Anda di halaman 1dari 8

HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

Definisi

Hiperplasia endometrium merupakan diagnosis histologi, yang ditandai dengan

proliferasi kelenjar endometrium sehingga rasio kelenjar-stroma lebih besar dibanding

endometrium yang normal. Proliferasi kelenjar tersebut sangat bervariasi baik ukuran

maupun bentuk dan dapat berupa hiperplasia atipik yang bisa berkembang menjadi atau

timbul bersamaan dengan kanker endometrium.

Etiologi

Pemaparan estrogen yang terus menerus tanpa diikuti pemaparan progesteron

terhadap endometrium, dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia endometrium. Efek

pemaparan estrogen tersebut pada sebagian kasus tergantung dari waktu dan dosis

pemaparan, tetapi tidak semua kasus berlaku demikian. Pada kasus lainnya juga dipengaruhi

oleh faktor individual dan hormon endogen maupun eksogen.

Klasifikasi

Klasifikasi hiperplasia endometrium menurut World Health Organization ditentukan

berdasarkan dua faktor :

1. Corak arsitektur kelenjar/stroma, bisa simple atau complex.

2. Ada atau tidaknya nuclear atypia.

Berdasarkan kedua hal tersebut diatas WHO membuat klasifikasi Hiperplasia Endometrium

sebagai berikut :

• Simple hyperplasia : peningkatan jumlah kelenjar dengan arsitektur yang regular.

• Complex hyperplasia : kelenjar iregular yang padat.

• Simple hyperplasia with atypia : hiperplasia simpel dengan adanya sitologi atipik.
• Complex hyperplasia with atypia: hiperplasia kompleks dengan sitologi atipik.

Resiko hiperplasia endometrium berlanjut menjadi kanker endometrium tipe

endometrioid terutama berhubungan dengan ada tidaknya sitologi atipia dan kepadatan corak

arsitektur hiperplasia endometrium. Penelitian Kurman dkk. menemukan lesi hiperplasia pada

endometrium dengan berbagai tingkat kompleksitas keberadaan sel-sel atipik, jika tidak

mendapat terapi dapat berkembang menjadi adenokarsinoma endometrium.

Untuk simple hyperplasia dijumpai sekitar 1% berkembang menjadi kanker, untuk

complex hyperplasia sekitar 3%, untuk simple atypical hyperplasia sekitar 8%, dan complex

atypical hyperplasia sek itar 29% ( dikutip dari Chiang ). Penelitian Horn dkk ( 2004 )

menunjukkan bahwa pada kasus-kasus complex hyperplasia sebanyak 2% akan berkembang

menjadi kanker endometrium, sedangkan pada kasus-kasus atypical hyperplasia akan

berkembang menjadi kanker endometrium sebanyak 52%.

Gambar 1. Simple hyperplasia. Kelenjar dan stroma keduanya aktif, distribusi kelenjar iregular, dan

beberapa diantaranya mengalami dilatasi kistik. Pembuluh darah stroma terdistribusi seragam.
Gambar 2. Complex hyperplasia. Kelenjar padat dengan arsitektur iregular.

3. Atypical complex hyperplasia. Kelenjar atipik dengan sel dispolar mengandung

sitoplasma eosinofilik dan membesar, nukleus yang bulat dengan nukleoli yang menonjol.11

Gambar 4. Atypical simple hyperplasia. Epitel dengan kelenjar atipik ( kiri ) hiperplasia

dengan sedikit kelenjar atipik ( kanan ).11 Universitas Sumatera Utara Meskipun klasifikasi

hiperplasia endometrium oleh WHO tahun 1994 tersebut diatas telah digunakan secara luas,

namun klasifikasi tersebut gagal dalam hal membedakan kasus-kasus berdasarkan gambaran

histopatologi dan resiko untuk terjadinya kanker secara optimal. Pembedaan kasus-kasus

tersebut penting untuk menentukan terapi yang tepat.12 Pada penelitian molekular

belakangan ini menyatakan bahwa istilah hiperplasia sesuai untuk beberapa lesi namun tidak

untuk semuanya. Sehingga digunakan istilah hiperplasia jinak untuk kasus akibat pengaruh

unopposed estrogen dan istilah endometrial intraepithelial neoplasia ( EIN ) untuk kasus lesi

pra kanker.12 Hiperplasia endometrium yang jinak tidak hanya memiliki satu gambaran

histopatologi, namun menunjukkan gambaran yang dapat berubah – ubah dalam bentuk

kombinasi dan keparahannya yang mencerminkan durasi dan kuantitas pemaparan terhadap
unopposed estrogen. Gambaran histologinya memiliki karakteristik berupa remodelling

kelenjar yang iregular, dapat dijumpai trombi vaskular, peluruhan stroma ( stromal

breakdown ) dan perubahan sitologi yang menyebar acak. 12 Endometrial Intraepithelial

Neoplasia ( EIN ) merupakan gambaran histopatologi dimana terjadi proliferasi klonal secara

arsitektur dan sitologi yang mengubah kelenjar endometrium premalignan menjadi lebih

mudah mengalami transformasi menjadi adenokarsinoma endometrium tipe I

( endometrioid ). Lesi EIN dapat berubah menjadi neoplasma secara genetik yang muncul

secara fokal. Kriteria diagnostik EIN ditegakkan berdasarkan hubungan histopatologi dengan

gambaran klinis, perubahan molekular dan pemeriksaan histomorfometri. Lesi ini memiliki

angka kecendrungan menjadi kanker sebesar 26%. 12 Tabel 1. Terminologi Diagnostik

Endometrium 12 Nomenklatur Topografi Kategori Fungsional Terapi Universitas Sumatera

Utara Hiperplasia endometrium Difus Pengaruh estrogen yang berkepanjangan Terapi

hormonal, simptomatik Endometrial Epithelial Neoplasia (EIN) Fokal yang dapat progres

menjadi difus Pre kanker Hormonal atau operasi Adenokarsinoma Endometrium tipe

endometrioid, diferensiasi baik Fokal yang dapat progres menjadi difus Kanker Surgical

staging II.4 Diagnostik Hiperplasia endometrium merupakan diagnosis histologi oleh karena

itu diperlukan sampel jaringan endometrium untuk menegakkan diagnosanya. Dianjurkan

dilakukan biopsi endometrium untuk pada kasus-kasus : 1. Perdarahan uterus abnormal

Biopsi endometrium harus dilakukan pada setiap wanita dengan perdarahan uterus abnormal

yang dicurigai hiperplasia endometrium atau kanker endometrium.5,8 2. Adanya sel

glandular atipik Ditemukannya sel glandular atipik pada sitologi serviks harus dilakukan

biopsi endometrium untuk menentukan apakah ditemukan hiperplasia atau kanker

endometrium sebagai penyebabnya.8 3. Adanya sel endometrial Wanita dengan gambaran sel

endometrial dari hasil sitologi serviks yang asimptomatik harus dilakukan biopsi

endometrium jika wanita-wanita tersebut beresiko tinggi menderita kanker endometrium


( misal : usia lebih dari 40 tahun; Universitas Sumatera Utara riwayat penyakit terdahulu dan

keluarga menderita kanker ovarium, kanker payudara, kanker kolon atau kanker

endometrium; pemakaian tamoxifen; anovulasi kronik; obesitas; terapi estrogen dan riwayat

hiperplasia endometrium ). 8 Gambar 5. Kateter suction endometrial. (A) Ujung kateter

diinsersikan ke dalam fundus uteri. (B) Saat kateter berada dalam kavum uteri, piston ditarik

keluar. (C)Sambil diputer 3600 , kateter ditarik keluar dari fundus uteri dan OUI.13 Pada

kasus-kasus berikut ini perlu dilakukan evaluasi diagnostik lebih lanjut untuk memastikan

ada atau tidaknya kanker endometrium : 1. Hiperplasia endometrium dengan sel-sel atipik

Jika dijumpai hiperplasia endometrium dengan sel-sel atipik dari hasil sampel biopsi

endometrium , diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menyingkirkan koeksistensi

adenokarsinoma endometrium, yang dapat ditemukan pada sekitar 25% pasien-pasien

tersebut. Untuk menyingkirkan kanker endometrium, dapat dilakukan dilatasi dan kuretase

Universitas Sumatera Utara dan atau biopsi dengan histeroskopi. Adanya resiko sebesar 35%

hingga 43% untuk menjadi kanker endometrium pada pasien ini, tindakan histerektomi dapat

dipertimbangkan terutama pada pasien-pasien yang sudah menopause atau tidak

menginginkan anak lagi.8 2. Perdarahan uterus yang persisten Ada atau tidaknya hiperplasia

maupun kanker endometrium harus disingkirkan jika ditemukan perdarahan uterus yang

persisten setelah adanya hasil biopsi endometrium yang jinak atau setelah dilakukan terapi

atas indikasi patologi pada endometrium. Adapun yang termasuk hasil histologi endometrium

yang jinak adalah : endometrium atropi ( akibat tidak adanya pengaruh hormonal ),

endometrium proliferasi ( akibat pengaruh estrogen ), endometrium fase sekresi ( akibat

pengaruh progesteron ), endometrium yang terganggu atau tidak sinkron ( gambaran

endometrium yang iregular sekunder akibat unopposed estrogen ) , dan endometritis. Pada

kasus-kasus ini dapat dilakukan ultrasonografi transvaginal dengan atau tanpa biopsi dengan

histeroskopi untuk mengetahui penyebab perdarahan uterus yang persisten.8 3. Wanita


postmenopause Jika dijumpai hiperplasia endometrium pada wanita postmenopause yang

tidak obesitas dan atau tidak menggunakan terapi hormon pengganti, perlu dilakukan

pemeriksaan hormon estradiol dan estron dalam serum untuk menyingkirkan ada tidaknya

tumor ovarium yang memproduksi estrogen. Apabila kadar hormon estrogen tersebut

meningkat dapat dilakukan USG, CT scan atau MRI untuk menilai kelenjar adrenal dan

ovarium.8 Universitas Sumatera Utara II.5 Penatalaksanaan Tujuan pemberian terapi pada

pasien dengan simple atau complex hyperplasia tanpa sel-sel atipik adalah untuk mengatasi

perdarahan uterus yang abnormal dan mencegah agar tidak berkembang menjadi kanker

endometrium, walaupun resikonya sangat rendah (< 1% - 3% ) dan hal ini pun masih

kontroversi. Hiperplasia endometrium dengan sel-sel atipik perlu diterapi, oleh karena

tingginya resiko menjadi kanker endometrium (17% - 53% ), dimana tindakan pembedahan

berupa histerektomi merupakan salah satu terapinya.5,8 Untuk Endometrial Intraepithelial

Neoplasia ( EIN ) pada dasarnya tindakan pengobatannya serupa dengan hiperplasia

endometrium dengan sel – sel atipik.12 Pada wanita premenopause • Tanpa sel-sel atipik

Pada wanita premenopause dengan hiperplasia endometrium tanpa sel-sel atipik dapat

diberikan medroxyprogesterone acetate ( MPA) 10 mg per hari selama 12 hingga 14 hari

setiap bulan selama tiga sampai enam bulan. Dapat pula dilakukan induksi ovulasi pada

wanita muda yang menginginkan anak. Pemakaian kontrasepsi intrauterin yang mengandung

levonorgestrel juga efektif, terutama pada wanita yang menginginkan kontrasepsi jenis

tersebut. 5,8 Setelah pemberian terapi, jika siklus menstruasi belum kembali normal, dapat

diberikan terapi pencegahan seperti MPA 5 -10 mg perhari selama 12 sampai 14 hari setiap

bulan. Dan apabila dijumpai perdarahan uterus yang abnormal , dilakukan biopsi ulang.5 •

Dengan sel-sel atipik Pada hiperplasia endometrium dengan sel-sel atipik, perlu evaluasi

lebih lanjut yaitu dengan dilakukannya dilatasi dan kuretase. Bila diagnosa telah dikonfirmasi

dan tidak dijumpai koeksistensi dengan adenokarsinoma, dapat diberikan megestrol acetate
oral secara kontinu dengan dosis 40 mg dua kali sehari pada wanita yang masih

menginginkan anak, dan dosis tersebut dapat Universitas Sumatera Utara ditingkatkan hingga

empat kali sehari. Selain itu dapat pula diterapi dengan pemakaian kontrasepsi intrauterin

yang mengandung levonorgestrel atau dapat pula diberikan MPA 600 mg per hari dengan

aspirin dosis rendah.5,8 Setelah pemberian terapi selama tiga bulan, harus dilakukan biopsi

endometrium ulang. Apabila pada pemeriksaan histopatologi hasil kuret keadaan tersebut

menetap selama tujuh hingga sembilan bulan, dapat dikatakan bahwa terapi tersebut gagal,

dan dianjurkan dilakukan tindakan histerektomi.5 Bila terjadi regresi pada endometrium

setelah biopsi ulang, pemberian terapi tergantung pada keinginan pasien tentang fungsi

reproduksinya. Jika belum menginginkan anak, dapat diberikan terapi progestin seperti

megestrol acetate, MPA, pil kontrasepsi oral, depot medroxyprogesterone acetate, atau

kontrasepsi intrauterin yang mengandung progestin. 5 Dianjurkan dilakukan biopsi

endometrium ulang setiap enam hingga dua belas bulan.5 Tindakan histerektomi dapat

dipertimbangkan pada pasien yang tidak menginginkan anak lagi atau pada pasien yang tidak

dapat mematuhi terapi medikal dan tidak dapat melakukan follow up sampling

endometrium.5 Pada wanita postmenopause • Tanpa sel-sel atipik Pada wanita

postmenopause dengan hiperplasia atipik harus disingkirkan kemungkinan adanya tumor

ovarium/adrenal atau pemakaian terapi hormon pengganti terlebih dahulu. Jika kedua faktor

diatas tidak dijumpai, pasien dapat diberi medroxyprogesterone acetate ( MPA ) 10 mg per

hari selama 3 bulan. Setelah 3 bulan, dilakukan biopsi endometrium ulang. Jika telah terjadi

regresi pada endometrium, terapi dapat dihentikan, dengan catatan dilakukan evaluasi

Universitas Sumatera Utara diagnostik ulang bila terjadi perdarahan lagi. Jika hiperplasia

menetap setelah pemberian terapi selama 3 bulan, dan perdarahan tetap berlangsung, dapat

dianjurkan histerektomi atau terapi dapat dilanjutkan dengan evaluasi tiap 6 hingga 12 bulan

lagi. 5 Apabila pada saat ditegakkan diagnosa hiperplasia endometrium pasien sedang
menggunakan terapi hormon, maka terapi hormon tersebut harus dihentikan terlebih dahulu

dan pasien diberi terapi dengan MPA. Jika terapi MPA berhasil, dan wanita tersebut tetap

menginginkan terapi hormon pengganti, maka dapat diberikan bersama-sama dengan

progestin dosis tinggi dan jangka panjang , dan dilakukan evaluasi dengan melakukan biopsi

endometrium ulangan dalam 3 hingga 6 bulan.5 Wanita postmenopause dengan hiperplasia

endometrium yang tidak berhubungan dengan tumor ovarium/adrenal maupun terapi hormon

pengganti, biasanya ditandai dengan adanya obesitas, karena itu terhadap wanita tersebut

dapat dianjurkan menurunkan berat badannya dan tetap diberi terapi MPA seperti tersebut

diatas.5 • Dengan sel-sel atipik Hiperplasia endometrium atipik diduga merupakan kondisi

premalignan, karena itu sebaiknya diterapi dengan histerektomi. 5,8 Jika pasien menolak

dilakukan histerektomi, dapat diberikan terapi dengan megestrol acetate oral secara kontinu

dengan dosis 40 mg dua hingga empat kali sehari atau MPA 10 mg per hari. Terapi tersebut

boleh diberikan jika koeksistensi kanker endometrium telah dapat disingkirkan melalui biopsi

dengan histeroskopi. Selanjutnya harus dilakukan biopsi endometrium ulang setelah tiga

bulan pemberian terapi. Jika terjadi regresi pada endometrium, terapi dapat dilanjutkan,

dengan tetap melakukan follow up biopsi endometrium tiap 6 sampai 12 bulan. Apabila

hiperplasia menetap, dianjurkan untuk dilakukan histerektomi.5 Universitas Sumatera Utara

Adapun penatalaksanaan hiperplasia endometrium menurut Hacker adalah seperti skema di

bawah ini : Dilakukan dilatasi & kuretase (D&C) untuk menyingkirkan kanker endometrium

pada pasien-pasien Ingin mempertahankan Tidak ingin mempertahankan Histerektomi

Provera 10-20 mg/ hari selama 10-14 hari sebulan jika premenopause, atau Provera Ulangi

biopsi endometrium Hiperplasia menetap Normal atau Lanjutkan Provera 5 mg/hari selam 10

hari tiap bulan selama 12 bulan Lakukan biopsi endometrium tiap Universitas Sumatera Utara

Dapat dicoba progestin dosis tinggi ( misal Provera Hiperplasia menetap Histerektomi

Anda mungkin juga menyukai