Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronis

2.1.2 Pengertian

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

menurunnya fungsi ginjal yang bersifat irreversible dan

memerlukan terapi pengganti ginjal yaitu berupa dialisis atau

transplantasi ginjal. Selain itu gagal ginjal kronik juga dapat

diartikan dengan terjadinya kerusakan ginjal (renal damage) yang

terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau

fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus

(LFG) dengan manifestasi adanya kelainan fatologis, adanya

kelainan ginjal seperti kelainan dalam komposisi darah atau urin

serta adanya kelainan pada tes pencitraan (imaging test) serta Laju

Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/mnt/1.73

m2(Nurchayati, 2010).

Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang

progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit, menyebabkan uremia atau terjadi retensi urea dan

sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2010).


Gagal ginjal merupakan perkembangan gagal ginjal yang

progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun) (Price,

2006).

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patologis dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal

yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau

transplantasi ginjal (FKUI, 2006).

Penyakit gagal ginjal kronik terjadi bila kedua ginjal sudah

tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok

untuk kelangsungan hidup. Penyebab gagal ginjal kronik antara

lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler

hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan

herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obstruktif

(Prince & Wilson, 2005).

Berdasarkan pengertian para ahi yang telah dijelaskan di atas,

maka penulis memberikan kesimpulan bahwa gagal ginjal kronik

adalah gangguan fungsi renal yang irreversible dan berlangsung

lambat sehingga ginjal tidak mampu mempertahankan metabolisme

tubuh dan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyebabkan

uremia.

2.1.3 Etiologi
Penyebab utama gagal ginjal kronik sangan bervariasi antara

satu negara dengan negara lain. Penyebab utama gagal ginjal

kronik di Amerika Serikat diantaranya yaitu Diabetes Melitus

(DM) tipe 2 merupakan penyebab terbesar gagal ginjal kronik

sebesar 37% sedangkan tipe 1 7%. Hipertensi menempati urutan

kedua sebesar 27%. Urutan ketiga penyebab gagal ginjal kronik

adalah glomerulonephritis sebesar 10%, nefritis intertisialis 4%,

dilanjutkan dengan nefritis interstisialis, krista, neoplasma serta

penyakit lainnya yang masing-masing sebesar 2%.

Penghimpunan Nefrologi Indonesia (Penefri) tahun 2014

menyebutkan bahwa penyebab gagal ginjal di Indonesia

diantaranya adalah glomerulonefritis 46,39%, DM 18,65%

sedangkan obstruksi dan infeksi sebesar 12,85% dan hipertensi

8,46% sedangkan penyebab lainnya 13,65% (Drakor, 2008).

Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritislupus,

nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, timor

ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui. Etiologi gagal ginjal

kronik disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus,

glomerulonephritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat

dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter seperti penyakit

ginjal polikistik (Brunner & Suddarth, 2007).

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung

pada penyakit yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangannya


proses yang terjadi adalah sama. Pengurangan masa ginjal

mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang

masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,

yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokindan growth

factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti

oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.

Pada stadium paling dini pada peyakit ginjal kronik, terjadi

kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), dimana basal Laju

Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal atau dapat meningkat.

Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi

nefron yang progresif. Yang ditandai dengan peningkatan kadar

urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60% pasien

masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sampai pada LFG

sebesar 30%. Kerusakan ginjal dapat menyebabkan terjadinya

penurunan fungsi ginjal, produk akhir metabolik yang seharusnya

di eksresikan ke dalam urin, menjadi tertimbun dalam darah.

Kondisi seperti ini dinamakan sindrom uremia. Terjadinya uremia

dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak

timbunan produk metabolik (sampah), maka gejala akan semakin

berat (Brunner % Suddarth, 2008).

Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan keseimbangan

cairan seperti hipovolemi atau hipervolemi, gangguan

keseimbangan elektrolit antara lain narium dan kalium. LFG


dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,

dan pasien memerlukan terapi pengganti ginjal (renal repla cement

therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal pada keadaan

ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suharyanto

dalam Hidayati, 2012).

2.1.5 Gambaran Klinis Gagal Ginjal Kronik

Gambaran klinis pada pasien dengan gagal ginjal kronik, yaitu

(Sudoyo, 2010):

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes

mellitus, infeksitraktus urinarius, batu traktus urinarius,

hipertensi, hiperuremia, Lupus Erimatosus Sistemik (LES) dan

lain sebagainya.

b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,

mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume

overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,

pericarditis, kejang-kejang sampai koma.

c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia,

osteodstrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik,

gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium dan

klorida).

2.1.6 Komplikasi

Menurut As’adi Muhammad (2012) gagal ginjal kronik

menyebabkan berbagai macam komplikasi, antara lain :

a. Perikarditis
Peradangan perikardium parietal, perikardium viseral, atau

keduanya. Peradangan ini menyebabkan cairan dan sel-sel

darah memenuhi rongga perikardium.

b. Hipertensi

Hipertensi disebabkan oleh retensi cairan dan natrium, serta

mal fungsi sistem renin angioldosteron.

c. Anemia

Anemia disebabkan oleh penurunan eritroprotein, rentang usia

sel darah merah, dan pendarahan gastrointestinal akibat iritasi.

d. Penyakit tulang

Hal ini disebabkan oleh retensi fosfat kadar kalium serum yang

rendah, metabolisme vitamin D abnormal, dan peningkatan

kadar aluminium.

2.1.7 Stadium Gagal Ginjal Kronik

Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi

menjadi 3 (tiga) stadium, yaitu (Brunner & Suddarth, 2008) :

a. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal. Pada

stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan

penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat

diketahui dengan test pemekatan kemih dan test Laju Filtrasi

Glomerulus (LFG) secara seksama.

b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal, pada stadium ini,

75% jaringan yang berfungsi telah rusak, LFG besarnya 25%

dari normal, kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat


dari normal, gejala-gejala nokturia atau sering berkemih di

malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan

pemekatan).

Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia,

sekitar 90% dari masa nefron telah hancur atau rusak, atau

hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh dan nilai

LFG hanya 10% dari keadaan normal.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Menurut Wijaya dan Putri (2013) untuk pemeriksaan

penunjang gagal ginjal kronik dalam pemeriksaan

laboratorium, antara lain:

1) Pemeriksaan sendimen urin atau tes celup urin (dipstick)

Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat adanya

proteinuri, sel darah merah, dan sel darah putih.

2) Kadar kreatinin serum meningkat

Kreatinin adalah sampah dari sisa-sisa metabolisme yang

dilakukan oleh aktivitas otot. Sama dengan ureum,

kreatinin akan menumpuk dalam darah apabila ginjal tidak

berfungsi sebagaimana mestinya untuk menyaring serta

membuangnya bersama urin. Hasil normal: 0.5 s/d 1.3

mg/dl untuk wanita dewasa.

3) Rasio protein kreatin urin atau albumin kreatinin urin

menurun pada penderita gagal ginjal kronik. Nilai normal


untuk pria < 17 mg albumin/gram kreatinin, untuk wanita

< 25 mg albumin/gram kreatinin.

4) PH pasien menurun dan terjadi asidosis metabolik

5) Pada pemeriksaan hitungan gula darah lengkap hematologi

menurun dan hemoglobin kurang dari 7-8 gr% pada

penderita gagal ginjal kronik.

2. Pemeriksaan Radiologi

Menurut Setiati dkk. (2014) untuk pemeriksaan

radiologi pada penderita gagal ginjal kronik, antara lain:

1) Foto polos abdomen

Pada pemeriksaan foro polos abdomen bisa tampak batu

radio-opak.

2) Pielografi intravena

Pemeriksaan ini untuk mendeteksi lokasi obstruksi

3) Pielografi antegrad atau retrogad

Teknik atau prosedur pemeriksaan sinar-X sistem urinaria

dengan menggunakan media kontras yang dimasukkan

melalui kateter yang telah dipasang dokter urologi dengan

cara nefrostomi percutan.

4) Pemeriksaan pemindai ginjal atau renografi

Pada dasarnya metode renografi adalah memonitor

kedatangan, sekresi, eksresi (arrival, uptake, transit and

elimination) dari radiofarmaka pada ginjal sesaat setelah

injeksi intravena.
5) Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal

Menurut Setiati (2014) dalam pemeriksaan biopsi dan

pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien

dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal.

2.1.8 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik

Menurut Nursalam (2008) penatalaksanaan pada gagal

ginjal kronik, antara lain:

1) Deteksi dan obati penyakit gagal ginjal (kontrol DM, terapi

hipertensi)

Dengan deteksi dan obati penyakit ginjal diharapkan dapat

meringankan atau menghilangkan masalah-masalah yang

timbul.

2) Diet rendah protein

Diet yang diberikan pada gagal ginjal kronik yaitu diet teratur

rendah protein dengan asam amino esensial untuk

meminimalkan keracunan uremia dan cegah limbah serta

malnutrisi.

3) Pembatasan cairan dan elektrolit

Menurut Setiati dkk, (2014) untuk penatalaksanaan

pembatasan asupan air pada pasien gagal ginjal kronik, sangat

diperlukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya

edema dan komplikasi kardiovaskuler. Elektrolit yang harus

diawasi asupanya adalah kalium dan natrium. Pembatasan


kalium karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia

jantung yang fatal. Sedangkan untuk pembatasan natrium

dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.

Pembatasan cairan dapat berpariasi untuk setiap pasien.

Tergantung faktor-faktor seperti berat badan antara perawatan,

urin dan bengkak. Jika pasien menjalani hemodialisis, berat

badan pasien dicatat sebelum dan setelah sesi dialisis pasien.

Perawat pasien menggunakan perubahan berat badan untuk

membantu menentukan berapa banyak cairan yang dikeluarkan

selama dialisis. Jika pasien menjalani dialisis peritoneal,

perawat akan meminta pasien untuk mencatat berat badan

pasien setiap hari. Berat badan yang meningkat secara tiba-tiba

bisa berarti pasien minum terlalu banyak cairan. Untuk pasien

dialisis, komplikasi akibat kelebihan cairan adalah: tekanan

darah tinggi, penurunan tekanan darah secara tiba-tiba

(umumnya terjadi selama hemodialisis), sesak napas (dalam

beberapa kasus, akibat cairan di paru-paru), masalah jantung,

yang dapat mencakup denyut jantung cepat, otot-otot jantung

melemah dan pembesaran jantung / jantung bengkak. Rasa

haus merupakan masalah yang sering dijumpai bagi yang

menjalani hemodialisis dengan pembatasan cairan (Davita,

2015).

4) Dialisis

1. Hemodialisa
a) Definisi

Hemodialisa merupakan suatu proses yang

digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan

memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa

hari sampai beberapa minggu) atau pada pasien

dengan gagal ginjal kronik stadium akhir atau End

Stage Renal Desease (ESRD) yang memrlukan terapi

jangka panjang atau permanen. Sehelai membran

sintetik yang semipermeabel menggantikan

glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai

filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu.

Pada penderita gagal ginjal kronik,

hemodialisa akan mencegah kematian. Namun

demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau

memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu

mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau

endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari

gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup

pasien. Pasien dengan gagal ginjal kronik yang

mendapatkan replacement therapy harus menjalani

terapi dialisis sepanjang hidupnya atau biasanya tiga

kali dalam seminggu selama paling sedikit 3 atau 4

jam per kali terapi atau sampai mendapat ginjal

pengganti atau baru melalui operasi pencangkokan


yang berhasil. Pasien memerlukan terapi dialisis yang

kronis kalau terapi ini diperlukan untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya dan

mengendalikan gejala uremia (Price & Wilson, 2005).

b) Tujuan

Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk

mengeluarkan zat-zat nitrogen yang bersifat toksik

atau racun dari dalam darah dan mengeluarkan air

yang berlebihan. Terdapat tiga prinsip yang mendasari

kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan

ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah

dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara

bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi,

ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih

rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektolit

yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal

(Hudak & Gallo, 2010).

c) Komplikasi hemodialisis

Adapun komplikasi dialisis secara umum

dapat mencangkup hal-hal sebagai berikut (Price &

Wilson, 2006) :

(a) Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis

ketika cairan dikeluarkan.


(b) Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang

terjadi tetapi dapat terjadi jika udara memasuki

sistem vaskuler pasien.

(c) Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun

bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di

luar tubuh.

(d) Pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika

produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.

(e) Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena

perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai

serangan kejang.

(f) Kram otot, terjadi ketika cairan dan elektrolit

dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.

(g) Mual, muntah, merupakan peristiwa yang paling

sering terjadi.

5) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal adalah terapi pengganti ginjal yang

melibatkan pencangkokan ginjal dari orang hidup atau mati

kepada orang yang membutuhkan. Transplantasi ginjal menjadi

terapi pilihan untuk sebagian besar pasien dengan gagal ginjal

dan penyakit ginjal stadium akhir. Transplantasi ginjal menjadi

pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.


2.2 Hemodialisa

2.2.1 Pengertian hemodialisa

Hemodialisa adalah proses difusi melintasi membran

semipermiabel untuk menyingkirkan substansi yang tidak

diinginkan dari darah sementara menambahkan komponen yang

diinginkan. Aliran kostan darah dari satu sisi membran dan larutan

dialisat pembersih disisi lain menyebabkan penyingkiran produk

buangan dalam cara serupa dengan filtrasi glomerulus (Harrison,

2002).

Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk

mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika

ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Brunner &

Suddarth, 2007).

Menurut Nursalam (2003) hemodialisa adalah proses

pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisa

digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien

berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat.

Biasanya hemodialisa dilakukan terhadap pasien dengan

penurunan fungsi ginjal berat, dimana ginjal tidak mampu lagi

mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme, mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit serta memproduksi hormon-

hormon. Ketidakmampuan ginjal mengeluarkan produk-produk

sisa metabolisme menimbulkan gejala uremia. Hemodialisa

dilakukan bila tes kreatinin < 15 ml/menit. Pada proses


hemodialisis, aliran darah ke ginjal dialihkan melalui membran

semipermeabel dari ginjal tiruan (mesin cuci ginjal) sehingga

produk-produk sisa metabolisme dapat dikeluarkan oleh tubuh

(Almatsier, 2006).

Hemodialisa diindikasikan pada klien dalam keadaan akut

yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari

sampai beberapa minggu) atau klien dengan penyakit ginjal tahap

akhir yang memerlukan terapi jangka panjang/permanen (Smeltzer

et al, 2010). Hemodialisis di Indonesia biasanya dilakukan 2 kali

dalam seminggu dengan lama hemodialisis 5 jam, atau dilakukan 3

kali dalam seminggu dengan lama hemodialisis 4 jam (Raharjo,

Susalit & Suharjono, 2006).

Pasien hemodialisa (HD) rutin diartikan sebagai pasien

gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan hemodialisis dengan 2

atau 3 kali seminggu, sekurang-kurangnya sudah berlangsung

selama 3 bulan secara berlanjut atau yang telah menjalani

hemodialisa lebih dari setahun (Susalit, 2003).

Berdasarkan pengertian para ahli di atas, penulis

menyimpulkan bahwa hemodialisa adalah proses pembuangan

cairan dan pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan.

2.2.2 Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisa

Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin

dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat


darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke

tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata

atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus

selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermiabel.

Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan

dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah

ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membran

semipermiabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2007).

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu

difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam

darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari

darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan

konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua

elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal.

Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur

rendaman dialisat (dialysatebath) secara tepat. Air yang berlebihan

dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran

air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan,

dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang

lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan

dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan

tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin

dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagaikekuatan

pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena


pasien tidak dapat mengeksresikan air, kekuatan ini diperlukan

untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia

(keseimbangan cairan). Sistem dapar (buffer system) tubuh

dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari

cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme

untuk membentuk bikarbonat, Darah yang sudah dibersihkan

kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh vena

pasien. Pada akhir terapi dialisis, banyak zat limbah dikeluarkan,

keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan sistem dapat juga

telah diperbaharui (Smeltzer, 2010).

2.2.3 Komplikasi Hemodialisa

Meskipun hemodialisa dapat memperpanjang usia tanpa

batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan

alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan

mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami

sejumlah permasalahan dan komplikasi.

Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal

berikut (Brunner & Suddarth, 2007):

a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan

dikeluarkan.

b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat

saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.

c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan

dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.


d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir

metabolisme meninggalkan kulit.

e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan

cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.

Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika

terdapat gejala uremia yang berat.

f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit

dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.

g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

2.3 Rasa Haus

Pada sebagian besar penderita gagal ginjal terjadi penurunan fungsi

ginjal sehingga terjadi peningkatan baik kadar total Na maupun air tubuh

dan dengan demikian penambahan cairan ekstrasel sehingga dapat

menyebabkan gagal jantung kongesti dan edema pulmonal (Marya, 2013).

Terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga merangsang pelepasan

renin, yang pada akhirnya menimbulkan produksi angiotensin II yang

dapat merangsang hipotalamus untuk melepaskan substrat neural yang

bertanggung jawab terhadap sensasi haus sehingga pada penderita gagal

ginjal sering mengalami rasa haus (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Menurut M.A. Riva, dkk (2017) Beberapa mekanisme, terkait

dengan aktivasi neurohormonal (sistem renin-angiotensin-aldosteron dan

sistem saraf simfatik), dapat menentukan baik secara langsung maupun

tidak langsung peningkatan rasa haus pada subjek ini. Secara rinci,

kenaikan plasma osmolalitas (sekunder akibat retensi natrium), keadaan


hipotensi dan hipovolemik, dan peningkatan kadar angiotensin II dapat

menyebabkan hipersekresi ADH dan stimulasi langsung dari pusat haus

pada sistem saraf pusat.

Rasa haus dan mulut kering merupakan persepsi subyektif yang

menimbulkan rasa kesegeraan untuk minum. Dengan adanya keluhan ini

dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu ketidakpatuhan pasien

terhadap program restriksi cairan yang sedang dijalankan. Gangguan

ketidaknyamanan ini perlu adanya tindakan mandiri perawat. Dengan

mempertimbangkan adanya pembatasan cairan dan natrium pada pasien

gagal ginjal kronik, maka perangsangan saliva dapat digunakan untuk

menjaga mukosa mulut tetap lembab, mengurangi keluhan haus. Salah

satu dari tindakan tersebut dapat dipilih oleh perawat sebagai tindakan

mandiri yang disesuaikan dengan kesukaan dan toleransi pasien terhadap

bahan yang digunakan (Sujudi dkk, 2014).

Menurut Yuliawati Iswandiari (2017) ada beberapa cara untuk

mengatasi rasa haus yang berlebihan pada pasien gagal ginjal kronik,

antara lain :

a. Makan buah dan sayur sesuai dengan jumlah yang sudah ditentukan

oleh dokter dalam perencanaan diet sehari-hari, karena pada pasien

hemodialisis dengan kadar kalium yang cukup tinggi, sayur dan buah

juga harus ditakar dan diolah dengan cara tertentu.

b. Lakukan perencanaan dan pembagian cairan yang akan dikonsumsi

dalam sehari, misalnya jika dibatasi 1000 ml/hari dapat dibagi dalam 6

kali minum dengan pembagian: sarapan sekitar 150 ml, snack pagi
100 ml, makan siang 250 ml, snack sore 100 ml, makan malam 150

ml, dan snack malam 100 ml. Sisanya sekitar 150 ml didapat dari

makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan, sup, snack, dan lain

sebagainya.

c. Minumlah cairan yang sudah didinginkan atau sudah dimasukkan es

agar dapat membantu menimbulkan rasa sejuk di dalam mulut. Namun

jumlah es yang dimasukkan tetap harus diperhitungkan sebagai jumlah

cairan yang dikonsumsi.

d. Saat minum obat gunakan sedikit air. Sebaiknya obat diminum setelah

makan, sehingga jumlah cairan yang sudah direncanakan pada saat

makan juga cukup digunakan untuk minum obat.

e. Gunakan gelas yang kecil saat minum.

f. Untuk mengurangi rasa kering di mulut, sikatlah gigi, kumur-kumur

(menggunakan botol yang berisi air dingin yang sudah dicampur

dengan daun mint dan diberikan secara spray, dimana banyaknya

cairan yang digunakan tetap diperhitungkan dalam jumlah cairan yang

dikonsumsi), menghisap permen dengan rasa lemon (lemon dapat

merangsang pengeluaran air liur sehingga membantu mengatasi

kekeringan mulut).

g. Saling bertukar pengalaman dengan pasien lain agar mendapat cara

lain bagaimana mengatasi rasa haus, saling mendukung, dan

membantu meningkatkan kedisiplinan saat rasa haus timbul.


Beberapa penelitian untuk mengatasi rasa haus yang berlebihan

antara lain:

a. Penelitian yang dilakukan Bambang dkk. (2016) untuk mengurangi

rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik mengunakan tablet hisap

vitamin C hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat

peningkatan sekresi saliva postest yang signifikan terhadap kelompok

kontrol, yaitu dari mean pretest 1,3857 menjadi 1,23516 (menurun

0,15054). Namun sebaliknya pada kelompok intervensi terdapat

perubahan sekresi saliva postest, yaitu dari mean 1,1905 menjadi

1,7190 (meningkat 0,5285). Berdasarkan hasil uji Paired Sample T

test komparasi sekresi saliva postest dan pretest kelompok intervensi

didapatkan hasil nilai (p=0,003). Hal ini menunjukan bahwa stimulasi

pemberian tablet hisap vitamin C berpengaruh dalam meningkatkan

sekresi saliva pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Selain itu, dilihat

dari distribusi frekuensi kategori laju aliran saliva pada kedua

kelompok penelitian terdapat perubahan. Dengan adanya sekresi

saliva lebih banyak maka rasa mulut kering dan haus akan berkurang.

b. Menurut S. Allida dkk. (2014) kelebihan asupan cairan dapat

menyebabkan kelebihan cairan yang menyebabkan harus dirawat inap

di rumah sakit. Sehingga memerlukan strategi praktik klinis untuk

mengurangi rasa haus. Tujuan kami adalah untuk mengidentifikasi

strategi saat ini yang digunakan oleh profesional kesehatan untuk

membantu meredakan rasa haus dan efikasi serta kegunaan yang


dirasakan dari strategi ini, secara khusus mengunyah permen karet

dalam meredakan rasa haus. Sebuah survei kepada peserta Konferensi

Klinik Kardiovaskular Australia pada tahun 2014. Ada 42/70 (60%)

responsen survei. Mayoritas (33/40; 82%) tela menggunakan sejumlah

strategi untuk mengurangi rasa haus. Es kripik adalah strategi yang

paling banyak digunakan (36/38; 95%). Lebih dari separuh responden

menggunakan permen karet 20/33 (60%). Secara keseluruhan,

responden melaporkan ‘beberapa penggunaan’ dalam semua strategi.

Permen karet ditemukan memiliki ‘beberapa penggunaan’ (12/20;

60%) menghilangkan rasa haus. Profesional kesehatan menggunakan

berbagai strategi untuk membantu pasien mereka menghilangkan rasa

dahaga.

Dalam penelitian yang dilakuka Sujudi dkk (2014) cara

pengukuran rasa haus menggunakan Visual Analogue Scale untuk rasa

haus yang menampilkan tingkatan rasa haus dengan rentang skor 1-10.

VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa

intensitas rasa haus dengan cara khusus meliputi 10 cm garis, dengan

setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas rasa haus (ujung kiri

diberi tanda “none” dan ujung kanan diberi tanda “Severe”). Pasien

diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan

level intensitas haus yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya

diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien

(ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukan level intensitas

haus. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan


pengobatan / terapi selanjutnya. Ada beberapa keterbatasan dari VAS

yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami

kesulitan merspon grafik. Jika memilih VAS sebagai alat ukur maka

penjelasan yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius

terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Sujudi dkk, 2014).

Gambar 2.1. Visual Analogue Scale

2.4 Permen Karet Rendah Gula (Xylitol)

Kebanyakan pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal (End

Stage Renal Disease/ESRD) yang menjalani hemodialisis (HD) harus

menjaga diet cairan dibatasi untuk mencegah kelebihan cairan antara sesi

dialisis. Kelebihan cairan beresiko menyebabkan pasien mengalami

penambahan berat badan, edema, peningkatan tekanan darah, sesak nafas

serta gangguan jantung.

Menurut Solomon (2006) dalam penelitian Arfany dkk (2014) ada

beberapa cara untuk mengurangi rasa haus pada pasien yang menjalani

hemodialisis, diantaranya dengan frozen grapes, menyikat gigi, bilas mulut

dengan obat kumur dingin (tidak ditelan), mengunyah permen karet atau

permen mint atau permen bebas gula, dan menghisap es batu. Sesuai

dengan proses fisiologis yang terjadi apabila terdapat makanan di dalam


mulut, akan merangsang pengeluaran saliva, tetapi efek samping yang

ditimbulkan adalah akan terjadi penumpukan sisa metabolisme yang

kemudian meningkatkan ureum didalam darah. Pemberian permen karet

xylitol tanpa efek samping, akan menyebabkan terjadinya stimulasi pada

kelenjar saliva dimana respon ini merupakan respon yang tidak dapat

diubah, impuls akan berjalan ke nucleus di dalam medulla ditambah

dengan pergerakan otot-otot mulut akibat proses mengunyah, akan

merangsang produksi saliva. Menurut Peter Celec, dkk (2015) produksi

sekresi saliva harian sekitar 1000 ml, mulai dari 800 ml sampai 1500 ml.

Air liur adalah larutan berair dengan PH 6,0-7,0.

Beberapa manfaat mengunyah permen karet berdasarkan beberapa

jurnal antara lain:

a. Menurut penelitian oleh K.slim (2013) menunjukan bahwa

mengunyah permen karet dapat menurunkan ileus pasca operasi

dimana ileus postoperatif adalah komplikasi non infeksi utama setelah

kolorektal dan lainnya. Operasi perut, menyebabkan ketidaknyamanan

pasien, sehingga memperpanjang pasien untuk tinggal di rumah sakit

dan biaya meningkat. Pencegahan ileus adalah komponen integral dari

protokol pasca bedah cepat.

b. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kathleen J. Melanson dan

Daniel L. Kresge (2017) yang bertujuan untuk mengendalikan asupan

energi berlebih dan pengobatan kelebihan berat badan dan obesitas.

Penelitian ini menggunakan 2 kelompok yaitu subjek mengunyah

permen karet bebas gula sebanyak satu jam kelompok uji (GC), dan
tidak mengunyah permen karet pada kelompok kontrol (NG). Hasil

dari penelitian tersebut antara lain sebelum periode mengunyah

pertama, tidak ada perbedaan peringkat yang signifikan nafsu makan

antara GC dan NG. Setelah periode mengunyah pertama, subjek

menilai kelaparan yang signifikan lebih rendah pada GC daripada NG

(t = 2,66, p = 0,01).

Menurut Diana Irawati (2015) standar pemberian permen karet

pada pasien gagal ginjal kronik antara lain:

a. jenis permen karet yang aman dikonsumsi anatara lain Bebas

gula, mengandung menthol dan bebas pengawet dan sakarin.

b. Waktu pemberian saat pasien merasa haus atau mulut terasa

kering.

c. Jumlah yang dianjurkan dalam satu kali konsumsi adalah satu

sampai dua buah untuk sekali kunyah.

d. Cara pemberian dengan cara dikunyah minimal selama 10 menit.

e. Jumlah yang aman untuk dikonsumsi / hari satu sampai dua buah

untuk satu hari.

f. Efek samping yang akan ditimbulkan, jika dikonsumsi melebihi

yang disarankan. Pasien akan merasakan kelelahan pada otot

mengunyah dan nyeri pada temporomandibula, mual, iritasi pada

mukosa oral, dan gigi menjadi lebih sensitiv.

Menurut penelitian yang dilakukan Arfany dkk (2014) hasil

penelitian menunjukan bahwa rerata tingkat rasa haus pada

kelompok mengunyah permen karet rendah gula sebelum


intervensi adalah 5,08 (hais sedang), sedangkan setelah diberikan

intervensi rata-rata tingkat rasa haus turun menjadi 4,08 (haus

sedang), sehingga terjadi penurunan tingkat rasa haus sebesar

20%. Berdasarkan hasil uji Wiloxson didapatkan p value 0,006

(<0,05) sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan yang

signifikan tingkat rasa haus sebelum dan setelah diberikan

intervensi mengunyah permen karet rendah gula pada pasien

penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD

Tugurejo Semarang.

Penelitian yang dilakukan oleh Latriyanti (2016) hasil

penelitian menunjukan bahwa dengan mengunyah permen karet

rata-rata haus pada kelompok intervensi terjadi penurunan setelah

mengunyah permen karet yaitu dari 4,89 ke 2,28. Ada perbedaan

rasa haus pada pasien hemodialisa sebelum dan setelah

mengunyah permen karet dengan kelompok intervensi P Value =

0,000 < 0,05.

Pernyataan dari Yahrini (2009) dalam penelitian Arfany

dkk (2014) yang menyatakan bahwa dengan mengunyah permen

karet rendah gula selama 5 menit pada pasien gagal ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis sekresi saliva meningkat dengan

jumlah rata-rata 2,7 ml/menit. Peningkatan produksi saliva ini

secara tidak langsung juga akan menurunkan rasa haus pada

responden. Setelah dilakukan intervensi mengunyah permen karet

rendah gula selama lima menit, responden mengatakan air liur


yang keluar semakin banyak dan terdapat rasa mint yang

membuat mulut menjadi lebih segar, sehingga perasaan haus yang

dirasakan terasa berkurang.


2.5 Kerangka Teori

Gagal Ginjal Penurunan Fungsi Pelepasan Renin


Kronik Ginjal

Menimbulkan
Retensi Cairan dan Produksi Angiotensin
Penyebab :
Natrium dalam Tubuh II
Pielonefritis kronik,
glomerulonefritis,
diabetes melitus, goat,
amiloidosis Melepas substrat Merangsang
neural Hipotalamus

Meningkatnya Rasa Keinginan Untuk


Haus Minum

Ketidakseimbangan
volume cairan dalam
dalam tubuh

Komplikasi : gagal Diet pembatasan Ketidaknyamanan


jantung kongesti dan cairan Diet Pembatsan
edema pulmonal Cairan : Timbul
rasa haus

Perasaan rasa haus yang


Pemberian mengunyah
dirasakan terasa
permen karet rendah
berkurang
gula

Mulut menjadi Produksi saliva Terjadi stimulasi pada


lebih segar meningkat dan terdapat kelenjar saliva
rasa mint

Anda mungkin juga menyukai