MODUL: DEMAM
Ruangan :
Ruang perawatan anak
Poliklinik anak
Instalasi gawat darurat
Pendahuluan
Penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit sistemik evolutif
yang mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah dan
sistem saraf, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat,
bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi, dan ditandai oleh adanya
autoantibodi, khususnya antibodi antinuklear. Manifestasi klinis LES sangat
bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan
sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis
disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi sistem imun, pembentukan
kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear,
dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya.
EPIDEMIOLOGI
Insidens LES pada anak secara keseluruban mengalami peningkatan, sekitar 15-
17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan mcnjelang
remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut
juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di
kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk berkulit putih.
Faktor Genetik
Kerentanan terhadap penyakit SLE bersifat multifaktorial, dan faktor genetik yang
multipel mempunyai pergnan yang penting. Pada suatu studi didapatkan bahwa
prevalensi penyakit LES tinggi pada anak dengan orang tua atau saudara kandung
yang memiliki penyakit LES juga. Kembar monozigot juga mempunyai risiko
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kembar dizigot. Penyakit lupus disertai
oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti Clq,
Clr, Cls, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip
HLA (-DR2 dan -DR3).
Disregulasi Imun
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan
inter aktif.
Limfosit B
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan
peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang
memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi
sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang
proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA
dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh
hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor
lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi
antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi
autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8 + , natural killer cell dan
inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu
pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang
Autoantibodi
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering
dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap
DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer
antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitubersifat
sitotoksik dengan mengakttfkan komplemen, tetapi dapat juga dengan
mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai
reseptor Fc imunoglobulin. Contob klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan
karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya
antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi
antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat
berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun
bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari
Kompleks Imun
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada :
1. Adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus
renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid).
2. Akivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia
selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen
dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen Clq dapat terikat langsung
pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade
komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit
dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor
terlibat dalam deposit kompleks imun pada LES, antara lain banyaknya antigen,
respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun
karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini
dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel.
Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di
daerab membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan
membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Limfosit T
Fasten dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+
yang mengaktivasi CD8+ (Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat
perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel TH0 ke sel TH2. Akibatnya sitokin
cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Hormon
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebahkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,
diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat
mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan
risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon
estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga
mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing
hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga
terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES juga
meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan
hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan
betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian
penderita jantan.
Faktor Lingkungan
Sinar matahari dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit dan radiasi ultraviolet B
mempunyai efek apoptosis. Tidak ada data yang menyebutkan hubungan virus
dengan LES. Peningkatan titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr,
Manifestasi Klinis
Manifestasi LES bervariasi antara penyakit kronik dengan riwayat keluhan dan
gejala intermiten sampai pada fase akut yang fatal. Gejala konstitusional dapat
berupa demam yang menetap atau intermiten, kelelahan, penurunan berat badan
dan anoreksia. Satu sistem organ dapat terkena, meskipun penyakit multisistem
lebih khas.
Tabel 17. Tanda Klinis LES
Kelainan Mukosa
Mukosa oral merupakan tempat tersering terjadinya ulserasi pada anak dengan
LES. Lesi klasik biasanya tidak nyeri, dalam, berupa ulkus kasar pada palatum
Kelainan Muskoskeletal
Artralgia dan artritis terjadi pada sebagian besar anak dengan LES. Artritis
biasanya melibatkan sendi kecil di tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut
dan pergelangan kaki. Durasi serangan artritis biasanya pendek, berlangsung
selama beberapa hari, meskipun dapat menjadi persisten dan berpindah-pindah.
Pada beberapa anak, artritis bersifat persisten ditandai dengan bengkak, nyeri dan
berkurangnya gerakan. Artritis pada tangan sebelah dorsal dan pergelangan tangan
biasanya juga disertai tenosinovitis. Dapat pula berupa radang akut poliartritis
bilateral simetris atau oligoartritis, atau subakut dengan pembengkakan
periartikular dan kckakuan, atau bentuk kronik yang jarang destruktif seperti pada
poliartritis rheumatoid, tetapi sebaliknya deformitas tangan secara klinis sangat
mirip dengan jari reumatoid.
Mialgia dan kelemahan otot merupakan karakteristik pada fase akut.
Miositis dikaitkan dengan vaskulitis sistemik dan keterlibatan visera.
Ostconekrosis aseptik dengan lokalisasi tersering di daerah temporal dan dapat
menimbulkan kecacatan terdapat pada penderita lupus yang sedang diobati dengan
kortikosteroid, tetapi dapat pula timbul di luar masa pengobatan, mungkin
berhubungan dengan proses vaskulitis.
Lupus Nefritis
Lupus nefritis merupakan penentu utama dalam prognosis jangka panjang.
Nefritis tersebut lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Lupus
nefritis biasanya asimtomatik, meskipun pada beberapa anak terdapat hematuria
makroskopik atau edema yang berkaitan dengan sindrom nefrotik. Cameron dkk
melaporkan bahwa sebagian besar gejala awal berupa hematuria mikroskopik,
proteinuria, penurunan filtrasi glomerular dan hipertensi.
Penyakit ginjal yang nyata biasanya baru muncul 2 tahun setelah onset.
Bukti histologi biasanya mendahului kelainan sedimen urin, sehingga diperlukan
pemeriksaan rutin fungsi ginjal. Tabel 3 menunjukkan klasifikasi kelainan ginjal
Glomerulonefritis Membranosa
Lesi karakteristik pada kelainan ini adalah endapan kompleks imun sepanjang
subepitel membrana basalis. Dapat terlihat endapan granular IgG dan komplemen
sepanjang membrana basalis yang biasanya lebih halus dan kecil dibandingkan
dengan gambaran pada glomerulonefritis difus.
Secara klinis selalu terdapat proteinuria dan sindrom nefrotik yang sering
disertai hematuria. Bila tidak terdapat pada awal pengamatan maka sindrom
nefrotik akan segera terdeteksi pada perjalanan penyakit selanjutnya. Hipertensi
terdapat pada 30% kasus.
Temuan serologik biasanya tidak begitu mencolok seperti pada
glomerulonefritis proliferatif difus, terutama bila tidak terdapat gangguan sistemik
ekstrarenal pada saat itu.
Kelainan Kardiovaskular
Perikarditis merupakan manifestasi yang sering terjadi pada 30% anak dengan
LES akut. Dapat ditandai dengan nyeri prekordial yang dieksaserbasi oleh
berbaring atau nafas dalam, dan mereda dengan bangun duduk dan condong ke
depan. Kelainan ini jarang disertai oleh kardiomegali atau friction rub.
Miokarditis terjadi pada 15% anak. Manifestasi klinis sangat bervariasi,
dapat berupa hipertrofi miokardium, pembesaran ventrikel kiri, atau gangguan
Kelainan Paru
Pleuropulmonal klinis atau subklinis sering terjadi pada anak dengan LES,
ditandai dengan efusi pleura dan pleuritis, pneumonitis akut dan kronik serta
perdarahan pulmonal. Efusi pleura terjadi karena pleura mengalami inflamasi atau
sekunder oleh sindrom nefrotik. Efusi pleura noninflamasi biasanya asimtomatik.
Cairan pleura bersifat eksudat dengan kadar komplemen sangat rendah sehingga
Kelainan Hematologi
Anemia sangat sering terjadi dengan berbagai penyebab. Biasanya gambaran
darah tepi terlihat normokrom normositik, dengan kapasitas pengikatan zat besi
rendah.
Leukopenia merupakan petanda penting untuk LES akut, biasanya dengan
predominasi neutrofil. Sering ditemukan antibodi antilimfosit atau antigranulosit
yang mungkin timbul akibat gangguan imunologik pada jalur granulosit di
sumsum tulang.
Trombositopenia dapat sangat berbahaya karena menyebabkan komplikasi
perdarahan berat yang memerlukan pengobatan segera (kortikosteroid atau
gamaglobulin). Kadangkala timbul masalah diagnosis tentang penyebab
trombositopenia perifer (terlihat mcgakariosit dalam sumsum tulang) terutama
apakah cliakibatkan sel virus (Mononucleous infectiosa, cytomegalovirus, HIV)
dan purpura trombositopenia idiopatik. Kombinasi anemia hemolitik dan purpura
trombositopenia idiopatik dapat terjadi pada LES, sedangkan purpura
trombositopenia trombositik menunjukkan kemungkinan adanya LES. Pada
purpura ini, selain terjadi anemia dan purpura, terjadi pula gejala demam,
gangguan SSP dan nefritis. Trombositopenia juga dapat disertai dengan
leukopenia.
Gangguan hemostasis akibat antikoagulan dalam sirkulasi perlu dipikirkan
bila masa pembekuan memanjang. Yang tersering terjadi adalah aktivitas
antiprotrombinase yang secara paradoksal membawa risiko berat bagi terjadinya
trombosis. Karena terdapat kemiripan struktur antigenik antara protrombinase
Kelainan Mata
Adanya vaskulitis retina ditandai dengan bercak kapas (cotton-wool spots) atau
badan sitoid. Bercak tersebut terletak di para-arteriolar di polus posterior retina.
Adanya bercak tersebut menunjukkan adanya LES pada pasien tanpa penyakit
sistemik lainnya, seperti hipertensi, diabetes atau anemia, yang dapat
menyebabkan lesi eksudat yang sama. Manifestasi okular lainnya dapat berupa
edema subretina, perdarahan, oklusi vena sentralis retina dan episkleritis. Sindrom
Sjogren merupakan komplikasi yang jarang pada anak dengan LES, ditandai
dengan rasa kering di mata, injeksi konjungtiva dan fotofobia.
Kelainan Gastrointestinal
Kelainan gastrointestinal jarang yang bcrhubungan langsung dengan LES, namun
beberapa pengobatan dapat memberikan efek samping berupa nyeri abdominal.
Gangguan pencernaan umumnya akibat vaskulitis dan merupakan komplikasi
yang berbahaya, misalnya perdarahan intestinal, pankreatitis, perforasi usus, atau
ulserasi hemoragis. Pankreatitis terjadi pada beberapa anak, dengan gejala nyeri
abdominal, mual dan muntah. Adanya kenaikan lipase serum dan amilase
menunjang diagnosis. Hepatomegali dapat terjadi pada dua pertiga anak dengan
LES, namun masih derajat ringan. Splenomegali dengan derajat sedang juga dapat
terjadi pada LES. Infark limpa dan perisplenitis menyebabkan nyeri kuadran kiri
atas.
Kelainan Gineko-Obstetrik
Timbulnya penyakit lupus sering disertai dengan amenore. Selain itu sering
terdapat riwayat arbortus berulang sebelum timbulnya lupus, dan sering pula
disertai purpura trombositopenik, yang patogenesisnya ditandai oleh peranan
vaskulitis pada plasenta dan antibodi antilimfosit.
Kehamilan pada penderita lupus selalu membawa risiko besar karena selain
risiko fetal dan perinatal, kehamilan sendiri dapat memacu timbulnya manifestasi
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan indikator inflamasi, uji
autoantibodi (khususnya ditujukan pada antigen nuklear), pemeriksaan untuk
evaluasi keterlibatan organ dan pemeriksaan untuk memantau efek terapi,
termasuk toksisitas obat.
Indikator inflamasi
Fase akut akan menunjukkan peningkatan indikator inflamasi, seperti laju endap
darah, hipergamaglobulinemia poliklonal dan alfa 2-globulin serum. Sedangkan
C-reactive protein biasanya masih dalam batas normal, namun dapat meningkat
bila LES disertai dengan infeksi sistemik atau pada serositis dan artritis.
Hematologi
Anemia ringan sampai sedang terjadi pada sebagian besar anak dengan LES, dan
biasanya sesuai dengan tipe pcnyakit kronik (normositik, hipokrom), disertai
dengan penurunan serum besi dan kapasitas ikat besi (iron-binding capacity). Pada
pasien lain dapat ditemukan hemolisis autoimun yang disebabkan oleh ikatan
antibodi IgG dan komplemen pada eritrosit, hal tersebut diperiksan melalui uji
Coombs. Anemia hemolitik jarang menjadi berat dan fatal. Apabila berat pun,
penurunan kadar hemoglobin biasanya tidak terlalu berat.
Meskipun leukositosis dapat terjadi, namun limfositopenia (kurang dari
1500 sel/ mm3) dan neutropenia lebih sering ditemukan, dan berhubungan dengan
trombositopenia. Beberapa anak menunjukkan adanya purpura trombositopenia,
biasanya berkaitan dengan splenomegali. Pemeriksaan sumsum tulang
Antibodi Antinuklear
Antibodi antinuklear (ANA) terdapat pada sebagian besar serum anak dengan
LES aktif (Tabel 4). Namun, penentuan titer ANA sendiri tidak cukup untuk
diagnosis LES atau memantau perkembangan penyakit. Antibodi antinuklear
diketahui dengan pemeriksaan imunofluoresensi indirek pada seluruh inti sel.
Antibodi antihiston
Antibodi terhadap his ton terdapat pada sebagian besar anak dengan LES,
meskipun
juga banyak terdapat pada LES yang diinduksi oleh obat. Antibodi ini bekerja
dengan mempengaruhi sintesis RNA. Adanya antibodi ini disertai dengan hasil
negatif pemeriksaan antibodi anti dsDNA menunjukkan adanya LES yang
diinduksi oleh obat.
Kompleks Imun
Pemeriksaan kompleks imun hanya berpengaruh sedikit pada pencgakan diagnosis
LES, meskipun kompleks imun merupakan dasar patogenesis LES.
Krioglobulinemia pada penyakit lupus merupakan campuran dari IgM, IgG, dan
terkadang IgA poliklonal. Krioglobulin mcrupakan petanda adanya kompleks
imun dalam serum dan sering disertai antiDNA serta penurunan kadar
komplemen. Adanya krioglobulin sering menyertai gangguan viseral dengan
vaskulitis.
Komplemen
Penentuan kadar komplemen serum penting dalam penegakan diagnosis LES
aktif. Selama masa aktif penyakit lupus maka fraksi komplemen akan terpakai,
terutama bila disertai gangguan ginjal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan komponen C3.C4 atau komplemen hemolitik total (CH50).
Komponen CH50 menunjukkan integritas kaskade komplemen total. Konsentrasi
C3 lebih sering menurun dibandingkan CH50 atau C4- Penurunan C4 konsisten
dan menjadi indikator yang penting pada nefritis lupus aktif, apabila kadar dasar
diketahui dan anak memang tidak mempunyai defisiensi C4.
Diagnosis
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang
paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology
(ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria
ACR tersebut.
Hidroksiklorokuin
Hidroksiklorokuin sering digunakan sebagai terapi tambahan bersama dengan
glukokortikoid atau untuk pengobatan lupus diskoid. Pada suatu studi obat ini
dapat mengurangi frekuensi dan keparahan episode LES (flares) dibandingkan
plasebo. Hidroksiklorokuin juga dapat membuat perubahan lipid plasma yang
diinduksi oleh glukokortikoid. Dengan adanya efek samping berupa toksisitas
retina, maka pada penggunaan obat ini kesehatan mata harus dipantau.
Agen imunosupresif
Agen imunosupresif sering diperlukan untuk mengontrol LES dan memperbaiki
kualitas hidup. Pada suatu studi, penggunaan imunosupresif bersama dengan
prednison memberikan hasil yang lebih baik. Azatioprin merupakan agen lini
kedua yang sering digunakan. Peran azatioprin kemungkinan dalam
penatalaksanaan penyakit yang resisten atau tergantung dengan steroid dengan
atau tanpa nefritis kelas III atau IV
Siklofosfamid sering digunakan pada LES yang berat, khususnya lupus
nefritis, penyakit berat dan gangguan SSP Kombinasi dengan prednison oral juga
efektif dalam mencegah penyakit berkembang dan menjaga fungsi ginjal.
Pemberian siklofosfamid secara intravena dengan dosis awal 500-1000 mg/m2
tiap bulan diberikan selama 6 bulan. Lehman dan Onel (2000) memberikan
siklofosfamid intermiten dan meneruskan kortikosteroid dengan tappering pada
anak-anak penderita lupus. Cara pemberian ini ditujukan untuk mengurangi
toksisitas kortikosteroid. Siklofosfamid diberikan dengan intravena bolus setiap
bulan selama 6 bulan kemudian dilanjutkan setiap 3 bulan sampai total 36 bulan.
Siklofosfamid didahului hidrasi intravena 2L/m2/24 jam, selama 12 jam sebelum
infus siklofosfamid. Dosis terendah diberikan untuk anak-anak dengan
Icukopenia, trombositopenia atau kreatinin >2 g/dL. Dosis ditingkatkan 250
mg/m2 setiap bulan, sesuai toleransi.
Modulasi Biologi
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah digunakan secara terbatas pada LES dewasa
yang refrakter, namun pengguiiaannya pada anak belum pernah dilaporkan.
Penggunaan IVIG dapat menurunkan kadar antibodi anti'dsDNA. Plasmaferesis
merupakan pilihan lain dalam mengatasi pasien dengan kadar kompleks imun
yang beredar di sirkulasi dalam jumlah banyak dan tldak efektif terhadap
kortikosteroid atau siklofosfamid. Penggunaan antibodi monoklonal sebagai terapi
LES juga masih dikembangkan.
Prognosis
Akhir-akhir ini prognosis berbagai bentuk penyakit lupus telah mcmbaik dengan
angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat
langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertcnsi maligna,
kerusakan SSR perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian
tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini,
dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksidcn
vaskular serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma {kanker,
hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi
imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena
harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.
Lupus medikamentosa
Diagnosis ditentukan oleh kelainan klinis dan/atau laboratorium setelah
pemberian suatu macam obat yang cepat atau lambat akan menghilang bila obat
tersebut dihentikan; dan akan bangkit kembali pada pemberian ulang obat
tersebut. Gambaran klinis dan laboratorium pada saat munculnya kelainan (dari
beberapa hari sampai beberapa bulan) secara epidemiologis berbeda untuk setiap
obat penginduksi lupus.
Dari sudut klinis pada lupus medikamentosa sangat jarang terjadi kelainan
ginjal, anemia, leukopenia, atau gangguan saraf pusat. Pada pemeriksaan
Manifestasi klinis
Gejala klinis SLN tersering adalah erupsi kulit fotosensitif. Kelainan yang lebih
jarang ditemukan adalah blok jantung kongenital, defek struktur jantung, dan yang
lebih jarang lagi adalah gangguan hati dan saluran cerna.
Kelainan karakteristik SLN berupa eritema anulare yang muncul beberapa
jam sampai beberapa hari setelah lahir, tetapi dapat pula terlihat pada saat lahir.
Lesi bersifat multiple yang tersebar di seluruh tubuh termasuk kepala, muka,
telapak tangan dan kaki, sampai selaput mukosa. Kelainan ini akan menghilang
tanpa bekas. Beberapa lesi fotosensitif di daerah malar sering meninggalkan bekas
atrofi serta gangguan pigmen kulit yang memberi gambaran lupus diskoid.
Kelainan jantung yang ditemukan adalah blok jantung kongenital komplit,
kelainan struktur jantung seperti defek septum, atau transposisi arteri besar. Blok
jantung kongenital merupakan kelainan jantung tersering dan paling serins dengan
risiko kematian tinggi. Kelainan konduksi jantung tersebut berhubungan dcngan
antiRo yang terdapat juga pada berbagai penyakit autoimun lain seperti sindrom
Sjogren dan berbagai penyakit reumatik. Blok jantung kongenital terdapat pula
pada penyakit autoimun tersebut.
Pengobatan
Bayi yang lahir dari ibu LES memerlukan observasi scrta pcrawatan suportif
sesuai dengan kelainan yang timbul. Bila tidak disertai blok jantung kongenital
biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pemantauan terhadap kemungkinan blok
jantung in utero perlu dilakukan untuk dapat melakukan langkah yang tepat,
misalnya dengan persalinan darurat diikuti pemakaian alat pacu jantung. Gejala in
utero ditandai oleh bradikardi mendadak yang menimbulkan gangguan jantung
kongestif serta hidrops fetalis.
Prognosis
Sindrom lupus neonatus yang umumnya berupa kelainan kulit akan berangsur
menghilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan, biasanya jarang lebih dari
60 hari. Kematian umumnya terjadi karena blok jantung kongenital komplit.
Diperkirakan bahwa 1/3 dari bayi penderita blok jantung kongenital komplit
dilahirkan dari ibu penderita penyakit jaringan ikat, biasanya LES. Angka
kematian bayi dari ibu penderita LES pada masa perinatal adalah 3,6% sedangkan
pada masa neonatal adalah 1,2%. Beberapa penulis melaporkan tentang terjadinya
LES pada orang dewasa yang pernah menderita SLN .
Sumber Pustaka:
1. Lachman PJ, Peters SK, Rosen FS, Walport MJ. Clinical aspects of
immunology. Boston: Blackwell Scientific Publications, 1993.
2. Hayalett Jfi Hardin JA, pcnyunting. Advance in systemic lupus
erythematosus. New York: Grime & Stratton, 1983.
3. Petty RE, Laxer RM. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Cassidy JT,
Petty RE, Laxer RM, dkk, penyunting. Textbook of pediatrics
rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. hlm. 342-
83.
4. Lichtenstein LM, Fauci AS. Current therapy in allergy, immunology, and
rheumatology. Toronto: BC Decker; 1988.
5. Fye KH, Sack KE. Rheumatic diseases. Dalam: Stites DR Terr AI,
penyunting. Basic and clinical immunology. Edisi ke-7. Norwalk: Appleton
& Lange;1991. hlm. 438-63.
6. Soepriadi, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Garna H,
Nataprawira HMD, pcnyunting. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu
kesehatan anak. Edisi ke-3. Bandung: Bagian IKA FK Universitas
Padjadjaran, 2005. hlm. 133-42
7. Lamont D\V, Mai KL, Silber SH. Systemic lupus erythematosus. Diunduh
dari www.emedicine. com Diakses tanggal 14 Desember 2006.
8. Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children and
adolescents. Ped in Review 2006;27:323-9.
9. Petri M. Treatment of sytemic lupus erythematosus: an update. Am Earn
Physician 1998;57:11.
10. Epstein FH, Hahn BH. Antibodies to DNA. N EnglJ Med 1998;338:1359-
68.
Nama
Kesempatan ke-
I. ANAMNESIS
1 2 3 4 5
1 Sapa pasien dan keluarganya, perkenalkan diri,
jelaskan maksud anda
3 Urine rutin
IV. DIAGNOSIS
1 Bila ditemukan 4 dari 11 kriteria ARA (American
Rheumatism Association)
N Kriteria Definisi
o