(CVA-SAH)
A. DEFINISI
Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang mengacu kepada setiap
gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya
aliran darah melalui sistem suplai arteri di otak. Istilah stroke atau penyakit
serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan neurologik mendadak yang
terjadi akibat pembatasan atau berhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri
otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark
serebrum. Istilah yang masih lama dan masih sering digunakan adalah
cerebrovaskular accident (CVA) (Price & Wilson, 2006)
Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) pada
tahun 2009 mendefinisikan subarakhnoid hemorrhage (SAH) adalah stroke
perdarahan dimana darah dari pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid yaitu
ruang di antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) dari
jaringan selaput otak (meninges). Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan
(aneurisma) dalam arteri basal otak atau pada sirkulasi willisii.
C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi aneurisma
SAH menurut Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996) dalam Lemonick
(2010) meliputi:
Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
Hipertensi
Merokok
Atherosklerosis
Kontrasepsi oral
Usia lanjut
Jenis kelamin
Pecandu alkohol berat
D. PATOFISIOLOGI
CVA subarakhnoid hemorrhage (SAH) sebagian besar disebabkan oleh
rupturnya aneurisma serebral. Segera setelah perdarahan, rongga subarakhnoid
dipenuhi dengan eritrosit di CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa
jalan kecil di otak. Beberapa eritrosit akan berikatan menjadi bekuan pada area
perdarahan. Sebagian besar eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan
trabekulae. Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah dari
ruang subarakhnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah
perdarahan. Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki
ruang subarakhnoid melalui pembuluh meningeal, dapat secara langsung memecah
eritrosit di CSF atau merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al., 1989).
Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak menjadi berkurang, sehingga
menyebabkan terjadinya iskemi pada jaringan otak dan lama-lama akan
menyebabkan terjadinya infark serebri.
Selanjutnya, jaringan otak yang mengalami iskemi/ infark akan menyebabkan
gangguan/ kerusakan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih
hidup, sering mengalami kelumpuhan pada saraf kranial kiri, paralisis, aphasia,
kerusakan kognitif, kelainan perilaku, dan gangguan psikiatrik (Bellebaum et al.,
2004 dalam American Association of Neuroscience Nurses, 2009).
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009, gejala CVA
SAH dapat dilihat dari derajat nya, yaitu:
Deraja GCS Gejala
t
1 15 Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku
kuduk ringan.
2 15 Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk, defisit
neurologis tidak ada (selain parese saraf otak).
3 13-14 Kesadaran menurun (drowsiness) atau defisit neurologis
fokal.
4 8-12 Stupor, hemiparesis moderate sampai berat, permulaan
desebrasi, gangguan vegetatif.
5 3-7 Koma berat, deserebrasi.
F. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Persyarafan
- Reflex hammer
- Garputala
- Kapas dan lidi
- Penlight atau senter kecil
- Opthalmoskop
- Jarum streril
- Spatel tongue
- 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
- Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh
- Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum
- Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula, atau cuka
- Baju periksa
- Sarung tangan
b. Reflex biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa
ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul
dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi
fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi
penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu
c. Reflex triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila
ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar
keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
d. Reflex abdominal
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa
gerakan plantar fleksi kaki.
e. Reflek Babinski
Merupakan refleks yang paling penting. Ia hanya dijumpai pada penyakit
traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian
lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian
melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki
melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal
adalah fleksi plantar semua jari kaki.
Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan
selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan:
1. Kaku Kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak
dapat menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain
didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala
klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua
tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi
panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi
panggul dan lutut.
4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah
pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 135°
terhadap tungkai atas. Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan
menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan
nyeri sepanjang m. ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
a. Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal.
Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua
pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan
memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.
b. Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau
diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi,
ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki
plantar fleksi.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologis
a. CT Scan
CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien dengan
suspek perdarahan subaraknoid. Hasil yang di dapatkan menunjukkan
bahwa darah SAH pada CT Scan tanpa bentuk berarti pada ruang
subarakhnoid disekitar otak, kemudian membentuk sesuatu yang secara
normal berwarna gelap muncul menjadi putih. Efek ini secara khas muncul
sebagai bentuk bintang putih pada pusat otak seperti gambar berikut ini.
b. Pungsi Lumbal
Dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala tidak dapat
dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan klinis sangat
mencurigakan suatu perdarahan subaraknoid dan tidak ada kontraindikasi
lumbal punksi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat xanthochromia (CSF
berwarna kuning yang disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana
sensitivitas pemeriksaan ini lebih besar dari 99% (AANN, 2009).
c. CTA (Computed Tomography Angiography)
Dilakukan jika diagnosis SAH telah dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.
d. Rotgen Toraks
Untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI).
MRI harus dilakukan untuk menutup kemungkinan malformasi vaskular
pada otak, batang otak atau batang spinal. MRI dapat menunjukkan
perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau
leukositosis setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et
al., 2009).
b. Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis
(Weiner, 2000).
c. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati
sebelumnya.
d. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
H. PENATALAKSANAAN
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline
Stroke 2007:
1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA)
- Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk
upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Bed rest total
dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan
lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3
L/menit.
- Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
- Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-
kelainan neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif:
- Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang
gawat darurat.
- Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang
nafas yang adekuat.
- Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
- Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.
2. Tindak lanjut mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan
antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan
ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam
pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan
pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk
terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi
yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.
Penekanan
Edema serebri Infark serebri
jaringan otak
Defisit neurologis
I. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume
intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi
peningkatan TIK.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- GCS 456
- Tidak ada papiledema
- TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan klien, penyebab koma/ Memperioritaskan intervensi, status
penurnan perfusi jaringan dan neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk
kemungkinan penyebab peningkatan menentukan kegawatan atau tindakan
TIK pembedahan.
Memonitor TTV tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila sirkulasi
serebri terpelihara dengan baik.
Peningkatan TD, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda peningkatan
TIK. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan meningkatkan
TIK.
Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan kembali
bola mata merupakan tanda dari
gangguan saraf jika batang otak
terkoyak. Keseimbangansaraf antara
simpatis dan parasimpatis merupakan
respons refleks saraf kranial.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkah Tingkah laku non verbal merupakan
laku pada pgi hari. indikasi peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri dimana klien
tidak mampu mengungkapkan keluha
secara verbal.
Palpasi pembesaran bladder dan Dapat meningkatkan respon otomatis
monitor adanya konstipasi. yang potensial menaikkan TIK.
Obaservasi kesadaran dengan GCS Perubahan kesadaran menunjukkan
peningkatan TIK dan berguna untuk
menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia.
Diuretik osmosis Mengurangi edema.
Steroid (deksametason) Menurunkan inflamasi dan edema.
Analgesik Mengurangi nyeri
Antihipertensi Mengurangi kerusakan jaringan.
American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient with
Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.
Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC