Anda di halaman 1dari 44

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

MODUL: DEMAM

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

TINGKAT KEMAMPUAN SKDI 2006: 4

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


2011

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA


MODUL: LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)
Tujuan Pembelajaran Umum Tujuan Pembelajaran Khusus Metoda Sarana dan Prasarana
Mahasiswa diharapkan dapat: Mahasiswa diharapkan dapat : BST Nara sumber :
 Menjelaskan definisi,  Menjelaskan patomekanisme CRS dr. Dicky Santosa, Sp.A, MM, MKes
etiologi, diferensial LES CSS
diagnosis, patomekanisme  Melakukan anamnesis dan Sari Pustaka:
LES pemeriksaan fisis untuk 1. Petty RE, Laxer RM. Systemic lupus
 mengetahui menetapkan diagnosis erythematosus. Dalam: Cassidy JT, Petty RE,
penatalaksanaan dan  Melakukan interpretasi hasil Laxer RM, dkk, penyunting. Textbook of
pencegahan LES pemeriksaan penunjang untuk pediatrics rheumatology. Edisi ke-5.
diagnosis Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. hlm.
 Menetapkan diagnosis banding
342-83.
 Mengusulkan pemeriksaan
2. Soepriadi, Setiabudiawan B. Lupus
penunjang untuk menegakkan
diagnosis eritematosus sistemik. Dalam: Garna H,
 Mengetahui tatalaksana LES Nataprawira HMD, pcnyunting. Pedoman
 Mengetahui prognosis diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak.
Edisi ke-3. Bandung: Bagian IKA FK
Universitas Padjadjaran; 2005. hlm. 133-42

Ruangan :
 Ruang perawatan anak
 Poliklinik anak
 Instalasi gawat darurat

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 149


PANDUAN PRESEPTOR
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Pendahuluan
Penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit sistemik evolutif
yang mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah dan
sistem saraf, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat,
bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi, dan ditandai oleh adanya
autoantibodi, khususnya antibodi antinuklear. Manifestasi klinis LES sangat
bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan
sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis
disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi sistem imun, pembentukan
kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear,
dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya.

Definisi dan Klasifiksi


Penyakit LES merupakan suatu penyakit dengan diagnosis klinis dan ditunjang
oleh hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal. Karakteristik LES yang
utama antara lain :
1. LES merupakan penyakit episodik. Adanya riwayat gejala intermiten,
seperti artritis, pleuritis dan dermatitis, dapat mendahului selama beberapa
bulan atau tahun.
2. LES merupakan penyakit multisistem. Pada anak-anak biasanya tanda dan
gejala yang muncul melibatkan lebih dari satu macam organ.
3. LES ditandai dengan adanya antibodi antinuklear (khususnya terhadap
dsDNA) dan autoantibodi lainnya.
Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American
College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun
1997 (Tabel 1). Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut
mempunyai sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%. Meskipun sebagian besar
penderita LES mempunyai ANA, namun titer yang rendah atau moderat

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 150


mempunyai spesifisitas yang rendah. Sedangkan penderita yang mempunyai
antibodi terhadap dsDNA dan Sm hampir pasti juga mempunyai ANA.
Tabel 16. Kriteria LES

EPIDEMIOLOGI
Insidens LES pada anak secara keseluruban mengalami peningkatan, sekitar 15-
17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan mcnjelang
remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut
juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di
kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk berkulit putih.

Etiologi dan Patogenesis


Etiologi penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang
didapat dan faktor lingkungan. Hasil akhirnya adalah gangguan imunitas yang
ditandai oleh persistensi limfbsit B dan T yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi
yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 151


yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi
komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat
tersebut.

Faktor Genetik
Kerentanan terhadap penyakit SLE bersifat multifaktorial, dan faktor genetik yang
multipel mempunyai pergnan yang penting. Pada suatu studi didapatkan bahwa
prevalensi penyakit LES tinggi pada anak dengan orang tua atau saudara kandung
yang memiliki penyakit LES juga. Kembar monozigot juga mempunyai risiko
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kembar dizigot. Penyakit lupus disertai
oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti Clq,
Clr, Cls, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip
HLA (-DR2 dan -DR3).

Disregulasi Imun
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan
inter aktif.

Limfosit B
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan
peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang
memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi
sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang
proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA
dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh
hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor
lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi
antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi
autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8 + , natural killer cell dan
inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu
pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 152


respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap
peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik
terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang
ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat
spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul
aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun
juga disebabkan oleh pembersihan yang kurang optimal dari sistem
retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem
retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi
dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi,
pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun
yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan. oleh kompleks imun.

Autoantibodi
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering
dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap
DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer
antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitubersifat
sitotoksik dengan mengakttfkan komplemen, tetapi dapat juga dengan
mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai
reseptor Fc imunoglobulin. Contob klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan
karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya
antiprotrombinase, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi
antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat
berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun
bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 153


seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus
ternyata tak dapat ditularkan secara pasif melalui serum penderita lupus.

Kompleks Imun
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada :
1. Adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus
renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid).
2. Akivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia
selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen
dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen Clq dapat terikat langsung
pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade
komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit
dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor
terlibat dalam deposit kompleks imun pada LES, antara lain banyaknya antigen,
respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun
karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini
dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel.
Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di
daerab membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan
membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.

Limfosit T
Fasten dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+
yang mengaktivasi CD8+ (Tsupressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat
perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel TH0 ke sel TH2. Akibatnya sitokin
cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 154


Apoptosis
Autoantibodi yang terdapat pada LES ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi
pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan
apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis LES. Pada LES terjadi
peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel
apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar Clq yang rendah
mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada
sel T dan protein Fas pada CD8 + mengakibatkan peningkatan apoptosis dan
limfositopenia.

Hormon
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebahkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,
diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat
mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan
risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon
estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga
mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing
hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga
terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES juga
meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan
hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan
betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian
penderita jantan.

Faktor Lingkungan
Sinar matahari dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit dan radiasi ultraviolet B
mempunyai efek apoptosis. Tidak ada data yang menyebutkan hubungan virus
dengan LES. Peningkatan titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr,

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 155


sitomegalovirus dan herpes simpleks kemungkinan disebabkan oleh aktivasi sel B
poliklonal daripada akibat infeksi virus spesifik.
Beberapa obat berhubungan dengan induksi LES. Mungkin kelompok obat
ini mempunyai struktur antigen tertentu yang dapat mengganggu respons imun
pejamu. Bukan tidak mungkin bahwa obat tertentu (atau metabolitnya) dapat
bersikap sebagai mediator yang berinterferensi dengan mekanisme homeostasis
populasi limfosit. Penghentian obat tersebut biasanya berkaitan dengan
menghilangnya manifestasi klinis LES. Beberapa obat tersebut antara lain alfa
metildopa, klorpromazin, etosuksimid, hidralazin, isoniazid, minosiklin, fenitoin,
prokainamid dan trimetadion.

Manifestasi Klinis
Manifestasi LES bervariasi antara penyakit kronik dengan riwayat keluhan dan
gejala intermiten sampai pada fase akut yang fatal. Gejala konstitusional dapat
berupa demam yang menetap atau intermiten, kelelahan, penurunan berat badan
dan anoreksia. Satu sistem organ dapat terkena, meskipun penyakit multisistem
lebih khas.
Tabel 17. Tanda Klinis LES

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 156


Kelainan Kulit
Ruam merupakan gejala umum selama masa aktif penyakit. Ruam klasik
(butterfly rash) terjadi pada sepertiga sampai setengah anak-anak pada masa onset,
namun bukan gejala patognomonik. Ruam ini biasanya simetrik di kedua malar,
jembatan hidung, dahi namun tidak sampai lipatan nasolabial. Biasanya dapat
berupa eritema simpel, berbatas tegas dan agak meninggi atau berupa erupsi
makulopapular dengan skuamasi halus berwama kemerahan. Erupsi ini dapat pula
mengenai daerah cuping hidung dan pangkal hidung, sering juga disertai erupsi di
daerah leher atau bahu yang tcrbuka, periorbita, frontal, atau daerah telinga luar.
Ruam fotosensitif ini dapat dipresipitasi oleh paparan sinar matahari.
Eritema periungual dan livedo retukularis dapat terlihat pada pasien dengan
kulit pucat. Eritema periungual menunjukkan dilatasi pada kapiler kuku,
sedangkan livedo retikularis menunjukkan adanya fase aktif penyakit dan
berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid, biasanya terdapat di
ekstrimitas bawah. Ruam makulopapular sebagai manifestasi vaskulitis atau
perivaskulitis dapat terjadi khususnya pada area yang terpapar sinar matahari,
seperti muka dan dada depan sebelah atas. Petekia dan purpura juga dapat
menunjukkan adanya perivaskulitis akibat trombositopenia.
Lesi subakut dimulai dari papul yang berkembang menjadi lesi anular
dengan tepi yang meninggi. Lesi ini biasanya tersebar di muka dan ekstremitas,
dan dapat menjadi krusta, hiperpigmentasi dan atrofi.
Lesi diskoid jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi di kepala atau
ekstremitas dengan distribusi yang asimetris. Lesi ini predominan pada perjalanan
penyakit lupus kronik. Lesi berupa lesi makulopapular dengan batas tegas, tepi
meninggi, bersifat fotosensitif, dan menyembuh menjadi atrofi, luka parut atau
perubahan pigmentasi. Apabila terjadi di kepala, berhubungan dengan alopesia
lokal. Lupus diskoid lebih banyak terjadi pada anak-anak kulit hitam.

Kelainan Mukosa
Mukosa oral merupakan tempat tersering terjadinya ulserasi pada anak dengan
LES. Lesi klasik biasanya tidak nyeri, dalam, berupa ulkus kasar pada palatum

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 157


durum. Biasanya juga disertai eritema pada palatum durum. Dapat pula terjadi
ulserasi dan perforasi di septum nasi.

Kelainan Muskoskeletal
Artralgia dan artritis terjadi pada sebagian besar anak dengan LES. Artritis
biasanya melibatkan sendi kecil di tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut
dan pergelangan kaki. Durasi serangan artritis biasanya pendek, berlangsung
selama beberapa hari, meskipun dapat menjadi persisten dan berpindah-pindah.
Pada beberapa anak, artritis bersifat persisten ditandai dengan bengkak, nyeri dan
berkurangnya gerakan. Artritis pada tangan sebelah dorsal dan pergelangan tangan
biasanya juga disertai tenosinovitis. Dapat pula berupa radang akut poliartritis
bilateral simetris atau oligoartritis, atau subakut dengan pembengkakan
periartikular dan kckakuan, atau bentuk kronik yang jarang destruktif seperti pada
poliartritis rheumatoid, tetapi sebaliknya deformitas tangan secara klinis sangat
mirip dengan jari reumatoid.
Mialgia dan kelemahan otot merupakan karakteristik pada fase akut.
Miositis dikaitkan dengan vaskulitis sistemik dan keterlibatan visera.
Ostconekrosis aseptik dengan lokalisasi tersering di daerah temporal dan dapat
menimbulkan kecacatan terdapat pada penderita lupus yang sedang diobati dengan
kortikosteroid, tetapi dapat pula timbul di luar masa pengobatan, mungkin
berhubungan dengan proses vaskulitis.

Lupus Nefritis
Lupus nefritis merupakan penentu utama dalam prognosis jangka panjang.
Nefritis tersebut lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Lupus
nefritis biasanya asimtomatik, meskipun pada beberapa anak terdapat hematuria
makroskopik atau edema yang berkaitan dengan sindrom nefrotik. Cameron dkk
melaporkan bahwa sebagian besar gejala awal berupa hematuria mikroskopik,
proteinuria, penurunan filtrasi glomerular dan hipertensi.
Penyakit ginjal yang nyata biasanya baru muncul 2 tahun setelah onset.
Bukti histologi biasanya mendahului kelainan sedimen urin, sehingga diperlukan
pemeriksaan rutin fungsi ginjal. Tabel 3 menunjukkan klasifikasi kelainan ginjal

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 158


penyakit lupus menurut WHO. Untuk kepentingan pengobatan agresif maka pada
kelainan histologis dengan prognosis buruk perlu dilakukan biopsi ginjal
Tabel 18. Klasifikasi LES Berdasarkan Kelainan Histologis

Lupus nefritis mesangial


Biasanya asimtomatik, atau hanya terdapat proteinuria atau hematuria transien
ringan, dan telah disimpulkan bahwa sebagian besar prognosisnya baik walaupun
dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih berat. Dapat ditemukan titer
antiDNA yang meningkat dan komplemen sedikit mcnurun.

Glomerulitis Proliferatif Fokal


Ditandai oleh endapan granular IgG dan C3 sepanjang sisi luar membrana basalis.
Secara klinis terdapat proteinuria ringan dengan hematuria mikroskopik, sangat
jarang terjadi sindrom nefrotik, dan tidak atau jarang terjadi gagal ginjal atau
hipertensi. Biasanya anak datang mencari pertolongan dengan penyakit akut
ekstrarenal.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 159


Titer antiDNA meningkat dan aktivitas hemolitik komplemen menurun atau tidak
ada. Seperti halnya pada bentuk mesangial maka dapat terjadi perubahan menjadi
bentuk yang lebih berat. Pada tahap ini pemberian terapi glukokortikoid
memberikan hasil yang baik..

Glomerulonefritis Proliferatif Difus


Merupakan bentuk nefropati lupus tersering dan berat yang ditandai oleh
proliferasi endokapiler dan endapan subendotel. Pemeriksaan imunofluoresensi
biasanya menunjukkan deposit IgG dan komplemen (Clq, C3, C4) sepanjang
dinding kapiler dan mesangium. Secara klinis merupakan glomerulopati laten
yang muncul sebagai proteinuria sedang atau berat, dengan atau tanpa sindrom
nefrotik, dan hampir selalu terdapat hematuria serta gagal ginjal.
Antibodi antiDNA sangat tinggi dan titer komplemen sangat rendah atau
bahkan tak terdeteksi. Bila terdapat sindrom nefrotik maka antiDNA atau ANA
dapat saja negatif karena kehilangan IgG masif melalui urin.
Dengan pengobatan (kortikosteroid dan/atau imunosupresan) maka lesi aktif
menurut kriteria histologik dapat berkurang. Bila tidak diobati, atau terlambat
diobati, akan terjadi evolusi ke arah gagal ginjal dengan hipertensi arterial.

Glomerulonefritis Membranosa
Lesi karakteristik pada kelainan ini adalah endapan kompleks imun sepanjang
subepitel membrana basalis. Dapat terlihat endapan granular IgG dan komplemen
sepanjang membrana basalis yang biasanya lebih halus dan kecil dibandingkan
dengan gambaran pada glomerulonefritis difus.
Secara klinis selalu terdapat proteinuria dan sindrom nefrotik yang sering
disertai hematuria. Bila tidak terdapat pada awal pengamatan maka sindrom
nefrotik akan segera terdeteksi pada perjalanan penyakit selanjutnya. Hipertensi
terdapat pada 30% kasus.
Temuan serologik biasanya tidak begitu mencolok seperti pada
glomerulonefritis proliferatif difus, terutama bila tidak terdapat gangguan sistemik
ekstrarenal pada saat itu.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 160


Walaupun pada evolusi penyakit dapat terjadi perubahan gambaran
histologis ginjal dari satu bentuk ke bentuk lainnya (terutama antara glomerulitis
fokal dengan glomerulonefritis proliferatif difus), lupus nefritis cenderung
menunjukkan gambaran histologis definitif. Sampai saat ini belum ada kriteria
klinis atau laboratorium yang dapat menunjukkan dugaan bentuk lupus nefropati,
lagipula kelainan histologis tersebut dapat berlangsung laten. Karena itu
kebanyakan pakar menganjurkan biopsi ginjal secara rutin, terutama bila timbul
perburukan laboratorium (penurunan kadar komplemen, kenaikan titer anti-
dsDNA, peningkatan kadar krioglobulin).

Kelainan Sistem Saraf Pusat


Kelainan sistem saraf pusat (SSP) menjadi penyebab utama morbidiras dan
mortalitas pada 20-95% anak. Selain faktor vaskulopati (yang menimbulkan
dugaan pengaruh faktor autoantibodi atau vaskulitis kompleks imun), berbagai
mekanisme lain dapat pula berpengaruh, yaitu perdarahan akibat hipertensi
arterial atau trombositopenia, efek toksik kortikosteroid, dan komplikasi sepsis.
Secara umum, kelainan neuropsikiatrik yang dapat muncul berupa dcpresi,
kesulitan berkonscntrasi atau mengingat dan psikosis (termasuk halusinasi dan
paranoid). Kerusakan kognitif jarang tcrjadi pada anak dengan LES pada fase
akut. Sakit kepala merupakan keluhan yang sering terjadi, meskipun hubungannya
dengan lupus SSP masih sulit ditentukan. Sedangkan kejang merupakan gejala
awal pada lupus SSP Biasanya bersifat tonik klonik. Manifestasi sentral lainnya
dapat berupa gangguan atau defisit motorik, dan sindrom ekstrapiramidal yang
biasanya timbul pada masa awal munculnya penyakit.

Kelainan Kardiovaskular
Perikarditis merupakan manifestasi yang sering terjadi pada 30% anak dengan
LES akut. Dapat ditandai dengan nyeri prekordial yang dieksaserbasi oleh
berbaring atau nafas dalam, dan mereda dengan bangun duduk dan condong ke
depan. Kelainan ini jarang disertai oleh kardiomegali atau friction rub.
Miokarditis terjadi pada 15% anak. Manifestasi klinis sangat bervariasi,
dapat berupa hipertrofi miokardium, pembesaran ventrikel kiri, atau gangguan

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 161


hantaran ritme. Adanya takikardi tanpa demam menunjukkan kemungkinan
miokarditis.
Penyakit koroner dapat terjadi pada anak dengan usia yang lebih tua atau
dengan masa sakit yang lebih lama. Beberapa faktor berperan dalam pembentukan
aterom pada lupus, antara lain penggunaan jangka panjang steroid, peningkatan
lipid plasma, stres oksidatif sekunder sebagai efek dari autoantibodi terhadap
lipoprotein dan peningkatan homosistein.
Lesi klasik LES pada jantung berupa endokarditis Libmaiv Sacks jarang
terjadi pada anak. Lesi ini ditandai dengan nodul fibrinoid pada jaringan kolagen
di katup jantung. Katup yang sering terkena yaitu katup mitral. Bunyi bising
jantung tidak selalu ditemukan, kadang-kadang disertai pula infeksi tambahan
selain endokarditis. Perubahan katup yang sering terjadi berupa penebalan,
vegetasi, regurgitasi dan stenosis.
Vaskulitis pada LES terjadi di pembuluh darah kecil, seperti arteriol dan
venul. Krisis lupus merupakan fase akut vaskulitis yang berkembang mendadak,
fatal dan mempunyai efek sistemik. Fenomena Raynaud pada anak ditandai
dengan perubahan warna pada ekstremitas distal, yang berawal dari jari distal
yang menjadi pucat, biasanya karena paparan dingin atau emosi. Fase iskemia
tersebut diikuti dengan sianosis yang disebabkan oleh anoksia dan desaturasi.
Fenomena Raynaud pada LES tidak hanya bagian dari vasospastik, namun juga
meriunjukkan adanya penyakit struktur vaskular. Kulit jari dapat menjadi acrofi
dan berkilat (sklerodaktili). Hipertensi arterial dapat terjadi dengan faktor
penyebab multipel, dapat sekunder karena kortikoterapi atau gagal ginjal, selain
dapat dihubungkan dengan lesi vaskular seperti ateroma arteri renalis atau
vaskulitis renalis.

Kelainan Paru
Pleuropulmonal klinis atau subklinis sering terjadi pada anak dengan LES,
ditandai dengan efusi pleura dan pleuritis, pneumonitis akut dan kronik serta
perdarahan pulmonal. Efusi pleura terjadi karena pleura mengalami inflamasi atau
sekunder oleh sindrom nefrotik. Efusi pleura noninflamasi biasanya asimtomatik.
Cairan pleura bersifat eksudat dengan kadar komplemen sangat rendah sehingga

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 162


diduga bahwa mekanisme penyebabnya adalah kompleks imun, ditambah lagi
dengan bukti adanya endapan IgG dan komplemen pada pemeriksaan
imunofluoresensi.
Pleuritis biasanya menyebabkan nyeri dada pleuritik unilateral atau bilateral
yang dicetuskan oleh nafas dalam. Volume efusi biasanya kecil, bila banyak
membutuhkan tindakan parasentesis. Pneumonitis akut terdiri dari infiltrat
pulmonal dan atelektasis. Gejala klinis menyerupai perdarahan pulmonal.
Perdarahan pulmonal ditandai dengan takikardi dan hemoptisis.

Kelainan Hematologi
Anemia sangat sering terjadi dengan berbagai penyebab. Biasanya gambaran
darah tepi terlihat normokrom normositik, dengan kapasitas pengikatan zat besi
rendah.
Leukopenia merupakan petanda penting untuk LES akut, biasanya dengan
predominasi neutrofil. Sering ditemukan antibodi antilimfosit atau antigranulosit
yang mungkin timbul akibat gangguan imunologik pada jalur granulosit di
sumsum tulang.
Trombositopenia dapat sangat berbahaya karena menyebabkan komplikasi
perdarahan berat yang memerlukan pengobatan segera (kortikosteroid atau
gamaglobulin). Kadangkala timbul masalah diagnosis tentang penyebab
trombositopenia perifer (terlihat mcgakariosit dalam sumsum tulang) terutama
apakah cliakibatkan sel virus (Mononucleous infectiosa, cytomegalovirus, HIV)
dan purpura trombositopenia idiopatik. Kombinasi anemia hemolitik dan purpura
trombositopenia idiopatik dapat terjadi pada LES, sedangkan purpura
trombositopenia trombositik menunjukkan kemungkinan adanya LES. Pada
purpura ini, selain terjadi anemia dan purpura, terjadi pula gejala demam,
gangguan SSP dan nefritis. Trombositopenia juga dapat disertai dengan
leukopenia.
Gangguan hemostasis akibat antikoagulan dalam sirkulasi perlu dipikirkan
bila masa pembekuan memanjang. Yang tersering terjadi adalah aktivitas
antiprotrombinase yang secara paradoksal membawa risiko berat bagi terjadinya
trombosis. Karena terdapat kemiripan struktur antigenik antara protrombinase

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 163


dengan kardiolipin maka pemeriksaan serologi sifilis sering memberikan hasil
positif palsu.

Kelainan Mata
Adanya vaskulitis retina ditandai dengan bercak kapas (cotton-wool spots) atau
badan sitoid. Bercak tersebut terletak di para-arteriolar di polus posterior retina.
Adanya bercak tersebut menunjukkan adanya LES pada pasien tanpa penyakit
sistemik lainnya, seperti hipertensi, diabetes atau anemia, yang dapat
menyebabkan lesi eksudat yang sama. Manifestasi okular lainnya dapat berupa
edema subretina, perdarahan, oklusi vena sentralis retina dan episkleritis. Sindrom
Sjogren merupakan komplikasi yang jarang pada anak dengan LES, ditandai
dengan rasa kering di mata, injeksi konjungtiva dan fotofobia.

Kelainan Gastrointestinal
Kelainan gastrointestinal jarang yang bcrhubungan langsung dengan LES, namun
beberapa pengobatan dapat memberikan efek samping berupa nyeri abdominal.
Gangguan pencernaan umumnya akibat vaskulitis dan merupakan komplikasi
yang berbahaya, misalnya perdarahan intestinal, pankreatitis, perforasi usus, atau
ulserasi hemoragis. Pankreatitis terjadi pada beberapa anak, dengan gejala nyeri
abdominal, mual dan muntah. Adanya kenaikan lipase serum dan amilase
menunjang diagnosis. Hepatomegali dapat terjadi pada dua pertiga anak dengan
LES, namun masih derajat ringan. Splenomegali dengan derajat sedang juga dapat
terjadi pada LES. Infark limpa dan perisplenitis menyebabkan nyeri kuadran kiri
atas.

Kelainan Gineko-Obstetrik
Timbulnya penyakit lupus sering disertai dengan amenore. Selain itu sering
terdapat riwayat arbortus berulang sebelum timbulnya lupus, dan sering pula
disertai purpura trombositopenik, yang patogenesisnya ditandai oleh peranan
vaskulitis pada plasenta dan antibodi antilimfosit.
Kehamilan pada penderita lupus selalu membawa risiko besar karena selain
risiko fetal dan perinatal, kehamilan sendiri dapat memacu timbulnya manifestasi

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 164


lupus, terutama bila penyakit ini tidak dikontrol dengan baik. Karena itu perlu
sekali diperhatikan beberapa keadaan berikut ini, yaitu 1) kehamilan di luar masa
remisi harus dihindarkan sehingga perlu memakai alat kontrasepsi, tetapi tidak
boleh memakai IUD (risiko infeksi) atau pil estrogcn (risiko trombosis), 2) setiap
kehamilan merupakan indikasi untuk pemeriksaan histologi biopsi ginjal, 3)
selama trimester ketiga kehamilan harus diberikan perngobatan kortikosteroid,
atau dosisnya dinalkkan bila sedang diobati.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan indikator inflamasi, uji
autoantibodi (khususnya ditujukan pada antigen nuklear), pemeriksaan untuk
evaluasi keterlibatan organ dan pemeriksaan untuk memantau efek terapi,
termasuk toksisitas obat.

Indikator inflamasi
Fase akut akan menunjukkan peningkatan indikator inflamasi, seperti laju endap
darah, hipergamaglobulinemia poliklonal dan alfa 2-globulin serum. Sedangkan
C-reactive protein biasanya masih dalam batas normal, namun dapat meningkat
bila LES disertai dengan infeksi sistemik atau pada serositis dan artritis.

Hematologi
Anemia ringan sampai sedang terjadi pada sebagian besar anak dengan LES, dan
biasanya sesuai dengan tipe pcnyakit kronik (normositik, hipokrom), disertai
dengan penurunan serum besi dan kapasitas ikat besi (iron-binding capacity). Pada
pasien lain dapat ditemukan hemolisis autoimun yang disebabkan oleh ikatan
antibodi IgG dan komplemen pada eritrosit, hal tersebut diperiksan melalui uji
Coombs. Anemia hemolitik jarang menjadi berat dan fatal. Apabila berat pun,
penurunan kadar hemoglobin biasanya tidak terlalu berat.
Meskipun leukositosis dapat terjadi, namun limfositopenia (kurang dari
1500 sel/ mm3) dan neutropenia lebih sering ditemukan, dan berhubungan dengan
trombositopenia. Beberapa anak menunjukkan adanya purpura trombositopenia,
biasanya berkaitan dengan splenomegali. Pemeriksaan sumsum tulang

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 165


menunjukkan peningkatan megakariosit. Pasien dengan purpura trombositopenia
dan anemia hemolitik (sindrom Evans) dapat berkembang menjadi LES atau
purpura trombositopenia trombositik.
Antikoagulan lupus menunjukkan adanya pemanjanganwaktuaPTT dan
protrombin. Fenomena ini disebabkan oleh efek antibodi yang mengikat beta-2-
glikoprotein I dan protrombin, sehingga mempengaruhi interaksi kompleks
protrombin aktivator (faktor Xa dan Y kalsium dan fosfoHpid} dan mencegah
konversi protrombin menjadi trombin oleh tromboplastin.
Sebagian besar pasien dengan antikoagulan lupus juga mempunyai antibodi
terhadap kardiolipin. Antibodi antifosfolipin ini tidak hanya terdapat pada LES,
namun juga pada neoplasma, infeksi, inflamasi dan penyakit autoimun.

Antibodi Antinuklear
Antibodi antinuklear (ANA) terdapat pada sebagian besar serum anak dengan
LES aktif (Tabel 4). Namun, penentuan titer ANA sendiri tidak cukup untuk
diagnosis LES atau memantau perkembangan penyakit. Antibodi antinuklear
diketahui dengan pemeriksaan imunofluoresensi indirek pada seluruh inti sel.

Tabel 19. Antibodi dalam LES

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 166


Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap dsDNA merupakan kriteria patognomonik pada LES, terjadi
pada hampir semua anak dengan LES aktif, dan menunjukkan titer yang tinggi
saat nefritis aktif. Mekanisme kerja antibodi ini melalui pembentukan kompleks
imun dengan komplemen dan mengendap di jaringan. Antibodi ini dapat diukur
melalui radioimmunoassay yang menggunakan dsDNA yang diberi label
radioaktif, mikroskop fluoresens yang menggunakan protozoa Grithidia luciliae,
atau melalui ELISA. Untuk kepentingan diagnosis, pemeriksaan dengan
menggunakan protozoa lebih dipilih, sedangkan untuk memantau kadar antibodi
dsDNA selama masa terapi, lebih digunakan radioimmunoassay atau ELISA.
Peningkatan kadar antibodi ini menunjukkan adanya perkembangan penyakit
ginjal, terutama bila disertai dengan penurunan kadar komplemen.

Antibodi terhadap Antigen Nuklear


Antibodi yang termasuk golongan ini adalah antibodi anti Sm, Ro/SS-A dan
La/SS-B. Antibodi tersebut berkaitan erat dengan LES. Antibodi anti Ro/SS'A
bekerja dengan mengganggu translasi RNA atau transport, dan berkaitan juga
dengan penyakit ginjal. Pasien dengan antibodi anti Ro dapat menunjukkan basil
yang negatif pada pemeriksaan ANA. Antibodi anti La/SS-B bekerja dengan
mengganggu kerja enzim RNA polimerase III, dan biasanya juga mempunyai
hasil positif pada pemeriksaan antibodi anti Ro. Sedangkan antibodi anti Sm
bekerja pada sintesis RNA dan pemisahan (messenger RNA synthesis and
splicing).

Antibodi antihiston
Antibodi terhadap his ton terdapat pada sebagian besar anak dengan LES,
meskipun
juga banyak terdapat pada LES yang diinduksi oleh obat. Antibodi ini bekerja
dengan mempengaruhi sintesis RNA. Adanya antibodi ini disertai dengan hasil
negatif pemeriksaan antibodi anti dsDNA menunjukkan adanya LES yang
diinduksi oleh obat.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 167


Antibodi antifosfolipid
Antifosfolipid bertanggung jawab terhadap berbagai gangguan klinis dan
laboratorium penderita LES, misalnya trombosis arteri dan vena berulang, koma,
trombositopenia, livedo retikular, dan hipertensi labil. Antifosfolipid tidak
terdapat hanya pada penderita LES tetapi ditemukan pula pada berbagai
neoplasma, infeksi, inflamasi, dan penyakit autoimun. Secara biologis
antifosfolipid dapat membuat reaksi positif palsu pada uji sifilis VDRL.

Kompleks Imun
Pemeriksaan kompleks imun hanya berpengaruh sedikit pada pencgakan diagnosis
LES, meskipun kompleks imun merupakan dasar patogenesis LES.
Krioglobulinemia pada penyakit lupus merupakan campuran dari IgM, IgG, dan
terkadang IgA poliklonal. Krioglobulin mcrupakan petanda adanya kompleks
imun dalam serum dan sering disertai antiDNA serta penurunan kadar
komplemen. Adanya krioglobulin sering menyertai gangguan viseral dengan
vaskulitis.

Komplemen
Penentuan kadar komplemen serum penting dalam penegakan diagnosis LES
aktif. Selama masa aktif penyakit lupus maka fraksi komplemen akan terpakai,
terutama bila disertai gangguan ginjal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan komponen C3.C4 atau komplemen hemolitik total (CH50).
Komponen CH50 menunjukkan integritas kaskade komplemen total. Konsentrasi
C3 lebih sering menurun dibandingkan CH50 atau C4- Penurunan C4 konsisten
dan menjadi indikator yang penting pada nefritis lupus aktif, apabila kadar dasar
diketahui dan anak memang tidak mempunyai defisiensi C4.

Urinalisis dan Evaluasi Keterlibatan Ginjal


Anak-anak dengan lupus nefritis aktif biasanya mempunyai abnormalitas dalam
sedimen urin yang menandakan adanya keterlibatan ginjal. Proteinuria merupakan
temuan abnormal yang paling sering, namun hematuria dan silinder sel darah
merah merupakan temuan khas terhadap adanya glomerulitis aktif. Pada penyakit

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 168


ginjal yang berat dapat ditemukan sedimen berupa silinder lemak (fatty casts)
ataupun badan lemak (fat bodies) pada sindrom nefrotik. Proteinuria masif dengan
berat jenis 1010 menandakan lupus nefristis yang kronik. Abnormalitas lainnya
dapat berupa asidosis tubular renal. Adanya kadar anti-dsDNA yang tinggi, kadar
komplemen yang rendah, khususnya C4 dan abnormalitas urinalisis sangat
menunjang adanya nefritis lupus yang aktif. Evaluasi keterlibatan ginjal dalam
SLE memerlukan beberapa pemeriksaan laboratorium.
Tabel 20. Pemeriksaan Laboratorium untuk Mengevaluasi Keterlibatan
Ginjal

Analisis Cairan Inflamasi


Cairan sinovial pada LES biasanya mengalami inflamasi dengan kadar sel darah
putih yang rendah (kurang dari 2000 sel/mm'). Kandungan protein bervariasi
antara transudatif sampai eksudatif. Kadar komplemen di cairan sinovial juga
rendah. Cairan pleura dapat mengandung protein yang meningkat (lebih dari 3
g/dl}, sel darah putih yang meningkat (2500-5000 sel/ mm3) dengan dominasi sel
mononuklear, dan penurunan kadar C3 dan C4 •

Anjuran Pemeriksaan Laboratorium


Berdasarkan deskripsi klinis dan laboratorium maka dapat dibuat suatu daftar
rekapitulasi untuk pemeriksaan penyakit lupus.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 169


Tabel 21. Anjuran Pemeriksaan Laboratorium LES

Diagnosis
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang
paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology
(ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria
ACR tersebut.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 170


Tabel 22. Kriteria Diagnosis LES

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 171


Pengobatan
Penatalaksanaan Umum
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps.
Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak
penting dalam merencanakan program tcrapi yang akan dilakukan. Edukasi dan
konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit
multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak,
perawat, petugas sosial dan psikologis. Ahli ginjal perlu dilibatkan pada awal
penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian
pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga dipetlukan. Perpindahan terapi
ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.
Perlu pula diperhatikan mengenai diet seimbang dengan masukan kalori
yang sesuai. Dengan adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat
glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan "junk food" atau makanan

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 172


mengandung tinggi sodium untuk mcnghindari kenaikan berat badan berlebih.
Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada anak
jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB. Pencegahan
infcksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat pada
anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis harus dihindari dan
hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita
lupus, yaitu 1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama
infeksi bakterial, 2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai
leukositosis (leukosit > 10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi, 3)
gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai infeksi
bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan 4) setiap kelainan urin
harus dipikirkan dulu kemungkinan pie lone fritis.
Berikut merupakan pendekatan tatalaksana yang dapat dilakukan pada lupus
eritematosus sistemik.
Tabel 23. Tatalaksana LES

Aspek Farmakologi Terapi


Terapi spesifik LES bersifat individual dan berdasar pada tingkat keparahan
penyakit.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 173


Obat antiinflamasi non-steroid (GAINS)
Peran utama GAINS dalam LES adalah mengatasi keluhan muskoskeletal, seperti
mialgia, artralgia atau artritis. Salisilat cenderung menimbulkan peningkatan
kadar transaminase serum maka fungsi hati hams dipantau secara tcratur. Salisilat
merupakan indikasi kontra untuk trombositopenia dan gangguan hemostasis.

Hidroksiklorokuin
Hidroksiklorokuin sering digunakan sebagai terapi tambahan bersama dengan
glukokortikoid atau untuk pengobatan lupus diskoid. Pada suatu studi obat ini
dapat mengurangi frekuensi dan keparahan episode LES (flares) dibandingkan
plasebo. Hidroksiklorokuin juga dapat membuat perubahan lipid plasma yang
diinduksi oleh glukokortikoid. Dengan adanya efek samping berupa toksisitas
retina, maka pada penggunaan obat ini kesehatan mata harus dipantau.

Gambar 6. Skema Tatalaksana LES

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 174


Glukokortikoid
Glukokortikoid merupakan terapi farmakologi utama dan sebagian besar anak
memerlukan prednison oral atau prednisolon atau metilprednisolon intravena pada
fase tertentu di LES. Penggunaan obat ini meliputi terapi inisial, tapering off dan
pemeliharaan. Dosis dan frekuensi terapi inisial bergantung pada keparahan
penyakit dan sistem organ yang terkena. Pemakaian jangka lama hams diimbangi
dengan pemantauan komplikasi yang dapat timbul akibat terapi. Dosis rendah
cukup untuk mengatasi demam, dermatitis, artritis dan serositis, sedangkan dosis
tinggi dapat mengatasi anemia hemolitik akut, gangguan SSP, penyakit paru dan
lupus nefritis.
Setelah mengatasi manifestasi akut, dosis glukokortikoid harus diturunkan
secara perlahan disertai pemantauan klinis dan laboratorium. Penilaian adekuasi
terapi berdasar pada respon klinis, pemeriksaan sel darah putih, trombosit,
hemoglobin, komplemen serum, kadar antibodi anti-dsDNA dan urinalisis.
Penggunaan terapi tambahan seperti obat sitotoksik berdasarkan pada respon
terhadap obat steroid, ketergantungan steroid dan toksisitas steroid.
Preparat kortikosteroid dipilih berdasarkan potensi dan waktu paruh yang
disesuaikan dengan kondisi penderita. Pada prinsipnya dipilih jenis obat yang
mempunyai efek antiinflamasi kuat dan waktu paruh sependek mungkin, dengan
efek samping (retensi cairan dan elektrolit, hipertensi) sesedikit mungkin, dalam
dosis minimum, dan mudah dipergunakan.
Obat yang paling memenuhi kriteria di atas adalah prednisolon, dengan
altenatif prednison atau metilprednisolon tergantung dari efek apa yang
diinginkan untuk penderita. Obat dengan waktu paruh pendek lebih efektif bila
diberikan dalam dosis terbagi, dan bila waktu paruhnya panjang lebih baik
diberikan dalam dosis tunggal.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 175


Tabel 24. Terapi LES

Agen imunosupresif
Agen imunosupresif sering diperlukan untuk mengontrol LES dan memperbaiki
kualitas hidup. Pada suatu studi, penggunaan imunosupresif bersama dengan
prednison memberikan hasil yang lebih baik. Azatioprin merupakan agen lini
kedua yang sering digunakan. Peran azatioprin kemungkinan dalam
penatalaksanaan penyakit yang resisten atau tergantung dengan steroid dengan
atau tanpa nefritis kelas III atau IV
Siklofosfamid sering digunakan pada LES yang berat, khususnya lupus
nefritis, penyakit berat dan gangguan SSP Kombinasi dengan prednison oral juga
efektif dalam mencegah penyakit berkembang dan menjaga fungsi ginjal.
Pemberian siklofosfamid secara intravena dengan dosis awal 500-1000 mg/m2
tiap bulan diberikan selama 6 bulan. Lehman dan Onel (2000) memberikan
siklofosfamid intermiten dan meneruskan kortikosteroid dengan tappering pada
anak-anak penderita lupus. Cara pemberian ini ditujukan untuk mengurangi
toksisitas kortikosteroid. Siklofosfamid diberikan dengan intravena bolus setiap
bulan selama 6 bulan kemudian dilanjutkan setiap 3 bulan sampai total 36 bulan.
Siklofosfamid didahului hidrasi intravena 2L/m2/24 jam, selama 12 jam sebelum
infus siklofosfamid. Dosis terendah diberikan untuk anak-anak dengan
Icukopenia, trombositopenia atau kreatinin >2 g/dL. Dosis ditingkatkan 250
mg/m2 setiap bulan, sesuai toleransi.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 176


Penggunaan metroteksat pada anak dengan LES masih terbatas, obat ini
dianggap bermanfaat dalam mengatasi artritis yang resisten, lupus yang disertai
fenomena Raynaud dan kelainan kulit yang timbul. Sedangkan siklosporin
mempunyai efek yang sama dengan kombinasi prednison dengan siklofosfamid
dalam mengurangi proteinuria, namun obat ini bersifat nefrotoksik sehingga
evaluasi terapi menjadi sulit.

Modulasi Biologi
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah digunakan secara terbatas pada LES dewasa
yang refrakter, namun pengguiiaannya pada anak belum pernah dilaporkan.
Penggunaan IVIG dapat menurunkan kadar antibodi anti'dsDNA. Plasmaferesis
merupakan pilihan lain dalam mengatasi pasien dengan kadar kompleks imun
yang beredar di sirkulasi dalam jumlah banyak dan tldak efektif terhadap
kortikosteroid atau siklofosfamid. Penggunaan antibodi monoklonal sebagai terapi
LES juga masih dikembangkan.

Evolusi dan Prognosis


Evolusi
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi
oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley,
bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan
baru yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan
bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan
kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus
di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa
jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk siklus aromatik
(penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta
kehamilan. Penilaian aktivitas penyakit dinilai berdasarkan sistem skor (Tabel 10
dan 11).
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah
bervariasi dari bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 177


viseral. Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di
bawah pengobatan.
Skor SLEDAI kemudian dihitung setiap pemantauan waktu tertentu atau,
umumnya diambil 3 dan 6 bulan, atau ketika ada perubahan aktivitas penyakit.
Dengan melihat skor SLEDAI dan digabung dengan kondisi klinis lain,
pengobatan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi terakhir.
Tabel 25. Kriteria LES Berdasarkan Perubahan Nilai SLEDAI dan Kondisi
Klinis Lainnya

Prognosis
Akhir-akhir ini prognosis berbagai bentuk penyakit lupus telah mcmbaik dengan
angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat
langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertcnsi maligna,
kerusakan SSR perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian
tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini,
dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksidcn
vaskular serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma {kanker,
hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi
imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena
harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 178


Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan
hanya akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit
lupusnya sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan
pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Jadi secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak
kejadian kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak
terkontrol, dan satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.

Beberapa Bentuk Lupus Tersendiri


Lupus diskoid kronik
Lupus diskoid dibedakan dengan lupus eritematosus sistemik dari riwayat evolusi
yang menetap sebagai kelainan kulit. Lesi kulit kronik ini identik dengan kelainan
kulit pada penyakit lupus sistemik. Kritcria lain dari kedua keadaan ini, misalnya
secara histologi atau epidemiologi sangat mirip, dan kedua bentuk lupus dapat
ditemukan dalam satu keluarga. Sebaliknya pemeriksaan imunofluoresensi kulit
yang tidak mengalami ganguan pada penderita lupus diskoid selalu negatif,
sedangkan ANA serta antiDNA tidak konstan atau positif lemah.
Pada beberapa pengamatan tentang lupus diskoid kronik yang menjadi bentuk
sistemik pada akhrr evolusinya (lambat atau cepat) menimbulkan dugaan bahwa
kedua bentuk yang molekulnya berbeda ini sebetulnya mempunyai kelainan dasar
yang sama.

Lupus medikamentosa
Diagnosis ditentukan oleh kelainan klinis dan/atau laboratorium setelah
pemberian suatu macam obat yang cepat atau lambat akan menghilang bila obat
tersebut dihentikan; dan akan bangkit kembali pada pemberian ulang obat
tersebut. Gambaran klinis dan laboratorium pada saat munculnya kelainan (dari
beberapa hari sampai beberapa bulan) secara epidemiologis berbeda untuk setiap
obat penginduksi lupus.
Dari sudut klinis pada lupus medikamentosa sangat jarang terjadi kelainan
ginjal, anemia, leukopenia, atau gangguan saraf pusat. Pada pemeriksaan

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 179


laboratorium antiDNA dan antiSm sangat jarang terdapat, sedangkan antihiston
merupakan kekhususan lupus mcdikamentosa. Beberapa jenis obat yang dapat
menginduksi lupus antara lain adalah hidralazin, prokainamid, praktolol, D-
penisilamin, isoruazid, etosuksimid, difenilhidantoin, tiourasil, dan klorpromazin.

Sindrom lupus neonatus


Bayi lahir dari ibu penderita LES dapat memperlihatkan manifestasi lupus pada
periode neonatal, yang lebih sering terjadi pada bayi perempuan daripada lelaki.
Sebagian besar gejala klinis sindrom lupus neonatus (SLN} berupa kelainan kulit
yang bersifat transien, serta kelainan hematologik (sitopenia).

Pengaruh kehamilan dengan LES terhadap fetus


Pada kehamilan. dengan. LES tcrdapat kcccndcrungan timbul berbagai gangguan
seperti abortus spontan, lahir mati, atau prematuritas. Angka abortus bahkan
sudah terlihat lebih tinggi sebelum timbul gejala LES, dan setelah gejala muncul
maka angka abortus spontan berkisar antara 7-40%.
Pada masa klinis aktif LES kematian fetus dan prematuritas lebih sering
terjadi. Prognosis fetus pada kehamilan dengan. LES scbanding dengan keadaan
pada ibu hamil dengan hipertensi dan insufisiensi ginjal tanpa LES. Tetapi bila
remisi tercapai pada masa kehamilan maka kemungkinan lahir hidup adalah 90%
sebanding dengan keadaan normotensif pada berbagai penyakit parenkim ginjal.
Pengaruh pengobatan terhadap LES dan kelainan ginjal semula
dikhawatirkan akan mengganggu janin, terutama kortikosteroid dosis tinggi yang
dapat menimbulkan kelainan fetus dan gangguan pertumbuhan. Akan tetapi hal ini
tidak terbukti, mungkin karena aktivitas enzim plasenta 11 beta-dehidrogenase
yang mengoksidasi glukokortikoid menjadi bentuk 11 keto.
Laporan terakhir terus menunjukkan perbaikan prognosis fetus yang
mungkin berhubungan dengan makin baiknya tatalaksana LES secara keseluruhan
termasuk terhadap LES pada masa kehamilan.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 180


Patogenesis
Patogenesis SLN diduga berhubungan dengan pasase autoantibodi IgG maternal
transplasenta, yaitu antiRo (SS-A) dan antiLa (SS-B). Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan ANA, sel LE, kompleks imun, dan penurunan
kadar komplemen serum yang biasanya tidak berhubungan dengan manifestasi
klinis SLN. Autoantibodi dengan aktivitas karakteristik paling berperan adalah
antiRo.
AntiRo maternal berhubungan dengan terjadinya blok jantung kongenital
walaupun tidak terdapat riwayat lupus ibu, akan tetapi banyak bayi yang ibunya
mengandung antiRo sepenuhnya normal. Antigen Ro terdapat tersebar pada
sistem konduksi jantung dan miokardium, kulit serta jaringan lain. Pada bayi SLN
yang meninggal dengan blok jantung kongenital komplit ditemukan antiRo yang
terikat pada sistem konduksi jantung.

Manifestasi klinis
Gejala klinis SLN tersering adalah erupsi kulit fotosensitif. Kelainan yang lebih
jarang ditemukan adalah blok jantung kongenital, defek struktur jantung, dan yang
lebih jarang lagi adalah gangguan hati dan saluran cerna.
Kelainan karakteristik SLN berupa eritema anulare yang muncul beberapa
jam sampai beberapa hari setelah lahir, tetapi dapat pula terlihat pada saat lahir.
Lesi bersifat multiple yang tersebar di seluruh tubuh termasuk kepala, muka,
telapak tangan dan kaki, sampai selaput mukosa. Kelainan ini akan menghilang
tanpa bekas. Beberapa lesi fotosensitif di daerah malar sering meninggalkan bekas
atrofi serta gangguan pigmen kulit yang memberi gambaran lupus diskoid.
Kelainan jantung yang ditemukan adalah blok jantung kongenital komplit,
kelainan struktur jantung seperti defek septum, atau transposisi arteri besar. Blok
jantung kongenital merupakan kelainan jantung tersering dan paling serins dengan
risiko kematian tinggi. Kelainan konduksi jantung tersebut berhubungan dcngan
antiRo yang terdapat juga pada berbagai penyakit autoimun lain seperti sindrom
Sjogren dan berbagai penyakit reumatik. Blok jantung kongenital terdapat pula
pada penyakit autoimun tersebut.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 181


Kelainan hematologik terlihat dari gambaran sitopenia yang terjadi karena
autoantibodi maternal terhadap eritrosit, trombosit, dan ncutrofil. Biasanya
kelainan ini ditemukan pada saat kelahiran yang menetap selama beberapa hari
atau minggu, dan jarang berhubungan dcngan kelainan klinis berarti. Kelainan ini
berangsur membaik sesuai dengan waktu paruh IgG maternal (24-28 hari). Petekie
dapat merupakan satu-satunya indikasi trombositopenia yang mungkin dapat
berbahaya. Hepatomegali dengan peningkatan sedang enzim hati scrum sering
terjadi, dan pernah pula dilaporkan ikterus kolestatik. Selain itu dapat pula terjadi
perdarahan saluran cerna akibat trombositopenia.

Pengobatan
Bayi yang lahir dari ibu LES memerlukan observasi scrta pcrawatan suportif
sesuai dengan kelainan yang timbul. Bila tidak disertai blok jantung kongenital
biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pemantauan terhadap kemungkinan blok
jantung in utero perlu dilakukan untuk dapat melakukan langkah yang tepat,
misalnya dengan persalinan darurat diikuti pemakaian alat pacu jantung. Gejala in
utero ditandai oleh bradikardi mendadak yang menimbulkan gangguan jantung
kongestif serta hidrops fetalis.

Prognosis
Sindrom lupus neonatus yang umumnya berupa kelainan kulit akan berangsur
menghilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan, biasanya jarang lebih dari
60 hari. Kematian umumnya terjadi karena blok jantung kongenital komplit.
Diperkirakan bahwa 1/3 dari bayi penderita blok jantung kongenital komplit
dilahirkan dari ibu penderita penyakit jaringan ikat, biasanya LES. Angka
kematian bayi dari ibu penderita LES pada masa perinatal adalah 3,6% sedangkan
pada masa neonatal adalah 1,2%. Beberapa penulis melaporkan tentang terjadinya
LES pada orang dewasa yang pernah menderita SLN .

Gabungan dengan penyakit lain


Lupus eritematosus sistemik sering muncul bersamaan dengan sindrom Sjogren.
Kejadian sindrom kering (xeroftalmi, xerostomi) pada penyakit lupus cukup

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 182


sering (50%), sedangkan kejadian sindrom Sjogren karateristik dengan hipertrofi
parotis dan infiltrasi limfoplasmositer kelenjar saliva lebih jarang. Lupus
eritematosus sistemik dapat pula rimbul dengan penyakit autoimun lain, misalnya
tiroiditis, Hashimoto, atau miastenia.

Sumber Pustaka:
1. Lachman PJ, Peters SK, Rosen FS, Walport MJ. Clinical aspects of
immunology. Boston: Blackwell Scientific Publications, 1993.
2. Hayalett Jfi Hardin JA, pcnyunting. Advance in systemic lupus
erythematosus. New York: Grime & Stratton, 1983.
3. Petty RE, Laxer RM. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Cassidy JT,
Petty RE, Laxer RM, dkk, penyunting. Textbook of pediatrics
rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. hlm. 342-
83.
4. Lichtenstein LM, Fauci AS. Current therapy in allergy, immunology, and
rheumatology. Toronto: BC Decker; 1988.
5. Fye KH, Sack KE. Rheumatic diseases. Dalam: Stites DR Terr AI,
penyunting. Basic and clinical immunology. Edisi ke-7. Norwalk: Appleton
& Lange;1991. hlm. 438-63.
6. Soepriadi, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Garna H,
Nataprawira HMD, pcnyunting. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu
kesehatan anak. Edisi ke-3. Bandung: Bagian IKA FK Universitas
Padjadjaran, 2005. hlm. 133-42
7. Lamont D\V, Mai KL, Silber SH. Systemic lupus erythematosus. Diunduh
dari www.emedicine. com Diakses tanggal 14 Desember 2006.
8. Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children and
adolescents. Ped in Review 2006;27:323-9.
9. Petri M. Treatment of sytemic lupus erythematosus: an update. Am Earn
Physician 1998;57:11.
10. Epstein FH, Hahn BH. Antibodies to DNA. N EnglJ Med 1998;338:1359-
68.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 183


11. Alatas H. Nefritis lupus. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PR,
Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2004. hlm.366-80.
3. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus nephritis. Kidney
International: 2006;70:1403-12.
4. Bensaler SM, Silverman ED. Systemic lupus erythematosus. Ped Clin North
Am 2005 ;52:443-67.
5. Lehman JA, Oncl K. Intermitent intravenous cyclophosphamide arrset
progression of the renal chronocity index in childhood systemic lupus
erythematosus. The journal of pediatrics 2002: 136:243-7.
6. Gitelman MSK. Systemic lupus erythemastosus. Diunduh dari w ww. emedice
.com Diakses tanggaI 23 Mei 2006.

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 184


PENUNTUN BELAJAR
PENYAKIT ALERGI-IMUNOLOGI:
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Nama
Kesempatan ke-
I. ANAMNESIS
1 2 3 4 5
1 Sapa pasien dan keluarganya, perkenalkan diri,
jelaskan maksud anda

2 Tanyakan keluhan utama : bercak kemerahan di


kulit

3 Sudah berapa lama terdapat bercak kemerahan?


bercak timbul akibat sinar matahari?

4 Panas badan?, anak tampak pucat?, lemah?, lesu?,


Adakah luka-luka dimulut?, nyeri disertai
pembengkakan sendi?, sesak nafas?, nyeri dada?,
nyeri berkemih?, kejang?, tampak mengantuk?

II. PEMERIKSAAN FISIS


1 Terangkan kepada pasien atau keluarga akan
dilakukan pemeriksaan jasmani

2 Tentukan keadaan sakit: ringan/sedang/berat

3 Bila tidak dalam keadaan kegawatan, lakukan


pengukuran antropometri; BB dan TB

4 Lakukan pengukuran tanda vital: kesadaran,


tekanan darah, nadi, respirasi, suhu tubuh

5 Pemeriksaan kepala: eritema datar/menimbul


(bercak diskoid), ulkus mulut? konjungtiva
anemia? konjungtivitis?

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 185


6 Leher: retraksi supra sternal? kaku kuduk?,
pembesaran KGB?

7 Dada (toraks): gerakan simetris/tidak?, retraksi


intercostal?
Jantung: murmur?, redup? pericardial friction
rub?
Paru: slem?, crackles?, wheezing? pleural friction
rub

8 Abdomen: retraksi epigastrium? nyeri


epigastrium? hepatosplenomegali?
9 Ekstremitas: pembengkakan sendi? nyeri sendi?,
nyeri tekan? akral hangat? capillary refill time?

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1 Pemeriksaan darah lengkap, MDT, diffcount,
LED, CRP, retikulosit↑, pT & apTT, C3, C4,

2 Uji Coomb, ANA test, anti ds-DNA test, uji


Smith, antibodi antipletelet, antibodi anti neutrofil,
antibodi antifosfolipid, antibodi antihiston, uji
ATA, VDRL, SGOT, SGPT, kadar T3, T4, urea N,
kreatinin, protein & albumin darah,

3 Urine rutin

4 Foto toraks, EKG, EEG

IV. DIAGNOSIS
1 Bila ditemukan 4 dari 11 kriteria ARA (American
Rheumatism Association)
N Kriteria Definisi
o

1 Bercak Eritema datar atau menimbul


malar yang menetap di daerah pipi,
(Butterfly cenderung menyebar ke
rash) nasolabial fold

2 Bercak Bercak eritema yang


diskoid menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular
plugging; pada lesi lama dapat
terjadi skar atropi

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 186


3 FotosensitifBercak di kulit yang timbul
akibat paparan sinar matahari,
pada anamnesis atau
pemeriksaan fisis
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring,
biasanya tidak nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua
atau lebih persendian perifer,
ditandai dengan nyeri tekan,
bengkak, atau efusi
6 Serositis a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau
terdengar pleural friction
rub, atau terdapat efusi
pleura pada pemeriksaan
fisis atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG
atau terdengar pericardial
friction rub, atau terdapat
efusi perikardial pada
pemeriksaan fisis
7 Gangguan a. Proteinuria persisten >
ginjal 0,5 g/hr atau > +3 jika
pemeriksaan kuantitatif tidak
dapat dilakukan atau
b. Cellular cast: Eritrosit, Hb,
granular, tubular, atau
campuran
8 Gangguan a. Kejang
saraf Tidak disebabkan oleh obat
atau kelainan metabolik
(uremia, keto-asidosis, atau
ketidakseimbangan
elektrolit)
atau
b. Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat
atau kelainan metabolik
(uremia, keto-asidosis, atau
ketidakseimbangan
elektrolit)
9 Gangguan Terdapat salah satu kelainan
darah darah
a. Anemia hemolitik dengan
retikulositosis
b. Leukopenia < 4.000/mm3
pada > 1 pemeriksaan

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 187


c. Limfopenia < 1.500/mm3
pada > 2 pemeriksaan
d.Trombositopenia  <
3
100.000/mm tanpa adanya
intervensi obat
Terdapat salah satu kelainan
10 Gangguan a. Sel LE (+)
imunologi b. Anti ds- DNA diatas titer
normal
c. Anti-Sm (Smith) (+)
d. Tes sifilis (+) palsu, paling
sedikit selama 6 bulan dan
dikonfirmasikan dengan
ditemukannya Treponema
palidum atau antibodi treponema
11 Antibodi Tes ANA (+)
antinuklear
V. TATALAKSANA KASUS
1 Sampaikan penjelasan mengenai rencana
pengobatan kepada pasien atau keluarga pasien
2 Obat sistemik:
 Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) 
bila ada gejala artritis
 Salisilat
BB < 20 kg: 80–90 mg/kgbb/hari
p.o. dibagi dalam 3- 4 dosis
bersamaan dengan makan
BB > 20 kg: 60–80 mg/kgbb/hari
p.o. dibagi dalam 3-4 dosis
bersamaan dengan makan
Karena hepatotoksik, SGOT/SGPT
harus dimonitor
Kontra indikasi
Trombositopenia
Gangguan homeostasis
 Naproksen
Dosis: 7-20 mg/kgbb/hari, p.o. dalam 2-
3 dosis
 Tolmetin sodium (Tolektin)
Dosis: 15-30 mg/kgbb/hari p.o.
dalam 3-4 dosis
 Hidroksiklorokuin  bila kelainan dominan
pada kulit/mukosa, dengan atau tanpa artritis.
Dosis 5 mg/kgbb/hari p.o. (maks. 300 mg/hari),
Dosis tinggi (6-7 mg/kgbb/hari) dibagi dalam 1-
2 dosis selama 2 bulan, kemudian ↓ menjadi 5
mg/kgbb/hari dapat diberikan untuk mengurangi
dosis kortikosteroid. Karena bersifat toksik pada

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 188


retina  kontrol oftalmologik setiap 6 bl untuk
melihat degenerasi makula
 Kortikosteroid
Prednison (p.o.): Dosis rendah < 0,5
mg/kgbb/hari dalam dosis terbagi. Diberikan
pada penderita dengan gejala, Pleuritis, Demam
berkepanjangan, Kelainan kulit, Gejala
konstitusional yang berat, Pada pemberian
metilprednisolon intermiten i.v. dosis tinggi..
Dosis tinggi 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60–80
mg/hari) p.o., dibagi dalam 3-4 dosis bersama
dengan makanan selama 3-6 mgg sampai kadar
anti DsDNA ↓ dan kadar komplemen kembali
normal, kemudian dilakukan tapering off setiap
1-2 mgg. Diberikan pada penderita: Lupus
fulminan akut, Lupus nefritis akut, Lupus SSP
akut, Anemia hemolitik autoimun akut, Purpura
trombositopenia
Metil prednisolon (Solu-medrol) (parenteral)
dosis tinggi. Dosis 30 mg/kgbb/dosis i.v.
(maksimal 1 g) untuk 3 hari berturut-turut
(dapat sampai 6 dosis) dan kemudian
dilanjutkan metil prednisolon dosis tinggi i.v.
secara intermiten (tiap minggu) disertai
prednison dosis rendah setiap hari. Diberikan
pada penderita penyakit aktif berat tidak
terkontrol dengan kortikosteroid dosis tinggi
p.o.
 Obat sitotoksik/imunosupresif  pada
penderita yang tidak responsif atau mendapat
efek simpang yang serius pada pemberian
kortikosteroid. Obat yang biasa digunakan
Azatioprin (Imuran) : 1-3
mg/kgbb/hari p.o.
Merkaptopurin : 50-100
mg/hari
Klorambusil (Leukeran) : 0,1
mg/kgbb/hari
Siklofosfamid (Sitoksan): 1–3
mg/kgbb/hari p.o.
500-750 mg/m2
(maks. 1 g/m2)
i.v., diberikan
dengan hidrasi
dan monitor
jumlah leukosit
selama 8-14 hari
tiap dosis

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 189


(leukosit >
2.000-
3.000/mm3)
Siklofosfamid diberikan satu kali/bulan
selama 6 bulan,
kemudian 3 bulan sekali selama 24
bulan. Diberikan bersama
prednison dosis rendah 0,2
mg/kgbb/hari dalam dosis terbagi

Karena efek simpang yang berat antara


lain sterilitas, infeksi, dan keganasan,
maka penggunaan obat-obatan tersebut
hanya untuk yang berat dan diberikan
hati-hati
Penggunaan untuk lupus nefritis masih
kontroversial, namun biasanya
diberikan pada anak dengan kelainan
ginjal berat atau keterlibatan organ vital
lain yang berat (susunan saraf
pusat/SSP)
3 Topikal: Diberikan bila ada kelainan kulit. Obat
yang biasa digunakan Betametason 0,05%,
Fluosinosid 0,05%  untuk 2 minggu, selanjutnya
diganti dengan hidrokortison
Pencegahan Terhadap Pemaparan Sinar Matahari:
Sunscreen yang mengandung UV light blocking
seperti para amino benzoic acid (PABA), antara
lain , Aramis SPF 20 sun protector, Clinique SPF
19 sun block, Elizabeth Arden sun blocking cream.
Pakaian lengan panjang dan celana panjang serta
memakai kacamata hitam
4 Fisioterapi: bila ada artritis
5 Terapi penyulit: Antihipertensi, Antikonvulsi,
Antipsikotik
6 Suportif
Diet: Setiap pemberian kortikosteroid apalagi
jangka panjang, harus disertai diet rendah
garam, gula, restriksi cairan, disertai
suplemen Ca dan Vitamin D
Dosis kalsium karbonat (Caltrate) sebagai
elemental kalsium:
Usia < 6 bulan: 360 mg/hari
6-12 bulan: 540 mg/hari
1-10 tahun: 800 mg/hari
11-18 tahun: 1.200 mg/hari
Dosis Vitamin D (hidroksikolekalsiferol):
BB < 30 kg: 20 mcg p.o. 3 kali/minggu

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 190


BB > 30 kg: 50 mcg p.o. 3 kali/minggu
7 Follow-up pasien, avaluasi hasil pengobatan,
adakah komplikasi atau membaik?
VI. PENCEGAHAN
1 Pendidikan/Edukasi
Penting untuk penderita/keluarganya agar
mengerti penyakit/ penyulitnya yangmungkin
terjadi, serta pentingnya berobat secara teratur

Ilmu Kesehatan Anak – FK UNISBA 191

Anda mungkin juga menyukai