Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan

dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan. 1,2

Alergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE dependent dari sel

mast saluran pernafasan dari mediator, termasuk diantaranya histamin, prostaglandin, leukotrin,

sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.1

Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan respon saluran nafas yang menimbulkan

gejala episodik berulang, mengi, sesak nafas, rasa berat di dada serta batuk terutama malam hari

dan atau dini hari. Gejala ini umumnya berhubungan dengan pengurangan arus udara yang luas

tapi bervariasi yang biasanya reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. 3

Penelitian epidemiologi selama sepuluh tahun terakhir banyak tentang asma bronkial dan

penyakit alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai belahan dunia. Semua

penelitian ini walaupun memakai berbagai metode dan kuisioner namun mendapatkan hasil yang

konsisten untuk prevalensi asma bronkial sebesar 5-15% pada populasi umum dengan prevalensi

lebih banyak pada wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data epidemiologi

yang pasti namun diperkirakan berkisar 3-8%.4

Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi (atopi) dan 50%

pasien asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi. Asma bronkial atopi ditandai dengan

timbulnya antibodi terhadap satu atau lebih alergen seperti debu, tungau rumah, bulu binatang

dan jamur. Atopi ditandai oleh peningkatan produksi IgE sebagai respon terhadap alergen.

Prevalensi asma bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%. 4

Serangan asma bisa dipicu oleh berbagai faktor, ini sangat bervariasi antara satu individu

dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi saluran
nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi emosi yang berlebihan, rinitis,

sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastroesofageal dan kehamilan.1

Berikut akan dilaporkan kasus Asma Bronkhial pada seorang perempuan berusia 70

tahun yang dirawat di Anggrek 1 RSUP Prof. Dr. dr. R. D. Kandou Manado.
LAPORAN KASUS

Seorang perempuan, Ny. MM berusia 70 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama

sesak napas. Keluhan sesak napas sejak sejak + 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas

juga dirasakan pasien hilang-timbul serta memberat sejak tadi malam. Keluhan lain yang

dirasakan pasien juga adanya demam dan batuk sejak + 1 minggu yang lalu. Batuk dirasakan

pasien berlendir berwarna putih. Pasien juga memiliki keluhan lain nyeri ulu hati. BAB dan BAK

normal. Pasien memiliki riwayat penyakit asma sejak kecil, dan mengkonsumsi obat inhaler,

asam urat. Riwayat penyakit hipertensi dan DM disangkal. Pasien memiliki riwayat pengobatan

TB pada tahun 2006 dan telah tuntas. Pada riwayat penyakit keluarga, menurut pasien, mendiang

sang ayah juga memiliki penyakit asma. Pasien tidak memiliki riwayat merokok dan minum

alkohol. Saat masih muda pasien juga bekerja di kebun dan sering terpapar dengan debu.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran

compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 100 x/menit, respirasi 26 x/menit, suhu aksila

37.6°C, saturasi oksigen 88%. Pada kepala didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik.

Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tekanan vena jugular tidak meningkat. Lidah

tidak kotor, tonsil tidak membesar dan faring tidak hiperemis. Pemeriksaan paru didapatkan

simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis, stem fremitus kiri sama dengan kanan, pada

perkusi didapatkan bunyi sonor kiri sama dengan kanan, batas paru hati pada ruang antar iga VI

kanan, suara nafas vesikuler, adanya ronkhi dan wheezing pada kedua lapang paru. Pemeriksaan

jantung, iktus kordis tidak tampak dan teraba di ruang antar iga V garis midklavikularis kiri,

batas jantung kanan di ruang antar iga IV garis sternalis kanan, batas jantung kiri sesuai iktus

kordis yaitu di ruang antar iga V garis midklavikularis kiri. Suara jantung pertama dan kedua
normal, tidak terdengar bising. Pada perut tampak datar, peristaltik usus normal, lemas , hati dan

limpa tidak teraba. Pada pemeriksaan ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema pada

kedua tungkai.

Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 08 Januari 2020 didapatkan sebagai berikut:

Leukosit 16.000/µL, Eritrosit 48.800/µL, Hemoglobin 14.1 g/dL, Hematokrit 40.9 %, Trombosit

197.000/µL, MCH 28.9 pg, MCHC 34.5 g/dL, MCV 83.8 fL, Ureum Darah 23 mg/dL, Creatinin

Darah 0.9 mg/dL, Gula Darah Sewaktu 102 mg/dL, Chlorida Darah 100.0 mEq/L, Kalium Darah

3.30 mEq/L, Natrium Darah 138 mEq/L.

Pada pemeriksaan foto dada dalam batas normal dan pemeriksaan elektrokardiografi

(EKG) pada tanggal 08 Januari 2020 di instalasi gawat darurat didapatkan sinus ritme (heart rate

70x/menit) normoaksis.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien didiagnosis dengan

Asma Bronkhial. Pasien diberikan infus Nacl 0,9% 20 tpm, Dexamethasone 2x 10mg ,

Ceftriaxone 1x 2gr, N-Acetylsistein 3x 200mg, Nebulisasi Combivent + Pulmicort per 8 jam.

Hari kedua perawatan di Anggrek 1 tanggal 8 Januari 2020, keluhan sesak napas serta

batuk masih ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran kompos

mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 92 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu badan 37℃

saturasi oksigen 96%. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva tidak anemis, sclera

tidak ikterik. Pemeriksaan paru didapatkan simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis, stem

fremitus kiri sama dengan kanan, pada perkusi didapatkan bunyi sonor kiri sama dengan kanan,

batas paru hati pada ruang antar iga VI kanan, suara nafas vesikuler, terdapat ronki dan

wheezing. Pemeriksaan jantung, iktus kordis tidak tampak dan teraba di ruang antar iga V garis

midklavikularis kiri, batas jantung kanan di ruang antar iga IV garis sternalis kanan, batas
jantung kiri sesuai iktus kordis yaitu di ruang antar iga V garis midklavikularis kiri. Suara

jantung pertama dan kedua normal, tidak terdengar bising. Pada perut tampak datar, peristaltik

usus normal, lemas, hati dan limpa tidak teraba. Pada pemeriksaan ekstremitas teraba hangat dan

terdapat edema pada ekstremitas kiri dan kanan.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosa kerja dari pasien

adalah Asma Bronkhial, Pneumonia dan hipokalemia ringan. Pasien diberikan terapi Ceftriaxone

1x2gr, Paracetamol 3x500 mg, Lanzoprazole 2x30 mg, Sucralfat 3x10cc, Azithromycin

1x500mg, N-Acetylsistein 3x 200mg, Nebulisasi Combivent+Pulmicort per 8 jam.

Hari ketiga perawatan di Anggrek 1 tanggal 9 januari 2020 terdapat keluhan sesak napas,

batuk serta demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran

kompos mentis, tanda vital tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 85 x/menit, respirasi 20 x/menit,

o
suhu badan 36.7 C, saturasi oksigen 94%. Terdapat ronkhi dan wheezing disertai pada

pemeriksaan auskultasi thorax serta suara pernapasan bronkovesikuler. Diagnosa kerja dari

pasien adalah Asma Bronkhial, Pneumonia dan hipokalemia ringan. Pasien diberikan terapi

Ceftriaxone 1x2gr, Paracetamol 3x500 mg, Lanzoprazole 2x30 mg, Sucralfat 3x10cc,

Azithromycin 1x500mg, N-Acetylsistein 3x 200mg, Nebulisasi Combivent+Pulmicort per 8 jam

serta ditambahkan Loratadine 10 mg 1-0-0.

Hari keempat perawatan di Anggrek 1 tanggal 10 januari 2020, keluhan sesak napas

berkurang, batuk dirasakkan kadang serta demam sudah tidak ada. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran kompos mentis, tanda vital tekanan darah 130/80

o
mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu badan 36 C, saturasi oksigen 98%. Ronkhi

didapatkan minimal dan wheezing sudah tidak ada serta suara pernapasan vesikuler. Diagnosa

kerja dari pasien adalah Asma Bronkhial, Pneumonia dan hipokalemia ringan. Pasien diberikan
terapi Ceftriaxone 1x2gr, Paracetamol 3x500 mg, Lanzoprazole 2x30 mg, Sucralfat 3x10cc,

Azithromycin 1x500mg, N-Acetylsistein 3x 200mg, Nebulisasi Combivent+Pulmicort per 8 jam

serta ditambahkan Loratadine 10 mg 1-0-0. Pasien juga direncanakan pemeriksaan BTA sputum.

Hari ke lima perawatan di Anggrek 1 tanggal 11 januari 2020, keluhan sesak napas

kadang kadang, batuk pun dirasakan kadang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum

sedang, kesadaran kompos mentis, tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit,

o
respirasi 20 x/menit, suhu badan 36 C, saturasi oksigen 98%. Ronkhi dan wheezing sudah tidak

ada serta suara pernapasan vesikuler. Terapi yang diberikan sama dengan hari perawatan

sebelumnya. Pasien juga direncanakan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, Natrium,

Kalium serta Chlorida darah dan pemeriksaan BTA sputum. Kemudian di hari yang sama

didapatkan hasil laboratorium Leukosit 6700 dan Kalium 4.3 (Hipokalemia perbaikan).

Hari ke lima perawatan di Anggrek 1 tanggal 12 januari 2020, keluhan sesak napas

kadang kadang, batuk pun dirasakan kadang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum

sedang, kesadaran kompos mentis, tanda vital tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 90 x/menit,

o
respirasi 20 x/menit, suhu badan 36 C, saturasi oksigen 98%. Ronkhi dan wheezing sudah tidak

ada serta suara pernapasan vesikuler. Terapi yang diberikan sama dengan hari perawatan

sebelumnya.

Hari ke enam perawatan di Anggrek 1 tanggal 12 januari 2020, keluhan sesak napas dan

batuk sudah tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran

kompos mentis, tanda vital tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 20 x/menit,

o
suhu badan 36 C, saturasi oksigen 98%. Ronkhi dan wheezing sudah tidak ada serta suara

pernapasan vesikuler. Pasien dilanjutkan perawatan rawat jalan.


PEMBAHASAN

Manifestasi Klinik, pasien yang menderita asma bronkhial keluhan dan gejala tergantung

dari berat ringannya pada waktu serangan. Pada serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa

adanya komplikasi, keluhan dan gejala tak ada yang khas.9 Keluhan yang timbul : 6,9,10
nafas
6,9,10
berbunyi, sesak nafas, dan batuk. Tanda-tanda fisik : cemas, gelisah, panik, berkeringat,

tekanan darah meningkat, nadi meningkat, pulsus paradoksus : penurunan tekanan darah sistolik

lebih dari 10 mmHg pada waktu inspirasi, frekuensi pernafasan meningkat, sianosis, otot-otot

bantu pernafasan hipertrofi paru, didapatkan ekspirium yang memanjang dan wheezing. Pada

kasus ini, pada pasien ditemukan batuk, sesak napas serta frekuensi pernafasan meningkat.

Pada riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap

asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi. 12 Adapun pemeriksaan fisik pada pasien asma

tergantung dari derajat obstruksi saluran nafas. Bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE

dependent dari sel mast saluran pernafasan dari mediator, termasuk diantaranya histamin,

prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.

Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena

saluran pernafasan pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis

serangan. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding

saluran nafas dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran

mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran

1,6
pernafasan.

Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernafasan dan denyut nadi juga

meningkat, ekspirasi memanjang disertai ronkhi kering, mengi (wheezing) dapat dijumpai pada
pasien asma.12 Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal

Charcol Leyden).12 Berbagai jenis pemeriksaan penunjang dapat dilakukan ; 1). Spirometri

adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan

saluran nafas yang merupakan ciri kahs asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi

paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih

sesudah pemberian bronkodilator.13 2). Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis

asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji

provokasi bronkus.

Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara objektif

hiperreaktivitas saluran nafas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari

tiga jenis yaitu Uji provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen

non-spesifik seperti metakolin dan histamin.10, 113). Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk

menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi

saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
13, 14
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan. Pada pasien ini dilakukan

pemeriksaan foto thoraks dan didapatkan kesan emphisema lung.

Pada kasus ini pasien dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium darah Pada

pemeriksaan laboratorium tanggal 08 Januari 2020 didapatkan sebagai leukositosis (Leukosit

16.000/µL), Hipokalemia (3.30 mEq/L).

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas

hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas

sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma: 10 a). Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b). Mencegah eksaserbasi akut c).Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal

mungkin c). Mengupayakan aktivitas normal d). Menghindari efek samping obat e). Mencegah

terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) f).Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanan asma bronkial terdiri dari pengobatan non medikamentosa dan

pengobatan medikamentosa : 1. Pengobatan non medikamentosa 9,10 terdiri dari : a). Penyuluhan

b). Menghindari faktor pencetus c). Pengendalian emosi d). Pemakaian oksigen 2. Pengobatan
1,9,10
medikamentosa Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu

antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah

serangan dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator yang merupakan pengobatan saat

serangan untuk mencegah eksaserbasi/serangan dikenal dengan pelega. I) Antiinflamasi

(pengontrol). A). Kortikosteroid adalah agen anti inflamasi yang paling potensial dan merupakan

anti inflamasi yang secara konsisten efektif sampai saat ini. Efeknya secara umum adalah untuk

mengurangi inflamasi akut maupun kronik, menurunkan gejala asma, memperbaiki aliran udara,

mengurangi hiperresponsivitas saluran napas, mencegah eksaserbasi asma, dan mengurangi

remodelling saluran napas. Kortikosteroid terdiri dari kortikosteroid inhalasi dan sistemik. B).

Mekanisme yang pasti kromolin belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan

antiinflamasi non steroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast. C). Metilsantin,

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi.

D). Agonis beta-2 kerja lama, Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah

salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Pada pemberian jangka

lama mempunyai efek anti inflamasi walau pun kecil. E). Leukotriene modifiers, Obat ini

merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Selain bersifat
bronkodilator juga mempunyai efek anti inflamasi. II) Bronkodilator (pelega) A). Agonis beta 2

kerja singkat, Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol

yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian secara

inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping yang minimal. B). Metilxantin,

termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibanding agonis beta

2. III). Antikolinergik, Pemberian secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek

penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi

dengan menurunkan tonus vagal intrinsik, selain itu juga menghambat reflek bronkokonstriksi

yang disebabkan iritan.9.10 Pada pasien ini diberikan combivent yang mengandung salbutamol

sulfat dan ipratropium bromida, berupa obat yang berbentuk aerosol serta memiliki cara kerja

membuka saluran udara ke paru paru serta melakukan relaksasi. Kemudian diberikan juga

pulmicort obat anti inflamasi jenis kortikosteroid, untuk mencegah eksaserbasi asma. Pada

pasien diberikan terapi cairan NaCL 0.9% 20 gtt/menit, Terapi antibiotik karena adanya infeksi

sekunder diberikan Ceftriaxone 1x 2gr IV dan Azithromycin 1x 500 m. Pada pasien pula

didapatkan keluhan batuk berdahak putih maka dilakukan tatalaksana farmakologis dengan N-

Asetilsistein 1x 500mg. Tatalaksana demam diberikan Paracetamol 3x 500mg. Keluhan nyeri

perut daerah epigastrium diberikan Lansoprazole 2x 30mg dan Sucralfat 3x 10cc. Serta pada

pasien juga diberikan anti histamin oral, Loratadine 10mg 1-0-0.

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan

kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta.

Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita dua kali

lipat penderita asma pria. Juga suatu kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma
dengan usia lebih tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan di mulai sejak kanak-

kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak

sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan commond cold 29%

4
akan mengalami serangan ulangan.

Pada penderita yang mengalami serangan intermiten (kumat-kumatan) angka

kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus

4
menerus angka kematiannya 9%. Pada pasien ini prognosis Dubia Ad Bonam karena cepat

dilakukan tatalaksana farmakologis dan non-farmakologis sehingga keluhan sesak bisa teratasi.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus seorang perempuan berumur 70 tahun yang dirawat di Anggrek 1

RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado. Penderita masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas

dan batuk sejak 2 minggu lalu serta demam sejak 1 hari lalu. Berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium diagnosa kerja dari pasien adalah Asma
Bronkhial. Selama perawatan di rumah sakit pasien telah diterapi secara non farmakologi dan

farmakologi. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam.


DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 981

2. Davey P. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga. 178-180

3. Surjanto E. Derajat Asma dan Kontrol Asma. Jurnal Respirologi Indonesia 2008;28. 88-95.

4. Marleen FS, Yunus F. Asma pada Usia Lanjut. Jurnal Respirologi Indonesia 2008;28. 165-73.

5. Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD Arifin

Achmad Pekanbaru Periode Januari-Desember 2005. Pekanbaru: FK UNRI, 2006.

6. Asma bronkial. 2008. http://www.medicastore.com [diakses 22 Maret 2009].

7. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret, 2003.27.

8. Ward JPT. Ward J, Leach RM, Wiener CM. at a glance Sistem Respirasi. Jakarta: Erlangga.

54-57
9. Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University

Press. 1989. 1-11.

10. Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. Hubungan Antara Eosinofil

Sputum dengan Hiperreaktivitas Bronkus pada Asma Persisten Sedang. Jurnal Respirologi

Indonesia 2006;1.45

11. Mangunnegoro dkk. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004.3-79.

12. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta

kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2001. 477-82.

13. Sundaru H. Asma Bronkial. Dalam Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI. 2001.21-27.

14. Danususanto H. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates, 2000. 196-224.

Anda mungkin juga menyukai