Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 22.

(1) Bagi tiap-tiap Daerah jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya, dengan dasar perhitungan

jumlah penduduk yang harus mempunyai eorang wakil dalam Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, serta syarat-syarat minimum dan maksimum jumlah anggota

bagi masing-masing Daerah sebagai berikut:

a. bagi Daerah tingkat I, tiap-tiap 200.000 orang penduduk mempunyai

seorang wakil dengan minimum 40 maksimum 75;

b. bagi Daerah tingkat II, tiap-tiap 10.000 orang penduduk mempunyai

seorang wakil dengan minimum 25 dan maksimum 40;

c. bagi Daerah tingkat III, tiap-tiap 2.000 orang penduduk mempunyai

seorang wakil dengan minimum 15 maksimum 25.


PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

(2) Perubahan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut

ketentuan tersebut dalam ayat (1) sub a, b, dan c ditetapkan oleh Menteri

Dalam Negeri.

(3) Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berlaku untuk masa lima tahun.

(4) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mengisi lowongan keanggotaan

antar waktu, duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu hanya untuk

sisa masa lima tahun tersebut.

(5) Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah diatur dengan Undang-undang.

Pasal 23.

Yang dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ialah warga negara

Indonesia yang:

a. telah berumur 21 tahun;

b. bertempat tinggal pokok dalam wilayah Daerah yang bersangkutan sedikitdikitnya enam bulan
yang terakhir, atau bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah tingkat II dan III yang bukan Kotamadya atau Kotapraja dapat juga

bertempat tinggal pokok sedikitnya enam bulan yang terakhir dalam

Kotamadya atau Kotapraja yang dilingkari oleh Daerah Tingkat II atau Daerah

tingkat III yang bersangkutan.

c. cakap menulis dan membaca bahasa Indonesia dalam huruf latin

d. berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi

Indonesia;
e. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi

terpimpin, Ekonomi terpimpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti juga

menyetujui dan turut serta aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik

Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman

pelaksanaannya;

f. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan

pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi;

g. tidak menjadi anggota/bekas anggota sesuatu partai/organisasi yang menurut

peraturan perundangan yang berlaku dinyatakan dibubarkan/terlarang oleh

yang berwajib, kecuali mereka yang dengan perkataan dan perbuatan

membuktikan persetujuannya apa yang tersebut dalam sub c, menurut

penilaian Menteri Dalam Negeri dan disetujui Presiden.

Pasal 24.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh merangkap menjadi:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Menteri;

c. Pimpinan dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

d. Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah atau anggota Badan Pemerintah Harian

dari Daerah yang bersangkutan atau Daerah yang lain;

c. Ketua, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah yang lain;

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

f. Kepala Dinas Daerah, Sekretaris Daerah dan Pegawai yang bertanggung jawab

tentang keuangan pada Daerah yang bersangkutan.


Pasal 25.

(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh:

a. menjadi adpokat, pokrol atau kuasa dalam perkara hukum, dalam mana

Daerah yang bersangkutan itu tersangkut;

b. ikut serta dalam penetapan atau pengesahan dari perhitungan yang

dibuat oleh sesuatu badan dalam mana ia duduk sebagai anggota

pengurusnya, kecuali apabila hal ini mengenai perhitungan anggaran

keuangan Daerah yang bersangkutan;

c. langsung atau tidak langsung turut serta dalam atau menjadi

penanggung untuk sesuatu usaha menyelenggarakan pekerjaan umum,

pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan guna kepentingan Daerah;

d. melakukan pekerjaan yang memberikan keuntungan baginya dalam halhal yang berhubungan
langsung dengan Daerah yang bersangkutan.

(2) Terhadap larangan-larangan tersebut dalam ayat (1), Kepala Daerah semufakat

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan pengecualian, apabila

kepentingan Daerah memerlukannya.

(3) Anggota yang melanggar larangan tersebut dalam ayat (1), setelah diberi

kesempatan untuk mempertahankan diri dengan lisan atu tulisan, semufakat

Dewan Perwakilan Rakayt Daerah diperhentikan oleh Kepala Daerah dan

sebelum itu oleh Kepala Daerah tersebut dapat diperhentikan untuk

sementara.

(4) Terhadap putusan pemberhentian dan pemberhentian sementara tersebut

dalam ayat (3), anggota yang bersangkutan dalam waktu satu bulan sesudah

menerima putusan itu, dapat meminta keputusan banding kepada Kepala

Daerah yang setingkat lebih atas dan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tingkat I kepada Menteri Dalam Negeri.

Pasal 26.

(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhenti karena meninggal dunia,

atau diberhentikan karena:

a. Permintaan sendiri;

b. tidak lagi memenuhi sesuatu syarat seperti tersebut dalam pasal 23 dan

24;

c. terkena larangan untuk mana berlaku ketentuan dalam pasal 23 sub g;

d. melanggar suatu peraturan yang khusus ditetapkan bagi anggota-anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali dalam hal yang dimaksud

dalam pasal 25 ayat (2).

(2) Keputusan mengenai pemberhentian keanggotaan termaksud dalam ayat (1),

bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I diambil oleh Menteri

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 12 -

Dalam Negeri atas usul Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mendengar

Badan Pemerintah Harian dan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

lainnya oleh Kepala Daerah yang setingkat lebih atasnya atas usul Kepala

Daerah yang bersangkutan setelah mendengar Badan Pemerintah Harian.

(3) Atas keputusan yang diambil menurut ketentuan dalam ayat (2) diatas, kecuali

dalam hal dimaksud dalam ayat (1) sub a, anggota yang bersagnkutan dalam

waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu, berhak untuk meminta

puutsan banding kepada Presiden mengenai putusan Menteri Dalam Negeri,

kepada Menteri mengenai keputusan Kepala Daerah tingkat I dan Kepala


Daerah setingkat lebih atas mengenai keputusan Kepala Daerah tingkat lainnya.

Pasal 27.

(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menerima uang sidang, uang jalan

dan uang penginapan menurut peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah

Daerah.

(2) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak menerima uang

sidang untuk rapat yang dipimpin atau dihadirinya, tetapi kepadanya diberikan

tunjangan jabatan dan disamping tunjangan jabatan dimaksud kepada Ketua

dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberikan pula uang

kehormatan setiap bulannya, uang jalan dan penginapan, bila dipandang perlu

uang perjalanan pindah dari tempat kediamannya yang lama ketempat

kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan

sebaliknya, selanjutnya uang penggantian biaya berobat untuk dirinya serta

anggota keluarganya, tunjangan kematian serta tunjangan penghargaan yang

diberikan pada akhir masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua atau pada waktu

mereka berhenti dengan hormat dari jabatannya menurut peraturan yang

ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

(3) Peraturan Daerah dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatas ditetapkan dengan

mengingat pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah

tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

Pasal 28.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah mengangkat sumpah menurut cara agamanya atau

mengucapkan janji menurut kepercayaan masing-masing dihadapan Menteri

Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I atau pejabat yang dikuasakan, dan
dihadapan Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah-daerah lain atau

pejabat yang dikuasakan.

(2) Pengangkatan sumpah (janji) dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

yang antar waktu mengisi lowongan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah sebagai dimaksud dalam pasal 22 ayat (4) dilakukan dihadapan Ketua

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 13 -

(3) Susunan kata-kata sumpah (janji) termaksud pada ayat (1) dan (2) adalah

sebagai berikut:

"Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk diangkat menjadi

Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah langsung atau

tidak langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau

menjanjikan atau akan memberikan sesuatu kepada siapapjn juga.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu sebagai Ketua/Wakil Ketua/Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah ..., tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak

langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya

sebagai Ketua/Wakil Ketua/Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan

sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, dan bawha saya senantiasa akan

membantu memelihara Undang-undang Dasar 1945 dan segala peraturan yang

lain yang berlaku bagi Republik Indonesia.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya bersedia turut serta


melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan berusaha dengan sekuat

tenaga memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan

memajukan kesejahteraan Rakyat Daerah ....pada khususnya dan akan setia

kepada Nusa, Bangsa dan Republik Indonesia".

(4) Pada waktu pengangkatan sumpah (janji), instansi yang berwenang, pejabat

yang dikuasakan atau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksud dalam

ayat (1) dan (2) berusaha supaya segala sesuatu dilaksanakan dalam suasana

khidmad.

$ 2. Sidang dan rapat Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

Pasal 29.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang atau berapat atas panggilan

Ketuanya.

Atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, maka Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah tersebut wajib memanggil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

tersebut untuk bersidang atau berapat dalam satu bulan sesudah permintaan

itu diterimanya

(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang sekurang- kurangnya sekali dalam

tiga bulan.

(3) Semua yang hadir pada rapat tertutup berkewajiban untuk merahasiakan

segala hal yang dibicarakan dalam rapat itu.

(4) Kewajiban merahasiakan seperti tersebut dalam ayat (3) berlangsung terus,

baik bagi anggota-anggota maupun pegawai- pegawai/pekerja-pekerja yang


mengetahui hal-hal yang dibicarakan itu dengan jalan lain atau dari surat-surat

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 14 -

yang mengenai hal itu, sampai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membebaskan

mereka dari kewajiban tersebut.

Pasal 30.

(1) Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka untuk umum, kecuali jika

Pimpinan menimbang perlu untuk mengadakan rapat tertutup ataupun

sekurang-kurangnya seperlima anggota mengusulkan hal itu.

(2) Tentang hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup dapat diambil keputusan,

kecuali tentang:

a. anggaran belanja, perhitungan anggaran belanja;

b. penetapan, perubahan dan penghapusan pajak;

c. mengadakan pinjaman uang;

d. Perusahaan Daerah;

e. kedudukan harta-benda dan hak-hak Daerah; melakukan pekerjaanpekerjaan, penyerahan-


penyerahan barang dan pengangkutanpengangkutan tanpa mengadakan penawaran umum;

g. penghapusan tagihan-tagihan sebagian atau seluruhnya;

h. mengadakan persetujuan Penyelesaian perkara perdata secara damai;

i. penerimaan anggota-anggota baru;

j. mengadakan usaha-usaha yang dapat merugikan atau mengurangi

kepentingan umum.

Pasal 32.

Ketua Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerahj idak dapat dituntut
karena pembicaraannya didalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau karena

tulisannya yang disampaikan kepada rapat Dewan Perwakilan Rakayt Daerah, kecuali

jika mereka dengan itu mengumjmkan apa yang dikatakan atau yang dikemukakan

dalam rapat tertutup.

BAGIAN IV.

Badan Pemerintah Harian.

Pasal 33.

(1) Dalam Undang-undang pembentukan Daerah yang bersangkutan ditentukan

jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut kebutuhan:

a. bagi Daerah tingkat I dari sekurang-kurangnya 7 orang;

b. bagi Daerah tingkat II dari sekurang-kurangnya 5 orang dan

c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.

(2) Penambahan jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut ketentuan

tersebut dalam ayat (1) sub a, b dan c ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri

atas usul Kepala DAerah dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang bersangkutan.

(3) Masa jabatan anggota-anggota Badan Pemerintah Harian adalah sama dengan

masa jabatan Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 17 ayat (1).

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 15 -

(4) Jumlah anggota Badan Pemerintah Harian tersebut dalam ayat (1) harus tetap

terisi; setiap kali timbul lowongan harus diangkat seorang anggota baru yang

berhenti bersama-sama dengan anggota-anggota lain pada akhir masa jabatan

dimaksud dalam ayat (3).


Pasal 34.

Yang dapat menjadi anggota Badan Pemerintah Harian ialah warganegara Indonesia

yang:

1. sekurang-kurangnya berumur 30 tahun;

2. berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi

Indonesia;

3. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi

Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti juga

menyetujui dan turut serta aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik

Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman

pelaksanaannya;

4. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan

pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi;

5.A. bagi Daerah tingkat 1:

a.1. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi

pemerintahan;

a.2. berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Tinggi atau sekurangkurangnya


berpendidikan yang dapat disamakan dengan Sekolah

Lanjutan Tingkat Atas;

B. bagi Daerah tingkat II:

b.1. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi

pemerintahan;

b.2. berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat disamakan dengan

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;


C. bagi Daerah tingkat III:

c.1. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi

pemerintahan;

c.2. berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama atau sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Dasar;

6. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Kepala Daerah sampai derajat

ketiga, baik menurut garis lurus maupun garis ke- samping termasuk menantu

dan ipar.

Pasal 35.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 16 -

(1) Anggota Badan Pemerintah Harian diangkat dan diberhentikan oleh:

a. Presiden bagi Daerah tingkat I;

b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat

II dan

c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi

Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.

(2) Prosedur pengangkatan anggota Badan Pemerintah Harian dimaksud dalam ayat

(1) mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pengangkatan Kepala

Daerah yang setingkat dimaksud dalam pasal-pasal 12, 13 dan 14, kecuali

mengenai jumlah calon yang harus diajukan sebanyak dua kali jumlah anggota

Badan Pemerintah Harian yang diperlukan.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 36 sub a, seorang anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dicalonkan sebagai anggota Badan


Pemerintah Harian.

(4) Anggota Badan Pemerintah Harian berhenti karena meninggal dunia atau

diberhentikan oleh Penguasa yang berhak mengangkat:

a. atas permintaan sendiri;

b. karena berakhir masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan;

c. karena tidak memenuhi lagi sesuatu syarat dimaksud dalam pasal 34 dan

d. karena menjalankan sesuatu rangkapan jabatan yang dilarang menurut

pasal 36.

Pasal 36.

Anggota Badan Pemerintah Harian tidak boleh:

a. dengan sengaja melakukan kegiatan-kegiatan atau tidak melakukan tindakan

yang hanya menguntungkan dan/atau mendahulukan kepentingan partainya,

sesuatu golongan atau sesuatu partai, sehingga merugikan kepentingan

Pemerintah dan Rakyat Daerah;

b. merangkap menjadi Sekretaris Daerah dan Pegawai yang bertanggung jawab

tentang keuangan kepada Daerah yang bersangkutan;

c. merangkap menjadi adpokat, pokrol atau kuasa dalam perkara hukum, dalam

mana Daerah itu tersangkut;

d. ikut memberikan pertimbangan mengenai penetapan atau pengesahan

perhitungan sesuatu badan yang ada sangkut-pautnya dengan keuangan

Daerah, dalam mana ia duduk sebagai pengurus;

e. langsung maupun tidak langsung ikut serta dalam pacht dibawah tangan

mengenai sesuatu milik Daerah ataupun ikut serta dalam pembelian suatu

tuntutan yang membebani Daerah yang sedang dalam sengketa;


f. merangkap menjadi arsitek atau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang

berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan dan mendatangkan

keuntungan baginya;

g. merangkap jabatan-jabatan lain yang akan ditentukan oleh Menteri Dalam

Negeri.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 17 -

Pasal 37.

(1) Sebelum memangku jabatannya, anggota Badan Pemerintah Harian

mengangkat sumpah menurut cara agamanya atau mengucapkan janji menurut

kepercayaannya dihadapan Kepala Daerah yang bersangkutan.

(2) Susunan kata-kata sumpah (janji) termaksud dalam ayat (1) adalah sebagai

berikut:

"Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk diangkat menjadi anggota Badan

Pemerintah Harian langsung atau tidak langsung, dengan nama atau dalih

apapun, tidak memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan

sesuatu kepada siapapun juga.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatan ini tidak sekali-kali akan menerima, langsung ataupun

tidak langsung dari siapapun juga-sesuatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai

anggota Badan Pemerintah Harian .... dengan sebaik-baiknya dan sejujurjujurnya, bahwa saya
senantiasa akan setia kepada Undang-undang Dasar 1945

dan akan membantu memelihara segala peraturan perundangan yang berlaku


bagi Republik Indonesia.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang

menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan membantu Kepala Daerah ...

dalam pekerjaannya dan menjalankan pekerjaan yang ditugaskannya kepada

saya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran dan akan setia kepada Negara,

Bangsa dan Republik Indonesia".

Pasal 38.

(1) Anggota Badan Pemerintah Harian menerima uang kehormatan, uang jalan,

uang penginapan, uang perjalanan pindah, uang pengganti biaya berobat untuk

dirinya serta anggota keluarganya, tunjangan kematian bila meninggal dunia

dan uang tanda penghargaan pada masa akhir jabatannya atau bilamana ia

berhenti dengan hormat dari jabatannya menurut peraturan yang ditetapkan

oleh Pememrintah Daerah.

(2) Peraturan Daerah tersebut pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan

petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dan sebelum

berlaku harus disahkan terlebih dahulu oleh:

a. Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan

b. Kepala Daerah setingakt lebih atas bagi lain-lain Daerah.

BAB IV.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 18 -

KEKUASAAN, TUGAS DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH.

BAGIAN I
Ketentuan Umum.

Pasal 39.

(1) Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumahtangga
Daerahnya.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam ayat (1), dalam Undangundang
pembentukan Daerah sebagai pangkal ditetapkan urusan-urusan yang

termasuk rumah-tangganya disertai alat perlengkapan dan pembiayaannya

serta sumber-sumber pendapatan yang pertama dari Daerah itu.

(3) Dengan Peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, atas usul dari Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai Daerah tingkat II

dan III atas usul dari Kepala Daerah setingkat lebih atas, urusan-urusan

tersebut dalam ayat (2) dapat ditambah dengan urusan-urusan lain.

Pasal 40.

(1) Urusan-urusan Pemerintah Pusat, sebagian atau seluruhnya yang menurut

pertimbangan Pemerintah Pusat dapat dipisahkan dari tangan Pemerintah

Pusat untuk diatur dan diurus sendiri oleh Daerah, dengan Peraturan

Pemerintah dapat ditetapkan menjadi urusan rumah-tangga Daerah.

(2) Dalam Peraturan Pemerintah dimaksud dalam ayat (1) harus diatur pula biayabiaya belanja
urusan serta alat perlengkapannya yang harus diserahkan kepada

Daerah serta ditunjuk sumber-sumber pendapatan yang pertama bagi Daerah

itu untuk dapat menutup biaya belanja urusan tersebut,

Pasal 41.

(1) Sesuatu Daerah dengan Peraturan Daerah dapat memisahkan sebagian atau

seluruh urusan-urusan tertentu dari urusan rumah-tangganya untuk diatur dan

diurus sendiri oleh Daerah tingkat bawahan yang ada dalam wilayah Daerahnya.

(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh
Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat

lebih atas bagi lain-lain Daerah.

(3) Bagi penyerahan dimaksud ini, berlaku pula ketentuan termaskud dalam pasal

39 ayat (3) dan pasal 40 ayat (2).

Pasal 42.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 19 -

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan seperti yang dimaksud dalam

pasal 39, 40 dan 41, peraturan perundangan Pusat atau Peraturan Daerah

setingkat lebih atas, sedapat mungkin mengatur agar urusan-urusan

Pemerintah Pusat atau urusan-urusan yang merupakan rumah-tangga

Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, sebagian atau seluruhnya,

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang ditunjuk oleh dan dalam peraturanperaturan yang
dimaksud.

(2) Apabila peraturan-peraturan dimaksud pada ayat (1) menentukannnya, maka

Pemerintah Daerah diwajibkan melaksanakan peraturan-peraturan itu.

(3) Dalam peraturan-peraturan dimaksud pada ayat (1), harus diatur pula biayabiaya belanja
pelaksanaan urusan serta alat perlengkapannya yang harus

diserahkan kepada Daerah serta ditunjuk sumber-sumber pendapatan bagi

Daerah untuk dapat menutup biaya belanja pelaksanaan urusan tersebut.

Pasal 43.

(1) Beberapa Daerah dapat bersama-sama mengatur dan mengurus kepentingan

bersama.

(2) Keputusan bersama mengenai hal yang dimaksud dalam ayat (1) demikian juga

tentang perubahan dan pecabutannya harus disahkan lebih dahulu oleh Menteri
Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas

bagi lain- lain Daerah.

(3) Bila tidak terdapat kata sepakat tentang perubahan atau pencabutan peraturan

tersebut dalam ayat (1), maka Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah

tersebut dalam ayat (2) yang memutuskan.

(4) Untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi sesuatu bentuk kerja sama

antar Daerah, Menteri Dalam Negeri dapat mengadakan pengaturan khusus

untuk menampung keerluan itu.

BAGIAN II.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

1. Kepala Daerah.

Pasal 44.

(1) Kepala Daerah adalah

a. alat Pemerintah Pusat;

b. alat Pemerintah Daerah.

(2) Sebagai alat Pemerintah Pusat Kepala Daerah:

a. memegang pimpinan kebijaksanaan politik didaerahnya, dengan

mengindahkan wewenang-wewenang yang ada pada. penjabat- pejabat

yang bersangkutan berdasarkan peraturan-peraturan perundangundangan yang berlaku;

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 20 -

b. meylenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan Pemerintah Pusat di

Daerah antara jawatan-jawatan tersebut dengan Pemerintah Daerah;

c. melakukan pengawasan atas jalannya Pemerintah Daerah;


d. menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh

Pemerintah Pusat.

(3) Sebagai alat Pemerintah Daerah, Kepala Daerah memimpin pelaksanaan

kekuasaan eksekutif Pemerintah Daerah biak dibidang urusan rumah-tangga

Daerah maupun dibidang pembantuan.

Pasal 45.

(1) Dalam menjalankan tugas kewenangannya, baik yang terletak dibidang urusan

otonomi maupun dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan, Kepala

Daerah memberikan pertanggungan-jawab sekurang-kurangnya sekali setahun

kepada Dean Perwakilan Rakyat Daerah atau apabila diminta oleh Dewan

tersebut atau apabila dipandang perlu olehnya.

(2) Dalam menjalankan tugas kewnangannya dibidang Pemerintahan Pusat Kepala

Daerah tingkat I bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri dan bagi Kepala Daerah tingkat II dan III kepada Kepala Daerah setingkat

lebih atas.

Pasal 46.

Kepala Daerah mewakili Daerahnya didalam dan diluar pengadilan.

Dalam hal-hal yang dipandan perlu, Kepala Daerah dapat menunjuk seorang kuasa

untuk mewakilinya.

$2. Wakil Kepala Daerah.

Pasal 47.

(1) Wakil Kepala Daerah adalah:

a. alat Pemerintah Pusat;

b. alat Pemerintah Daerah.

(2) Wakil Kepala Daerah membantu Kepala Daerah dalam menjalankan tugas
kewenangannya sehari-hari menurut pedoman yang diberikan oleh Menteri

Dalam Negeri.

(3) Apabila dipandang perlu, Kepala Daerah dapat menyerahkan kepada Wakil

Kepala Daerah untuk atas namanya memberikan keterangan dihadapan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 48.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 21 -

(1) Jika Kepala Daerah tidak dapat melakukan tugas kewenangannya Wakil Kepala

Daerah melakukan tugas kewenangan Kepala Daerah.

(2) Jika Kepala Daerah meninggal dunia atau diperhentikan, Wakil Kepala Daerah

diangkat sebagai penggantinya sampai akhir masa jabatannya, kecuali apabila

penguasa yang berhak mengangkat menentukan lain.

BAGIAN III.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

$1. Peraturan Daerah.

Pasal 49.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan- peraturan Daerah untuk

kepentingan Daerah atau untuk melaksanakan peraturan-perundangan yang lebih

tinggi tingkatannya yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah.

Pasal 50.

(1) Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan-perundangan

yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan umum.

(2) Peraturan Daerah tidak boleh mengandung ketentuan- ketentuan yang


mengatur soal-soal pokok yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang

lebih tinggi tingkatannya.

(3) Peraturan Daerah tidak boleh mengatur hal-hal yang termasuk urusan rumah

tangga Daerah tingkat bawahan dalam wilayahnya.

(4) Ketentuan-ketentuan dalam sesuatu Peraturan Daerah dengan sendirinya tidak

berlaku lagi, bilamana hal-hal yang diatur dalam ketentuan-ketentuan

dimaksud, kemudian diatur oleh peraturan-perundangan yang lebih tinggi

tingkatannya.

Pasal 51.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menetapkan peraturan-perundangan

dengan ancaman pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau dengan

sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) terhadap pelanggaran

peraturan- peraturannya, dengan atau tidak merampas barang-barang

tertentu, kecuali jikalau dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi

tingkatannya ditentukan lain.

(2) Dalam hal pelanggaran ulangan peraturan pidana dimaksud dalam ayat (1),

dalam waktu tidak lebih dari satu tahun sejak dijatuhkan pidana dalam

pelanggaran pertama tidak dapat dirubah lagi maka dapat diancamkan pidana

sampai dua kali maksimum dari pidana yang termaksud dalam ayat (1).

(3) Perbuatan tindak pidana sebagai dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 22 -

(4) Peraturan Daerah yang memuat peraturan pidana tidak dapat berlaku sebelum

disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi peraturan Daerah tingkat I dan oleh
Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi Peraturan Daerah lainnya.

Pasal 52.

Dengan Peralturan Daerah dapat ditunjuk pegawai-pegawai Daerah yang diberi tugas

untuk menyidik pelanggaran ketentuan- ketentuan dari Peraturanj Daerah yang

dimaksud dalam pasal 5 i.

Pasal 53.

Apabila pelaksanaan keputusan-keputusan Daerah memerlukan bantuan alat

kekuasaan, maka dalam Peraturan Daerah dapat ditetapkan, bahwa segala biaya

untuk bantuan itu dapat dibebankan kepada pelanggar.

Pasal 54.

(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan ketentuan- ketentuan tentang

bentuk Peraturan Daerah.

(2) Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan, yang ditetapkan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah harus ditanda tangani juga oleh Kepala Daerah.

(3) Pengundangan Peraturan-peraturan Daerah untuk mendapatkan kekuatan

hukum dan mengikat, dilakukan menurut ketentuan dalam ayat (4) pasal ini.

(4) Pengundangan Peraturan-peraturan Daerah tersebut ayat (3) begitu pula

pengundangan keputusan-keputusan lain yang dipandang perlu, dilakukan oleh

Sekretaris Daerah,dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah tingkat I

bagi Peraturan Daerah tingkat I yang bersangkutan itu dan bagi lain-lain Daerah

dalam wilayahnya.

Jika tidak ada Lembaran Daerah dimaksud, maka pengundangannya dilakukan

menurut cara lain yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Peraturan Daerah mulai berlaku pada hari yang ditentukan dalam peraturan

tersebut atau jika ketentuan ini tidak ada, Peraturan Daerah mulai berlaku
pada hari ke-30 sesudah hari pengundangan termaksud alam ayat (4).

(6) Peraturan Daerah yang tidak boleh belaku sebelum disahkan oleh Penguasa

yang berwajib mengesahkannya, tidak diundangkan sebelum pengesahan itu

diberikan ataupun jangka waktu tersebut dalam pasal 79 berakhir.

$2. Hak Petisi.

Pasal 55.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 23 -

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah dan

penduduknya kepada Pemerintah dan Dewan, Perwakilan Rakyat dengan

sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan.

(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah dan

penduduknya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala

Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dengan sepengetahuan Kepala Daerah

yang bersangkutan.

$3. Melalaikan tugas kewenangan.

Pasal 56.

(1) Jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ternyata melalaikan tugas kewenangan

dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), sehingga merugikan Daerah itu atau

merugikan Negara, maka Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah

menentukan cara bagaimana Daerah itu harus diurus.

(2) Jika hal seperti tersebut dalam ayat (1) terjadi maka sambil menunggu

ditetapkannya Peraturan Pemerintah termaksud dalam ayat (1), tugas

kewenangan Pemerintah Daerah untuk sementara waktu dijalankan oleh Kepala


Daerah yang bersangkutan atas petunjuk Menteri Dalam Negeri.

(3) Apabila berhubung dnegan sesuatu hal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak

dapat menjalankan tugas kewenangannya, dengan petunjuk Menteri Dalam

Negeri Kepala Daerah menjalankan tugas kewenangan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

BAGIAN IV.

Badan Pemerintah Harian.

Pasal 57.

(1) Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian menanda-tangani persetujuan

Kepala Daerah dalam urusan dibidang urusan otonomi dan dibidang tugas

pembantuan dalam pemerintahan.

(2) Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian:

a. memberikan pertimbangan kepada Kepala Daerah, baik diminta maupun

tidak;

b. mendapat bidang pekerjaan tertentu dari Kepala Daerah menurut

pedoman yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dan terhadap itu

mereka bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.

(3) Apabila dipandang perlu, Kepala Daerah dapat menugaskan kepada seorang

anggota Badan Pemerintah Harian untuk atas namanya memberikan keterangan

dan pertanggungan jawab bidang pekerjaannya dihadapan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 24 -

BAB V.
SEKRETARIS DAN PEGAWAI DAERAH.

BAGIAN I.

Ketentuan Umum.

Pasal 58.

Semua Pegawai Daerah, begitu pula pegawai Negeri/Pegawai Daerah lainnya yang

dipekerjakan/diperbantukan kepada Daerah, ada dibawah pimpinan Kepala Daerah.

Pasal 59.

Latihan dan pendidikan pegawai yang bekerja dibawah pimpinan Kepala Daerah

sebagai tersebut pada pasal 58, diatur oleh Menteri Dalam Negeri atau bersama-sama

Menteri Dalam Negeri.

Pasal 60.

Menteri Dalam Negeri mengatur lapangan kariere dari pegawai Daerah, dengan

memperhatikan kepentingan Daerah-daerah yang bersangkutan.

BAGIAN II.

Sekretaris Daerah.

Pasal 61.

(1) Sekretaris Daerah adalah pegawai Daerah yang bagi:

a. Daerah tingkat I dan Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam

Negeri atas usul Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang bersangkutan;

b. Daerah tingkat III diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I atas usul Kepala

Daerah yang bersangkutan.

(2) Kedudukan dan kedudukan keuangan serta syarat-syarat untuk jabatan

Sekretaris Daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai

dengan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.


Pasal 62.

(1) Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Kepala Daerah dalam kedudukannya

dimaksud dalam pasal 44 ayat (1) dan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah serta diberi tugas pula untuk membantu anggota Badan Pemerintah

Harian dalam segala hal untuk kelancaran jalannya pekerjaan yang ditugaskan

kepada mereka seperti dimaksud dalam pasal 57.

(2) Sekretaris Daerah melaksanakan persiapan dengan sebaik-baiknya segala

sesuatu yang akan dimusyawarahkan dan dimufakatkan serta diputus oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 63.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 25 -

Bila Sekretaris Daerah berhalangan menjalankan tugas, maka tugas Sekretaris Daerah

dijalankan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

Pasal 64.

Sekretaris Daerah tidak boleh merangkap jabatan-jabatan lain dan terhadapnya

berlaku larangan-larangan dalam pasal 25 ayat (1)

BAGIAN III.

Pegawai Daerah.

Pasal 65.

(1) Peraturan tentang pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian sementara;

gaji, pensiun, uang tunggu dan hal-hal lain sebagainya mengenai kedudukan

hukum pegawai Daerah, ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh
Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat

lebih atas bagi lain-lain Daerah.

Pasal 66.

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 65, maka pegawai Daerah, kecuali

Sekretaris Daerah, diangkat, diberhentikan untuk sementara oleh Kepala Daerah dan

diberhentikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 67.

(1) Cara dan syarat-syarat menetapkan pekerjaan pegawai Negeri yang

diperbantukan kepada Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan

bagi pegawai Daerah yang diperbantukan kepada Daerah lainnya dalam

Peraturan Daerah dari Daerah yang memperbantukan pegawainya itu.

(2) Pegawai Negeri atau pegawai Daerah yang diperbantukan kepada Daerah digaji

dari keuangan Daerah yang menerima pegawai itu, kecuali apabila dalam

Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) ditetapkan lain.

Pasal 68.

(1) Atas permintaan Kepala Daerah, dengan keputusan Menteri yang bersangkutan

atau Penguasa yang ditunjuk olehnya, dapat dipekerjakan pegawai dalam

lingkungan Departemennya untuk melakukan urusan-urusan tertentu bagi

kepentingan Daerah yang bersangkutan.

(2) Dalam hal tersebut dalam ayat (1), syarat-syarat dan hubungan kerja antara

pegawai yang bersangkutan dengan alat-alat Pemerintah Daerah, sepanjang

diperlukan diatur dalam keputusan termaksud dalam ayat itu.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 26 -
BAB VI

KEUANGAN DAERAH.

BAGIAN I.

$ 1. Sumber-sumber keuangan Daerah.

Pasal 69.

(1) Sumber-sumber keuangan Daerah ialah:

a. hasil perusahaan Daerah dan sebagian hasil Perusahaan Negara;

b. pajak-pajak Daerah;

c. retribusi Daerah;

d. pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah;

e. bagian dari hasil pajak Pemerintah Pusat;

f. pinjaman;

g. dan lain-lain hasil usaha yang sesuai dengan kepribadian Nasional.

(2) Dengan Undang-undang kepada Daerah dapat :

a. diserahkan pajak Negara;

b. diberikan sebagian atau seluruh penerimaan pajak Negara;

c. diberikan sebagian dari pendapatan bea dan cukai;

d. diberikan sebagian dari hasil Perusahaan Negara;

e. diberikan ganjaran subsidi dan sumbangan.

2. Pajak dan retribusi Daerah.

Pasal 70.

(1) Dengan Undang-undang dapat diadakan peraturan pokok tentang pemungutan

pajak dan retribusi Daerah.

(2) Pemerintah Daerah berhak untuk memungut pajak dan retribusi Daerah

menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat


Daerah.

(3) Peraturan pajak dan retribusi Daerah tidak dapat berlaku sebelum disahkan

oleh Penguasa yang berwenang menurut cara yang ditetapkan dalam Undangundang serta dapat
berlaku surut.

(4) Perwakilan atau pembebadan pajak Daerah tidak dilakukan kecuali di dalam

hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam peraturan pajak Daerah yang

bersangkutan.

3. Perusahaan Daerah

Pasal 71.

(1) Pemerintah Daerah berhak mengusahakan kekayaan alam yang ada di

Daerahnya dan wajib mengadakan perusahaan-perusahaan Daerah yang

pengolahannya dilakukan atas azas-azas ekonomi perusahaan.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 27 -

(2) Dalam Undang-undang dapat ditetapkan pokok-pokok peraturan tentang

Perusahaan Daerah.

4. Pinjaman.

Pasal 72.

(1) Pemerintah Daerah dapat mengadakan pinjaman uang atau menanggung

pinjaman uang untuk kepentingan dan atas beban Daerah, dengan ketentuan

bahwa keputusan-keputusan yang bersangkutan itu harus mendapat

pengesahan dari;

a. Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan

b. Kepala Daerah yang setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.


(2) Dalam keputusan untuk mengadakan pinjaman uang itu ditetapkan pula

sumber-sumber untuk pembayaran bunga dan angsuaran pinjaman uang

dimaksud.

(3) Untuk hal-hal dimaksud dalam ayat (1) Menteri Dalam Negeri dapat

mengadakan peraturan-peraturan khusus.

5. Lain-lain hasil usaha.

Pasal 73.

Pemerintah Daerah tidak boleh mengadakan usaha-usaha lain seperti yang dimaksud

dalma pasal 69 sub g yang mengakbitkan beban bagi rakyat, kecuali dengan keputusan

Dean Perwakilan Rkayat Daerah, yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama

Pemerintah bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi

lain-lain Daerah.

Pasal 74.

(1) Barang-barang milik Daerah yang dipergunakan untuk melayani kepentingan

umum tidak dapat dijual, diserahkan hak-haknya kepada fihak lain, dijalankan

tanggungan atau digadaikan, kecuali bilamana telah diputuskan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

(2) Penjualan, peryewaan atau pengepakan barang-barang dimaksud dalam ayat

(1) hanya dapat dilakukan dimuka umum, kecuali bilamana Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah menetapkan hahwa yang demikian itu dapat dlakukan di bawah

tangan.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memutuskan tentang:

a. penghapusan tagihan Daerah, sebagian atau seluruhnya;

b. mengadakan persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai;

c. tindakan-tindakan hukum lain mengenai barang-barang milik Daerah


atau hak-hak Daerah, kecuali mengenai tindakan-tindakan hukum

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 28 -

tertentu yang menurut keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

cukup dilakukan oleh Kepala Daerah.

BAGIAN II.

Pengelolaan dan pertanggungan jawab keuangan Daerah.

Pasal 75.

(1) Pemerintah Daerah memegang semua kekuasaan mengenai pengelolaan

keuangan Daerah, yang dengan peraturan-peraturan Pusat tidak diletakkan

dalam tangan Penguasa lain.

(2) Pekerjaan-pekerjaan yang bersangkutan dengan penerimaan, penyimpanan,

pembayaran atau penyerahan uang, surat-surat bernilai uang dan barangbarang untuk
kepentingan Daerah, atas permintaan Daerah yang bersangkutan

melalui Menteri Dalam Negeri dapat ditugaskan:

a. oleh Menteri Urusan Bank Sentral kepada pegawai Kas Negara;

b. oleh Kepala Daerah tingkat I kepada pegawai kas Daerah tingkat I;

c. kepada sesuatu bank yang ditunjuk oleh Menteri Urusan Bank Sentral,

bersama-sama Menteri Dalam Negeri.

(3) Bila dipandang perlu dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan peraturanperalturan tata-
usaha pengelolaan tentang keuangan Daerah, peraturanperaturan pertanggungan jawab pegawai
yang menjalankan pekerjaanpekerjaan dimaksud dalam ayat (2) dan peraturan tentang pegawai-
pegawai

lain yang telah menimbulkan kerugian pada Daerah.

BAGIAN III.

Anggaran Keuangan Daerah.


Pasal 76.

(1) Pemerintah Daerah tiap-tiap tahun menetapkan anggaran keuangan untuk

Daerahnya.

(2) Anggaran keuangan dimaksud yang dibagi dalam Anggaranj Belanja dan

Anggaran Pendapatan Daerah, begitu pula mengenai tiap-tiap perubahannya

yang tidak dikuasakan sendiri oleh anggaran termaksud, tidak dapat

dilaksanakan sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I

dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah lainnya.

(3) Pemerintah Daerah mengusahakan sedapat-dapatnya menutup anggaran

belanja barang routine dengan penerimaan sendiri

(4) Pengesahan atau penolakan anggaran Daerah, dilakukan terhadap anggaran

termaksud dalam keseluruhannya. Penolakan harus memuat alasan-alasannya.

Pasal 77.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 29 -

Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan dan cara-cara

menyusun:

a. Anggaran Belanja dan Anggaran Pendapatan Daerah;

b. perhitungan atas Angkgaran Belanja dan Anggaran Pendapatan Daerah.

BAB VII.

PENGAWASAN TERHADAP DAERAH. BAGIAN I.

Pengesahand an jangka waktu pengesahan.

Pasal 78.

Dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa sesuatu


keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan

oleh:

a. Menteri Dalam Negeri untuk keputusan Daerah tingkat I;

b. Kepala Daerah tingkat I untuk keputusan Daerah tingkat II dan

c. Kepala Daerah tingkat II untuk keputusan Daerah tingkat III

Pasal 79.

(1) Bila untuk menjalankan sesuatu keputusan Daerah harus ditunggu pengesahan

lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan bagi lain-lain

Daerah dari Kepala Daerah setingkat lebih atas, maka keputusan itu dapat

dijalankan apabila Menteri atau Kepala Daerah yang bersangkutan dalam tiga

bulan terhitung mulai dari keputusan itu diterima untuk mendapat pengesahan,

tidak mengambil keuntungan.

(2) Waktu tiga bulan itu dapat diperpanjang selama-lamanya tiga bulan lagi oleh

Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah tersebut yang memberitahukannya

kepada Daerah yang bersangkutan.

(3) Bila keputusan Daerah tersebut dalam ayat (1) tidak dapat disahkan, maka

Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah memberitahukan hal itu dengan

keterangan-keterangan yang cukup kepada Daerah yang bersangkutan..

(4) Terhadap penolakan pengesahan tersebut dalam ayat (3) Daerah yang

bersangkutan dalam waktu satu bulan terhitung mulai saat pemberitahuan yang

dimaksud diterima, dapat mengajukan keberatan kepada instansi setingkat

lebih atas dari instansi yang menolak.

BAGIAN II.

Pembatalan dan pertangguhan.

Pasal 80.
Keputusan-keputusan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan

umum, Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan

Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dipertangguhkan atau

dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan

oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

Pasal 81.

(1) Menteri Dalam Negeri mempertangguhkan atau membatalkan keputusankeputusan Daerah


dari Daerah-daerah tingkat II dan III yang bertentangan

dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 30 -

kepentingan umum, apabila ternyata Kepala Daerah yang berwenang

menjalankan hak dimaksud dalam pasal 80 tidak melakukannya.

(2) Pembatalan seperti dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah mendengar

Kepala Daerah setingkat lebih atas yang berwenang melakukan pembatalan itu.

Pasal 82.

(1) Pembatalan berdasarkan pertentanagan dengan peraturan perundangan yang

lebih tinggi tingkatannya, menghendaki pula dibatalkannya semua akibat dari

keputusan yang dibatalkan itu, sepanjang akibat itu masih dapat dibatalkan.

(2) Pembatalan berdasarkan pertentangan dengan kepentingan umum hanya

nembawa pembatalan akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan

umum itu.

Pasal 83.

(1) Keputusan pertangguhan atau pembatalan termaksud dalam pasal 81 dan 82


dengan menyebutkan alasan-alasannya diberitahukan kepada Kepala Daerah

yang bersangkutan dalam tempo 15 (lima belas) hari sesudah tanggal putusan

itu.

(2) Lamanya pertangguhan dimaksud dalam ayat (1) disebutkan dalam surat

keputusan yang bersangkutan dan tidak boleh melebihi enam bulan. Pada saat

pertangguhan itu keputusan yang bersangkutan berhenti berlaku.

(3) Apabila dalam tempo tersebut dalam ayat (2) berdasarkan pertangguhan itu

tidak ada putusan pembatalan, maka keputusan Daerah yang bersangkutan

mulai berlaku lagi.

BAGIAN III

Perselisihan mengenai pemerintahan antara Daerah.

Pasal 84.

(1) Perselisihan mengenai pemerintahan antara :

a. Daerah-daerah tingkat I atau antara Daerah tingkat I dengan Daerah

tingkat lainnya, dan antara Daerah-daerah yang tidak terletak dalam

satu wilayah Daerah tingkat I, diputus oleh Menteri Dalam Negeri.

b. Daerah-daerah di bawah tingkat I yang sama tingkatannya dan terletak

dalam satu wilayah Daerah tingkat I, diputus oleh Kepala Daerah tingkat

I yang bersangkutan apabila mengenai perselisihan antara Daerahdaerah tingkat II, atau oleh
Kepala Daerah tingkat II yang bersangkutan,

apabila mengenai perselisihan antara Daerah tingkat III yang terletak

dalam satu wilayah Daerah tingkat II.

c. Daerah dengan Daerah setingkat lebih atas atau antara Daerah-daerah

tingkat III yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat II yang berlainan

tetapi terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat 1, diputus oleh Kepala
Daerah tingkat I.

(2) Keputusan termaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada Daerah-daerah yang

bersangkutan.

BAGIAN IV.

Penyelidikan dan pemeriksaan oleh Pemerintah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 31 -

Pasal 85.

(1) Bagi kepentingan umum, Menteri Dalam Negeri atau pegawai Pemerintah Pusat

yang bertindak atas namanya, berhak mengadakan penyelidikan dan

pemeriksaan tentang segala sesuatu mengenai pekerjaan mengurus rumahtangga Daerah maupun
mengenai tugas pembantuan oleh Pemerintahan

Daerah.

(2) Ketentuan tersebut dalam ayat (1) berlaku juga bagi sesuatu Daerah terhadap

Daerah yang lebih rendah tingkatannya dalam wilayahnya.

Pasal 86.

(1) Untuk kepentingan pengawasan, maka Pemerintah Daerah wajib memberikan

keterangan-keterangan yang diminta oleh Pemerintah Daerah setingkat lebih

atas atau oleh Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila Pemerintah Daerah menolak memberikan keterangan yang dimaksud

pada ayat (1) pasal ini, Menteri Dalam Negeri mengambil tindakan yang

dianggap perlu.

BAGIAN V.

Pengumuman.
Pasal 87.

Tiap-tiap keputusan mengenai pembatalan ataupun perselisihan mengenai

Pemerintah antara Daerah-daerah seperti termaksud dalam Bagian

II dan III Bab ini, diumumkan dalam Berita-Negara Republik

Indonesia atau menurut cara termaksud dalam pasal 54 ayat (3).

Kepala Daerah yang bersangkutan mengumjmkan pula keputusan tersebut Daerahnya.

BAB VIII.

Peraturan Peralihan.

Pasal 88.

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka:

a. "Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta" yang berhak

mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undangundang No. 1 tahun 1957
serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan

Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 adalah

"Propinsi" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub a Undang-undang ini.

b. "Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya" yang menurut Undang-undang No.

10 tahun 1964 disebut Jakarta adalah "Kotaraya" termaksud pada pasal 2

Undang-undang ini yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri berdasarkan
Penpetapan Presiden No. 2 tahun 1961

dengan mengingat perubahan-perubahan yang timbul karena berlakunya

Undang-undang ini.

c. "Daerah-daerah Kotapraja" yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri


berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 adalah

"Kotamadya" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub b Undang-undang ini.

d. "Daerah Tingkat II" yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri
berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 adalah

"Kabupaten" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub b Undang-undang ini.


PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 32 -

(2) a. Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan

mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam pasal 18 Undangundang Dasar yang masih
diakui dan berlaku hingga sekarang atau

sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga

dihapuskan;

b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Jogyakarta

yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa

Yogjakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan

dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).

(3) Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau dejure sampai pada saat

berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah

atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan hapus.

Akibat-akibat dan kesulitan yang timbul diatur oleh Menteri Dalam Negeri atau

Penguasa yang ditunjuk olehnya dan apabila dipandang perlu diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 89.

(1) Segala peraturan pelaksanaan yang ditetapkan berdasarkan peralturanperundangan yang


dimaksud dalam PERTAMA Undang-undang ini, yang tidak

bertentangan dengan isi dan maksud Undang-undang ini, tetap berlaku selama

belum dicabut atau diganti.

(2) Selama berdasarkan Undang-undang ini belum dapat ditetapkan sesuatu


peraturan-perundangan yang bersangkutan begitupun bilamana peraturanperundangan lama
dimaksud dalam ayat (1) diatas belum pula mengaturnya,

maka segala sesuatu dijalankan menurut instruksi-instruksi dan petunjukpetunjuk yang ada atau
yang dapat diadakan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3) Selama kekuasaan pemerintahan di Daerah yang dibentuk berdasarkan Undangundang ini
belum diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah menurut Undangundang ini, maka kekuasaan
tersebut dijalankan oleh Pemerintah Daerah yang

ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini.

BAB IX.

PERATURAN PENUTUP.

Pasal 90.

(1) Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah".

(2) Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan

Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta.

pada tanggal 1 September 1965.

Presiden Republik Indonesia.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 33 -

SUKARNO.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 1 September 1965.

Sekretaris Negara,

MOHD ICHSAN
PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 34 -

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG No. 18 TAHUN 1965

tentang

POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH.

I. UMUM.

Berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan setelah Dekrit Presiden Republik

Indonesia tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali Undang-undang

Dasar, maka Undang-undang ini disusun untuk melaksanakan pasal 18 Undang-undang

Dasar dengan berpedoman kepada Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garisgaris
Besar Haluan Negara yang dipidatokan Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959

dan telah diperkuat oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.

I/MPRS,/ 1960 bersama dengan segala pedoman pelaksanaannya.

Sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.

II/MPRS/1960 dan Keputusan Presiden No. 514 tahun 1961, maka Undang-undang ini

mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari Undang-undang No.

22 tahun 1948, Undang-undang No. I tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun

1959 (disempurnakan), Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 dan Penetapan Presiden

No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965

dengan maksud dan tujuan berdasarkan gagasan Demokrasi Terpimpin dalam rangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan berlakunya satu saja Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan


Daerah ini, maka dapatlah diakhiri kesimpangsiuran dibidang hukum yang menjadi

landasan bagi pembentukan dan penyusunan Pemerintahan Daerah dan dapat diakhiri

pula segala kelemahan demokrasi liberal, sehingga akan terwujudlah Pemerintahan

Daerah yang memenuhi sifat-sifat dan syarat-syarat yang dikehendaki oleh Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960 yaitu stabil dan

berkewibawaan mencerminkan kehendak rakyat, revolusioner dan gotong royong,

serta terjaminnya keutuhan Negara, Kesatuan Republik Indonesia.

Sejiwa dengan Ketetapan M.P.R.S. dimaksud diatas, bertepatan dengan saat mulai

berlakunya Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ini, maka

dicabut.

1. Undang-undang No. I tahun 1957,

2. Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan),

3. Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960, dan

4. Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan

Presiden No. 7 tahun 1965.

Pelaksanaan Undang-undang ini harus berarti terwujud pula pelaksanaan

Pembentukan Daerah-daerah tingkat III sebagai Daerah-daerah tingkatan terendah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 35 -

Undang-undang ini berkehendak membagi habis seluruh Negara Republik Indonesia

dalam tiga tingkatan Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri (Otonomi).

Dengan terbaginya seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam Daerah-daerah

yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri itu, tidak seharusnya
ada lagi Daerah lain selainnya hanya wilayah administratif saja. Daerah tingkat III

akan menggantikan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sesuai dengan pedoman

pelaksanaan Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, termuat pada § 392 No. 1 angka 4,

dengan atau tanpa melalui Desapraja sebagai masa peralihan.

Dalam pada itu, untuk menampung masa peralihan, ditetapkan, bahwa sejak saat

mulai berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan-perundangan yang telah

ditetapkan berdasar kan Undang-undang No. I tahun 1957 dan Penetapan Presiden No.

6 tahun 1959 (disempurnakan), Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 dan Penetapan

Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 tahun

1965, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini berlaku terus, hingga

dirubah, dicabut atau diganti dengan peraturan-peraturan baru berdasarkan Undangundang ini.

Demikian pula ditetapkan, bahwa selama berdasarkan Undang-undang ini, belum

dapat ditetapkan sesuatu peraturan-perundangan yang diperlukan, begitupun

bilamana peraturan-perundangan lama dimaksud dimuka belum pula mengaturnya,

maka segala sesuatu dijalankan menurut instruksi-instruksi dan petunjuk-petunjuk

yang ada atau yang dapat diadakan oleh Menteri Dalam Negeri.

Dalam rangka membagi habis seluruh wilayah Indonesia dalam Daerah-daerah besar

dan kecil, Undang-undang ini menentukan hanya ada tiga tingkatan Daerah, yaitu

tingkat I, tingkat II dan tingkat III yang semuanya mempunyai bentuk-bentuk susunan

pemerintahan berdasarkan Undang-undang ini. Oleh karena tingkat III yang terendah

itu nantinya akan harus menggantikan semua kesatuan masyarakat hukum, maka

sejak semula dalam pembentukan Daerah tingkat III itu sudah harus diperhitungkan

unsur-unsur keaslian yang terdapat dibagian-bagian wilayah Indonesia baik dalam

kehidupan kegotong-royongan dalam pemerintahan maupun dalam bidang

kebudayaan, sehingga dapat diperkembangkan untuk menyempurnakan kepribadian


nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Manifesto Politik

Republik Indonesia berlandaskan Undang-undang Dasar, Sosialisme Indonesia,

Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional.

Semua Daerah, yang dewasa ini telah terbentuk, mengembangkan sejarahnya dengan

haluan baru dan landasan hukum yang lebih kuat dan kokoh untuk menunaikan tugas

sejarahnya turut membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur memenuhi

Amanat Penderitaan Rakyat.

Sesuai dengan lambang Negara Bhineka Tunggal Ika, maka dalam rangka pembentukan

Daerah-daerah yang mengandung bentuk-bentuk kekhususan yang baik, unsur Negara

Kesatuan yang kuat harus merata dan mendalam, karena itu maka dalam Undangundang perlu
diadakan jaminan-jaminan esensialia, yaitu:

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 36 -

a. pemusatan pimpinan pada Kepala Daerah yang juga diharapkan menjadi

Sesepuh Daerah dibantu secara aktif oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan

Pemerintah Harian;

b. adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang susunannya mencerminkan

kegotong-royongan nasional revolusioner dipimpin oleh Ketuanya sendiri

bersama-sama dengan Wakil-wakil Ketua yang berporoskan Nasakom, yang

menjalankan tugas kewajibannya menurut demokrasi terpimpin atas dasar

hikmah kebijaksanaan musyawarah mencapai kata mupakat dengan

mempertanggung-jawabkan tugas kewajibannya kepada Kepala Daerah;

c. menjunjung tinggi Kepribadian Bangsa Indonesia dengan memusatkan pimpinan

pada Sesepuh dimaksud diatas, yang memiliki kecakapan dan kebijaksanaan


untuk menjalankan pemerintahan, berbudi luhur dan berkewibawaan serta

berpengalaman yang cukup untuk kedudukannya sebagai tampuk pimpinan

Daerahnya;

d. pimpinan yang mendapat kepercayaan rakyat sebagai Kepala Daerah, yang

membimbing semua instansi-instansi dan lembaga-lembaga pemerintahan yang

bekerja di Daerahnya dengan kegiatan mereka dalam bidang pemerintahan dan

yang menghubungkan serta membimbing aktivitas itu dengan daya kerja yang

tumbuh atau dapat ditumbuhkan dalam masyarakat, yang mengayomi dan

menjalankan tugas kewajibannya memelihara kepentingan, keamanan serta

ketertiban umum dan memajukan kesejahteraan rakyat dengan menerima

kepercayaan dari Presiden;

e. pemerintahan yang stabil, berkewibawaan, mencerminkan kehendak rakyat,

revolusioner dan bergotong-royong, yang mendapat kepercayaan dan amanat

dari Pemerintah Pusat;

f. pengawasan yang efektif dan effisien;

g. berlandasakan prinsip berdaulat dalam bidang politik, berdiri diatas kaki

sendiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

II. BENTUK SUSUNAN PEMERINTAH DAERAH.

Dalam sistematik Undang-undang ini, bentuk susunan Pemerintah Daerah mengikuti

sedapat mungkin bentuk dan susunan Pemerintah Pusat.

Di Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Kepala Negara hanya mengenal

pertanggungan jawab secara pribadi yang ber-Panca Sila kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Mengingat akan sistim itu maka badan executif

Pemerintahan Daerah, yang dahulu menurut sistematik Undang-undang No. 1 tahun

1957 terdiri dari Dewan Pemerintah Daerah dengan Kepala Daerah sebagai Ketua dan
anggota, dan yang anggota-anggotanya bersama-sama harus memberikan

pertanggungan jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan garisgaris besar
Manipol-Usdek harus ditinggalkan dan kekuasaan pemerintahan di Daerah

diletakkan dalam tangan Kepala Daerah dan dibantu oleh Wakil Kepala Daerah serta

Badan Pemerintah Harian.

Untuk menjamin kelangsungan kesatuan Negara serta adanya pimpinan nasional,

maka perlu kedudukan Kepala Daerah itu diperkuat dan diberi fungsi yang penting

sekali, bukan saja menjadi pusat daya upaya kegiatan Pemerintah Daerah yang

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 37 -

bergerak dibidang urusan rumah tangga Daerah, tetapi yang juga menjadi mata rantai

yang kuat dalam organisasi Pemerintah Pusat. Maka dari itu Kepala Daerah bukan saja

merupakan pimpinan Pemerintah Daerah, tetapi Kepala Daerah itu juga merupakan

alat Pemerintah Pusat dan sebagai orang kepercayaan Presiden.

Kalau Kepala Negara tidak dapat lagi dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka

sudah sewajarnya pula bahwa Kepala Daerah itu tidak boleh lagi ditumbangkan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar dengan jalan demikian itu dapat diciptakan

suatu kekuatan sentral di Daerah yang riil, berkewibawaan dan tidak mudah goyah

atas desakan-desakan golongan-golongan masyarakat di Daerah dan tidak saja akan

memberikan perlindungan atau pengayoman kepada rakyat pada umumnya, tetapi

juga kompeten untuk menjalankan pemerintahan yang berguna bagi kepentingan

bersama dari pada rakyat Daerah.

Dalam konstruksi ini unsur demokrasi tetap mempunyai peranan yang penting sekali,

tetapi bukan demokrasi liberal namun demokrasi terpimpin yang tidak lagi didasarkan
atas faham trias politika. Kepala Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah menjalankan tugas wewenang pemerintahan dibidang legislatif tetapi

dibidang pemerintahan eksekutif Kepala Daerah itu dalam menjalankan pemerintahan

sehari-hari dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan sebuah badan yang dinamakan

Badan Pemerintah Harian dan ia senantiasa mengadakan musyawarah dengan

anggota-anggota badan tersebut.

Ditinjau dari keseluruhanhya, Kepala Daerah - seperti telah diuraikan dimuka - bukan

saja merupakan pimpinan Pemerintah Daerah yang berhak mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri, tetapi juga merupakan alat Pemerintah Pusat.

Dengan demikian, maka akan terdapat suatu keseimbangan yang harmonis antara

Pusat dan Daerah, dimana Daerah akan lebih mendekati Pusat dan tidak dapat

dilepaskan dari hubungan Pusat, sebaliknya pula Pusat tidak dapat lepas dari Daerah.

Memelihara keseimbangan yang harmonis itu adalah suatu kewajiban Kepala Daerah

yang menurut Manifesto Politik Republik Indonesia adalah seorang tetua yang tidak

"mendiktatori" tetapi "memimpin", "mengayomi".

Seperti dinyatakan diatas, sebagai salah satu jaminan esensialia, Kepala Daerah wajib

memiliki kecakapan dan kebijaksanaan untuk menjalankan pemerintahan dalam arti

kata yang luas, baik dalam bidang administrasi Negara, maupun dalam bidang

ekonomi dan sosial, yang tetap sejurusan dengan garis kebijaksanaan umum

Pemerintah Pusat.

Dalam pelaksanaan memimpin dan mengayomi itu, Kepala Daerah melakukan

kebijaksanaan pertama-tama dengan mentaati dan menjalankan peraturan-peraturan

yang berlaku sebagai kewajibannya menurut hukum, sebagai "rechtsplicht" baginya,

dalam pada itu merupakan "rechtsplicht" baginya pula untuk memelihara keamanan

dan ketertiban umum (tata tentram) sebagai dasar untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (kerta raharja) dengan kebijaksanaan yang senantiasa harus sejurusan

dengan kebijaksanaan umum, Pemerintah Pusat dan dengan demikian mempertegak

kewibawaan Pemerintah. Setiap kali terasa ada divergensi ataupun pertentangan

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 38 -

antara kedua kewajiban menurut hukum itu, kebijaksanaan, merupakan unsur pokok

yang menjadi persoalan, seperti dalam hal Kepala Daerah menganggap ada

kepentingan yang lebih besar atau lebih luas yang perlu diperhitungkan atau untuk

memenuhi instruksi atasan, padahal dihadapi kenyataan, bahwa peraturan

perundangan yang berlaku tidak atau belum dapat memberikan fungsinya sebagai

dasar untuk sesuatu tindakan, lebih-lebih apabila kebijaksanaan yang menurut

keyakinan Kepala Daerah harus ditempuh, ada bertentangan dengan bunyinya sesuatu

peraturan atau ketentuan dan dalam hubungan itu tindakan atau keputusannya

menggeser tempat garis pemisah antara administrasi dan kepidanaan.

Maka dapatlah difahami, bahwa dalam menilai pelaksanaan tugas, kewajiban dan

kewenangan serta tanggung jawab seorang Kepala Daerah, unsur kebijaksanaan perlu

diakui dan diperhatikan sebagai unsur pokok. Keharusan yang demikian itu wajib

diinsyafi serta dipertimbangkan dan diperhitungkan oleh masyarakat dan oleh

instansi-instansi pemerintahan, terutama instansi-instansi yang mempunyai wewenang

menyidik, guna memelihara kewibawaan Pemerintah yang berarti pula memelihara

kewibawaan instansi-instansi itu sendiri.

Dengan demikian, maka tanggung jawab Kepala Daerah yang amat besar dan luas itu,

bisa mendapat penilaian yang wajar. Dari sebab tanggung jawab dan kekuasaan yang

diletakkan dalam tangan Kepala Daerah itu adalah besar sekali, maka sudah
selayaknya bilamana tanggung jawab ini perlu diimbangi pula dengan syarat-syarat

tertentu bagi pengangkatan seorang Kepala Daerah.

Oleh karena Kepala Daerah merupakan seorang oknum terpenting dalam daerahnya,

maka untuk jaminan-jaminan adanya kepercayaan rakyat Daerah kepada diri seorang

Kepala Daerah haruslah Kepala Daerah itu diangkat oleh Pemerintah Pusat dari caloncalon,
sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat, yang diajukan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

Perlu dijelaskan lagi disini, bahwa Badan Pemerintah Harian itu merupakan pembantu

Kepala Daerah, memberi nasehat kepada Kepala Daerah, diminta atau tidak diminta.

Dengan memperhatikan yang dimuat dalam penjelasan Undang-undang Dasar, bahwa

meskipun kedudukan Menteri Negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi

mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena Menteri-menterilah yang terutama

menjalankan kekuasaan Pemerintah (pouvoir executief) dalam praktek, dilihat dari

hubungan tata-kerja, dalam fungsi Badan Pemerintah Harian membantu Kepala

Daerah itu ada segi-segi, yang dapat dipandang sama seperti hubungan dan tata-kerja

para Menteri dipucuk pimpinan Pemerintah Pusat. Badan tersebut membantu

sepenuhnya seluruh tugas yang merupakan tugas wewenang Daerah dibidang

perumah-tanggaan Daerah dan dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan.

Dalam hubungan ini perlu diperhatikan, bahwa pimpinan Pemerintahan Pusat,

Presiden dibantu oleh Menteri-menteri.

Menteri itu menerima tugas pekerjaan tertentu dari Presiden dan Presiden sendirilah

yang bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak kepada

Dewan Perwakilan Rakyat.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 39 -

Dalam pada itu, bilamana Presiden menganggap perlu, maka Presiden dapat

menunjuk seorang Menteri untuk atas namanya memberikan keterangan mengenai

bidang tugas kewajibannya dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat.

Kedudukan dan hubungan tata kerja pejabat-pejabat di Pusat dalam hal ini, adalah

juga dimiliki oleh Kepala Daerah dan anggota-anggota Badan Pemerintah Haian.

Kepala Daerah dalam menjalankan kebijaksanaan pemerintahan sehari-harinya

memberikan keterangan pertanggungan jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tidak berhak menjatuhkan

Kepala Daerah.

Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian oleh Kepala Daerah dengan tidak merusak

pertalian hierachie yang ada antara Kepala Daerah dan Sekretariat Daerah serta

Kepala-kepala Dinas Daerah,diberi masing-masing bidang pekerjaan tertentu dari

keseluruhan pekerjaan yang termasuk urusan rumah tangga Daerah serta urusan tugas

pembantuan dan mereka masing-masing bertanggung jawab hanya kepada Kepala

Daerah.

Kepala Daerah dapat juga memberi tugas kepada anggota Badan Pemerintah Harian

untuk memberikan keterangan-keterangan tentang tugas pekerjaan yang dibebankan

kepadanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sudah barang tentu Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, sudah barang tentu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu

tidak dapat pula menjatuhkan anggota Badan Pemerintah Harian yang bersangkutan

itu.

Mengingat berat dan luas tugas pekerjaan Kepala Daerah pada umumnya, dengan

mengingat pula perkembangan dan keadaan dalam Daerah serta kegiatan-kegiatan

dibidang pembangunan untuk mengejar ketinggalan dalam kemajuan jaman sebagai


akibat tiga abad penjajahan bangsa asing, disamping telah ada Badan Pemerintah

Harian yang membantu pekerjaan Kepala Daerah, Pemerintah masih memandang

perlu untuk mengangkat seorang Wakil Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah ini tidak

saja mewakili Kepala Daerah jika ia berhalangan, tetapi pejabat tersebut harus

membantu Kepala Daerah dengan menjalankan bagian-bagian tugas wewenang Kepala

Daerah itu yang ditentukan olehnya.

Dengan adanya Wakil Kepala Daerah itu tidak berarti, bahwa pimpinan pemerintahan

Daerah lalu berada dalam dua tangan. Yang mempunyai kewenangan dan tanggung

jawab penuh adalah tetap Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah bukan saja pembantu

Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai pimpinan Pemerintah Daerah Otonom,

tetapi juga dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat.

Perlu mendapat perhatian, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai ketuanya

sendiri, sehingga Kepala Daerah tidak menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dan bahwa Wakil Kepala Daerah bukanlah Wakil Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Dalam pada itu hubungan dan pertanggungan jawab Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah kepada instansi atasan perlu melalui Kepala Daerah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 40 -

Dengan berlakunya Undang-undang baru ini dapatlah diakhiri keadaan yang kurang

menyenangkan yang disebabkan, karena masih tetap berlangsungnya akibat-akibat

yang ditimbulkan dualisme dalam sistim Undang-undang No. 1 tahun 1957. Dengan

peraturan baru ini di Daerah ada satu Sekretariat yaitu yang dinamakan Sekretariat

Daerah, yang tidak saja meliputi administrasi tugs wewenang Kepala Daerah sebagai

pimpinan Pemerintah Daerah dan alat Pemerintah Pusat tetapi juga meliputi
administrasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sekretariat Daerah dikepalai oleh seorang Sekretaris Daerah langsung dibawah

pimpinan Kepala Daerah.

III. URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH DAN URUSAN TUGAS PEMBANTU

(desentralisasi hak otonomi dan medebewind).

Tentang hak otonomi Daerah kiranya tidak perlu diragu-ragukan, bahwa Pemerintah

akan terus dan konsekwen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju

kearah tercapainya desentralisasi teritorial yaitu meletakkan tanggung jawab

teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan Pemerintah Daerah, disamping

menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital.

Melanjutkan politik yang demikian ini berarti melanjutkan segala usaha penyerahan

c.q. pemberian hak-hak kepada Daerah da kepada alat Pemerintah Pusat di Daerah.

Akibatnya ialah, bahwa urusan-urusan yang kini masih ada dalam kekuasaan atau

termasuk kewenangan Pemerintah Pusat secara berangsur-angsur harus dialihkan

menjadi tugas dan kewenangan Daerah (disentralisir). Sudah barang tentu tindakantindakan
penyerahan tugas wewenang kepada Daerah itu harus diimbangi dengan

keuangan yang diperlukan.

Undang-undang No. 6 tahun 1959 tetap akan merupakan pedoman dan dasar untuk

menuju kearah realisasi politik desentralisasi.

Dengan demikian urusan-urusan yang kini termasuk tugas wewenang Pemerintah Pusat

semakin lama akan semakin banyak beralih menjadi tugas wewenang Daerah.

Dalam pasal 39 ayat (1) telah ditentukan bahwa Pemerintah Daerah berhak mengatur

dan mengurus rumah tangga Daerahnya.

Kelihatannya memang nampak jelas, tegas dan terang apa tugas wewenang

Pemerintah Daerah itu, tidak lain yaitu mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya. Akan tetapi bilamana dipikirkan betul-betul secara lebih panjang dan

lebih mendalam, ternyata bahwa ketentuan yang kelihatannya mudah dimengerti itu

mengandung banyak sekali kesukaran dan kesulitan.

Memang ketentuan ini tidak boleh dibaca lepas dari hubungan-hubungan dengan

ketentuan-ketentuan lain yang bersama-sama merupakan suatu sistim yang dapat

dikatakan baik sekali.

Pertanyaan-pertanyaan yang timbul ialah :

a. apakah sebetulnya yang dimaksud dengan urusan rumah tangga Daerah itu,

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 41 -

b. apakah isi urusan rumah tangga Daerah,

c. apakah Pemerintah Daerah bebas dalam mengatur dan mengurus rumah tangga

Daerahnya dan

d. bilamna atidak bebas, dimana letak batas-batasnya.

Kesulitan dan kesukaran itu timbul oleh karena :

1. Daerah-daerah otonom itu bukanlah merupakan badan-badan kesatuan

pemerintahan yang kita warisi dari zaman yang lampau, tetapi adalah badanbadan pemerintahan
yang diciptakan dengan Undang-undang Nasional sesudah

berdirinya Negara Republik Indonesia dalam tahun 1945,

2. adanya Daerah-daerah yang bertingkatan kedudukannya sehingga Daerah yang

mempunyai tingkatan lebih rendah, wilayahnya merupakan bagian pula dari

pada Daerah yang lebih atas tingkatannya,

3. wilayah Daerah itu merupakan juga bagian wilayah Negara.

Walaupun tidak memberikan ketegasan yang pasti tentang arti urusan rumah tangga
namun sebagai pangkal bertolak perlu diadakan ketentuan yang termaktub dalam

pasal 39 ayat (1) itu, oleh karena dipelosok-pelosok wilayah negara yang demikian

luasnya itu memang terdapat banyak dan bermacam jenis urusan-urusan yang

mungkin terluput dari perhatian Pemerintah Pusat dan karena itu mendapat perhatian

dan pengurusan Daerah yang bersangkutan; pangkal bertolak yang mengandung

prinsip, bahwa hal-hal yang dapat diselesaikan setempat dan tidak mempengaruhi

keadaan umum atau kepentingan Nasional, sebaiknyalah diurus dan diatur oleh

Pemerintah setempat.

Tetapi oleh karena Daerah yang kecil itu, wilayahnya merupakan bagian wilayah dari

pada Daerah yang lebih besar dan pula merupakan juga bagian wilayah Negara, dan

jika diperhatikan pula, bahwa menurut Undang-undang ini ada tiga jenis Daerah yang

bertingkatan, maka diwilayah Daerah yang terkecil itu sama-sama bekerja empat

jenis pemerintahan dalam bidang yang sama, yaitu sama-sama mengatur dan

mengurus kepentingan rakyat dalam wilayah Daerah yang terkecil itu.

Berhubung dengan itu maka untuk menghindarkan kesimpang-siuran wewenang antara

Daerah satu dengan Daerah lain yang lebih tinggi atau lebih rendah tingkatannya,

begitu pula antara Daerah dan Negara, perlu diadakan ketentuan-ketentuan lain

untuk memelihara dan menyalurkan hubungan yang baik dan harmonis antara Daerahdaerah satu
dengan yang lainnya dan antara Daerah dan Negara, yaitu :

a. Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan

yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan umum;

b. Peraturan Daerah tidak boleh mengandung ketentuan-ketentuan yang

mengatur soal-soal pokok yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang

lebih tinggi tingkatannya,

c. Peraturan Daerah tidak boleh mengatur hal-hal yang termasuk urusan rumah
tangga Daerah bawahan dalam wilayahnya;

d. Ketentuan-ketentuan dalam sesuatu Peraturan Daerah dengan sendirinya tidak

berlaku, bilamana hal-hal yang diatur dalam ketentuan-ketentuan dimaksud,

kemudian diatur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi tingaktannya;

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 42 -

(a sampai dengan d lihat pasal 50);

e. dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa

sesuatu keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku

sebelum disahkan oleh Pemerintah atasan (pasal 78), dan

f. keputusan-kpeutusan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan

kepentingan umum, Undang-undang, Peraturan atau Peraturan Daerah yang

lebih tinggi tingkatannya dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh

Pemerintah atasan (pasal 80).

Walaupun demikian masih pula belumlah diperoleh suatu gambaran yang jelas apakah

yang dimaksud dengan urusan rumah tangga Daerah itu dan belumlah diketahui

apakah isi rumah tangga Daerah.

Masalah ini memang dalam praktek telah menimbulkan pula banyak kesukarankesukaran dan
persoalan-persoalan juridis yang tidak mudah dapat dicari cara

penyelesaiannya yang memuaskan, khusus di Negara yang masih muda usia seperti

Republik Indonesia.

Untuk menggambarkan betapa sukarnya menentukan isi dan batas-batas urusan rumah

tangga Daerah, ada baiknya bilamana dalam penjelasan Undang-undang yang sekarang

ini dimuat kembali apa yang dijelaskan dalam "Penjelasan Umum" Undang- undang
No. I tahun 1957 dahulu mengenai masalah yang bersangkutan ini dan yang berbunyi

sebagai berikut:

"BAGIAN UMUM".

Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ini bermaksud untuk

mengatur sebaik-baiknya sosl-soal yang semata-mata terletak dalam lapangan

"otonomi" dan "medebewind" diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sesuai

dengan maksud pasal 131 Undang-undang, Dasar Sementara yang berarti juga akan

merobah prinsip cara-cara pemerintahan bentuk lama.

Pada umumnya soal-soal tersebut diatas tidak dapat dipisahkan dari soal-soal pokok,

yaitu bagaimanakah bentuk Negara yang dihadapi dan bagaimanakah keadaan

sesungguhnya dalam pelbagai masyarakat dalam Negara itu. Kita telah menciptakan

yang meliputi kepentingan seluruh wilayah Negara Kesatuan itu dan seluruh bangsa

yang merupakan bangsa kesatuan itu.

Pemusatan yang dimaksud mempunyai dua segi:

1. segi tugas bagi Negara Kesatuan itu terhadap kepentingan-kepentingan yang

dipusatkan itu,

2. segi pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan-kepentingan rakyat

setempat, yang walaupun sifatnya hanya setempat, akan tetapi karena

penjaringannya dengan lain-lain kepentingan umum, ditinjau dari kesatuan

Negara dan Bangsa.

Mengenai keadaan yang sesungguhnya dalam masyarakat, maka soal itu dapat

mengenai beberapa segi pula, umpamanya : susunan masyarakat, ikatan-ikatan

kemasyarakatan seperti ikatan kedaerahan, ikatan adat-istiadat, ikatan kebudayaan

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 43 -

umumnya, sifat dan tingkat perekonomian dalam masyarakat itu, tingkat

kecerdasannya dan yang tidak boleh pula dilupakan akhlak umum, yang membedakan

satu masyarakat dari masyarakat yang lain itu.

Juga lain-lain faktor dapat mempengaruhi hidupnya kemsyarakatan itu, umpamanya:

tempat geografinya, corak buminya yang menentukan kemungkinan-kemungkinan

saluran perhubungannya dan dalam perjalanan waktu pelbagai perkembangan dalam

lapangan tekhnik.

Ad. 1.

Dari gambaran pikiran yang tersimpul pada keterangan umum itu, dapatlah kita

pahamkan, bahwa otonomi yang dapat diserahkan kepada sesuatu lingkungan

masyarakat yang tertentu itu terbatas kepada pengertian urusan Pusatkah atau

kepentingan Pusatkah soal yang dihadapi dan jika jawabannya tidak menurut

kebijaksanaan Pusat itu, maka soal itu adalah urusan Daerah semata-mata.

Tentu dalam Negara Hukum seperti sifat Negara kita ini, yaitu dalam arti hukum

tertulis, jika mengenai pembagian kekuasaan itu, maka kebijaksanaan yang dimaksud

itu dalam pokok-pokoknya perlu disalurkan dalam peraturan-peraturan perundangan,

sehingga yang tidak dimaksudkan dalam peraturan-peraturan perundangan, tersebut

itulah yang menjadi lapangan kebijaksanaan benar.

Dalam istilah hukum, yang dipakai dalam Undang-undang ini, urusan dan kepentingan

Pusat yang tidak diatur itu dengan secara tertulis, dinamakan kepentingan umum.

Jika kita telah mengerti, apa yang dimaksud dengan urusan Pusat, yaitu segala apa

yang menurut peraturan ditugaskan sendiri oleh Pusat kepada dirinya dan apa yang

disebut kepentingan umum, sebagai tadi tersebut diatas, maka nyatalah bahwa yang

selebihnya itu termasuk kepada pengertian otonomi bagi kesatuan masyarakat dalam
Negara itu.

Teranglah kepada kita, bahwa pembagian kekuasaan yang sedemikian itu bukan

pembagian yang isinya dapat diperincikan satu persatu.

Pada azasnya memang tidak mungkin untuk menetapkan secara tegas tentang urusan

"rumah tangga daerah" itu, hal mana terutama disebabkan karena faktor-faktor yang

terletak dalam kehidupan masyarakat Daerah itu sendiri yang merupakan suatu hasil

dari pertumbuhan pelbagai anasir dalam masyarakat itu dan yang dalam

perkembangannya akan mencari jalan keluar sendiri.

Kehidupan kemasyarakatan itu adalah penuh dengan dinamika, dan terbentanglah

dimukanya lapangan dan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas, disebabkan

bertambahnya dan berkembangnya perhubungan manusia yang satu dengan yang lain,

dan demikian pula kesatuan-kesatuan masyarakat yang satu dengan yang lain.

Dengan berpegangan kepada pokok pikiran itu, maka pemecahan perihal dasar dan isi

otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang riil, yang

nyata, sehingga dengan demikian dapatlah kiranya diwujudkan keinginan umum

dalam masyarakat itu.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 44 -

Sistim ketatanegaraan yang terbaik untuk melaksanakan tujuan tersebut ialah sistim

yang bersesuaian dengan keadaan dan susunan masyarakat yang sewajarnya itu.

Karena itu perincian yang tegas, baik tentang urusan rumah tangga Daerah, maupun

mengenai urusan-urusan yang termasuk tugas Pemerintah Pusat, tidak mungkin dapat

diadakan, karena perincian yang demikian itu tidak akan sesuai dengan daya

perkembangan kehidupan masyarakat, baik di Daerah maupun di Pusat. Negara.


Urusan yang tadinya termasuk lingkungan Daerah, karena perkembangan keadaan

dapat dirasakan tidak sesuai lagi apabila masih diurus oleh Daerah itu, disebabkan

urusan tersebut sudah mengenai kepentingan yang luar dari pada Daerah itu sendiri.

Dalam keadaan yang demikian itu urusan tersebut dapat beralih menjadi urusan dari

Daerah yang lebih atas tingkatannya atau menjadi urusan Pemerintah Pusat, apabila

hal tersebut dianggap mengenai kepentingan Nasional.

Demikian pula sebaliknya, urusan yang tadinya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau

Daerah Tingkat 1, kemudian karena perkembangan keadaan dirasakan sudah

sepatutanya urusan itu dilakukan oleh Daerah, maka urusan tersebut dapat

diserahkan kepada dan beralih menjadi urusan Daerah atau urusan Daerah bawahan.

Jadi pada hakekatnya yang menjadi persoalan ialah, bagaimanakah sebaik-baiknya

kepentingan umum itu dapat diurus dan dipelihara, sehingga dicapailah hasil yang

sebesar-besarnya.

Dalam memecahkan persoalan tersebut, perlu kiranya kita mendasarkan diri pada

keadaan yang riil, pada kebutuhan dan kemampuan yang nyata, sehingga dapatlah

tercapai harmoni Daerah itu sendiri maupun dengan Pusat Negara ...... "

Demikianlah penjelasan mengenai arti urusan, krumah tangga Daerah" yang

didasarkan atas prinsip hak-hak otonomi yang riil itu.

Tetapi oleh karena di Indonesia ini Daerah-daerah otonom itu baru ada kemudian dari

pada Negara, maka walaupun Daerah-daerah diberi hak untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri, dapat dikatakan bahwa seluruh tugas kewenangan

yang ada sudah dalam tangan Pemerintah Pusat, sehingga Daerah-daerah yang

dibentuk kemudian itu dalam teori akan tidak mempunyai bidang lagi yang berarti

untuk menjalankan tugas kewenangannya.

Berhubung dengan itu, maka hak-hak otonomi yang diberikan kepada Daerah itu harus
diimbangi dengan usaha-usaha pemisahan tugas wewenang yang dapat diatur dan

diurus oleh Daerah dari tangan Pemerintah Pusat untuk diserahkan kepada

Pemerintah Daerah.

Teranglah kiranya, bahwa otonomi Daerah tidak dapat dilepaskan dari desentralisasi.

Dalam Undang-undang ini masalah desentralisasi telah diatur dalam pasal 40, yaitu

mengenai pemisahan dan penyerahan tugas wewenang Pusat kepada Daerah dan

dalam pasal 41 dari Daerah yang lebih tinggi kedudukannya kepada Daerah yang

dibawahnya.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 45 -

Kepada Daerah bukan saja diberi hak-hak otonomi untuk mengurus dan mengatur

rumah-tangganya sendiri, tetapi kepada Daerah juga diberi tugas kewajiban untuk

melaksanakan peraturan-peraturan perundangan bukan saja yang ditetapkan oleh

Pemerintah Pusat, tetapi pula yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang lebih

tinggi tingkatannya (diberi hak medebewind.).

Hal yang demikian ini diatur dalam pasal 42.

Untuk memberi tuntutan kepada Daerah-daerah yang baru dibentuk, agar Daerahdaerah itu sudah
dapat mengetahui urusan-urusan apa yang termasuk rumah tangga

Daerahnya, maka dalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang ini diadakan ketentuan yang

menyatakan, bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam pasal 39

ayat (1), dalam Undang-undang pembentukannya sebagai pangkal harus ditetapkan

urusan-urusan apa yang termasuk rumah tangga Daerah, dengan disertai alat

perlengkapan, belanja dan pendapatan Daerah yang dibentuk itu.

Disamping itu telah pula diadakan ketentuan yang menyatakan, bahwa tiap-tiap
waktu dengan Peraturan Pemerintah atau dengan Peraturan Daerah dari Daerah yang

lebih tinggi tingkatannya dan dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang bersangkutan, urusan rumah tangga Daerah yang telah ditetapkan dalam

Undang-undang pembentukan itu dapat ditambah dengan urusan-urusan lain (pasal 39

ayat 3). Dalam hubungan ini maka untuk melancarkan dan menyempurnakan

penyerahan tugas-tugas baru kepada Daerah dapat dibentuk suatu Dewan Otonom

Daerah dan kepada Dewan itu dapat pula diserahi tugas untuk mengatur masalah

perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.

Dalam garis besarnya urusan rumah tangga Daerah yang diletakkan diatas landasan

sistim otonomi riil itu dan aktivita Daerah mengenai tugas pembantuan dalam

menjalankan peraturan-peraturan perundangan dari Pemerintah yang lebih atas,

dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya,

b. status Daerah, yaitu Propinsi atau Kotaraya, Kabupaten atau Kotamadya dan

Kecamatan atau Kotapraja, begitu pula kedudukan Daerah-daerah tersebut

sebagai kesatuan pemerintahan ditengah-tengah masyarakat Daerahnya,

menentukan corak dan isi rumah tangga Daerahnya, luas dan batas-batas

rumah tangga Daerah itu selalu berobah sesuai dengan perkembangan

masyarakat Daerah yang bersangkutan,

c. bentuk dan corak urusan rumah tangga Daerah dipengaruhi oleh berbagai

anasir yang ada dalam Daerah yang bersangkutan,

d. sukar, bahkan tidak mungkin untuk menyusun suatu daftar perincian secara

limitatif tentang pelbagai jenis urusan-urusan yang termasuk rumah tangga

Daerah yang seragam berlaku bagi semua Daerah, malahan perincian yang

demikian itu akan tidak sesuai dengan dinamik kehidupan masyarakat Daerah
yang bersangkutan.

e. dalam kebebasan mengatur dan mengurus rumah tangganya Daerah tidak dapat

menjalankan kekuasaan diluar batas-batas wilayah Daerahnya,

f. begitu pula tidak diperbolehkan mencampuri urusan rumah tangga Daerah lain,

yang secara positif anumeratif telah ditentukan dalam :

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 46 -

1. Undang-undang pembentukan sebagai tugas kewenangan pangkai dan

2. Urusan-urusan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah atau

Peraturan Daerah dari Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.

g. Daerah yang lebih tinggi tingkatannya tidak diperbolehkan memasuki hal-hal

yang termasuk urusan rumah tangga Daerah yang ada dibawahnya.

h. Akhirnya bilamana keputusan-keputusan Daerah bertentangan-dengan

kepentingan umum, Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan

Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, maka keputusan Daerah yang

bersangkutan itu dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Pengusaha yang

berwenang.

Sudah menjadi pengertian umum, bahwa pokok-pokok dasar dan tujuan setiap Daerah

yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri ialah dapat membuktikan

hak hidupnya, menjalankan pemerintahan Daerah dengan keadaan keuangan yang

sehat, yang mengusahakan sedapat-dapatnya menutup anggaran belanja routine

dengan penerimaan sendiri dan untuk itu tidak menggantungkan diri kepada ganjaran,

subsidi atau sumbangan, serta selanjutnya yang merasa wajib dan karena itu

mengerahkan seluruh dana dan kekuatan agar berswadaya dan berswasembada dalam
segala bidang, sesuai dengan Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar

Revolusi/Mandataris M.P.R.S. yang berjudul "Berdikari".

Seterusnya, mengenai keuangan dan perusahaan Daerah diberikan penjelasan umum

lebih lanjut dalam bagian yang berikut ini.

IV. KEUANGAN DAERAH.

Daerah seperti badan hukum lainnya untuk dapat hidup serta menyelenggarakan

tugasnya memerlukan uang.

Sudah barang tentu untuk dapat melayani kepentingan umum dalam wilayahnya

dengan sebaik-baiknya, Daerah harus mengetahui dengan jelas dan tegas dari mana

Daerah itu dapat memperoleh keuangannya dan bagaimana harus berdaya-upaya

menggali sumber-sumber keuangan yang baru, bilamana hasil pendapatan dari

sumber-sumber keuangan yang telah ada tidak cukup lagi untuk menutup belanja

yang diperlukannya.

Sumber-sumber keuangan Daerah dalam garis-garis besarnya dapat dibagi dalam

golongan:

a. hasil perusahaan Daerah dan sebagian hasil perusahaan Negara;

b. pajak Daerah termasuk pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah dan

retribusi Daerah;

c. penerimaan dari sebagian pendapatan pajak Negara, bea masuk, bea keluar

dan cukai serta penerimaan dari pada Pemerintah Pusat yang berupa ganjaran,

subsidi atau sumbangan;

d. Penerimaan Daerah sendiri, antara lain yang penting ialah pajak, retribusi dan

perusahaan Daerah. penduduk Daerah dan bersifat menaikkan pendapatan

Nasional;

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 47 -

e. lain-lain hasil usaha Daerah yang sesuai dengan kepribadian Nasional.

Yang dimaksud dengan lain-lain hasil usaha Daerah ialah hasil pencaharian dari

Daerah, yang diperolehnya misalnya dari perjanjian jual-beli, sewa-menyewa atau

pacht hak dan milik Daerah. upah karena telah memberikan jasa-jasa baik kepada dan

atas permintaan pihak ketiga, upah pemeriksaan sesuatu yang harus dilakukannya

serta izin-izin yang diberikan olehnya.

Untuk mengurus rumah tangga Daerahnya dengan sebaik-baiknya, maka Daerah untuk

suatu masa tertentu harus mempunyai rencana yang teratur dan tersusun dalam suatu

anggaran keuangan, dalam mana harus ada keseimbangan antara pengeluaran dan

penerimaan Daerah.

Dari angka-angka dalam anggaran keuangan Daerah itu, rakyat Daerah dapat

mentafsirkan sampai dimana kemampuan dan kesanggupan Daerahnya untuk

mencapai kemajuan yang diidam-idamkan.

Dalam melaksanakan anggaran keuangan Daerah harus dijaga betul-betul agar jangan

sampai ada pengeluaran yang melewati batas-batas yang telah ditentukan atau

pemborosan yang merugikan kepentingan umum (rechtmating dan doelmatigheid).

Pegawai-pegawai Daerah yang bertanggung-jawab atas keuangan Daerah dalam

menjalankan pekerjaannya wajib memeriksa dengan teliti segala tagihan-tagihan

yang diajukan kepada Daerah, agar jangan terjadi pembayaran-pembayaran yang

tidak sah (onrechtmatig), begitu pula harus dijaga agar pendapatan Daerah yang

seharusnya dipungut, betul-betul ditagih dan masuk dalam kas Daerah.

Berhubung dengan itu maka dipandang perlu untuk mengadakan ketentuan-ketentuan

mengenai dan cara-cara menyusun.


a. anggaran belanja dan anggaran pendapatan Daerah;

b. perhitungan atas anggaran belanja dan anggaran pendapatan Daerah;

a dan b lihat pasal 77.

Demikian pula ketentuan-ketentuan mengenai

c. pengaturan tata-usaha pengolahan keuangan Daerah;

d. pertanggungan jawab dari pegawai-pegawai yang menjalankan pekerjaan yang

bersangkutan dengan penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau penyerahan

uang, surat-surat bernilai uang dan barang-barang untuk kepentingan Daerah

dan

e. penggantian kerugian oleh pegawai-pegawai yang telah menimkerugian pada

Daerah;

c, d dan e lihat pasal 75.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 48 -

Sampai saat mulai berlakunya Undang-undang ini, berdasarkan Undang-undang No.1

tahun 1957 belum diadakan peraturan-peraturan baru mengenai hal-hal dimaksud a

sampai dengan e diatas.

Oleh karena masalah keuangan Daerah ini adalah penting sekali bagi Daerah, maka

Pemerintah perlu mengadakan peraturan-peraturan mengenai hal-hal dimaksud tadi

dalam waktu yang singkat. Dalam pada itu, untuk mencapai keseragaman yang sangat

memudahkan pengawasan, maka cara menyusun anggaran keuangan berdasarkan

Staatsblad 1936 No. 432, yang disesuaikan dengan instruksi tahunan Menteri Dalam

Negeri, dapat diteruskan untuk sementara waktu menurut ketentuan dalam pasak 89

ayat (2) sampai pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah dimaksud dalam pasal 77.
Dalam menyusun anggaran keuangan Daerah, sepanjang mengenai pendapatan

Daerah, harus diperhatikan pula peraturan perundangan tentang perimbangan

keuangan antara Negara dan Daerah yang kini berlaku yaitu :

a. Undang-undang No. 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antara

Negara dan Daerah (yang menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara No. II/MPRS/1960 harus seegera diganti).

b. Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1957 tentang penyerahan pajak Negara

kepada Daerah,

c. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1957 tentang pemberian ganjaran, subsidi

dan sumbangan kepada Daerah,

d. Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Persenasi dari beberapa penerimaan

Negara untuk Daerah, yang tiap tahun dikeluarkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian maka dalam anggaran keuangan Daerah harus dicantumkan:

a. Penerimaan ganjaran, subsidi dan sumbangan Negara.

b. Penerimaan dari pajak-pajak Negara yang sudah dinyatakan sebagai pajak

Daerah,

c. Penerimaan sebagian pajak Negara, bea dan cukai,

d. Penerimaan Daerah sendiri antara lain yang penting ialah pajak, retribusi dan

perusahaan Daerah.

Selanjutnya perlu pula dicantumkan penerimaan melalui pungutan-pungutan khusus

yang dibenarkan Pemerintah.

Perusahaan Daerah pada dasarnya harus memberi bantuan didalam pembiayaan

umum dari Daerah. Karena itu pengelolaan perusahaan Daerah perlu didasarkan atas

azas-azas ekonomi perusahaan dan dalam Undang-undang dimaksud pasal 71 perlu

ditetapkan pokok-pokok peraturan tentang perusahaan Daerah yang memberi


kemungkinan penggalian dan penyusunan segala dana dan yang ada di Daerah.

Untuk dapat merealisir cita-cita yang akan membawa Daerah kearah kemajuan yang

cepat, Pemerintah Daerah tidak saja harus menyusun anggaran belanja dan

pendapatan Daerah secara terperinci dalam anggaran keuangan Daerah yang

seimbang yang menurut pasal 76 hanya berlaku untuk satu tahun saja, akan tetapi

anggaran keuangan Daerah dimaksud harus pula dilaksanakan secara teliti dan

sesempurna mungkin menurut peraturan-peraturan perundangan serta instruksi-

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 49 -

instruksi mengenai keuangan Daerah, sedangkan administrasi keuangan Daerah harus

pula dilakukan sedemikian dan harus ada bukti pertanggungan jawab dengan

mengadakan perhitungan pengeluaran dan penerimaan Daerah serta pengawasan

secara teratur, sehingga tidak mudah ada uang atau milik Daerah menjadi hilang atau

tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Pemerintah Daerah harus mengusahakan agar sedapat-dapatnya anggaran belanja

barang routine ditutup dengan penerimaan Daerah sendiri. Perhatian Pemerintah

Daerah perlu dicurahkan pada pengintensipan pemungutan penerimaan sendiri dan

dimana perlu tarip-tarip lebih disesuaikan.

Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memegang

semua kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan Daerah yang dengan peraturan

perundangan Pusat tidak diletakkan dalam tangan Penguasa lain.

Pengelolaan keuangan Daerah yang tepat dan sehat serta seksama sebagai dimaksud

diatas, akan memberi gambaran dan pemandangan setiap waktu tentang cara

bagaimana Daerah melaksanakan kewajiban dan merupakan syarat utama dalam


melaksanakan kebijaksanaan Pemerintah Daerah, lagi pula akan menjadi dasar bagi

pertumbuhan dan perkembangan Daerah.

Dalam hubungan ini untuk menjaga jangan sampai batas-batas yang sudah ditetapkan

dalam anggaran dilampaui, maka harus ditetapkan siapa-siapa yang akan bertanggung

jawab atas perbuatan-perbuatan yang mengikat Daerah, yaitu perbuatan yang

menimbulkan tagihan-tagihan dan berakibat pengeluaran uang dalam garis-garis yang

sudah ditentukan menurut anggaran belanja, misalnya pengangkatan pegawai Daerah,

memberi pensiun, mengadakan perjanjian, diantaranya perjanjian jual-beli, sewamenyewa, pacht,


menyelenggarakan sesuatu pekerjaan umum dan sebagainya.

Wajib diadakan suatu pengawasan keuangan Daerah yang effisien pula.

Yang perlu diatur dengan sebaik-baiknya ialah tugas kewajiban pegawai yang

menjalankan pekerjaan kas Daerah Dalam hal ini bilamana Daerah tidak mempunyai

pegawai Daerah sendiri, yang dapat menjalankan pekerjaan itu, maka menurut pasal

75, pekerjaan itu atas permintaan Daerah. melalui Menteri Dalam Negeri, dapat

ditugaskan kepada:

a. pegawai kas Negara oleh Menteri Urusan Bank Sentral,

b. pegawai kas Daerah tingkat I oleh Kepala Daerah tingkat I.

c. sesuatu bank yang ditunjuk oleh Menteri Urusan Bank Sentral dan Menteri

Dalam Negeri bersama-sama.

Untuk memudahkan hal-hal itu, Pemerintah secepat-cepatnya mengadakan Peraturan

Pemerintah yang bersangkutan.

Dalam pada itu dan untuk selanjutnya, disamping instruksi tahunan tentang

penyusunan anggaran keuangan Daerah, Pemerintah Daerah harus pula

memperhatikan instruksi-instruksi lain mengenai keuangan Daerah, yang telah ada

akan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.


PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 50 -

Ketentuan-ketentuan dalam peraturan lama, yang termuat dalam Staatsblad:

a. tahun 1924 No. 78,

b. tahun 1924 No. 79,

c. tahun 1926 No. 365,

yang sejak beberap aklai telah diubah dan ditambah mengenai masalah pengelolaan

dan pertanggungan jawab keuangan Daerah, khususnya yang tercantum didalam

berturut-turut Bab VI, Bab VII dan Bab IX peraturan tersebut untuk sementara waktu

masih dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi:

1. Propinsi mengenai ad a,

2. Kabupaten mengenai ad b dan

3. Kotapraja, baik Kotaraya, Kotamadya dan Kotapraja lainnya mengenai ad c.

Pelaksanaan dari pada ketentuan-ketentuan dimaksud lebih lanjut, diatur dalam

Staatsblad 1936 No. 432, yaitu tentang:

a. penyusunan anggaran keuangan Daerah,

b. penyusunan perhitungan anggaran keuangan Daerah dan

c. pengelolaan dan tata-usaha keuangan Daerah.

Disamping itu sepanjang mengenai bidang penyelenggaraan tata-usaha keuangan

Daerah, berlaku pula ketentuan-ketentuan dimaksud dalam surat keputusan Menteri

Keuangan tertanggal 28 Pebruari 1953 No. 47545/PKN.

Pemegangan kas Daerah harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam

keputusan Menteri Keuangan tersebut dan dilakukan oleh Kepala-kepala Kas


Negara/Kas Negara Pembantu atau Pembantu Kas-kas Negara didalam wilayah masingmasing
Daerah yang bersangkutan.

Untuk melakukan pekerjaan keuangan Daerah yang berupa menunaikan S.P.M.U yang

diterbitkan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan dan yang memberatkan anggaran

keuangan Daerah serta hal menerima, menyimpan dan sebagainya dari pada

pendapatan Daerah, dilakukan satu dan lain dengan mengingat ketentuan-ketentuan

termuat dalam instruksi tata-usaha dan organisasi kantor-kantor Kas Negara dan

petunjuk-petunjuk yang berlaku.

Sebagaimana dijelaskan tadi, administrasi keuangan Daerah akan menjadi lebih

sempurna lagi, bilamana di Daerah-daerah yang bersangkutan sendiri diadakan suatu

aparatur pengawasan keuangan Daerah, yang menjalankan tugas memeriksa sewaktuwaktu


situasi keuangan Daerah dalam keseluruhannya dan yang bekerja effisien.

V. PENGAWASAN

Perubahan-perubahan yang telah diadakan dalam struktur pemerintahan Daerah dan

yang dimasukkan dalam sistimatik Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah yang baru ini,ialah ditujukan untuk menjamin dapat diselenggarakannya satu

Pimpinan Nasional dari Pusat sampai di Daerah-daerah yang terbawah serta keutuhan

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 51 -

kesatuan Republik Indonesia dalam rangka Undang-undang Dasar Proklamasi 1945 dan

Garis-garis Besar Haluan Negara dimaksud dalam Manipol-USDEK.

Dalam pada itu seperti telah dinyatakan diatas sifat-sifat dan syarat-syarat dari pada

pemerintahan Daerah harus:

a. stabil dan berkewibawaan.

b. mencerminkan kehendak rakyat Daerah.


c. revolusioner,

d. gotong-royong,

e. berdiri diatas kaki sendiri (berswadaya untuk mencapai swasembada) dan

f. berkepribadian Nasional.

Untuk mencapai maksud dan tujun itu, maka layak dan pada tempatnya, apabila

Pemerintah Pusat mengadakan pengawasan atas Daerah-daerah. Seharusnya maslah

pengawasan itu, ditinjau dari segi ketata-negaraan dalam rangka Negara Kesatuan,

merupakan segi hubungan suplementer saja, sebab makin baik jalannya Pemerintahan

Daerah, makin sederhanalah stelsel pengawasan yang diperlukan dan sebaliknya.

Terutama untuk menjaga kewibawaan Pemerintah Daerah serta untuk menghindarkan

terjadinya atau memeperkecil kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya penyalahgunaan


kekuasaan (detournement de pouvoir) kecerobohan atau kelalaian dalam

administrasi yang dapat merugikan masyarakat Daerah dan Negara, maka disamping

mengadakan pengawasan secara umum atas Daerah-daerah, perlu diselenggarakan

pengawasan preventif dalam wujud mengesahkan Peraturan Daerah atau keputusan

Daerah, serta pengawasan repressif terhadap tindakan-tindakan yang diselenggarakan

oleh Daerah atau terhadap keputusan Daerah yang sudah mempunyai kekuatan

hukum, juga bilamana keputusan Daerah itu secara formil tidak memerlukan

pengesahan terlebih dahulu dari Penguasa yang berwenang mengesahkannya.

Menurut sistimatik Undang-undang baru ini terdapat tiga macam pengawasan, yaitu

a. pengawasan umum,

b. pengawasan preventif dan

c. pengawasan repressif.

PENGAWASAN UMUM.

Pemerintahan Daerah sebagaimana dalam prakteknya dilaksanakan selama masa yang


lampau, pada umumnya jauh dari pada keadaan yang ideal, sedangkan aparatur

pengawasan yang diperlukan belumlah dapat disusun dengan sempurna dan karena itu

tidak dapat menyalurkan tugasnya demikian rupa sehingga dapat berjalan effektif dan

lancar.

Kebijaksanaan politik untuk memberikan otonomi seluas-luasnya dan riil kepada

Daerah perlu diimbangi dengan sistim pengawasan yang berdaya guna, betapapun hal

ini nampaknya tidak dapat dihubungkan dengan hak-hak otonomi Daerah itu.

Pengawasan umum ini diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dengan aparaturnya

sendiri, yaitu oleh:

a. Menteri Dalam Negeri;

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 52 -

b. Penguasa yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri dan

c. Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat.

Untuk menjalankan pengawasan seperti yang dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) sub c,

pada Departemen Dalam Negeri diadakan satuan-satuan organisasi dan pada Kepalakepala
Daerah dipekerjakan pegawai-pegawai Negeri khusus untuk melaksanakan

tugas tersebut yang melakukan pekerjaannya langsung dibawah pimpinan Kepala

Daerah yang bersangkutan.

Disamping mengadakan pengawasan umum terhadap jalannya pemerintahan Daerah,

khusus mengenai pengawasan dibidang keuangan Negara dan Daerah, pada

Departemen Dalam Negeri diadakan Pula satuan organisasi lain, yaitu Inspeksi

Keuangan, yang kecuali menjalankan pemeriksaan dan Inspeksi atas Keuangan

Departemen Dalam Negeri sendiri, jika mempunyai tugas untuk memeriksa keuangan
Daerah, baik keuangan Pusat yang dikuasai oleh atau dikuasakan kepada Daerah

maupun keuangan Pemerintah Daerah sendiri yang terletak dibidang otonomi Daerah.

Inspeksi Keuangan ini berada langsung dibawah pimpinan Menteri Dalam Negeri dan

mempunyai cabangnya pada tiap Daerah yang walaupun administratif tidak lepas dari

susunan organisasi Sekretariat Daerah tetapi taktis operasionil bekerja langsung

dibawah pimpinan dan perintah Kepala Daerah yang bersangkutan Pula.

Dalam hubungan ini perlu dikemukakan, bahwa Menteri Dalam Negeri atau pegawai

Pemerintah Pusat yang bertindak atas namanya, untuk kepentingan umum dapat

mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala sesuatu mengenai

pekerjaan termasuk dalam bidang otonomi Daerah maupun bidang urusan tugas

pembantuan dengan kewajiban kepada Daerah-daerah yang bersangkutan untuk

memberikan segala keterangan-keterangan yang diperlukan (lihat pasal 86).

PENGAWASAN PREVENTIF.

Dasar-dasar pokok pengawasan preventif ini diatur dalam pasal-pasal 78 dan 79, BAB

VII, Bagian I yang mengandung prinsip, bahwa sesuatu peraturan atau keputusan

Daerah mengenai pokok-pokok tertentu, tidak berlaku sebelum disahkan oleh

Pemerintah Pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri.

Sebagian dari pada hak pengawasan preventif ini menurut pasal 78 telah diserahkan

kepada Kepala Daerah terhadap Daerah-daerah tingkat bawahan yang ada dalam

wilayah Daerahnya.

Menurut sistimatik ini, maka sesuatu peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah dan yang mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum

disahkan oleh :

a. Menteri Dalam Negeri bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat II,

b. Kepala Daerah tingkat I bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat II,


c. Kepala Daerah tingkat II bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat III.

Peraturan atau keputusan apa yang memerlukan pengesahan terlebih dahulu itu, hal

ini akan diatur dengan Undang-undang lain atau dengan Peraturan Pemerintah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 53 -

Namun demikian, apabila ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang tentang Pokokpokok


Pemerintahan Daerah yang baru-baru ini diteliti betul-betul, maka ternyatalah

bahwa dalam Undang-undang baru ini sudah banyak ditentukan peraturan atau

putusan yang mana, yang memerlukan pengesahan itu.

Peraturan atau keputusan yang memerlukan pengesahan terlebih dahulu sebelumnya

berlaku ialah antara lain :

a. pasal 27 ayat (3) mengenai penetapan uang sidang Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dan lain-lain.

b. pasal 31 ayat (2) mengenai tata-tertib rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

c. pasal 38 ayat (2) mengenai honorarium dan lain-lain dari Badan Pemerintah

Harian,

d. pasal 41 mengenai penambahan urusan, rumah-tangga sesuatu Daerah oleh

Daerah yang lebih tinggi tingkatannya,

c. pasal 43 ayat (2) mengenai kerja sama antar Daerah,

f. pasal 51 ayat (4) mengenai peraturan pidana,

g. pasal 65 ayat (2) mengenai peraturan tentang, hal dan kedudukannya pegawai

Daerah,

h. pasal 70 ayat (3) mengenai pajak dan retribusi Daerah,

i. pasal 72 ayat (1) mengenai pinjaman Daerah,


j. pasal 73 mengenai usaha-usaha Daerah yang membebani rakyat Daerah.

Oleh karena pengawasan preventif ini erat hubungannya dengan pengawasan umum

yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, yang di Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah

sebagai alat Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kepala Daerah, maka peraturanperaturan Daerah,
begitu pula keputusan-keputusan lain yang ditetapkan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah juga ditanda-tangani oleh Kepala Daerah yang

bersangkutan.

Pengundangan peraturan-peraturan Daerah dari semua tingkatan dalam Daerah

tingkat I di Lembaran Daerah tingkat I yang bersangkutan itu dan yang merupakan

syarat tunggal sebagai dasar hukum untuk mengikat, begitu pula keputusan-keputusan

lain dari pada Daerah yang perlu diundangkan atau diumumkan dalam Lembaran

Daerah tingkat I, dilakukan oleh Sekretaris Daerah. (lihat ayat (2) dan (3) pasal 54).

Perlu dikemukakan disini, bahwa tidak semua keputusan-keputusan Daerah itu harus

diundangkan dalam Lembaran Daerah tingkat I; yang harus diundangkan atau

diumumkan dalam Lembaran Daerah tingkat I itu ialah keputusan-keputusan dan

khususnya peraturan-peraturan Daerah yang tidak dapat berlaku sebelum disahkan

oleh penguasa yang berwenang, oleh karena keputusan-keputusan yang demikian ini

pada umumnya antara lain;

a. menetapkan norma-norma yang mengikat rakyat Daerah, norma-norma yang

mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat sesuatu atau tidak

berbuat sesuatu dan lain-lain ditujukan langsung kepada rakyat Daerah;

b. mengadakan sangsi atau ancaman hukuman berupa denda atau kurungan atas

pelanggaran ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah;

c. memberi beban kepada rakyat Daerah untuk memberikan sebagaian dari harta

benda milik rakyat dalam bentuk uang (pajak atau retribusi Daerah);
PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 54 -

d. menentukan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh umum, karena

menyangkut kepentingan rakyat Daerah, misalnya: mengadakan pinjaman,

mengadakan perusahaan Daerah, menetapkan anggaran keuangan Daerah atau

merobah anggaran keuangan Daerah, menyerahkan Daerah atau merobah

anggaran keuangan Daerah, menyerahkan sebagian urusan rumah-tangganya

kepada Daerah-daerah yang ada dalam wilayahnya, mengatur gaji pegawai,

pengangkatan atau pemberhentian pegawai Daerah, mengatur honorarium,

uang sidang dan lain-lain untuk anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, Badan Pemerintah Harian dan lain-lain.

Cara-cara menjalankan pengawasan preventif itu dalam,garis-garis besarnya menurut

pasal 78 adalah sebagai berikut :

a. pengesahan harus sudah diberikan dalam tempo tiga bulan terhitung mulai hari

keputusan yang bersangkutan diterima oleh Penguasa yang berwenang

menjalankan pengesahan. Penguasa yang berwenang menjalankan pengesahan.

Penguasa tersebut segera, sesudah menerima keputusan Daerah,

memberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan hari dan tanggal keputusan

telah diterima olehnya;

b. apabila jangka waktu mengesahkan keputusan itu masih kurang cukup, maka

Penguasa dapat menunda pengesahannya dengan memberitahukan penundaan

itu kepada Daerah yang bersangkutan;

c. apabila dalam jangka waktu dimaksud, Penguasa tersebut tidak mengambil

ketetapan, maka-keputusan yang bersangkutan dapat dijalankan oleh Daerah


yang berkepentingan;

d. dalam hal terjadi penolakan pengesahan, maka Daerah yang bersangkutan

dapat minta putusan banding kepada instansi yang lebih tinggi dari pada

instansi yang menjalankan pengesahan.

PENGAWASAN REPRESSIF.

Pengawasan repressif ialah mempertangguhkan dan/atau membatalkan peraturan

atau keputusan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan

peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Dalam sistimatik otonomi. Pemerintah Daerah berhak, apabila tidak secara positif dan

tegas ditentukan dalam peraturan perundangan, bahwa keputusan Daerah terlebih

dahulu harus disahkan oleh instansi yang berwenang, untuk mengambil keputusankeputusan
tentang segala hal mengenai urusan rumah tangga Daerahnya, tanpa

meminta penesahan terlebih dahulu dari instansi atasannya.

Namun demikian, keputusan-keputusan Pemerintah Daerah ini, baik Peraturan Daerah

maupun keputusan lain, bila bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan

peraturan-peraturan perundangan lain yang lebih tinggi tingkatannya, dapat

dipertangguhkan dan/atau dibatalkan.

Pertangguhan atau pembatalan keputusan Daerah itu dilakukan oleh :

1. Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang ditunjuk olehnya bagi keputusankeputusan Daerah
tingkat I dan

2. Kepala Daerah yang setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 55 -

Apabila Kepala Daerah yang setingkat lebih atas dimaksud tadi, tidak menjalankan

wewenangnya, misalnya Kepala Daerah Tingkat I tidak menjalankan wewenangnya


untuk mempertangguhkan atau membatalkan keputusan yang telah ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah tingkat II, maka Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang

ditunjuk olehnya mempertangguhkan atau membatalkan keputusan Pemerintah

Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturanperaturan


perundangan yang lebih tinggi tingkatannya itu.

Sistim pengawasan secara bertingkat ini, yang dapat dikoreksi dengan pengawasan

langsung oleh Pemerintah Pusat sendiri, jika pengawasan yang diletakkan dalam

tangan Kepala Daerah tingkat lebih atas tidak berjalan lancar, dengan adanya

struktur dan sistim pemerintahan Daerah yang menimbulkan kesukaran dan kesulitan

seperti dimasa-masa yang lampau, justru oleh karena Kepala Daerah yang sekarang ini

bukan saja merupakan alat Pemerintah Daerah yang tidak saja memegang pimpinan

kuasa eksekutif tetapi oleh karena juga Kepala Daerah itu merupakan alat Pemerintah

Pusat.

Kepala Daerah dalam kedudukannya yang demikian ini, sebagai pemegang dan

pelaksana kebijaksanaan politik Pemerintah Pusat dalam pengurusan dan pengaturan

kepentingan rakyat dalam Daerahnya serta dalam membina urusan-urusan yang

termasuk rumah tangga Daerahnya, banyak dapat mempengaruhi keadaan dan apriori

dapat menghindarkan keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan yang akan

bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturan-peraturan

perundangan yang lebih tinggi tingkatannya dan yang oleh karenanya dapat

dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Kepala Daerah tingkat atasan atau oleh Menteri

Dalam Negeri.

Menurut struktur Pemerintahan Daerah sekarang ini, pengawasan repressif

sebagaimana halnya dengan pengawasan preventif, tidak akan menimbulkan banyak

kesukaran dan kesulitan lagi seperti zaman dahulu. Pengawasan repressif ini diatur
dalam paal-pasal 80 sampai dengan pasal 83. BAB VII, Bagian II. Pengawasan ini

dilakukan secara bertingkat, yang bilamana tehnis tidak dapat berjalan lancar, masih

membuka pintu bagi Pemerintah Pusat untuk bertindak korektif, haitu terhadap

Daerah tingkat II dan III, dengan jalan melakukan sendiri hak pengawasan itu secara

langsung.

Pembatalan lazimnya didahului dengan keputusan pertangguhan, akan tetapi dapat

pula dilakukan secara langsung tidak usah melalui tingkat pertanggungan terlebih

dahulu Keputusan pembatalan dalam waktu 15 hari sesudah tanggal keputusan

pembatalan yang bersangkutan diberitahukan kepada Kepala Daerah yang

bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya.

Pertangguhan dan pembatalan dilakukan atas dasar dua faktor yaitu :

a. pertentangan dengan peraturan-peraturan perundangan yang lebih tinggi

tingkatannya dan

b. pertentangan dengan kepentingan umum.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 56 -

Pembatalan karena pertentangan dengan kepentingan umum hanya membawa

pembatalan akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan umum itu.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1 dan 2.

Menurut pasal 1 ayat (1) semua badan-badan pemerintahan yang mempunyai hak

untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang

ini disebut dengan istilah "Daerah'..

Daerah-daerah ini adalah pula daerah-daerah besar dan kecil termaksud dalam pasal
18 Undang-undang Dasar. Istilah "Daerah" adalah istilah tehnis bagi penyebutan

sesuatu bagian teritoir yang berpemrintahan sendiri dalam rangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Dalam mengusahakan pembagian wilayah Indonesia dalam Daerah-daerah dimaksud

serta menetapkan jumlah banyaknya tingkatan telah diperhatikan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara yang menghendaki agar keputusan-keputusan

mengenai hal-hal ini dipakai pedoman dalam melaksanakan Garis-garis Besar Pola

Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yaitu yang termaktub dalam lampiran B.

ad III sub Ib dari pada Ketetapan No. II/MPRS/1960 dan mengandung pokok-pokok

antara lain sebagai berikut :

1. Seluruh wilayah Indonesia dibagi habis dalam Daerah-daerah.

2. Daerah terdiri dari 3 tingkatan, tingkat I dan II sebagaimana yang telah ada dan

yang masih akan diadakan berdasarkan perundang-undangan yang telah ada.

3. Tingkat III diadakan pada Daerah Kecamatan atau Daerah kesatuan masyarakat

hukum yang cukup besar, atau dari gabungan beberapa desa,

4. Daerah tingkat III pada akhirnya harus menggantikan kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum terendah.

5. Tidak setuju Pola yang hendak menempatkan Daerah tingkat I didaerah

Keresidenan dan Daerah tingkat II didaerah Kecamatan.

Dengan memperhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

dimaksud, maka menurut ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia terbagi dalam 3 jenis Daerah yang bertingkatan, yaitu berturutturut dari atas
kebawah:

a. Daerah tingkat I,

b. Daerah tingkat II dan


c. Daerah tingkat III.

Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah tingkat III adalah Darah tingkat II dan bagi

Daerah tingkat II adalah Daerah tingkat I (lihat pasal I ayat 5).

Daerah tingkat I dinamakan "Propinsi" dan yang khusus mempunyai wilayah yang

seluruhnya atau sebagian besar merupakan tempat tinggal bersama-sama kelompok

penduduk dinamakan "Kotaraya".

Berdasarkan prinsip yang sama ini, maka Daerah tingkat II dinamakan "Kabupaten" dan

"Kotamadya" dan Daerah tingkat III dinamakan "Kecamatan" dan "Kotapraja".

Berhubungn dengan penjelasan diatas, bahwa "Daerah" adalah istilah teknis bagi

penyebutan sesuatu bagian teritoir dan nama "Propinsi", "Kabupaten" dan sebagainya

adalah menunjukkan jenis Daerah, maka daerah yang bersifat "istimewa" yang

didasarkan atas ketentuan dalam pasal 18 Undang-undang Dasar atau yang ditetapkan

oleh Pemerintah atas alasan lain, disebut Daerah Istimewa.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 57 -

Karena itu, maka sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan sifat keistimewaannya

yang bersumber pada pasal 18 Undang-undang Dasar dan sebutan Daerah Istimewa

Aceh dengan keistimewaannya yang terletak dalam suatu kebijaksanaan khusus

Pemerintah Pusat terhadap beberapa bidang urusan pemerintahan, berdasarkan pasal

88 ayat.(2), berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan

perundangan yang sah.

Adapun yang mengenai Jakarta, Pemerintah telah menetapkan status "istimewa",

bukan saja karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara, akan tetapi juga karena

Jakarta merupakan kota pelabuhan yang penting sekali, lagi pula karena merupakan
suatu kota teladan dan kota internasional yang mengingat luas dan jumlah

penduduknya telah tumbuh kearah suatu kota metropolitis. Untuk menaikkan

kedudukannya sebagai tempat yang sering harus menyelenggarakan bermacam

kegiatan internasional, dan agar dapat memenuhi syarat-syarat istimewa sebagai kota

teladan dan kota modern, begitu pula untuk menjunjung tinggi nama dan kehormatan

Bangsa Indonesia, maka di Daerah ini harus dilaksanakan pembangunan secara besarbesaran
yang intensif sekali. Maka karena itu, untuk mencapai effisiensi kerja yang

cepat dan lancar menurut satu garis komando langsung yang tegas, bagi Daerah ini

masih berlaku Penetapan Presiden No. 2 tahun 1961, yang memberikan dasar dari

pada status istimewa bagi Jakarta.

Pertumbuhan dan perkembangan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta adalah pesat sekali

dan Kotaraya ini tentu akan menjadi kota metropolistis, yang membawa pemekaran

kepentingan-kepentingan khusus.

Dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu, luas wilayah dan jumlah penduduknya

dengan kepentingan-kepentingan yang beraneka corak ragamnya, memerlukan

bentuk-bentuk pemerintahan yang beradaya guna.

Karena itu, maka dalam wilayah Ibu-Kota Negara akan tumbuh Daerah-daerah tingkat

lain dan diperlukan bentuk-bentuk pemerintahan khas untuk tetap mencapai effisiensi

dalam penyelenggaraan rakyat; walaupun demikian akan senantiasa diusahakan agar

sedapat-dapatnya ada persesuaian keistimewaan seperti yang dimaksudkan diatas

yang menentukan adanya Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta dengan status khusus begitu

pula keistimewaan-keistimewaan yang menjadi dasar dari pada Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh masing-masing sebagai

Daerah tingkat I, maka Daerah-daerah tingkat I yang lain, adalah "Propinsi" menurut

Undang-undang ini, misalnya:


Daerah tingkat I Kalimantan Barat disebut Propinsi: Kalimantan Barat, Daerah

tingkat I Jawa Barat menjadi Propinsi Jawa Barat tingkat I Maluku menjadi

Propinsi Maluku dan seterusnya.

Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud diatas yaitu Daerah

Khusus Ibu-Kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh,

status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak akan diadakan lagi pada

saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan

hapus.

Begitu pula semua Daerah tingkat II selain Kotapraja adalah Kabupaten, misalnya

Daerah tingkat II Agam dinamakan sekarang "Kabupaten Agam" dan seterusnya, dan

semua Kotapraja dinamakan Kotamadya, misalnya Kotapraja Blitar, Bandung,

Palembang, Pontianak Pare-Pare, Ambon sekarang dinamakan Kotamadya Blitar

Bandung, Palembang, Pontianak, Pare-Pare dan Ambon".

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 58 -

Perlu ditegaskan disini, bahwa melihat perkembangan sekarang, seluruh wilayah

Negara kini telah habis terbagi dalam 25 Daerah tingkat I, yaitu 25 Propinsi (sudah

termasuk Kotaraya Jakarta, dan Propinsi Irian Barat) sedang tiap-tiap Propinsi telah

terbagi habis pula dalam Kabupaten dan Kotamadya.

Pembagian dalam Daerah-daerah ini sudah brang tentu masih juga belum dapat

dikatakan sempurna dan memuaskan dan dikelak kemudian hari masih akan

mengalami perubahan-perubahan lagi, tetapi Daerah-daerah yang ada sekarang ini

terutama yang baru saja dibentuk seharusnya terlebih dahulu diberi kesempatan dan

cukup waktu untuk menyempurnakan alat-alat perlengkapan, organisasi pemerintahan


dan peningkatan kemampuan kerjanya, sehingga dengan demikian dengan sudah

adanya pemerintahan yang stabil dan effisien, langkah-langkah selanjutnya untuk

membentuk Daerah-daerah yang baru, dapat dilaksanakan dengan mudah dan teratur.

Daerah tingkat III sampai sekarang masih belum pernah diadakan.

Menurut Undang-undang ini dalam pasal 4 ayat (2), sesuatu atau gabungan desa atau

Daerah yang setingkat dengan desa atau kecamatan, dengan mengingat keadaan

kehidupan masyarakat dan kemajuan perkembangan sosial ekonominya serta dengan

memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat yang masih berlaku, dawpat

dibentuk sebagai Daerah tingkat III dengan nama Kecamatan atau Kotapraja.

Dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum termasuk juga kesatuan masyarakat

hukum adat yaitu kesatuan masyarakat hukum yang setingkat dengan desa yang

berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai pembawaan sejarah

pertumbuhannya, dimana ikatan kesatuan atau adat kebiasaannya demikian kuat dan

mendalam atau berakar.

Nama "Propinsi", "Kabupaten" atau "Kecamatan" dalam istilah tehnis menurut Undangundang
ini bukan lagi merupakan nama penunjukan sesuatu wilayah kerja seorang

pejabat lingkungan Departemen Dalam Negeri, tetapi adalah jenis Daerah, yaitu suatu

kesatuan pemerintahan teritorial yang berotonomi (lihat pasal 1 ayat 2) yang

mempunyai tingkatan tertentu.

Begitu pula nama ,Kotapraja" bukan lagi merupakan sesuatu Daerah tingkat II, tetapi

Kotapraja menurut Undang-undang ini adalah,termasuk Daerah tingkat III.

Diakui, bahwa istilah-istilah itu dalam permulaan masa berlakunya Undang-undang ini

akan menimbulkan rasa kurang puas dan salah faham, namun seperti halnya dengan

nama Propinsi atau Kabupaten yang semula hanya dikenal di Jawa-Madura saja,

kemudian dapat diterima pula di Daerah-daerah lain, maka diharapkan nama


Kecamatan sebagai nama sesuatu jenis Daerah akan dapat pula kiranya diterima,

lebih-lebih kalau diingat, bahwa memang sukar sekali untuk mencarikan nama baru

yang cocok, begitu pula kiranya dengan nama Kotaraya dan Kotamadya.

Ketentuan-ketentuan dalam ayat (3) dan (5) sudah jelas dan tidak memerlukan

penjelasan lebih lanjut.

Pasal 3.

Undang-undang pembentukan sesuatu Daerah harus memuat pengaturan esensialia,

yang isinya dapat menunjukkan hak hidup bagi Daerah itu, yang terdiri atas setidaktidaknya
nama ibukota dan batas Daerah serta kewenangan pangkalnya dan anggaran

keuangannya yang pertama.

Dalam perkembangan selanjutnya, mungkin perlu diadakan penyempurnaan batas

wilayah Daerah; demikian pula ibukota mungkin perlu dipindah atau nama daerah

perlu diubah dengan nama yang lebih aseli atau lebih sesuai dengan sejarahnya, maka

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 59 -

dalam ayat (2) pasal ini ditetapkan bahwa perubahan-perubahan atau penyempurnaan

yang tidak mengakibatkan pembubaran sesuatu Daerah, diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 4.

Mengenai pembentukan Daerah tingkat III, seperti yang dimaksud pada ayat (2) pasal

ini, telah diuraikan seperlunya dalam Penjelasan Umum.

Ayat (2) pasal ini tidaklah harus ditafsirkan, bahwa Daerah tingkat III baru akan

dibentuk, apabila kehidupan masyarakat dan perkembangan sosial ekonomi suatu

atau beberapa desa atau Daerah yang setingkat dengan desa sudah mencapai tingkat
taraf tertentu, sehingga sebelum taraf itu dicapai tidak akan dibentuk Daerah tingkat

II, melainkan maksudnya ialah hal-hal itu diperhatikan untuk menentukan, apakah

suatu atau atau beberapa desa dan Daerah yang setingkat dengan desa dibentuk

menjadi Daerah tingkat III.

Pasal 5 sampai dengan pasal 10

Konstruksi Pemerintah Daerah menurut Undang-undang ini, yakni terdiri dari Kepala

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah dijelaskan dalam Penjelasan

Umum mengenai fungsi, tugas, kewajiban dan kewenangannya masing-masing serta

hubungan timbal-balik antara keduanya. Kepala Daerah karena jabatannya adalah

menjadi kepercayaan Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara yang memegang kekuasaan menurut Undang-undang dan melaksanakan

kebijaksanaan Presiden/Perdana Menteri/Pemimpin Besar Revolusi dalam Daerahnya,

karena itu Kepala Daerah bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri menurut hierarchie yang ada (pasal 5 ayat 2). Disamping itu Kepala Daerah

adalah pula kepercayaan Rakyat Daerahnya yang diwakili dalam Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, yang komposisinya mencerminkan kegotong-royongan nasional

revolusioner.

Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu memilih dan mempunyai sendiri Ketua

dan Wakil-wakil Ketuanya yang harus menjamin poros Nasakom (pasal 7 dan pasal 9

ayat 1), tetapi Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempertanggungjawabkan tugasnya
kepada Kepala Daerah yang menjadi penanggung-jawab umum

Daerah (pasal 8).

Sebagai penanggung-jawab umum Daerah yang bertanggung-jawab kepada Presiden

(lihat juga pasal 45 ayat 2), maka dalam menjalankan seluruh tugas-kewenangannya

itu Kepala Daerah tidak diwenangkan menjalankan politik lain dari pada politik
Negara dan karena itu Kepala Daerah adalah pula pegawai Negara (Pasal 19).

Mengingat demikian luas dan berat tugas dan kewajiban Kepala Daerah, maka didalam

Kepala Daerah menjalankan tugas kewajiban pelaksanaan Pemerintah sehari-hari

perlu dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan para anggota Badan Pemerintah Harian.

Adanya bantuan Wakil Kepala Daerah dan anggota-anggota Badan Pemerintah Harian

ini tidak merubah tanggung-jawab atas pemerintahan Daerah yang etap ada ditangan

Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah dan anggota Badan Pemerintah Harian

bertanggung-jawab kepada Kepala Daerah atas tugas pekerjaan yang ditugaskan

kepadanya dalam rangka membantu Kepala Daerah dalam menjalankan tugas

pekerjaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari.

Pasal 11 sampai dengan pasal 14.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 60 -

Menurut Undang-undang ini, Kepala Daerah seperti telah diuraikan dalam Penjelasan

Umum, idiil dan strukturil diberi kedudukan khas dalam susunan ketatanegaraan. Ia

bukan saja merupakan alat Pemerintah Daerah, tetapi juga alat Pemerintah Pusat dan

dalam demokrasi terpimpin Kepala Daerah itu tidak saja memegang pimpinan dan

mengayomi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi pula ia adalah pelaksana semua

keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut dan dalam

menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia dibantu oleh Badan Pemerintah Harian.

Sebagai alat yang mempunyai tugas untuk merealisasikan dasar dan tujuan revolusi,

iapun tidak dapat ditumbangkan oleh Dewan Perwakilan revolusi, iapun tidak dapat

ditumbangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, walaupun hal yang demikian ini
tidak menguraikan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan keteranganketerangan tentang
pertanggungan jawab mengenai kebijaksanaan pemerintahan

Daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah.

Untuk mencapai maksud dan tujuan dimaksud diatas, serta menjamin terdapatnya

pemerintahan Daerah yang stabil dan berkewibawaan, sudah barang tentu tidak

setiap orang dapat menduduki jabatan Kepala Daerah yang amat penting dan berat

itu dan karenanya harus ditentukan cara bagaimana orang dapat menjadi Kepala

Daerah dengan syarat-syarat yang tidak ringan pula.

Cara-cara untuk dapat menduduki jatah Kepala Daerah, diatur dalam pasal-pasal 11,

12, 13 dan 14, yaitu bagi Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden atas

pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan melalui Menteri

Dalam Negeri, dan bagi Daerah-daerah lain diangkat oleh Penguasa yang ditunjuk oleh

Pemerintah Pusat atas pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan melalui Kepala Daerah setingkat lebih atas.

Apabila dari pencalonan pertama tidak ada calon yang memenuhi syarat-syarat untuk

diangkat menjadi Kepala Daerah, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan dengan penjelasan penolakan oleh Penguasa yang berwenang diberi

keleluasaan untuk mengajukan calon-calon kedua kalinya.

Adalah tidak wajar bila dalam pencalonan yang kedua ini Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah mengajukan calon-calon yang telah diajukan dalam pencalonan yang pertama,

oleh karena penolakan calon-calon pertama mengandung pengertian bahwa semua

calon-calon pertama itu tidak memenuhi syarat-syarat untuk diangkat menjadi Kepala

Daerah oleh Penguasa yang berwenang. Penguasa yang berwenang seharusnyalah

memberikan keterangan seperlunya yang menjadi dasar penolakan pengangkatan dari

setiap calon yang diajukan.


Berhubung dengan itu maka sudah pada tempatnya bilamana dalam pencalonan yang

kedua kalinya tidak diajukan nama calon-calon yang sudah disebut dalam pencalonan

pertama, dengan memperhatikan alasan-alasan penolakan pada pencalonan pertama.

Apabila juga pada pencalonan yang kedua ini tidak ada calon yang memenuhi syarat,

maka Penguasa yang berwenang mengangkat seorang Kepala Daerah diluar

pencalonan (lihat pasal-pasal 13 dan 14 ayat 3).

Pasal 15

Pasal ini menetapkan syarat-syarat pengangkatan Kepala Daerah.

Yang dimaksudkan dengan syarat "tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia" ialah

orang-orang yang tidak pernah secara langsung ikut atau membantu musuh-musuh

Negara Republik Indonesia.

Perumusan tentang syarat-syarat pendidikan, kecakapan dan pengalaman pekerjaan

yang diperlukan dalam pemerintahan (pemerintahan umum, pemerintahan Daerah

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 61 -

atau dalam Jawatan-jawatan atau Dinas-dinas Daerah) yang terdapat dalam syaratsyarat tersebut
dalam pasal 15 ini, disamping berupa himpunan syarat-syarat negatif

yang sekurang-kurangnya harus dimiliki oleh calon Kepala Daerah, mengandung pula

syarat-syarat positif khusus mengenai hal pendidikan, pengalaman dan umur, agar

dengan demikian ini akan terdapat keseimbangan antara akseptabilitas politis dan

kecakapan tehnis bagi seorang Kepala Daerah itu.

Untuk menjaga jangan sampai terjadi penerobosan terhadap syarat-syarat yang telah

ditentukan ini, maka calon yang dimajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

harus memiliki bukti-bukti yang sah tentang kebenaran keterangan-keterangan yang


mereka berikan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pengangkatan

pegawai Negeri.

Berhubung dengan pentingnya kedudukan Kepala Daerah sebagai pemusatan

pimpinan, baik mengenai bidang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah seperti telah

diuraikan dimuka, diangkat oleh Pemerintah Pusat dan diberi kedudukan sebagai

pegawai Negara.

Syarat-syarat mengenai pendidikan, kecakapan dan pengalaman harus dipentingkan

pula, karena seorang Kepala Daerah hanya dapat menunaikan tugasnya dengan baik,

jika ia betul-betul mempunyai syarat-syarat tertentu itu.

Kepada Daerah adalah seorang kepercayaan Presiden/Mandataris/Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara yang harus melaksanakan di Daerahnya

kebijaksanaan Presiden/Perdana, Menteri/Pimpinan Besar Revolusi, harus

melaksanakan politik Pemerintah.

Untuk pelaksanaan itu ia bertanggung jawab kepada Presiden.

Karenanya Kepala Daerah harus selalu mengutamakan kepentingan Negara dan

kepentingan umum.

Kepala Daerah harus selalu bertindak seobyektif-obyektifnya dan dalam tindakantindakannya


tidak akan mengutamakan atau menguntungkan salah satu

organisasi/golongan/partai politik, tetapi benar-benar mengutamakan kepentingan

umum dan kesejahteraan Rakyat dari Daerahnya.

Pasal 16.

Larangan-larangan yang disebut dalam pasal ini adalah bersifat mutlak, sehingga

hanya Presiden yang berwenang memberikan pengecualian, apabila kepentingan

Daerah memerlukan (lihat juga penjelasan pasal II sampai dengan pasal 14).

Pasal 17.
Masa jabatan Kepala Daerah adalah selama lima (5) tahun yakni sesuai dengan masaduduk
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selama masa jabatan dimaksud Kepala

Daerah menjalankan tugas dan kewajiban serta wewenangnya. Dalam hal masa

jabatannya berakhir dan ia berhenti sebagai Kepala Daerah baginya tetap terbuka

kemungkinan untuk dapat diangkat kembali untuk suatu masa jabatan yang sama

lamanya juga, dengan melalui prosedur yang telah ditentukan dalam Undang-undang

ini.

Pasal 18.

Wakil Kepala Daerah adalah seorang pembantu Kepala Daerah baik dalam

kedudukannya sebagai Pimpinan Pemerintah Daerah, tetapi juga dalam kedudukannya

sebagai alat Pemerintah Pusat.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 62 -

Dengan sendirinya Wakil Kepala Daerah sebagai pembantu Kepala Daerah

menjalankan juga tugas-tugas dan bagian-bagian wewenang Kepala Daerah yang

ditentukan baginya. Wakil Kepala Daerah tidak saja mewakili Kepala Daerah jika

Kepala Daerah berhalangan, tetapi juga didalam hal Kepala Daerah diberhentikan

oleh Penguasa yang berwenang mengangkat atau bila Kepala Daerah meninggal dunia,

Wakil Kepala Daerah akan mewakili dan menjalankan tugas kewajiban dan

kewenangan Kepala Daerah untuk sisa masa jabatan Kepala Daerah yang ia wakili.

Dalam-hal bagi Daerah yang bersangkutan telah diangkat seorang Kepala Daerah yang

baru, tugas perwakilan yang dimaksud berakhir. Bagi Daerah-daerah yang baru

dibentuk, perlu didudukkan seorang Penguasa yang menjalankan tugas kewenangan

Pemerintah Daerah dengan tugas khusus menyiapkan penyusunan Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah Gotong-Royong. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum dan pasal 48.

Pasal 19.

Untuk sementara waktu masih berlaku Peraturan Presiden No. 17 tahun 1961

mengenai nama, jabatan, gelar, penghasilan dan keuntungan lain Kepala Daerah.

Pasal 20.

Cukup jelas.

Pasal 21

Berbeda dengan ketentuan mengenai Kepala Daerah dalam pasal 17 ayat (3) sub b,

maka Wakil Kepala Daerah diberhentikan karena berakhir masa jabatannya, tanpa

menunggu terlebih dahulu diangkatnya seorang Wakil Kepala Daerah baru.

Selanjutnya isi pasal ini cukup jelas,lihat juga mengenai syarat pengangkatan Kepala

Daerah pada Penjelasan pasal II sampai dengan pasal 15.

Pasal 22.

Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam Undang-undang

pembentukannya atas dasar perhitungan jumlah tertentu penduduknya, harus diberi

seorang Wakil dalam Dewan (ayat 1).

Oleh karena kepadatan penduduk tidak merata diseluruh wilayah Negara, maka perlu

diadakan syarat-syarat minimum dan maksimum, jumlah anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah sesuatu Daerah,a gar dengan demikian itu Daerah yang sangat sedikit

sekali penduduknya, mempunyai Wakil-wakil sangat sedikit sekali penduduknya,

mempunyai Wakil-wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang cukup

representatif untuk menjamin terpeliharanya kepentingan-kepentingan umum seluruh

wilayah Daerah yang bersangkutan secara baik.

Bagi Daerah yang banyak sekali penduduknya, dapat dicegah terbentuknya suatu

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang amat besar jumlah anggotanya sehingga
menjadi "log", yang tidak menguntungkan Daerah, tetapi malahan akan dapat

menghambat kelancaran jalannya pemerintahan Daerah.

Agar jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu senantiasa dapat

disesuaikan dengan perkembangan masyarakat Daerah yang bersangkutan, maka

jumlah anggota Undang-undang pembentukan setiap waktu dapat dirubah oleh

Menteri Dalam Negeri.

Masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan, tidak lagi empat tahun

seperti yang ditentukan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1957 dahulu, akan tetapi

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 63 -

dijadikan lima tahun, dengan ketentuan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang mengisi lowongan keanggotaan antar-waktu, duduk dalam Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah itu hanya untuk sisa masa lima tahun dimaksud.

Berhubung dengan diadakannya ketentuan yang dimaksud dalam pasal 89 ayat (3),

maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong yang ada, masih dapat terus

menjalankan tugas kewajibannya sampai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

baru yang dibentuk berdasarkan ketentuan dalam pasal 22 ayat (5).

Biarpun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk tindakan-tindakan perubahan

komposisi keanggotaan dan peremajaan agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Gotong-Royong dapat mencerminkan perkembangan perimbangan yang terjadi di

Daerah, secara lebih mendekati kenyataan (obyektif)

Pasal 23.

Syarat-syarat yang diadakan bagi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

adalah perlu untuk menjaga, agar para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu
minimal mempunyai cukup kesadaran, kecakapan dan penetahuan untuk dapat

menjalankan tugas kewajiban mereka dengan sebaik-baiknya.

Umur 21 tahun harus sudah tercapai pada waktu yang bersangkutan ditetapkan

sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Syarat-syarat itu berlaku baik bagi anggota laki-laki maupun perempuan.

Kotamadya dan Kotapraja dalam hakekatnya merupakan tempat tinggal bersama

kelompok penduduk dan pada umumnya merupakan juga faktor penarik yang tidak

kecil artinya bagi pemusatan tempat-tempat tinggal tetap kaum intelek dan para

cerdik pandai.

Dari sebab anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah wakil rakyat

yang bertempat dinggal dalam wilayah Daerah yang bersangkutan, maka penduduk

sesuatu Kotamadya sudah barang tentu tidak akan dapat menjadi anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah tingkat II yang berbatasan, karena Kotamadya

yang sama tingkatannya dengan Darah tingkat II berdiri sejajar, sehingga wilayah

Kotamadya itu bukan merupakan bagian wilayah dari pada Daerah tingkat II yang

melingkarinya. Hal yang demikian ini sedikit banyak akan dapat menimbulkan

kerugian kepada Daerah tingkat II yang bersangkutan, bilamana tidak diadakan

pengaturan secara khusus.

Mengingat bahwa Kotamadya dapat pula merupakan tempat kedudukan sesuatu

Daerah tingkat II, sedang kebanyakan penduduk yang telah maju dalam pendidikan

dan pengetahuan, lebih suka bertempat tinggal dalam Kotamadya yang dilingkarinya,

maka dengan ketentuan dalam pasal 23 sub b itu telah dibuka kemungkinan,

penduduk Kotamadya itu dapat dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah tingkat II yang melingkari Kotamadya yang bersangkutan itu.

Kata "dilingkari" tidak perlu ditafsirkan demikian, bahwa Kota-madya itu harus
sepenuhnya berada ditengah-tengah garis batas wilayah Daerah tingkat II yang

bersangkutan itu.

Kotamadya yang sebagian berbatasan misalnya dengan laut (seperti Surabaya

Semarang) atau dengan Daerah/Daerah-daerah tingkat II lainnya, adalah termasuk

dalam arti istilah "dilingkari" oleh Daerah/Daerah-daerah tingkat II itu.

Jadi penduduk Kotamadya yang sebagian berbatasan dengan Daerah atau beberapa

Daerah tingkat II dalam hal ini dapat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dari lebih dua Daerah, misalnya penduduk Kotamadya Binjai yang

berbatasan dengan Daerah tingkat II Langkat dan Daerah tingkat II Deli Serdang,

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 64 -

dapat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari ketiga

Daerah tersebut, tetapi calon itu diperbolehkan menjadi anggota hanya dari satu

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saja.

Uraian diatas berlaku pula bagi Kotaparaja dan Daerah tingkat III yang melingkarinya.

Menurut sub g seorang anggota partai terlarang, sesuai dengan ketentuan pasal 9

Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 tentang "Syarat-syarat dan penyederhanaan

kepartaian" jis pasal 9 Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960 dan Peraturan Presiden

No. 25 tahun 1960, sebagai akibat pembubaran/pelarangan sesuatu partai, tidak

dapat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali mereka

yang dengan perkataan dan perbuatan membuktikan menyetujui Undang-undang

Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan

Kepribadian Indonesia yang berarti pula menyetujui dan bersedia turut aktif

melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959, segala


sesuatu menurut penilaian Menteri Dalam Negeri dan disetujui oleh Presiden.

Pasal 24.

Larangan rangkapan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan pegawai

yang bertanggung-jawab tentang keuangan daerah dari daerah yang bersangkutan

meliputi semua pejabat dari Daerah, yang bersangkutan dengan keuangan Daerah,

termasuk Kepala Biro/kepala Bagian dan pegawai yang bertugas di Biro/Keuangan dari

Daerah yang bersangkutan dan yang bertugas serta bertanggung jawab dalam bidang

keuangan Daerah.

Pasal 25.

Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah anggota-anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan sesuatu baik secara langsung ataupun

tidak langsung yang mendatangkan keuntungan baginya akan tetapi merugikan

kepentingan Daerah yang bersangkutan dan yang dapat menurunkan derajat atau

kehormatan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dimata rakyat yang mereka

wakili.

Bilamana larangan itu tidak bertentangan dengan kepentingan Daerah, maka menurut

ayat (2), Kepala Daerah setelah mendengar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan

mendapat mufakatnya, dapat memberikan pengecualian apabila kepentingan Daerah

memerlukannya.

Untuk menghindarkan tindakan sewenang-wenang, maka kecuali kesempatan yang

harus diberikan kepada yang bersangkutan untuk memperatahankan diri, anggota

yang bersangkutan dapat minta putusan banding kepada Kepala Daerah setingkat

lebih atas atau bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah tingkat I

kepada Menteri Dalam Negeri terhadap putusan pemberhentian atau pemberhentian

sementara dalam waktu satu bulan sesudah anggota yang bersangkutan itu menerima
putusan tersebut.

Pasal 26.

Cukup jelas.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 65 -

Pasal 27.

Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk menetapkan Peraturan-peraturan

Daerah yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang:

1. uang sidang, uang jalan dan uang penginapan bagi para anggota-anggotanya;

2. tunjangan jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua Dewan;

3. uang kehormatan untuk setiap bulannya, uang jalan dan penginapan, uang

perjalanan pindah dari tempat kediaman semula ketempat kedudukan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah atau sebaliknya, uang penggantian biaya berobat,

tunjangan kematian, tunjangan penghargaan pada akhir masa jabatan atau

setelah berhenti dari jabatan dengan hormat bagi Ketua dan Wakil Ketua.

dengan ketentuan, bahwa Peraturan-peraturan Daerah itu ditetapkan dengan

mengingat pedoman yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I

dan oleh Kepala Daerah tingkat I bagi Daerah-daerah tingkat II dan III.

Peraturan-peraturan Daerah dimaksud untuk berlaku masih memerlukan pengesahan

oleh instansi atasan.

Mengenai hal-hal dimaksud diatas, bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Gotong-Royong, yang berdasarkan ketentuan dalam pasal 89 ayat (3) masih dapat

terus menjalankan tugas kewajibannya sesudah berlakunya Undang-undang ini,


berlaku terus pula segala peraturan-peraturan yang bersangkutan yang mengatur halhal dimaksud
(pasal 89 ayat 1), kecuali bilamana peraturan-peraturan itu

bertentangan dengan Undang-undang ini.

Pasal 28.

Ketentuan ini hanya berlaku bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk

menurut pasal 22 ayat (5) Undang-undang ini dan tidak bagi anggota-anggota antar

waktu yang mengisi lowongan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah GotongRoyong
yang masih ada.

Pasal 29.

Perkataan sidang atau rapat dalam ketentuan ini mengandung arti sama dengan

perakataan "zitting" atau "vergadering" dalam bahasa asing. Suatu sidang dapat

ditentukan untuk suatu waktu, dalam pada mana dapat diadakan rapat secara

berturut-turut. Penetapan waktu dan penyelenggaraan dari rapat atau sidang ini

adalah termasuk tugas kewajiban Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang dibicarakan dalam rapat tertutup

tidak saja mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan tetapi berlaku

juga para pegawai/pekerja yang ada dalam ruangan dimana diadakan rapat atau

sidang tertutup semua yang hadir dan mengetahui hal-hal yang dibicarakan dalam

rapat tertutup itu, begitu pula mereka yang dapat mengetahuinya dengan jalan lain,

umpamanya pegawai yang karena tugas kewajibannya menerima laporan dari lain

pegawai yang mengunjungi rapat.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 66 -

Apabila dengan mempergunakan dasar dimaksud dalam ayat (3), tidak bisa dicapai

kata mufakat, maka keputusan itu diserahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, yang mengambil keputusan dengan memperhatikan semua pendapat

yang ada dan apabila dengan menempuh cara demikian tidak dicapai hasil pula,

keputusan dapat diserahkan kepada Kepala Derah.

Pasal 30.

Pada umumnya rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka bagi umum; sifat

terbuka itu adalah adalah sesuai dengan cita-cita demokrasi, dimana umum juga

dapat mengikuti dengan saksama segala apa yang dibicarakan dalam rapat-rapat

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung.

Dengan demikian maka umum dapat mengadakan kritik-kritik dan pembahasanpembahasan atas
pembicaraan dan putusan yang diambil dalam rapat Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah itu melalui surat-surat kabar, radio dan lain-lain.

Dalam keadaan yang khusus, misalnya kalau kepentingan umum memerlukannya,

maka rapat memutuskan untuk mengadakan rapat tertutup, kecuali mengenai hal-hal

tertentu yang tersebut dalam ayat (2).

Pasal 31.

Cukup jelas.

Pasal 32.

Maksud peraturan ini adalah agar supaya anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dapat mengeluarkan pendapatnya dengan bebas, dengan tidak perlu takut

akan dituntut karena hal-hal yang dengan lisan atau tertulis telah dikemukakan dalam

rapat, Meskipun demikian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus mempunyai

sopan-santun sendiri dan senantiasa harus mengingat tata cara berbicara dalam rapat

sesuai peraturan tata tertib yang berlaku.

Pasal 33.

Pada dasarnya, jumlah anggota Badan Pemerintah Harian ditentukan menurut


kebutuhan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Penetapan minuman jumlah

anggota badan Pemerintah Harian bagi Daerah tingkat I sebanyak 7 orang, Daerah

tingkat II sebanyak 5 orang dan Daerah tingkat III sebanyak 3 orang dipandang sesuai,

namun penambahan jumlah itu sewaktu-waktu berdasarkan perkembangan Daerah

harus dimungkinkan.

Dengan memberikan kewenangan penambahan jumlah anggota Badan Pemerintah

Harian itu kepada Menteri Dalam Negeri diharapkan proses akan dapat cepat

diselesaikan, yakni setelah dinilai sebaik-baiknya pertimbangan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang bersangkutan.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 67 -

Jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut ketentuan ini harus terus diisi

selengkapnya. Manakala timbul lowongan, dalam waktu sesingkatnya lowongan

tersebut harus segera diisi.

Pasal 34 sampai dengan pasal 38

Cukup jelas.

(Lihat juga penjelasan umum).

Pasal 39 sampai dengan pasal 41.

Cukup jelas.

(Lihat juga penjelasan umum).

Pasal 42.

Mengingat, bahwa pelaksanaan urusan-urusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah

daerah setingkat lebih atas dapat dilakukan di Daerah dengan sebaik-baiknya apabila

Pemerintah Daerah yang bersangkutan diturut-sertakan, maka kecuali pemberian


otonomi yang luas dan riil kepada Daerah seperti yang diatur dengan ketentuanketentuan tersebut
dalam pasal 39, 40 dan 41, adalah selayaknya, apabila

dipergunakan sebanyak mungkin tugas pembantuan (medebewind) yang dilaksanakan

oleh Daerah. Berhubung dengan itu, dalam pasal ini ditentukan agar peraturanperaturan
perundangan Pusat atau peraturan Daerah setingkat lebih atas, sedapat

mungkin menyerahkan pelaksanaan urusan-urusan Pemerintah Pusat atau urusan

rumah tangga. Daerah setingkat lebih atas, sebagian atau seluruhnya, sebagai tugas

pembantuan kepada Daerah yang ditunjuk oleh dan dalam peraturan-peraturan itu.

Peraturan-peraturan itu wajib menyerahkan biaya-biaya belanja serta alat

perlengkapannya kepada dan menentukan sumber-sumber pendapatan bagi Daerah

yang ditunjuk itu guna pelaksanaan tugas pembantuan yang dimaksud. Pemerintah

Daerah yang ditunjuk wajib melaksanakan tugas pembantuan itu.

Pasal 43.

Mengenai pasal 43 dijelaskan, bahwa pasal ini mengatur dasar-dasar pokok kerja sama

antara Daerah-daerah untuk mencapai daya kerja yang lebih kuat mengenai soal-soal

yang termasuk urusan rumah tangga Daerah.

Dengan bertumbuh dan berkembangnya Daerah-daerah, maka akan meluas pula

bidang-bidang dimana terdapat kepentingan bersama. Keputusan-keputusan

Musyawarah Antar Kotapraja seluruh Indonesia dengan Departemen Dalam Negeri

yang ke II di Makasar tanggal 31 Maret sampai dengan 4 April 1964, dapat

menunjukkan, betapa luasnya bidang-bidang yang dimaksud. Untuk bersama-sama

mengatur dan mengurus kepentingan bersama itu, Daerah-daerah dapat mengadakan

kerja sama.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 68 -
Pasal 43 ayat (1), (2) dan (3) memberikan beberapa ketentuan kerja sama resmi ini,

sedangkan ayat (4) menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri dapat mengadakan

pengaturan khusus untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi sesuatu bentuk

kerja sama Antara Daerah.

Kerja sama ini tidak terbatas saja kepada Daerah-daerah yang sama tingkatnya, akan

tetapi dapat dilakukan juga antara Daerah-daerah yang tidak sama tingkatnya yang

berkehendak untuk mencapai suatu tujuan yang, sama untuk kepentingan penduduk

didalam masing-masing wilayahnya. Keputusan bersama untuk mengatur kerja sama

itu tidak dapat dilaksanakan bilamana tidak disahkan oleh instansi atasan dan sudah

barang tentu rencana- rencana untuk mengadakan kerja sama dengan lain-lain Daerah

itu harus dimusyawarahkan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan.

Dalam keadaan yang memaksa, Kepala Daerah diperbolehkan juga untuk mengambil

inisiatif untuk mengadakan kerja sama tetapi dengan ketentuan, bahwa keputusan

yang demikian itu kemudian harus pula dimusyawarahkan dalam sidang Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, karena kerja sama itu pada umumnya

membawa akibat-akibat finansiil yang tidak dapat lepas dari campur tangan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

Selain dari pada itu jika untuk melaksanakan kerja sama perlu dibentuk sebuah badan

atau panitia, maka dalam peraturan kerja sama itu harus pula diatur tentang

pertanggungan jawab badan atau panitia itu.

Apabila kerja sama itu terjadi antara Daerah tingkat I dengan Daerah-daerah tingkat

lain maka pengesahan terhadap keputusan kerja sama itu dilakukan oleh instansi yang

lebih tinggi dari Daerah yang tertinggi tingkatnya i.c. oleh Menteri Dalam Negeri.

Bila kemudian tidak terdapat kata sepakat tentang perubahan atau pencabutan
peraturan tentang kerja sama, maka Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah yang

dimaksud dalam ayat (2) yang memutuskannya.

Pasal 44 sampai dengan pasal 46.

Kepala Daerah yang bertanggung jaab atas maju mundurnya Daerah serta

penduduknya, dan untuk itu memegang kesatuan komando dan kesatuan

kebijaksanaan pemerintahan di Daerah menjalankan hak dan wewenang sebagai

a. alat Pemerintah Pusat,

b. alat Pemerintah Daerah,

Sebagai alat Pemerintah Pusat, Kepala Daerah :

a. memegang Pimpinan dalam melakukan kebijaksanaan untuk melaksanakan

politik Pemerintah Pusat mengenai ketertiban dan keamanan umum, guna

mencapai situasi tata-tentram di Daerahnya agar dapat ditingkatkan

kekertaraharjaan.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 69 -

b. menyelenggarakan koordinasi antar jawatan-jawatan Pemerintah Pusat di

Daerah dan antara jawatan-jawatan tersebut dengan Pemerintah Daerah, dan

jawatan-jawatannya,

c. melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, dan

d. menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh Pemerintah

Pusat.

Wewenang Kepala Daerah memegang pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan

pelaksanaan politik Pemerintah Pusat mengenai ketertiban dan keamanan umum

dilaksanakan sesuai dengan jiwa kegotong-royongan yang tercermin dalam keputusan


Presiden No. 71 tahun 1964, dengan mengindahkan wewenang dan dengan

bermusyawarah dengan alat-alat Negara yang bertugas dan berwenang dalam bidangbidang
tersebut didaerahnya; sebaliknya dengan kewajiban bagi alat-alat Negara yang

dimaksud untuk mengindahkan wewenang dan kewibawaan Kepala Daerah.

Sudah sewajarnyalah bahwa alat-alat Negara yang bertanggung jawab dalam

pelaksanaan kebijksanaan itu, setelah melaksanakan kebijaksanaan tersebut

melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Kepala Daerah sebagai pemegang pimpinan

kebijaksanaan umum didaerahnya.

Sebagai alat Pemerintah Daerah, Kepala Daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan

eksekutif Pemerintah Daerah, baik dibidang urusan rumah tangga Daerah maupun

dibidang pembantuan, dalam hal mana ia memberikan pertanggungan jawab

sekurang-kurangnya sekali setahun kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bila

diminta oleh Dewan tersebut atau bilamana dipandang perlu oleh Kepala Daerah.

Dalam menjalankan tugas kewenangan ini, Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan

karena sesuatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (lihat pasal 17).

Dalam melaksanakan tugas kewenangan dan kewajiban saeperti yang dirumuskan

dalam pasal 44 ini, nampaklah perwujudan fungsi Kepala Daerah. Dalam memimpin

dan mengayomi sebagai pejabat kepercayaan Presiden/Perdana Menteri/Mandataris

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara/Pemimpin Besar Revolusi di Daerahnya,

maka unsur kebijaksanaan pada semua tindakan dan keputusan Kepala Daerah, serta

tindakan dan kebijaksanaan dengan maksud untuk mempertinggi dan memperlengkap

ketahanan serta kesiapsiagaan Revolusi Indonesia sesuai TAVIP dengan mengubah

gerak pelaksanaan yang masih bersifat routine konvensional dan tindakan

kebijaksanaan untuk pelaksanaan pedoman- pedoman pelaksanaan Manipol,

merupakan unsur pokok.


Jelaslah juga disini bahwa yang dimaksud dengan kebijaksanaan politik polisionil

dalam pasal 44 sekali-kali bukanlah politik polisionil beleid yang ada ditangan seorang

Gubernur/Resident dari jaman Hindia Belanda, yang semata-mata ditujukan untuk

menumpas kegiatan politik bangsa Indonesia yang ingin melepaskan belenggu

penjajahan.

Kebijaksanaan politik polisionil yang ada pada seorang Kepala Daerah dalam alam

Sosialisme Indonesia yang berdasarkan Panca Sila dengan demokrasi terpimpin sebagai

alatnya dimaksudkan untuk memupuk, mempersatukan dan mengembangkan kegiatan

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 70 -

politik Bangsa Indonesia yang progressif revolusioner untuk mencapai tujuan revolusi,

dan kebijaksanaan politik polisionil dalam arti menghambat, menumpas atau

membinasakan hanya ditujukan terhadap kegiatan politik antek-antek nekolom dan

kaum kontra revolusioner.

Peristilahan kita belum cukup kaya untuk mengganti istilah "politik polisionil" yang

sebenarnya sudah lapuk itu dengan suatu istilah baru yang khas dan berkepriabdian

Indonesia seperti yang dimaksudkan diatas, sehingga dalam pasal 44 ini istilah

tersebut masih dipakai.

Pasal 45 ayat (2) menetapkan, bahwa seorang Kepala Daerah bertanggung jawab

kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

Hal Perwakilan yang termaktub dalam pasal 46 perlu diadakan, agar tegas siapa yang

akan mewakili Daerah untuk bertindak jika daerah menjadi penggugat atau tergugat

dalam perkara perdata atau perkara pidana. Bukan perwakilan didalam pengadilan

saja, tetapi juga diluar pengadilan Kepala Daerah yang bersangkutan itu akan
mewakili Daerahnya. Dalam soal perwakilan ini, Kepala Daerah dapat menunjuk orang

kuasanya untuk mewakili Kepala Daerah.

Pasal 47 dan pasal 48.

Cukup jelas.

Pasal 49 sampai dengan pasal 56.

(Lihat penjelasan umum).

Didalam hal sesuatu materi/persoalan telah diatur dengan Peraturan Daerah dan

ternyata kemudian bahwa materi /persoalan dimaksud diatur oleh peraturanperundangan yang
lebih tinggi tingkatannya, maka Peraturan Daerah dimaksud karena

hukum dengan sendirinya tidak berlaku lagi dengan segala sesuatunya harus

disesuaikan dengan ketentuan didalam peraturan-perundangan tersebut yang lebih

tinggi tingkatannya.

Dalam hal dipandang perlu maka dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tentang

ketentuan-ketentuan dan bentuk dari Peraturan Daerah, agar dapat terpenuhi caracara
melaksanakan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya yang harus

dilaksanakan oleh Daerah.

Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah ditanda-tangani oleh Kepala Daerah (pasal 54 ayat 2).

Dalam pada itu pengundangan adalah syarat tunggal untuk mendapatkan kekuatan

hukum dan mengikat (pasal 54 ayat 3).

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai Wakil Rakyat Daerah dapat membela

kepentingan Daerah dan penduduknya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dan/atau Kepala Daerah yang lebih tinggi tingkatannya dan kepada Pemerintah dan

Dewan Perwakilan Rakyat dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 71 -

(pasal 55) agar dengan demikian ada saluran, sehingga kepentingan Daerah dan

penduduknya, bila perlu , dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan,

dapat dibela sampai pada pemerintahan tingkat Pusat.

Pasal 57.

Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian dimaksudkan supaya dapat membantu

sepenuhnya Kepala Daerah dalam urusan dibidang rumah tangga dan dibidang tugas

pembantuan dalam pemerintahan. Maka adalah merupakan kewajiban Kepala Daerah

untuk membagi-bagikan pekerjaan dalam bidang-bidang tersebut diatas, sehingga ada

tanggung jawab luas bagi setiap anggota Badan Pemerintah Harian.

Pasal 58 sampai dengan pasal 60.

Menurut pasal 58, yang bekerja pada pemerintahan Daerah ialah :

a. pegawai Negara;

b. pegawai Negeri;

c. pegawai Daerah;

d. pegawai Negeri yang dipekerjakan pada Daerah;

e. pegawai Negeri yang diperbantukan kepada Daerah;

f. pegawai Daerah lain yang dipekerjakan pada Daerah dan

g. pegawai Daerah lain yang diperbantukan kepada Daerah.

Penjelasan Pemerintah yang diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat GotongRoyong pada
tanggal 5 Juni 1961 mengenai pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 18

tahun 1961 menunjukkan betapa eratnya hubungan mengenai status hukum antara

pegawai Negeri dan pegawai Daerah; maka pokok-pokok ketentuan mengenai status

hukum pegawai Negeri yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 18 tersebut diatas

berlaku pula bagi seluruh pegawai Daerah. Dalam rangka hubungan yang demikian,
untuk dapat lebih menjamin adanya pengertian mental, pendidikan, pengetahuan dan

kemampuan yang merata pada setiap pegawai, maka ditetapkan ketentuan yang

termuat pada pasal 59 dan 60.

Sepanjang Undang-undang No. 18 tahun 1961 belum mengatur tentang latihan dan

pendidikan pegawai Daerah, maka Menteri Dalam Negeri didalam mengatur lapangan

kariere pegawai dalam mengadakan latihan dan pendidikan pegawai mengikutsertakan pegawai
Daerah. Dengan demikian terbuka kemungkinan bagi kariere

pegawai Daerah yang bersangkutan.

Pasal 61 sampai dengan pasal 63.

Untuk mencapai daya guna yang sebesar-besarnya dalam pelaksanaan Pemerintah

yang dikomandokan dari satu sumber pimpinan di Daerah, dalam pada mana menurut

sistimatik Undang-undang ini Kepala Daerah itu telah diberikan kedudukan khas dalam

rangkaian susunan ketatanegaraan yang tidak mudah dapat tergoyahkan, maka dalam

administrasi pemerintahan Daerah Sekretaris Daerah itu dijadikan poros yang utama

pula dalam perputaran roda pemerintahan Daerah.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 72 -

Menurut pasal 10 penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh

tugas Pemerintah Daerah dilakukan oleh Sekretariat Daerah yang dikepalai oleh

seorang Sekretaris Daerah. Sekretaris Daerah itu bertanggung-jawab kepada dan

melakukan pekerjaannya langung dibawah pimpinan Kepala Daerah.

Oleh karena Sekretaris Daerah itu menurut pasal 62 bukan saja merupakan Sekretaris

dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan dari Kepala Daerah dalam kedudukannya

sebagai alat Pemerintah Daerah, tetapi juga adalah Sekretaris dari Kepala Daerah
dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat, maka Sekertariat Daerah itu

mencakup sekaligus dua Kantor Administrasi Pemerintah Pusat dan kantor Adminitrasi

Pemerintah Daerah, sehingga dengan demikian hapus pula dualisme dalam

administrasi pemerintahan di Daerah seperti hapusnya dualisme dalam pimpinan

pemerintahan Daerah.

Untuk menjaga agar dalam administrasi Pemerintahan Daerah ada kontinuitas dalam

pimpinannya yang setiap kali tidak akan turut berubah manakala ada pergeseran atau

penggantian Kepala Daerah dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka

menurut ketentuan dalam pasal 61 telah ditentukan, bahwa Sekertaris Daerah itu

diberi status pegawai Daerah.

Syarat-syarat dan hak pengangkatannya ditentukan dan dilaksanakan oleh Pemerintah

Pusat c.q. Menteri Dalam Negeri.

Dalam hal Sekretaris Daerah berhalangan menjalankan tugasnya, maka tugas

Sekretaris Daerah dilakukan oleh pejabat yang tunjuk oleh Kepala Daerah yang

bersangkutan.

Pasal 64.

Sudah cukup jelas.

Pasal 65 dan pasal 66.

Mengenai ketentuan pasal 65 ayat (1) dikemukakan, bahwa berhubung dengan

berlakunya Undang-undang No. 18 tahun 1961 tersebut diatas, Daerah dalam

menetapkan peraturan-peraturan Daerah tentang hal kepegawaian Daerah harus

mengikuti ketentuan-ketentuan pokok yang ditetapkan dalam Undang-undang

tersebut serta menyesuaikan peraturan-peraturan Daerahnya dengan peraturanperaturan


pelaksanaan mengenai hal pegawai Negeri yang ditetapkan oleh

Pemerintah Pusat (prinsip konkordansi).


Pasal 67 sampai dengan pasal 72.

Sudah cukup jelas.

Untuk selanjutnya (Lihat penjelasan umum).

Pasal 73.

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 73 -

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mengadakan usaha-usaha yang

mengakibatkan tambahan beban Rakyat perlu mendapatkan pengesahan terlebih

dahulu. Didalam Menteri Dalam Negeri mengesahkan keputusan-keputusan semacam

itu selalu akan mendengarkan saran dan pendapat dari Menteri Iuran Negara dan/atau

Menteri yang lain, sepanjang apa yang akan diatur didalam keputusan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah tersebut menyangkut sesuatu bidang tertentu yang

termasuk dalam tugas bidang Menteri yang bersangkutan.

Pasal 74 dan pasal 75.

Sudah cukup jelas.

Untuk selanjutnya (Lihat penjelasan umum).

Pasal 76.

Dalam jangka panjang memang diharapkan agar Daerah itu dapat ber-swasembada

dan ber-swadaya menutup kebutuhan rumah tangganya sendiri, akan tetapi sekarang

ini Daerah baru dalam taraf memupuk kemampuan untuk dapat membiayai belanja

routine.

Pasal 86.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang, sekarang pada

saat mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya tidak terikat jangka masa jabatan dimaksud

pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5), dengan pengertian bahwa bagi pengangkatan

Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kemudian, berlaku ketentuan proseduril

menurut pasal 11 dan 12

Pasal 87 sampai dengan pasal 90.

Tidak memerlukan penjelasan.

Mengetahui :

Sekretaris Negara,

MOHD. ICHSAN.
PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 1965

TENTANG

DESAPRAJA SEBAGAI BENTUK PERALIHAN

UNTUK MEMPERCEPAT TERWUJUDNYA DAERAH TINGKAT III

DI SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan menurut

Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku kembali sejak Dekrit

Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, maka segala

peraturan-perundangan tata-perdesaan umumnya, yang masih

mengandung unsur-unsur dan sifat-sifat kolonial-feodal harus diganti

dengan satu Undang-undang Nasional kedesaan yang berlaku untuk

seluruh wilayah Republik Indonesia;

b. bahwa Undang-undang Nasional termaksud harus menjamin

tataperdesaan yang lebih dinamis dan penuh daya-guna dalam rangka

menyelesaikan Revolusi Nasional yang Demokratis dan Pembangunan

Nasional Semesta, sesuai dengan isi dan jiwa Manifesto Politik

sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dan pedoman-pedoman

pelaksanaannya yang telah diperkuat dengan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS/1960 dan No.

II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional

Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969;


c. bahwa berpedoman pada pidato Presiden Republik Indonesia tanggal

17 Agustus 1964 (TAVIP) dan Undang-undang tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah, maka Undang-undang Nasional termaksud

dalam sub b haruslah menjamin bahwa semua kesatuan masyarakat

hukum yang ada sekarang dapat selekas mungkin dijadikan atau

ditingkatkan menjadi Daerah tingkat III, dengan atau tanpa melalui

bentuk peralihan Desapraja.

Menetapkan :…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-2-

Memperhatikan : a. Usul Panitia Negara yang dibentuk dengan Keputusan Presiden

Republik Indonesia No. 514 tahun 1961 dan No. 547 tahun 1961;

b. Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Mandataris

M.P.R.S. dimuka Sidang Umum ke III Majelis Permusyawarat- an

Rakyat Sementara tanggal 11 April 1965.

Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (1), pasal 5 ayat (1), pasal 18 dan pasal 20 ayat (1)

Undang-undang Dasar;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/

MPRS/1960; No. V/MPRS/1965, No. VI/MPRS/1965 dan No.

VIII/MPRS/1965;

3. Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah (Lembaran-Negara tahun 1965 No. 83);

4. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (Lembaran-
Negara tahun 1960 No. 104) Ketetapan
Ketiga.

Mendengar : Presidium Kabinet Republik Indonesia.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

Memutuskan :

KESATU:

Mencabut :

1. Inlandsche Gemeente Ordonnantie Java en Madoera (Stbld. 1906 No. 83) dengan

segala perubahan dan tambahannya;

2. Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (Stbld. 1938 No. 490 jo. Stbld.

1938 No. 681);

3. Reglement…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-3-

3. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het ontslag van de hoofden der

Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stbld. 1907 No. 212) dengan segala

perubahan dan tambahannya;

4. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van Dessa's op Java en

Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bibblad No. 9308);

5. Hoogere Inlandsche Verbanden Ordonantie Buitengewesten (Stbld. 1931 No. 507)

dengan segala perubahan dan tambahannya;

6. Osamu Seirei No. 7 tahun 2604 (1944) dan lain-lain peraturan-perundangan

tentang kedesaan selama pemerintahan pendudukan Jepang;

7. Semua peraturan-perundangan dan lain-lain peraturan tentang kedesaan yang

termuat dalam berbagai Rijksbladen dari bekas-bekas Swapradja-swapradja dan


Derah Istimewa, dari bekas- bekas Negara-negara bagian dan Daerah-daerah

bagian semasa Republik Indonesia Serikat;

8. Semua peraturan-perundangan dan peraturan-peraturan lainnya tentang kedesaan,

baik dari Pemerintah Pusat, maupun dari sesuatu Pemerintah Daerah yang

bertentangan dengan Undang- undang ini.

KEDUA:

Menetapkan:

Undang-undang tentang Desapraja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat

terwujudnya daerah tingkat III di seluruh wilayah Republik Indonesia.

BAB I.

KETENTUAN UMUM.

Pasal 1.

Yang dimaksud dengan Desapraja dalam Undang-undang ini adalah

kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak

mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan

mempunyai harta benda sendiri.

Pasal 2…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-4-

Pasal 2.

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan perkataan:

a. "Daerah" adalah daerah menurut ketentuan dan pengertian Undangundang tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah;

b. "Daerah atasan" adalah Daerah tingkat II dan Daerah tingkat I yang


menjadi atasan dari Desapraja;

c. "Instansi atasan" adalah Pemerintah Daerah tingkat II, Pemerintah

Daerah tingkat I dan Pemerintah Pusat dengan segala Departemen

dan Jawatannya baik di Pusat maupun yang berada di Daerahdaerah tingkat I dan tingkat II;

d. "Pemerintah Daerah" adalah Pemerintah Daerah menurut ketentuan

dan pengertian Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah;

e. "Kepala Daerah" adalah Kepala Daerah menurut ketentuan dan

pengertian Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah;

f. "Peraturan-perundangan" adalah Peraturan Pemerintah dan/ atau

Undang-undang serta peraturan-peraturan dan perundang- undangan

lainnya yang mempunyai kekuatan hukum yang setingkat dengan

Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dan jika disebutkan

"peraturan yang lebih tinggi tingkatannya" diartikan juga termasuk

Peraturan-peraturan Daerah atasan dari Desapraja;

g. "Gabungan" atau "penggabungan" adalah persatuan dan penyatuan

yang merupakan kesatuan, tidak berbentuk atau bersifat federasi;

h. "Dukuh"…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-5-

h. "Dukuh" adalah bagian dari Desapraja yang merupakan kelompok

perumahan tempat tinggal sejumlah penduduk yang biasanya

disebut dusun, desa, dukuh, kampung dan sebagainya semacam itu,


sedang penggunaan kata "dukuh" adalah untuk menyebut dengan

satu kata nama-nama yang bermacam-macam itu;

i. "Keputusan" dapat diartikan juga peraturan.

Pasal 3

(1) Desapraja adalah badan hukum.

(2) Di dalam dan di luar pengadilan Desapraja diwakili oleh Kepala

Desapraja.

(3) Apabila Kepala Desapraja berhalangan menjalankan kewajibannya,

maka ia diwakili oleh Pamong Desapraja yang berhak menurut

ketentuan yang temaksud dalam pasal 16.

(4) Dalam hal-hal yang bersifat khusus Kepala Desapraja dapat

menunjuk seorang kuasa untuk mewakilinya.

Pasal 4.

(1) Berdasarkan kepentingan umum atas usul Pemerintah Daerah

tingkat II dan setelah memperhatikan pendapat Badan Musyawarah

Desapraja yang bersangkutan, beberapa Desapraja dapat

digabungkan menjadi satu Desapraja;

(2) Berdasarkan keputusan Badan Musyawarah Desapraja masingmasing, Desapraja-desapraja


dapat menggabungkan diri menjadi

satu Desapraja.

(3) Penggabungan termasud dalam ayat (1) atau (2) ditetapkan dengan

peraturan Daerali tingkat I yang memuat juga ketentuan-ketentuan

tentang penyelesaian segala akibat dari penggabungan tersebut.

(4) Peraturan…

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-

(4) Peraturan Daerah termaksud dalam ayat (3) tidak dapat berlaku

sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 5.

(1) Berdasarkan kepentingan umum, atas usul Pemerintah Daerah

tingkat II dan setelah memperhatikan pendapat Badan Musyawarah

Desapraja yang bersangkutan, sesuatu Desapraja dapat di- pecah

menjadi lebilh kecil.

(2) Pemecahan termaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan peraturan

Daerah tingkat I yang mcmuat juga ketentuan-ketentuan tentang

penyelesaikan segala akibat dari pemecahan tersebut.

(3) Peraturan Daerah termaksud dalam ayat (2) tidak dapat berlaku

sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 6

(1) Ditiap-tiap Daerah tingkat 1, Desapraja dicatat dalam suatu daftar

yang diselenggarakan oleh Kepala Daerah termaksud dan

merupakan daftar induk Desapraja dalam Daerah tersebut.

(2) Perubahan nama, luas dan batas daerah sesuatu Desapraja

ditetapkan dengan keputusan Pemerintah Daerah tingkat I

berdasarkan usul Pemerintah Daerah tingkat II yang bersangkutan.

BAB II…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-7-
BAB II.

BENTUK DAN SUSUNAN ALAT-ALAT KELENGKAPAN

DESAPRAJA.

BAGIAN I.

Ketentuan Umum.

Pasal 7.

Alat-alat kelengkapan Desapraja terdiri dari Kepala Desapraja, Badan

Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera Desapraja, Petugas

Desapraja dan Badan Pertimbangan Desapraja.

BAGIAN II.

Tentang Kepala Desapraja.

Pasal 8.

(1) Kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah-tangga

Desapraja dan sebagai alat Pemerintah Pusat.

(2) Kepala Desapraja mengambil tindakan-tindakan dan keputusankeputusan penting setelah


memperoleh persetujuan Badan

Musyawarah Desapraja.

Pasal 9.

(1) Kepala Desapraja dipilih langsung oleh penduduk Desapraja yang

sudah berumur 18 tahun atau sudah (pernah) kawin dan menurut

adat-kebiasaan setempat sudah menjadi warga Desapraja yang

bersangkutan.

(2) Kepala…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
-8-

(2) Kepala Desapraja diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I dari

sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya tiga orang calon,

berdasarkan hasil pemilihan yang sah, untuk suatu masa jabatan

paling lama delapan tahun. Kepala Daerah tingkat I dapat

menguasakan kewenangan tersebut kepada Kepala Daerah tingkat II

yang bersangkutan.

(3) Peraturan pemilihan, pengangkatan dan pengesahan, pemecatan

sementara dan pemberhentian Kepala Desapraja ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah tingkat I dengan memperhatikan adat-kebiasaan

setempat.

(4) Peraturan termaksud dalam ayat (3) tidak dapat berlaku sebelum

disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 10.

Yang dapat dipilih dan diangkat menjadi Kepala Desapraja ialah

penduduk yang menurut adat-kebiasaan setempat telah menjadi warga

Desapraja, yang:

a. sekurang-kurangnya telah berumur 25 tahun;

b. berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi

perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia;

c. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,

demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian Indonesia

yang berarti bersedia turut serta aktif melaksanakan Manifesto

Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan

pedoman-pedoman pelaksanaannya,
d. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan

keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;

e. mempunyai…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-9-

e. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan

dan sekurang-kurangnya berpendidikan tamat Sekolah Dasar atau

berpengetahuan yang sederajat dengan itu.

Pasal 11.

Ketentuan-ketentuan mengenai larangan-larangan berhubung dengan

rangkapan jabatan Kepala Desapraja diatur oleh Pemerintah Daerah

tingkat I.

Pasal 12.

(1) Kepala Desapraja tidak dapat diberhentikan karena sesuatu

keputusan Badan Musyawarah Desapraja.

(2) Kepala Desapraja berhenti karena meninggal dunia, atau

diberhentikan oleh Kepala Daerah tingkat I atas usul Kepala Daerah

Tingkat II;

a. atas permintaan sendiri;

b. karena berakhir masa jabatannya;

c. karena tidak memenuhi lagi sesuatu syarat termaksud dalam

pasal 10;

d. karena tidak mentaati larangan-larangan rangkapan jabatan

termaksud dalam pasal 11.


Pasal 13.

(1) Penghasilan Kepala Desapraja berdasarkan pedoman Menteri

Dalam Negeri ditetapkan dengan keputusan Badan Musyawarah

Desapraja dan dimasukkan dalam anggaran keuangan Desapraja.

(2) Keputusan…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

(2) Keputusan termaksud dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum

disahkan oleh Kepala Daerah tingkat II.

Pasal 14.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desapraja mengangkat

sumpah menurut cara agamanya atau mengucapkan janji menurut

kepercayaannya dalam Sidang Badan Musyawarah Desapraja

dihadapan Kepala Daerah tingkat II atau petugas yang ditunjuknya.

(2) Susunan kata-kata sumpah atau janji termaksud dalam ayat (1)

adalah sebagai berikut:

"Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk dipilih dan diangkat

menjadi Kepala Desapraja .................. langsung atau tidak langsung

dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau

menjanjikan atau akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan

menerima langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga

sesuatu janji atau pemberian.


Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban

saya sebagai Kepala Desapraja dengan sebaik-baiknya dan sejujurjujurnya, bahwa saya
senantiasa akan membantu memelihara

Undang-undang Dasar 1945 dan segala peraturan-perundangan

yang berlaku bagi Republik Indonesia.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memegang rahasia

sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya

rahasiakan.

Saya…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya dalam menjalankan jabatan

atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mementingkan

kepentingan Negara, Daerah dan Desapraja dari pada kepentingan

saya sendiri, seseorang atau golongan dan akan menjunjung tinggi

kehormatan Negara, Daerah, Desapraja, Pemerintah dan Petugas

Negara.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga

membantu memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada

umumnya dan memajukan kesejahteraan Rakyat dalam daerah

Desapraja pada khususnya dan akan setia kepada Negara, Bangsa

dan Republik Indonesia".

Pasal 15.

(1) Menteri Dalam Negeri menetapkan nama jabatan, tanda jabatan dan
pakaian seragam Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja.

(2) Dengan peraturan Daerah tingkat I dapat ditetapkan :

a. gelar Kepala Desapraja menurut adat-kebiasaan setempat;

b. pakaian Kepala Desapraja menurut adat-kebiasaan setempat;

c. tanda jabatan petugas dan pegawai Desapraja yang dianggap

perlu.

Pasal 16.

(1) Dalam hal Kepala Desapraja berhalangan atau tidak dapat

melakukan tugas kewajibannya, ia diwakili oleh seorang Pamong

Desapraja sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

(2) Dalam hal terjadi lowongan jabatan Kepala Desapraja disebabkan

hal-hal yang dimaksud pada pasal 12 ayat (2), apabila dianggap

perlu, diadakan pemilihan Kepala Desapraja baru.

BAGIAN III…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 12 -

BAGIAN III.

Tentang Badan Musyawarah Desapraja.

Pasal 17.

(1) Badan Musyawarah Desapraja adalah perwakilan dari masyarakat

Desapraja.

(2) Jumlah anggota dan perubahan jumlah anggota Badan Musyawarah

Desapraja ditetapkan untuk setiap Desapraja oleh Pemerintah

Daerah tingkat II, sedikit-dikitnya 10 dan sebanyak-banyaknya 25


orang, tidak termasuk Ketua.

(3) Keanggotaan Badan Musyawarah Desapraja berlaku untuk masa

empat tahun.

(4) Anggota yang mengisi lowongan keanggotaan antar waktu, duduk

dalam Badan Musyawarah Desapraja hanya selama sisa masa empat

tahun tersebut.

(5) Anggota-anggota Badan Musyawarah Desapraja dipilih secara

langsung oleh penduduk Desapraja yang sudah berumur 18 tahun

atau sudah (pernah) kawin dan menurut adat-kebiasaan setempat

sudah menjadi warga Desapraja yang bersangkutan.

(6) Peraturan pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota Badan

Musyawarah Desapraja ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tingkat

I, dengan mengingat pula adat-kebiasaan setempat serta sebolehbolehnya menjamin bahwa


semua dukuh dalam daerah Desapraja

sekurang-kurangnya mempunyai seorang wakil.

(7) Peraturan Daerah tingkat I termaksud dalam ayat (6) tidak dapat

berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 18…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 13 -

Pasal 18.

Yang dapat menjadi anggota Badan Musyawarah Desapraja ialah

penduduk yang menurut adat-kebiasaan setempat telah menjadi warga

Desapraja, yang :
a. sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun;

b. bertempat tinggal pokok dalam daerah Desapraja yang

bersangkutan;

c. cakap menulis dan membaca bahasa Indonesia dalam huruf latin;

d. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan

keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;

e. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, sosialisme Indonesia,

demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian

Indonesia, yang berarti bersedia turut serta aktif melaksanakan

Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959

dan pedoman-pedoman pelaksanaannya;

f. tidak menjadi anggota/bekas anggota sesuatu partai/organisasi yang

menurut peraturan perundangan yang berlaku dinyatakan

dibubarkan/terlarang oleh yang berwajib, kecuali mereka yang

dengan perkataan dan perbuatan membuktikan persetujuannya

dengan apa yang tersebut dalam sub c, menurut penilaian Kepala

Daerah Tingkat II dan disetujui oleh Kepala Daerah tingkat I.

Pasal 19.

Anggota Badan Musyawarah Desapraja tidak boleh merangkap:

a. jabatan Kepala Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera Desapraja

dan petugas serta pegawai Desapraja yang bertanggung-jawab

tentang keuangan kepada Desapraja yang bersangkutan;

b. lain-lain jabatan pekerjaan yang akan ditentukan oleh Pemerintah

Daerah tingkat I.

Pasal 20…
PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 14 -

Pasal 20.

(1) Anggota Badan Musyawarah Desapraja berhenti karena meninggal

dunia atau diberhentikan karena:

a. atas permintaan sendiri;

b. berakhir masa jabatannya;

c. tidak lagi memenuhi sesuatu syarat seperti termaksud dalam

pasal 18;

d. melanggar ketentuan larangan rangkapan jabatan seperti

termaksud dalam pasal 19.

(2) Keputusan pemberhentian termaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh

Kepala Daerah Tingkat II atas usul Kepala Desapraja yang

bersangkutan.

(3) Terhadap keputusan termaksud dalam ayat (2), dalam waktu satu

bulan setelah menerima keputusan itu, anggota yang bersangkutan

dapat memajukan banding kepada Kepala Daerah Tingkat I.

Pasal 21.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua Wakil-wakil Ketua dan

anggota Badan Musyawarah Desapraja mengangkat sumpah

menurut cara agamanya atau berjanji menurut kepercayaannya

dihadapan Kepala Daerah Tingkat II atau petugas yang ditunjuknya.

(2) Pengangkatan sumpah atau janji dari anggota Badan Musyawarah

Desapraja yang mengisi lowongan antar-waktu dilakukan dihadapan


Ketua Badan Musyawarah Desapraja.

(3) Susunan kata-kata sumpah (janji) termaksud dalam ayat (1) dan (2)

adalah sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2) dengan

penyesuaian seperlunya.

Pasal 22…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 15 -

Pasal 22.

(1) Pimpinan Badan Musyawarah Desapraja terdiri dari Ketua dan

Wakil-wakil ketua.

(2) Kepala Desapraja karena jabatannya menjadi Ketua Badan

Musyawarah Desapraja.

(3) Wakil-wakil Ketua Badan Musyawarah Desapraja dipilih oleh dan

dari anggota Badan Musyawarah Desapraja dan disahkan oleh

Kepala Daerah Tingkat II.

(4) Selama Ketua dan Wakil-wakil Ketua belum ada, Badan

Musyawarah Desapraja berapat dibawah pimpinan salah seorang

anggota yang tertua usianya.

BAGIAN IV.

Sidang dan rapat Badan Musyawarah Desapraja.

Pasal 23.

(1) Badan Musyawarah Desapraja mengadakan sidang sedikit- dikitnya

sekali dalam tiga bulan atas panggilan Ketua. Sidang dapat juga

diadakan setiap waktu bila dianggap perlu oleh Ketua atau atas
permintaan sedikit-dikitnya sepertiga dari jumlah anggota.

(2) Rapat-rapat Badan Musyawarah Desapraja dipimpin oleh Ketua

atau Wakil-Ketua. Apabila Ketua-ketua dan Wakil-wakil Ketua

berhalangan, rapat dapat dipimpin oleh salah seorang anggota yang

tertua usianya.

(3) Untuk kepentingan rapat-rapatnya, Badan Musyawarah, Desapraja

dapat membuat peraturan tata-tertib yang harus disahkan oleh

Kepala Daerah Tingkat II dengan memperhatikan petunjuk Kepala

Daerah tingkat I.

Pasal 24…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 16 -

Pasal 24.

(1) Badan Musyawarah Desapraja dapat mengadakan rapat dan

menambil keputusan apabila dihadiri oleh sedikit-dikitnya dua

pertiga jumlah anggota.

(2) Badan Musyawarah Desapraja mengambil keputusan dengan kata

mufakat atas dasar kebijaksanaan musyawarah.

(3) Jika tidak terdapat kata mufakat, pimpinan dapat mengambil

kebijaksanaan untuk menangguhkan pembicaraan dan setelah

pembicaraan diteruskan kata mufakat belum juga tercapai, maka

keputusan atas soal yang dimusyawarahkan itu diserahkan kepada

Pimpinan Badan Musyawarah Desapraja.

Jika dalam musyawarah Pimpinan itu mengenai soal yang dimaksud


kata mufakat belum juga tercapai, keputusan terakhir diserahkan

kepada Ketua.

BAGIAN V.

Tentang Pamong Desapraja.

Pasal 25.

(1) Pamong Desapraja adalah pembantu Kepala Desapraja yang

mengepalai sesuatu dukuh dalam lingkungan daerah Desapraja,

yang masa jabatannya paling lama delapan tahun.

(2) Pamong Desapraja adalah penduduk dukuh yang bersangkutan, dan

dipilih oleh Badan Musyawarah Desapraja dari sedikit-dikitnya dua

dan sebanyak-banyaknya tiga orang calon, yang diajukan oleh

Kepala Desapraja.

(3) Pamong Desapraja memulai jabatannya sesudah diangkat oleh

Kepala Daerah tingkat II.

(4) Peraturan…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 17 -

(4) Peraturan pemilihan, pengangkatan, pemecatan sementara dan

pemberhentian Pamong Desapraja ditetapkan oleh Pemerintah

Daerah tingkat I.

(5) Peraturan termaksud dalam ayat (4) tidak dapat berlaku sebelum

disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 26.

(1) Syarat-syarat untuk menjadi Kepala Desapraja termaksud dalam


pasal 10 berlaku juga untuk Pamong Desapraja.

(2) Ketentuan-ketentuan termaksud dalam pasal 11 dan 12 tentang

larangan rangkapan jabatan dan tentang pemberhentian yang

berlaku untuk Kepala Desapraja, berlalu juga untuk Pamong

Desapraja, dengan penyesuaian seperlunya.

(3) Sebelum memangku jabatannya, Pamong Desapraja mengangkat

sumpah menurut cara agamanya atau mengucapkan janji menurut

kepercayaannya dalam Sidang Badan Musyawarah Desapraja

dihadapan Kepala Desapraja atau wakilnya.

(4) Susunan kata-kata sumpah/janji termaksud dalam ayat (3) adalah

sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2) dengan penyesuaian

seperlunya.

Pasal 27.

(1) Penghasilan Pamong Desapraja berdasarkan pedoman Menteri

Dalam Negeri ditetapkan dengan keputusan Badan Musyawarah

Desapraja dan dimasukkan dalam anggaran keuangan Desapraja.

(2) Keputusan termaksud dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum

disahkan oleh Kepala Daerah tingkat II.

BAGIAN VI…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 18 -

BAGIAN VI.

Tentang Panitera, Petugas dan Pegawai Desapraja.

Pasal 28.
(1) Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang memimpin

penyelenggaraan tata-usaha Desapraja dan tata-usaha Kepala

Desapraja dibawah pimpinan langsung Kepala Desapraja.

(2) Panitera Desapraja diangkat dan diberhentikan oleh Kepala

Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja.

(3) Apabila diperlukan Kepala Desapraja dapat mengangkat pegawai

pembantu Panitera Desapraja.

Pasal 29.

(1) Penghasilan Panitera dan pegawai Desapraja lainnya ditetapkan

oleh Kepala Desapraja berdasarkan peraturan yang diputuskan oleh

Badan Musyawarah Desapraja menurut pedoman Menteri Dalam

Negeri dan dimasukkan dalam anggaran keuangan Desapraja

(2) Peraturan Desapraja termaksud dalam ayat (1) tidak dapat berlaku

sebelum disahkan oleh Kepala Daerah tingkat II.

Pasal 30.

(1) Petugas Desapraja yang melakukan sesuatu tugas tertentu dalam

hal-hal yang bersangkutan dalam urusan agama, keamanan,

pengairan atau lain-lain menurut adat-kebiasaan setempat, adalah

pembantu-pembantu Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja

dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Desapraja.

(2) Petugas-…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 19 -

(2) Petugas-petugas termaksud dalam ayat (1) seperti Penghulu, Chatib,


Modin, Djogobojo, Kebajan, Ulu-ulu dan pejabat-pejabat semacam

itu dengan nama lain atau pejabat-pejabat lainnya menurut adatkebiasaan setempat, diadakan
menurut keperluannya.

(3) Petugas-petugas termaksud dalam ayat (1) diangkat dan

diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan Badan

Musyawarah Desapraja.

Pasal 31.

(1) Penghasilan Petugas Desapraja berdasarkan pedoman Menteri

Dalam Negeri diatur dengan Peraturan Desapraja dan dimasukkan

dalam anggaran keuangan Desapraja.

(2) Peraturan terrnaksud dalam ayat (1), tidak dapat berlaku sebelum

disahkan oleh Kepala Daerah Tingkat II.

(3) Kepala Desapraja menetapkan cara pemberian penghasilan

termaksud dalam ayat (1), setelah memperhatikan usul-usul Pamong

Desapraja.

BAGIAN VII.

Tentang Badan Pertimbangan Desapraja.

Pasal 32.

(1) Disetiap Desapraja dapat diadakan Badan Pertimbangan Desapraja.

(2) Jumlah anggota Badan Pertimbangan Desapraja ditetapkan oleh

Badan Musyawarah Desapraja sedikit-dikitnya 5 orang dan

sebanyak-banyaknya separo dari jumlah anggota Badan

Musyawarah Desapraja.

(3) Anggota…

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 20 -

(3) Anggota Badan Pertimbangan Desapraja ditetapkan oleh Kepala

Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja dari

antara orang-orang yang berpengaruh dan dihormati oleh

masyarakat Desapraja untuk satu masa jabatan yang sama dengan

masa jabatan Kepala Desapraja.

(4) Tentang terbentuknya Badan Pertimbangan Desapraja dan susunan

anggota-anggotanya dilaporkan oleh Kepala Desapraja kepada

Kepala Daerah tingkat II.

Pasal 33.

(1) Badan Pertimbangan Desapraja bertugas memberikan nasehat yang

diminta atau yang tidak diminta oleh Kepala Desapraja.

(2) Badan Pertimbangan Desapraja mengadakan rapat setiap waktu bila

dianggap perlu oleh Kepala Desapraja.

(3) Rapat-rapat Badan Pertimbangan Desapraja dipimpin oleh Kepala

Desapraja.

BAB III.

TUGAS KEWENANGAN DESAPRAJA.

BAGIAN I.

Ketentuan umum.

Pasal 34.

(1) Desapraja berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah

tangga daerahnya.

(2) Segala…
PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 21 -

(2) Segala tugas kewenangan yang telah ada berdasarkan hukum adat

atau peraturan-perundangan dan peraturan-peraturan Daerah atasan

yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang

ini tetap menjadi tugas kewenangan Desapraja sejak saat berlakunya

Undang-undang ini.

(3) Dengan sesuatu peraturan-perundangan atau peraturan Daerah

atasan tugas kewenangan Desapraja termaksud dalam ayat (2)dapat

diubah, dikurangi atau ditambah.

Pasal 35.

(1) Dengan Peraturan Daerah, Daerah tingkat II dapat memisahkan

sebagian atau seluruhnya urusan tertentu dari urusan

rumahtangganya untuk diurus sendiri oleh Desapraja.

(2) Penyerahan urusan rumah-tangga termaksud dalam ayat (1) harus

disertai dengan alat-alat dan sumber keuangan yang diperlukan.

Pasal 36.

(1) Desapraja diwajibkan melaksanakan tugas pembantuan dari

instansi-instansi Pemerintah atasannya.

(2) Desapraja memberikan pertanggungan-jawab atas tugas

pembantuan termaksud dalam ayat (1) kepada instansi yang

berwenang.

(3) Untuk melaksanakan tugas-tugas pembantuan termaksud dalam ayat

(1) kepada Desapraja diberikan ganjaran.


BAGIAN II…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 22 -

BAGIAN II.

Tentang tugas pembantuan organisasi kemasyarakatan.

Pasal 37.

(1) Sesuatu organisasi kemasyarakatan yang daerah organisasinya dan

pekerjaannya bersifat mendatar hanya terbatas dalam daerah

Desapraja dapat diberi tugas pembantuan untuk menyelenggarakan

sesuatu tugas kewenangan Desapraja.

(2) Desapraja berwenang mengatur dan mengawasi serta memberikan

bantuan-bantuan yang perlu kepada organisasi-organisasi termaksud

dalam ayat (1).

BAGIAN III.

Tentang keputusan-keputusan dan pembelaan.

Pasal 38.

(1) Desapraja berwenang mengambil keputusan-keputusan untuk

kepentingan rumah-tangga daerahnya dan menjalankan peraturanperaturan yang pelaksanaannya


ditugaskan kepada Desapraja.

(2) Segala keputusan termaksud dalam ayat (1) tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan umum atas peraturan

perundangan/ peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.

Pasal 39.

Segala keputusan Desapraja harus diumumkan menurut cara kebiasaan


setempat atau menurut cara yang ditentukan oleh Kepala Daerah Tingkat

I.

Pasal 40…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 23 -

Pasal 40.

Desapraja dapat mengusahakan dan membela kepentingan Desapraja dan

penduduknya kehadapan Pemerintah Daerah atasannya.

BAGIAN IV.

Tentang kerjasama antar Desapraja/Daerah.

Pasal 41.

(1) Dua Desapraja atau lebih dapat bersama-sama mengatur dan

mengurus kepentingan bersama.

(2) Keputusan untuk bekerja sama termaksud dalam ayat (1) ditetapkan

oleh Badan Musyawarah Desapraja yang bersangkutan.

(3) Keputusan terrnaksud dalam ayat (2) tidak dapat berlaku sebelum

disahkan oleh Kepala Daerah tingkat II.

Pasal 42.

(1) Desapraja dan Daerah tingkat III dapat bersama-sama mengatur dan

mengurus kepentingan bersama.

(2) Keputusan untuk bekerja sama termaksud dalam ayat (1) ditetapkan

oleh Badan Musyawarah Desapraja dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah tingkat III yang bersangkutan.

(3) Keputusan-keputusan termaksud dalam ayat (2) tidak dapat berlaku


sebelum disahkan oleh Kepala Daerah tingkat II.

Pasal 43…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 24 -

Pasal 43.

Keputusan bekerja sama antar Desapraja termaksud dalam pasal 41 dan

keputusan bekerja sama antara Desapraja dengan Daerah tingkat III

termaksud dalam pasal 42, tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh

Kepala Daerah tingkat I apabila Desapraja-desapraja atau Desapraja dan

Daerah tingkat III tersebut tidak terletak dalam satu lingkungan Daerah

tingkat II.

Pasal 44.

(1) Jika tidak terdapat persesuaian faham antara pihak-pihak yang

bekerja sama termaksud dalam pasal 41 dan 42 baik mengenai

perubahan atau pencabutan, maupun mengenai cara pelaksanaan

peraturan kerjasama termaksud, maka perubahan, pencabutan atau

cara pelaksanaan tersebut diputuskan oleh Kepala Daerah tingkat II.

(2) Dalam hal tidak terdapatnya persesuaian faham termaksud dalam

ayat (1) terjadi antara pihak-pihak yang bekerja sama termaksud

dalam pasal 43, maka yang mengambil keputusan adalah Kepala

Daerah tingkat I.

(3) Desapraja atau Daerah tingkat III yang berkepentingan dapat

memajukan banding kepada Kepala Daerah tingkat I terhadap

keputusan Kepala Daerah tingkat II termaksud dalam ayat (1) atau


kepada Menteri Dalam Negeri terhadap keputusan Kepala Daerah

tingkat I termaksud dalam ayat (2), selambat-lambatnya sebulan

setelah keputusan-keputusan tersebut diterima oleh pihak-pihak

yang bersangkutan.

BAGIAN V…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 25 -

BAGIAN V.

Tentang melalaikan tugas kewenangan.

Pasal 45.

(1) Jika ternyata Desapraja melalaikan tugas kewenangan termaksud

dalam pasal 34 ayat (1) sehingga merugikan Desapraja dan

penduduknya atau merugikan Negara dan Daerah, maka Pemerintah

Daerah tingkat I menentukan cara bagaimana Desapraja yang

bersangkutan harus diurus.

(2) Penilaian atas kelalaian Desapraja termaksud dalam ayat (1)

dinyatakan oleh Kepala Daerah tingkat II berdasarkan hak

pengawasan Daerah tingkat II atas Desapraja bawahannya.

(3) Sementara menunggu ketentuan Pemerintah Daerah tingkat I

termaksud dalam ayat (1), Kepala Daerah tingkat II dapat menunjuk

Kepala Desapraja atau salah seorang Pamong Desapraja atau

seseorang petugas lainnya untuk menjalankan tugas kewenangan

Desapraja sementara waktu.

(4) Apabila berhubung dengan sesuatu hal Badan Musyawarah


Desapraja tidak dapat menjalankan tugas kewenangan tersebut

dijalankan sendiri oleh Kepala Desapraja atas ketetapan Kepala

Daerah tingkat II.

BAB IV…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 26 -

BAB IV.

HARTA BENDA, KEUANGAN, DAN PENGHASILAN

DESAPRAJA.

BAGIAN I.

Tentang harta-benda kekayaan Desapraja.

Pasal 46.

Segala harta benda kekayaan dan segala sumber penghasilan menurut

adat atau peraturan-perundangan dan peraturan Daerah atasan yang telah

ada pada waktu Undang-undang ini berlaku, seluruhnya menjadi hartabenda kekayaan dan
sumber penghasilan Desapraja.

Pasal 47.

(1) Dengan peraturan Daerah, Pemerintah Daerah tingkat II dapat

menetapkan ketentuan-ketentuan umum mengenai harta-benda

kekayaan dan sumber-sumber penghasilan Desapraja.

(2) Peraturan termaksud dalam ayat (1) tidak berlaku sebelum disahkan

oleh Kepala Daerah Tingkat I.

Pasal 48.

Keputusan-keputusan Desapraja mengenai:


a. penjualan, penyewaan, peminjaman, pemindahan hak atau

pengepakan harta-harta kekayaan atau sumber-sumber penghasilan

Desapraja, baik sebagian atau seluruhnya;

b. mengadakan pinjaman uang dengan atau tidak dengan menjaminkan

harta-benda kekayaan atau sumber-sumber penghasilan Desapraja;

c. penghapusan tagihan-tagihan, sebagian atau seluruhnya;

d. mengadakan…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 27 -

d. mengadakan persetujuan penyelesaian perkara secara damai;

e. dan lain-lain keputusan yang membawa akibat pembebanan

terhadap harta-benda kekayaan dan sumber-sumber penghasilan

Desapraja, tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Kepala

Daerah tingkat II.

BAGIAN II.

Tentang hasil usaha gotong-royong.

Pasal 49.

(1) Desapraja dapat mengerahkan tenaga gotong-royong pada setiap

waktu diperlukan bagi usaha-usaha yang menjadi kepenting an

bersama dari masyarakat Desapraja berdasarkan keputusan Badan

Musyawarah Desapraja.

(2) Pengerahan tenaga gotong-royong selain dari yang termaksud dalam

ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan adat-kebiasaan setempat.

Pasal 50.
Kepala Desapraja dapat mengerahkan tenaga gotong-royong dari

masyarakat Desapraja tanpa keputusan Badan Musyawarah Desapraja,

jika pengerahan tenaga itu diperlukan secara mendadak untuk melawan

dan mengatasi bahaya alam atau serangan hama tanaman penduduk.

Pasal 51.

(1) Desapraja harus mempunyai dan memelihara daftar yang memuat

perhitungan dan alasan serta hasil-hasil dari pengerahan tenaga

gotong-royong termaksud dalam pasal 49 dan 50 dengan disertai

nilai dalam mata uang, baik nilai harga maupun nilai jasa.

(2) Pemerintah…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 28 -

(2) Pemerintah Daerah tingkat II dapat menetapkan peraturan yang

membatasi pengerahan tenaga gotong-royong dalam setahun.

BAGIAN III.

Tentang sumber-sumber penghasilan Desapraja.

Pasal 52.

(1) Desapraja berhak mendapat hasil dari perusahaan Desapraja atau

bagian hasil dari perusahaan Daerah atasan.

(2) Keputusan Desapraja untuk membangun perusahaan Desapraja

termaksud dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan

oleh Kepala Daerah tingkat II.

Pasal 53.

(1) Desapraja berhak melangsungkan pemungutan pajak yang sudah


ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak

bertentangan dengan peraturan-perundangan perpajakan yang

berlaku.

(2) Desapraja berhak memungut retribusi.

(3) Peraturan tentang pajak dan retribusi termaksud dalam ayat (1) dan

(2) ditetapkan oleh Badan Musyawarah Desapraja dan peraturan ini

tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Kepala Daerah tingkat

II.

(4) Pengembalian atau penghapusan pajak Desapraja tidak dapat

dilakukan kecuali dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur

dalam peraturan pajak Desapraja yang bersangkutan.

Pasal 54…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 29 -

Pasal 54.

Kepada Desapraja dapat:

a. diserahkan pajak Daerah;

b. diberikan sebagian dari hasil pungutan pajak daerah;

c. diberikan bantuan lain dari instansi atasan dalam bentuk apapun.

Pasal 55.

Selain dari sumber-sumber penghasilan termaksud dalam pasal 52, 53

dan 54 Desapraja dapat memperoleh penghasilan dari pinjaman dan lainlain hasil usaha yang
sesuai dengan kepribadian Indonesia.

Pasal 56.
Untuk menjalankan perkara hukum mengenai tuntutan penagihan piutang

oleh Desapraja, harus ada penetapan dari Badan Musyawarah Desapraja.

BAGIAN IV.

Tentang pengelolaan, tanggung jawab keuangan dan

anggaran keuangan Desapraja.

Pasal 57.

(1) Semua keuangan Desapraja dimasukan dalam satu kas.

(2) Cara mencatur dan mengurus administrasi keuangan Desapraja

ditentukan dengan Peraturan Daerah tingkat II berdasarkan

pedoman Kepala Daerah tingkat I.

Pasal 58…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 30 -

Pasal 58.

(1) Setiap tahun selambat-lambatnya dalam bulan Oktober, Badan

Musyawarah Desapraja menetapkan anggaran keuangan Desapraja

untuk tahun dinas berikutnya yang disusun menurut petunjuk

Kepala Daerah tingkat II. Selama berlakunya tahun dinas, Badan

Musyawarah Desapraja dapat mengadakan perubahan anggaran

keuangan.

(2) Semua pengeluaran dan pemasukan uang harus dimasukkan dalam

anggaran keuangan.

(3) Anggaran induk dan perubahannya tidak dapat dilaksanakan

sebelum disahkan oleh Kepala Daerah tingkat II.


(4) Jika anggaran keuangan Desapraja tidak dapat disahkan, maka

pcnolakan pengesahan itu harus dilakukan dengan surat keputusan

yang mengandung alasan-alasan penolakan dan diberitahukan

kepada Desapraja dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga

bulan sesudah anggaran keuangan termaksud diterima oleh Kepala

Daerah Tingkat II.

(5) Jika anggaran keuangan seluruhnya ditolak, maka dalam jangka

waktu dua bulan sesudah menerima penolakan itu, Desapraja yang

bersangkutan harus mengajukan anggaran induk yang baru dan

sebelum anggaran induk yang baru ini disahkan, Desapraja yang

bersangkutan menggunakan anggaran tahun yang baru lalu sebagai

pedoman bekerja.

(6) Jika penolakan hanya mengenai sebagian dari anggaran induk, maka

pasal-pasal yang tidak disahkan setelah ditinjau kembali dapat

diajukan lagi sebagai anggaran tambahan.

(7) Tahun anggaran berjalan dari tanggal 1 Januari sampai dengan

tanggal 31 Desember.

(8) Setiap…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 31 -

(8) Setiap tahun dibuat pertanggungan-jawab anggaran menurut

petunjuk Kepala Daerah tingkat II berdasarkan pedoman Kepala

Daerah tingkat I.

BAB V.
PENGAWASAN DAN BIMBINGAN ATAS DESAPRADJA

BAGIAN I

Ketentuan umum.

Pasal 59.

(1) Bila untuk menjalankan sesuatu keputusan Desapradja harus

ditunggu pengesahan lebih dahulu dari Kepala Daerah tingkat II,

keputusan itu dapat dijalankan apabila Kepala Daerah tingkat II

yang bersangkutan dalam waktu tiga bulan terhitung mulai hari

keputusan itu diterima untuk mendapat pengesahan, tidak

mengambil ketentuan.

(2) Jangka waktu tiga bulan termaksud dalam ayat (1) dapat

diperpanjang selama-lamanya tiga bulan lagi oleh Kepala Daerah

tingkat II.

(3) Untuk kepentingan pengawasan, Desapraja berkewajiban

memberikan segala keterangan yang diminta oleh Pemerintah

Daerah atasannya atau oleh petugas-petugas yang ditunjuknya.

Pasal 60.

(1) Pemerintah Daerah tingkat II memberikan bimbingan kepada

Desapraja bawahannya untuk menjamin kelancaran pelak- sanaan

tugas kewenangan Desapraja.

(2) Untuk…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 32 -

(2) Untuk kepentingan termaksud dalam ayat (1) dimana perlu atau atas
permintaan Desapraja yang berkepentingan, Pemerintah Daerah

tingkat II dapat memperbantukan sementara waktu petugaspetugasnya.

BAGIAN II.

Pertangguhan dan pembatalan.

Pasal 61.

(1) Keputusan Desapraja yang bertentangan dengan kepentingan umum

atau peraturan-perundangan/peraturan yang lebih tinggi

tingkatannya atau dengan adat-kebiasaan setempat, dapat

ditangguhkan atau dibatalkan pelaksanaannya oleh Kepala Daerah

tingkat II.

(2) Keputusan Kepala Daerah tingkat II yang mempertangguhkan atau

membatalkan pelaksanaan keputusan Desapraja termaksud dalam

ayat (1) disampaikan kepada Desapraja yang bersangkutan dengan

disertai keterangan dan alasannya.

(3) Pembatalan sesuatu keputusan Desapraja termaksud dalam ayat (1)

menghendaki dibatalkannya semua akibat dari keputusan yang

dibatalkan itu sepanjang akibat itu masih dapat dibatalkan.

(4) Sesuatu keputusan Desapraja yang dipertangguhkan pelaksanaannya

termaksud dalam ayat (1) segera berhenti berlakunya sejak saat

keputusan itu dipertangguhkan.

(5) Jika setelah lewat enam bulan sesuatu keputusan Desapraja yang

dipertangguhkan tidak disusul dengan pembatalan, maka keputusan

yang dipertangguhkan itu dapat terus berlaku lagi.

Pasal 62…

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 33 -

Pasal 62.

(1) Desapraja dapat memajukan banding kepada Kepala Daerah tingkat

I mengenai keputusan-keputusan yang ditolak pengesahannya atau

dibatalkan atau dipertangguhkan oleh Kepala Daerah tingkat II.

(2) Bandingan termaksud dalam ayat (1) harus dimajukan dalam jangka

waktu satu bulan sejak keputusan penolakan pengesahan atau

pembatalan atau pertangguhan tersebut diterima oleh Desapraja

yang bersangkutan.

(3) Sebelum ada keputusan Kepala Daerah tingkat I dalam hal

bandingan termaksud dalam ayat (2), maka keputusan Kepala

Daerah tingkat II yang dibanding itu harus ditaati.

(4) Selambat-lambatnya dalam tempo enam bulan Kepala Daerah

tingkat I sudah harus mengambil keputusan mengenai bandingan

termaksud dalam ayat (2).

BAB VI.

PENINGKATAN DESAPRAJA MENJADI DAERAH TINGKAT III.

Pasal 63.

(1) Berdasarkan usul Pemerintah Daerah tingkat II, Pemerintah Daerah

tingkat I memajukan saran kepada Menteri Dalam Negeri untuk

meningkatkan sesuatu atau beberapa Desapraja dalam daerahnya

menjadi Daerah tingkat III.

(2) Gabungan beberapa kesatuan masyarakat hukum yang telah terjadi

pada saat Undang-undang ini berlaku, baik sebagai akibat revolusi


maupun berdasarkan sesuatu keputusan penguasa setempat, jika

tidak menjadi Desapraja, diusulkan oleh Pemerintah Daerah tingkat

I kepada Menteri Dalam Negeri untuk dijadikan Daerah tingkat III.

BAB VII…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 34 -

BAB VII.

PERATURAN PERALIHAN.

Pasal 64.

(1) Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum di dalam lingkungan setiap

Daerah tingkat I dinyatakan menjadi Desapraja menurut pasal I

Undang-undang ini, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri,

berdasarkan usul dari Pemerintah Daerah tingkat I yang

bersangkutan.

(2) Pernyataan termaksud dalam ayat (1) dapat dikuasakan oleh Menteri

Dalam Negeri kepada Kepala Daerah tingkat I.

Pasal 65.

(1) Sebelum Kepala Desapraja dipilih dan diangkat berdasarkan pasal 9

Undang-undang ini, maka semua Kepala Kesatuan masyarakat

hukum termaksud dalam pasal 64 ayat (1) dengan sendirinya

menjadi Kepala Desapraja menurut Undang-undang ini.

(2) Jika terjadi lowongan Kepala Desapraja dalam masa peralihan,

maka Kepala Daerah tingkat I menunjuk seorang pejabat Kepala

Desapraja dalam masa peralihan.


Pasal 66.

(1) Sebelum alat-alat kelengkapan Desapraja menurut pasal 7 terbentuk

lengkap, maka segala tugas kewenangan Desapraja menurut

Undang-undang ini dijalankan oleh Kepala Desapraja termaksud

dalam pasal 65 ayat (1).

(2) Dalam…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 35 -

(2) Dalam menjalankan tugas kewenangan termaksud dalam ayat (1),

Kepala Desapraja tersebut dibantu oleh alat-alat kelengkapan yang

lama dari kesatuan masyarakat hukum yang dinyatakan menjadi

Desapraja itu.

Pasal 67.

Segala peraturan pelaksanaan yang ditetapkan berdasarkan peraturanperundangan yang


termaksud dalam keputusan KESATU Undangundang ini, yang tidak bertentangan dengan isi
dan maksud Undangundang ini dapat tetap berlaku selama belum dicabut atau diganti.

BAB VIII.

ATURAN TAMBAHAN.

Pasal 68.

(1) Untuk menyempurnakan pelaksanaan Undang-undang ini akan

diatur di mana perlu dengan peraturan-perundangan.

(2) Segala kesulian yang timbul karena pelaksanaan Undang- undang

ini diatur dan diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri.

BAB IX.

KETENTUAN PENUTUP.
Pasal 69.

(1) Undang-undang ini dapat disebut "UNDANG-UNDANG

TENTANG DESAPRAJA".

(2) Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 36 -

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan

pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam LembaranNegara Republik


Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 1 September 1965.

Presiden Republik Indonesia,

ttd

SUKARNO.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 1 September 1965.

Sekretaris Negara,

ttd

MOHD. ICHSAN.

LEMBARAN NEGARA TAHUN 1965 NOMOR 84

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG NO.19 TAHUN 1965

TENTANG

DESAPRAJA SEBAGAI BENTUK PERALIHAN

UNTUK MEMPERCEPAT TERWUJUDNYA DAERAH TINGKAT

III DISELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

1. PENJELASAN UMUM.

1. Sejak Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali

Undang-undang Dasar 1945, tibalah waktunya untuk menciptakan satu Undang-undang

Nasional yang mengatur kedudukan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum diseluruh

wilayah Republik Indonesia dengan berpedoman kepada Manifesto Politik dan segala

pedoman pelaksanaannya sebagai Gari-garis Besar Haluan Negara serta Ketetapanketetapan


Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (selanjutnya disebut M.P.R.S.)

No. I/ MPRS/1960, No. II/MPRS/1960, No. V/MPRS/1965, No. VI/ MPRS/ 1965 dan

No. VIII/MPRS/ 1965.

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah mempunyai sejarah ribuan tahun

itu,dimasa penderitaan jajahan ternyata mempunyai daya tahan yang kuat dan selama

peperangan kolonial telah mempunyai jasa-jasa yang bernilai tinggi. Untuk masa depan

dapat diharapkan bahwa kesatuan-kesatuan, masyarakat hukum adat itu akan mempunyai

peranan penting pula dalam penyelesaian dan mencapai tujuan revolusi, mengingat

bahwa bagian terbesar dari pada tenaga-tenaga pokok revolusi sebagaimana dinyatakan

dalam Manifesto Politik, terdapat didalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum tersebut.

Karena itu, maka maksud-maksud utama yang hendak dicapai dengan Undangundang ini adalah
untuk memberikan tempat dan kedudukan yang wajar kepada kesatuankesatuan masyarakat
hukum itu dalam rangka dan rangkaian ketatanegaraan menurut

Undang-undang Dasar. Ini berarti harus memupuk kemungkinan perkembangannya


Sehingga…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-2-

sehingga mempunyai penuh daya-guna yang dinamis untuk penyelesaian dan mencapai

tujuan Revolusi Agustus 1945 dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang

menyiapkan dasar-dasar untuk membangun masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan

Panca Sila, masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia (tanpa exploitation

de I'homme per I'homme) sebagi tujuan revolusi yang menjadi Amanat Penderitaan

Rakyat.

2. Untuk maksud-maksud tersebut diatas, Manifesto Politik dan pedomanpedoman


pelaksanaannya telah menggariskan, bahwa sesuai dengan hukum revolusi yang

menjebol dan membadan membangun haruslah diadakan retooling disegala bidang, sebab

revolusi tidak bisa berjalan dengan alat-alat yang lama. Karena itu harus pula diciptakan

dan dilahirkan fikiran-fikiran baru dan konsepsi-konsepsi baru, untuk mengganti saranasarana,
alat-alat dan aparatur-aparatur yang tidak sesuai dengan "out-look" baru. Hukum

revolusi inipun berlaku untuk kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum.

Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 dalam hal termaksud terdapat dalam pasal

4 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Untuk menjamin berhasilnya pelaksanaan Pola

Pembangunan Nasional Semeta Berencana Delapan Tahun 1961-1969, diperlukan

penyesuaian seluruh aparatur negara dengan tugasnya dalam rangka pelaksanaan

Manifesto Politik dan Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana serta

Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara".

3. Dimasa penjajahan, dua perundang-undangan pokok dari kekuasaan kolonial

yang mengatur kedudukan dan tugas kewajiban kesatuan-kesatuan masyarakat hukum itu,

yaitu Inlandsche Gemeente Ordonnantie (Stbl. 1906 No. 88) yang berlaku buat Jawa dan
Madura (diluar "vorstenlanden") dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten

(Stbl. 1938 No. 490 jo. Stbld. 1938 No. 681) yang berlaku buat daerah-daerah luar Jawa

dan Madura. Bersama dengan itu peraturan-perundangan lainnya dan berpedoman kepada

semua itu, untuk daerah "vorstenlanden" diatur peraturan-perundangan yang termuat

dalam beberapa Rijksbladen.

Sesuai…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-3-

Sesuai dengan maksud dan kepentingan penjajahan, hakekat dari pada perundangundangan
kolonial itu adalah mengatur cara bagaimana kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum itu dijadikan alat yang murah tetapi effektif untuk mencapai maksud-maksud

exploitasi kolonial. Karena itu, disamping mengakui adanya kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum tersebut, bersama dengan itu pula membelenggu perkembangannya

yang wajar, sehingga dengan demikian dapatlah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum itu

tetap mengandung unsur-unsur keterbelengguan feodal yang menjadi basis dari

penghisapan dan penindasan kolonial.

Terhadap keadaan itu, Amanat Pembangunan Presiden dengan tegas

menggariskan, bahwa untuk mencapai tujuan revolusi, haruslah dihabiskan dan

dibinasakan segala penghalangnya, sebagai sisa-sisa imperialisme, kolonialisme dan

feodalisme yang masih bercokol dalam masyarakat.

Sisa-sisa feodalisme yang berat, yang terus membelenggu tenaga produktif dan

kreatif dari sebagian terbesar rakyat Indonesia terutama nampak didaerah-daerah

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang hingga sekarang masih bernaung dibawah

perundang-undangan warisan kolonial.


Untuk mengakhiri keadaan tersebut, tindakan pertama adalah menghapuskan

semua perundang-undangan kolonial itu sesuai dengan pidato Presiden Republik

Indonesia tanggal 17 Agustus 1964 (Tavip) dan menggantinya dengan satu Undangundang
Nasional yang memberikan segala kemungkinan bagi kesatuan- kesatuan

masyarakat hukum itu untuk berkembang secara yang sesuai dengan perkembangan

ketata-negaraan menurut Undang-undang Dasar 1945, sesuai dengan perkembangan

masyarakat hukum dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Dalam hal itu, maka pangkal bertolak adalah isi dan jiwa dari pasal 18 Undangundang Dasar,
yang menentukan bahwa wilayah Indonesia dibagi atas daerah besar dan

kecil dengan mengingati hak-hak asal-usul atas daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, maka Undang-undang tentang

pokok-pokok Pemerintah Daerah telah menentukan akan membagi habis seluruh wilayah

Indonesia dalam tiga tingkatan daerah besar dan kecil, yaitu Daerah tingkat I, II dan III.

Dengan…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-4-

Dengan terbagi habisnya wilayah Indonesia dalam Daerah- daerah otonom itu,

maka berarti juga bahwa dibawah Daerah tingkat III tidak seharusnya ada lagi daerah lain

selain dari hanya daerah administrasi saja. Karena itu maka Desapraja menurut Undangundang
ini tidaklah berada didalam dan tidak menjadi bawahan Daerah tingkat III, tetapi

adalah sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah tingkat III

diseluruh wilayah Republik Indonesia.

Menurut penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar, kesatuan- kesatuan

masyarakat hukum yang disebutkan sebagai "volksgemeenschappen" seperti Desa di

Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya
itu tercakup dalam rangka pasal 18 tersebut. Ini berarti bahwa kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum itu haruslah mendapat tempat dalam rangka dan rangkaian Pemerintah

Daerah. Oleh karena kesatuan-kesatuan masyarakat hukum itu mempunyai pula hak

mengurus rumah-tangganya sendiri sebagai pembawaan sejarah pertumbuhannya, padahal

dibawah Daerah tingkat III hanya akan ada daerah administrasi belaka, maka adalah wajar

bahwa kesatuan-kesatuan masyarakat hukum itulah seharusnya nanti sama ditingkatkan

menjadi Daerah tingkat III, sehingga pada akhirnya Daerah tingkat III inilah yang

menggantikan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sesuai dengan pedoman

pelaksanaan Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, mengenai S. 392 No. 1 angka 4.

5. Dengan pengertian bahwa pembentukan Daerah-daerah tingkat III akan harus

segera terlaksana mengingat waktu dan tempat, dengan memperhatikan pula faktor-faktor

sosiologis, psykhologis dan ekonomis, maka Undang-undang ini mengatur kesatuankesatuan


masyarakat hukum yang masih belum mungkin ditingkatkan menjadi Daerah

tingkat III, akan menjadi Desapraja sebagaimana dinyatakan dalam Bab 1. Tetapi

mengingat masa depannya, maka penyelenggaraan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

tersebut berdasar Undang-undang ini harus merupakan tindakan memimpin dan

mendorong perkembangannya dan kemajuannya secara politis-paedagogis dalam rangka

rangkaian Pemerintah Daerah menurut pasal 18 Undang-undang Dasar, sehingga pada

akhirnya dapat ditingkatkan semuanya menjadi Daerah tingkat III, dengan atau tidak

dengan menggabungkannya lebih dulu, mengingat dan memperhatikan besar-kecilnya.

Hal…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-5-

Hal itu berarti bahwa disatu fihak Undang-undang harus mengatur hal-hal yang
seragam tentang Daerah-daerah besar dan kecil (Daerah tingkat I, II dan III), dilain pihak

harus pula mengingati unsur-unsur yang bersifat khusus diberbagai bagian wilayah

Indonesia, terutama dalam Daerah tingkat III yang terbawah dan yang langsung

berhubungan dengan masyarakat setempat.

Dengan begitu, maka Daerah-daerah tingkat III tersebut, disamping mengandung

unsur-unsur keseragaman dari Negara Kesatuan, juga mengandung unsur-unsur

kekhususan setempat, sesuai dengan Lambang Negara: "Bhinneka Tunggal Ika".

Berdasarkan keterangan diatas, maka dalam mengatur berbagai ketentuan dalam

Undang-undang ini sedapat mungkin juga telah memperhatikan dan mengambil unsurunsur dari
Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, sehingga kedua

Undang-undang tersebut bersangkut-paut dan isi-mengisi satu sama lain. Hubungan

timbal-balik ini adalah juga mengingat pedoman pelaksanaan Ketetapan M.P.R.S. No.

II/MPRS/ 1960 No. 6 huruf (a) sampai dengan huruf (g).

Oleh karena Undang-undang ini adalah memenuhi Ketetapan M.P.R.S. tersebut

diatas, khususnya yang termaksud dalam huruf (f) dan (g), maka Undang-undang ini

adalah satu-satunya Undang-undang Nasional tentang Desapraja. Ini berarti bahwa segala

peraturan-perundangan mengenai kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang menurut

Undang-undang ini menjadi Desapraja, haruslah sesuai dan atau disesuaikan dengan

ketentuan-ketentuan dan gagasan-gagasan Undang-undang ini.

6. Oleh karena Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang tidak

semuanya sama iklim dan kesuburan tanahnya, maka perkembangan penduduk dan

kebudayaannya tidak semuanya bersamaan. Dalam perjalanan sejarah yang ribuan tahun,

dewasa ini kita dapati tingkat perkembangan kesatuan masyarakat setempat. Disamping

masih terdapat suku-suku kecil yang masih sederhana tingkat kebudayaannya, terdapat

kesatuan-kesatuan masyarakat kecil yang unsurikatan kesatuannya masih terutama dan


semata-mata ikatan keturunan dan kekeluargaan (genealogis). Tetapi selain dari itu,

terdapatlah kesatuan-kesatuan masyarakat yang sudah lebih maju keadaannya, suatu

kesatuan masyarakat yang hidup bersama dalam suatu daerah yang tertentu batas-batasnya

(territorial), mempunyai kesamaan hukum yang terpakai sebagai adat-kebiasaan ada

susunan…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-6-

susunan penguasanya yang sama dipilihnya sendiri dan sama ditaati oleh anggota-anggota

masyarakatnya, mempunyai harta-benda sendiri dan mengurus rumah-tangganya sendiri,

tetapi bukan Swapraja. Kesatuan-kesatuan masyarakat inilah yang dalam Undang-undang

ini disebut kesatuan masyarakat hukum menjadi Desapraja.

Tegasnya Undang-undang ini tidak membentuk, tetapi mengakui adanya kesatuankesatuan


masyarakat hukum itu yang dengan sendirinya pula diakui sebagai Desapraja

seperti termaksud dalam pasal 1.

Berlainan dengan keadaan dimasa yang lampau, maka Undang-undang ini dengan

tegas menyatakan bahwa Desapraja adalah badan hukum yang dapat bertindak didalam

dan diluar pengadilan sebagai satu kesatuan yang dapat diwakili oleh Kepalanya.

7. Diberbagai bagian wilayah Indonesia, dimana tidak terdapat kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum, sebagai termaksud dalam pasal 1 Undang-undang ini, tidak akan

dibentuk Desapraja, tetapi langsung dapat dijadikan daerah administrasi dari Daerah

tingkat III.

Disetiap bagian wilayah Indonesia nama-nama kesatuan masyarakat hukum itu

berlain-lainan, misalnya Kampung, Mukim, Negeri, Marga (di Sumatera), Desa (di Jawa,

Bali dan Madura). Kampung Temenggungan (di Kalimantan), Wanua, Distrik Pekasan (di
Sulawesi), Banjar, Lomblan (di Nusatenggara Barat), Manoa, Laraingu, Kenaian,

Kafetoran, Kedaton, Kedaluan (di Nusa Tenggara Timur), Soa, Hoana Negory (di Maluku

dan Irian Barat). Demikian juga nama atau gelar kepala-kepala kesatuan masyarakat

hukum itupun berlain-lainan pula antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Dalam Undang-undang ini sebagai nama keseluruhan dari kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum itu digunakan nama Desapraja yang diartikan sebagai kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai kewenangan mengurus rumah-tangganya sendiri,

memilih penguasanya sendiri dan mempunyai harta-bendanya sendiri. Sedang Kepalakepalanya


disebut Kepala Desapraja.

8. Kesatuan-…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-7-

8. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum dalam setiap daerah tingkat I yang

menjadi Desapraja pada saat Undang-undang ini berlaku, akan dicatat dalam suatu daftar

yang diurus dan diselenggaraan oleh Kepala Daerah tingkat I, Dalam daftar ini dicatat

nama-nama kesatuan-masyarakat hukum yang menjadi Desapraja itu dengan nama

aslinya, jumlah penduduknya, dusun-dusun, dukuh-dukuh atau perkampunganperkampungan


yang termasuk dalam lingkungan daerahnya. Setiap perubahan yang

terjadi, seperti penggabungan, penghapusan atau peningkatannya menjadi Daerah tingkat

III akan dicatat, pula kemudian dalam daftar tersebut.

Mengingat maksud untuk mempertinggi daya-guna dari setiap Desapraja, sesuai

pula dengan maksud nantinya meningkatkan Desapraja menjadi Daerah tingkat III, maka

beberapa Desapraja dapat digabungkan menjadi satu, terutama Desapraja-desapraja yang

kecil. Penggabungan ini dapat terjadi baik atas dasar kepentingan umum, maupun atas

kehendak sendiri dari Desapraja-desapraja yang bersangkutan.


Sebaliknya, atas dasar kepentingan umum sesuatu Desapraja dapat pula dipecah

menjadi lebih kecil, misalnya karena sebagian dari daerahnya lebih mudah diurus jika

dimasukkan kedaerah Desapraja lainnya yang berdekatan atau karena pemecahan itu

dianggap perlu untuk perluasan kota-kota.

9. Bentuk dan susunan alat-kelengkapan Desapraja diatur dalam Bab II Undangundang ini, yang
dalam batas-batas yang dimungkinan, telah memasukkan juga unsurunsur bentuk dan susunan
Pemerintahan Daerah, dengan tetap memperhatikan unsurunsur khusus menurut adat kebiasaan
yang terpakai dalam Desapraja setempat.

Penguasa sebagai pengurus dan penyelenggara Desapraja terdiri dari dua unsur

pokok, yaitu Kepala Desapraja dan Badan Musyawarah Desapraja. Unsur Stabilitasi dan

kewibawaan penyelenggaraan Desapraja terutama terletak pada kedudukan yang kuat dari

Kepala Desapraja sebagai penyelenggara utama urusan rumah tangga Desapraja dan

sebagai alat Pemerintah Pusat. Karena itu juga Kepala Desapraja karena jabatannya

adalah Ketua Badan Musyawarah Desapraja dan tidak bisa dijatuhkan oleh sesuatu

keputusan Badan Musyawarah Desapraja.

Biarpun…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-8-

Biarpun begitu, kedudukan dan peranan Badan Musyawarah Desapraja adalah

penting. Disamping adanya peranan-peranan tertentu bagi Badan Musyawarah Desapraja,

maka Kepala Desapraja juga diharuskan setiap waktu mengadakan musyawarah dengan

Badan Musyawarah Desapraja sebelum mengambil sesuatu tindakan yang dianggap

penting. Hal ini sekaligus juga berarti bahwa setiap waktu Kepala Desapraja diharuskan

memberikan keterangan ataupun diminta keterangan pertanggungan jawab oleh Badan

Musyawarah Desapraja mengenai penyelenggaraan Desapraja secara keseluruhan.


Unsur lain yang bersifat memperkuat kedudukan dan peranan Badan Musyawarah

Desapraja adalah bahwa wakil-wakil Ketua Badan Musyawarah Desapraja dipilih sendiri

oleh dan dari antara anggota-anggota Badan ini.

10. Oleh karena Kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumahtangga Desapraja
dan sebagai alat Pemerintah Pusat, maka ia tentu akan banyak

mengadakan tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan penting mengenai cara-cara

penyelenggaraan tugas kewenangan Desapraja serta tugas-tugas pembantuan yang

diserahkan baik oleh Pemerintah Daerah atasannya maupun oleh instansi-instansi

Pemerintah Pusat.

Apa yang dimaksud dengan tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan penting

itu bukanlah hal-hal yang bersifat penyelenggaraan sehari-hari (routine), tetapi hal-hal

yang menyangkut orang banyak dan/atau akan membebani masyarakat Desapraja. Dalam

berbagai hal tertentu telah diatur dalam berbagai pasal dari Undang-undang ini dalam halhal apa
Badan Musyawarah Desapraja berwenang atau tidak boleh tidak harus diikutsertakan.

Tetapi selain dari yang telah diatur itu, tentunya masih banyak lagi hal-hal penting

lainnya, dimana Badan Musyawarah Desapraja harus diikut-sertakan agar Kepala

Desapraja dapat lancar menjalankan tugas-kewajibannya dengan didukung oleh

masyarakat Desapraja.

Dalam pada itu harus dijaga pula jangan sampai Kepala Desapraja terlalu terikat

gerak-tindaknya sehari-hari dalam menjalankan tugas-kewajibannya.

11. Salah satu hak asal-usul dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adalah hak

untuk memilih sendiri pemimpin-pemimpinnya.

Sesuai…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

-9-
Sesuai dengan maksud dan juga pasal 18 Undang-undang Dasar, maka hak

tersebut itu dihormati dan dijamin oleh Undang-undang itu.

Kepala Desapraja, anggota-anggota Badan Musyawarah Desapraja dan para

Pamong Desapraja adalah pemimpin-pemimpin Musyawarah Desapraja. Kepala

Desapraja dan anggota-anggota Badan Musyawarah Desapraja dipilih secara umum dan

langsung oleh semua warga Desapraja yang berhak, sedangkan Pamong Desapraja dipilih

oleh Badan Musyawarah Desapraja dari calon-calon yang diajukan oleh Kepala

Desapraja.

Peningkatan atas hak asal-usul ini adalah bahwa semua warga Desapraja yang

telah dewasa baik pria maupun wanita sama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih

sesuai dengan jaminan Undang-undang Dasar mengenai asas kedaulatan rakyat dan hakhak
warga negara.

Juga dengan peningkatan ini dipenuhi pula Ketetapan M.P.R.S. No.

II/MPRS/1960, pedoman pelaksanaan atas § 396 angka 6 huruf (a) II dan huruf (e).

Pemilihan, pengangkatan dan pengesahan, pemecahan sementara dan

pemberhentian Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja, serta pemilihan, pengangkatan

dan penggantian anggota Badan Musyawarah Desapraja diserahkan kepada Pemerintah

Daerah tingkat I untuk mengaturnya, agar dapat juga diperhatikan hal-hal yang khusus

harus diperhatikan menurut keadaan setempat, umpamanya cara-cara yang praktis untuk

melaksanakan pemilihan menurut adat kebiasaan dengan tidak mengurangi prinsipprinsip umum
yang dikemukakan diatas dan yang juga diatur dalam ketentuan-ketentuan

pada pasal-pasal Undang-undang ini.

12. Berlainan dengan masa lampau, maka Kepala Desapraja dipilih dan diangkat

untuk sesuatu masa jabatan yang terbatas, yaitu paling lama 8 tahun. Pembatasan masa

jabatan ini belum sepenuhnya disesuaikan dengan masa jabatan Kepala Daerah,

mengingat bahwa maka pada tingkat pertama dianggap cukup dibatasi untuk selama 8
tahun. Batas ini diperkirakan sudah memenuhi kehendak untuk setiap jangka waktu

tertentu mengadakan peremajaan dan penyesuaian dengan kemajuan-kemajuan yang

terjadi sebagai hasil dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional Semesta

Berencana yang menggunakan juga jangka waktu 8 tahun.

Juga…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

Juga untuk Pamong Desapraja masa jabatannya adalah paling lama 8 tahun, sama

dengan masa jabatan Kepala Desapraja. Ada kemungkinan bahwa kepala Desapraja dan

Pamong Desapraja dipilih dan diangkat serentak pada waktu yang sama, sehingga mereka

itu seharusnya berhenti pual serentak pada waktu yang bersamaan pula karena habis masa

jabatannya, dengan demikian akan terjadilah kekosongan. Untuk mencegah kekosongan

itu, maka sebelum Kepala Desapraja dan/atau Pamong Desapraja yang baru dilantik,

maka Kepala Desapraja dan/atau Pamong Desapraja yang lama harus tetap menjalankan

tugas kewenangannya masing-masing sampai selesai timbang terima jabatan.

13. Mengenai penghasilan bagi Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja akan

diatur dan ditetapkan dengan keputusan Badan Musyawarah Desapraja berdasarkan

pedoman Menteri Dalam Negeri. Mengingat bahwa Desapraja ini nanti akan ditingkatkan

menjadi Daerah tingkat III, maka Undang-undang ini menghendaki hapusnya sistim

pemberian penghasilan yang mengandung unsur-unsur feodal sebagai peninggalan dari

masa lampau, seperti sistim pemberian tanah bengkok, atau memberikan sebagian hasil

dari pengusahaan kekayaan daerah Desapraja secara langsung dan sebagainya semacam

itu yang semuanya tak dapat diketahui dari Anggaran Keuangan.

Karena itu, untuk penghasilan Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja ditentukan
harus melalui anggaran keuangan Desapraja, jadi termasuk dalam anggaran pendapatan

dan perbelanjaan Desapraja, dibayar dari kas Desapraja kepada masing-masing yang

berhak. Dalam tingkat permulaan dapat diatur, bahwa segala bentuk pemberian

penghasilan menurut sistim lama dapat berjalan terus untuk suatu masa tertentu, dengan

ketentuan bahwa semuanya dinilai dengan uang yang dimasukkan dalam anggaran

pendapatan dan dikeluarkan lagi dalam jumlah yang diperlukan menurut patutnya.

Kemudian dari segala sumber penghasilan dari segala macam kekayaan dan hartabenda
Desapraja seluruhnya adalah menjadi sumber penghasilan kas Desapraja, sedang

penghasilan Kepala Desapraja serta para Pamong Desapraja dibayar menurut suatu

peraturan gaji tertentu, sehingga tidak akan ada lagi penghasilan Kepala Desapraja dan

para Pamong Desapraja dalam bentuk apapun juga tidak melalui anggaran keuangan

Desapraja. Dengan ketentuan demikian itu dimaksudkan juga s upaya nantinya dapat

ditentukan…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

ditentukan pula tingkat penggolongan yang mempunyai dasar keseragaman tentang

pokok, tambahan dan kenaikan berkala dari penghasilan Kepala Desapraja yang mungkin

dapat dipakai untuk seluruh wilayah Indonesia seperti penghasilan Kepala Derah tingkat

III.

14. Sistim demokrasi gotong-royong dan gotong-royong secara demokrasi adalah

juga hak asal-usul menurut adat-kebiasaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang

menjadi pembawaan sejarahnya, karena itu sistim tersebut harus dijamin dan dihormati.

Sistim ini dalam tingkat perkembangannya secara kenegaraan adalah sumber dai sistim

demokrasi terpimpin yang termaksud dalam Manifesto Politik dan pedoman-pedoman


pelaksanaannya serta Konsepsi Presiden.

Menghormati sistim itu tidak bearti mempertahankan segala sifat-sifat

keterbelakangannya, tetapi sebaiknya menempatkannya secara wajar dalam sistim


ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar. Karena itu cara musyawarah yang lama,

langsung dengan rakyat banyak seperti rapat-rapat desa atau rembug-rembug desa secara

lama di Jawa dan Madura, kecuali sangat tidak praktis, juga sukar mencapai quorum,

mengandung unsur-unsur pilih-kasih dan mengganggu hari-hari kerja warga Desapraja.

Sesuai dengan azas kerakyatan Panca Sila dalam Undang-undang Dasar, yaitu

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan,

maka Undang-undang ini menetapkan adanya lembaga perwakilan Desapraja dengan

nama Badan Musyawarah Desapraja. Jumlah anggota-anggotanya yang terbatas

memungkinkan pelaksanaan musyawarah dapat berjalan lebih praktis dan lebih dinamis.

15. Sistim musyawarah yang kini ditingkatkan menjadi musyawarah dengan

perantaraan lembaga perwakilan, praktis sudah menyamai dengan musyawarah Daerah

dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Masa keanggotaannya juga

dibatasi 4 tahun, sehingga lembaga ini lebih cepat dapat menampung unsur-unsur

peremajaan yang diperlukan, sesuai dengan perkembangan tingkat kemajuan dan tingkat

kecerdasan masyarakat Desapraja.

Untuk…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 12 -

Untuk memelihara sifat perwakilan yang merata, maka kecuali jumlah

keanggotaannya bisa sampai 25 orang, suatu jumlah yang sama dengan maksimum

keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat III, juga unsur kelompok
kediaman (tempat tinggal) penduduk diutamakan pula untuk mempunyai perwakilan,

disamping perhitungan menurut jumkampung dan semacam itu) baik besar maupun kecil,

masing-masing hendaknya dapat mempunyai seorang wakil sekurang- kurangnya.

Selebihnya dari satu, memperhatikan jumlah penduduk menurut perbandingan antara satu

dukuh dengan dukuh lainnya. Dengan demikian maka Badan Musyawarah Desapraja ini

betul-betul menjadi lembaga perwakilan seluruh warga Desapraja, meskipun tidak semua

warga Desapraja diajak. bermusyawarah secara langsung.

Sesuai dengan demokrasi gotong-royong dan gotong-royong secara demokratis,

maka Badan Musyawarah Desapraja mengambil segala keputusannya secara mufakat

dengan memperhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. VIII/

MPRS/ 1965 tentang Demokrasi Terpimpin.

16. Untuk memelihara keseimbangan dan keselarasan pergaulan hidup masyarakat

Desapraja, mengingat pula beratnya tanggung jawab Kepala Desapraja, maka disamping

adanya Badan Musyawarah Desapraja, jika perlu dapat diadakan Badan Pertimbangan

Desapraja sebagai badan penaehat bagi Kepala Desapraja.

Badan Pertimbangan Desapraja diadakan dengan persetujuannya Badan

Musyawarah Desapraja, anggota-anggotanya diangkat oleh Kepala Desapraja diantara

orang-orang yang berpengaruh, terkemuka dan dihormati oleh masyarakat, sehingga

sedikit banyaknya mempunyai kewibawaan pribadi diantara masyarakat Desapraja.

Badan Pertimbangan Desapraja memberikan nasehat yang diminta dan tidak

diminta oleh Kepala Desapraja. Mengingat kedudukan anggota-anggota Badan ini adalah

mereka yang mempunyai pengaruh dan kewibawaan pribadi, maka nasehat-nasehatnya,

sekalipun tidak mengikat, tentu mempunyai pengaruh yang berguna bagi Kepala

Desapraja, terutama dalam tindakan-tindakan kebijaksanaannya untuk memelihara

keutuhan persatuan dan menyelesaikan ataupun mendamaikan sesuatu persengketaan


antara penduduk.

17.Pengertian…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 13 -

17. Pengertian Pamong Desapraja dalam Undang-undang ini dibatasi pada Kepalakepala dukuh,
dusun, kampung dan sebagainya semacam itu (sterusnya disebut dukuh

saja). Mereka adalah pembantu Kepala Desapraja, memimpin dan menyelenggarakan

tugas-kewajiban Desapraja untuk setiap dukuh yang dikepalainya dan bertanggung jawab

kepada Kepala Desapraja. Setiap waktu dianggap perlu, Kepala Desapraja mengadakan

pertemuan-pertemuan dengan para Pamong Desapraja untuk membicarakan

kebijaksanaan bersama dalam menjalankan penyelenggaraan urusan rumah-tangga

Desapraja.

Menurut adat-kebiasaan pada umumnya salah seorang diantara Pamong Desapraja

itu, yaitu yang mengepalai dan memimpin dukuh terbesar yang menjadi tempat

kedudukan Kepala Desapraja adalah juga merangkap menjadi Wakil Kepala Desapraja.

Pembatasan pengertian tentang Pamong Desapraja tersebut diatas adalah untuk

memperbedakan kedudukan mereka dengan alat-perlengkapan Desapraja lainnya.

18. Jabatan yang biasa disebut Carik atau Juru tulis dan lain-lain, dalam Undangundang ini
disebut Panitera Desapraja sebagai suatu jabatan yang dalam bentuk sederhana

merupakan Sekretaris dari Desapraja, karena itu ia diangkat dan diberhentikan oleh

Kepala Desapraja dengan persetujuannya Badan Musyawarah Desapraja.

Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang mengepalai penyelenggaraan

tata-usaha Desapraja dan tata-usaha Kepala Desapraja. Adalah diharapkan, bahwa

bagaimana sederhananya, Desapraja dan Kepala Desapraja harus mempunyai tata-usaha

yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya dan keberesannya. Karena itu,


diperlukan adanya pegawai-pegawai untuk membantu Panitera, sekalipun dalam jumlah

yang sangat terbatas, mengingat kemampuan Desapraja.

Disamping adanya kepaniteraan, menurut lazimnya disetiap kesatuan masyarakat

hukum itu terdapat sejumlah tenaga-tenaga yang melakukan tugas-tugas tertentu, seperti

penghulu (ditempat kedudukan Kepala Desapraja) dan khatib-khatib atau Modin-modin

didukuh-dukuh lainnya, seterusnya ada pula petugas yang mengawasi pemeliharaan dan

penyaluran-pengairan, pemeliharaan pekuburan, mengatur perondaan atau kemit dan lainlain


menurut adat-kebiasaan setempat.

Dalam…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 14 -

Dalam Undang-undang ini petugas-petugas termaksud disebut Petugas Desapraja

tidak termaksud dalam pengertian Pamong atau pegawai Desapraja, tetapi mereka adalah

pembentu-pembantu Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja. Biasanya mereka itu ada

yang, mendapat sekedar bayaran penghargaan jasa, ada pula yang hanya mendapat

sekedar fasilitas tertentu, umpamanya dibebaskan dari pembayaran pajak Desapraja dan

lain-lain cara penghargaan. Menurut Undang-undang ini sudah dimungkinkan untuk

mengatur sesuatu bentuk pembayaran tertentu bagi mereka dengan melalui juga anggaran

keuangan Desaparaja, umpamanya sebagai uang jasa yang tertentu setiap bulannya.

Dengan kelengkapan pegawai dan petugas-petugas Desapraja tersebut sudah mulai

tergambar kemungkinan, bahwa manakala nanti Desapraja meningkat menjadi Daerah

tingkat III susunan yang tersebut diatas itu sudah dapat berkembang menjadi kelengkapan

Daerah dalam bentuk Sekretaris, Sekretariat,jawatan-jawatan dan pegawai-pegwainya.

19. Kewenangan mengurus rumah-tangga sendiri adalah juga hak asal-usul, baik
sejarah dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum. Karena itu adalah hal yang paling

wajar, manakala kewenangan tersebut dipupuk dan diperkembangan sehingga bertumbuh

menjadi hak otonomi Daerah. Dilihat dari sudut ini, maka hak otonomi Daerah yang

dikehendaki seluas-luasnya sesuai dengan kemampuan setiap Daerah, adalah hak otonomi

yang memang sesuai dengan kepribadian Indonesia.

Bab III Undang-undang ini menentukan pada tingkat permulaan kewenangan

mengurus rumah-tangga sendiri dari setiap Desapraja adalah sebagaimana adanya pada

waktu Undang-undang ini berlaku.

Selanjutnya setiap waktu kewenangan yang menjadi isi dari otonomi Desapraja itu

dapat diubah, dikurangi atau ditambah dengan maksud-maksud dan tujuan untuk

mempersiapkan peningkatan kemudian hari menjadi Daerah tingkat III.

Ini berarti bahwa dalam perkembangannya nanti, akan ada kewenangan yang

dicabut atau dihapuskan, sebaliknya akan ada pula urusan-urusan Daerah yang akan

diserahkan kepada Desapraja, atau Desapraja itu diikut-sertakan dan diberi tugas ikut

menyelenggarakan sesuatu tugas kewajiban Daerah dan lain-lain instansi atasan.

20. Dalam…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 15 -

20. Dalam penyelenggaraan urusan rumah-tangga Desapraja, akan ada lembagalembaga yang
dianjurkan atau dapat dianjurkan pendiriannya oleh Pemerintah yang dpat

diikutsertakan dan diberikan tugas membantu penyelenggaraan urusan rumah-tangga

Desapraja atau urusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desapraja. Lembagalembaga


yang dimaksud ini adalah seperti Rukun Kampung dan Rukun Tetangga atau

Koperasi-koperasi, Lembaga Sosial Desapraja, Panitia Pembangunan Sekolah, Panitia

Mesjid dan lain-lainnya, yang lapangan pekerjaannya dan organisasinya bersifat setempat
saja, hanya mendatar dan tidak mempunyai hubungan organisasi yang bersifat vertikal

keluar dari daerah Desapraja.

Lembaga-lembaga tersebut itu, dengan mengingat kepentingannya, dapat didorong

dan dianjurkan pendiriannya oleh Desapraja serta dibantu dimana perlu bagi kelancaran

pekerjaannya.

Didukuh-dukuh dimana tidak ada Pamong Desapraja (karena kecilnya) mungkin

lembaga-lembaga seperti Rukun Kampung dan Rukun Tetangga itu akan dapat diberi

tugas membantu pekerjaan-pekerjaan Pamong Desapraja.

21. Kebebasan bergerak bagi Desparaja bagi kepentingan kemajuan dan

memperbesar daya-gunanya untuk menduduki taraf yang lebih baik menuju kepada

peningkatannya menjadi Daerah tingkat III dan ikut-sertanya mengambil bagian dalam

segala usaha perjuangan mencapai masyarakat. Sosialisme Indonesia serta untuk

kepentingan masyarakatnya sendiri dijamin dalam Undang-undang ini dengan suatu

ketentuan, bahwa Desapraja dapat mengusahakan dan membela kepentingan Desapraja

dan penduduknya kehadapan Pemerintah Daerah atasannya.

Karena perkataan pembelaan itu mengandung arti luas, mengenai berbagai

kepentingan urusan rumah-tangga Desapraja dan kepentingan penduduknya, dapatlah

ketentuan ini menjadi pendorong untuk segala aktivitas yang baik dari Desapraja, menurut

ketentuan dan dalam rangka pelaksanaan Manifesti Politik dan segala pedoman

pelaksanaannya.

22. Dalam…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 16 -

22. Dalam melaksanakan tugas kewenangan, Desapraja dimungkinkan pula untuk


mengadakan kerja sama antar Desapraja dan atau antara Desapraja dengan Daerah tingkat

III, yaitu mengenai hal-hal yang menjadi kepentingan bersama dari penduduknya masingmasing.

Bagaimana bentuk kerja-sama itu, apakah dalam bentuk mengadakan peraturan

bersama atau dengan cara lain, apakah bersifat sementara waktu yang endek atau

berjangka panjang, apakah dalam bentuk pengerahan, tenaga bersama dari penduduk

masing- masing untuk sesuatu maksud tertentu dan sebagainya, terserah menurut keadaan

setempat.

23. Mengingat bahwa tugas kewenangan Desapraja itu tidak terpisah bahkan satu

dengan tugas kewenangan Negara dan Daerah, maka setiap kelalaian dalam menjalankan

tugas kewenangan oleh sesuatu Desapraja, akan merugikan bagi kepentingan Negara dan

Daerah, merugikan kepentingan rakyat, khususnya penduduk Desapraja itu sendiri.

Oleh Karena itu setiap kelalaian bagaimanapun juga bentuknya, besar atau kecil,

sedikit atau banyak, harus segera diatasi. Karena itu Pemerintah Daerah tingkat I dan

Pemerintah Daerah tingkat II diharuskan mengambil segala tindakan yang perlu untuk

mengatasi kelalaian tersebut.

Sebelum ada ketentuan dari Pemerintah Daerah tingkat I, maka Pemerintah Daerah

tingkat II harus mengambil tindakan-tindakan pendahuluan.

Jika kelalaian itu terjadi oleh karena Badan Musyawarah Desapraja tidak dapat

atau terhalang memenuhi tugas kewajibannya maka Kepala Desapraja dapat bertindak

tanpa Badan tersebut. Dan kalau kelalaian itu terjadi oleh karena Kepala Desapraja tidak

dapat atau terhalang memenuhi tugas-kewajibannya, maka salah seorang Pamong

Desapraja akan ditunjuk untuk menjalankan segala tugas kewenangan Desapraja. Dan

jika tidak ada salah seorang Pamong Desapraja yang dapat diberi beban itu, maka

seseorang petugas yang ditunjuk akan menjalankannya.

24. Bab…
PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 17 -

24. Bab IV Undang-undang ini mengatur hal-hal yang mengenai harta-benda,

keuangan dan penghasilan Desapraja. Sebagaimana juga dengan kewenangan mengurus

rumah-tangga sendiri berpangkal kepada apa yang ada pada waktu Undang-undang ini

berlaku, demikian juga segala hak atas benda-benda, keuangan dan penghasilan yang ada

pada setiap kesatuan masyarakat hukum yang ada pada waktu Undang-undang ini

berlaku, seluruhnya menjadi haknya Desapraja.

Cara penggunaan dan penyelenggaraan harta-benda kekayaan dan cara

pemungutan dan pengusahaan Sumber-sumber penghasilan Desapraja itu seterusnya

setiap waktu dapat diperbaharui, diubah dan ditertibkan kembali dengan keputusan Badan

Musyawarah Desapraja. Maksudnya agar Desapraja dapat menggunakan sebaik-baiknya

segala harta-benda kekayaannya dan memperkaya sumber-sumber penghasilan sesuai

dengan tuntutan kemajuan yang hendak dicapai, sesuai pula dengan kepentingan

pelaksanaan tugas-kewajibannya.

Untuk pegangan dan pedoman melakukan pembaharuan dan penertiban kembali

seperti yang disebutkan diatas, maka Pemerintah Daerah tingkat II dapat mengadakan

ketentuan-ketentuan umum yang sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara. Ini

berarti bahwa dalam ha hak-hak Desapraja atas tanah, cara penggunaannya dan

penyelenggaraannya haruslah tunduk pada garis umum dari politik "landreform" yang

disebutkan dalam Jalannya Revolusi Kita (Jarek), karena itu mengenai soal tanah tersebut,

segala ketentuan dari Undang-undang Pokok Agraria serta peraturan-perundangan

pelaksanaannya,harus ditaati sepenuhnya.

25. Mengingat bahwa unsur-unsur keterbelakangan feodal masih banyak terdapat


terutama didaerah-daerah pedalaman, sedang hal ini harus dihapuskan, maka setiap kali

diadakan pembaharuan dan pengertiban kembali cara pemungutan dan penyelenggaraan

harta benda kekayaan dari cara pemungutan dan pengusahaan Sumber-sumber

penghasilan Desapraja haruslah memenuhi tuntutan garis umum dari Jarek untuk

"mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur".

Sesuai…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 18 -

Sesuai dengan garis tersebut, maka Dasapraja nantinya tidak akan mengenal lagi

sistim tanah bengkok untuk penghasilan Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja, tidak

akan mengenal lagi sistim penggunaan tenaga kerja tanpa bayaran seperti janggolan, tidak

akan mengenal lagi penghasilan dan pemberian atau pembagian penghasilan tanpa

keputusan atau tanpa persetujuan Badan Musyawarah Desapraja dan tanpa melalui

anggaran keuangan dan kas Desapraja, sehingga dengan demikian akan berakhirlah

segala bentuk penghisapan feodal dalam Desparaja-desapraja itu.

Dalam hubungan ini perlu dijelaskan, bahwa selain tanah-tanah Kas Desapraja

yang merupakan sumber penghasilan bagi Desapraja yang bersangkutan, tanah-tanah

bengkok yang adapun selanjutnya akan dikuasai dan dipergunakan untuk kepentingan

Desapraja, yang berarti bahwa hasil dari tanah-tanah tersebut dimasukkan dalam Kas

Desapraja. Meskipun demikian, penggunaan tanah-tanah tersebut sebagai salah satu

sumber penghasilan Desapraja tidaklah boleh mengurangi semangat dan tujuan

Landreform.

26. Seperti telah dikemukakan pada angka ke 14, kecuali sistim demokrasi gotongroyong, juga
gotong-royong secara demokratis adalah juga hal asal-usul menurut adatkebiasaan kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum yang menjadi, pembawaan sejarah
pertumbuhannya. Dan menurut Manipol gotong-royong adalah unsur kepribadian

Indonesia. Bergotong-royong, baik dalam bentuk pengerahan tenaga kerja maupun dalam

bentuk urusan barang dan uang, tetap akan dipelihara dan diperkembangkan, karena

kegotong-royongan inipun merupakan kekayaan yang besar sekali nilainya dan jasanya

jika diselenggarakan sesuai dengan azas-azasnya yang demokratis dan diatur serta

terpimpin dengan baik.

Bergotong-royong itu ada macam-macam bentuknya, tergantung dari maksudnya.

Ada gotong-royong dalam bentuk kerjasama bantu-membantu antara sejumlah penduduk

(menggarap) tanah, membuka hutan, memungut (panen dan sebagainya), ada gotongroyong
untuk kepentingan bersama setempat (memelihara jalan-jalan, kuburan, pengairan,

keamanan dan sebagainya), ada gotong-royong bagi Desapraja (membangun balai

pertemuan, tanah lapang dan lain-lain bangunan) dan ada gotong-royong untuk

kepentingan Negara yang sekalipun tidak langsung, tetapi juga termasuk dalam

kepentingan Desapraja dan penduduknya.

Untuk…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 19 -

Untuk memelihara agar prinsip demokratis dari gotong-royong itu, juga untuk

menghindarkan jangan sampai gotong-royong itu menjadi bersifat rodi atau terlalu banyak

mengganggu hari-hari kerja bagi kepentingan hidup penduduk dan jangan pula melebihi

dari suatu jumlah hari kerja tertentu dalam setiap tahunnya, maka kegotong-royongan itu

akan diatur menurut keputusan Badan Musyawarah Desapraja dan akan diberi batas-batas

yang perlu oleh Pemerintah Daerah tingkat II.

27. Karena gotong-royong itu adalah juga merupakan kekayaan yang besar
nilainya dan jasanya, maka berlainan dari masa yang lampau, segala hasil usaha gotongrohong
itu haruslah pula dinilai dalam bentuk uang, umpamanya hasil gotong-royong

membikin jembatan, membangun sekolahan atau membikin balai pertemuan, haruslah

ditaksir menurut patutnya, berapa harga hasil dari pekerjaan gotong-royong itu. Gotong

royong membikin betul tanggul atau kerusakan jalan umpamanya, dapat dinilai jasanya

dengan hari-hari kerja yang terpakai dan setiap hari kerja dapat dinilai lagi dengan mata

uang seperti upah kerja harian.

Semua hasil usaha gotong-royong itu haruslah dibukukan, didaftarkan sebagai

kekayaan Desapraja dan bersama dengan itu harus dijelaskan pula dalam pembukuan

tersebut alasan-alasan da keputusan-keputusan untuk diadakannya gotong-royong itu.

Dengan cara-cara tersebut diatas, akan terpeliharalah kemurnian dari pada kegotongroyongan itu
dari segala bentuk penyelewengan dari pihak manapun juga.

28. Dalam rangka memperkaya sumber-sumber penghasilan Desapraja, maka

disamping Desapraja dapat berusaha sendiri membangun perusahaan-perusahaan

Desapraja, juga dimungkinkan untuk mendapat bagian dari hasil perusahaan-perusahaan

yang dibangun dan diusahakan oleh Daerah atasannya. Bagain hasil ini mungkin dalam

bentuk menjadi peserta, mungkin juga dalam bentuk lain, umpamanya Desapraja

mendapat bagian karena perusahaan Daerah atasan itu menggunakan bahan-bahan baku

dari Desapraja, atau menempatkan perusahaan-perusahaan itu dalam daerah Desapraja.

Dalam…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 20 -

Dalam bidang perpajakan, Desapraja dapat meneruskan pemungutan pajak yang

sudah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan

mengadakan serta memungut retribusi Desapraja. Untuk ini perlu ada peraturan yang
ditetapkan oleh Badan Musyawarah Desapraja dan perlu disahkan lebih dulu oleh Kepala

Daerah tingkat II untuk mencegah pemungutan yang berlebih-lebih. Disamping itu seperti

juga Daerah menerima dari Pemerintah Pusat, demikian juga Desapraja hendaknya dapat

menerima dari Daerah pajak Daerah yang diserahkan kepada Desapraja dan sebagai dari

hasil pungutan pajak Daerah.

Mengingat jasanya bagi kepentingan Negara dan Daerah, maka sudah sepatutnya

pula Desapraja mendapatkan bantuan untuk berpelanjaannya atau bantuan-bantuan

lainnya, terutama bagi Desapraja yang kurang mampu, untuk setiap tugas pembantuan

yang dibebankan kepada Desapraja dan untuk prestasi-prestasi kerjanya. Bantuan-bantuan

itu dapat diberikan baik oleh Daerah tingkat I dan tingkat II maupun oleh Negara.

Selain dari semuanya itu, Desapraja juga dimungkin mendapat penghasilan dari

pinjaman-pinjaman dan lain-lain hasil usaha lagi.

Dengan sumber-sumber penghasilan yang makin diperkaya itu, akan

memungkinkan Desapraja bertindak meringankan dan mengurangi beban penduduknya

yang selama dimasa lampau bertumpuk-tumpuk menjadi pikulannya. Disamping itu akan

memungkinkan pula Desapraja mengadakan perubahan dan pembaharuan dalam cara

pungutan-pungutan Desapraja untuk mengakhiri bentuk-bentuk yang mengandung unsurunsur


feodal.

29. Untuk menilai perkembangan dan kemajuan serta kebijaksanaan

penyelenggaraan Desapraja menurut gagasan Undang-undang ini, maka perlu sekali

adanya anggaran keuangan Desapraja yang terpelihara dan teratur baik. Ini tidak berarti

bahwa Desapraja diharuskan menyusun anggaran keuangannya melebihi kemampuan

penyelenggaraannya. Anggaran keuangan itu cukup diatur dan disusun secara sederhana

saja, asal memenuhi keperluan-keperluan untuk menjadi bahan penilaian sebagai

dimaksudkan itu.
Bagaimana…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 21 -

Bagaimana cara mengatur dan menyusun anggaran keuangan, cara mengatur dan

mengurus administrasi keuangan Desapraja pada umumnya, yang bersifat sederhana

tetapi cukup memenuhi kebutuhan dan mempunyai pula bentuk-bentuk seragam, akan

ditentukan dalam suatu Peraturan Daerah tingkat II dan petunjuk-petunjuk yang perlu

dalam pelaksanaannya berdasarkan pedoman-pedoman Kepala Daerah tingkat I.

30. Bab V Undang-undang ini mengatur tentang pengawasan dan bimbingan atas

Desapraja. Dalam berbagai pasal Undang-undang ini telah selengkap mungkin diatur

ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan, baik yang bersifat preventif maupun yang

bersifat repressif.

Dalam pada itu hal yang perlu ditekankan disini ialah mengenai maksud pokok

dari segala cara pengawasan itu adalah mengandung kebijaksanaan umum terhadap

Desapraja, agar dapat memupuk segala kemungkinan untuk memperbesar dayagunanya

bagi kepentingan pelaksanaan perjuangan penyelesaian dan mencapai tujuan Revolusi

Agustus 1945. Dan ini berarti pula bahwa segala cara pengawasan dan bentuk

pengawasan itu haruslah mengandung maksud untuk memberikan bimbingan kepada

Desapraja agar secepat mungkin pula dapat ditingkatkan menjadi Daerah tingkat III.

31. Dalam Bab VI diatur cara peningkatan Desapraja menjadi Daerah tingkat III.

Karena Daerah tingkat II adalah Daerah atasan yang terdekat dan yang sehari-hari

mengawasi dan membimbing perkembangan Desapraja itu, maka Pemerintah Daerah

tingkat II inilah yang harus menilai apakah sesuatu Desapraja telah cukup matang untuk

ditingkatkan menjadi Daerah tingkat III, baik atas pertimbangan sendiri, maupun setelah
mempertimbangkan keinginan dari Desapraja yang bersangkutan, Jika menurut

pertimbangan dan penilaian Pemerintah Daerah tingkat II sesuatu Desapraja telah cukup

matang untuk ditingkatkan menjadi Daerah tingkat III, supaya hal itu diusulkan kepada

Pemerintah Daerah tingkat I.

Berdasarkan usul-usul yang diterimanya dari Daerah-daerah tingkat II

bawahannya, Pemerintah Daerah tingkat I mengusulkan peningkatan tersebut kepada

Menteri Dalam Negeri, baik untuk satu Desapraja, maupun beberapa Desapraja bersamasama.

Mengenai…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 22 -

Mengenai kesatuan-kesatuan masyarakat hidup yang karena akibat dan

pembawaan revolusi, telah digabungkan menjadi satu dengn cara apapun juga dan sampai

pada waktu Undang-undang ini berlaku tidak terpecah-pecah kembali. Pemerintah Daerah

tingkat I mengajukan pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk membentuknya

menjadi. Daerah tingkat III pada waktu Undang-undang ini dilaksanakan. Tetapi jika

menurut pertimbangan Menteri termaksud peningkatan itu belum sesuai, atau atas

penilaian Pemerintah Daerah tingkat I setelah mendengar pertimbangan Pemerintah

Daerah tingkat II peningkatan itu belum tepat, maka kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum tersebut itu dijadikan saja Desapraja menurut Undang-undang ini.

32. Untuk satu masa peralihan (Bab VII), maka semua kesatuan masyarakat hukum

diseluruh wilayah Republik Indonesia yang memenuhi syarat-syarat menurut ketentuan

pasal I dan penjelasan umum angka 6 (tetapi yang bukan bekas-bekas Swaparaja yang

akan diatur lain), dengan sendirinya menjadi Desapraja dalam masa peralihan menurut

Undang-undang ini.
Bersama dengan itu, maka Kepala-kepala dari kesatuan masyarakat hukum

tersebut dengan sendirinya pula menjadi Kepala Desapraja dalam masa peralihan, yang

menjalankan tugas kewenangan Desapraja menurut Undang-undang ini. Ia dibantu oleh

alat-alat kelengkapan lainnya dari undang ini. Ia dibantu oleh alat-alat kelengkapan

lainnya dari kesatuan masyarakat hukum tersebut, yang juga menjadi alat-alat

kelengkapan Desapraja dalam masa peralihan.

Dapat difahami bahwa alat-alat kelengkapan lama itu akan mengalami berbagai

kesulitan, karena disamping harus menjalankan tugas kewenangan menurut Undangundang ini,
masih juga harus melaksanakan dan meneruskan tugas kewenangan yang

lama.

Karena itu adalah diharapkan bahwa masa peralihan ini akan dapat diakhiri selekas

mungkin. Sebagai ancer-ancer, masa peralihan ke Desapraja selesai dalam jangka waktu 2

tahun dan 2 tahun setelah itu Desapraja hendaknya sudah dapat ditingkatkan menjadi

Daerah tingkat III.

Untuk…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 23 -

Untuk menyempurnakan pelaksanaan Undang-undang ini dan untuk mengatasi

kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam pelaksanaan tersebut, termasuk jugauntuk

mengatasi segala kesulitan yang ditemui selama masa peralihan, diadakan aturan

Tambahan (Bab VIII) yang menentukan kemungkinan akan adanya peraturan-peraturan

dan keputusan-keputusan Menteri Dalam Negeri, tegasnya Menteri yang berwenang

sekalipun namanya mungkin berganti.

Disamping itu diharapkan pula kebijaksanaan setiap Kepala Daerah terutama


Kepala Daerah tingkat I.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang tercakup dalam pengertian penjelasan

Undang-undang Dasar pasal 18: "Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali,

negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya", yang bukan

bekas-bekas Swaparaja, adalah Desapraja menurut Undang- undang ini.

Dengan menggunakan nama Desapraja, Undang-undang ini memberikan istilah

baru dengan satu nama untuk keseluruhan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang

termasuk dalam penjelasan Undang-undang Dasar tersebut, yang diberbagai bagian

wilayah Indonesia mempunyai nama asli yang bermacam-macam. Bersama dengan itu

Undang-undang ini memberi dasar dan isi Desapraja itu secara hukum yang berarti

kesatuan Masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus

rumah- tangganya, memilih penguasanya dan mempunyai harta-benda sendiri.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 2.

Meskipun dalam sub c dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan isntansi atasan

bagi Desapraja adalah Pemerintah Daerah tingkat II, Pemerintah Daerah tingkat I dan

Pemerintah Pusat dengan segala Departemen dan Jawatannya, baik yang berada di Pusat

maupun di Daerah-daerah tingkat I dan II, tidaklah berarti bahwa Desapraja dapat

langsung berhubungan dengan instansi-instansi atasan dimaksud tanpa mengindahkan

hierarchie.

Pasal 3…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 24 -

Pasal 3.

Secara tegas dinyatakan dalam pasal ini bahwa Desapraja itu adalah suatu badan

hukum yang dapat bertindak didalam dan diluar pengadilan sebagai suatu kesatuan yang

diwakili oleh Kepalanya (ayat 1 dan 2).

Pergantian dari hak mewakili itu hanya dimungkinkan apabila Kepala Desapraja

karena sebab apapun juga berhalangan memenuhi tugas perwakilan itu, atau karena halhal yang
bersifat khusus, umpamanya menghadapi sesuatu perkara, Kepala Desapraja

dapat menunjuk seorang kuasa untuk mewakilinya, umpamanya seseorang akhli hukum.

Siapa yang berhak mewakili Kepala Desparaja, menurut ayat (3) akan ditentukan

menurut ketentuan pasal 16, dengan memperhatikan adat-kebiasaan setempat.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 4.

Karena Desapraja itu banyak yang kecil-kecil, sehingga sukar untuk mempertinggi

daya-guna dan daya kreasinya, malahan akan tidak sesuai dengan tenaga dan keuangan

yang digunakan penyelenggaraan suatu daerah yang kecil dengan penduduk yang sedikit,

maka untuk kepentingan umum, Desapraja-desapraja kecil-kecil itu dapat digabungkan

menjadi satu Desapraja. Penggabungan-penggabungan itupun dimaksudkan juga sebagai

persiapan-persiapan untuk meningkatkan Desapraja menjadi Daerah tingkat III yang

memenuhi syarat-syrat yang diperlukan. Tentu saja untuk penggabungan-penggabungan

itu perlu adanya usul dari Daerah tingkat II yang langsung mengawasi, membimbing dan

menilai Desapraja-desapraja bawahannya, usul mana diajukan setelah mendengar dan

memperhatikan pula pendapat Badan Musyawarah Desapraja-desapraja yang

bersangkutan.

Selain dari penggabungan yang diusulkan oleh Daerah tingkat II atas dasar
kepentingan umum seperti tersebut diatas, juga Desapraja sendiri yang merasa

memerlukan penggabungan itu dapat menemukakan kehendaknya, kehendak dana akan

diajukan berdasarkan keputusan Badan Musyawarah Desapraja dari Desapraja-desapraja

yang mempunyai kehendak yang sama untuk bergabung itu (ayat 2).

Setiap…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 25 -

Setiap penggabungan tentu akan membawa akibat penyatuan dan penampungan

dari seluruh alat kelengkapan Desapraja dan harta-benda kekayaan serta sumber-sumber

penghasilannya. Semuanya itu harus diatur cara-cara penyelesaiannya sebaik-baiknya

begitu pula akibat-akibat lain yang mungkin terjadi. Karena itu diharuskan bahwa dalam

Peraturan Daerah tingkat I yang menetapkan penggabungan tersebut, dimuat juga caracara
penyelesaian segala akibat penggabungan itu (ayat 3), sedang Peraturan termaksud

memerlukan eksaminasi dari Menteri Dalam Negeri (ayat 4).

Pasal 5.

Perlu juga ditampung bahwa sesuatu Desapraja mungkin dipecah sehingga menjadi

lebih kecil, terutama Desapraja yang berbatasan dengan Kota-kota (Kota Raya, Kota

Madya atau Kotapraja). Untuk perluasan Kota-kota itu, yang sekarang saja sudah menjadi

persoalan praktis adakalanya sebagian dari daerah Desapraja diperlukan untuk maksud

tersebut, bahkan adakalanya pula seluruh Desapraja itu diperlukan. Dalam hal hanya

sebagian daerah Desapraja yang diperlukan, maka Desapraja yang bersangkutan menjadi

lebih kecil dan kalau kenyataannya nanti sudah tidak akan memenuhi harapan bagi masa

depan Desapraja, mungkin juga yang sudah menjadi kecil itu akan digabungkan lagi

kepada Desapraja atau Daerah tingkat III yang berbatasan.


Kemungkinan lainnya ialah manakala terjadi beberapa Desapraja yang

digabungkan menjadi dua atau tiga Desapraja, diantaranya mungkin akan ada sesuatu

Desapraja yang sebagian daerahnya digabungkan kepada Desapraja baru yang satu,

sedang bagian selebihnya kepada Desapraja baru yang lain sebagai hasil
penggabunganpenggabungan itu. Hal ini bisa terjadi karena letaknya atau karena perkembangan

penduduknya, atau karena hubungan ekonominya, atau karena sebab-sebab lain lagi,

sehingga sesuatu Desapraja harus terpecah-pecah daerahnya untuk masing-masing

digabungkan kepada Desapraja yang berlain-lain/atau kepada Daerah tingkat III, lebihlebih
didaerah-daerah kepulauan.

Pemecahan…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 26 -

Pemecahan dan penggabungan demikian itu atas dasar kepentingan umum dapat

dilakukan dengan melalui prosedure sebagaimana telah diatur dalam pasal 4 ayat (1), juga

mengenai penyelesaian dari segala akibat yang terjadi karena pemecahan itu harus diatur

dan ditentukan dalam Peraturan Daerah tingkat I yang berlakunya setelah disahkan oleh

Menteri Dalam Negeri (ayat 2 dan 3 dari pasal 5 ini).

Pasal 6.

Tidak semua kesatuan masyarakat hukum disetiap Daerah tingkat I telah

memenuhi syarat-syarat seperti termaksud dalam pasal 1, karena itu diperlukan adanya

pendaftaran.

Daftar ini diperlukan untuk mengetahui dengan jelas berapa adanya Desapraja

pada setiap Daerah tingkat I dan berapa jumlah semua Desapraja diseluruh Indonesia

sejak Undang-undang ini berlaku dan pada setiap waktu kemudian harinya. Hal ini

penting sebagai bahan perhitungan untuk berbagai maksud, baik untuk Pemerintah Pusat
maupun untuk Pemerintah Daerah.

Dari daftar ini juga akan diketahui setiap tahunnya, berapa banyak Desapraja yang

telah ditingkatkan menjadi Daerah tingkat III atau yang telah digabungkan secara utuh

atau setelah dipecah lebih dulu.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 7.

Karena dalam perkataan Desapraja itu telah mengandung juga adanya penguasaan

penyelenggaraan, maka yang dimaksudkan dengan alat-alat kelengkapan Desapraja

adalah alat-alat kelengkapan yang berwenang menyelenggarakan urusan rumah-tangga

Desapraja.

Alat-alat kelengkapan itu disebut secara berturut-turut menurut taraf

kedudukannya adalah terdiri dari Kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja,

Pamong Desapraja, Panitera Desapraja. Petugas Desapraja dan Badan Pertimbangan

Desapraja. Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 8…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 27 -

Pasal 8.

Dari semua alat kelengkapan Desapraja, penyelenggara utama dari urusan rumah

tangga Desapraja adalah Kepala Desapraja, yang berkedudukan sebagi pemuka dan

pemimpin dari masyarakat Desapraja, mengayomi masyarakat Desapraja.

Kepala Desapraja mengepalai dan memimpin penyelenggara-penyelenggara

lainnya dalam melaksanakan tugas kewenangan Desapraja. Sebagai penyelenggara utama,


maka Kepala Desapraja itupun adalah penanggung jawab utama dari segala tugas

kewenangan mengurus rumah-tangga Desapraja dan tugas-tugas pembantuan yang

dibebankan kepada Desapraja. Karena itu dalam segala kegiatan kenegaraan yang

berkehendak turut-sertanya Desapraja, seharusnyalah melalui Kepala Desapraja.

Dalam mengambil tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan penting Kepala

Desapraja haruslah lebih dulu bermufakat dan memperoleh persetujuan Badan

Musyawarah Desapraja yang mewakili seluruh masyarakat Desapraja. Dengan demikian,

maka tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya itu akan mendapat dukungan luas

dan ditaati.

Lain dari pada ituk mengingat bahwa Kepala Desapraja adalah alat Pemerintah

Pusat, maka dengan demikian dia tidak dapat melepaskan tanggung-jawabnya dalam hal

turut serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Sebagai alat Pemerintah Pusat, Kepala Desapraja juga sekaligus

menjadi alat Pemerintah Daerah atasannya.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 9.

Sesuai dengan hak asal-usulnya, maka Kepala Desapraja haruslah dipilih langsung

oleh semua penduduk Desapraja, baik lelaki maupun wanita, yang sudah berumur 18

tahun atau sudah dianggap dewasa karena sudah kawin atau sudah pernah kawin, juga

menurut adat-kebiasaan sudah dianggap sebagai warga Desapraja karena memenuhi

syarat-syarat, umumnya karena asal-usulnya, karena sudah cukup lama berdiam di

Desapraja yang bersangkutan, karena sudah memenuhi tugas kewajiban yang dibebankan

Dan…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 28 -

dan lain-lain alasan menurut adat-kebiasaan setempat (ayat 1). Dari hasil pemilihan

tersebut yang menurut peraturan dan menurut adat kebiasaan dapat dianggah sah, hal

mana harus dinyatakan dalam pertimbangan pengangkatan, calon yang mendapat suara

terbanyak mutlak, yaitu yang mendapat suara lebih dari separoh jumlah suara yang

diberikan, diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I menjadi Kepala Desapraja untuk suatu

masa jabatan paling lama 8 tahun. Karena disini disebutkan paling lama, jadi mungkin

juga kurang dari 8 tahun, tetapi tentu saja tidak seharusnya kurang dari masa jabatan

anggota Badan Musyawarah Desapraja (ayat 2).

Suara terbanyak mutlak di perlukan sebagai hak prioritas untuk diangkat,

dimaksudkan agar supaya Kepala Desapraja itu orang yang mempunyai sebesar mungkin

pengaruh/serta mendapat sebesar mungkin kepercayaan dari masyarakat Desapraja

sebagai pimpinan, kecuali terdapat fakta-fakta bahwa calon prioritas itu tidak dapat

diangkat, sehingga dengan demikian yang berwenang mempunyai cukup alasan untuk

mengangkat calon lainnya menurut urutannya.

Memperhatikanhal-hal yang khusus bersangkutan dengan adat-kebiasaan setempat,

selain dari yang tersebut itu, umpamanya tentang cara memberikan suara, cara

memajukan calon dan lain-lain, dengan tidak merugikan prinsip-prinsip yang telah

ditentukan dalam Undang-undang ini, diserahkan kepada Daerah tingkat I, yang menurut

ayat (3) harus mengadakan peraturan pemilihan, pengangkutan, pengesahan pemecatan

sementara dan pemberhentian Kepala Desapraja dalam wilayahnya. Peraturan ini harus

mendapat pengesahan lebih dulu dari Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 10.

Pasal ini menentukan syarat-syarat untuk dapat dipilih dan diangkat menjadi
Kepala Desapraja. Ia haruslah warga Desapraja, seperti penjelasan pasal 9 diatas, berjiwa

Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dapat dinyatakan dari riwayat hidupnya bahwa ia turut

aktif dalam perjuangan, membela perjuangan kemerdekaan tidak pernah memusuhi

perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dengan memihak kepada musuh-musuh

revolusi. Menyetujui dan melaksanakan Manipol/USDEK bersama segala pedoman

pelaksanaannya, dengan perkataan dan perbuatan.

Syarat…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 29 -

Syarat tentang tidak sedang kehilangan hak memilih dan dipilih, adalah

berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah tidak dapat diubah lagi.

Syarat kecakapan dan pengalaman adalah merupakan syarat utama disamping

syarat pendidikan sekurang-kurangnya tamat Sekolah Dasar atau berpengatahuan yang

sederajat dengan itu.

Kecakapan dan pengalaman yang dimaksud ini hendaknya tidak diartikan sempit.

Seseorang yang dalam kehidupan sehari-hari mempunyai pengalaman-pengalaman

pekerjaan apa saja yang menghendaki kecakapan mengurus dan bakat kepemimpinan,

dianggap telah dapat memenuhi syarat tersebut.

Syarat umur sekurang-kurangnya 25 tahun dimaksudkan agar Kepala Desapraja itu

hendaknya orang yang sedikit-banyaknya sudah mempunyai pengalaman hidup dan

pandangan hidup serta telah cukup dewasa untuk memikul tanggung jawab sebagai

Kepala Desapraja.

Pasal 11.

Dalam Undang-undang ini tidak ditentukan secara terperinci jabatan-jabatan apa


dan pekerjaan-pekerjaan apa yang tidak boleh dirangkapkan dengan kedudukan Kepala

Desapraja. Untuk menjamin adanya keseragaman dalam hal larangan rangkapan jabatan

apa saja bagi Kepala desapraja, hal tersebut harus diatur oleh Pemerintah Daerah tingkat I

yang bersangkutan.

Umumnya dapatlah difahami, bahwa umpamanya tidaklah akan dibenarkan apabila

Kepala Desapraja merangkap menjadi Kepala Daerah, karena kedua jabatan itu bukan

saja mempunyai kekhusuan tanggung jawab akan kewenangan tugas dan kewajiban yang

dibebankan kepadanya masing-masing, tetapi juga ada saling hubungan dalam hal

pengawasan dan pimpinan, sehingga kedua jabatan tersebut mustahil dapat dirangkap

oleh satu orang. Dapat pula difahami, bahwa umpamanya tidak akan dibenarkan apabila

Kepala Desapraja menjadi pokrol yang membela perkara melawan Desapraja.

Pasal 12….

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 30 -

Pasal 12.

Keberhentian karena berakhirnya masa jabatan harus tidak menyebabkan

kekosongan penyelenggaraan urusan rumah tangga Desapraja, karena itu sebelum Kepala

Desapraja yang baru dilantik dan menerima penyerahan jabatan, maka Kepala Desapraja

yang lama harus tetap dalam jabatannya. Kalau kewenangan untuk mengngkat Kepala

Desapraja yang ada pada Kepala Daerah tingkat I dapat dikuasakan kepada Kepala

Daerah tingkat II yang bersangkutan (pasal 9 ayat 2), maka dalam hal pemberhentian

Kepala Desapraja tidaklah demikian. Tegasnya, untuk menjaga adanya obyektivitas dalam

hal pemberhentian seseorang Kepala Desapraja, maka tindakan tersebut hanya dapat

dilakukan oleh Kepala Daerah tingkat I atas usul dari Kepala Daerah tingkat II yang
bersangkutan.

Lain-lain cukup jelas dan selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 13.

Ayat (1) pasal ini menghendaki adanya suatu peraturan yang ditetapkan oleh

Badan Musyawarah Desapraja berdasarkan pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai

penghasilan bagi Kepala Desapraja. Segala penghasilan yang diberiken kepada Kepala

Desapraja haruslah melalui anggaran keuangan desapraja yang ditetapkan untuk setiap

tahun anggaran.

Peraturan penghasilan Kepala Desapraja termaksud dalam ayat (1) itu haruslah

mendapat pengesahan lebih dulu dari Kepala Daerah tingkat II (ayat 2), dengan maksud

bukan saja untuk menjaga keseimbangan antara jumlah yang patut diberikan dengan

kemampuan Desapraja, tetapi jugauntuk maksud-maksud cara pemberian penghasilan

yang sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam penjelasan umum.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 14.

Cuiup jelas.

Pasal 15…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 31 -

Pasal 15.

Nama jabatan, tanda jabatan dan pakaian seragam Kepala Desapraja dan Pamong

Desapraja, agar bersifat Nasional ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, sedang yang

lain-lainnya cukup ditetapkan dengan Peraturan Daerah tingkat I.

Pasal 16.
Ayat, (1) pasal ini dimaksudkan untuk mengatur perwakilan Kepala Desapraja

dalam hal ia berhalangan atau tidak dapat melakukan tugasnya, misalnya karena dalam

keadaan sakit, sedang bepergian dan halangan-halangan lainnya. Sedangkan yang

dimaksudkan dengan adat-kebiasaan setempat, misalnya apakah Pamong Desapraja yang

harus mewakili itu dari pedukuhan tempat kedudukan Kepala Desapraja atau Pamong

Desapraja yang tertua usianya.

Yang menganggap perlu atau tidak perlu diadakannya pemilihan Kepala Desapraja

baru ialah Badan Musawarah Desapraja dengan persetujuan instansi atasan yang

berwenang dan dengan ketentuan bahwa pemilihan Kepala Desapraja baru itu tidak akan

menghambat peningkatan Desapraja yang bersangkutan menjadi Daerah tingkat III (ayat

2).

Lebih jauh lihat penjelasan pasal 3 dan pasal 25 serta penjelasan umum.

Pasal 17.

Ayat (1) pasal ini menentukan bahwa musyawarah Desapraja dilakukan dengan

perantaraan suatu badan perwakilan yang dinamakan Badan Musyawarah Desapraja.

Jumlah anggotanya, tidak termasuk Ketua (Kepala Desapraja) akan ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah tingkat II, sedikit-dikitnya 10 orang dan sebanyak-banyaknya 25

orang. Jumlah tersebut akan ditetapkan dengan memperhatikan banyaknya dukuh yang

terdapat dalam Daerah Desapraja yang bersangkutan serta banyaknya penduduk (ayat 1

dan 2).

Masa…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 32 -

Masa keanggotaan Badan Musyawarah Desapraja ditetapkan 4 tahun, yaitu


separoh dari masa jabatan Kepala Desapraja dan Pamong Desapraja (ayat 3), sedang

anggota yang mengisi lowongan antar waktu, hanya menjadi anggota selama masa sisa

keanggotaan yang digantikannya (ayat 4).

Anggota-anggota Badan Musyawarah Desapraja dipilih secara umum dan langsung

oleh segenap penduduk Desapraja (ayat 5) yang seperti penjelasan pasal 9 telah menjadi

warga Desapraja yang bersangkutan.

Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota Badan Musyawarah Desapraja

diatur dalam Peraturan Daerah tingkat I untuk seluruh wilayahnya dan Peraturan ini tidak

dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Dalam Peraturan Daerah tersebut harus diperhatikan pula adat-istiadat setempat

mengenai cara pemilihan dan cara pencalonan dan lain-lain dengan tidak mengurangi

prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam Undang-undang ini.

Sesuai dengan maksud untuk menjadikan Badan Musyawarah Desapraja itu

sebagai badan perwakilan yang merata mewakili segenap masyarakat Desapraja, maka

dalam peraturan Daerah yang dimaksud haruslah ada ketentuan yang menjamin, bahwa

sesuatu dukuh yang cukup banyak penduduknya dan karena itu patut diwakili, haruslah

sekurang-kurangnya mempunyai seorang wakil dalam Badan Musyawarah Desapraja.

Sedang dukuh yang besar-besar, juga dengan melihat jumlah banyaknya penduduk

sebagai bandingan, dapat mempunyai wakil lebih dari seorang.

Oleh karena itu maka cara menetapkan calon terpilih ialah calon yang mendapat

suara terbanyak saja (bukan suara terbanyak mutlak).

Pasal 18.

Pasal ini menentukan syarat-syarat untuk dapat menjadi anggota Badan

Musyawarah Desapraja, yaitu penduduk yang menurut adat kebiasaan setempat telah

menjadi warga Desapraja seperti penjelasan pasal 9, telah berumur sedikitnya 21 tahun,
suatu tingkat umur yang dapat dianggap sudah dapat memikul tanggung jawab untuk

menjadi anggota Badan tersebut.

Syarat…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 33 -

Syarat tempat tinggal pokok dalam daerah Desapraja yang bersangkutan

diperlukan untuk menjaga agar anggota Badan Musyawarah Desapraja setiap waktu dapat

menghadiri rapat-rapat yang diadakan, juga untuk menjamin bahwa dia selalu berada di

tengah-tengah masyarakat Desapraja untuk dapat memahami kehendak dan pikiranpikiran yang
hidup di tengah-tengah masyarakat Desapraja.

Syarat pengetahuan tidak ditentukan dengan tamatan sesuatu sekolahan tetapi

setidak-tidaknya cakap menulis dan membaca Bahasa Indonesia dalam huruf Latin.

Kecakapan di sini tentunya diperlukan secara yang setimpal bagi keperluan memenuhi

tugas kewajiban keanggotaan Badan Musyawarah Desapraja yang akan banyak membaca

dan menulis.

Syarat termaksud dalam huruf d tidak memerlukan penjelasan lagi.

Syarat menyetujui Manipol/USDEK berarti aktif melaksanakan Garis-garis Besar

Haluan Negara itu bersama dengan segala pedoman pelaksanaannya, dengan perkataan

dan perbuatan.

Syarat ini tidak terpisah dari syarat berikutnya (huruf f), yaitu tidak menjadi

anggota/bekas anggota sesuatu partai/organisasi yang menurut peraturan-perundangan

yang berlaku dinyatakan dibubarkan atau dilarang berdirinya, alasan-alasan untuk

mengecualikan, terutama akan diuji dari aktivitasnya melaksanakan Manipol/USDEK dan

segala pedoman pelaksanaannya secara konsekwen.


Pasal 19.

Huruf a dari pasal ini menentukan jenis jabatan-jabatan Desapraja yang tidak boleh

dirangkap oleh anggota Badan Musyawarah Desapraja. Selain dari itu, maka jabatanjabatan apa
dan pekerjaan-pekerjaan apa yang juga tidak boleh dirangkap dengan

keanggotaan Badan Musyawarah Desapraja diserahkan ketentuannya kepada Pemerintah

Daerah tingkat I, tentunya dengan memperhatikan adat kebiasaan setempat dan

memperhatikan hal-hal yang mungkin merugikan Desapraja dan masyarakatnya.

Dalam…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 34 -

Dalam menentukan larangan rangkapan jabatan dan pekerjaan-pekerjaan anggota

Badan Musyawarah Desapraja ini, kecuali harus memperhatikan adat-kebiasaan setempat

dan hal-hal yang mungkin merugikan Desapraja dan masyarakatnya, juga harus

diperhatikan pula bahwa keanggotaan Badan Musyawarah Desapraja itu merupakan

kedudukan kehormatan yang tidak memberikan sesuatu penghasilan tertentu atau

honorarium tetap. (Meskipun demikian, jika keadaan keuangan Desapraja

memungkinkan, kepada anggota Badan Musyawarah Desapraja dapat diberikan uang

sidang).

Karenanya dalam menentukan larangan rangkapan jabatan dan pekerjaan itu

haruslah dijaga jangan sampai seseorang anggota Badan Musyawarah Desapraja sampai

kehilangan mata-pencaharian untuk penghidupannya atau terganggu matapencahariaannya


melebihi dari yang sepatutnya dan seperlunya. Untuk menjaga

keseimbangan antara kepentingan Desapraja dan Masyarakat Desapraja itu, maka dalam

menentukan larangan rangkap termaksud dalam huruf b tersebut, sebaiknya diadakan

pasal yang memungkinkan pengecualian.


Pasal 20.

Yang mungkin dibanding tentunya pemberhentian atas dasar ayat (1) huruf c dan

d, lain-lainnya cukup jelas.

Pasal 21.

Cukup jelas.

Penyesuaian termaksud dalam ayat (3) pasal ini berarti penyesuaian kata-kata yang

perlu, yaitu perkataan "Kepala Desapraja" diganti dengan perkataan "anggota Badan

Musyawarah Desapraja".

Pasal 22

Pimpinan Badan Musyawarah Desapraja terdiri dari seorang Ketua dan beberapa

orang Wakil Ketua, sehingga tercapai poros NASAKOM.

Kepala…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 35 -

Kepala Desapraja, karena jabatannya dan mengingat hak asal-usul sebaimana

dimaksud penjelasan pasal 9, dengan sendirinya menjadi Ketua. Sebagai Wakil-wakil

Ketua akan dipilih dari dan oleh anggota Badan Musyawarah Desapraja sendiri yang

disahkan oleh Kepala Daerah tingat II.

Jika Kepala Desapraja berhalangan memimpin rapat, maka yang menggantikannya

bukanlah Wakil Kepala Desapraja, tetapi adalah salah seorang Wakil Ketua Badan

Musyawarah Desapraja yang tersebut itu.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 23.

Cukup jelas.
Pasal 24.

Ayat (1) cukup jelas.

Ayat (2) mengharuskan Badan Musyawarah Desapraja mengambil sesuatu

keputusan dengan kata mufakat sebagai hasil musyawarah, sesuai dengan prinsip

demokrasi gotong-royong seperti dijelaskan dalam penjelasan umum.

Dalam hal belum terdapat kata mufakat untuk mengambil sesuatu keputusan

mengenai sesuatu soal, maka pembicaraannya dapat ditunda untuk memberi kesempatan

mengadakan pembicaraan dari hasi kehati dilur rapat, juga memberi kesempatan kepada

Pimpinan untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan informil guna mendapatkan titiktitik


pertemuan dan persamaan pikiran. Jika usaha-usaha inipun belum memungkinkan

untuk mencapai kata mufakat, sedang soal yang dibicarakan perlu ada keputusannya,

maka keputusan atas soal tersebut diserahkan kepada Pimpinan, yaitu Ketua dan Wakilwakil
Ketua Badan Musyawarah Desapraja.

Jika dengan jalan inipun belum juga tercapai kata mufakat, maka sebagai tindakan

terakhir, keputusan atas persoalan tersebut diserahkan kepada Ketua untuk

menetapkannya, mengingat bahwa Ketua Badan Musyawarah Desapraja adalah juga

Kepala Desapraja sebagai penyelenggara utama urusan rumah-tangga Desapraja.

Pasal 25….

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 36 -

Pasal 25.

Pengertian Pamong Desapraja menurut Undang-undang, ini adalah mereka yang

menjadi Kepala dan memimpin sesuatu dukuh dalam daerah Desapraja. Mereka

menjalankan tugas-kewajiban sebagai pembantu Kepala Desapraja, menyelenggarakan

urusan rumah-tangga Desapraja untuk dukuh yang dikepalai dan dipimpinnya itu. Mereka
bertanggung jawab kepada Kepala Desapraja.

Pemong Desapraja adalah merupakan pembantu utama dari Kepala Desapraja,

sehingga demi kelancaran pelaksanaan tugas sehari-hari, benar-benar diperlukan adanya

persamaan pandangan antara Kepala Desapraja dengan pamong Desapraja dalam

lingkungan wilayahnya.

Untuk menjamin itu, maka calon-calon Pamong Desapraja yang jumlahnya sedikitdikitnya dua
dan sebanyak-banyaknya tiga orang untuk masing-masing, dukuh, tidak

didasarkan atas hasil pemilihan langsung dari penduduk, tetapi diajukan oleh Kepala

Desapraja yang bersangkutan.

Meskipun demikian, dalam hal pengajuan calon-calon tersebut azas demokrasi

tetap diperhatikan, yaitu dalam bentuk persetujuan Badan Musyawarah Desapraja atas

calon-calon yang diajukan oleh Kepala Desapraja dimaksud.

Mengingat bahwa Pamong Desapraja adalah mengepalai suatu dukuh, calon-calon

tersebut harus menjadi penduduk dukuh yang bersangkutan.

Masa jabatan Pamong Desapraja dibatasi juga paling lama 8 tahun sama dengan

masa jabatan Kepala Desapraja. Diwaktu terjadi keberhentian para Pamong Desapraja

karena berakhir masa jabatannya, maka sebelumnya Pamong Desapraja yang baru dilantik

dan menerima jabatan, Pamong Desapraja yanglama harus tetap menjalankan tugas

kewenangannya.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 26.

Penyesuaian kata-kata sumpah atau janji termaksud dalam ayat (3) berarti bahwa

kata-kata "Kepala Desapraja" harus diganti dengan kata-kata "Pamong Desapraja".

Pasal 27…

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 37 -

Pasal 27.

Prinsip pemberian penghasilan bagi Pamong Desapraja sama dengan ketentuan

bagi penghasilan Kepala Desapraja termaksud dalam pasal 13.

Untuk itu lihat penjelasan pasal 13 dan selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 28.

Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang terpenting, mengepalai dan

memimpin pegawai-pegawai lainnya untuk menyelenggarakan tata-usaha Desapraja pada

umumnya dan tata-usaha Kepala desapraja pada khususnya. Ia berada langsung dibawah

perintah dan pimpinan Kepala Desapraja, diangkat dan diberhentikan oleh Kepala

Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja (ayat 1 dan 2).

Dalam pasal ini tidak ditegaskan siapa yang harus mencalonkan seseorang untuk

menjadi panitera Desapraja. Ini berarti calon tersebut dapat dicalonkan oleh Kepala

Desapraja dan dapat juga dicalonkan oleh anggota-anggota Badan Musyawarah Desapraja

atau dicari bersama-sama setelah itu resminya dicalonkan atau dikemukakan oleh Kepala

Dasapraja. Yang sebaik-baiknya adalah bahwa calon itu sudah disetujui bersama lebih

dulu, dengan memperhatikan bahwa Panitera itu nanti haruslah betul-betul dapat bekerja

sama dengan semua alat-alat penyelenggara Desapraja, terutama dengan Kepala

Desapraja. Syarat-syarat kecakapan juga tidak disebutkan dalam pasal ini, hal ini terserah

kepada pertimbangan, bahwa syarat yang diperlukan haruslah sesuai dengan tugas yang

akan diberikan kepadanya (tentunya tidak mungkin orang yang buta huruf dan sedikit

banyaknya mengerti urusan adminsitrasi).

Semua Desapraja diharuskan mempunyai tata-usaha yang sekalipun sederhana,

tetapi hendkanya memenuhi keperluan untuk bahan pengawasan dan penilaian tentang
keberesan dan kemajuan penyelenggaraan urusan rumah-tangga Desapraja. Karena itu,

sesuai dengan kemampuan keuangan Desapraja, diperlukan beberapa pegawai

seperlunyauntuk membantu Panitra Desapraja. Pegawai-pegawai ini diangkat dan

diberhentikan oleh Kepala Desapraja, tanpa memerlukan pengesahan Badan Musyawarah

Desapraja.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 29…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 38 -

Pasal 29.

Desapraja haruslah membuat peraturan tentang penghasilan Panitera Desapraja dan

pegawai-pegawai Desapraja lainnya. Berdasarkan peraturan tersebut. Kepala Desapraja

menetapkan penghasilan Panitera Desapraja dan pegawai Desapraja lainnya yang

diangkat, dengan memperhatikan kemampuan Desapraja.

Selanjutnya lihat penjelasan pasal 13 dan penjelasan umum.

Pasal 30.

Segala karya dari Petugas-petugas Desapraja tersebut dalam pasal ini termasuk

dalamrangka tata-usaha Desapraja, karena maksudnya kemudian hari mereka akan

menjadi pegawai, manakala Desapraja telah meningkat menjadi Daerah tingkat III,

mungkin juga sebelum itu, tergantung menurut keadaan kemajuan Desa-praja yang

bersangkutan.

Karena itu juga, berlainan dari masa yang lampau, Petugas-petugas tersebut itu

tidak lagi dipilih, melainkan akan diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desapraja,
dengan syarat persetujuan Badan Musyawarah Desapraja. Untuk setiap dukuh, caloncalon
Petugas-petugas yang diperlukan oleh dukuh masing-masing akan dicalonkan oleh

Pamong Desapraja dari dukuh yang bersangkutan.

Perkataan "menurut keperluannya" dimaksud dalam ayat (2) harus diartikan,

bahwa Petugas-petugas yang menurut adat-kebiasaan setempat memang telah ada tidak

dihapuskan, yang berarti pula dapat ditambah dengan Petugas-petugas lainnya jika

diperlukan dan dimungkinkan untuk menjadi susunan kepegawaian guna mempercepat

peningkatan Desapraja menjadi Daerah tingkat III.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 31.

Cukup jelas, Selanjutnya lihat penjelasan pasal 13.

Pasal 32.

Disetiap Desapraja dapat diadakan Badan Pertimbangan Desapraja berdasarkan

atas kadaan setempat.

Jumlah…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 39 -

Jumlah anggota Badan Pertimbangan Desapraja dibatasi sebanyak-banyaknya

separoh dari jumlah anggota Badan Musyawarah Desapraja. Penetapan batas keanggotaan

ini mengandung maksud juga agar Badan Pertimbangan Desapraja itu jangan sampai

menjadi seolah-olah saingan Badan Musyawarah Desapraja yang harus dipelihara

kewibawaannya sebagai alat kelengkapan Desapraja.

Masa jabatan bagi anggota-anggota Badan Pertimbangan Desapraja ditetapkan

sama dengan masa jabatan Kepala Desapraja, dengan maksud agar Kepala Desapraja
yang baru mendapat kebebasan untuk memperbaharui susunan keanggotaan Badan

Pertimbangan Desapraja tersebut, sesuai dengan maksud-maksud adanya Badan

Pertimbangan Desapraja bagi seseorang Kepala Desapraja.

Berhubung keanggotaan Badan Pertimbangan Desapraja ini semata-mata bersifat

kehormatan, maka keanggotaan Badan tersebut tidak membawa sesuatu akibat keuangan.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 33.

Cukup jelas. Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 34.

Ayat (1) menentukan adanya wewenang asal-usul dari Desapraja yang berhak

berkewajiban mengurus rumah-tangganya sendiri sebagai pembawaan sejarah

pertumbuhan dan perkembangan sesuatu kesatuan masyarakat hukum sebagai penjelasan

pasal 1.

Tugas kewenangan pangkal Desapraja sejak saat Undang-undang ini berlaku

adalah segala tugas kewenangan yang ada berdasarkan hukum adat atau peraturanperundangan
dan peraturan-peraturan Daerah atasan yang berlaku, sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-undang ini (ayat 2).

Hukum adat yang dimaksud adalah yang tidak bertentangan dengan revolusi.

Seterusnya tugas kewenangan itu tidak diubah, ditambah atau dikurangi menurut

ketentuan peraturan-perundangan dan/atau Peraturan Daerah atasan (ayat 3), sesuai

dengan maksud untuk meningkatkan Desapraja itu nanti menjadi Daerah tingkat III.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 35…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 40 -

Pasal 35.

Pasal ini menentukan tentang penyerahan wewenang Daerah tingkat II kepada

Desapraja bawahannya, baik sebagian maupun keseluruhannya, sebagai tambahan untuk

tugas kewenangan Desapraja. Mengingat bahwa Daerah tingkat II inilah yang terutama

langsung membimbing dan mengawasi Desapraja bawahannya, maka jika Daerah tingkat

I juga berkehendak akan menambah tugas kewenangan Desapraja,hendaknya

penyerahannya itu dilakukan dengan melalui Daerah tingkat II.

Ayat (2) menentukan, bahwa setiap kali dilakukan penyerahan haruslah disertai

dengan alat-alat dan sumber-sumber keuangan yang diperlukan, sehingga dengan

demikian maka Desapraja itu tidak saja diperbanyak tugas kewajibannya, tetapi juga

diperkaya alat-alat dan sumber keuangannya.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 36.

Selain penyerahan wewenang sebagai termaksud dalam pasal 35, kepada Desapraja

juga dapat dibebankan tugas-tugas pembantu 1, baik oleh Pemerintah Daerah tingkat II

dan tingkat I, maupun oleh instansi-instansi Pemerintah Pusat (ayat 1).

Pertanggungan jawab tentang penyelenggaraan tugas-tugas pembantuan kepada

Desapraja itu akan diberikan oleh Kepala Desparaja kepada pihak yang memberikan tugas

pembantuan tersebut. Untuk tertibnya pertanggungan jawab itu dan mengingat pula tugas

Daerah tingkat II yang langsung sehari-hari memberikan bimbingan dan pengawasan

kepada Desapraja bawahannya, maka pertanggungan jawab termaksud akan diberikan

oleh Kepala Desapraja dengan melalui Kepala Daerah tingkat II. Hal ini hendaknya

diperhatikan oleh instansi-instansi yang memberikan tugas pembantuan tersebut (ayat 2).

Untuk jasanya menyelenggarakan tugas-tugas pembantuan itu, haruslah pula


kepada Desapraja diberikan ganjaran yang sepatutnya dan ganjaran ini akan dimasukkan

juga dalam anggaran keuangan Desapraja (ayat 3).

Pasal 37…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 41 -

Pasal 37.

Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang dimaksud pasal ini adalah organisasiorganisasi


kemasyarakatan yang karena kepentingannya bagi masyarakat, dianjurkan oleh

Pemerintah pendiriannya. Pengertian tentang organisasi-organisasi meliputi juga

Lembaga-lembaga Kemasyarakatan.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 38,

Cukup jelas.

Pasal 39.

Yang dimaksudkan menurut cara kebiasaan setempat umpamanya menempelkan

salinan keputusan Desapraja itu dikantor Desapraja, di Balai temrpat bersidang Badan

Musyawarah Desapraja atau ditempat-tempat umum seperti dipasar dan lain-lain. Jika

tidak demikian atau selain dari itu, akan ditentukan oleh Kepala Daerah tingkat I caracara yang
seragam, umpamanya dengan memuatkannya dalam Lembaran Daerah tingkat I

atau tingkat II.

Pasal 40.

Dalam arti mengusahakan dan membela kepentingan itu termasuk juga haknya

Desapraja untuk menuntut sesuatu bantuan yang diperlukan dari Daerah atasannya.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 41, 42, 43 dan 44.


Pasal-pasal ini mengatur hubungan kerjasama antara dua Desapraja atau lebih

dalam satu lingkungan Daerah tingkat II (pasal 41), antara Desapraja dengan Daerah

tingkat III dalam satu lingkungan Daerah tingkat II (pasal 42) dan antara Desapraja

dengan Desapraja atau antara Desapraja dengan Daerah tingkat III yang terletak dalam

lingkungan Daerah tingkat II yang berlain-lainan (pasal 43).

Kerjasama…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 42 -

Kerjasama yang dimaksud umpamanya untuk bersama-sama memelihara,

membikin atau membetulkan tanggul-tanggul untuk melawan banjir yang menjadi

kepentingan bersama, memelihara hutan atau menghijaukan kembali tanah-tanah gundul

guna memelihara kecukupan persediaan air bagi keperluan bersama, untuk bersama-sama

memelihara kekayaan alam yang hasilnya dipungut bersama-sama dan sebagainya.

Pasal 44 mengatur cara-cara mengatasi dan menyelesaikan sesuatu perbedaan

pendapat yang mungkin terjadi.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 45.

Kelalaian yang berakibat merugikan seperti dimaksud pasal ini, mungkin terjadi

oleh karena kesalahan Kepala Desapraja atau kesalahan Badan Musyawarah Desapraja

atau oleh kedua alat-kelengkapan Desapraja yang terpenting itu atau kapan Desapraja

lainnya tidak dapat digunakan yang sesuai dengan kepentingannya, karena itu harus

ditaati dan diselesaikan oleh pemerintah Darah tingkat I, sebagai dimaksud ayat (1).

Karena yang langsung bertugas untuk mengawasi dan memimpin Desapraja itu

adalah Pemerintah Daerah tingkat II, maka penilaian atas kelalaian itu dinyatakan oleh
Kepala Daerah tingkat II yang berewenang dengan menyatakan juga alat kelengkapan

Desapraja yang bersalah, sehingga terjadi kelalaian tersebut (ayat 2).

Ayat (3) dan ayat (4) menentukan tindakan-tindakan yang segera harus diambil

oleh Kepala Daerah tingakat II, sebelum Pemerintah Daerah tingkat I mengambil

tindakan-tindakan dan ketentuan-ketentuan yang diperlukan.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 46 dan 47.

Pada tingkat permulaan, maka segala harta-benda kekayaan dan segala macam

sumber penghasilan termasuk tanah dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang

menjadi Desapraja seluruhnya adalah menjadi harta-benda kekayaan dan sumber-sumber

penghasilan yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh Desapraja, baik untuk

menyelenggarakan rumah-tangga Desapraja menurut ketentuan-ketentuan Undangundang ini,


maupun untuk meneruskan tugas-kewajiban yang telah berjalan selama masa

sebelum (pasal 46).

Untuk…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 43 -

Untuk penerbitan kembali dan pembaharuan penggunaan dan penyelenggaraan

harta-benda kekayaan dan sumber-sumber penghasilan tersebut diatas sesuai dengan

fungsi dan masa depannya Desapraja, sterusnya akan dilaksanakan menurut ketentuanketentuan
umum yang akan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tingkat II (pasal 47).

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 48.

Pengesahan oleh Kepala Daerah tingkat II terhadap keputusan Desapraja mengenai

pinjaman uang dimaksud pada sub b baru boleh diberikan, setelah ada jaminan dan
terdapat buktibukti, bahwa Desapraja yang bersangkutan mempunyai bonafiditas dan

kemampuan membayar kembali pinjaman uang (credict-waardigheid).

Pasal 49.

Lihat penjelasan umum.

Pasal 50.

Gotong-royong yang dimaksudkan pasal ini adalah pengerahan tenaga gugurgunung yang
diperlukan dengan segera atau secara mendadak, umpamanya untuk

melawan dan mengatasi bahaya alam seperti banjir, gunung meletus dan lain-lain atau

untuk melawan hama tanaman yang dalam tempo singakt mungkin merusak hasil panen.

Untuk mengerahkan tenaga gotong-royong demikian itu tidak mungkin diadakan

lebih dulu rapat Badan Musyawarah Desapraja untuk memutuskannya, karena itu Kepala

Desapraja dapat bertindak sendiri mengerahkan tenaga kerja gotong-royong pada setiap

waktu yang diperlukan.

Pasal 51.

Lihat penjelasan umum.

Pasal 52…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 44 -

Pasal 52.

Untuk memperkaya sumber penghasilan, Desapraja berhak mendirikan perusahaan

Desapraja dan memungut keuntungan untuk Kas Desaparaja, umpamanya mengusahakan

kekayaan alamnya atau mendirikan perusahaan untuk mengolah atau mempergunakan

bahan-bahan dari kekayaan alamnya. Perusahaan demikian dapat diusahakan bersamasama


dengan Desapraja lainnya atau dengan Daerah. Juga dimungkinkan Desapraja

mendirikan perusahaan bersama-sama dengan pihak swasta dengan ketentuan bahwa


Desapraja tetap mempunyai peranan menentukan dalam soal pengawasan dan pimpinan,

untuk menjaga jangan sampai Desapraja dirugikan. Selain dari itu Dasapraja juga dapat

menjadi peserta dari perusahaan Daerah atasan untuk mendapat bagian hasil atau

mendapat bagian hasil karena sesuatu jasa yang diberikan oleh Desapraja (ayat 1). Yang

tersebut belakangan itu juga berlaku untuk sesuatu Perusahaan Negara.

Untuk maksud-maksud tersebut diatas itu, diperlukan adanya Keputusan Badan

Musyawarah Desapraja yang harus disahkan lebih dulu oleh Kepala Daerah tingkat II

(ayat 2). Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 53.

Desapraja hanya dimungkinkan melangsungkan pemungutan pajak yang telah ada

sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-perundangan perpajakan yang berlaku

(ayat 1 ). Sedang untuk menghapuskan pajak Desapraja hanya dapat dilakukan dengan

peraturan pajak Desapraja yang bersangkutan.

Pengembalian berarti pembayaran kembali pajak yang terlanjur dibayar, padahal

semestinya tidak dibayar. Pembayaran kembali pajak dimaksud harus dilakukan secara

langsung tanpa ditunda-tunda. Penghapusan pajak dimaksud dapat terjadi dalam dua hal,

yaitu seseorang dihapuskan pajaknya karena sesuatu sebab yang diatur dalam peraturan

pajak atau karena ia menurut adat-kebiasaan setempat mendapat kebebasan dari

membayar pajak, umpamanya karena menjadi anggota Badan Musyawarah Desapraja,

Badan Pertimbangan Desaparaja dan lain-lain.

Pasal 54…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 45 -

Pasal 54.
Untuk memperbesar daya-guna Desapraja dalam turut membangun masyarakat adil

dan makmur, maka kecuali tugas kewajibannya dapat ditambah, juga kemampuan

keuangannya harus diperbesar. Karena itu, Desapraja dimungkinan untuk menerima

penyerahan pajak-pajak Daerah ata diberikan sebagian dari hasil pungutan pajak Daerah.

Disamping itu kepada Desapraja juga dapat diberikan bantuan keuangan, terutama

kepada Desapraja yang kurang penghasilannya dan untuk penyelenggaraan tugas-tugas

pembantuan yang dibebankan serta untuk prestasi-prestasi kerja yang diselenggarakannya.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 55.

Desapraja dimungkinkan juga untuk mengadakan pinjaman-pinjaman guna suatu

usaha produktif yang dapat menambah penghasilan dan lain-lain usaha yang sesuai

dengan kepribadian Indonesia, yang tidak bertentangan dengan norma-norma susila,


adatkebiasaan dan kepercayaan rakyat serta tidak bersifat penghisapan.

Pasal 56.

Cukup jelas.

Pasal 57.

Semua keuangan Desapraja harus dimasukkan dalam kas Desapraja dengan

pembukuannya yang teratur menurut keperluan pengawasan dan pemeriksaan.

Cara mengatur dan mengurus administrasi keuangan Desapraja akan ditentukan

dengan peraturan Daerah tingkat II berdasarkan pedoman Kepala Daerah tingkat I, supaya

diperoleh bentuk yang seragam, memudahkan pengawasan dan pemeriksaan, sederhana

tetapi memenuhi kebutuhan termaksud.

Pasal 58…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA
- 46 -

Pasal 58.

Setiap Desapraja harus membikin anggaran keuangan untuk setiap tahunnya yang

diselesaikan selambat-lambatnya dalam bulan Oktober untuk tahun berikutnya. Anggaran

keuangan tersebut dapat secara sederhana, tetapi memberikan bahan-bahan yang perlu

untuk menilai perkembangan dan kemajuan serta kebijaksanaan penyelenggaraan urusan

rumah-tangga Desapraja. Guna mendapatkan bentuk-bentuk yang seragam, diperlukan

petunjuk dan bimbingan dari Kepala Daerah tingkat II berdasarkan pedoman Kepala

Daerah tingkat I.

Semua pengeluaran dan pemasukan uang harus dimasukkan dalam anggaran

keuangan, termasuk juga pengeluaran dan pemasukan uang sebagai ganti nilai dari

penerimaan dan pengeluaran barang.

Anggaran keuangan Desapraja yang oleh Kepala Daerah tingkat II tidak dapat

disahkan, baik sebagian maupun seluruhnya hendaknya dikembalikan dengan disertai

petunjuk-petunjuk yang perlu untuk perbaikannya, dengan demikian Desapraja terus

mendapat bimbingan dalam penyelenggaraan anggaran keuangannya.

Juga bagaimana cara membikin pertanggungan jawab anggaran setiap tahunnya,

diperlukan petunjuk dan bimbingan dari Kepala Daerah tingkat II.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 59.

Dalam berbagai pasal Undang-undang ini banyak ditentukan keputusan-keputusan

Desapraja yang tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Kepala Daerah tingkat II

untuk kepentingan pengawasan dan bimbingan. Supaya hal itu tidak bersifat menghambat,

maka pasal ini memungkinkan bahwa sesuatu keputusan Desapraja yang telah lebih dari

tiga bulan lamanya belum disahkan atau dibatalkan atau diperpanjang menurut ayat (2),
maka keputusan tersebut dapat dilaksanakan secara sah (ayat 1).

Jika…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 47 -

Jika jangka waktu tiga bulan tersebut ternyata belum cukup untuk keperluan

penelitian atau karena sesuatu sebab lainnya, Kepala Daerah tingkat II dapat menetapkan

bahwa jangka waktu tersebut harus diperpanjang lagi untuk suatu masa tertentu, tetapi

tidak boleh lebih lama dari tiga bulan pula. Ketentuan perpanjangan waktu tersebut

haruslah disampaikan kepada Desapraja yang bersangkutan sebelum habis jangka waktu

tiga bulan pertama tersebut diatas (ayat 2).

Untuk kepentingan pengawasan dan bimbingan, maka Desapraja diharuskan

memberikan segala keterangan yang diminta, baik oleh Pemerintah Daerah tingkat II

maupun tingkat I atau oleh petugas-petugas yang ditunjuk oleh Daerah atasan tersebut

(ayat 3).

Pasal 60.

Maksud pokok dari bentuk-bentuk pengawasan terhadap Desapraja baik yang

bersifat preventif maupun yang bersifat repressif, adalah memberikan bimbingan kepada

Desapraja dalam segala segi tugas-kewajibannya, sehingga terjamin kelancaran

pelaksanaan kewenangan tugas dan kewajiban tersebut, dapat mempertinggi dayagunanya, dapat
mendorong perkembangan kemajuannya sesuai dengan hri depan

Desapraja ialah peningkatan menjadi Daerah tingkat III.

Oleh karena itu, maka untuk maksud-maksud tersebut, dimana perlu atau atas

permintaan Desapraja yang bersangkutan, Pemerintah Daerah tingkat II dapat

memperbantukan petugas-petugasnya, tenaga-tenaga akhlinya untuk memberikan


bimbingan dan petunjuk-petunjuk secara langsung kepada Desapraja yang bersangkutan.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 61.

Segala keputusan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum atau

peraturan-perundangan/peraturan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan adatkebiasaan


setempat yang memang masih nyata berlaku, dapat dipertangguhkan atau

dibatalkan pelaksanaannya oleh Kepala Daerah tingkat II, keputusan mana disampaikan

kepada Desapraja yang bersangkutan dengan disertai segala keterangan yang perlu (ayat 1

dan 2).

Setiap…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 48 -

Setiap pembatalan dari keputusan yang sudah dijalankan, memerlukan tindakan

lanjutan dalam bentuk pembatalan segala akibat yang telah terjadi karena pelaksanaan

keputusan yang dibatalkan itu, sebegitu jauh hal itu memang masih mungkin dibatalkan

dan memang patut dibatalkan. Tentu akan ada akibat-akibat yang tidak mungkin

dibatalkan lagi atau memang tidak patut dibatalkan lagi, umpamanya sesuatu pungutan

yang sudah masuk kas Desapraja dan sudah diperhitungkan dalam anggaran keuangan,

tidak seharusnya pungutan itu dibayarkan kembali kepada yang membayar dalam tahun

anggaran yang sedang berjalan, melainkan dalam tahun anggaran yang berikutnya atau

sesuatu bangunan yang sudah didirikan, padahal kalau dirobohkan kembali hanya akan

merugikan dan tidak nyata perlunya untuk dirobohkan lagi, sebaiknya biarlah tetap berdiri

(ayat 3).

Sesuatu keputusan yang dipertangguhkan pelaksanaannya, pada saat diterima


keputusan pertangguhannya segera pelaksanaan itu dihentikan sementara menunggu

keputusan terakhir apakah pertangguhan itu akan disusul dengan pembatalan atau tidak.

Tetapi jika telah lewat tiga bulan sejak diterima keputusan pertangguhan tidak juga

disusul oleh keputusan pembatalan dan tidak diperpanjang (pasal 59 ayat 2) maka dengan

sendirinya keputusan Desapraja yang dipertangguhkan itu dapat dilaksanakan kembali

dengan sah.

Pasal 62.

Sesuai dengan ketentuan yang termaksud dalam pasal 40, maka sesuatu keputusan

Desapraja yang ditolak pengesahannya atau dibatalkan atau dipertangguhkan oleh Kepala

Daerah tingkat II, padahal menurut pertimbangan kepala Desapraja dan Badan

Musyawarah Desapraja penolakan pengesahan atau pembatalan atau penangguhan itu

tidak tepat atau tidak cukup kuat alasannya, maka Desapraja dapat memajukan banding

kepada Kepala Daerah tingkat I dalam jangka waktu satu bulan terhitung sejak keputusan

Kepala Daerah tingkat II diterima (ayat 1 dan 2).

Sebelum Kepala Daerah tingkat I menetapkan apakah menerima atau menolak

bandingan yang dimajukan, Desapraja harus mentaati keputusan Kepala Daerah tingkat II

tersebut (ayat 3).

Ayat (4)…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 49 -

Ayat (4) mengharuskan Kepala Daerah tingkat I sudah harus memberikan

keputusannya dalam jangka waktu enam bulan, terhitung sejak diterimanya bandingan

yang dimajukan oleh Kepala Desapraja yang berkepentingan.

Jangka waktu ini ditetapkan cuku lama, karena itu jika sudah lewat enam bulan,
tetapi belum juga ada sesuatu keputusan Kepala Daerah tingkat I apakah menolak atau

menerima bandingan tersebut, maka supaya persoalannya tidak terkatung-katung,

bandingan Desapraja itu dianggap dengan sendirinya sudah diterima, sehingga keputusan

yang ditolak pengesahannya dianggap sah, yang dibatalkan berjalan kembali, yang

ditangguhkan berjalan terus.

Pasal 63.

Jika menurut penilaian Pemerintah Daerah tingkat II sesuatu Desapraja

bawahannya telah mencapai tingkat yang patut untuk menjadi daerah tingkat III, maka hal

ini harus diusulkan kepada Pemerintah Daerah tingkat I yang akan meneruskan usul

tersebut sebagai saran kepada Menteri Dalam Negeri.

Pemerintah Daerah tingkat I dapat memajukan saran meningkatkan beberapa

Desapraja dalam daerahnya untuk bersama-sama dibentuk menjadi Daerah tingkat III.

Bersama saran tersebut disertakan juga pertimbangan-pertimbangan dan

keterangan-keterangan yang perlu.

Dalam ayat (2) pasal ini ditentukan kemungkinan bahwa beberapa kesatuan

masyarakat hukum yang pada saat Undang-undang ini berlaku telah tergabung menjadi

satu, baik karena akibat revolusi ataupun berdasarkan sesuatu keputusan penguasa

setempat sebagai pembawaan perkembangan perjuangan revolusi, diusulkan oleh

Pemerintah Daerah tingkat I untuk langsung dijadikan Daerah tingkat III (jika hal itu

dianggap sudah tepat). Jika ternyata keadaannya belum memungkinkan, maka gabungan

itu akan menjadi Desapraja sebagaimana dan menurut cara yang termaksud dalam pasal

64.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 64…

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 50 -

Pasal 64.

Oleh karena Undang-undang ini bukanlah membentuk, tetapi mengakui kenyataan

yang ada, maka semua kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah ada dan

memenuhi ketentuan termaksud dalam pasal 1, dengan sendirinya menjadi Desapraja

menurut Undang-undang ini. Tetapi karena bekas-bekas Swapraja dan kesatuan-kesatuan

masyarakat yang belum memenuhi syarat-syarat menurut ketentuan termaksud dalam

pasal 1, tidak menjadi Desapraja, maka setiap kesatuan masyarakat hukum yang menjadi

Desapraja akan dinyatakan ketegasannya dengan suatu keputusan Menteri Dalam Negeri.

Mengingat bahwa Undang-undang ini setelah diundangkan, berlaku untuk seluruh

wilayah Indonesia, maka supaya pernyataan tersebut diatas segera dapat dilaksanakan

disemua Daerah tingkat I dalam tempo singkat, pernyataan termaksud dalam ayat (1)

dapat dikuasakan kepada Kepala Daerah tingkat I.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 65 dan 66

Untuk masa peraihan tidak dapat lain bahwa segala alat kelengkapan lama dari

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang ada harus dengan sendirinya menjadi alat

kelengkapan Desapraja.

Kepala kesatuan masyarakat hukum yang menjadi Desapraja dengan sendirinya

menduduki fungsi Kepala Desapraja dengan segala kewenangannya menurut Undangundang ini.
Demikian juga lembaga-lembaga yang merupakan perwakilan atau yang

merupakan Kepala-kepala setiap dukuh menduduki fungsi Pamong Desapraja, lembaga

musyawarah dapat menduduki fungsi sebagai Badan Musyawarah Desparaja, sedang

Carik/Jurutulis dan sebagainya semacam itu menduduki fungsi sebagai Panitera


Desapraja. Penghulu, Khatib, Modin, Ulu-ulu, Jogobojo dan ebagainya semacam itu

menduduki fungsi sebagai petugas-petuga Desapraja.

Mereka itu semua adalah alat kelengkapan Desapraja dalam masa peralihan.

Sebagai…

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

- 51 -

Sebagai petugas-petugas dalam masa perlihan, maka mereka menjalankan tugaskewajiban dalam
bentuk meneruskan tugas-kewajibannya yang lama, bersamaan dengan

itu menjalankan tugas-kewajiban menurut ketentuan-ketentuan dan maksud Undangundang ini.


Dalam hal tugas-kewajiban yang lain itu akan menjadi penghalang bagi

pelaksanaan tugas dan kewajiban menurut ketentuan dan maksud Undang-undang ini,

maka tugas dan kewajiban yang tersebut belakangan inilah yang harus berlaku.

Pasal 67.

Cukup jelas.

Pasal 68.

Untuk menyempurnakan pelaksanaan Undang-undang ini, termasuk mengatur halhal yang belum
diatur dalam Undang-undang ini, akan diatur lebih jauh dalam peraturanperundangan lainnya.

Segala kesulitan yang timbul karena pelaksanaan Undang-undng ini dapat diatasi

dan diatur serta diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri, baik dengan mengadakan

peraturan Menteri, maupun dengan memberikan instruksi-instruksi yang diperlukan.

Selanjutnya lihat penjelasan umum.

Pasal 69.

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 2779


d. UU no 5 tahun 1974 tentang pokok pokok pemerintahan daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

nOMOR 5 TAHUN 1974

TENTANG

POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang ;

a.bahwa Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 83; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2778), tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;

b.bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber hukum bagi seluruh perangkat Negara ;

c.bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan Pemerintah
Daerah sejauh mungkin diseragamkan;

d.bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan


Republik Indonesia perlu dibagi atas daerah besar dan daerah kecil, baik yang bersifat otonom
maupun yang bersifat administratip ;
e.bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok
Negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa, maka hubungan yang
serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada
pelaksanaan otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab yang dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi
;

f.bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah, selain didasarkan pada azas desentralisasi dan
azas dekonsentrasi juga dapat diselenggarakan berdasarkan azas tugas pembantuan;

g.bahwa untuk mengatur yang dimaksud di atas, perlu ditetapkan Undang- undang tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah.

Mengingat :

1.Pasal-pasal 5 ayat (1), 18, dan 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ;

*4595 2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973


tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;

3.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 tentang


Peninjauan Produk-produk yang berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia ;
4.Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 78; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2671) ;

5.Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai Undang-
undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1969 Nomor 37; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2901);

6.Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2915).

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DI


DAERAH.

BAB I

PENGERTIAN - PENGERTIAN

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :


a.Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta pembantu-pembantunya ;

b.Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat
atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya ;

c.Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

d.Tugas Pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan
yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat
atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya ; *4596
e.Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

f.Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala
Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabatnya di daerah:

g.Wilayah Administratip, selanjutnya disebut Wilayah, adalah lingkungan kerja perangkat


Pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah;
h.Instansi Vertikal adalah perangkat deri Departemen-departemen atau Lembaga-lembaga
Pemerintah bukan Departemen yang mempunyai lingkungan kerja di Wilayah yang bersangkutan
;

i.Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berwenang mensahkan, membatalkan dan
menangguhkan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah, yaitu Menteri Dalam Negeri
bagi Daerah Tingkat I dan Gubernur Kepala Daerah bagi Daerah Tingkat II, sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

j.Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang


ketentraman dan ketertiban, politik, kordinasi, pengawasan, dan urusan pemerintahan lainnya
yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu lnstansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga
Daerah ;

k.Polisi Pamong Praja adalah perangkat Wilayah yang bertugas membantu Kepala Wilayah
dalam menyelenggarakan pemerintahan khususnya dalam melaksanakan wewenang, tugas, dan
kewajiban di bidang pemerintahan umum.

BAB II

PEMBAGIAN WILAYAH

Pasal 2

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi


dalam Daerah-daerah Otonom dan Wilayah-wilayah Administratip.

BAB III
DAERAH OTONOM

Bagian Pertama Pembentukan dan Susunan

Pasal 3

(1)Dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan
Daerah Tingkat II.

*4597 (2)Perkembangan dan pengembangan otonomi selanjutnya didasarkan pada kondisi


politik, ekonomi, sosial-budaya serta pertahanan dan keamanan Nasional.

Pasal 4

(1)Daerah dibentuk dengan memperhatiakn syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah


penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan Nasional, dan syarat-syarat lain yang
memungkinkan Daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan
Bangsa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab.

(2)Pembentukan, nama, batas, ibukota, hak dan wewenang urusan serta modal pangkal Daerah
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditetapkan dengan Undang-undang.

(3)Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu Daerah, perubahan nama
Daerah, serta perubahan nama dan pemindahan ibukotanya ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 5
Dengan Undang-undang, suatu Daerah dapat dihapus apabila ternyata syarat-syarat dimaksud
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini sudah tidak terpenuhi lagi sehingga tidak mampu mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Pasal 6

Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, mengingat pertumbuhan dan perkembangannya


dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan pemerintahan dalam bentuk lain yang sejauh
mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang
pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang.

Bagian Kedua Otonomi Daerah

Pasal 7

Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8

(1)Penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah ditetapkan dengan Peraturan


Pemerintah.

(2)Penambahan penyerahan urusan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disertai perangkat,
alat perlengkapan, dan sumber pembiayaannya.

Pasal 9
Sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dapat ditarik kembali dengan
peraturan perundang-undangan yang setingkat. *4598 Pasal 10

(1)Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden tentang hal-hal yang


dimaksud dalam, Pasal-pasal 4, 5, 8, dan 9 Undang- undang ini dibentuk Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah.

(2)Pengaturan mengenai Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ditetapkan dengan peraturan


perundang-undangan..

Pasal 11

(1)Titik berat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II.

(2)Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Ketiga Tugas Pembantuan

Pasal 12

(1)Dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat menugaskan kepada Pemerintah


Daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.

(2)Dengan Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan kepada


Pemerintah Daerah Tingkat II untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
(3)Pemberian urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini,
disertai dengan pembiayaannya.

Bagian Keempat Pemerintah Daerah

Pasal 13

(1)Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(2)Dalam menyelenggarakan pemerintahan Daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas


Daerah.

Bagian Kelima Kepala Daerah

Paragrap 1 Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 14

Yang dapat diangkat menjadi Kepala Daerah ialah Warganegara Indonesia yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :

a.taqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa ;

b.setia dan taat kepada PANCASILA dan Undang-Undang Dasar *4599 1945;

c.setia dan taat kepada Nega dan Pemerintah ;

d.tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang
mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA dan
Undang-Undang Dasar 1945, seperti gerak an G-30-S/PKI dan atau Organisasi terlarang lainnya
;

e.mempunyai rasa pengabdian terhadap Nusa dari Bangsa ;

f.mempunyai kepribadian dan kepemimpinan ;

g.berwibawa ;

h.jujur ;

i.cerdas, berkemampuan, dan trampil ; j.adil ; k.tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan pasti ;

1.sehat jasmani dan rokhani ; m.berumur sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun bagi
Kepala Daerah Tingkat I dan 30 (tiga puluh) tahun bagi Kepala Daerah Tingkat II ; n.mempunyai
kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup di bidang pemerintahan ; o.berpengetahuan
yang sederajat dengan Perguruan Tinggi atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat
dipersamakan dengan Sarjana Muda bagi Kepala Daerah Tingkat I dan berpengetahuan sederajat
dengan Akademi atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat dipersamakan dengan
Sekolah Lanjutan Atas bagi Kepala Daerah Tingkat II.

Pasal 15

(1)Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyknya 5 (lima) orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/
Pimpinan Fraksi-fraksi depan Menteri Dalam Negeri.

(2)Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-
dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.

(3)Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 16

(1)Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah.

(2)Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala
Daerah sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. *4600
(3)Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan
peraturan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 17

(1)Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal
pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

(2)Kepala Daerah adalah Pejabat Negara.

Pasal 18

(1)Sebelum memangku jabatannya Kepala Daerah diambil sumpahnya/ janjinya dan dilantik oleh
:

a.Presiden bagi Kepala Daerah Tingkat I ;

b.Menteri Dalam Negeri bagi Kepala Daerah Tingkat II.


(2)Presiden dapat menunjuk Menteri Dalam Negeri untuk mengambil sumpah/janji dan melantik
Kepala Daerah Tingkat I atas nama Presiden.

(3)Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Gubernur Kepala Daerah untuk mengambil
sumpah/janji dan melantik Kepala Daerah Tingkat II atas nama Menteri Dalam Negeri.

(4)Susunan kata-kata sumpah/janji yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, adalah sebagai
berikut : "Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk diangkat menjadi Kepala Daerah,
langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau
menjanjikan atau akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.

Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga
sesuatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah
dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan
PANCASILA sebagai dasar dan ideologi Negara, bahwa saya senantiasa akan menegakkan
Undang-Undang Dasar 1945 dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
Negara Republik Indonesia.

Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya
atau menurut perintah harus saya rahasiakan. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya dalam
menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mengutamakan kepentingan
Negara dan Daerah daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau sesuatu golongan dan akan
menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, Daerah, dan martabat Pejabat Negara.

Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga membantu memajukan
kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia
di Daerah pada khususnya dan akan setia kepada Bangsa dan *4601 Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(5)Tatacara pengambilan sumpah/janji dan pelantikan bagi Kepala Daerah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Kedudukan, kedudukan keuangan, dan hak kepegawaian lainnya bagi Kepala Daerah, diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

Kepala Daerah dilarang :

a.dengan sengaja melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan kepentingan Negara,


Pemerintah, Daerah, dan atau Rakyat ;

b.turut serta dalam sesuatu perusahaan ;

c.melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang memberikan keuntungan baginya dalam hal-hal yang
berhubungan langsung dengan. Daerah yang bersangkutan ;

d.menjadi advokat atau kuasa dalam perkara di muka Pengadilan.

Pasal 21

Kepala Daerah berhanti atau diberhentikan oleh pejabat yang berhak mengangkat, karena :

a.meninggal dunia ;

b.atas permintaan sendiri ;

c.berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Kepala Daerah yang baru.
d.melanggar sumpah/janji yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) Undang-undang ini ;

e.tidak lagi memenuhi sesuatu syarat yang dimaksud dalam Pasal 14 Undang-undang ini ;

f.melanggar ketentuan yang dimaksud dalam pasal 20 Undang-undang ini ;

g.sebab-sebab lain.

Paragrap 2 Hak, Wewenang dan Kewajiban

Pasal 22

(1)Kepala Daerah menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan Daerah.

(2)Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pemerintahan Daerah, Kepala Daerah
menurut hierarkhi bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(3)Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pemerintahan Daerah, Kepala Daerah
berkewajiban memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila
diminta oteh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(4)Pedoman tentang pemberian keterangan pertanggung jawaban yang dimaksud dalam ayat (3)
pasal ini, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. *4602 Pasal 23

(1)Kepala Daerah mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.

(2)Apabila dipandang, perlu Kepala Daerah dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk
mewakilinya.
Bagian Keenam Wakil Kepala Daerah

Pasal 24

(1)Wakil Kepala Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi
persyaratan.

(2)Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan,
Gubernur Kepala Daerah mengajukan calon Wakil Kepala Daerah Tingkat I kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri.

(3)Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari
Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan.

(4)Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan,
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah mengajukan calon Wakil Kepala Daerah Tingkat II
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah.

(5)Pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah dilakukan menurut kebutuhan.

(6)Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara.

(7)Ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal-pasal 14, 19, 20 dan 21 Undang-undang ini
berlaku juga untuk Wakil Kepala Daerah.

(8)Wakil Kepala Daerah diambil sumpahnya/janjinya dan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri
atas nama Presiden bagi Wakil Kepala Daerah Tingkat I dan oleh Gubernur Kepala Daerah atas
nama Menteri Dalam Negeri bagi Wakil Kepala Daerah Tingkat II.
(9)Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (2) dan (4) pasal ini diatur
lebih lanjut dengan Peaturan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 25

(1)Wakil Kepala Daerah membantu Kepala Daerah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
sehari-hari sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Apabila Kepala Daerah berhalangan, Wakil Kepala Daerah menjalankan tugas dan wewenang
Kepala Daerah sehari-hari.

Pasal 26

*4603 Dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri diatur tentang penjabat yang mewakili Kepala
Daerah dalam hal Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan.

Bagian Ketujuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Paragrap I Umum

Pasal 27

Susunan, keanggotaan, dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, begitu juga
sumpah/janji, masa keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi Anggota-anggotanya
diatur dengan Undang-undang.
Pasal 28

(1)Kedudukan keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota bewan Perwakilan Rakyat Daerah
diatur denpn Peraturan Daerah.

(2)Kedudukan protokoler Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diatur dengan Peraturan Daerah.

(3)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini dibuat sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(4)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku sesudah ada
pengesahan pejabat yang berwenang.

Paragrap 2 Hak dan Kewajiban

Pasal 29

(1)Untuk dapat melaksanakan fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai hak :

a.Anggaran;

b.mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota;

c.meminta keterangan;

d.mengadakan perubahan;

e.mengajukan pernyataan pendapat;

f.prakarsa;

g.penyelidikan.
(2)Cara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f
pasal ini, diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3)Cara pelaksanaan hak penyelidikan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf g pasal ini, diatur
dengan Undang-undang.

Pasal 30

Kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah : *4604 a.mempertahankan, mengamankan,


serta mengamalkan PANCASILA dan Undang-Undang Dasar 1945 ;

b.menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekwen Garis-garis Besar Haluan Negara,
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

c.bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan
Peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang
diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah ;

d.memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan Rakyat dengan berpegang pada
program pembangunan Pemerintah.

Paragrap 3 Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pasal 31

(1)Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun.
(2)Kecuali yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, atas permintaan sekurang-kurangnya
seperlima jumlah Anggota atau atas permintaan Kepala Daerah, Ketua memanggil Anggota-
anggota untuk bersidang dalam waktu 1 (satu) bulan setelah permintaan itu diterima.

(3)Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang atas panggilan Ketua.

(4)Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1), (2) dan (3) pasal ini diatur dalam
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 32

(1)Rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada dasarnya bersifat terbuka untuk umum.

(2)Atas permintaan Kepala Daerah, atau atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima jumlah
Anggota atau apabila dipandang perlu oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dapat
diadakan rapat tertutup.

(3)Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai :

a.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta perhitungannya;

b.penetapan, perubahan, dan penghapusan pajak dan retribusi ;

c.hutang piutang dan menanggung pinjaman ;

d.perusahaan Daerah ;

e.pemborongan pekerjaan, jual beli barang-barang, dan pemborongan pengangkutan tanpa


mengadakan penawaran umum ;

f.penghapusan tagihan sebagian atau seluruhnya ;

g.persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai ; *4605 h.pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua dan pelantikan Anggota baru Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(4)Semua yang hadir dalam rapat tertutup wajib merahasiakan segala hal yang dibicarakan dan
kewajiban itu berlangsung terus baik bagi Anggota maupun pegawai/pekerja yang mengetahui
halnya dengan jalan apapun, sampai Dewan membebaskannya.

Pasal 33

(1)Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat dituntut dimuka Pengadilan karena
pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik
dalam rapat terbuka maupun dalam rapat tertutup, yang diajukan secara lisan maupun tertulis
kepada Pimpinan Dewan Perwakilna Rakyat Daerah, Kepala Daerah atau Pemerintah, kecuali
jika dengan pernyataan itu ia membocorkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup untuk
dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan-ketentuan mengenai pengumuman
rahasia Negara dalam BUKU KEDUA BAB I Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

(2)Tatacara tindakan kepolisian terhadap Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


diatur dengan Undang-undang.

Pasal 34

(1)Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Peraturan Tata Tertib yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada
pengesahan pejabat yang berwenang.

Paragrap 4

Ketentuan apabila Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat menjalankan Fungsi dan
Kewajibannya.
Pasal 35

(1)Apabila ternyata Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I melalaikan atau karena sesuatu
hal tidak dapat menjalankan fungsi dan kewajibannya sehingga dapat merugikan Daerah atau
Negara, setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah, Menteri Dalam Negeri
menentukan cara bagaimana hak, wewenang, dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
itu dijalankan.

(2)Bagi Daerah Tingkat II penentuan cara yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dilakukan
oleh Gubernur Kepala Daerah setelah mendengar pertimbangan Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah yang bersangkutan.

Paragrap 5 Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pasal 36

*4606 (1)Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah unsur staf yang membantu
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menyelenggarakan tugas dan kewajibannya.

(2)Pembentukan, susunan organisasi, dan formasi Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.

(3)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang.

Pasal 37
(1)Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

(2)Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I diangkat oleh Menteri Dalam Negeri
dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan.

(3)Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan,
Gubernur Kepala Daerah mengajukan calon Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat I kepada Menteri Dalam Negeri.

(4)Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II diangkat oleh Gubernur Kepala
Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan.

(5)Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan,
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah mengajukan calon Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Tingkat II kepada Gubernur Kepala Daerah.

(6)Persyaratan dan tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (2), (3), (4)
dan (5) pasal ini diatur dengan Peraturan Manteri Dalam Negeri.

Bagian Kedelapan Peraturan Daerah

Pasal 38

Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan
Daerah.

Pasal 39
(1)Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya.

(2)Peraturan Daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.

(3)Peraturan Daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal yang *4607 termasuk urusan rumah
tangga Daerah tingkat bawahnya.

Pasal 40

(1)Peraturan Daerah diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah yang


bersangkutan.

(2)Peraturan Daerah mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam
Lembaran Daerah yang bersangkutan.

(3)Peraturan Daerah yang tidak memerlukan pengesahan mulai berlaku pada tanggal yang
ditentukan dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan.

(4)Peraturan Daerah yang memerlukan pengesahan mulai berlaku pada tanggal


pengundangannya atau pada tanggal yang ditentukan dalam Peraturan Daerah yang
bersangkutan.

(5)Peraturan Daerah yang memerlukan pengesahan tidak boleh diundangkan sebelum


pengesahan itu diperoleh atau sebelum jangka waktu yang ditentukan untuk pengesahannya
berakhir.
Pasal 41

(1)Peraturan Daerah Tingkat I dan Peraturan Daerah Tingkat II dapat memuat ketentuan
ancaman pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.50.000,-(Limapuluh ribu- rupiah) dengan atau tidak dengan merampas barang tertentu untuk
Negara, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

(2)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang.

(3)Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran.

Pasal 42

(1)Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan
hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.

(2)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang.

Pasal 43

(1)Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah,


dilakukan oleh alat-alat penyidik dan penuntut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2)Dengan Peraturan Daerah dapat ditunjuk Pegawai-pegawai Daerah yang diberi tugas untuk
melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah.

Pasal 44

*4608 (1)Bentuk Peraturan Daerah ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Peraturan Daerah ditandatangani oleh Kepala Daerah dan ditandatangani serta oleh Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 45

Kepala Daerah dapat menetapkan Keputusan Kepala Daerah untuk melaksanakan Peraturan
Daerah atau urusan-urusan dalam rangka tugas pembantuan.

Bagian Kesembilan Badan Pertimbangan Daerah

Pasal 46

(1)Di Daerah dibentuk Badan Pertimbangan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan unsur Fraksi-fraksi yang belum terwakili dalam Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(2)Badan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini bertugas untuk memberikan pertimbangan-
pertimbangan kepada Kepala Daerah.

(3)Pembentukan, jumlah Anggota dan tata kerja Badan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan
(2) pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Bagian Kesepuluh Sekretariat Daerah

Pasal 47

(1)Sekretariat Daerah adalah unsur staf yang membantu Kepala Daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan Daerah.

(2)Pembentukan, susunan organisasi dan formasi Sekretariat Daerah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang,

Pasal 48

(1)Sekretariat Daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah.

(2)Sekretaris Daerah Tingkat I diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari Pegawai Negeri yang
memenuhi persyaratan atas usul Gubernur Kepala Daerah setelah mendengar pertimbangan
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(3)Sekretaris Daerah tingkat II diangkat oleh Gubernur Kepala Daerah atas nama Menteri Dalam
Negeri dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan atas usul Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. *4609
(4)Persyaratan dan tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (2) dan (3)
pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
(5)Apabila Sekretaris Daerah berhalangan menjalankan tugasnya, maka tugas Sekretaris Daerah
dijalankan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

Bagian Kesebelas Dinas Daerah

Pasal 49

(1)Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah.

(2)Pembentukan susunan organisasi dan formasi Dinas Daerah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang.

Bagian Keduabelas Kepegawaian

Pasal 50

(1)Pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian sementara, gaji, pensiun, uang tunggu, dan hal-
hal lain mengenai kedudukan hukum Pegawai Daerah, diatur dengan Peraturan Daerah sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang.

Pasal 51
(1)Pegawai Negeri dari sesuatu Departemen dapat diperbantukan atau dipekerjakan kepada
Daerah, dengan Keputusan Menteri atas permintaan Kepala Daerah yang bersangkutan.

(2)Dalam Keputusan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur syarat dan hubungan kerja
Pegawai Negeri yang bersangkutan dengan perangkat Daerah sepanjang diperlukan.

Pasal 52

(1)Pegawai Daerah Tingkat I dapat diperbantukan atau dipekerjakan kepada Daerah Tingkat II
dengan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, atas permintaan Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.

(2)Dalam Keputusan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur syarat dan hubungan kerja
Pegawai Daerah yang bersangkutan dengan perangkat Daerah Tingkat II sepanjang diperlukan.

Pasal 53

*4610 Semua pegawai, baik Pegawai Negeri maupun Pegawai Daerah, yang diperbantukan atau
dipekerjakan kepada sesuatu Daerah berada di bawah pimpinan Kepala Daerah yang
bersangkutan.

Pasal 54

(1)Pembinaan kepegawaian terhadap Pegawai Daerah di atur oleh Kepala Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Pembinaan kepegawaian terhadap Pegawai Negeri yang diperbantukan atau dipekerjakan
kepada Daerah di atur dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketigabelas Keuangan Daerah

Paragrap 1 Pendapatan Daerah

Pasal 55

Sumber pendapatan Daerah adalah :

a.Pendapatan asli Daerah sendiri, yang terdiri dari :

1.hasil pajak Daerah ;

2.hasil retribusi Daerah ;

3.hasil perusahaan Daerah ;

4.lain-lain hasil usaha Daerah yang sah.

b.Pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah yang terdiri dari :

1.sumbangan dari Pemerintah;


2.sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan ;

c.Lain-lain pendapatan yang sah.

Pasal 56

Dengan Undang-undang sesuatu pajak Negara dapat diserahkan kepada Daerah.

Pasal 57

Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Daerah diatur dengan Undang-undang.

Pasal 58

(1)Dengan Undang-undang ditetapkan ketentuan pokok tentang pajak dan retribusi Daerah.

(2)Dengan Peraturan Daerah ditetapkan pungutan pajak dan retribusi Daerah.

(3)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang, menurut cara yang diatur dalam Undang-undang dan tidak boleh
berlaku surut. *4611 (4)Pengembalian atau pembebasan pajak Daerah dan atau retribusi Daerah
hanya dapat dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah.

Pasal 59
(1)Pemerintah Daerah dapat mengadakan Perusahaan Daerah yang penyelenggaraan dan
pembinaannya dilakukan berdasarkan azas ekonomi perusahaan.

(2)Dengan Undang-undang ditetapkan ketentuan pokok tentang Perusahaan Daerah.

Pasal 60

(1)Dengan Peraturan Daerah dapat diadakan usaha-usaha sebagai sumber pendapatan Daerah.

(2)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang.

Pasal 61

(1)Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membuat
Keputusan untuk mengadakan hutang-piutang atau menanggung pinjaman bagi kepentingan dan
atas beban Daerah.

(2)Dalam Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditetapkan juga
sumber pembayaran bunga dan angsuran pinjaman itu serta cara pembayarannya.

(3)Keputusan yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan Menteri
Dalam Negeri.

Paragrap 2
Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan serta Barang-barang Milik Daerah

Pasal 62

(1)Kepala Daerah menyelenggarakan pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan


keuangan Daerah berdasarkan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.

(2)Uang Daerah disimpan pada Kas Daerah atau Bank Pembangunan Daerah.

(3)Selama belum ada Kas Daerah atau Bank Pembangunan Daerah, atas permintaan Pemerintah
Daerah, Menteri Keuangan dapat menugaskan Kas Negara atau Bank Pemerintah tertentu untuk
melaksanakan pekerjaan mengenai penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau penyerahan
uang, surat bernilai uang dan atau barang untuk kepentingan Daerah.

Pasal 63

(1)Barang milik Daerah yang dipergunakan untuk melayani *4612 kepentingan umum tidak
dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan tanggungan atau digadaikan,
kecuali dengan Keputusan Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.

(2)Penjualan dan penyerahan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hanya dapat dilakukan
dimuka umum, kecuali apabila ditentukan lain dalam Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini.

(3)Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kepala Daerah dapat menetapkan
Keputusan tentang :
a.penghapusan tagihan Daerah sebagian atau seluruhnya ;

b.persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai ;

c.tindakan hukum lain, mengenai barang milik atau hak Daerah .

(4)Keputusan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1), (2), dan (3) pasal ini, berlaku sesudah ada
pengesahan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 64

(1)Tahun anggaran Daerah adalah sama dengan tahun anggaran Negara.

(2)Dengan Peraturan Daerah, tiap tahun, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah ditetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun anggaran tertentu, ditetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.

(3)Dengan Peraturan Daerah, tiap tahun, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah ditetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun anggaran tertentu, ditetapkan perhitungan
atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran sebelumnya.

(4)Apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada permulaan tahun anggaran yang
bersangkutan belum mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang dan belum
diundangkan, maka Pemerintah Daerah menggunakan anggaran tahun sebelumnya sebagai dasar
pengurusan keuangannya.

(5)Pemerintah Daerah wajib berusaha mencukupi anggaran belanja rutin dengan pendapatan
sendiri.

(6)Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta perubahannya, sepanjang tidak dikuasakan
sendiri oleh Anggaran itu, dilaksanakan sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang.
(7)Pengesahan atau penolakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah oleh pejabat yang
berwenang dapat dilakukan pos demi pos atau secara keseluruhan.

(8)Dengan Peraturan Pemerintah diatur ketentuan-ketentuan tentang cara:

a.penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

b.pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan Daerah; *4613 c.penyusunan


permtungan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(9)Dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri diatur lebih lanjut cara melaksanakan ketentuan
yang dimaksud dalam ayat (8) pasal ini.

Bagian Keempatbelas Kerjasama dan Perselisihan Antar Daerah

Pasal 65

(1)Beberapa Pemerintah Daerah dapat menetapkan Peraturan Bersama untuk mengatur


kepentingan Daerahnya secara bersama-sama.

(2)Peraturan Bersama yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, demikian pula mengenai
perubahan dan pencabutannya, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang.

(3)Dalam hal tidak tercapai kata sepakat mengenai perubahan dan atau pencabutan yang
dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka pejabat yang berwenang mengambil keputusan.

(4)Menteri Dalam Negeri menetapkan Peraturan untuk melancarkan pelaksanaan kerjasama antar
Pemerintah Daerah.
Pasal 66

(1)Perselisihan antar Pemerintah Daerah Tingkat I dan antara Pemerintah Daerah Tingkat I
dengan Pemerintah Daerah Tingkat II dan perselisihan antar Pemerintah Daerah Tingkat II yang
tidak terletak dalam Daerah Tingkat I yang sama diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Perselisihan antar Pemerintah Daerah Tingkat II yang terletak dalam Daerah Tingkat I yang
sama, diselesaikan oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan.

Bagian Kelimabelas Pembinaan

Pasal 67

Menteri Dalam Negeri melaksanakan pembinaan dalam rangka penye lenggaraan pemerintahan
Daerah untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya, baik mengenai urusan
rumah tangga Daerah maupun mengenai urusan tugas pembantuan.

Bagian Keenambelas Pengawasan Paragrap 1 Pengawasan Prepentip

Pasal 68

Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditentukan bahwa Peraturar. Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah mengenai hal-hal tertentu, baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang
berwenang.

*4614 Pasal 69
(1)Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang memerlukan pengesahan, dapat
dijalankan sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, atau apabila setelah 3 (tiga) bulan
sejak diterimanya Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah tersebut, pejabat yang
berwenang tidak mengambil sesuatu keputusan.

(2)Jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, oleh pejabat yang
berwenang dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan memberitahukannya kepada
Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini berakhir.

(3)Penolakan pengesahan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini, oleh pejabat yang berwenang diberitahukan kepada Pemerintah Daerah
yang bersangkutan disertai alasan-alasannya.

(4)Terhadap penolakan pengesahan yang dimaksud dalam ayat (3) pasal ini, Daerah yang
bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung mulai saat pemberitahuan penolakan
pengesahan itu diterima, dapat mengajukan keberatan kepada pejabat setingkat lebih atas dari
pejabat yang menolak.

Paragrap 2 Pengawasan Represip

Pasal 70

(1)Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah tingkat atasnya ditangguhkan
berlakunya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang.

(2)Apabila Gubernur Kepala Daerah tidak menjalankan haknya untuk menangguhkan atau
membatalkan Peraturan Daerah Tingkat II dan atau Keputusan Kepala Daerah Tingkat II sesuai
dengan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka penangguhannya dan atau pembatalannya
dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
(3)Pembatalan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat-
ayat (1) dan (2) pasal ini, karena bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-
undangan atau Peraturan Daerah Tingkat atasnya, mengakibatkan batalnya semua akibat dari
Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud, sepanjang masih dapat
dibatalkan.

(4)Keputusan penangguhan atau pembatalan yang dimaksud dalam ayat- ayat (1) dan (2) pasal
ini, disertai alasan-alasannya diberitahukan kepada Kepala Daerah yang bersangkutan dalam
jangka waktu 2 (dua) minggu sesudah tanggal keputusan itu.

(5)Lamanya penangguhan yang dinyatakan dalam Keputusan yang dimaksud dalam ayat (4)
pasal ini, tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan dan sojak saat penangguhannya, Peraturan Daerah
dan atau Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan *4615 kehilangan kakuatan berlakunya.

(6)Jika dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah pcnangguhan itu tidak disusul dengan
keputusan pembatalannya, maka Peraturan Daerah dan atau Keputusan-Kepala Daerah itu
memperolah kembali kekuatan berlakunya.

(7)Keputusan mengenai pembatalan yang dimaksud dalam ayat-ayat (4) dan (6) pasal ini,
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan atau Lembaran Daerah yang
bersangkutan.

Paragrap 3 Pengawasan Umum

Pasal 71

(1)Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan umum atas jalannya pemerintahan Daerah.
(2)Menteri Dalam Negeri atau pejabat yang ditunjuk olehnya, mengadakan penyelidikan dan
pemeriksaan tentang segala hal mengenai pekerjaan Pemerintahan Daerah, baik mengenai urusan
rumah tangga Daerah maupun mengenai urusan tugas pembantuan.

(3)Ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku juga bagi Gubernur
Kepala Daerah terhadap Pemerintah Daerah Tingkat II.

(4)Untuk kepentingan pengawasan umum, Pemerintah Daerah wajib memberikan keterangan


yang diminta oleh para pejabat yang dimaksud dalam ayat-ayat (2) dan (3) pasal ini.

(5)Terhadap penolakan untuk memberikan keterangan yang dimaksud dalam ayat (4) pasal ini,
Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah dapat mengambil tindakan yang dianggap
perlu.

(6)Cara pengawasan umum yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri.

BAB IV

WILAYAH ADMINISTRATIP

Bagian Pertama Pembentukan dan Pembagian

(1)Dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi dalam Wilayah-wilayah Propinsi dan Ibu kota Negara.

(2)Wilayah Propinsi dibagi dalam Wilayah-wilayah Kabupaten dan Kota madya.


(3)Wilayah Kabupaten dan Kotamadya dibagi dalam Wilayah-wilayah Kecamatan.

*4616 (4)Apabila dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, dalam
Wilayah Kabupaten dapat dibentuk Kota Administratip yang pengaturannya ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 73

Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu
Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka
dekonsentrasi.

Pasal 74

(1)Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Propinsi atau
Ibukota Negara.

(2)Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten
atau Kotamadya.

(3)Ibukota Daerah Tingkat I adalah ibukota Wilayah Propinsi.

(4)Ibukota Daerah Tingkat II adalah ibukota Wilayah Kabupaten.

Pasal 75
Dengan tidak mengurangi ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 74 Undang-undang ini, maka
pembentukan, nama, batas, sebutan, ibukota, dan penghapusan Wilayah Umumnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Kepala Wilayah

Pasal 76

Setiap Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala Wilayah.

Pasal 77

Kepala Wilayah :

a.Propinsi dan Ibukota Negara disebut Gubernur;

b.Kabupaten disebut Bupati;

c.Kotamadya disebut Wahkotamadya;

d.Kota Administratip disebut Walikota;

e.Kecamatan disebut Camat.

Pasal 78

Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Wilayah:

a.Kecamatan bertanggungjawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya atau Kota
Administratip yang bersangkutan

b.Kota Administratip bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten yang bersangkutan
;
c.Kabupaten atau Kotamadya bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Propinsi yang
bersangkutan ;

d.Propinsi atau Ibukota Negara bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri.

Pasal 79

*4617 (1)Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Propinsi atau
Ibukota Negara.

(2)Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau
Kotamadya.

(3)Ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kepala Wilayah Kota Administratip dan
Kepala Wilayah Kecamatan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 80

Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan
dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan, mengkordinasikan pembangunan dan
membina kehidupan masyarakat di segala bidang.

Pasal 81

Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah adalah :

a.membina ketentraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan, ketentraman


dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah ;
b.melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi Negara dan politik
dalam negeri serta pembinaan kesatuan Bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Pemerintah

c.menyelenggarakan kordinasi atas kegiatan-kegiatan Instansi-instansi Vertikal dan antara


Instansi-instansi Vertikal dengan Dinas-dinas Daerah, baik dalam perencanaan maupun dalam
pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya;

d.membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah;

e.mengusahakan secara terus-menerus agar segala peraturan-perundang-undangan dan Peraturan


Daerah dijalankan oleh Instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat-pejabat
yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segata tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan;

f.melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-
undangan diberikan kepadanya;

g.melaksanakan segala tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu Instansi
lainnya.

Pasal 82

(1)Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Propinsi
atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur.

(2)Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten
atau Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya.

Pasal 83

(1)Tindakan Kepolisian terhadap Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota *4618 Negara hanya dapat
dilakukan atas persetujuan Presiden.

(2)Hal-hal yang dikecualikan terhadap ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah:
a.tertangkap tangan melakukan sesuatu tindak pidana;

b.dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati;

c.dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang termaktub dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana BUKU KEDUA BAB I.

(3)Tindakan kepolisian yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini selambat-lambatnya dalam waktu
2 (dua) kali 24 (duapuluh empat) jam sesudahnya harus dilaporkan kepada Jaksa Agung atau
kepada Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, yang pada gilirannya
harus melaporkan kepada Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) kali 24 (duapuluh
empat) jam.

(4)Tindakan kepolisian terhadap Kepala Wilayah lainnya dilakukan dengan memberitahukan


sebelumnya kepada Kepala Wilayah atasan dari yang bersangkutan.

(5)Tindakan kepolisian yang dimaksud dalam ayat (4) pasal ini diberitahukan selambat-
lambatnya 2 (dua) kali 24 (duapuluh empat) jam sesudahnya kepada Kepala Wilayah atasan dari
yang bersangkutan, apabila menyangkut hal-hal yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini.

Bagian Ketiga Sekretariat Wilayah

Pasal 84

(1)Sekretariat Daerah adalah Sekretariat Wilayah.

(2)Sekretaris Daerah karena jabatannya adalah Sekretaris Wilayah.


(3)Dengan tidak mengurangi ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) ini, susunan organisasi
dan formasi Sekretariat Wilayah lainnya serta pengangkatan dan pemberhentian pejabatnya
diatur oleh Menteri Dalam Negeri.

Bagian Keempat

Instansi Vertikal

Pasal 85

(1)Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Instansi Vertikal berada dibawah kordinasi Kepala
Wilayah yang bersangkutan.

(2)Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kelima Polisi Pamong Praja

Pasal 86

*4619 (1)Untuk membantu Kepala Wilayah dalam menyelenggarakan pemerintahan umum


diadakan satuan Polisi Pamong Praja.

(2)Kedudukan, tugas, hak dan wewenang Polisi Pamong Praja yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3)Susunan organisasi dan formasi satuan Polisi Pamong Praja yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Bagian Keenam Pembiayaan

Pasal 87

(1)Pembiayaan kegiatan Kepala Wilayah, Sekretariat Wilayah dan Polisi Pamong Praja
dibebankan pada anggaran belanja Departemen Dalam Negara.

(2)Sekretariat Wilayah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, adalah Sekretariat Wilayah yang
dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) Undang-undang ini.

BAB V PEMERINTAHAN DESA

Pasal 88

Pengaturan tentang Pemerintahan Desa ditetapkan dengan Undang-undang.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 89

Ketentuan-ketentuan pokok tentang organisasi dan hubungan kerja perangkat Pemerintah di


diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 90

Pola organisasi Pemerintah Daerah dan Wilayah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

BAB VII

ATURAN PERALIHAN

Pasal 91

Pada saat berlakunya Undang-undang ini :

a.Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah, adalah Daerah Tingkat I dandaerah Tingkat II yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-
undang ini ; *4620

b.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang, undang ini dengan sebutan Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada
ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah lainnya ;

c.Segala peraturan pemerintah yang telah ditetapkan atau dinyatakan berlaku berdasarkan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku selama belum dicabut atau diganti
berdasarkan Undang-undang ini ;
d.Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan berdasarkan Undang-undang ini dan belum
diatur pula dalam peraturan pelaksanaan dimaksud dalam huruf c pasal ini, maka diikuti instruksi
petunjuk atau pedoman yang ada atau yang akan diadakan oleh Menteri Dalam Negeri sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini ;

e.Kepala Daerah beserta perangkatnya yang ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini,
tetap menjalankan tugasnya kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 92

Dengan tidak mengurangi ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf a Undang-undang ini,
maka pada saat berlakunya Undang-undang ini:

a.nama dan batas Daerah Tingkat I yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, adalah pula nama dan batas Wilayah Propinsi
atau Ibukota Negara yang dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-undang ini;

b.nama dan batas Daerah Tingkat II yang dimaksud dalam Undang- undang Nomor 18 Tahun
1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, adalah pula nama dan batas Wilayah
Kabupaten atau Kotamadya yang dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) Undang-undang ini;

c.ibukota Daerah Tingkat I yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, adalah pula ibukota Wilayah Propinsi yang
dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) Undang-undang ini;
d.ibukota Daerah Tingkat II yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, adalah pula ibukota Wilayah Kabupaten yang
dimaksud dalam Pasal 74 ayat (4) Undang-undang ini;

e.Kecamatan yang ada sekarang, adalah Kecamatan yang dimaksud dalam ayat (3) Undang-
undang ini.

BAB VIII

PENUTUP

Pasal 93

Pada saat berlakunya Undang-undang ini, tidak berlaku lagi :

a.Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran


Negara Republikk Indonesia Tahun 1965 Nomor 83; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2778);

b.segala ketentuan yang bertentangan dan atau tidak sesuai dengan Undang-undang ini yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 94

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang


ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH.
e. UU no 5 tahun 1979 tentang pokok pokok pemerintahan desa pada masa orde baru

UU 5/1979, PEMERINTAHAN DESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja (Lembaran Negara Tahun
1965 Nomor 84), tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan karenanya perlu diganti;

b.bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan
pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan
Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar
makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan
menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif;

c.bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu segera mengatur bentuk dan susunan
pemerintahan Desa dalam suatu Undang-undang yang dapat memberikan arah perkembangan
dan kemajuan masyarakat yang berazaskan Demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar 1945;

Mengingat :

1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/ 1978 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara;

3.Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai Undang-
undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2901);
4.Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DESA

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

a.Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b.Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri;

c.Dusun adalah bagian wilayah dalam Desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan
pemerintahan Desa;
d.Lingkungan adalah bagian wilayah dalam Kelurahan yang merupakan lingkungan kerja
pelaksanaan pemerintahan Kelurahan;

e.Pemerintah, Pemerintah Daerah, Kepala Daerah, Peraturan Daerah, Kecamatan, Pemerintahan


Umum, Pemerintahan Daerah, dan Pejabat yang berwenang, adalah pengertian-pengertian
menurut ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah;

f.Pembentukan Desa dan Kelurahan adalah tindakan mengadakan Desa dan Kelurahan baru di
luar wilayah Desa-desa dan Kelurahan-kelurahan yang telah ada;

g.Pemecahan Desa dan Kelurahan adalah tindakan mengadakan Desa dan Kelurahan baru di
dalam wilayah Desa dan Kelurahan;

h.Penyatuan Desa dan Kelurahan adalah penggabungan dua Desa dan Kelurahan atau lebih
menjadi satu Desa dan Kelurahan baru;

i.Penghapusan Desa dan Kelurahan adalah tindakan meniadakan Desa dan Kelurahan yang ada.

BAB II DESA
Bagian Pertama Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan, dan Penghapusan Desa

Pasal 2

(1)Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan
syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.

(2)Pembentukan nama, batas, kewenangan, hak dan kewajiban Desa ditetapkan dan diatur
dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3)Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa diatur dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri.

*4885 (4)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2), baru berlaku sesudah ada pengesahan
dari pejabat yang berwenang.

Bagian Kedua Pemerintah Desa

Pasal 3

(1)Pemerintah Desa terdiri atas :

a.Kepala Desa;

b.Lembaga Musyawarah Desa.

(2)Pemerintah Desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Perangkat Desa.


(3)Perangkat Desa terdiri atas :

a.Sekretariat Desa;

b.Kepala-kepala Dusun.

(4)Susunan organisasi dan tatakerja Pemerintah Desa dan Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(5)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (4) baru berlaku sesudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang.

Bagian Ketiga Kepala Desa Paragrap Satu Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 4

Yang dapat dipilih menjadi Kepala Desa adalah penduduk Desa Warganegara Indonesia yang :

a.bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b.setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

c.berkelakuan baik, jujur, adil, cerdas, dan berwibawa;

d.tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam sesuatu kegiatan yang mengkhianati
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dsar
1945, seperti G.30.S/ PKI dan atau kegiatan-kegiatan organisasi terlarang lainnya;

e.tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan Keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan pasti;

f.tidak sedang menjalankan pidana penjara atau kurungan berdasarkan Keputusan Pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan pasti, karena tindak pidana yang dikenakan ancaman pidana
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
g.terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal tetap di Desa yang bersangkutan sekurang-
kurangnya selama 2 (dua) tahun terakhir dengan tidak terputus-putus, kecuali bagi putera Desa
yang berada di luar Desa yang bersangkutan;

h.sekurang-kurangnya telah berumur 25 (duapuluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 60


(enampuluh) tahun;

i.sehat jasmani dan rokhani; j.sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama atau yang
berpengetahuan/berpengalaman yang sederajat dengan itu.

*4886 Pasal 5

(1)Kepala Desa dipilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia oleh penduduk Desa
Warganegara Indonesia yang telah berumur sekurang-kurangnya 17 (tujuhbelas) tahun atau
telah/pernah kawin.

(2)Syarat-syarat lain mengenai pemilih serta tatacara pencalonan dan pemilihan Kepala Desa
diatur dengan Peraturan Daerah, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.

(3)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2), baru berlaku sedudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang.

Pasal 6

Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama
Gubernur Kepala Derah Tingkat I dari calon yang terpilih.

Pasal 7
Masa jabatan Kepala Desa adalah 8 (delapan) tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 8

(1)Sebelum memangku jabatannya Kepala Desa bersumpah menurut agamanya atau berjanji
dengan sungguh-sungguh dan dilantik oleh pejabat yang berwenang mengangkat atas nama
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

(2)Susunan kata-kata sumpah/janji yang dimaksud ayat (1) adalah sebagai berikut : "Saya
bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk diangkat menjadi Kepala Desa, langsung atau tidak
langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan atau akan
memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. Saya
bersumpah/berjanji, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Desa dengan
sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi Negara, bahwa saya senantiasa akan menegakkan Undang-Undang
Dasar 1945 dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik
Indonesia. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut
sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya
dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mengutamakan
kepentingan Negara, Daerah dan Desa daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau sesuatu
golongan dan akan menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, Daerah dan Desa. Saya
bersumpah/berjanji, bahwa saya akan berusaha sekuat *4887 tenaga membantu memajukan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan masyarakat Desa pada khususnya, akan setia
kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

(3)Tatacara pengambilan sumpah/janji dan pelantikan Kepala Desa sebagaimana dimaksud ayat
(1) diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Meenteri-
Dalam Negeri.

Pasal 9
Kepala Desa berhenti atau diberhentikan oleh pejabat yang berwenang mengangkat karena :

a.meninggal dunia;

b.atas permintaan sendiri;

c.berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Kepala Desa yang baru;

d.tidak lagi memenuhi syarat yang dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang ini;

e.melanggar sumpah/janji yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang ini;

f.melanggar larangan bagi Kepala Desa yang dimaksud dalam Pasal 13 Undang-undang ini;

g.sebab-sebab lain.

Paragrap Dua Hak, Wewenang, dan Kewajiban

Pasal 10

(1)Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan Desa yaitu
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan
penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam
rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa, urusan pemerintahan umum termasuk
pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi
utama pelaksanaan pemerintahan Desa.

(2)Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan Desa yang
dimaksud dalam ayat (1), Kepala Desa:

a.bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat;

b.memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa.


Pasal 11

(1)Kedudukan dan kedudukan keuangan Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala-kepala Urusan
dan Kepala-kepala Dusun diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) baru berlaku sesudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang.

Pasal 12

(1)Kepala Desa mewakili Desanya di dalam dan di luar Pengadilan. (2)Apabila dipandang perlu
Kepala Desa dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakilinya.

Pasal 13

Kepala Desa dilarang melakukan kegiatan-kegiatan atau melalaikan tindakan yang menjadi
kewajibannya, yang merugikan kepentingan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
masyarakat Desa.

Bagian Keempat Sekretariat Desa

Pasal 14

Sekretariat Desa adalah unsur staf yang membantu Kepala Desa dalam menjalankan hak,
wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan Desa.

Pasal 15
(1)Sekretariat Desa terdiri atas :

a.Sekretaris Desa;

b.Kepala-kepala Urusan..

(2)Sekretaris Desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota. madya Kepala Daerah
Tingkat II setelah mendengar pertimbangan Camat atas usul Kepala Desa sesudah mendengar
pertimbangan Lembaga Musyawarah Desa.

(3)Apabila Kepala Desa berhalangan maka Sekretaris Desa menjalankan tugas dan wewenang
Kepala Desa sehari-hari.

(4)Kepala-kepala Urusan diangkat dan diberhentikan oleh Camat atas nama


Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas usul Kepala Desa.

(5)Syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Desa dan Kepala-kepala Urusan


diatur dalam Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.

Bagian Kelima Dusun

Pasal 16

(1)Untuk memperlancar jalannya pemerintahan Desa dalam Desa dibentuk Dusun yang dikepalai
oleh Kepala Dusun sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Kepala Dusun adalah unsur pelaksana tugas Kepala Desa dengan wilayah kerja tertentu.
(3)Kepala Dusun diangkat dan diberhentikan oleh Camat atas nama Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II atas usul Kepala Desa.

(4)Syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian Kepala Dusun diatur dalam Peraturan Daerah
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Bagian Keenam Lembaga Musyawarah Desa

Pasal 17

(1)Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan/ permufakatan yang


keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan
dan Pemuka-pemuka Masyarakat di Desa yang bersangkutan.

(2)Kepala Desa karena jabatannya menjadi Ketua Lembaga Musyawarah Desa.

(3)Sekretaris Desa karena jabatannya menjadi Sekretaris Lembaga Musyawarah Desa.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Musyawarah Desa ditetapkan dengan Peraturan
Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(5)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (4), baru berlaku sesudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang.

Bagian Ketujuh Keputusan Desa


Pasal 18

Kepala Desa menetapkan Keputusan Desa setelah dimusyawarahkan/dimufakatkan dengan


Lembaga Musyawarah Desa.

Pasal 19

Keputusan Desa dan Keputusan Kepala Desa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 20

(1)Ketentuan lebih lanjut tentang Keputusan Desa diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1), baru berlaku sesudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang.

Bagian Kedelapan Sumber Pendapatan, Kekayaan dan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran
Keuangan Desa

Pasal 21

(1)Sumber pendapatan Desa adalah :

a.Pendapatan asli Desa sendiri yang terdiri dari : -hasil tanah-tanah Kas Desa; -hasil dari
swadaya dan partisipasi masyarakat Desa; -hasil dari gotong royong masyarakat; -lain-lain hasil
dari usaha Desa yang sah.
b.Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang terdiri dari :
*4890 -sumbangan dan bantuan Pemerintah; -sumbangan dan bantuan Pemerintah Daerah; -
sebagian dari pajak dan retribusi Daerah yang diberikan kepada Desa.

c.Lain-lain pendapatan yang sah.

(2)Setiap tahun Kepala Desa menetapkan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan
Desa setelah dimusyawarahkan/dimufakatkan dengan Lembaga Musyawarah Desa.

(3)Ketentuan lebih lanjut tentang sumber pendapatan dan kekayaan Desa, pengurusan dan
pengawasannya beserta penyusunan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa
diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.

(4)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (3), baru berlaku sesudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang.

BAB III KELURAHAN

Bagian Pertama Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan, dan Penghapusan Kelurahan

Pasal 22

(1)Dalam Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya, Kota Administratif
dan Kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri,
dapat dibentuk Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b.

(2)Kelurahan yang dimaksud dalam ayat (1), dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas
wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
(3)Pembentukan, nama dan batas Kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(4)Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan, dan penghapusan Kelurahan diatur dengan


Peraturan Menteri Dalam Negeri.

(5)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (3), baru berlaku sesudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang.

Bagian Kedua Pemerintah Kelurahan

Pasal 23

(1)Pemerintah Kelurahan terdiri dari Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan.

(2)Perangkat Kelurahan terdiri dari Sekretariat Kelurahan dan Kepala-kepala lingkungan.

*4891 (3)Susunan organisasi dan tatakerja Pemerintah Kelurahan yang dimaksud dalam ayat (1),
diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.

(4)Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (3), baru berlaku sesudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang.

Bagian Ketiga Kepala Kelurahan


Pasal 24

(1)Kepala Kelurahan adalah penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang


pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan
pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan Umum termasuk pembinaan ketentraman dan
ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)Kepala Kelurahan adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Bupati/ Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II/Walikota atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan
memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tentang kepegawaian sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan syarat-syarat yang dimaksud dalam Pasal 4
kecuali huruf g Undang-undang ini.

Pasal 25

(1)Sebelum memangku jabatannya Kepala Kelurahan bersumpah menurut agamanya atau


berjanji dengan sungguh-sungguh dan dilantik oleh pejabat yang berwenang mengangkat atas
nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

(2)Susunan kata-kata sumpah/janji yang dimaksud ayat (1) adalah sebagai berikut : "Saya
bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk diangkat, menjadi Kepala Kelurahan, langsung atau tidak
langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan atau akan
memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekalikali akan menerima
langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. Saya
bersumpah/berjanji, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Kelurahan
dengan sebaikbaiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, bahwa saya senantiasa akan menegakkan Undang-
Undang Dasar 1945 dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang
menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan. Saya bersumpah/berjanji, bahwa
saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mengutamakan
kepentingan Negara, Daerah dan Kelurahan daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau
sesuatu golongan dan akan menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, Daerah, dan
Kelurahan. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan berusaha sekuat *4892 tenaga membantu
memajukan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan masyarakat Kelurahan pada
khususnya, akan setia kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia".

(3)Tatacara pengambilan sumpah/janji dan pelantikan Kepala Kelurahan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri.

Pasal 26

Kepala Kelurahan berhenti atau diberhentikan oleh pejabat yang berwenang mengangkat karena :

a.meninggal dunia;

b.atas permintaan sendiri;

c.tidak lagi memenuhi syarat yang dimaksud dalam pasal 4 kecuali huruf g Undang-undang ini;

d.melanggar sumpah/janji yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-undang ini;

c.melanggar larangan bagi Kepala Kelurahan yang dimaksud dalam Pasal 28 Undang-undang ini;

f.sebab-sebab lain.

Pasal 27

Dalam menjalankan tugas dan wewenang pimpinan pemerintahan Kelurahan, Kepala Kelurahan
bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat.

Pasal 28
Kepala Kelurahan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan atau melalaikan tindakan yang menjadi
kewajibannya, yang merugikan kepentingan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
masyarakat Kelurahan.

Bagian Keempat Sekretariat Kelurahan

Pasal 29

Sekretariat Kelurahan adalah unsur staf yang membantu Kepala Kelurahan dalam menjalankan
tugas dan wewenang pimpinan pemerintahan Kelurahan.

Pasal 30

(1)Sekretariat Kelurahan terdiri atas Sekretaris Kelurahan dan Kepala-kepala Urusan.

(2)Sekretaris Kelurahan dan Kepala-kepala Urusan adalah Pegawai Negeri yang diangkat dan
diberhentikan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II/Walikota atas nama
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan tentang kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)Apabila Kepala Kelurahan berhalangan maka Sekretaris Kelurahan menjalankan tugas dan
wewenang Kepala Kelurahan sehari-hari.

*4893 Bagian Kelima Lingkungan

Pasal 31
(1)Untuk memperlancar jalannya pemerintahan Kelurahan di dalam Kelurahan dapat dibentuk
Lingkungan yang dikepalai oleh kepala Lingkungan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri.

(2)Kepala Lingkungan adalah unsur pelaksana tugas Kepala Kelurahan dengan wilayah kerja
tertentu.

(3)Kepala Lingkungan adalah Pegawai Negeri yang diangkat dan diberhentikan oleh
Bupati/Walikota atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dengan memperhatikan syarat-
syarat dan ketentuan-ketentuan kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB IV KERJASAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 32

(1)Kerjasama antar Desa, antar Kelurahan dan antara Desa dengan Kelurahan diatur oleh pejabat
tingkat atas yang bersangkutan.

(2)Perselisihan antar Desa, antar Kelurahan dan antara Desa dengan Kelurahan penyelesaiannya
diatur oleh pejabat tingkat atas yang bersangkutan.

BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama Pembinaan

Pasal 33
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II/Walikota melaksanakan pembinaan dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan Desa dan pemerintahan Kelurahan untuk mencapai
dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya baik mengenai urusan rumah tangga Desanya
maupun mengenai urusan pemerintahan umum.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 34

(1)Dengan Peraturan Daerah ditentukan bahwa Keputusan Desa mengenai hal-hal tertentu, baru
berlaku sesudah ada pengesahan dari Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

(2)Keputusan Desa dan Keputusan Kepala Desa yang bertentangan dengan kepentingan umum,
Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya dibatalkan oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

(3)Pengawasan umum terhadap penyelenggaraan pemerintahan Desa dan *4894 pemerintahan


Kelurahan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

(4)Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan ayat (1), (2) dan (3) diatur dengan Peraturan
Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

BAB VI ATURAN PERALIHAN

Pasal 35
(1)Desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan Desa yang sudah ada
pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini dinyatakan sebagai Desa menurut Pasal 1 huruf
a.

(2)Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berada di Ibukota Negara, Ibukota
Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya, Kota Administratif, dan Kota-kota lainnya yang tidak
termasuk dalam ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai Kelurahan menurut
Pasal 1 huruf b.

Pasal 36

(1)Kepala Desa, Kepala Kelurahan atau yang disebut dengan nama lainnya dan perangkatnya
yang ada pada saat berlakunya Undang-undang ini tetap menjalankan tugasnya kecuali
ditentukan lain berdasarkan Undang-undang ini.

(2)Lembaga Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang sudah ada
pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan sebagai Lembaga Musyawarah Desa
menurut Pasal 17.

Pasal 37

Segala peraturan perundang-undangan yang ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
undang ini, tetap berlaku selama belum dicabut atau diganti berdasarkan Undang-undang ini.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 38
Hal-hal yang belum diatur dan segala sesuatu yang timbul sebagai akibat dilaksanakannya
Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 39

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini tidak berlaku lagi :

a.Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja (Lembaran Negara Tahun 1965
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2779);

b.Segala ketentuan yang bertentangan dan atau tidak sesuai dengan Undang-undang ini.

*4895 Pasal 40

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Desember 1979 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Desember 1979 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN
1979 TENTANG PEMERINTAHAN DESA

I. . UMUM

1.Yang dimaksud dengan Desa dalam judul Undang-undang ini adalah Desa dan Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dan huruf b Undang-undang ini, sehingga dengan
demikian yang dimaksud dengan Pemerintahan Desa adalah kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Pemerintah
Kelurahan.

2.Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya
berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Lembaran
Negara Tahun 1969 Nomor 37), maka mulai pada saat berlakunya Undang-undang ini, Undang-
undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja tidak berlaku lagi.

3.Sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang


Garis-garis Besar Haluan Negara yang bertujuan tidak saja mengadakan tertib hukum dan
menciptakan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia,
tetapi juga yang penting adalah mensukseskan pembangunan di segala bidang di seluruh
Indonesia, guna mencapai cita-cita Nasional berdasarkan Pancasila, yaitu masyarakat adil dan
makmur, baik material maupun spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia, maka perlu memperkuat
pemerintahan Desa agar *4896 makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya
dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif.
Sejalan dengan apa yang telah digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara tersebut, maka
sudah saatnya pula untuk membuat suatu Undang-undang Nasional, yang mengatur
pemerintahan Desa sebagai pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965, sesuai dengan
perkembangan Orde Baru yang berniat untuk sungguh-sungguh melaksanakan dan
mensukseskan pembangunan yang telah dimulai sejak PELITA I.

4.Keadaan pemerintahan Desa sekarang ini adalah sebagai akibat pewarisan dari Undang-undang
lama yang pernah ada, yang mengatur Desa, yaitu Inlandsche Gemeente Ordonnantie (Stbl.1906
Nomor 83) yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie
Buitengewesten (Stbl. 1938 Nomor 490 jo Stbl. 1938 Nomor 681) yang berlaku untuk di luar
Jawa dan Madura. Peraturan perundang-undangan di atas ini tidak mengatur pemerintahan Desa
secara seragam dan kurang memberikan dorongan kepada masyarakatnya untuk tumbuh kearah
kemajuan yang dinamis. Akibatnya Desa dan pemerintahan Desa yang ada sekarang ini bentuk
dan coraknya masih beraneka ragam, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinya sendiri, yang
kadang-kadang merupakan hambatan untuk pembinaan dan pengendalian yang intensif guna
peningkatan taraf hidup masyarakatnya. Undang-undang ini mengarah pada penyeragaman
bentuk dan susunan pemerintahan Desa dengan corak Nasional yang menjamin terwujudnya
Demokrasi Pancasila secara nyata, dengan menyalurkan pendapat masyarakat dalam wadah yang
disebut Lembaga Musyawarah Desa.

5.Sebagai landasan yang dipakai dalam menyusun Undang-undang ini adalah Pancasila, Undang-
undang Dasar 1945 Pasal 18 yang berbunyi "Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar
kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-
hak asal usul dalam Daerah yang bersifat Istimewa", dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menegaskan perlu
memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam
partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa-yang makin
meluas dan efektif. Selain itu, juga Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah pada ketentuan Pasal 88 menyatakan bahwa "Pengaturan tentang
Pemerintahan Desa ditetapkan dengan Undang-undang".

6.Undang-undang ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, hanya mengatur Desa dari segi pemerintahannya.
Undang-undang ini tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat *4897 hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup sepanjang
menunjang kelangsungan pembangunan dan ketahanan Nasional. Oleh sebab itu yang dimaksud
dengan pemerintahan Desa dalam Undang-undang ini adalah kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintahan yang terendah
langsung di bawah Camat. Dalam perkembangannya Desa-desa ini telah menjurus ke arah dua
pengkategorian sebagaimana terlihat pada Pasal 1 huruf a dan huruf b dalam Undang-undang ini.

7.Desa yang dimaksud Pasal 1 huruf a, di dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan dan tata
pemerintahan sampai sekarang merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat, telah
memiliki hak menyelenggarakan rumah tangganya. Hak menyelenggarakan rumah tangganya ini
bukanlah hak otonomi sebagamana dimaksudkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dengan demikian perkembangan dan pengembangan
otonomi selanjutnya baik kesamping, keatas dan atau ke bawah, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tetap dimungkinkan sesuai dengan kondisi politik,
ekonomi, sosial-budaya serta pertahanan dan keamanan Nasional. Disamping itu terdapat pula
suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah Camat yang disebut "Kelurahan"yang dapat dibentuk di Ibukota
Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya, Kota Administratif dan Kota-kota
lain dalam arti bahwa Kelurahan ini juga merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat, tetapi
tidak memiliki hak menyelenggarakan rumah tangganya.

8.Mengingat bahwa Desa dan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk dan mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat,
menghadapi kemungkinan perkembangan, baik berupa pembentukan, pemecahan,penyatuan dan
penghapusan, maka Undang-undang ini menampung terjadinya hal-hal tersebut. Dalam
melakukan pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa dan Kelurahan perlu
diperhatikan syarat-syarat tertentu antara lain luas wilayah dan jumlah penduduk. Persyaratan itu
perlu diperhatikan supaya Desa dan Kelurahan yang dibentuk atau dipecah itu dapat diharapkan
memenuhi fungsinya sebagai suatu wilayah yang mempunyai pemerintahan yang terendah
langsung di bawah Camat yang mampu dan tangguh melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
termasuk pembangunan. Pengaturan lebih lanjut mengenai pembentukan, pemecahan,penyatuan
dan penghapusan Desa dan Kelurahan oleh Undang-undang ini diserahkan kepada Pemerintah
Daerah, karena Pemerintah Daerah yang bersangkutan dipandang lebih mengetahui fakta dan
keadaan Desa dan Kelurahan di Daerahnya.

9.Dalam pelaksanaan tugasnya Pemerintah Desa dan Pemerintah *4898 Kelurahan dibantu oleh
Perangkat Desa dan Perangkat Kelurahan. Kepala Desa dan Kepala Kelurahan sebagai orang
pertama mengemban tugas dan kewajiban yang berat, karena ia adalah penyelenggara dan
penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, dan urusan
pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban. Disamping itu Kepala
Desa dan Kepala Kelurahan juga mengemban tugas membangun mental masyarakat Desa baik
dalam bentuk menumbuhkan maupun mengembangkan semangat membangun yang dijiwai oleh
azas usaha bersama dan kekeluargaan. Dengan beratnya beban tugas Kepala Desa dan Kepala
Kelurahan itu,maka dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Kepala Desa dan Kepala
Kelurahan sebagai penanggungjawab utama di bidang pembangunan dibantu oleh Lembaga
Sosial Desa. Dengan pembantu-pembantu seperti tersebut di atas, diharapkan Kepala Desa dan
Kepala Kelurahan, dapat menyelenggarakan pimpinan pemerintahan Desa dan pemerintahan
Kelurahan dengan baik sesuai dan seimbang dengan laju perputaran roda pemerintahan dari atas
sampai bawah.

10.Sebanding dengan beratnya beban tugas Kepala Desa dan Kepala Kelurahan sebagaimana
telah digambarkan di atas, maka Undang-undang ini menekankan perlunya pemenuhan
persyaratan tertentu bagi para calon Kepala Desa dan Kepala Kelurahan. Diantaranya adalah
persyaratan pendidikan minimal yang dalam Undang-undang ini disyaratkan sekurang-
kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama atau yang berpengetahuan/berpengalaman
sederajat dengan itu. Dengan peningkatan persyaratan pendidikan ini diharapkan agar Kepala
Desa dan Kepala Kelurahan mampu menangani urusan-urusan, baik dalam rangka
penyelenggaraan urusan rumah tangga Desa maupun urusan pemerintahan umum termasuk
pembinaan ketentraman dan ketertiban.

11.Perwujudan Demokrasi Pancasila dalam pemerintahan Desa terlihat dari adanya Lembaga
Musyawarah Desa yang merupakan wadah dan penyalur pendapat masyarakat di Desa. Lembaga
Musyawarah Desa tersebut adalah merupakan wadah permusyawaratan/permufakatan dari
pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Desa dalam mengambil bagian terhadap pembangunan
Desa yang keputusan-keputusannya ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan
memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
yang bersangkutan.

12.Yang dimaksud dengan Gotong Royong dalam Undang-undang ini adalah bentuk kerjasama
yang spontan dan sudah melembaga serta mengandung unsur-unsur timbal-balik yang bersifat
sukarela antara warga Desa dan atau antara warga Desa dengan Pemerintah Desa untuk
memenuhi kebutuhan yang insidentil maupun berkelangsungan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan bersama baik material maupun spiritual.

II. . PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

*4899 Cukup jelas. Pasal 2


Syarat-syarat pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa dalam Undang-
undang ini akan ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, sedang pelaksanaannya
diatur dengan Peraturan Daerah yang baru berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang
berwenang. Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud ditetapkan dengan memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :

a.faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor sosial budaya termasuk
adat istiadat;

b.faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah,keseimbangan antara organisasi dan


luas wilayah dan pelayanan;

c.dan lain sebagainya. Pasal 3

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pedoman Menteri
Dalam Negeri mengenai susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa mengatur hal-hal
sebagai berikut:

a.kedudukan, tugas dan fungsi Kepala Desa

b.susunan organisasi;

c.tata kerja;

d.dan lain sebagainya, dengan mengindahkan adat istiadat yang berkembang dan berlaku
setempat. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4

Yang dimaksud dengan penduduk Desa Warganegara Indonesia adalah warganegara Indonesia
yang bertempat tinggal di Desa yang bersangkutan dan memenuhi syarat-syarat untuk dipilih,
Pengertian kegiatan terlarang adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku seperti kegiatan G.30.S/PKI dengan organisasi massanya dan
kegiatan-kegiatan organisasi terlarang lainnya. Yang dimaksud dengan putra Desa dalam
Undang-undang ini adalah mereka yang lahir di Desa dari orang tua yang terdaftar sebagai
penduduk-desa yang bersangkutan atau mereka yang lahir di luar Desa dan kemudian pernah
menjadi penduduk Desa yang bersangkutan sehingga betul-betul mengenal Desa tersebut.
Undang-undang ini menetapkan sekurang-kurangnya umur 25 (dua puluh lima) tahun yang dapat
dipilih menjadi Kepala Desa,dengan pertimbangan bahwa dalam usia inilah pada umumnya
orang dipandang sudah mantap kedewasaannya. Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan
rokhani adalah sehat jasmani dan rokhaninya yang menurut penilaian mampu melaksanakan
tugas-tugas dan pekerjaan sebagai Kepala Desa dengan baik. Pasal 5

*4900 Ayat (1) Dalam rangka pemilihan Kepala Desa yang dimaksud dengan azas :

a.Langsung. Pemilih mempunyai hak suara langsung memberikan suaranya menurut hati
nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.

b.Umum. Pada dasarnya semua penduduk Desa Warganegara Indonesia yang memenuhi
persyaratan sekurang-kurangnya telah berusia l7 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin,
berhak memilih dalam pemilihan Kepala Desa. Jadi pemilihan bersifat umum berarti pemilihan
yang berlaku menyeluruh bagi semua penduduk Desa Warganegara Indonesia menurut
persyaratan tertentu tersebut di atas.

c.Bebas Pemilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk menetapkan


pilihannya sendiri tanpa adanya pengaruh, tekanan atau pada siapapun, dan dengan apapun;

d.Rahasia. Pemilih dijamin oleh peraturan perundang-undangan bahwa suara yang diberikan
dalam pemilihan tidak diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun; Ayat (2) Pedoman
Menteri Dalam Negeri mengenai tatacara pemilihan Kepala Desa mengatur hal-hal sebagai
berikut:

a.lowongan Kepala Desa;

b.panitya pemilihan;

C.pencalonan;

d.pelaksanaan pemilihan;

e.pengesahan, pengangkatan, dan pelantikan Kepala Desa;

f.dan lain sebagainya. Pasal 6

Pengertian atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I adalah dimaksudkan bahwa pada
hakekatnya pengangkatan Kepala Desa merupakan wewenang Gubernur Kepala Daerah Tingkat
1. Yang dimaksud dengan calon terpilih ialah calon yang terpilih,dengan suara terbanyak dengan
memperhatikan persyaratan dan tatacara pemilihan yang diatur dengan Peraturan Daerah, sesuai
Pedoman yang dimaksud Pasal 5 ayat (2) Undang-undang ini. Pasal 7

Penetapan masa jabatan 8 (delapan) tahun adalah berdasarkan pertimbangan bahwa tenggang
waktu tersebut dipandang cukup lama bagi seorang Kepala Desa untuk dapat menyelenggarakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Dipandang dari segi kelestarian pekerjaan
waktu yang 8 (delapan) tahun itu cukup untuk memberikan jaminan terhindarnya perombakan-
perombakan kebijaksanaan sebagai akibat dari penggantian-penggantian Kepala-kepala Desa.
Ketentuan pembatasan untuk dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya adalah dengan *4901 maksud untuk menghindarkan kemungkinan menurunnya
kegairahan dalam menyelenggarakan pemerintahan di Desa. Pasal 8

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai
tatacara pengambilan sumpah/janji dan pelantikan Kepala Desa mengatur hal-hal sebagai berikut
:

a. . tatacara pelantikan;

b.urutan acara pelantikan;

c.pengukuhan sumpah;

d.dan lain sebagainya. Pasal 9

Yang dimaksud dengan sebab-sebab lain ialah perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan/peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau norma-norma yang hidup dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat Desa setempat, Pasal 10

Ayat (1) Dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat
Desa, Kepala Desa antara lain melakukan usaha pemantapan koordinasi melalui Lembaga Sosial
Desa,Rukun Tetangga, Rukun Warga, dan Lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang ada
di Desa. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya Kepala Desa di bidang ketentraman dan ketertiban
dapat mendamaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di Desa. Pertanggungjawaban Kepala
Desa kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II meliputi pelaksanaan urusan-
urusan pemerintahan dan urusan pembantuan maupun urusan-urusan rumah tangga Desa. Setelah
Kepala Desa memberikan pertanggungjawaban kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II, selanjutnya menyampaikan keterangan pertanggungjawaban kepada-Lembaga
Musyawarah Desa. Ayat (2) Keterangan pertanggungjawaban Kepala Desa kepada Lembaga
Musyawarah Desa, dapat dijadikan pegangan pejabat yang berwenang mengangkat dalam
mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan, antara lain dalam rangka pemberian penghargaan
dana tanda kesetiaan, maupun pelaksanan sebagaimana dimaksud Pasal dan lain sebagainya.
Pasal 11

Ayat (1) Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai kedudukan dan Kedudukan Keuangan
Kepala Desa, Kepala-kepala Urusan dan Kepala-kepala Dusun mengatur hal-hal sebagai berikut :

a.kedudukan;

b.penghasilan dan pembebanan anggaran;

c.dan lain sebagainya. Ayat (2) Cukup jelas *4902 Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13

Larangan bagi Kepala Desa melakukan kegiatan-kegiatan atau melalaikan tindakan yang menjadi
kewajibannya yang merugikan kepentinan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
masyarakat Desa adalah dimaksudkan untuk menghindarkan penyimpangan-penyimpangan yang
melanggar kepentingan umum,khususnya untuk kepentingan Desa itu sendiri. Pasal 14

Cukup jelas. Pasal 15

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Berdasarkan pertimbangan bahwa
Sekretaris Desa sebagai Kepala Sekretariat adalah lebih banyak mengetahui urusan-urusan
pemerintahan Desa dibandingkan dengan Perangkat Desa lainnya, maka dalam hal Kepala Desa
berhalangan menjalankan tugasnya, Sekretaris Desa ditetapkan untuk mewakilinya. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5) Pedoman Menteri Dalam Negeri tentang syarat-syarat pengangkatan dan
pemberhentian Sekretaris Desa dan Kepala-kepala Urusan mengatur hal-hal sebagai berikut :

a.syarat-syarat calon;
b.tatacara pengangkatan;

c.pemberhentian;

d.dan lain sebagainya. Pasal 16

Ayat (1) Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai pembentukan Dusun dalam Desa ditetapkan
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a.faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam,
faktor letak dan faktor sosial budaya termasuk adat istiadat;

b.faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah,keseimbangan antara organisasi dan


luas wilayah, dan pelayanan;

c.dan lain sebagainya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pedoman Menteri
Dalam Negeri tentang syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian Kepala-kepala Dusun
mengatur hal-hal sebagai berikut :

a.syarat-syarat calon;

b.tatacara pengangkatan dan pemberhentian;

c.dan lain sebagainya. Pasal 17

*4903 Ayat (1) Pembentukan Lembaga Musyawarah Desa dan keanggotaannya


dimusyawarahkan/dimufakatkan oleh Kepala Desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di Desa
yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan pemuka-pemuka masyarakat ialah pemuka-pemuka
masyarakat yang diambil antara lain dari kalangan Adat, Agama, kekuatan Sosial Politik dan
golongan Profesi yang bertempat tinggal di Desa dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, antara lain Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 dalam
rangka menyalurkan perwujudan Demokrasi Pancasila secara nyata dengan memperhatikan pula
perkembangan dan keadaan setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)
Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai Lembaga Musyawarah Desa mengatur hal-hal
sebagai berikut :

a.pembentukan;

b.kedudukan;
c.fungsi, tugas dan kewajiban;

d.hak dan kewenangan;

e.dan lain sebagainya. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18

Yang dimaksud dengan musyawarah/mufakat adalah musyawarah yang menghasilkan mufakat.


Pasal 19

Keputusan Desa ialah semua Keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dimusyawarahkan/dimufakatkan dengan Lembaga Musyawarah Desa serta telah
mendapat pengesahan dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Keputusan Kepala
Desa ialah semua keputusan yang merupakan pelaksanaan dari Keputusan Desa dan
kebijaksanaan Kepala Desa yang menyangkut pemerintahan dan pembangunan di Desa
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum maupun peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pasal 20

Ayat (1) Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai keputusan Desa mengatur hal-hal sebagai
berikut :

a.syarat-syarat dan tata cara pengambilan keputusan;

b.tata cara pengesahan;

c.dan lain sebagainya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21

Ayat (1) Yang dimaksud dengan kekayaan Desa adalah segala kekayaan dan sumber penghasilan
bagi Desa yang bersangkutan, misalnya tanah kas Desa, pemandian umum, obyek rekreasi dan
lain sebagainya. Swadaya masyarakat ialah kemampuan dari suatu *4904 kelompok masyarakat
dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan ikhtiar ke arah pemenuhan kebutuhan jangka
pendek maupun jangka panjang yang dirasakan dalam kelompok masyarakat itu. Usaha-usaha
lain yang sah dimaksud sebagai rumusan umum untuk memungkinkan Desa menciptakan usaha-
usaha baru dalam batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di
dalamnya dapat dimasukkan usaha-usaha Desa seperti pasar Desa, usaha pembakaran kapur,
genteng dan batu bata, peternakan, perikanan, dan lain-lain. Begitu juga pungutan-pungutan
Desa yang telah ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dimusyawarahkan/dimufakatkan dengan
Lembaga Musyawarah Desa dan telah mendapat pengesahan dari Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II. Sumbangan-sumbangan dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah,
dicantumkan agar dimungkinkan Desa menerima sumbangan-sumbangan tersebut untuk
dimasukkan dalam Anggaran (Bantuan Inpres, Bantuan Khusus Presiden dan lain-lain Instansi).
Dari retribusi Daerah diberikan atas obyek-obyek Pemerintah Daerah yang letaknya dalam Desa
yang bersangkutan (pemandian umum, obyek rekreasi, obyek pariwisata, dan lain-lain). Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3) Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai anggaran Penerimaan dan
Pengeluaran Keuangan Desa mengatur hal-hal sebagai berikut :

a.perincian pembagian Anggaran;

b.penetapan dan pengesahan Anggaran;

c.pelaksanaan tata usaha Keuangan;

d.perubahan Anggaran;

e.perhitungan ;

f.pengawasan;

g.dan lain sebagainya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22

Yang dimaksud dengan Kota-kota lain ialah Desa yang telah menunjukkan ciri-ciri kehidupan
perkotaan. Syarat-syarat pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan Kelurahan
dalam Undang-undang ini akan ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, sedang
pekerjaannya diatur dengan Peraturan Daerah yang baru berlaku sesudah ada pengesahan dari
pejabat yang berwenang. Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud ditetapkan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a.faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor sosial budaya termasuk
adat istiadat;

b.faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah,keseimbangan antara organisasi dan


luas wilayah dan pelayanan;

c.dan lain sebagainya. Pasal 23


Ayat (1) *4905 Kepala Kelurahan biasa disebut Lurah. Ayat (2) Jika dalam Kelurahan tidak
dibentuk Lingkungan karena pertimbangan lain maka Perangkat Kelurahan adalah Sekretariat
Kelurahan. Ayat (3) Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai susunan organisasi dan tata kerja
Kelurahan mengatur hal-hal sebagai berikut :

a.kedudukan, tugas dan fungsi Kepala Kelurahan;

b.susunan organisasi dan tata kerja;

c.dan sebagainya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Walikota adalah pejabat yang berwenang
mengangkat Kepala Kelurahan atas nama Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 25 Ayat(l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat
(3) Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai tatacara pengambilan sumpah/janji dan pelantikan
Kepala Kelurahan mengatur hal-hal sebagai berikut :

a.upacara pelantikan;

b.urutan acara pelantikan;

c.pengukuhan sumpah;

d.dan lain sebagainya. Pasal 26

Cukup jelas. Pasal 27

Dalam menjalankan tugas dan wewenang pimpinan pemerintahan Kelurahan, Kepala Kelurahan
perlu memperhatikan keadaan masyarakat. Pasal 28

Larangan bagi Kepala Kelurahan melakukan kegiatan-kegiatan atau melalaikan tindakan yang
menjadi kewajibannya yang merugikan kepentingan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
masyarakat adalah dimaksudkan untuk menghindarkan penyimpangan-penyimpangan yang
merugikan kepentingan umum,khususnya kepentingan Kelurahan itu sendiri, Pasal 29
Cukup jelas. Pasal 30

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Lihat penjelasan Pasal 24 ayat (2) Pasal 31

Ayat (1) Pedoman Menteri Dalam Negeri mengenai pembentukan Lingkungan dalam Kelurahan
mengatur hal-hal sebagai *4906 berikut:

a.faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor sosial budaya termasuk
adat istiadat;

b.faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah,keseimbangan antara organisasi dan


luas wilayah, dan pelayanan;

c.dan lain sebagainya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Lihat penjelasan Pasal 24 ayat (2). Pasal 32

Ayat (1) kerjasama yang diatur oleh pejabat tingkat atas yang bersangkutan adalah kerjasama
yang mengakibatkan beban bagi masyarakat Desa dan Kelurahan yang bersangkutan. Ayat (2)
Sudah sewajarnya bahwa pejabat tingkat atas yang bersangkutan bertindak dan mengambil
keputusan untuk mengatasi perselisihan yang timbul antar Desa, antar Kelurahan dan antar Desa
dengan Kelurahan yang berada di bawah pengawasannya. Perselisihan itu dapat terjadi antara :

a.Desa/Kelurahan dengan Desa/Kelurahan dalam satu wilayah Kecamatan;

b.Desa/Kelurahan dengan Desa/Kelurahan lainnya yang tidak termasuk di dalam satu wilayah
Kecamatan;

c.Desa/Kelurahan dengan Desa/Kelurahan lainnya yang tidak termasuk di dalam satu wilayah
Daerah Tingkat II;

d.Desa/Kelurahan dengan Desa/Kelurahan lainnya yang tidak termasuk di dalam satu wilayah
Daerah Tingkat I. Perselisihan yang dimaksud dalam huruf a diputuskan oleh Camat, huruf b
oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, huruf c oleh Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I,dan huruf d oleh Menteri Dalam Negeri. Perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini
sudah tentu hanya perselisihan mengenai pemerintahan, jadi yang bersifat hukum publik,sebab
perselisihan yang bersifat hukum perdata sudah jelas menjadi wewenang pengadilan. Pasal 33

Cukup jelas. Pasal 34

Ayat (1) Pada pokoknya Keputusan Desa yang untuk berlakunya memerlukan pengesahan dari
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II adalah yang :

a.menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur;

b.menetapkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa, misalnya


penjualan, pelepasan, dan penukaran kekayaan Desa;

c.menetapkan segala sesuatu yang memberatkan beban Keuangan Desa. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Pengawasan umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
terhadap segala kegiatan pemerintahan untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dengan
baik. Pengawasan umum terhadap pemerintahan Desa dan pemerintahan Kelurahan dilakukan
oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kepala Daerah tingkat I, Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Walikota dan Camat
sebagai Wakil Pemerintah di Daerah yang bersangkutan. Pasal 35

Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dilaksanakan secara bertahap mengingat
banyaknya perbedaan-perbedaan kualitatif yang terdapat pada Desa-desa di seluruh wilayah
Indonesia, seperti Desa di Jawa, dan Bali, Kampung di Kalimantan dan lain sebagainya,
sehingga tidaklah mungkin dalam waktu yang singkat diperoleh keseragaman. Pasal 36

Ayat (1) Ketentuan ini dimasudkan untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kekosongan
penyelenggaraan pemerintahan Desa dan Kelurahan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 37

Pasal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya kekosongan peraturan perundang-


undangan, khususnya mengenai pemerintahan Desa dan Kelurahan. Pasal 38
f. UU no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 22 TAHUN 1999

TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kcleluasaan kepada Daerah untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah;

b. bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih

menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,

pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman

Daerah;

c. bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar

negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan

Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan

bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan

pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta

perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip- prinsip

demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta

potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

d. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3037) tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan

perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;

e. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran

Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang

menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak

sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta

menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu

diganti;

f. bahwa berhubung dengan itu, perlu ditetapkan Undang-undang mengenai

Pemerintahan Daerah untuk mengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

tentang Pekok-pokok Pemerintahan Di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun

1979 tentang Pemerintahan Desa.

Mengingat :

1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar

1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/

1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan

dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/

1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme;

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/

1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan

Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3811);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKIIAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Memutuskan:

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal l

Dalam Undang-undang. ini yang dimaksud dengan:

a. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari.Presiden beserta para Menteri.

b. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang

lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.

C. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Selanjutnya disebut DPRD adalah Badan

Legislatif Daerah.

d. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh

Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi.

e. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada

Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kcsatuan Republik Indonesia.

f. Dekonsentrazi, adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur

sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.


g. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan

dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai

pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban

melaporkan pelaksanaanaya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang

menugaskan.

h. Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

i. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas daerah tertentu,berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

j. Wilayah Administrasi adalah wilayah kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah.

k. Instansi Vertikal adalah perangkat Departemen dan atau Lembaga Pemerintah

Non Departemen di Daerah.

1. Pejabat yang berwenang adalah pejabat Pemerintah di tingkat Pusat dan atau

pejabat Pemerintah di Daerah Propinsi yang berwenang membina dan mengawasi

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

m. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota.

n. Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan/

atau Daerah Kota di bawah Kecamatan.

o. Desa atau yang discbut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat


istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada

di Daerah Kabupaten.

p. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,

termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai

tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial,

dan (2)Pembentukau, nama, batas, dan ibukota kegiatan ekonomi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Undang.

q. Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan

pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,

pemusatan dan distribusi pelayanan jasaserta perubahan nama dan pemindahan ibukota

pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

BAB II

PEMBAGIAN DAERAH

Pasal 2

(1) Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi,

Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom,

(2) Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi.

Pasal 3

Wilayah Daerah Propinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),

terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua batas mil laut yang diukur

dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.

BAB III

PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN DAERAH

Pasal 4

(1) Dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah
Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat.

(2) Daerah-daerah sebagaimana pada ayat (1) masing-masing berdiri sendiri dan

tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama Lain.

Pasal 5

(1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi Daerah,

sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas Daerah, dan

pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

(2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ekonomi.

(3) Perubahan,batas yang tidak mengakibatkan ghapusan suatu Daerah, perubahan

nama Daerah, serta perubahan nama daerah, serta perubahan nama dan

pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

(4) Syarat-syarat pembentukan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 6

(1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan

atau digabung dengan Daerah lain.

(2) Daerah dapat dimckarkan menjadi lebih dari satu Daerah.

(3) Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran Daerah,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

(4) Penghapusan, penggabungan dan pemekaran Daerah, sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Undang-undang.


BAB IV

KEWENANGAN DAERAH

Pasal 7

(1) Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,

kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamananan,

peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi

kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan

nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi

negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber

daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang

strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

pasal 8

(1) Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka

desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan penngalihan pembiayaan,

sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan

yang diserahkan tersebut.

(2) Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka

dekosentrasi harus disertai dengan pcmbiayaan sesuai dengan kewenangan yang

dilimpahkan tersebut.

Pasal 9

(1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang

pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam

bidang pemerintahan tertentu lainnya.

(2) Kewenangan propinsi sebagai Daerah Otononi termasuk juga kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

(3) Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam

bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.

Pasal 10

(1) Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya

dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

(2) Kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,

meliputi:

a. eksplorasi, eksploitas4 konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas

wilayah laut tersebut;

b. pengaturan kepentingan administratif;

c. pengaturan tata ruang;

d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oieh Pemerintah; dan

f. bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

(3) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah

Propinsi.

(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan

pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang

diatur dalam Pasal 9.


(2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah

Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,

perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,

pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Pasal 12

Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

dan Pasal 9 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13

(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka

tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya

manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung

jawabkannya kepada Pemerintah.

(2) Setiap penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan

peraturan pcrundang-undangan.

BAB V

BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH

Bab Kesatu

Umum

Pasal 14

(1) Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah

Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.

(2) Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala, Daerah beserta perangkat Daerah

lainnya.

Bagian Kedua

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Pasal 15

Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat

kelengkapan DPRD diatur dengan Undang-undang.

Pasal 16

(1) DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di Daerah merupakan wahana untuk

melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.

(2) DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra

dari Pemerintah Daerah.

Pasal 17

(1) Keanggotaan DPRD dan jumlah anggota DPRD ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

(2) Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, komisi-komisi, dan panitia-

panitia.

(3) DPRD membentuk fraksi-fraksi yang bukan merupakan alat kelengkapan DPRD.

(4) Pelaksanaan ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),

diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pasal 18

(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:

a. memilih Guberaur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil

Walikota;

b. memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan Daerah;

C. mengusulkan pcngangkatan dan pemberhentian Gubcrnur/Wakil Gubernur,

Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota;

d. bersama dengan Gubcrnur, Bupati, atau Walikota membentuk Peraturan Daerah;

e. bersama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota menetapkan Anggaran


Pendapatan dan Belanja Daerah;

f. melaksanakan pengawasan terhadap:

1). Pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain;

2). Pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati,dan Walikota;

3). pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

4). kebijakan Pemerintah Daerah; dan

5). pelaksanaan kerja sama internasional di Daerah.

g. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah terhadap rencana

perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan Daerah; dan.

h. menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur

dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pasal 19

(1) DPRD mempunyai hak:

a. meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota;

b. meminta keterangan kepada Pemerintah

Daerah;

C. mengadakan penyelidikan;

d. mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah;

e. mengajukan pernyataan pendapat;

f. mengajukan Rancangan Peraturan Daerah;

g. mengajukan Anggaran Belanja DPRD; dan

h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD.

(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan

Tata Tertib DPRD.


Pasal 20

(1) DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat

pemerintah, atau warga maryarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu

hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan, dan

pembangunan.

(2) Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak

permintaan, sebagai dimaksud pada ayat (1), diancam dengan pidana kurungan

paling lama satu tahun karcna meren-

dahkan martabat dan kehormatan DPRD.

(3) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur

dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pasal 21

(1) Anggota DPRD mempunyai hak:

a. pengajuan pertanyaan;

b. protokoler; dan

e. keuangan/administrasi.

(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan

Tata Tertib DPRD.

Pasal 22

DPRD mempunyai kewajiban:

a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta mentaati segala

peraturan perundang-undangan;

C. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

d. meningkatkan kesejahteraan rakyat di Daerah berdasarkan demokrasi ekonomi;


dan

e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan

masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Pasal 23

(1) DPRD mengadakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya enam kali dalam

setahun.

(2) Kecuali yang dimaksud pada ayat (1), atas permintaan sekurang-kurangnya

seperlima dari jumlah anggota atau atas pcrmintaan Kepala Daerah, Ketua

DPRD dapat mengundang anggotanya untuk mengadakan rapat selambat-lambatnya

dalam waktu satu bulan setelah permintaan itu diterima.

(3) DPRD mengadakan rapat atas undangan Ketua DPRD.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Pasal 24

Peratura Tata Tertib DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD.

Pasal 25

Rapat-rapat DPRD bersifat tcrbuka untuk umum, kecuali yang dinyatakan

tertutup berdasarkan Peraturan Tata Tcrtib DPRD atau atas kesepakatan di antara

pimpinan DPRD.

Pasal 26

Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai:

a. pemilihan Ketua/Wakil Ketua DPRD;

b. pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;

C. pemilihan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Utusan Daerah;

d. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;


e. penetapan perubahan dan pcnghapusan pajak dan retribusi;

f. utang piutang, pinjaman, dan pembebanan kepada Daerah;

g. Badan Usaha Milik Daerah;

h. penghapusan tagihan sebagian atau seluruhnya;

i. persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai; dan

j. kebijakan tata ruang.

Pasal 27

Anggota DPRD tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan dan atau

pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD, baik terbuka maupun tertutup, yang

diajukannya secara lisan atau tertulis, kecuali jika yang bersangkutan

mengumumkan ada yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau

hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam

buku Kedua Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 28

(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dapat dilaksanakan atas

persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Propinsi dan

Gubernur bagi anggota DPRD Kabupaten dan Kota, kecuali jika yang

bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana.

(2) Dalam hal auggota DPRD tertangkap tangan melakukan tindak pidana,

sebagaimana dimaksud Gubernur berada di bawah dan bertanggungjawab

pada ayat (1), selambat-lambatnya dalam tempo 2 kali 24 jam diberitahukan

secara tertulis kepada Menteri Dalam Negeri dan/atau Gubernur.

Bagian Ketiga

Sekretariat DPRD

Pasal 29
(1) Sekretariat DPRD membantu DPRD dalam menyelenggarakan tugas dan

kewenangannya.

(2) Sekretariat DPRD dipimpin oleh seorang Sekretaris DPRD yang diangkat oleh

Kepala Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas

persetujuan pimpinan DPRD.

(3) Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung

jawab kepada pimpinan DPRD.

(4) Sekretaris DPRD dapat menyediakan tenaga ahli dengan tugas membantu anggota

DPRD dalam menjalankan fungsinya.

(5) Anggaran Belanja Sekretariat DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD dan

dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Bagian Keempat

Kepala Daerah

Pasal 30

Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif

yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah.

Pasal 31

(1) Kepala, Daerah Propinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga

sebagai wakil Pemerintah.

(2) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubcrnur

bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi.

(3) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRD sesuai dengan pedoman yang

ditetapkan oleh Pemerintah.

(4) Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah, gubernur berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada gubernur

(5) Tata cari pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat

(4), ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 32

(1) Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati

(2) Kepala Daerah Kota disebut Walikota.

(3) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota

bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.

(4) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat

(3), ditetapkan dalam Peraturan Tata Tcrtib DPRD sesuai dengan pedoman yang

ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 33

Yang dapat ditetapkan menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik

Indonesia dengan syarat-syarat:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah

yang sah;

c. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuau

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

yang dinyatakan dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri;

d. berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau

sederajat;

e. berumur sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;


h. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;

i. tidak sedang dicabut bak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri;

j. mengenai daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

k. menyerahkan daftar kckayaan pribadi; dan

1. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.

Pasal 34

(1) Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD

melalui pemilihan secara bersamaan.

(2) Calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh DPRD

melalui tahap pencalonan dan pemilihan.

(3) Untuk pcncalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,

dibentuk Panitia Pemilihan.

(4) Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil

Ketua panitia Pemilihan merangkap sebagai anggota.

(5) Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Pemilihan,

tetapi bukan anggota.

Pasal 35

(1) Panitia pemilihan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), bertugas:

a. melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakat calon berdasarkan

persyaratan yang telah ditetapkan dalam ;

b. melakukan kegiatan teknis peiiailihan calon ; dan

c. menjadi penanggungjawab penyelenggaraan pemilihan.

(2) Bakal calon Kepala Daerah dan-bakal calon Wakil Kepala Daerah yang memenuhi

persyaratan sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Panitia

Pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan kepada DPRD untuk
Ditetapkan sebagai calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah.

Pasal 36

(1) Setiap fraksi melakukan kegiatan penyaringan pasangan bakal calon sesuai

dengan syarat yang ditetapkan dalam Pasal 33.

(2) Setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon Kepala Daerah dan bakal calon

Wakil Kepala Daerah dan menyampaikannya dalam rapat paripurna kepada

pimpinan DPRD.

(3) Dua fraksi atau lebih dapat secara bersama-sama mengajukan pasangan bakal

calon Kepala Daerah dan bakal calon Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).

Pasal 37

(1) Dalam Rapat Paripurna DPRD, setiap fraksi atau beberapa fraksi memberikan

penjelasan mengenai bakal calonnya.

(2) Pimpinan DPRD mengundang bakal calon dimaksud untuk menjelaskan visi, misi,

serta rencana-rencana kcbijakan apabila bakal calon dimaksud terpilih sebagai

Kepala Daerah.

(3) Anggota DPRD dapat melakukan tanya jawab dengan para bakal calon.

(4) Pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi-fraksi melakukan penilaian atas kemampuan

dan kepribadian para bakal calon dan melalui musyawarah atau pemungutan suara

menetapkan sekurang-kurangnya dua pasang calon Kepala Daerah dan calon Wakil

Kepala Daerah yang akan dipilih satu pasang di antaranya oleh DPRD.

Pasal 38

(1) Nama-nama, calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan

oleh pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan Presiden.

(2) Nama-nama calon-Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon
Wakil Walikota yang akan dipilih oieh DPRD ditetapkan dengan keputusan

pimpinan DPRD.

Pasal 39

(1) Pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan

dalam Rapat Paripur na DPRD yang dihadiri oleh sckurang-kurangnya

dua pertiga dari jumlah anggota DPRD.

(2) Apabila jumlah anggota DPRD belum mencapai kuorum, sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), pimpinan rapat dapat menunda rapat paling lama satu jam.

(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), belum dicapai, rapat

paripurna diundur paling lama satu jam Lagi dan selanjutnya pemilihan calon

Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah

tetap dilaksanakan.

Pasal 40

(1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung,

bebas, rahasia, jujur dan adil.

(2) Setiap anggota DPRD dapat memberikan suaranya kepada satu pasang calon

Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dari pasangan calon yang

telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37

ayat (4).

(3) Pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh

suara terbanyak pada pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan

disahkan oleh Presiden.

Pasal 41

Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk sekali masa jabatan.

Pasal 42

(1) Kepala Daerah dilantik oieh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk

bertindak atas nama Presiden.

(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah mengueapkan sumpah/janji.

(3) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut:

"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya selaku Gubernur/

Bupati/walikota dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya; dan seadil-adilnya;

bahwa saya akan selalu taat dalam mengenalkan dan mempertahankan Pancasila

sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta segala peraturan

perundang-undwigan yang berlaku bagi Daerah dan Negara Kesatuan Republik

Indonesia

(4) Tata cara pengucapan sumpah/janji dan pelantikan bagi Kepala Daerah

ditetapkan oleh Pemerintah.

Bagian Kelima

Kewajiban Kepala Daerah

Pasal 43

Kepala Daerah mempunyai -kewajiban:

a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;

b. memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

c. menghormati kedaulatan rakyat;

d. menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;

e. meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat;


f. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;. dan

g. mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai Peraturan

Daerah bersama dengan DPRD.

Pasal 44

(1) Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan

kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.

(2) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggungjawab

kepada DPRD.

(3) Kepala Daerahlah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan

tembusan kepada Gubernur bagi Kepala Daerah Kabupaten dan Kepala Daerah

Kota, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, atau jika dipandang perlu

oleh Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden.

Pasal 45

(1) Kepala Daerah wajib menyampaikan pertanggung jawaban kepada DPRD pada setiap

akhir tahun anggaran.

(2) Kepala Daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk hal

tertentu atas permintaan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2).

Pasal 46

(1) Kepala Daerah yang ditolak pertanggungiawabannya, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 45, baik pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun

pertanggungjawaban keuangan, harus melengkapi dan/atau menyempurnakannya

dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari.

(2) Kepala Daerah yang sudah melengkapi dan/atau menyempurnakan

pertanggungjawabannya menyampaikannya, kembali kepada DPRD, sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).

(3) Bagi Kepala Daerah yang pcrtanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya,

DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden.

(4) Tata cara, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 47

Kepala Daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat

menunjuk kuasa untuk mewakilinya.

Bagian Keenam

larangan bagi Kepala Daerah

Pasal 48

Kepala Daerah dilarang:

a. turut serta dalam swata-perusahaan, baik milik swasta maupun milik Negara

Daerah, atau dalam yayasan bidang apapun juga;

b. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya,

anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok yang secara

nyata merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga dan golongan

masyarakat lain;

C. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik

secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan Daerah

yang bersangkutan;

d. menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang patut dapat hidup

mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; dan

e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan, selain

yang dimaksud dalam Pasal 47.

Bagian Ketujuh
Pemberhentian Kepala Daerah

Pasal 49

Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena:

a. meninggal dunia;

b. mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;

c. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;

d. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;

e. melanggar sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3);

f. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48; dan

g. mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan

tanggung jawabnya, dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD.

Pasal 50

(1) Pemberhentian kepala daerah karena alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 49 ditetapkan dengan keputusan DPRD dan disahkan oleh presiden

(2) Keputusan DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dihadiri oleh

sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota, DPRD dan putusan

diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah

anggota yang hadir.

Pasal 51

Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD

apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, yang diancam, dengan hukuman

lima tahun atau.lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 52

(1) Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat
memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberhentikan untuk

sementara dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD.

(2) Kepala Daerah yang terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah

belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan keputusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diberhentikan

dari jabatannya oleh Presiden, tanpa persetujuan DPRD.

(3) Kepala Daerah yang setelah melalui proses peradilan ternyata tidak terbukti

melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan

Republik, Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diaktifkan kembali

Dan direhabilitasi selaku Kepala Daerah sampai akhir masa jabatannya.

Pasal 53

(1) DPRD memberitahukan akan berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah secara

tertulis kepada yang bersangkutan, enam bulan sebelumnya.

(2) Dengan adanya pemberitahuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala

Daerah mempersiapkan pertanggungjawaban akhir masa jabatannya kepada DPRD

dan menyampaikan pertanggungjawaban tersebut selambat-lambatnya empat bulan

setelah pemberitahuan.

(3) Selambat-lambatnya satu bulan sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir,

DPRD mulai memproses pemilihan Kepala Daerah yang baru.

Pasal 54

Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya oleh DPRD, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 53, tidak dapat dicalonkan kembali sebagai Kepala Daerah

dalam masa jabatan berikutnya.

Bagian Kedelapan

Tindakan Penyidikan terhadap Kepala Daerah


Pasal 55

(1) Tindakan pcnyidikan terhadap Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya

persetujuan tertulis dari Presiden.

(2) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan

pidana penjara lima tahun atau lebih; dan

b. dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan

hukuman mati.

(3) Setelah tindakan penyidikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

hal itu harus dilaporkan kepada Presiden selambat-lambatnya dalam 2 kali

24 jam.

Bagian Kesembilan

Wakil Kepala Daerah

Pasal 56

(1) Di setiap Daerah terdapat seorang Wakil Kepala Daerah.

(2) Wakil Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk,

bersamaan dengan pelantikan Kepala Daerah.

(3) Sebelum memangku jabatannya, Wakil Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji.

(4) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut:

"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan menentukan

kewajiban saya selaku Wakil Gubernur/Wakil Bupati/wakil Walikota dengan

sebaik-baiknja sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya, bahwa saya akan selalu

taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan

bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi negara serta segala peraturan perundang-undangan yang

berlaku bagi Daerah dan Negara kesatuan Republik Indonesia".

(5) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 41, Pasal 43,

kecuali huruf g, Pasal 47 sampai dengan Pasal 54, berlaku juga bagi Wakil

Kepala Daerah.

(6) Wakil Kepala Daerah Propinsi disebut Wakil Gubernur, Wakil Kepala Daerah

Kabupaten disebut Wakil Bupati dan Wakil Kepala Daerah Kota disebut

Wakil Walikota.

Pasal 57

(1) Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas:

a. membantu.Kcl)ala Daerah dalam melaksanakan kcwajibannya;

b. mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Daerah; dan

c. melaksanakan'tugas-tups lain yang diberikan oieh Kepala Daerah.

(2) Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.

(3) Wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah

apabila Kepala Daerah berhalangan.

Pasal 58

(1) Apabila Kepala Daerah berhalangan tetap, jabatan Kepala Daerah diganti

oleh Wakil Kepala Daerah sampai habis masa jabatannya.

(2) Apabila Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, jabatan Wakil Kepala Daerah

tidak diisi.

(3) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, sekretaris

Daerah melaksanakan tugas Kepala Daerah untuk sementara waktu.

(4) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, DPRD

menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selambat-


lambatnya dalam waktu tiga bulan.

Bagian Kesebelas

Perangkat Daerah

Pasal 60

Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan

lembaga teknis Daerah lainnya, sesuai dengan kebutuhan Daerah.

Pasal 61

(1) Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah.

(2) Sekretaris Daerah Propinsi diangkat oleh Gubernur alas persetujuan pimpinan

DPRD dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.

(3) Sekretaris Daerah Propinsi karena jabatannya adalah Sekretaris Wilayah

Administrasi.

(4) Sekretaris Daerah Kabupaten atau Sekretaris Daerah Kota diangkat oleh Bupati

atau Walikota atas persetujuan pimpinan DPRD dari Pegawai Negeri Sipil

yang memenuhi syarat.

(5) Sekretaris Daerah berkewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun

kebijakan serta membina hubungan kerja dengan dinas, lembaga teknis, dan

unit pelaksana lainnya.

(6) Sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.

(7) Apabila Sekretaris Daerah berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas

Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala (3)

Daerah.

Pasal 62

(1) Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah.

(2) Dinas dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang diangkat oleh Kepala Daerah
dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat alas usul Sekretaris Daerah.

(3) Kepala Dinas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

Pasal 63

Penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Gubernur

selaku wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi.

Pasal 64

(1) Penyelenggaraan bidang pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dilakukan oleh instansi vertikal.

(2) Pembentukan, susunan organisasi, formasi dan tata laksananya, sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 65

Di Daerah dapat dibentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan Daerah.

Pasal 66

(1) Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin

oleh Kepala Kecamatan.

(2) Kepala Kecamatan disebut Camat.

(3) Camat diangkat oleh Bupati/Walikota alas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/

kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.

(4) Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/

Walikota.

(5) Camat bertanggungjawab kepada Bupati atau Walikota.

(6) Pembentulan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 67

(1) Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan.
(2) Kepala Kelurahan disebut Lurah.

(3) Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/

Bupati atas usul Camat.

(4) Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.

(5) Lurah bertanggung jawab kepada Camat.

(6) Pembentukan Kelurahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 68

(1) Susunan organisasi perangkat Daerah ditetapkan (1) Peraturan Daerah dan

Keputusan Kepala Daerah dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman

yang ditetapkan Pemerintah.

(2) Formasi dan persyaratan jabatan perangkat Daerah (2) ditetapkan dengan

Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah.

BAB VI

PERATURAN DAERAH DAN KEPUTUSAN

KEPALA DAERAH

Pasal 69

Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka

penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal 70

Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan

Daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal 71

(1) Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan

penegakan hukum seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.


(2) Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam

bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)

dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk Daerah, kecuali jika

ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

(1) Untuk melaksanakan Peraturan Dacrah dan alas kuasa peraturan perundang-

undangan lain yang berlaku, Kepala Daerah menetapkan keputusan Kepala

Daerah.

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan umum, peraturan daerah, dan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.

Pasal 73

(1) Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bersifat mengatur

diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mempunyai kekuatan hukum dan

mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.

Pasal 74

(1) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan

Daerah dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

(2) Dengan Peraturan Daerah dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas

untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan

Daerah.

BAB VII

KEPEGAWAIAN DAERAH
Pasal 75

Norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,

penetapan pensiun gaji , tunjungan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, serta

kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil di Daerah dan Pegawai Negeri Sipil Daerah,

ditetapkan dengan pcraturan perundang-undangan.

Pasal 76

Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,

pemberhentian, penetapan pensiun gaji, tunjangan dan kesejahteraan pegawai,

serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah yang

ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 77

Pemerintah Wilayah Propinsi melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi

kepegawaian dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundangundangan.

BAB VIII

KEUANGAN DAERAH

Pasal 78

(1) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas

beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari dan atas bebas

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 79

Sumber pendapatan Daerah terdiri atas:

a. pendapatan asli Dacrah, yaitu:

1) hasil pajak Daerah;

2) hasil retribusi Daerah;


3) hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah

yang dipisahkan; dan

4) lain-lain pcndapatan asli Daerah yang sah;

b. dana perimbangan;

c. pinjaman Daerah; dan

d. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

Pasal 80

(1) Dana perimbangan, sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 79, terdiri atas:

a. bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;

b. dana alokasi umum; dan

c. dana alokasi khusus.

(2) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan,

perkotaan, dan perkebunan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diterima langsung oleh Daerah

penghasil.

(3) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan

serta kehutanan dan penerimaan dari sumber daya alam, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a, diterima oleh, Daerah penghasil dan Daerah lainnya

untuk pemerataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) ditetapkan dengan Undang-undang.

Pasal 81

(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri dan/

atau dari sumber luar negeri untuk membiayai kegiatan pemerintahan dengan
persetujuan DPRD.

(2) Pinjaman dari dalam negeri diberitahukan kepada Pemerintah dan dilaksanakan

sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(3) Peminjaman dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mendapatkan persetetujuan

Pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Tata cara peminjaman, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 82

(1) Pajak dan retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-undang.

(2) Penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi Daerah

ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 83

(1) Untuk mendorong pemberdayaan Daerah, Pemerintah memberi intensif fiskal dan

nonfiskal tertentu.

(2) Ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 84

Daerah dapat memiliki Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dan pembentukannya diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 85

(1) Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak

dapat digadaikan, dibebani hak tanggungan dan/atau dipindahtangankan.

(2) Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan keputusan tentang:
a. penghapusan tagihan Daerah sebagian atau seluruhnya;

b. persetujuan penyelesaian sengketa perdata secara damai; dan

c. tindakan hukum lain mengenai barang milik Daerah.

Pasal 86

(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah

selambat-lambatnya satu bulan setelah ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara.

(2) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan

Peraturan Daerah selambat-lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran

berakhir.

(3) Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan

Peraturan Daerah selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya tahun

anggaran yang bersangkutan.

(4) Pedoman tentang penyusunan, perubahan, dan perhitungan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan dengan

Peraturan Dacrah disampaikan kepada Gubernur bagi Pemerintah Kabupaten/Kota

dan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi Pemerintah Propinsi

untuk diketahui.

(6) Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan kcuangan

Daerah serta tata cara penyusunan Anggaran Pcndapatan dan Belanja Dacrah,

pelaksanaan tata usaha keuangan Dacrah dan penyusunan perhitungan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Dacrah ditetapkan sesuai dcngan peraturan perundang-

undangan.

BAB IX
KERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 87

(1) Beberapa Daerah dapat mengadakan kerjasama antar Daerah yang diatur dengan

keputusan bersama.

(2) Daerah dapat membentuk Badan Kerja Sama Antar Daerah.

(3) Daerah dapat mengadakan kerja sama dengan badan lain yang diatur dengan

keputusan bersama.

(4) Keputusan bersama dan/atau kerjasama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2), dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan Daerah harus

mendapatkan persctujuan DPRD masing-masing.

Pasal 88

Daerah dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/

badan luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut

kewenangan Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Tata cara, sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 89

(1) Perselisihan antar Daerah diselesaikan oleh Pemerintah secara musyawarah.

(2) Apabila dalam penyelesaian perselisihan antar Daerah, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), terdapat salah satu pihak yang tidak menerima keputusan

Pemerintah, pihak tersebut dapat mengajukan penyelesaian kepada Mahkamah

Agung.

BAB X

KAWASAN PERKOTAAN

Pasal 90

Selain Kawasan Perkotaan yang berstatus Daerah Kota, perlu ditetapkan


Kawasan Perkotaan yang terdiri atas:

a. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian Daerah Kabupaten;

b. Kawasan Perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah

Kawasan Perdesaan menjadi Kawasan Perkotaan; dan

C. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih Daerah yang

berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.

Pasal 91

(1) Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah Kabupaten yang wilayahnya berbatasan

langsung dapat membentuk lembaga bersama untuk mengelola Kawasan perkotaan.

(2) Di Kawasan Perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi Kawasan

Perkotaan di Daerah Kabupaten, dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan

yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan hal-hal lain

mengenai pengelolaan Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah

sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 92

(1) Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan Perkotaan, Pemerintah Daerah

perlu mengikut sertakan masyarakat dan pihak swasta.

(2) Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan

upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan.

(3) Pengaturan mengenai Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan peraturan

perundang-undangan.

BAB XI

DESA

Bagian Pertama
Pembentukan, Penghapusan dan/atau

Penggabungan Desa

Pasal 93

(1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan

asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah

Kabupaten dan DPRD.

(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 94

Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan

Pemerintahan Desa.

Bagian Kedua

Pemerintah Desa

Pasal 95

(1) Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain

dan perangkat Desa.

(2) Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa dari calon yang memenuhi

syarat.

(3) Calon Kepala Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak,

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa

dan disahkan oleh Bupati.

Pasal 96

Masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa

jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan.

Pasal 97
Yang dapat dipilih menjadi Kepala Desa adalah penduduk Desa warga negara

Republik Indonesia dengan syarat-syarat:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

C. tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang

mengkhianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, G30S/PKI dan/atau

kegiatan organisasi terlarang lainnya;

d. berpendidikan sckurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau

berpengetahuan yang sederajat;

e. berumur sekurang-kurangnya 25 tahun;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;

h. berkelakuan baik, jujur, dan adil;

i. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;

j. tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap;

k. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di Desa setempat;

1. bersedia dicalonkan menjadi Kepala desa; dan

m. memenuhi syarat-syarat lain yang sesuai dengan adat istiadat yang diatur

dalam Peraturan Daerah.

Pasal 98

(1) Kepala Desa dilantik oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk.

(2) Sebelum memangkujabatannya,Kepala Desa mengucapkan sumpah/janji.

(3) Susunan kata-kata sumpal/janji dimaksud adalah sebagai berikut:

"Demi Allah (Tithan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi


kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya,

dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan

mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan

menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

konstitusi negara setia segala peraturan perundang~undangan yang berlaku

bagi Desa, Daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 99

Kewenangan Desa mencakup:

a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;

b. kewenangan yang oleh peraturan pcrundang-undangan yang berlaku belum

dilaksanakan o1eh Daerah dan Pemerintah; dan

c. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah

Kabupaten.

Pasal 100

Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah

Kabupaten kepada Desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta

sumber daya manusia.

Pasal 101

Tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah:

a. memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa;

b. membina kehidupan masyarakat Desa;

C. membina perekonomian Desa;

d. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;

e. mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa; dan mewakili Desanya di dalam

dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.


Pasal 102

Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam Pasal

101, Kepala Desa:

a. bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa; dan

b. menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.

Pasal 103

(1) Kepala Desa berhenti karena:

a. meninggal dunia;

b. mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;

c. tidak lagi memenuhi syarat dan/atau melanggar sumpah/janji;

d. berakhir masa jabatan dan telah dilantik Kepala Desa yang baru; dan

e. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku izin/atau norma yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat Desa.

(2) Pemberhentian Kepala Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan

oleh Bupati atas usul Badan Perwakilan Desa.

Bagian Ketiga

Badan Perwakilan Desa

Pasal 104

Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi

adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi

masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Pasal 105

(1) Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang

memenuhi persyaratan.
(2) Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota.

(3) Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa.

(4) Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.

Bagian Keempat

Lembaga Lain

Pasal 106

Di Desa dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa dan

ditetapkan dengan Peraturan Desa.

Bagian Kelima

Keuangan Desa

Pasal 107

(1) Sumber pendapatan Desa terdiri atas:

a. pendapatan asli desa yang meliputi:

1. hasil usaha desa;

2. hasil kekayaan desa;

3. hasil swadaya dan partisipasi;

4. hasil gotong royong; dan

5. lain-lain pendapatan asli desa yang sah.

b. bantuan pemerintah kabupaten yang meliputi:

1). bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah; dan

2). bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima

oleh pemerintah kabupaten;

c. bantuan dari pemerintah dan pemerintah propinsi;

d. sumbangan dari pihak ketiga; dan

e. pinjaman desa.
(2) Sumber pendapatan desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola melalui

anggaran pendapatan dan belanja desa.

(3) Kepala desa bersama Badan Perwakilan Desa menetapkan anggaran pendapatan dan

belanja desa setiap tahun dengan peraturan desa.

(4) Pedoman penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa ditetapkan oleh bupati.

(5) Tatacara dan pungutan objek pendapatan dan belanja desa dan badan perwakilan

desa.

Pasal 108

Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam

Kerja Sama Antar Desa

Pasal 109

(1) Beberapa Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan Desa yang diatur

dengan keputusan bersama dan diberitahukan kepada Camat.

(2) Untuk pciaksanaan kerja sama, scbagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat

dibentuk Badan Kerja Sama.

Pasal 110

Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yang merencanakan pembangunan

bagian wilayah Desa menjadi wilayah permukiman, industri, dan jasa wajib

mengikutsertakan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan pengawasannya.

Pasal 111

(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai Desa ditetapkan dalam Peraturan Daerah

Kabupaten, sesuai dengan pedoman umum yang ditetapkan oleh Pemerintah

berdasarkan undang-undang ini.


2) Peraturan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), wajib mengakui dan

menghormati hak, asal-usul dan adat istiadat Dcsa.

BAB XII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 112

(1) Dalam rangka pembinaan, Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi

Daerah.

2) Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Otonomi

Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 113

Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah

disampaikan kepada Pemerintah selabat-lambatnya lima belas hari setelah

ditetapkan.

Pasal 114

(1) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala

Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan

lainnya.

(2) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan kepada Daerah yang

bersangkutan dengan mcnyebutkan alasan-alasannya.

(3) Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan Peraturan

Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat(2),

Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tersebut dibatalkan

pelaksanaannya.
(4) Daerah yang tidak dapat mcnerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan

Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat

mengajukan kcbcratan kcpada Mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada

Pemerintah.

BAB XIII

DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH

Pasal 115

(1) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah bertugas memberikan pertimbangan kepada

Presiden mengenai:

a. pembentukan, penghapusan, penggabungan,dan pemekaran Dcsa;

b. perimbangan keuangan Pusat dan Daerah; dan

c. kemampuan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota untuk melaksanakan kewenangan

tertentu, sebagaiinana dimaksud dalam Pasal 11.

(2) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah terdiri atas Menteri Dalam Negeri, Menteri

Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, menteri lain sesuai dengan kebutuhan,

perwakilan Asosiasi Pemerintah Daerah,dan wakil-wakil Dacrah yang dipilih

oleh DPRD.

(3) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan karena jabatannya adalah Ketua

dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

(4) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengadakan rapat sekurang-kurangnya satu

kali dalam enam bulan.

(5) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah bertanggungjawab kepada Presiden.

(6) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 116

Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dibantu oleh


Kepala Sekretariat yang membawahkan Bidang Otonomi Daerah dan Bidang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

BAB XIV

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 117

Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta karena kedudukannya diatur

tersendiri dengan Undang-undang.

Pasal 118

(1) Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dapat diberikan otonomi khusus dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali ditetapkan lain oleh

peraturan perundang-undangan.

(2) Pengaturan mengenai penyelenggaraan otonomi khusus, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1),ditetapkan dengan Undang-undang.

Pasal 119

(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 11, berlaku juga di kawasan otoritas yang terletak di Daerah

Otonom, yang mcliputi badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan bandar

udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan,kawasan

pertambangan, kawasan kehutanan,kawasan, pariwisata, kawasan jalan bebas

hambatan,dan kawasan lain yang sejenis.

(2) Pengaturan lebih lanjut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan

dengan Peraturan Pemcrintah.

Pasal 120

(1) Dalam rangka menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum serta

untuk menegakkan Peraturan Daerah dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja


sebagai perangkat Pemerintah Daerah.

(2) Susunan organisasi, formasi, kedudukan, wewenang, hak, tugas, dan

kewajiban Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sesuai

dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 121

Sebutan Propinsi Daerah Tingkat I, Kabupaten Daerah Tingkat II, dan

Kotamadya Daerah Tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor

5 Tahun 1974, berubah masing-masing menjadi Propinsi, Kabupaten, dan Kota.

Pasal 122

Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun

1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada

undang-undang ini.

Pasal 123

Kewenangan Daerah, baik kewenangan pangkal alas dasar pembentukan

Daerah maupun kewenangan tambahan alas dasar Peraturan Pemerintah dan/atau

dasar peraturan perundang-undangan lainnya,penyelenggaraannya disesuaikan

dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 undang-undang ini.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 124

Pada saat berlakunya undang-undang ini, nama, batas dan ibukota Propinsi

Daerah Tingkat I, Daerah Istimewa, Kabupaten Daerah Tingkat II, dan Kotamadya

Daerah Tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan


adalah tetap.

Pasal 125

(1) Kotamadya Batam, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Simuelue, dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi

Daerah Otonom dengan memperhatikan Pasal 5 undang-undang ini.

(2) Selambat-lambatnya dua tahun setelah tanggal ditetapkannya undang-undang

ini, Kotamadya,Kabupaten, dan Kota Administratif, scbagaimana dimaksud

pada ayat (1), sudah harus berubah statusnya menjadi Kabupaten/Kota jika

memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 5 UU ini.

(3) Kotamadya, Kabupatenan dan Kota Administratif,sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), dapat dihapus jika tidak memenuhi ketentuan untuk ditingkatkan

statusnya mcnjadi Dacrah Otonom.

Pasal 126

(1) Kecamatan, Kelurahan, dan Desa yang ada pada saat mulai berlakunya

undang-undang ini tetap sebagai Kecamatan, Kelurahan, dan Desa atau yang

disebut dengan nama lain, sebagainiana yang dimaksud dalam Pasal 1 huruf

m, huruf n, dan huruf o undang-undang ini, kecuali ditentukan lain oleh

peraturan pcrundang-undangan.

(2) Desa-desa yang ada dalam wilayah Kotamadya ,Kotamadya Administratif, dan

Kota Administratif berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pada saat

mulai bcrlakunya undang-undang ini ditetapkan sebagai Kelurahan,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf n undang-undang ini.

Pasal 127

Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini, seluruh

instruksi, petunjuk atau pedoman yang ada atau yang diadakan olch Pemerintah
dan Pemerintah Daerah j1ka tidak bertentangan dengan undang-undang ini

dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 128

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,Wakil Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,

Bupati Kepala Daerah Tingkat II, Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II,

Wakil Bupati Kepala Daerah Tingkat II, Wakil Walikotamadya Kepala Daerah

Tingkat II, Bupati,Walikotamadya, Walikota, Camat, Lurah, dan Kepala Desa

beserta perangkatnya yang ada, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, pada saat mulai

berlakunya undang-undang ini tetap menjalankan tugasnya, kecuali ditentukan

lain berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 129

(1) Dengan diberlakukannya undang-undang ini, Lembaga Pembantu Gubernur,

Pembantu Bupati, pembantu Walikotamadya, dan Badan Pertimbangan

Daerah, sebagaimana dimaksud dalain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974,

dihapus.

(2) Instansi verlikal di Daerah selain yang menangani bidang-bidang luar

negeri, pertahanan keamanan,peradilan, moneter, dan fiskal, serta agama,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, menjadi perangkat Daerah.

(3) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat Daerah, sebagaimana

dimaksud pada ayat (2),kekayaannya dialihkan menjadi milik Daerah.

Pasal 130

(1) Apabila masa jabatan Wakil Kepala Daerah berakhir lebih awal daripada

masa jabatan Kepala Daerah, jabatan wakil Kepala Daerah tidak diisi.

(2) Apabila masa jabatan Wakil Kepala Daerah berakhir lebih lambat dari
pada masa jabatan Kepala Daerah, masa jabatan Wakil Kepala Daerah

disesuaikan dengan masa jabatan Kepala Daerah.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 131

Pada saat bcrlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku

lagi:

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3037);

b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tcntang Pemeritahan Desa

(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lcmbaran Negara Nomor

3153).

Pasal 132

(1) Undang-undang ini sudah selesai sclambat-lambatnya satu tahun sejak

undang-undang ini ditetapkan.

(2) Pelaksanaan undang-undang ini dilakukan secara efektif selambat-

lambatnya dalam waktu dua tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini.

Pasal 133

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak

sesuai dengan undang-undang ini, diadakan penyesuaian.

Pasal 134

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundang.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran negara Republik


Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 7 Mei 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 7 Mei 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANJUNG

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 22 TAHUN 1999

TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH

I. UMUM

1. Dasar Pemikiran

a. Negara Republik Indonesia scbagai Negara Kcsatuan menganut asas

desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan

kesempatan dan perluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan

Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945,

antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah


besar dan kecil, dengan bentuk dan susuna pemerintahannya ditetapkan

dengan Undang-undang.

Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain dikemukakan bahwa "oleh

karena Negara Indoncsia itu suatu eenheidsstaat,maka Indonesia tidak

akan mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.

Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah

Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah

yang bersifat otonom (streek en locale rechtgemeenscahppen) atau

bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan

ditetapkan dengan Undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom

akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah pun,

pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

b. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang

kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang

luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah,sebagaimana tertuang

dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan

Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya

Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Kcuangan Pusat dan

Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

C. Undang-undang ini discbut "Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah"

karena undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas

desentralisasi.

d. Sesuai dengan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut di atas,

Penyelenggaraan Otonomi Dacrah dilaksanakan dengan memberikan


kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab Kepada Daerah

secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian,

dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta

perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu,

penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-

prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan,

serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.

e. Hal-hal yang menclasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk

memberdayakan masyarakat, mcnumbuhkan prakarsa dan kreativitas,

meningkatkan peran-serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, undang-undang

ini menempatkan Otonami Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten

dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya

Daerah Tingkat II. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut

berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan

keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut

prakarsa dan aspirasi masyarakat.

f. Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974,

dalam undang-undang ini dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan

sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang

melaksanakan kewenangan pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada

Gubernur, Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah alasan dari

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom

Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai


hubungan hierarki.

g. Pemberian kedudukan Propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus

sebagai Wilayah Administrasi dilakukan dengan pertimbangan:

(1) untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah

dalam kerangka Negara Kesatuan Rcpublik Indoncsia;

(2) untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta melaksanakan kewenangan

Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota; dan

(3) untuk mclaksanakan tugas-tugas Pemerintahan tertentu yang

dilimpahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsciitrasi.

h. Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah

pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan

bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan

kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian

kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota

didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi

yang luas, nyata, dan bertanggung jawab Kewenangan otonomi luas

adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan

yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan yang mencakup

kewenangan semua bidang, pertahanan keamanan,Peradilan, moneter dan

fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu keleluasaan otonomi

mencakup pola kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,pengendalian,dan


evaluasi.

Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk

menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang

secara nyata ada diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di

Daerah.

Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa

penyuluhan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan

kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus

dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa

peningkatan pelayanan dan kesejahtentan masyarakat yang semakin

baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan , pemerataan,

serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah

serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikat secara terbatas yang meliputi

kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau

belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,serta

kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya.

i. Atas dasar pemikiran di atas, prinsip-prinsip pemberian Otonomi

Daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang ini adalah sebagai

berikut:

(1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan

aspek demokrasi, keadilan,pemerataan, serta potensi dan

keanekaragaman Daerah.

(2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata,


dan bertanggungjawab.

(3) Pelaksanaan otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada

Daerah kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi

merupakan otonomi yang terbatas.

(4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara,

sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan

Daerah scrta antar-Daerah.

(5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian

Daerah Otonomi, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah

Kota tidak ada lagi Wilayah Adminitrasi.

Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah

atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan

perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan,

kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan

semacamnya berlaku Ketentuan peraturan Daerah Otonom.

(6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi

badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi

pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah.

(7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam

kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan

kewenangan pemerintahan tertetu yang dilimpahkan kepada Gubernur

sebagai wakil pernerintah.

(8) Pelaksanaan asas tugas pcmbantuan dimungkinkan, tidak hanya.dari

Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah


Kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,

serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

2. Pembagian Daerah

Isi dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945

Beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan undang-undang ini

dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

a. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembinaan

kewenangan berdasarkan asas dekosentrasi dan desentralisasi dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Daerah yang dibcntuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi

adalah Daerah Propinsi, sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas

desentralisasi adalah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang

dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan

melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat.

c. Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah

Otonom. Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.

d. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah

Administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut undang-undang ini

kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota.

Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah:

a. digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;


b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang

dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan

c. asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi,

Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa.

4. Susunan Pemerintahan Daerah dan Hak DPRD

Susunan Pemerintahan Daerah Otonom meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah.

DPRD dipisahkan dari Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih

memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah

kepada rakyat. Oleh karena itu, hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk

menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kcbijakan Daerah dan

melakukan fungsi pengawasan.

5. Kepala Daerah

Untuk menjadi Kepala Daerah, seseorang diharuskan memenuhi persyaratan

Tertentu yang intinya agar Kepala Daerah selalu bertakwa kepaga Tuhan Yang

Maha Esa, memiliki etika dan moral, berpengetahuan dan berkemampuan sebagai

Pimpinan pemerintahan, berwawasan kebangsaan, serta mendapatkan kepercayaan

masyarakat.

Kepala Daerah di samping sebagai pimpinan pemerintahan, sekaligus adalah

Pimpinan Daerah dan pengayom masyarakat sehingga Kepala Daerah harus mampu

berpikir, bertindak, dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan

bangsa, negara, dan masyarakat umum dari pada kepentingan pribadi, golongan,

dan aliran. Oieh karena itu, dari kclompok atau etnis, dan keyakinan mana

pun Kepala Daerah harus bersikap arif, bijaksana, jujur, adil, dan netral.

6. Pertanggungjawaban Kepala Daerah

Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah, Gubernur


bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai

wakil Pemerintah, Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden. Sementara itu,

dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,

Bupati atau Walikota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten/DPRD Kota dan

Berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

7. Kepegawaian

Kebijakan kepegawaian dalam undang-undang ini dianut kebijakan yang mendorong

pengembangan Otonomi Daerah sehingga kebijakan kepegawaian di Daerah yang

dilaksanakan oieh Daerah Otonomi sesuai dengan kebutuhannya, baik

pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi maupun pemberhentian sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Mutasi antar-Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota dalam Daerah Propinsi diatur oleh Gubernur, sedangkan mutasi

antar-Daerah Propinsi diatur oleh Pemerintah. Mutasi antar-Daerah Propinsi

dan/atau antar-Daerah Kabupaten dan Daerah Kota atau Daerah Propinsi dengan

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada kesepakatan Daerah Otonom

tersebut.

8. Keuangan Daerah

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggung

jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan

sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat

dan Daerah serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan

prasyarat dalam sistem Pemerintahan Daerah.

(2) Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang

melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah.


9. Pemerintahan Desa

(1) Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan

nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa,

sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang- Undang Dasar 1945

Landasan penlikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah

keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan

pemberdayaan masyarakat.

(2) Penyelenggaraan Pemerintahan merupakan subsistem dari sistem

penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggug

jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan

tugas tersebut kepada Bupati.

(3) Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum

perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat

dituntut dan rncnuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Dcsa dengan

persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan

perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.

(4) Sebagai perwuludan demokrasi, di Desa dibentuk Badan Perwakilan Desa

atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa

yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan

pengawasan dalam hal pefaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan

dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.

(5) Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan

kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah. Desa


dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.

(6) Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan Desa, bantuan

Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah,

sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.

(7) Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa

mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para

warganya.

(8) Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat

yang berdirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah

Kelurahan yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.

10. Pembinaan dan Pengawasan

Yang dimaksud dengan pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi

Dalam upaya pemberdayaan Daerah Otonom, sedangkan pengawasan lebih

Ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada

Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD

Dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan

Otonomi Daerah. Karena itu, Peraturan Daerah yang ditetapkan Daerah Otonom

tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang.

II PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

ayat (1)

cukup jelas

ayat (2)
Yang dimaksud Wilayah Administrasi adalah daerah administrasi menurut

Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain adalah

Bahwa Daerah. Propinsi tidak membawahkan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,

tetapi dalam praktek. penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan

koordinasi, kerja sama, dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai Daerah Otonom. Sementara

itu, dalam kedudukan sebagai Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil

Pemerintah melakukan hubungan pemnbinaan dan pengawasan terhadap Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Untuk menentukan batas dimaksud, setiap Undang-undang mengenai pembentukan

Daerah dilengkapi dengan peta yang dapat menunjukkan dengan tepat letak

geografis Daerah yang bersangkutan, demikian pula mengenai perubahan batas

Daerah.

Ayat (3)
Yang dimaksud ditetapkan Peraturan Pemerintah didasarkan pada usul Pemerintah

Daerah dengan persetujuan DPRD.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan moneter dan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi.

Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh

Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah

dalam menumbuh kembangkan kehidupan beragama.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 8

Dalam penyelenggaraan kewenangan Pemerintah yang diserahkan dan atau

Dilimpahkan kepada Daerah/Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengelolanya

mulai dari pembiayaan, perijinan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi

sesuai dengan standar, norma, dan kebijakan Pemerintah.

Pasal 9

Ayat (1)

Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota

seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan

perkebunan.

Yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya


adalah:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro;

b. pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, dan

penelitian yang mencakup wilayah Propinsi;

c. pengelolaan pelabuhan regional;

d. pengendalian lingkugan hidup;

e. promosi dagang dan budaya/pariwisata;

f. penanganan penyakit menular dan hama

tanaman; dan

g. perencanaan tata ruang propinsi

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kewenangan ini adalah kewenangan Daerah Kabupaten

dan Daerah Kota yang ditangani oleh Propinsi setelah ada pernyataan

dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Ayat (3)

cukup jelas

Pasal 10

ayat (1)

Yang dimaksud dengan sumber daya nasional Ayat (1) adalah sumber daya

alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia yang tcrsedia di

Daerah

Pasal 11

Ayat (1)

Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangan

sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu,
penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan

melalui pengakuan oleh Pemerintah.

Ayat (2)

Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan

otonominya, untuk menghindarkan terjadinya kekosongan penyelenggaraan

pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupatcri dan Daerah Kota

wajib melaksanakan kcwenangan dalam Bidang pemerintahan tertentu menurut

pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing.

Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota

tidak dapat dialihkan ke Daerah Propinsi.

Khusus kewenangan Daerah Kota disesuaikan dengan kebutuhan perkotaan,

antara lain, pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan,dan tata kota.

Pasal 12

cukup jelas

Pasal 13

cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat(1)

Khusus untuk penan~kapan ikan secara tradisional tidak dibatasi

wilayah laut.

Ayat(2)
Dalam kedudukannya sebagai Badan Legislatif Daerah, DPRD bukan

merupakan bagian dari Pemerintah Daerah.

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Pemilihan anggota MPR dari Utusan Daerah hanya dilakukan oleh DPRD

Propinsi.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Ayat (2)

cukup jelas

Pasal 19
cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pejabat negara dan pejabat pemerintah adalah pejabat

di lingkungan kerja DPRD bersangkutan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 21

cukup jelas

Pasal 22

cukup jelas

Pasal 23

cukup jelas

Pasal 24

cukup jelas

Pasal 25

cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

cukup jelas

Pasal 28

cukup jelas
Pasal 29

cukup jelas

Pasal 30

cukup jelas

Pasal 31

cukup jelas

Pasal 32

cukup jelas

Pasal 33

cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah secara bersamaan adalah bahwa calon Kepala Daerah dan calon

Wakil Kepala Daerah dipilih secara berpasangan. Pemilihan secara

bersamaan ini dimaksudkan untuk menjamin kerja sama yang harmonis

antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)
cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan rapat paripurna adalah rapat yang khusus diadakan

untuk pemilihan Kepala Daerah.

ayat (3)

cukup jelas

Pasal 38

ayat (1)

Calon Gubernur dan calon wakil Gubernur dikonsultasikan dengan

Presiden, karena kedudukannya sclaku wakil Pemerintah di Daerah.

ayat (2)

Calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon

Wakil Walikota diberitahukan kepada Gubernur selaku wakil

Pemerintah.

Pasal 39

cukup jelas

Pasal 40

cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pengucapan sumpah/juanji dan pelantikan Kepala Daerah dapat dilakukan

di GedungDPRD atau di gedung lain, dan tidak dilaksanakan dalam rapat

DPRD. Pengucapan sumpah/janji dilakukan menurut agama yang diakui


Pemerintah, yakni:

a. diawali dengan ucapan "Demi Allah" untuk Pasal 48 penganut agama

Islam;

b. diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan Menolong saya" untuk penganut

agama Kristen Protestan/Katolik;

c. diawali denngan ucapan "Om atah paramawisesa' untuk pcnganut agama

Hindu; dan

d. diawali dengan ucapan "Denii Sanghyang Adi Buddha" untuk penganut

agama Budha.

Ayat (3)

cukup jelas

Ayat (4)

cukup jelas

Pasal 43

huruf a

cukup jelas

huruf b

cukup jelas

huruf c

cukup jelas

huruf d

cukup jelas

huruf e

Dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, Kepala Daerah

berkewajiban mewujudkan demokrasi ekonomi dengan melaksanakan Pembinaan


dan pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah yang mencakup

permodalan, pemasaran, pengembangan teknologi,produksi, dan pengolahan

serta pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia.

huruf f

cukup jelas

huruf g

cukup jelas

Pasal 44

cukup jelas

Pasal 45

cukup jelas

Pasal 46

cukup jelas

Pasal 47

cukup jelas

Pasal 48

huruf a dan c

Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan kemungkinan

terjadinya konflik kepentingan bagi Kepala Daerah dalam melaksanakan

tugasnya untuk memberikan pelayanan pemerintahan dengan tidak

membeda-bedakan warga masyarakat.

Huruf b, huruf e, dan huruf d

Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan,

antara lain, yang berwujud korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pasal 49
cukup jelas

Pasal 50

cukup jelas

Pasal 51

cukup jelas

Pasal 52

cukup jelas

Pasal 53

Ayat (1)

Pemberitahuan secara tertulis tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur,

tembusannya dikirimkan kepada Presiden, sedangkan berakhirnya masa jabatan

Bupati/Walikota, tembusannya dikirimkan kepada Gubernur.

Ayat (2)

cukup jelas

Pasal 54

cukup jelas

Pasal 55

cukup jelas

Pasal 56

Ayat (1)

cukup jelas

Ayat (2)

cukup jelas

Ayat (3)

Pengucapan sumpah/janji dan pelantikan Wakil Kepala Daerah dapat


dilakukan di Gcdung Pasal 66 DPRD atau di gedung lain, tidak

dilaksanakan dalam rapat DPRD. Pcngucapan sumpah/janji dilakukan

menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni:

a. diawali dengan ucapan

"Demi Allah" untuk penganut agarna Islam;

b. diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan Menolong saya" untuk

penganut agama Kristen Protestan/Katolik;

c. diawali dengan "Om atah paramawisesa untuk penganut agama

Hindu; dan

d. diawali dengan ucapan "Demi Sanghyang Ad Buddha" untuk penganut

agama Buddha.

Ayat (4)

cukup jelas

Ayat (5)

cukup jelas

Pasal 57

cukup jelas

Pasal 58

cukup jelas

Pasal 59

cukup jelas

Pasal 60

cukup jelas

Pasal 61

cukup jela
Pasal 62

cukup jelas

Pasal 63

cukup jelas

Pasal 64

cukup jelas

Pasal 65

Yang dimaksud dengan lcmbaga teknis adalah Badan Penelitian dan

Pengembangan, Badan Perencana, Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan

dan Pelatihan, dan lain-lain.

Pasal 66

cukup jelas

Pasal 67

Ayat (1)

cukup jelas

Ayat (2)

cukup jelas

Ayat (3)

Sekretaris Daerah Kota/Kabupaten memberi pertimbangan kepada

Walikota,Bupati dalam proses pengangakatan Lurah.

Ayat(4)

Camat dapat melimpahkan sebagian kewenangan kepada Lurah.

Ayat (5)

cukup jelas

Ayat (6)
cukup jelas

Pasal 68

cukup jelas

Pasal 69

Peraturan Daerah hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah dan

tidak ditandatangani-serta Pimpinan DPRD karena DPRD bukan

merupakan bagian dari Pemerintah Daerah.

Pasal 70

cukup jelas

Pasal 71

Ayat (1)

Paksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menegakkan hukum

dengan Undang-undang ini disebut "paksaan penegakan Hukum" atau

"paksaan pemeliharaan hukum".

Paksaan penegakan hukum itu pada umumnya berwujud mengambil atau

meniadakan, mencegah atau memperbaiki segala sesuatu, melakukan

sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan, atau

ditiadakan yang bertentangan dengan hukum.

Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh penguasa

eksekutif kepada pelanggar. Apabila pelanggar tidak mengindahkannya,

diambil suatu tindakan paksaan. Pejabat yang menjalankan tindakan

paksaan penegakan hukum terhadap pelanggar harus dengan

tegas diserahi tugas tersebut. Paksaan penegakan hukum itu hendaknya

hanya dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan cara seimbang

sesuai dengan berat pelanggaran, karena paksaan tersebut pada


umumnya dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan. Jumlah denda dapat

disesuaikan dengan perkembangan tingkat kemahalan.

Ayat (2)

cukup jelas

Pasal 72

cukup jelas

Pasal 73

ayat (1)

Pengundangan peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat

mengatur dilakukan mcnurut cara yang sah, yang merupakan keharusan agar

Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah tersebut mempunyai kekuatan

hukum dan mengikat. Pengundangan dimaksud kecuali untuk memenuhi

formalitas hukum juga dalam rangka keterbukaan pemerintahan Cara

pengundangan yang sah adalah dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah

oleh Sekretaris Daerah. Untuk lebih mengefcktifkan pelaksanaan Peraturan

Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, peraturan dan keputusan tersebut

perlu dimasyarakatkan.

ayat (2)

cukup jelas

Pasal 74

cukup jelas

Pasal 75

cukup jelas

Pasal 76

Pemindahan pegawai dalam Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Bupati/


Walikota, pemindahan pegawai antar-Daerah kabupaten/Kota dan/atau

antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Propinsi dilakukan oleh Gubernur

setelah berkonsultasi dengan Bupati/Walikota, dan pemindahan pegawai

antar-Daerah Propinsi atau antara Daerah Propinsi dan Pusat serta

pemindahan pegawai Daerah antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah

Kabupaten/Kota di Daerah Propinsi lainnya ditetapkan oleh Pemerintah

setelah berkonsultasi dengan Kepala Daerah.

Pasal 77

Cukup jelas

Pasal 78

Cukup jelas

Pasal 79

huruf a

angka 1 Cukup jelas

angka 2 cukup jelas

angka 3 cukup jelas

angka 4

lain-lain pendapatan aslidaerah yang sah antara lain hasil penjualan

asset daerah dan jasa giro

huruf b

cukup jelas

huruf c

cukup jelas

huruf d

lain-lain pendapatan Daerah yang sah adalah antara lain hibah atau
penerimaan dari Daerah Propinsi atau Daerah Kabupatcii/Kota lainnya,

dan peneriniaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80

Ayat (1)

huruf a

Yang dimaksud dengan pcncrimaan sumber daya alam adalah penerimaan

negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam antara lain di

bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas bumi, kehutanan,

dan perikanan.

huruf b Cukup jelas

huruf c cukup jelas

ayat (2)

Tidak termasuk bagian Pemerintah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

dan Bea Perolchan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang dikembalikan kepada

Daerah.

ayat (3)

Cukup jelas

ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 81

Ayat (1)

Pinjaman dalam negeri bersumber dari Pemerintah, lembaga komersial,

dan/atau pembiayaan obligasi Daerah dengan diberitahukan kepada

Pemerintah sebelum peminjaman tersebut dilaksanakan.

Yang berwenang mengadakan dan menanggung pinjaman Daerah adalah Kepala


Daerah, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah atas persetujuan

DPRD.

Di dalam Keputusan Kepala Daerah harus dicantumkan jumlah pinjaman dan

sumber dana untuk memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman.

Ayat (2)

Ayat (3)

Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri harus mendapat persetujuan

Pemerintah mengandung pengertian bahwa Pemerintah akan melakukan evaluasi

dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya usulan pinjaman Daerah

untuk memproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut

usulan pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan

persetujuan Pemerintah atas usulan termaksud.

Pasal 82

Ayat (1)

Daerah dapat menetapkan pajak dan retribusi dengan Peraturan Daerah

sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

Ayat (2)

Penentuan tata cara pemungutan pajak dan retribusi Daerah termasuk

pengembalian atau pembebasan pajak dan/atau rciribusi Daerah yang

dilakukan dengan bcrpcdoman pada ketentuan yang ditetapkan dengan

Peraturan Daerah.

Pasal 83

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan inswitif nonfiskal adalah bantuan Pemerintah

berupa kemudahan pembangunan prasarana, penyebaran lokasi industri


strategis, penyebaran lokasi pusat-pusat perbankan nasional, dan

lain-lain.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 84

Cukup jelas

Pasal 85

Ayat (1)

cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c

Yang dimaksud dengan tindakan hukum lain adalah menjual, menggadaikan,

menghibahkan, tukar guling, dan/atau memindahtangankan

Pasal 86

cukup jelas

Pasal 87

cukup jelas

Pasal 88

cukup jelas

Pasal 89

cukup jelas

Pasal 90

cukup jelas
Pasal 91

ayat (1)

Yang dimaksud dengan lembaga bersama adalah lembaga yang dibentuk

secara bersama oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang berbatasan dalam

rangka meningkatkan pelayanan, kepada masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 92

Ayat (1)

Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan

untuk menciptakan sinergi Pemerintah Daerah, masyarakat, dan pihak

swasta.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan

dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan.

ayat (3)

cukup jelas

Pasal 93

Ayat (1)

Istilah Dcsa discsuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat

setempat seperti nagari,kampung, huta, bori, dan marga.

Yang dimaksud dengan asal-usul adalah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan pcnjelasannya.


Ayat (2)

Dalam pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa perlu

dipertimbangkan luas wilayah, jumlah penduduk, sosial budaya,

potensi Desa, dan lain-lain.

Pasal 94

Istilah Badan Perwakilan Desa dapat disesuaikan dengan kondisi

sosial budaya masyarakat Desa setempat.

Pembentukan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Dcsa dilakukan oleh

masyarakat Desa.

Pasal 95

Ayat (1)

Istilah Kepala Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya

Desa setempat.

Ayat (2)

cukup jelas

Pasal 96

Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai

dengan sosial budaya setempat.

Pasal 97

cukup jelas

Pasal 98

Ayat (1)

cukup jelas

Ayat (2)

Pengucapan sumpah/janji Kepala Desa dilakukan menurut agama yang


diakui Pemerintah, yakni:

a. diawali dengan ucapan "Demi Allah" untuk penganut agama Islam;

b. diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan Menolong saya" untuk

penganut agama Kristen Protestan/Katolik;

c. diawali dengan ucapan "Om atah paramawisesa" untuk penganut agama

Hindu; dan

d. diawali dengan ucapan "Demi Sanghyang Adi Buddha" untuk penganut

agama Buddha.

Ayat (3)

cukup jelas

Pasal 99

cukup jelas

Pasal 100

Pemerintah Desa berhak mcnolak pelaksanaan Tugas Pembantuan yang

tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta

sumber daya manusia.

Pasal 101

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup Jelas

Huruf c

Cukup Jelas

huruf d

Cukup jelas
Huruf e

Untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat

dibantu oleh lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah

didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang

berselisih.

Huruf f

cukup jelas

Pasal 102

Huruf a

cukup jelas

Huruf b

Laporan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati dengan

tembusan kepada Camat

Pasal 103

ayat (1)

Huruf a

cukup jelas

Huruf b

cukup jelas

Huruf c

cukup jelas

Huruf d

Untuk menghindari kekosongan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

Kepala Desa yang setelah berakhir masa jabatannya tetap melaksanakan

tugasnya sebagai Kepala Desa sampai dengan dilantiknya Kepala Desa yang
baru.

Huruf e

cukup jelas

Fungsi pengawasan Badan Perwakilan Desa meliputi pengawasaan terhadap

pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan

Keputusan Kepala Desa.

Pasal 105

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib

disampaikan kcpadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah

ditetapkan dengan tembusan kepada Camat.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 106

Cukup jelas

Pasal 107

Ayat (1)

Sumber pcndapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa tidak

dibenarkan diambilalih oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pemberdayaaii potcnsi Desa dalam meningkatkan pendapatan Desa

dilakukan, antara lain, dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa,


kerja sama dengan piliak ketiga, dan kewenangan melakukan pinjaman.

Sumber Pendapatan Daerah yang berada di Desa, baik pajak maupun

retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten, tidak Ayat (2)

dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa.

Pendapatan Daerah dari sumber tersebut harus diberikan kepada Desa

yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban biaya ekonomi

tinggi dan dampak lainnya.

Ayat (2)

Kegiatan pengclolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang

ditetapkan setiap tahun meliputi penyusunan anggaran, pelaksanaan

tata usaha kcuangan, dan perubahan serta perhitungan anggaran.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

cukup jelas

Ayat (5)

cukup jelas

Pasal 108

cukup jelas

Pasal 109

Ayat (1)

Kerja sama antar-Desa yang memberi beban kepada masyarakat harus

mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 110

Pemerintah Desa yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan dimaksud

berhak menolak pembangunan tersebut.

Pasal 111

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan asal-usul adalah asal-usul terbentuknya Desa

yang bersangkutan.

Pasal 112

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah upaya memberdayakan Daerah

Otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan

supervisi.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 113

cukup jelas

Pasal 114

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)

Pengajuan keberatan kepada Mahkamahi Agung sebagai upaya hukum terakhir

dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari setelah adanya keputusan

pembatalan dari Pemerintah.

Pasal 115

Ayat (1)

Mekanisme pemnbentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran

Daerah dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Daerah yang akan dibentuk, dihapus, digabung dan/atau dimekarkan

diusulkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD kepada

Pemerintah;

b. Pemerintah menugaskan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk

melakukan penelitian dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi

daerah, sosial udaya, sosial-polilik, jumlah penduduk luas daerah,

dan pertimbangan lain;

C. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan pertimbangan untuk

menyusun rancangan undang-undang yang mengatur pembentukan,

penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran Daerah Otonom.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan Asosiasi Pemerintah Daerah adalah organisasi yang

dibentuk oleh Pemerintah Daerah dalam rangka kerja sama antar-Pemerintah

Propinsi, antar Pemerintah Kabupaten, dan/atau antar-Pcmerintah Kota

berdasarkan pcdoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Wakil-wakil Daerah dipilih oleh DPRD dari berbagai keahlian terutama di


bidang keuangan dan pemerintahan, serta bersikap independen sebanyak 6

orang, yang terdiri atas 2 orang wakil Daerah Propinsi, 2 orang wakil

Daerah Kabupaten dan 2 orang wakil Daerah Kota dengan masa tugas selama

dua tahun.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 116

cukup jelas

Pasal 117

cukup jelas

Pasal 118

Ayat (1)

Pemberian otonomi khusus kepada Propinsi Daerah I Timor Timur

didasarkan pada perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia

dan Pemerintah Portugal di bawah supervisi Perserikatan

Bangsa-Bangsa.

Yang dimaksud dengan ditetapkan lain adalah Ayat(1) Ketetapan MPR

RI yang mengatur status Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur lebih

Ayat (2)
Pasal 122

Pengakuan keistinicwaan Propinsi Daerah Aceh didasarkan pada

sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi

keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat,

dan pendidikan serta mempcrhatikan peranan ulama dalam

penetapan kebijlakan Daerah.

Pengakuan keistimewaan Propinsi istimewa Yogyakarta didasarkan

pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional,

sedangkan isi keistimewaannya adalah Pengangkatan Gubernur

dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta

dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan

Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini.

Pasal 132

Ayat (1)

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan

undang-undang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam

waktu satu tahun.

Ayat (2)

Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya undang-undang ini

dan sudah selesa dalam waktu dua tahun.


g. UU no 9 tahun 2015 tentang pemerintahan daerah dan meliputi aturan pemilihan kepala
daerah.

UU 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah

Status

Mengubah UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Latar Belakang

Pertimbangan mengapa ada UU 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah:

bahwa untuk kesinambungan kepemimpinan di provinsi, kabupaten/kota diperlukan mekanisme


peralihan kepemimpinan daerah di masa jabatannya yang demokratis untuk dapat menjamin
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat;

bahwa ketentuan tugas dan wewenang dewan perwakilan rakyat daerah provinsi, kabupaten/kota
perlu dilakukan penyesuaian dengan undang-undang yang mengatur pemilihan gubernur, bupati,
dan wali kota;

bahwa untuk mengatasi permasalahan sebagaimana dimaksud pada huruf b, ketentuan tugas dan
wewenang dewan perwakilan rakyat daerah provinsi, kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah perlu dilakukan
perubahan;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

Dasar hukum

Dasar hukum UU 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah:
Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657);

Penjelasan Umum UU 9/2015

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014


tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung dan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan
pemilihan kepala daerah yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan demokrasi maka perlu
dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan dilakukan
sebagai konsekuensi atas perubahan undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan
walikota yang mengatur wakil kepala daerah dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah.
Sehingga perlu diatur pembagian tugas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah agar tidak
terjadi disharmoni dan dan perlunya pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan
wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan.

Isi UU 9/2015

Berikut isi UU 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (bukan seperti format aslinya) :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG


NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657), diubah sebagai
berikut:

Ketentuan ayat (1) Pasal 63 diubah, sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63

Kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dibantu oleh wakil kepala daerah.

Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Daerah provinsi disebut wakil
gubernur, untuk Daerah kabupaten disebut wakil bupati, dan untuk Daerah kota disebut wakil
wali kota.

Ketentuan ayat (1) huruf f Pasal 65 dihapus, sehingga Pasal 65 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65

Kepala daerah mempunyai tugas:

memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan


ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang
RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;

menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan
APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD
untuk dibahas bersama;

mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
dihapus.

melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang:

mengajukan rancangan Perda;

menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;

mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh Daerah
dan/atau masyarakat;

melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan
kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala
daerah.

Apabila kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara dan tidak ada
wakil kepala daerah, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.

Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan
sementara, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang kepala daerah oleh wakil
kepala daerah dan pelaksanaan tugas sehari-hari kepala daerah oleh sekretaris daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah.

Ketentuan Pasal 66 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 66
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66

Wakil kepala daerah mempunyai tugas:

membantu kepala daerah dalam:


memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;

mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan


hasil pengawasan aparat pengawasan;

memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh


Perangkat Daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan

memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Perangkat


Daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau Desa bagi wakil bupati/wali kota;

memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan
Daerah;

melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan
atau berhalangan sementara; dan

melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wakil kepala daerah
melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah
yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wakil kepala
daerah menandatangani pakta integritas dan bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Wakil kepala daerah wajib melaksanakan tugas bersama kepala daerah hingga akhir masa
jabatan.

Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88

Dalam hal pengisian jabatan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) belum
dilakukan, wakil gubernur melaksanakan tugas sehari-hari gubernur sampai dilantiknya wakil
gubernur sebagai gubernur.

Dalam hal pengisian jabatan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2)
belum dilakukan, wakil bupati/wakil wali kota melaksanakan tugas sehari-hari bupati/wali kota
sampai dengan dilantiknya wakil bupati/wakil wali kota sebagai bupati/wali kota.
Ketentuan Pasal 101 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, sehingga Pasal
101 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101

DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:

a . membentuk Perda Provinsi bersama gubernur;

b . membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Provinsi
yang diajukan oleh gubernur;

c . melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda Provinsi dan APBD provinsi;

d . dihapus.

d1 . memilih gubernur dan wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk
meneruskan sisa masa jabatan;

e . mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada Presiden melalui Menteri


untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;

f . memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah provinsi terhadap rencana
perjanjian internasional di Daerah provinsi;

g . memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah provinsi;

h . meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan


Pemerintahan Daerah provinsi;

i . memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak
ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah provinsi; dan

j . melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.
Ketentuan Pasal 154 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, sehingga Pasal
154 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 154

DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:

a . membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota;

b . membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota


yang diajukan oleh bupati/wali kota;

c . melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;

d . dihapus.

d1 . memilih bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dalam hal terjadi
kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan;

e . mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota kepada Menteri melalui


gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan
dan/atau pemberhentian;

f . memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap


rencana perjanjian internasional di Daerah;

g . memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

h . meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan


Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;

i . memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak
ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah;

j . melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal II

Anda mungkin juga menyukai