Anda di halaman 1dari 4

Etika Lingkungan: Spiritualitas Pengelolaan Sumberdaya Alam

Hasim
(Pengajar UNG)

Apakah yang dimaksud etika lingkungan? Apakah relevansi etika lingkungan dalam
pengelolaan sumberdaya alam? Dua pertanyaan tersebut akan menjadi frame berfikir
pada artikel dengan judul di atas. Kesadaran manusia terhadap kualitas lingkungan
berawal dari fakta given bahwa lingkungan merupakan tempat proses kehidupannya
berlangsung. Artinya proses kehidupan yang akan dijalani manusia, kualitasnya
dipengaruhi oleh kualitas lingkungan di mana manusia tersebut hidup. Kesadaran tersebut
mulai bersemi pada saat malapetaka lingkungan menimpa manusia. Peristiwa mina mata
Jepang adalah titik awal malapetaka lingkungan yang memberikan dampak kemanusiaan
sangat dramatis. Peristiwa berikutnya ialah toksikasi pestisida yang terjadi di Amerika
Serikat, hingga mengilhami Rachel Carson menulis buku The Silent Spring. Selanjutnya
malapetaka berdistribusi keseluruh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Misalnya
tercemarnya tambak udang oleh industri, banjir bandang, rusaknya terumbu karang akibat
illegal fishing, tercemarnya perairan pantai oleh industri, menurunnya kualitas perairan
umum danau dan sungai serta yang terkini lumpur di Sidoarjo.

Interaksi manusia dengan lingkungan dan sumberdaya alamnya merupakan fakta


ekologis. Secara garis besar terdapat dua mazhab pandangan tentang lingkungan dan
sumberdaya alamnya; (1) malthusian, adalah mazhab yang memiliki pandangan
konservatif terhadap sumberdaya alam. Menurutnya, dengan pertumbuhan penduduk
yang bersifat eksponensial maka impossible sumberdaya alam dapat memenuhi
kebutuhan manusia, tanpa ada perlakuan khusus. Pandangan ini bersifat pesimistik bahwa
sumberdaya alam dapat memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu dua pendekatan
yang ditawarkan ialah (i) pemanfaatan sumberdaya alam dengan Precautionary Principles
yaitu mengedepankan tindakan kehati-hatian dalam memanfaatkan sumberdaya alam;(ii)
Permanent birth control diantaranya perkawinan sejenis (ide ini mendapatkan tantangan
khususnya dari kalangan agamawan karena dianggap melanggar hak asasi manusia); (2)
Richardian, yang memiliki pandangan bahwa sumberdaya alam adalah engine economic
growth. Pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai jalan menuju kesejahteraan. Hampir
semua negara-negara dunia menggunakan mazhab ekonomi ini, termasuk Indonesia
dengan strateginya trickle down effect. Implikasinya eksploitasi sumberdaya alam
didorong dalam dua sisi yaitu intensifikasi eksploitasi dan ekstensifikasi eksploitasi.
Walaupun faktanya kesejahteraan untuk masyarakat luas semakin jauh dari harapan,
sebaliknya rekapitalisasi asset terjadi pada kelompok kecil tertentu.

Mencermati dua mazhab di atas, maka krisis lingkungan ini dipengaruhi secara
determinan oleh cara pandang manusia terhadap lingkungan dan sumberdaya alamnya.
Dengan demikian krisis lingkungan yang terjadi hanya dapat diatasi dengan melakukan
perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungan secara fundamental
dan sistemik. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam selama ini, dibangun dari
kesalahan fundamental filosofisnya sebagai landasan etika dalam memandang relasi
manusia dengan lingkungan dan sumberdaya alamnya sebagai suatu kesatuan ekologis.
Oleh karena itu rekonstruksi etika dalam perspektif ekologis harus diletakkan secara
kokoh, sehingga mampu menjadi ruh bagi pengelolaan sumberdaya alam.

Etika secara etimologis berasal dari kata Yunani, ethos artinya adat istiadat atau
kebiasaan. Telaah ini,mengarahkan tafsir bahwa etika merupakan kebiasaan hidup yang
baik, tata cara hidup yang baik yang terbagukan dalam bentuk kaedah dan norma serta
prinsip moral. Penjelasan lain memaknai etika sebagai filsafat moral yaitu mengkaji
secara kritis persoalan baik dan buruk, benar dan salah berdasarkan moral tentang
bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret. Pada kesempatan ini, dapat
digambarkan tiga teori tentang etika (1) Deontologi, etika ini menekankan penilaian
baik-buruk didasarkan atas norma dan nilai moral yang ada. Misalnya illegal fishing akan
dinilai buruk secara moral, bukan semata memberikan dampak negative tetapi tindakan
tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai respect of nature. Artinya etika deontologi,
menekankan pada dimensi motivasi dari suatu tindakan; (2) Etika teologi; etika ini
menilai baik-buruk suatu tindakan didasarkan atas tujuan atau akibat dari tindakan yang
dilakukan. Artinya suatu tindakan dinilai baik, jika memiliki tujuan baik. Meskipun
tujuan baik tersebut masih bersifat debatable untuk siapa (?).Dengan demikian etika ini
lebih mengedepankan nilai dampak dari pada nilai norma yang berlaku. Olehnya etika ini
memiliki jarak dengan aspek motivasi dari dilakukannya suatu tindakan; (3) Etika
keutamaan, etika ini menekankan bahwa moralitas merupakan proses keteladanan dari
sejarah yang panjang. Artinya etika ini lebih menekankan pada dimensi membangun
karakter, watak dan kepribadian yang bermoral.

Uraian singkat teori etika di atas menjadi penghantar untuk selanjutnya membedah etika
lingkungan sebagai tema yang lebih spesifik. Terdapat dua model utama teori etika
lingkungan yaitu (1) Shallow Environmenat Ethic, secara popular teori ini dikenal dengan
istilah antroposentris, cara memandang lingkungan yang menempatkan manusia sebagai
penguasa alam. Antroposentris merupakan etika lingkungan yang menempatkan
kepentingan manusia di atas segalanya. Lingkungan dan alam merupakan asset untuk
memenuhi kepentingan manusia. Etika ini memandang relasi manusia dan alam sangat
instrumentalis. Kepedulian manusia terhadap alam hanya didasarkan atas kebutuhan
untuk hidup yang berkualitas. Terdapat tiga kelemahan etika antroposentris ini, (i)
memandang manusia hanya sebagai mahkluk sosial, sehingga eksistensi dan statusnya
dibangun dari relasi komunitas sosialnya. Manusia tidak dipandang sebagai mahluk
ekologis yang status dan eksistensinya dibangun di atas komunitas ekologisnya.
Presepktif islam mengajarkan bahwa risalah kemanusian islam mewajibkan manusia
memberikan nilai dan manfaat kepada seluruh alam (ekologistik), tidak semata sesama
manusia. Artinya derajat kemanusiaan tidak disumbang dari variabel tunggal komunitas
sosial, tetapi juga oleh variabel relasi dengan alamnya; (ii) antroposentris memandang
etika hanya terbatas dalam relasi komunitas sosialnya yang semakin hari sangat distorsif.
Etika lingkungan ini memandang lingkungan dan sumberdaya alam bukan pelaku moral,
sehingga tidak punya hak moral untuk dihargai dan diappresiasi. Sisi lain, lingkungan dan
sumberdaya alam dipandang sebagai capital untuk memenuhi kepuasan yang tidak
terbatas. Dengan demikian perlakuan etis terhadap lingkungan dan sumberdaya alam
dipandang sebagai irrasional. Karena lingkungan fisik dan sumberdaya alam bukanlah
mahluk yang bebas dan rasional serta bukanlah pelaku moral; (iii) antroposentris hanya
membatasi pada isu-isu yang berkepentingan langsung dengan kebutuhan untuk
pemenuhan kepuasan manusia. Sebaliknya mengabaikan masalah-masalah lingkungan
yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Sisi lain, kepentingan manusia
sangatlah dinamis serta berjangka pendek, sehingga mendorong pemanfaatan sumberdaya
alam secara ekstraktif;(2) Deep Environmental Ethic, secara popular dikenal sebagai
biosentris, etika ini memandang bahwa setiap makhluk hidup adalah memiliki nilai,
bukan semata manusia. Oleh karena itu setiap kehidupan mempunyai nilai yang perlu
diperlakukan secara moral. Etika ini dalam perkembangannya, tidak semata menekankan
pada makhluk hidup semata, tetapi lebih luas lagi pada seluruh unsur ekosistim, sehingga
etika ini kemudian dikenal umum dengan istilah ekosentrisme. Etika ekosentrisme
memandang kewajiban moral tidak semata dibatasi pada makhluk hidup, tetapi lebih luas
juga pada seluruh unsur penyusun ekosistim. Ekosentris sebagai etika lingkungan oleh
Naess, disebut sebagai ecosophy yaitu filsafat lingkungan yang mengajarkan kearifan
bagi manusia untuk hidup dalam keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dengan
seluruh alam dalam kesatuan sistim rumah tangga. Kearifan ini diharapakan
menginternalisasi sehingga menjadi idiologis yang tergambarkan dalam sebuah pola
hidup, relasi hidup dalam sistim kesatuan rumah tangga. Berbeda dengan antroposentris
yang memandang manusia sebagai mahkluk sosial (Aristoteles), ekosentris memandang
bahwa manusia merupakan makhluk ekologis. Artinya eksistensi manusia dibangun oleh
kualitas relasi manusia dengan dimensi ekologisnya. Etika ini menuntut hak moral
terhadap lingkungan dan sumberdaya alamnya sebagai konsekuensi conatus essendi.
Penjelasan lain, lingkungan dan sumberdaya alam merupakan komunitas pelaku moral,
yang konsekuensinya memiliki hak moral. Dua teori etika lingkungan ini memberikan
pendekatan berbeda dalam menyelesaikan krisis lingkungan. Etika antroposentris dalam
menyelesaikan krisis lingkungan, solusi yang yang ditawarkan relatif bersifat teknis.
Misalnya banjir bandang solusinya membangun cek dam, menormalisasi sungai,
membuat saluran pembuangan alternatif, dan yang sejenis. Sebaliknya etika ekosentris,
menempatkan solusi dari krisis lingkungan pada akar masalah, seperti mereposisi
pandangan masyarakat tentang relasinya terhadap sumberdaya alam.

Berdasarkan uraian di atas, maka etika lingkungan memiliki relevansi yang sangat
substansial dalam pengelolaan sumberdaya alam. Karena berdasarkan pengalaman
pengelolaan sumberdaya alam hingga dewasa ini, maka krisis lingkungan tidak semakin
tereliminir sebaliknya semakin meluas dan bersifat diversikatif. Banjir, pencemaran
limbah cair, padat dan gas, hilangnya ekosistim, punahnya spesies endemik, dan
kemiskinan yang semakin menggetirkan merupakan potret dari pengelolaan sumberdaya
alam yang memasung ”etika lingkungannya”. Bila didalami, maka krisis lingkungan yang
terjadi dewasa ini, dibangun dari akar berfikir (filosofis) yang ambigius. Sehingga etika
sebagai dimensi aksiologisnya belum memiliki kedudukan yang kokoh dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Etika yang harusnya menjadi ruh dalam pengelolaan
lingkungan diadaptasikan pada tataran nilai etika yang sangat instrumentalis. Sehingga
instrumen pembangunan seperti AMDAL sebagai opersionalisasi etika lingkungan sering
terjebak pada prosedur formalitas. Sisi lain rekomendasi dokumen AMDAL atas rencana
pembangunan sering terjebak pada aspek teknis misalnya treatment atas dampak dari
rencana pembangunan.
Pengelolaan sumberdaya alam yang mengabaikan etika lingkungan sejatinya bagian dari
inkonsistensi terhadap pembangunan berkelanjutan yang berorientasi transgenerasi.
Bahkan bila ditafsirkan lebih luas merupakan inkonsistensi dari nilai kemanusian itu
sendiri, yang semestinya bukan semata memberikan maslahat pada komunitas social,
tetapi pada seluruh alam (komounitas ekologis). Penjelasan ini memberikan tekanan
bahwa; (i) komunitas moral tidak dibatasi pada komuitas social saja, tetapi lebih luas
ialah mencakup komunitas ekologis;(ii) sejatinya, manusia bukanlah semata makhluk
sosial, tetapi lebih substansial dan factual merupakan makhluk ekologis. Oleh karena itu
beberapa ahli etika lingkungan merekomendasi prinsip-prinsip etika lingkungan yang
penting untuk menjiwai pengelolaan sumberdaya alam meliputi; (1) respect for nature,
hormat kepada alam merupakan wujud dari pertanggungjawaban kohesivitas ekologis;(2)
moral responsibility nature, sebagai bagian dari komunitas ekologis maka manusia
memiliki tanggungjawab terhadap kualitas komunitas ekologisnya; (3) cosmic solidarity,
sebagai kesatuan dari cosmic maka manusia mendorong diri untuk pro ekologis;(4)
caring for nature, mencintai alam beserta isinya merupakan moral dasar sebagai
komunitas ekologis; (5) No harm, tidak menghadirkan kegiatan yang secara motivasi,
tujuan maupun watak bertentangan dengan norma dan kaedah moral; (6) harmoniums,
mengedepankan keserasian yang kualitas baik untuk seluruh komunitas
ekologis;(7)justice, pemberian akses yang adil bagi seluruh masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam; (8) moral integrities, manusia
(khususnya decision maker) sebagai pelaku moral dalam komunitas ekologis harus
memiliki integritas moral, jujur, memiliki prinsip dan bertanggungjawab. Dengan
demikian etika lingkungan bukan semata relevan dengan pengelolaan sumberdaya alam,
tetapi lebih dalam lagi menjadi jiwa dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Anda mungkin juga menyukai