Anda di halaman 1dari 17

PERUBAHAN SOSIAL DAKWAH DI MADINAH SEBELUM DAN SESUDAH

HIJRAH RASULULLAH SAW

DISUSUN OLEH:

ELSA INDAH RAHAYU (1930504099)

DOSEN PENGAMPUH:
H. ADI BACHTIAR. LC., M.A

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kasih dan karunia-Nya
Saya dapat menyelesaikan Makalah SOSIOLOGI DAKWAH yang berjudul
“PERUBAHAN SOSIAL DAKWAH DI MADINAH SEBELUM DAN SESUDAH
HIJRAH RASULULLAH SAW” ini tepat pada waktunya. Adapun penjelasan-
penjelasan pada makalah ini saya ambil dari beberapa sumber buku dan website.
Saya sebagai Pemakalah menyadari bahwa banyak kekurangan di dalam makalah ini.
Saya meminta maaf apabila di dalam makalah ini terdapat kata atau kalimatyang keliru
karena memang Fitrahnya Manusia yang tidak luput dari dosa. Untuk itu dengan senang
hati saya senantiasa menerima kritik dan saran yang bersifat membangun para pembaca.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Saya ucapkan terima
kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palembang, 12 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG...............................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................................5
C. TUJUAN...................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................6
A. STRUKTUR SOSIAL DAKWAH DI MADINAH SEBELUM HIJRAH
RASULULLAH SAW.......................................................................................................................6
B. KONFLIK PENDUDUK MADINAH SEBELUM HIJRAH RASULULLAH SAW................7
C. PERUBAHAN SOSIAL DAKWAH DI MADINAH SESUDAH HIJRAH
RASULULLAH SAW......................................................................................................................8
D. STRATEGI DAKWAH NABI MUHAMMAD SAW TERHADAP MASYARAKAT
MADINAH........................................................................................................................................9
E. REAKSI PENDUDUK MADINAH TERHADAP DAKWAH NABI MUHAMMAD
SAW................................................................................................................................................12
F. PENGARUH ISLAM TERHADAP PENDUDUK MADINAH..............................................13
BAB III PENUTUP............................................................................................................................15
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................16
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hijrah bukan semata-mata menyelamatkan diri dari gangguan orang-orang kafir atau
pindah dari negeri kufur, akan tetapi makna hijrah yang lebih jauh adalah berkumpul
dan tolong-menolong untuk menegakkan jihad fi sabilillah meninggikan kalimat Allah
dengan menyebarkan ilmu, amal, dan dakwah serta memerangi setiap orang yang
menghalangi jalan dakwah. Oleh karena itu, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menetap di negeri hijrah Madinah, beliau dan para sahabat tidak sepi dari
aktivitas membangun masyarakat yang islami. 
Madinah adalah negeri yang aman untuk menyebarkan dakwah, yang jauh berbeda
dengan Mekah. Yang demikian itu karena Madinah adalah kota oran-orang Anshar,
penolong-penolong agama Allah, sedangkan Mekah adalah tempat orang-orang kafir
musuh Allah, Rasulullah, Islam, dan kaum muslimin.
Walaupun secara umum Madinah memiliki penolong-penolong dakwah,
percampuran antara Muhajirin dan Anshar yang latar belakang dan adat istiadatnya
berbeda menimbulkan masalah yang baru dan membutuhkan jalan keluar yang baru
pula. Terlebih lagi, penduduk Madinah secara khusus pada saat itu terdiri atas tiga kaum
dan sekaligus tiga agama, yaitu: kaum muslimin yakni Anshar, orang-orang musyrik
dari bangsa Arab, dan Yahudi. Kaum Yahudi sendiri terdiri atas tiga kabilah yaitu: Bani
Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Orang-orang Yahudi ini berasal dari Syam
(sekarang Syiria, Yordania, lebanon, dan Palestina). Mereka datang dan bermukim di
Madinah karena ditindas dan diusir oleh bangsa Romawi yang beragama Nasrani sebab
kejahatan Yahudi yang menganggap hina semua umat selain mereka dan juga mereka
mengetahui berita akan datangnya seorang nabi serta mengetahui tempat hijrahnya
lewat wahyu Allah dalam kitab-kitab mereka. Mereka datang sesuai dengan niat dan
janji bahwa akan mengikuti nabi tersebut jika telah keluar. Akan tetapi, setelah muncul
nabi ini (yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) mereka kafir (mengingkari)
karena iri dan dengki akibat fanatisme jahiliah kesukuan; yaitu lantaran
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam nabi yang mereka nanti-nantikan tidak berasal dari
golongan mereka, Bani Israil.
Meski masyarakat Madinah terdiri dari tiga penganut agama, pucuk pimpinan dan
kalimat yang berlaku adalah di tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sekalipun orang-orang Yahudi dan musyrik memiliki para pemimpin dan
ulama masing-masing. Orang-orang musyrik tidak memiliki kekuasaan atas kaum
muslimin. Mereka berada di antara ragu dan yakin terhadap ajaran Islam, namun mereka
tidak sanggup menampakkan permusuhan kepada Islam hingga akhirnya mereka masuk
Islam.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Struktur Sosial Dakwah di Madinah Sebelum Hijrah Rasulullah


SAW?
2. Bagaimana Konflik Penduduk Madinah Sebelum Hijrah Rasulullah SAW?
3. Bagaimana Perubahan Sosial Dakwah di Madinah Sesudah Hijrah
Rasulullah SAW?
4. Bagaimana Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah?
5. Bagaimana Reaksi Penduduk Madinah Terhadap Dakwah Nabi Muhammad
SAW?
6. Bagaimana Pengaruh Islam Terhadap Penduduk Madinah?

C. TUJUAN

1. Agar Dapat Mengetahui Struktur Sosial Dakwah di Madinah Sebelum


Hijrah Rasulullah SAW?
2. Agar Dapat Mengetahui Konflik Penduduk Madinah Sebelum Hijrah
Rasulullah SAW?
3. Agar Dapat Mengetahui Perubahan Sosial Dakwah di Madinah Sesudah
Hijrah Rasulullah SAW?
4. Agar Dapat Memahami Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW di
Madinah?
5. Agar Dapat Mengetahui Reaksi Penduduk Madinah Terhadap Dakwah Nabi
Muhammad SAW?
6. Agar Dapat Mengetahui Pengaruh Islam Terhadap Penduduk Madinah?
BAB II PEMBAHASAN

A. STRUKTUR SOSIAL DAKWAH DI MADINAH SEBELUM HIJRAH


RASULULLAH SAW

Mengkaji keadaan dan peta sosial dari suatu masyarakat sangatlah penting, karena di
dalamnya akan ditemukan tata cara, pandangan hidup, dan organisasi sosialnya yang
mempengaruhi pola perilaku kehidupan anggota masyarakat dalam aspek – aspek sosial,
ekonomi, politik, hukum adat istiadat maupun agama atau keyakinan. Pola – pola
perilaku kehidupan tersebut melahirkan kebudayaan.
Demikian pula masyarakat Madinah sebelum Islam, mempunyai struktur dan kultur
yang mengatur pola perilaku dan hubungan antarkeluarga maupun antar kelompok
masyarakatnya. Dalam hal ini akan dibahas aspek – aspek sosial, ekonomi politik agama
dan keyakinan masyarakat Madinah, sehingga kita dapat memahami sejauhmana
keberhasilan dakwah Nabi Muhammad.
Situasi Yatsrib (sebelum diubah menjadi Madinah) dalam berbagai aspek kota
Mekah. Disamping terletak di jalan yang menghubungkan Yaman dan Syiria, Juga
sebagai basis pertanian yang subur.1 Sehingga sumber kehidupan selain dari pertanian
juga dari perdagangan namun tidak seramai Mekah
Komposisi penduduk di Madinah sebelum Islam Masuk berbeda dengan kota
Mekah. Mekah yang yang berpenduduk bersuku – suku, bila dilihat dari karakteristik
budaya agama memiliki sifat yang relatif homogen, yaitu sebagai penyembah berhala,
sedangkan wilayah Madinah memiliki penduduk yang berasal dari berbagai suku, yang
terdiri dari bangsa Arab yang terbagi dalam dua suku besar yaitu suku Aus dan Suku
Khazraj yang bermigrasi dari Arabia selatan, dan bangsa Yahudi yang terbagi dalam
beberapa suku. Yaitu Bani Quraizhat, Bani Nadhir, Bani Qunaiqa’, Bani Tsa’labat,
Bani Hadh.
Mengenai asal usul mereka di Madinah, terdapat teori yang menyebutkan bahwa
mereka bermigrasi dari Syam (syiria besar) pada abad I dan II Masehi, yaitu sesudah
orang – orang Romawi menguasai Syiria dan Mesir pada abad I dan II sebelum Masehi,
kehadiran mereka di Syiria dan Mesir membuat orang – orang Yahudi pindah ke Jazirah
Arab.2

1 Philip K.Hitti, Historty of the Arabs, alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamet
Riyadi, “ History of the Arabs, Rujukan Induk Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam” PT
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta 2005, hlm.131
2 Akram Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet : Its Characteristics
and Organization, alih bahasa Mun’im A.Sirry, “Masyarakat Madani : Tinjauan Historis Kehidupan
Zaman
Nabi”, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hlm. 64
Dilihat dari struktur sosial dan kultur mereka, penduduk Madinah lebih cenderung
bersifat majemuk dibanding Mekah. Mereka terdiri dari berbagai macam etnis dan
kepercayaan serta memiliki tradisi adat istiadat tersendiri dari tiap – tiap sukunya.

B. KONFLIK PENDUDUK MADINAH SEBELUM HIJRAH RASULULLAH


SAW

Corak masyarakat yang majemuk memang rentan dengan timbulnya konflik


antar kelompok, dan dikatakan kehidupan masyarakat Madinah tidaklah teratur,
karena penduduknya yang majemuk itu tidak berhasil mewujudkan persatuan dan
kesatuan yang berada di bawah satu pemerintahan yang membawahi semua kabilah.
Konflik memang terjadi di Yatsrib yaitu antar dua suku utama Arab, suku Aus dan
suku Khazraj disatu pihak dan konflik diantara kedua suku Arab itu dangan suku –
suku Yahudi dilain pihak. Tercatat dua belas kali peperangan yang terjadi antara
suku Aus dan Khazraj, namun kedua suku ini pernah bersatu menyerang orang –
orang Yahudi, dan Yahudi mengalami kekalahan.3
Salah satu faktor timbulnya konflik dalam masyarakat Madinah adalah
masalah ekonomi. Dalam masyarakat Madinah kaum Yahudi khususnya Bani
Nadhir, Qoinuqa, dan Quraidzah secara mayoritas telah menguasai sistem pertanian
dengan baik, serta perdagangan, pertukangan dan keuangan, sehingga secara
ekonomis dalam struktur sosial di Yatsrib, mereka berada dalam posisi yang sangat
penting dan menentukan baik dalam aspek ekonomi maupun politik.4
Di samping masalah ekonomi dan provokasi kaum Yahudi, Konflik bersumber
dari pada pola struktur masyarakat Arab yang didasarkan pada organisasi Klan,
yang mengikat semua anggota keluarga di dalam suku yang disebut dengan pertalian
darah. Semua anggota dari satu klan menganggap dirinya bersaudara, tunduk kepada
satu kekuasaan yang dipegang hanya oleh seorang kepala suku. Sistem hubungan
ini menumbuhkan solidaritas yang kuat di antara keluarga – keluarga suku. Dengan
solidaritas itu pula mereka bisa bertahan hidup di tanah padang pasir. Solidaritas
tersebut oleh para ahli disebut ‘ashabiyat. Walau yang menjadi syarat pokok untuk
dapatnya seseorang termasuk ke dalam anggota Klan adalah karena adanya
hubungan darah, namun seseorang dapat juga menjadi anggota suku tertentu dengan
meminum beberapa tetes darah dari anggota sejati klen tersebut.5
Semangat ini dapat menimbulkan chauvinisme yang mendalam, yaitu suatu
sikap yang menganggap suku lain sebagai musuh yang harus dibinasakan dan juga
timbulnya sikap eksklusivisme pada setiap suku, sehingga mereka mudah terpecah
belah dan bermusuhan serta tiap – tiap suku tidak mempunyai keprihatinan sosial
terhadap nasib suku lain. Fenomena ini yang seolah –olah menjadi karakter orang
3 Ibid, hlm.44
4 Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah SAW, Pustaka Setia, Bandung, hl.
85
5 Nourouzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1983, hlm.
90.
Arab, tidak pernah hilang sampai sesudah masa – masa awal timbulnya Islam. 6
Sikap ini yang menyebabkan sering terjadinya konflik antar suku, dan menyebabkan
sering terjadi permusuhan atau peperangan antar suku.
Adapun puncaknya konfik antar suku ketika terjadi perang bu’ats yang terjadi pada
tahun 618 M, atau lima tahun sebelum Nabi Hijrah ke wilayah ini. Hampir semua
suku Arab di Yatsrib terlibat, demikian juag suku – suku Yahudi, semuanya
bersekutu dengan kelompoknya masing – masing. kelompok Khazraj bersekutu
dengan Bani Qainuqa sedang kelompok Aus bersekutu dengan Bani Quraidzat dan
Bani Nadhir. Dikatakan bahwa dalam peperangan tersebut banyak timbul kerusakan
dan korban.7
Memperhatikan struktur sosial masyarakat di Yatsrib yang telah diuraikan diatas,
menjadikan masyarakat Yatsrib diwarnai dengan ketidak adilan dan ketidaktenagan
masyarakat. Hal ini disebabkan di antara suku – suku terjadi perpecahan yang
berlomba untuk menguasai wilayah – wilayah subur dan sumber konflik lainnya.
Pada musim haji tahun 621 M, datang pula sepuluh orang laki-laki khazraj dan dua
orang laki-laki Aus. Setelah mereka bertemu dengan Nabi di ‘Aqobah dan
menyatakan diri masuk Islam, mereka juga melakukan Bai’at (sumpah Setia) kepada
Nabi. Bai’at ini dikenal dengan Bai’at Aqabah pertama, ketika rombongan ini
kembali ke Yatsrib, Nabi menunjuk Mus’ab bin Umair menyertai mereka sekaligus
mengajarkan Islam kepada mereka. Pada tahun 622 M, datang serombongan haji
sebanyak 73 orang baik yang sudah masuk Islam maupun yang belum. Mereka
didampingi oleh Mus’ab bin Umair. Kedatangan mereka kali ini untuk mengajak
Nabi agar beliau berkenan hijrah ke Yatsrib. Pertemuan diadakan ditempat semula
‘Aqabat, yang kemudaian dikenal dengan ‘Aqabat kedua.
Beberapa bulan setelah bai’at ‘Aqabah kedua, Nabi memerintahkan kaum muslim
Mekah agar Hijrah ke Yatsrib, pemberangkatan dilakukan secara berkelompok dan
sembunyi-sembunyi,, kecuali kelompok yang dipimpin Umar bin Khathab.8
Kemudian disusul oleh beliau bersama Abu Bakar, keduanya tiba dikota itu pada
tanggal 12 Raibulawal/12 September 622 Masehi setelah sebagain besar sahabatnya
berada di Yatsrib. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa besar sepanjang sejarah
umat Islam, sehingga dijadikan sebagai permulaan tahun baru kalender Islam, sejak
Umar bin Khathab membuat kalender hijriah. Setelah Nabi hijrah ke Yatsrib, kota
itu berubah nama menjadi Madinah.

6
7 Ali Asghar Engineer, The Origen and Devolopment of Islam, di terjemahkan Imam Baehaqi
“Asal Usul dan Perkembangan Islam”, Insist dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 146
8 Muhammad Al-Gozali, Fiqh U Seerah : Understanding the life of the Prophet Muhammad ,
alih bahasa Imam Muttaqien “ Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, Mitra Pustaka, Jakarta, 2003,
hlm. 184
C. PERUBAHAN SOSIAL DAKWAH DI MADINAH SESUDAH HIJRAH
RASULULLAH SAW

Pada pembahasan yang telah diuraikan bahwa Madinah dihuni oleh berbagai
suku bangsa yaitu bangsa Arab berikut suku – sukunya dan bangsa Yahudi dengan
beberapa suku dengan agama dan keyakinan yang berbeda. Corak masyarakatnya
yang majemuk ini bertambah kompleks dengan datangnya Islam kedaerah tersebut.
Adapun golongan – golongan penduduk Madinah pasca hijrah Nabi Muhammad
beserta pengikutnya terdapat di dalam al-Qur’an yang dikategorikan ke dalam
kelompok keyakinan, mereka disebut sebagai kaum Muhajirin, Anshar, Munafiq,
Yahudi dan Nasrani.9
Kemajemukan penduduk Madinah adalah dilihat dari berbagai segi.10
a. Dilihat dari segi kebangsaan, penduduk Madinah terdiri dari atas bangsa Arab dan
bangsa Yahudi yang masing – masing terbagi dalam ke dalam beberapa suku.
b.Dilihat dari segi daerah, mereka adalah orang-orang Arab Mekah , orang-orang
Arab dan Yahudi Madinah.
c. Dilihat dari struktur sosial dan kultur, mereka sama – sama menganut sistem
kesukuan tapi berbeda dalam adat istiadat.
d.Dilihat dari segi ekonomi, bangsa Yahudi adalah golongan ekonomi kuat yang
menguasai pertanian, perdagangan dan keuangan, sedangkan orang Arab adalah
golongan kelas dua.
e. Dilihat dari segi agama dan keyakinan, mereka terdiri dari atas penganut agama
Yahudi, pengabut agama Kristen minoritas, penganut agama Islam, golongan
Munafiqun dan penganut paganisme (Musyrik).
Dengan demikian komposisi dan struktur masyarakat Madinah baik sebelum hijrah
Nabi dan sesudah hijrah tidak mengalami perubahan dari majemuk menjadi
homogen.
D. STRATEGI DAKWAH NABI MUHAMMAD SAW TERHADAP
MASYARAKAT MADINAH

Nabi Muhammad, setibanya di Madinah, tidaklah berarti datang tanpa masalah.


Heterogenitas penduduk Madinah adalah dalam hal etnis dan bangsa, asal daerah,
ekonomi, agama, dan keyakinan serta adat kebiasaan. Kondisi ini meyebabkan tiap
golongan memiliki cara berfikir dan bertindak sendiri dalam mewujudkan
kepentingan sesuai dengan filosofi hidupnya yang dipengaruhi oleh keyakinan yang
dianutnya, kultur dan tuntutan situasi.

9 Lihat QS al-Taubah/ 101 dan 117 dan al-Maidah /82


10 J Suyuthi Pulungan, Op.Cit, hlm.57
Masyarakat yang demikian memerlukan penataan dan pengendalian sosial secara
bijak dengan membuat aturan yang dapat menciptakan rasa aman dan damai atas
dasar keserasian dan keadilan serta dapat diterima semua golongan.
Nabi Muhammad tampak memahami benar bahwa masyarakat yang beliau hadapi
adalah masyarakat majemuk yang masing – masing golongan bersikap bermusuhan
terhadap golongan lain. Maka diperlukan strategi yang dalam menyelesaikan
persoalan tersebut. Setibanya di Madinah langkah yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
 Membangun Masjid

Langkah pertama, begitu beliau tiba di kota itu adalah membangun masjid. Masjid
tersebut didirikan diatas sebidang tanah milik anak yatim, Sahl dan Suhail bin ‘Amr,
yang sudah dibeli oleh beliau. Kiblatnya mengarah ke Bait al- Maqdis.
Dan salah satu sudut masjid tersebut dijadikan sebagai tempat kediaman beliau,
dengan dua kamar untuk kedua istri beliau ‘Aisyah dan Saudah. Sementara itu
kondisi bangunan masjid seperti yang digambarkan oleh Muhammad Husein
Haekal11 sebagai berikut :
“Masjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat temboknya
dibuat dari bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan sebagian
lagi dibiarkan terbuka, sebagian lagi dijadikan tempat fakir-miskin yang tidak punya
tempat tinggal. Tidak ada penerangan dalam masjid pada malam hari. Hanya pada
waktu isya diadakan penerangan dengan membakar jerami. Hal ini berjalan selama
sembilan tahun. Sesudah itu baru digunakan lampu – lampu yang dipasang pada
batang – batang (tiang) kurma yang dijadikan penopang atap itu. Tempat tinggal
Nabi tidak mewah keadaannya dari pada masjid meskipun memang sepatutnya lebih
tertutup.”

Bangunan ini bukan sekedar tempat melaksanakan shalat, tetapi juga berfungsi
sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur
kekabilahan dan sisa pengaruh perselisihan semasa jahiliyah, dan sebagai tempat
menjalankan roda pemerintahan.12
Masjid tersebut menjadi suatu mata rantai dari rencana panjang Nabi dalam
mempersatukan umat. Di masjid inilah Nabi menciptakan suasana damai, kabilah –
kabilah yang asalnya jauh, kini menjadi dekat dan perpecahan menjadi persatuan.
 Menciptakan Persaudaraan

11 Muhammad Husein Haekal, Op.Cit, hlm. 193-194


12 Syaikh Shafiyyur Rahman, Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Batsun Fis-Sirah
AnNabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam. Penerjemah Kathur Suhardi, “ Sirah
Nabawiyah” Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan ke-13 2003, hlm. 248
Di samping membangun masjid sebagai tempat untuk mempersatukan manusia,
Nabi juga mengambil tindakan yang sangat monumental dalam sejarah, yaitu usaha
mempersaudarakan antara orang – orang Muhajirin dan Anshar. Persaudaraan ini
disebut dengan sistem Muakhah. Nabi mempersaudarakan orang – orang Muhajirin
dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Mereka yang dipersaudarakan ada sembilan
puluh orang, separo dari Muhajirin dan separo dari Anshar.13
Gelombang Muhajirin dari Mekah menuju Madinah semakain besar, memperhatikan
kondisi Muhajirin yang meninggalkan Mekah tanpa harta benda karena dirampas
orang – orang kafir Mekah, maka Nabi Muhammad mempersaudarakan antara
Muhajirin dan Ansar sebagai jabatan yang tepat. Mempersaudarakan sesama muslim
adalah berdasarkan ikatan agama tanpa ada perbedaan derajat baik, karena darah
maupun suku.
Nabi Muhammad di dalam mempersaudarakan kaum muslim mempunyai tujuan
yaitu
1. Hendak mengikat hubungan antara suku Aus dengan suku Khazraj yang selalu
berperang sebelum Rasulullah datang.
2. Untuk mendekatkan hubungan diantara di antara kabilah – kabilah kaum
Muhajirin terutama oknum dari kabilah – kabilah Arab terbesar dengan orang –
orang yang berasal dari hamba sahaya atau budak belian.
3. Untuk menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan kampung halaman
mereka dan menghibur karena berpisah dengan keluarga.
4. Agar mereka saling bantu membantu dab saling tolong menolong.14

Dengan persaudaraan seperti itu berarti lenyaplah fanatisme kesukuan Jahiliyah, dan
tak ada semangat pengabdian selain kepada agama Islam, disamping itu, agar
perbedaan – perbedaan keturunan warna kulit, dan daerah tidak mendominasi, agar
seorang tidak merasa unggul dan merasa lebih rendah kecuali karena ketakwaanya.15
 Mengatur Hubungan antar Penduduk Madinah

Demi kelangsungan hidup bersama dengan aman,tentram, tertib dan damai.


Maka langkah selanjutnya yang dilakukan Nabi adalah mengatur hubungan dengan
pelbagai lapisan masyarakat Madinah, dan merekam dalam satu dokumen. Hal ini
dimaksudkan untuk menjelaskan komitmen masing – masing kelompok di Madinah
dengan memberikan batasan – batasan hak – hak dan kewajiban. Dokumen ini
disebut dengan ash-Shahifah yang kemudian dikenal dengan nama piagam Madinah
Dalam perjanjian tertulis atau piagam berisikan tentang persatuan yang erat di
kalangan kaum muslimin dan non muslim, menjamin kebebasan beragama bagi
semua golongan, menekankan kerja sama dan persamaan hak dan kewajiban semua
golongan dalam kehidupan sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan

13 Syaikh Shafiyyur Rahman, Al-Mubarakfury, Op.Cit, hlm. 248


14 Ahmad Syalabiy, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, Pustaka al Husna, Jakarta, Cet. !V,
15 Muhammad Al-Gozali, Op.Cit hlm. 215
perdamaian, dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk menengahi dan
memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul diantara
mereka.
Di antara isi perjanjian yang mengikat komponen masyarakat Madinah yang
tertuang dalam naskah perjanjian antara lain berbunyi :
“Bahwa orang-orang Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan orangorang
beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan
orang-orang Islampun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk
pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan
perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan
dirinya dan keluarganya sendiri”
"Bahwa terhadap orang-orang Yahudi Banu'n-Najjar, Yahudi Banu'lHarith, Yahudi
Banu Sa'ida, Yahudi Banu-Jusyam, Yahudi Banu Aus, Yahudi Banu Tha'laba, Jafna
dan Banu Syutaiba berlaku sama seperti terhadap mereka sendiri.”

Dalam piagam Madinah tersebut golongan Nasrani tidak tercantum, namun dalam
perkembangannya pada tahun ke-I H, delegasi Nasrani dari Najran melakukan
perjanjian dengan Rasulullah. Kesepakatan antara Nabi Muhammad dengan delegasi
Nasrani asal Najran ini adalah pemberlakuan yang sama pada piagam Madinah
sebagaimana diberlakukan terhadap komunitas umat Islam dan Yahudi.16
Piagam mengikat seluruh warga Madinah, bukan hanya masyarakat Muslim
melainkan juga non muslim . piagam ini menjamin hak semua kelompok sosial
untuk mendapat perlakuan yang sama, baik dalam beragama maupun dalam
keadilan.
Demikian ketiga langkah bijak dalam upaya membangun masyarakat baru (ummah)
di Madinah.
E. REAKSI PENDUDUK MADINAH TERHADAP DAKWAH NABI
MUHAMMAD SAW

Dengan datangnya Nabi di Madinah seolah harapan besar bagi sebuah


kehidupan yang aman dan damai segera dinikmatinya. Penduduk Madinah dengan
segala keberadaannya sebagai tuan rumah menyambut kedatangan Nabi dan
rombongan dengan rasa kegembiraan dan keikhlasan yang tidak dibuat – buat.
Dengan sambutan positif dari masyarakat Madinah atas kedatangan Nabi
Muhammad, akhirnya Islam dapat berkembang dengan pesat dalam waktu singkat
dan cita – cita serta harapan masyarakat Madinah menjadi kenyataan, yang selama
ini mereka selalu hidup dalam suasana konflik dan perang saudara, dan memakan
banyak korban baik harta maupun nyawa.

16 Ahmad Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad SAW, Bulan Bintang, Jakarta, Cet.I,
1973,hlm.44
Disisi lain, di kalangan kedua suku yang telah menerima Islam terdapat
sekelompok orang yang menolak kedatangan Islam. kelompok ini adalah pengikut
Abdullah bin Ubayy dari suku Khazraj. Ketika Nabi Muhammad tiba di Madinah,
Abdullah bin Ubayy secara lahiriyah menyatakan keislamanya, tetapi secara diam –
diam menyembunyikan rencana menggerogoti Islam. Kelompok inilah secara
rahasia menggalang hubungan dengan orang-orang pagan Mekkah dan suku – suku
Yahudi dan melancarkan intrik – intrik terhadap kaum muslimin. Hal ini disebabkan
kekecewaan Abdullah bin Ubayy terhadap Nabi Muhammad, yang tampaknya telah
merampas semua impian kebesaran Abdullah bin Ubayy – yang secara empirik
belum terbukti – untuk menjadi pemimpin di wilayah ini, karena sebelum
kedatangan Nabi, ia telah diangkat menjadi raja atau pemimpin untuk wilayah ini
pasca perang bu’ats.17
Sementara itu kaum Yahudi yang sudah menetap lebih dulu di Madinah,
menyambut Nabi dengan rasa permusuhan dan kebencian, karena rasul yang telah
dijanjikan dalam kitab mereka ternyata bukan dari ras mereka, sehingga gejolak
fanatisme rasial yang telah menguasai pikiran mereka dan juga dalam hal
perekonomi an, yang mana Yahudi selama ini telah menguasai perekonomian di
Madinah merasa tersaingi dengan datangnya Nabi dan komunitasnya.18 Hal inilah
yang menimbulkan rasa permusuhan dan kedengkian terhadap Islam.
Memang tidak mudah mengajak masyarakat ke dalam suatu agama baru sementara
mereka telah mempunyai keyakinan atau agama, walaupun sebenarnya dalam kitab
atau ajaran mereka sudah ada kejelasan tentang adanya utusan Allah setelah Nabi
mereka, dan orang Yahudi memegang peranan penting dalam bidang politik dan
ekonomi di Madinah, dan akhirnya di antara kaum Yahudi dimentahkan perjanjian
dengan Nabi, dengan melakukan penghianatan dan melakukan persekongkolan
dengan kaum Quraisy dan peristiwa ini terjadi sehabis perang badar.
Sementara itu, dakwah Islam senantiasa mampu menyatukan hati manusia,
memadamkan api kebencian dan permusuhan, mengajak penepatan janji dan
memegang amanat dalam keadaan bagaimana pun, sehingga akan terbentuk
masyarakat yang penuh ketentraman dan kedamaian, serta keadilan dalam segala
aspek.

F. PENGARUH ISLAM TERHADAP PENDUDUK MADINAH

Dengan strategi dakwah yang jitu kedatangan Islam di Madinah dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat Madinah yang majemuk. Upaya – upaya yang telah
dilakukan oleh Nabi Muhammad telah mampu mengatasi masalah – masalah yang
ada dalam masyarakat Madinah dan membawa perubahan bagi masyarakat Arab
khususnya masyarakat Madinah.

17 Ajid Thohir, Op.Cit, hlm 92


18 Syaikh Shafiyyur Rahman, Al-Mubarakfury, Op.Cit, hlm 243
Perubahan – perubahan yang dibawa Islam sangat mendasar dan komprehesif. Dari
sudut pandang keimanan dan akidah, ia mempresentasikan suatu lompatan dari
penghambaan sesuatu yang nyata, seperti patung – patung dan bintang – bintang
yang dapat dilihat dan diraba, menuju penghambaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa yang tidak dapat digambarkan dan dipadankan dengan sesuatu apa pun di dunia
ini.
Ini adalah lompatan besar dari “akal primitif” yang hanya bersentuhan dengan
materi – materi yang nyata menuju “akal berperadaban” yang mampu menyerap
konsep kebenaran akan keesaan Tuhan (tauhid).19 Dengan diterimanya konsepsi
seperti ini, perilaku keseharian seorang mukmin harus melempar jauh – jauh segala
bentuk prasangka terhadap segala kenyataan dan perilaku buruk yang sebelumnya
acap kali ia lakukan.
Begitu juga struktur masyarakat telah mengalami perubahan, yang selama ini di ikat
dengan sistem sukuisme dan jalan hidup nomadik (pengembara) yang bercirikan
solidaritas kesukuan, konflik dan perpecahan, telah sangat dominan diseluruh
semenanjung Jazirah Arab. Islam datang dengan konsep ketatanegaraan yang
mengikat mereka, baik secara individual maupun suku berdasarkan nilai kesatuan
yang universal (agama); paradigma mereka bukan lagi darah, tetapi lebih dari itu,
yakni nilai- nilai moral.
Masyarakat Madinah yang sebelum Islam datang selalu di liputi persaingan, konflik
dan peperangan untuk memperebutkan sumber kehidupan dan kebanggaan sukunya,
telah menikmati menjadi kehidupan yang damai, harmonis dan penuh kerjasama
antar sesama.
Sementara itu kehidupan masyarakat Madinah sebelum Islam, dapat dikatakan tidak
teratur, karena penduduknya yang majemuk itu tidak berhasil mewujudkan
persatuan dan kesatuan yang berada dibawah satu kepemimpinan dan membawahi
semua kabilah. Dengan kehadiran Islam akhirnya, Nabi Muhammad menciptakan
masyarakat Madinah dalam satu kesatuan ummah yang didasarkan pada masyarakat
multi relegius dengan menjadikan ketauhidan sebagai satu titik temu atau perekat
dalam masyarakat.Hal demikian tercermin dalam kesepakatan antara Nabi dengan
penduduk Madinah yang terkenal dengan piagam Madinah.
Piagam Madinah yang menjadi organ bagi Nabi membentuk persatuan dan kesatuan
penduduk kota ini, mengandung sejumlah undang – undang dan aturan moral untuk
mengatur mereka dalam kehidupan bersama, bekerjasama dan mengadakan
hubungan – hubungan sosial. Atas dasar ini dapat ditegaskan bahwa kelahiran
piagam Madinah telah mengubah orang – orang mukmin dan warga lainnya dari
sekedar kumpulan manusia menjadi suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan
dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama, bekerjasama dalam
kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka yang bebas dari pengaruh dan
penguasaan masyarakat lain.

19 Akram Dhiyauddin Umari, Op.Cit, hlm. 69


Islam telah membawa perubahan radikal dalam kehidupan individual dan sosial
dalam masyarakat Madinah, karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh
aspek kehidupan.

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN
Struktur Sosial Dakwah di Madinah Sebelum Hijrah Rasulullah SAW, Mekah
yang yang berpenduduk bersuku – suku, bila dilihat dari karakteristik budaya agama
memiliki sifat yang relatif homogen, yaitu sebagai penyembah berhala, sedangkan
wilayah Madinah memiliki penduduk yang berasal dari berbagai suku, yang terdiri
dari bangsa Arab yang terbagi dalam dua suku besar yaitu suku Aus dan Suku
Khazraj yang bermigrasi dari Arabia selatan, dan bangsa Yahudi yang terbagi dalam
beberapa suku. Yaitu Bani Quraizhat, Bani Nadhir, Bani Qunaiqa’, Bani Tsa’labat,
Bani Hadh.
Konflik Penduduk Madinah Sebelum Hijrah Rasulullah SAW ada pada
puncaknya konfik antar suku ketika terjadi perang bu’ats yang terjadi pada tahun
618 M, atau lima tahun sebelum Nabi Hijrah ke wilayah ini. Hampir semua suku
Arab di Yatsrib terlibat, demikian juag suku – suku Yahudi, semuanya bersekutu
dengan kelompoknya masing – masing. kelompok Khazraj bersekutu dengan Bani
Qainuqa sedang kelompok Aus bersekutu dengan Bani Quraidzat dan Bani Nadhir.
Dikatakan bahwa dalam peperangan tersebut banyak timbul kerusakan dan korban.
Perubahan Sosial Dakwah di Madinah Sesudah Hijrah Rasulullah SAW, Adapun
golongan – golongan penduduk Madinah pasca hijrah Nabi Muhammad beserta
pengikutnya terdapat di dalam al-Qur’an yang dikategorikan ke dalam kelompok
keyakinan, mereka disebut sebagai kaum Muhajirin, Anshar, Munafiq, Yahudi dan
Nasrani.
Dengan sambutan positif dari masyarakat Madinah atas kedatangan Nabi
Muhammad, akhirnya Islam dapat berkembang dengan pesat dalam waktu singkat
dan cita – cita serta harapan masyarakat Madinah menjadi kenyataan, yang selama
ini mereka selalu hidup dalam suasana konflik dan perang saudara, dan memakan
banyak korban baik harta maupun nyawa.
Perubahan – perubahan yang dibawa Islam sangat mendasar dan komprehesif. Dari
sudut pandang keimanan dan akidah, ia mempresentasikan suatu lompatan dari
penghambaan sesuatu yang nyata, seperti patung – patung dan bintang – bintang
yang dapat dilihat dan diraba, menuju penghambaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa yang tidak dapat digambarkan dan dipadankan dengan sesuatu apa pun di dunia
ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad SAW, Bulan Bintang,
Jakarta, Cet.I, 1973,hlm.44
Syaikh Shafiyyur Rahman, Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum,
Batsun Fis-Sirah AnNabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam.
Penerjemah Kathur Suhardi, “ Sirah Nabawiyah” Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,
cetakan ke-13 2003, hlm. 248
Ahmad Syalabiy, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, Pustaka al Husna,
Jakarta, Cet. !V,
https://journal.uinsgd.ac.id/Dakwah_Nabi_Muhammmad_Terhadap_Mas
yarakat_Madinah (di akes Tanggal 22 Maret 2020 Pada Pukul 13.23)
https://www.academia.edu/Dakwah_Nabi_Muhammad_SAW_Periode_
Makkah_Dan_Madinah (di akses Tanggal 26 Maret 2020 Pada Pukul 14.52)

Anda mungkin juga menyukai