Anda di halaman 1dari 54

PARASITOLOGI

Untuk memenuhi tugas mata kuliah praktek PARASITOLOGI


Dosen pengampuh Anthoni Farhan, S.Pd.,M.si

Di susun oleh:
Nama : Irenza Fernanda Rahmadihartanti
NIM : 181310029
Prodi : D3 Analis Kesehatan
Kelas : 3 B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami


kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan buku untuk memenuhi
tugas dari praktikum parasitilogi.
Penulis tentu menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya buku ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada buku ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jombang, 11 Januari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................2
DAFTAR ISI
BAB I.............................................................................................................................5
Pemeriksaan Feses Lengkap........................................................................................5
A. PENGERTIAN FESES..........................................................................................5
B. PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS......................................................................7
C. PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS......................................................................11
D. PEMERIKSAAN DARAH SAMAR...................................................................14
E. BENTUK-BENTUK FESES................................................................................16
F. PRA ANALITIK, ANALITIK DAN PASCA ANALITIK DARI
PEMERIKSAAN FESES.............................................................................................17
G. PENGAMBILAN SAMPEL FASES................................................................21
H. PENYIMPANAN DAN PENGIRIMAN FESES.............................................23
BAB II.........................................................................................................................24
STH (Soil Transmitted Helminths).............................................................................24
A. PENGERTIAN STH............................................................................................24
BAB III........................................................................................................................36
HOOKWORM...........................................................................................................36
A. Pengertian Cacing Tambang.................................................................................36
B. Taksonomi Cacing Tambang................................................................................36
C. Siklus Hidup Cacing Tambang.............................................................................36
D. Morfologi Cacing Tambang.................................................................................37
E. Gejala Klinis Infeksi Cacing Tambang.................................................................39
F. Cara Diagnosis Infeksi Cancing Tambang...........................................................40
G. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Cacing Tambang.....................................40
H. Epidemiologi Cacing Tambang........................................................................40
BAB IV........................................................................................................................41
TAENIA SAGINATA................................................................................................41
A. Pengertian Taenia saginata..................................................................................41
B. Siklus Hidup Taenia saginata...............................................................................43
C. Diagnosis..............................................................................................................45
D. Cara Mengatasi Infeksi Taenia saginata dan Cysticercus bovis............................45

3
BAB V.........................................................................................................................48
Enterobius vermicularis..............................................................................................48
A. Pengertian Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)..........................48
a) Klasifikasi E. vermicularis..................................................................................48
b) Morfologi telur E. vermicularis...........................................................................49
c) Morfologi cacing E. vermicularis.............................................................................49
d) Siklus hidup E. vermicularis................................................................................50
e) Cara penularan Enterobius vermicularis...................................................................50
f) Epidemiologi E. vermicularis...................................................................................51
g) Diagnosa Laboratorium............................................................................................52
B. Cara pencegahan dan pemberantasan Enterobiasis...............................................52
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................54

4
BAB I
Pemeriksaan Feses Lengkap

Pemeriksaan feses (tinja) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang


telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit.
Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang
modern , dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak
dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam
penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses , cara pengumpulan sampel yang
benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan
diagnosis yang dilakukan oleh klinisi. 
Hal yang melatar belakangi penulis menyusun sebuah makalah dengan
judul “pemeriksaan laboratorium pada feses sebagai pemeriksaan penunjang
dalam penegakan diagnosa berbagai penyakit”. Agar para tenaga teknis
laboratorium patologi klinik serta para mahasiswa dari berbagai program studi
kesehatan. dapat meningkatkan kemampuan dan mengerti bermacam-macam
penyakit yang memerlukan sampel feses, memahami cara pengumpulan sampel
untuk pemeriksaan feses secara benar. mampu melaksanakan pemeriksaan sampel
feses dengan baik, dan pada akhirnya mampu membuat interpretasi hasil
pemeriksaan feses dengan benar.
A. PENGERTIAN FESES
Untuk pemeriksaan feses sebaiknya yang berasal dari defekasi spontan
jika pemeriksaan sangat di perlukan,boleh juga sempel feses di ambil dengan
jari bersarung dari rectum. Untuk pemeriksaan bisa dipakai feses
sewaktu,jarang di perlukan feses 24 jam untuk pemeriksaan tertentu.
Feses hendaknya di periksa dalam keadaan segar, kalau di biarkan
mungkin sekali unsur-unsur dalam feses itu menjadi rusak.bahan ini selalu
harus di anggap bahan yang mungkin mendatangkan inpeksi, berhati-hati lah
bekerja.
Untuk mengirim feses wadah yang sebaiknya ialah yang terbuat dari
kaca atau dari bahan lain yang tidak dapat di tembus seperti plastik. Kalau
konsistensi tinja keras,dos korton brlapis parafin juga boleh di pakai. Wadah
harus bermulut lebar. Pemeriksaan penting dalam feses ialah terhadap parasit

5
dan telur cacing. Sama pentingnya dalam keadaan tertentu adalah test terhadap
darah samar.
Jika akan memeriksa feses, pilihlah selalu sebagian dari feses itu yang
memberi kemungkinan sebesar-besarnya untuk menemui kelainan,
umpamanya: bagian yang bercampur darah atau lendir, dan sebagainya.oleh
karna unsur-unsur patologi biasanya tidak terdapat merata, maka hasil
peeriksaan mikroskopi tidak dapat di nilai derajat kepositifannya dengan
tepat,cukup di beri tanda – (negatif), +, + + atau + + + saja

Nilai Normal Pemeriksaan Tinja

No. Jenis pemeriksaan Nilai normal Keterangan

A. Makroskopis
Tergantung makanan /obat
1. Warna Kuning kehijauan
yang dikonsumsi
Bau busuk, asam, dan
tengik menunjukan adanya
Bau indol,scatol
2. Bau proses pembusukan
dan asam butirat
makanan atau gangguan
pencernaan.
Agak lunak dan
3. Konsistensi
berbentuk
100-300
gr/hari,70% air
4. Volume
dan 30% sisa
makanan
Lendir banyak ada
rangsangan.
Lendir dibagian luar tinja:
iritasi usus besar
5. Lendir Tidak ada
Lendir bercampur tinja:
iritasi pada usus halus
Lendir tanpa tinja: disentri,
intususepsi atau ileokolitis.

6
6. Darah Tidak ada
B. Mikroskopis
1. Sel epitel Ditemukan sedikit
Lekosit dan Ditemukan banyak :
2. Ditemukan sedikit
makrophag peradangan
Darah(tesben
3. Negative
sidin)
Telur dan jentik
4. Negative
cacing
5. Protozoa Negative
+ : diare atau gangguan
6. Bilirubin Negative
flora usus
7. Urobilin Positif -      : obstruksi empedu

B. PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS
Analisa makroskopis tinja

No
Makroskopis Tinja Kemungkinan penyabab
.
1. Berbutir kecil,keras,warna tua Kostipsi
2. Malabsorpsi lemak atau protein
Volume
karena penyebab dari usus
besar,berbau,mengembang
pancreas atau empedu
3. Rapuh dengan lendir tanpa
Sindroma pada usus besar
darah
4. Rapuh dengan darah dan lendir
Radang usus
(darah,lebih terlihat daripada besar,tipoid,amubiasis,tumor
ganas pada usus
lendir)
5. Hitam,mudah melekat seperti
ter,volume besar,cair ada sisa Kholero,E.coli keracunan
padat sedikit
6. Rapuh, ada nanah dan jaringan Devertikulitis,abses pada
nekrotik,agak lunak berwarna usus,tumor usus,parasit,obstruksi
sedikit putih abu-abu saluran

7
1) Warna
Warna feses yang di biarkan pada udara menjadi lebih tua karna
terbentuknya lebih banyak urobilin dari urobilinogen yang diexkresikan lewat
usus. Urobilinogen tidak berwarna sedangkan urobilin berwarna coklat
tua.selain urobilin yang normal ada, warna feses di pengaruhi oleh jenis
makanan, oleh kelainan dalam saluran usus dan oleh obat-obat yang di
berikan.
Warna kuning bertalian dengan susu, jagung, obat santonin atau
bilirubin yang belum berubah. Hijau biasanya oleh makanan yang
mengandung banyak sayur mayur jarang oleh biliverdin yang belum berubah.
Warna abu-abu mungkin di sebabkan oleh karena tidak ada urobilin dalam
saluran makanan dan hal itu didapat pada ikterus obstroktip (tinja acholik )
dan juga setelah di pakai garam barium pada pemeriksaan radiologik. Warna
abu-abu itupun mungkin terjadi kalau makanan mengandung banyak lemak
yang tidak di cernakan karna depisiensi enzim pancreas. Merah muda biasanya
oleh perdarahan yang segar dibagian distal: mungkin pula makanan seperti bit.
Warna coklat di pertalikan dengan perdarahan proximal atau dengan makanan
coklat, kopi dan seterusnya. Warna hitam oleh carbo medicinalis, oleh obat-
obatan mengandung besi dan mungkin juga oleh melena.
Analisa tinja berdasarkan warnanya

Penyebab tak
No. Warna tinja Penyebab patoligis
patologis
1. Coklat tua agak Tak ada -warna pigmen
kuning empedu
-banyak makan
daging
2. Hitam Perdarahan saluran Banyak makan Fe
empedu (saren) atau
bismuth
3. Abu-abu muda Obstruksi saluran Banyak makan
empedu coklat atau kokoa
4. Hijau atau kuning Tidak ada Bnyak makan

8
kehijauan sayuran
5. Merah Perdarahan saluran Terlalu banyak
usus bagian distal makanan lobak
merah atau biet
2) Baunya
Bau normal feses di sebabkan oleh indol, skatol dan asam butirat. Bau
itu menjadi bau busuk jika dalam usus terjadi pembusukan isinya, yaitu
protein yang tidak dicernakan dan di rombak oleh kuman-kuman. Reaksi feses
menjadi lindi pembusukan semacam itu. Ada kemungkinan juga feses berbau
asam : keadaan itu disebabkan oleh peragian (fermentesai) zat-zat gula yang
tidak di cerna karna umpamanya diare. Reaksi feses dalam hal itu menjadi
asam. Bau tengik dalam feses di sebabkan oleh perombakan zat lemak
pelepasan asam-asam lemak.
3) Konsistensi
       Feses normal agak lunak dengan mempunyai bentuk. Pada diare
konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya pada
konstipasi di daat feses keras peragian karbon hidrat dalam usus menghasilkan
feses yang lunak dan bercampur gas (CO2).
4) Lendir
       Adanya lendir berarti rangsangan atau radang ding-ding usus. Kalau
lendir itu hanya di dapat di bagian luar feses, lokalisasi iritasi itu mungkin
usus besar : kalau bercampur baur dengan feses mungkin sekali usus kecil.
Pada dysenteri, intususepsi dan ileocilitis mungkin di dapat lendir saja tanpa
feses. Kalau lendir berisi banyak leukosit terjadi nanah.
5) Darah
       Perhatikanlah  apa darah itu segar (merah muda), coklat atau hitam
dan apakah bercampu baur atau hanya di bagian luar feses saja. Makin
proximal terjadinya pendarahan, makin bercampurlah darah dengan feses dan
makin hitamlah warnanya. Jumlah darah yang besar mungkin disebabkan oleh
ulcus, varices dalam oesophagus atau hemorhoid.
Analisa keberadaan darah pada tinja

No. Keadaan darah pada Kemungkinan penyabab

9
tinja/perdarahan
1. Samar-samar sampai kuat di sertai Ulkus peptikum (lambung
rasa nyeri perut dan duodenum)
2. Ringan,kadang-kadang menjadi Gastritis erosive
berat
3. Perdarahan berat dan sekonyong- Pecahnya varices
konyong oesophagus atau Hipertensi
portal pada serosis hepatis
4. Perdarahan ringan tetapi tanpa -   peminum alcohol
nyeri terus menerus -   sindroma mallori weiss
-   hernia hiatus
5. Perdaraha sedang,tinja warna -   Devertikulum
merah atau sawp matang -   Ulkus peptikum
6. Perdarahan ringan berselang- Polip usus
seling kadang-kadang disertai
diare dan lendir
7. Perdarahan ringan sampai -    Amubiasis
berat,disertai diare,nyeri perut, -    infeksi shigelia
berat badan turun -    infeksi usus besar (kolisis)
8. Perdarahan ringan dan Devertikulitis
berselubung
9. Perdarahan berat,terselubung dan Karsinoma usus distal
pada orng tua
10. Perdarahan ringan warna merah Hemoroid
muda,konstipasi dan dengan atau
tanpa nyeri pada orang dewasa
atau tua

6) Parasit
Cacing ascaris, ancylostoma, dan lain-lain mungkin terlihat.

C. PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS
Pemeriksaan mikroskopis tinja

No Jenis pemeriksaan Tujuan pemeriksaan

10
1. Pemeriksaan parasit (diambil Untuk melihat keberadaan parasit
tinja segar pada bagian yang ada (telur) dari cacing dan amuba
darah atau lendir)
2. Sisa makanan -    melihat proses pencernaan
-    gangguan proteolisis (kberadaan
serat otot atau bergaris )
-    gangguan malabsorpsi
(missal:lemak,protein,dll)
3 Seluler -      Sel epithel: iritasi mukosa
-      Loekosit:proses inflamasi usus
-      Eritrosit:perdarahan usus

Pemeriksaan mikroskpis secara langsung


Pemeriksaan sederhana dan paling sering dilakukan. Infeksi parasit dapat dilihat
dengan pemeriksaan langsung. Untuk pemeriksaan secara mikroskopis, sejumlah
kecil feses atau bahan yang akan diperiksa diletakan diatas objek glass, bila feses
sangat padat dapat ditambahkan sedikit air selanjutnya ditutup dengan deck glass,
buat dua atau lebih sediaan.
Pada pemeriksaan mikroskopis usaha mencari protozoa dan telur cacing
merupakan maksud terpenting. Untuk mencari protozoa sering dipakai larutan
eosin 1-2% sebagai bahan pengencer feses atau juga larutan Lugol 1-2%. Selain
itu larutan asam acetat 10% dipakai untuk melihat leukosit lebih jelas, sedangkan
untuk melihat unsur-unsur lain larutan garam 0,9% yang sebaiknya dipakai untuk
pemeriksaan rutin.
Sediaan hendaknya tipis, agar unsur-unsur jelas terlihat dan dapat dikenal;
meskipun begitu selalu akan dijumpai unsur-unsur yang telah ruksak sehingga
identifikasi tidak mungkin lagi.
1) Sel epitel
       Beberapa sel epitel, yaitu yang berasal dari dinding usus bagian distal
dapat ditemukan dalam keadaan normal. Kalau sel epitel berasal dari bagian
yang lebih proximal, sel-sel itu sebagian atau seluruhnya ruksak. Jumlah sel

11
epitel bertambah banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding
usus itu.
2) Makrofag
            Sel-sel besar berinti satu memiliki daya fagositosis; dalam plasmanya
sering dilihat sel-sel lain (leukosi, eritrosit) atau benda-benda lain. Dalam
preparat natif sel-sel itu menyerupai ameba; perbedaanya ialah sel ini tidak
dapat bergerak.
3) Leukosit
            Lebih jelas terlihat kalau feses dicampur dengan beberapa tetes larutan
asam acetat 10%. Kalau hanya dilihat beberapa dalam seluruh sediaan, tidak
ada artinya. Pada dysentri basiler, colitis ulcerosa dan peradangan lain-lain,
jumlahnya menjadi besar.
4) Eritrosit
            Hanya dilihat kalau lesi mempunyai lokalisasi colon, rectum, atau
anus. Pendapat ini selalu abnormal.
5) Kristal-kristal
            Pada umumnya tidak banyak artinya. Apapun dalam feses normal
mungkin terlihat kristal-kristal tripelfosfat, celciumoxalat dan asam lemak.
Sebagai kelainan mungkin dijumpai kristal chacot-leyden adan kristal
hematoidin.
6) Sisa makanan
            Hampir seluruh dapat ditemukan juga; bukanlah adanya, melainkan
jumlahnya yang dalam keadaan tertentu dipertalikan dengan sesuatu hal yang
abnormal.sisa makanan itu sebagian berasal dari makanan daun-daunan dan
sebagian lagi makanan berasal dari hewan, seperti serat otot, serat elestik, dan
lain-lain.Untuk isentifikasi lebih lanjut emulsi tunja dicampur dengan larutan
lugol: pati (amylum) yang tidak sempurna dicerna nampak seperti butir-butir
biru atau merah. Larutan jenuh sudan III atau sudan IV dalam alkohol 70%
juga dipakai: lemak netral menjadi tetes-tetes merah atau jingga
7) Sel ragi

12
            Khusus glastocystis hominis tidak jarang didapat. Pentingnya
mengenal strukturnya ialah supaya jangan kista ameba.
8) Telur dan jentik cacing
            Ascaris lumbricoides. Necator americanus enterobius permicularis.
Trichiusus trichiura, estrongyloides strcoralis, dan sebagainya juga yang
termasuk genus cestodas dan trematodas mungkin di dapat

D. PEMERIKSAAN DARAH SAMAR


     Tes terhadap darh samar penting sekali untuk mengetahui adanya
perdarahan kecil yahng tidak dapat dinyatakan secara makroskopi atau
mikroskopi. Banyak prosedur tes yang dipakai semuanya mempunyai
keterbatasan ada yang sangat sensiitif ada yang kurang sensitif dan selalu
nonspesifik. Yang paling sering dipakai addalah tes guaiac, yang mempunyai
reasksi palsu kecil. Stetes kecil feses diapus di atas kertas-kertas saring
selanjutnya di tambaahkan 1 tetes larutan guaiac, 1 tetes asam aselat glasial
dan 1 tetes hidrogen peroksida, tes positif bila dalam waktu 30 detik timbul

13
warna biru atau hijau gelap, bila timbul warna lain atau timbul setelah 30 detik
reaksi dinyatakan negatif.
a) Cara dengan benzidine basa
1. Buatlah emulise tinja dengan air atau dengan larutan garam
kira-kira 10ml dan panasilah hingga mendidih.
2. Saringlah emulise yang masih panas itu dan biarkan filtrat
sampai menjadi dingain kembali.
3. Kedalam tabung reaksi lain dimasukan benzidine basa
sebnayak sepicuk pisau.
4. Tambahkan 3ml asam acetat glacial,kocoklah sampai
benzidine itu larut dengan meninggalkan beberapa kristal
5. Bubuhilah 2ml fitrat emulsi tinja, campur.
6. Berilah 1ml larutan hidrogen peroxida 3%,campur.
7. Hasil di baca dalam waktu 5 menit ( jangan lebih lama)
Catatan
Hasil dinilai dengan cara seperti telah diterangkan dulu:
Negatif – tidak perubahan warna atau warna yang samar-samar hijau
Positif + hijau
Positif 2 + biru bercampurr hijau
Positif 3 + biru
Positif 4 + biru tua
       Pesien yang tinjanya akan diperiksa terhadap darah samar janganlah
dikenakan hukuman seperti peraturan “ tidak boleh menyikat gigi selama
beberapa hari sebelum pemeriksaan “, biasanya tidak perlu untuk melarang
makanan daging. Bahwa tinja seorang normal biasanya bereaksi negatif
dengan tes ini agaknya mengusangkan peraturan itu, apalagi tes ini
hendaknya jangan hanya di lakukan sekali saja untuk mendapat hasil yang
bermakna.
b) Cara dengan benzidine dihidrochlorida
Jika hendak memakai benzidine dihidrochorida sebagai
pengganti benzidine basa dengan maksud supaya tes menjadi kurang

14
peka dan kurang menghasilkan yang positif palsu, maka caranya sama
juga seperti diterangkan diatas.
Catatan
Lihat juga apa yang sudah diterangkan mengenai pemakaian
benzidine dlam laboratorium.
c) Cara dengan guajac
1. Buatlah emulsi tinja sebanyak 5 ml dalam tabung reaksi
dan tambahlah 1 ml asam acetat glaseal: campur
2. Dalam tabung reaksi reaksi lain dimasukan sepucuk pisau
serbuk guajac dan 2ml alkohol 95%: campur
3. Tuanglah berhati-hati isi tabung kedua kedalam tabung
yang berisi emulsi tinja sehingga kedua jenis campuran
tetap sebagai lapisan terpisah.
4. Hasil positif kelihatan dari warna biru yang terjadi pada
batas kedua lapisan itu. Derajat kepositipan dinilai dari
warna itu
d) Urolobin
Cara
1. Taruhlah beberapa gram tinja dalam sebuah mortir dan
campurlah dengan larutan mercurichlorida 10% yang
volumenya kira-kira sama banyak dengan tinja itu.
2. Campurlah baik-baik dengan memakai alunya
3. Tuanglah bahan itu kedalam cawan datar agar lebih mudah
menguap dan biarkan selama 6 sampai 24 jam.
4. Adanya urobilin nyata oleh timbul warna merah
Catatan
      Dalam tinja normal selalu ada urobilin, hasil tes ini yang merah berarti
fositip, jumlah urobil berkurang pada ikterus obsruktif, jika obstruksi total,
hasil tes menjadi negatif.
       Tes terhadap urobilin ini sangat inferiur jika dibandingkan dengan
penetapan kuantitatif urobilin nogen dalam tinja. Penetapan kuantitatif itu
dapat menjelaskan dengan angka mutlak jumlah urobilinnogen yang

15
diekresikan per 24 jam sehingga permakna dalam keadaan seperti anemia
himolitik, ikterus obstruktif dan ikterus hepatoseluler.
E. Bentuk-bentuk feses
1) Model tinja 1 Tinja ini mempunyai ciri berbentuk bulat-bulat kecil seperti
kacang, sangat keras dan sangat sulit untuk dikeluarkan. Biasanya tinja
berbentuk seperti ini adalah tinja penderita konstipasi kronis.

2) Model tinja 2 Tinja ini mempunyai ciri berbentuk seperti sosis dengan
permukaannya yang menonjol nonjol tidak rata dan terlihat seperti akan
terbelah berkeping-keping. Biasanya tinja seperti ini bisa menyebabkan
penyumbatan saluran kakus atau WC, dapat menyebabkan ambeien. Tinja
dengan model seperti ini merupakan tinja dari seseorang yang menderita
konstipasi yang mendekati kronis.

3) Model tinja 3 Tinja seperti ini merupakan tinja penderita konstipasi ringan,
karena bentuknya mirip sosis dengan permukaan yang kurang rata dengan
adanya sedikit retakan.

4) Model tinja 4 Tinja ini mempunyai ciri berbentuk seperti ular atau sosis.
Tinja seperti ini menunjukan penderita menderita gejala awal konstipasi.

5) Model tinja 5 Tinja mempunyai ciri berbentuk bulatan-bulatan yang


lembut, permukaannya halus dan cukup mudah untuk dikeluarkan. hal ini
menandakan bahwa seseorang tersebut saluran pencernaannya atau
ususnya dalam keadaan sehat.

16
6) Model tinja 6 Karakteristik tinja model 6 adalah ciri permukaannya sangat
halus, mudah mencari dan biasanya sangat mudah untuk dikeluarkan.
Tinja dengan karakter seperti ini merupakan indikasi seseorang menderita
diare.

7)

Model tinja 7 Karakteristik tinja model 7 sama dengan model 6, namun


bentuknya sudah sangat cair bahkan tidak terlihat adanya bagian yang
padat. Hal ini menunjukan bahwa seseorang menderita diare yang kronis.

F. PRA ANALITIK, ANALITIK DAN PASCA ANALITIK DARI


PEMERIKSAAN FESES
A. Tes Makroskopi
 Pra Analitik
a) Persiapan pasien : Pasien tidak dibenarkan makan obat
pencehar sebelumnya. Preparat besi akan
mempengaruhi warna tinja dan sebaiknya dihentikan 4-
6 hari sebelum pengambilan sampel. Begitupun dengan
obat- obat antidiare, golongan tetracycline, barium,
bismuth, minyak atau magnesium akan mempengaruhi
hasil pemeriksaan.
b) sampel : Sampel sebaiknya tinja segar (pagi hari)
sebelum sarapan pagi, atau tinja baru, defekasi spontan
dan diperiksa dilaboratorium dalam waktu 2-3 jam
setelah defekasi (warm stool). Pasien diberitahu agar
sampel tinja jangan tercampur dengan urin atau sekresi
tubuh lainnya. Bila sarana laboratorium jauh dan
membutuhkan waktu yang lebih lama, sampel
sebaiknya diberi pengawet buffered glycerol saline.
c) Pengumpulan/pengambilan sampel
1) Wadah : Pot plastik yang bermulut lebar,
tertutup rapat dan bersih. Beri label : nama,
tanggal, nomor pasien, jenis kelamin, umur,
diagnosis awal. Tinja tidak boleh mengenai
bagian luar wadah dan diisi jangan terlalu

17
penuh. Kertas toilet tidak dibenarkan sebagai
wadah tinja oleh karena mengandung bismuth.
2) Cara pengambilan :
a. Tinja segar : sebaiknya tinja pagi hari
atau tinja baru dan defekasi spontan.
Ambil tinja bagian tengahnya sebesar
ujung ibu jari, masukkan kedalam
wadah dan tutup rapat.
b. Rectal swab
c. Anal swab ( jarang dilakukan )
 Analitik
a) Alat
1. Lidi atau spatel kayu
2. Kapas lidi
b) Cara kerja
1. Sampel diperiksa ditempat yang terang
2. Perhatikan warna, bau, konsistensi, adanya darah,
lender, nanah, cacing dll.
 Pasca Analitik Hasil dan interpretasi
 Warna : normal tinja berwarna kuning coklat.
Warna tinja yang abnormal dapat disebabkan atau
berubah oleh pengaruh jenis makanan, obat- obatan
dan adanya perdarahan pada saluran pencernaan.
 Bau : bau normal tinja disebabkan olah indol, skatol
dan asam butirat. Tinja yang abnormal mempunyai
bau tengik, asam, basi.
 Konsistensi : tinja normal agak lunak dan
mempunyai bentuk seperti sosis
 Lendir : Adanya lendir berarti ada iritasi atau radang
dinding usus. Lendir pada bagian luar tinja, lokasi
iritasi mungkin pada usus besar dan bila bercampur
dengan tinja, iritasi mungkin pada usus kecil.
 Darah : Normal tinja tidak mengandung darah.
Perhatikan apakah darah itu segar (merah muda),
coklat atau hitam, apakah bercampur atau hanya
dibagian luar tinja saja.
 Parasit : Cacing mungkin dapat terlihat
B. Tes Mikroskopi
1. Pra Analitik Persiapan sampel dan persiapan pasien sama
dengan tes makroskopis
2. Analitik
a. Alat

18
1) Lidi/ kapas lidi
2) Kaca objek
3) Kaca penutup
4) Mikroskop
5) Reagen : Larutan eosin 2%, larutan lugol, larutan
NaCl 0,93 b. Cara kerja
1. Tetesi kaca objek disebelah kiri dengan 1 tetes
NaCl 0,9% dan sebelah kanan dengan 1 tetes
larutan eosin 2% atau larutan lugol
2. Ambil tinja dibagian tengahnya atau pada
permukaan yang mengandung lendir, darah atau
nanah + seujung lidi
3. Aduk sampai rata pada masing- masing larutan
4. Tutupi dengan kaca penutup
5. Periksa dibawah mikroskop, mula- mula dengan
pembesaran 10x kemudian 40x. Amati apakah ada
telur cacing, amuba, eritrosit, leukkosit, sel epitel,
Kristal, sisa makanan dll.
3. Pasca Analitik Hasil dan interpretasi
a. Sel epitel. Beberapa sel epitel, yaitu yang berasal dari
dinding usus bagian distal dapat ditemukan dalam
keadaan normal. Kalau sel epitel berasal dari bagian
yang lebih proksimal, sel- sel itu sebagian atau
seluruhnya rusak.Jumlah sel epitel bertambah banyak
kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus.
b. Makrofag. Sel- sel besar berinti satu memiliki daya
fagositosis, dalam plasmanya sering dilihat sel- sel lain
(leukosit, eritrosit) atau benda- benda lain. Dalam
preparat natif ( tanpa pewarnaan) sel- sel itu
menyerupai amuba : perbedaanya ialah sel ini tidak
dapat bergerak.
c. Leukosit. Lebih jelas terlihat kalau tinja dicampur
dengan beberapa tetes larutan asam acetat 10%. Kalau
hanya dilihat beberapa dalam seluruh sediaan, tidak
ada artinya. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan
peradangan lain- lain, jumlah lekosit yang ditemukan
banyak menjadi besar.
d. Eritrosit. Hanya dilihat kalau lesi mempunyai lokalisasi
dalam kolon, rectum atau anus. Keadaan ini selalu
bersifat patologis.
e. Kristal- Kristal. Pada umumnya tidakk banyak artinya.
Dalam tinja normal mungkin terlihat Kristal- Kristal
tripelfosfat, kalsium oksalat dan asam lemak. Sebagai

19
kelainan mungkin dijumpai Kristal Charcot-Leyden
dan Kristal hematoidin. Kristal Charcot-Leyden
biasanya ditemukan pada keadaan kelainan ulseratif
usus, khususnya amubiasis. Kristal hematoidin dapat
ditemukan pada perdarahan usus.
f. Sisa makanan. Hampir selalu dapat ditemukan tertentu
dikaitkan dengan sesuatu hal yang abnormal. Sisa
makanan itu sebagian berasal dari makanan daun-
daunan dan sebagian lagi makanan berasal dari
makanan daun- daunan dan sebagian lagi makanan
berasal dari hewan, seperti serat otot, serat elastic, dll.
Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur
dengan larutan lugol : pati (amilum) yang tidak
sempurna dicerna tampak seperti butir- butir biru atau
merah. Larutan jenuh Sudan III dan Sudan IV dalam
alcohol 70% juga dipakai : lemak netral menjadi tetes-
tetes merah atau jingga.
g. Telur cacing. Ascaris lumricoides, Necator
americanus, Enterobius vermicularis Trichiurus
trichiura, Strongyloides stercoralis, dan sebagainya,
juga yang termasuk genus cestodas dan trematodas
mungkin didapat.
C. Tes darah samar ( Occult blood Test ) cara Guaiac
a. Pra Analitik
1. Tujuan : Untuk mengetahui adanya perdarahan kecil
yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopik atau
mikroskopi.
2. Persiapan pasien : perlu dihindari zat- zat yang
mengandung besi, vitamin c, bromide, iodide, makanan
yang mengandung mioglobin (daging), klorofil dan
peroksidase tumbuhan selama 2-3 hari. bila ditakutkan
adanya perdarahan gusi yang mungkin tertelan, penderita
sebaiiknya tidak gosok gigi. perlu diperhatikan juga agar
tinja tidak tercampur dengan urin. Beberapa obat- obat
dapat memberikan hasil positif palsu, misalnya aspirin,
salisilat, steroid, indometasid, NSAIDS, antikoagulan,
preparat besi, iodium.
3. Persiapan Sampel : Tidak ada persiapan khusus
4. Prinsip : Pembebasan O2 dari H2O2 menunjukkan
adanya aktifitas peroksidase molekul hemoglobin dan
pelepasan oxidizes gum guaiac akan menghasilkan produk
oksidasi yang berwarna biru.
b. Analitik
1. Alat dan Bahan

20
a. Tabung Reaksi
b. Aquadest atau larutan NaCl 0,9 %
c. Serbuk Gum guaiac 3 gram
d. Alkohol 95 % e. Asam asetat glasial
f. Hidrogen peroksidase (H2O2) 3%
2. Cara Kerja
a. Buatlah emulsi tiinja dalam tabung reaksi dengan
air atau dengan larutan garam kira- kira 5-10 ml dan
panaskan hingga mendidih
b. Saringlah emulsi yang masih panas dan biarkan
filtrat sampai menjadi dingin, dan tambahkan 1 ml
asam asetat glasial, campur
c. Dalam tabung reaksi kedua masukkan sepucuk
pisau serbuk guaiac dan 2 ml alcohol 95% campur.
d. Tuanglah secara hati- hati isi tabung kedua
kedalam tabung yang berisi emulsi tinja sehingga
kedua jenis campuran tetap sebagai lapisan terpisah
e. Berikan 1 ml hydrogen peroksidase 3%, campur.
f. Hasil positif terlihat dari warna biru yang terjadi
pada batas kadua lapisan itu
g. Hasil dibaca dalam waktu 5 menit (jangan lebih
lama), perhatikan warna yang timbul.
c. Pasca Analitik
1. Interpretasi Hasil
a. negative : tidak ada perubahan warna atau hijau
samarsamar
b. Positif 1 : hijau
c. Positif 2 : Biru- hijau
d. Positif 3 : Biru
e. Positif 4 : biru tua

G. PENGAMBILAN SAMPEL FASES


1. Tempat harus bersih, kedap, bebas dari urine, diperiksa 30 – 40 menit
sejak dikeluarkan. Bila pemeriksaan ditunda simpan pada almari es.
2. Pasien dilarang menelan Barium, Bismuth, dan Minyak dalam 5 hari
sebelum pemeriksaan.
3. Diambil dari bagian yang paling mungkin memberi kelainan.
4. Paling baik dari defekasi spontan atau Rectal Toucher
5. Pasien konstipasi
a. Waktu Pengambilan dilakukan setiap saat, terutama pada gejala
awal dan sebaiknya sebelum pemberian anti biotik. Feses yang
diambil dalam keadaan segar.

21
b. Alat-alat
1) Sarung tangan
2) Spatula steril
3) Hand scoon bersih
4) Vasseline
5) Lidi kapas steril
6) Pot tinja
7) Perlak pengalas
8) Tissue
9) Tempat bahan pemeriksaan
10) Sampiran
c. Cara kerja
a) Prosedur pengambilan feses pada dewasa :
1. Jelaskan prosedur pada ibu dan meminta persetujuan
tindakan
2. Menyiapkan alat yang diperlukan
3. Meminta ibu untuk defekasi di pispot, hindari kontak
dengan urine
4. Cuci tangan dan pakai sarung tangan
5. Dengan alat pengambil feses, ambil dan ambil feses ke
dalam wadah specimen kemudian tutup dan bungkus
6. Observasi warna, konsistensi, lendir, darah, telur cacing
dan adanya parasit pada sampel
7. Buang alat dengan benar
8. Cuci tangan
9. Beri label pada wadah specimen dan kirimkan ke
labolatorium
10.Lakukan pendokumentasian dan tindakan yang sesuai
b) Prosedur pengambilan feses pada dewasa dalam keadaan
tidak mampu defekasi sendiri:
1. Mendekatkan alat
2. Jelaskan prosedur pada ibu dan meminta persetujuan
tindakan
3. Mencuci tangan
4. Memasang perlak pengalas dan sampiran
5. Melepas pakaian bawah pasien
6. Mengatur posisi dorsal recumbent
7. Memakan hand scoon
8. Telunjuk diberi vaselin lalu dimasukkan ke dalam anus
dengan arah keatas kemudian diputar kekiri dan kekanan
sampai teraba tinja

22
9. Setelah dapat , dikeluarkan perlahan – lahan lalu
dimasukkan ke dalam tempatnya.
10.Anus dibersihkan dengan kapas lembab dan keringkan
dengan tissue.
11. Melepas hand scoon
12.Merapikan pasien
13.Mencuci tangan
c) Prosedur pengambilan feses pada bayi :
1. Jelaskan prosedur pada ibu bayi dan meminta
persetujuan tindakan yang akan dilakukan pada bayinya
2. Menyiapkan alat yang diperlukan
3. Memantau feses yang dikeluarkan oleh bayi di
popoknya, hindari kontak dengan urine
4. Cuci tangan dan pakai sarung tangan
5. Dengan alat pengambil feses, ambil dan ambil feses ke
dalam wadah specimen kemudian tutup dan bungkus
6. Observasi warna, konsistensi, lendir, darah, telur cacing
dan adanya parasit pada sampel
7. Buang alat dengan benar
8. Cuci tangan
9. Beri label pada wadah specimen dan kirimkan ke
labolatorium
10.Lakukan pendokumentasian dan tindakan yang sesuai

H. PENYIMPANAN DAN PENGIRIMAN FESES


A. Penyimpanan
1. Feses tahan < 1 jam pada suhu ruang
2. Bila 1 jam/lebih gunakan media transpot yaitu Stuart’s medium,
ataupun Pepton water
3. Penyimpanan < 24 jam pada suhu ruang, sedangkan > 24 jam
pada suhu 4°C
B. Pengiriman
1. Pengiriman < 1 jam pada suhu ruang
2. Bila tidak memungkinkan, gunakan media transport atau kultur
pada media Tetra Thionate Broth

23
BAB II
STH (Soil Transmitted Helminths)

A. PENGERTIAN STH
STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda
yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia
golongan cacing ini yang amat penting dan menyebabkan masalah kesehatan pada
masyarakat adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) penyakitnya disebut
Ascariasis, cacing cambuk (Trichuris trichiura) penyakitnya disebut Trichuriasis,
Strongyloide stercoralis penyekitnya disebut Strongiloidiasis cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) penyakitnya disebut
Ankilostomiasis dan Nekatoriasis.
Infeksi STH ditemukan tersering di daerah iklim hangat dan lembab yang
memiliki sanitasi dan hygiene buruk. STH hidup di usus dan telurnya akan keluar
melalui tinja hospes. Jika hospes defekasi di luar (taman, lapangan) atau jika tinja
mengandung telur dubuahi maka telur tersebut akan tersimpan dalam tanah. Telur
menjadi infeksius jika telur matan.
a) Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
1. Taksonomi
Taksonomi Ascaris lumbricoides
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides
2. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides.
Penyakitnya disebut askariasis. Cacing dewasa bebentuk silinder dengan
ujung yang meruncing. Stadium dewasa hidup di rongga usus halus.
Betina berukuran dengan panjang 20-35 cm dan tebal 3-6 mm. Jantan
lebih kecil, panjang 12-31 cm dan tebal 2-4 mm dengan ujung
melengkung, seperti yang ada pada gambar 1.

24
Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000
butir sehari terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Ukuran
telur cacing dengan panjang 60-70 μm dan lebar 40-50 μm . Dalam
lingkungan yang sesuai,

Gambar 1. Morfologi Ascaris lumbricoides.

Gambar 2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides


Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi
larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju
pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu
mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah,
lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke
trachea melalui bronchiolus dan bronchus. Dari trachea larva menuju ke
faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan

25
masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi
cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan
sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa.

3. Patofisiologi
Tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar
antara 25◦C-30◦C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris
lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif. Gejala yang timbul pada
penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan
karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada orang yang
rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul
gangguan pada paru disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto
thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu.
Keadaan ini disebut Sindroma Loeffler. Akumulasi sel darah putih dan
epitel yang mati membuat sumbatan menyebabkan Ascaris
pneumonitis.
4. Gejala Klinis dan Diagnosis
Pada kebanyakan kasus tidak terdapat gejala. Namun,
indikasi dari adanya Ascaris adalah gangguan nutrisi dan akan
mengganggu pertumbuhan anak. Pada umumnya pasien akan
mengalami demam, urticaria, malaise, kolik intestinal, mual,
muntah, diare. Migrasi larva Ascaris melewati paru akan
menyebabkan pneumonitis dan bronchospasm. Pada umumnya
akan didapati eosinofilia.
Cara menegakkan diagnosa penyakit adalah dengan
pemeriksaan tinja. Parasites Load Ascaris lumbricoides untuk
infeksi ringan adalah 1-4.999 Telur per Gram Tinja (EPG), untuk
infeksi sedang adalah 5.000-49.999 EPG, dan untuk infeksi berat
adalah ≥50.000 EPG.

b) Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (Cacing Tambang)

26
1. Taksonomi
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Necator / Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma duodenale
Necator americanus
Ancylostoma brazilliense
Ancylostoma ceylanicum
Ancylostoma caninum
2. Morfologi dan Daur Hidup
Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di
rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus.
Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari.
Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-
kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di
dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang
adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja,
setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva
rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi
larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat 13 bertahan
hidup 7-8 minggu di tanah.
Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung
terus ke paruparu. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk
ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut
tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing
dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau
ikut tertelan bersama makanan.

27
Gambar 1. Siklus hidup Hookworm
3. Patofisiologi
Cacing tambang dapat berkembang secara optimal pada
tanah berpasir yang hangat dan lembab, telur di tanah tumbuh dan
berkembang menjadi embrio dalam 24-48 jam pada suhu 23
sampai 30 °C dan menetas menjadi larva. Larva filaform yang
menembus kulit dapat menyebabkan ground itch. Perubahan pada
paru biasanya ringan. Tiap cacing N.americanus menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan
A.duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat
terjadi anemia hipokrom mikrositer. Cacing tambang biasanya
tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan
kognitif menurun.
4. Gejala Klinik dan Diagnosis
Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain
lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan
terhadap penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia (anemia
hipokrom micrositer). Di samping itu juga terdapat eosinophilia.
Cara menegakkan diagnosa penyakit adalah dengan pemeriksaan
tinja. Parasites Load cacing tambang untuk infeksi ringan adalah 1-
1.999 EPG, untuk infeksi sedang adalah 2.000-3.999 EPG, dan
untuk infeksi berat adalah ≥4.000 EPG.
5. Ciri-ciri larva rhabditifrom dan larva filariaform

28
Ciri-ciri larva rhabditiform ukuran :
- panjang ± 250 μm dan lebar ± 17 μm
- cavum bucalis panjang dan terbuka
- esophagus 1/3 dari panjang tubuhnya mempunyai 2
bulbus esophagus ujung posterior runcing
Ciri-ciri larva filariform ukuran :
- panjang ± 500 μm cavum bucalis tertutup
- esophagus 1/4 dari panjang tubuhnya tidak
mempunyai bulbus esophagus
- ujung posterior runcing

c) Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)


1. Taksonomi
Taksonomi Trichuris trichiura
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Enoplea
Ordo : Trichocephalida
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura
2. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes cacing ini.penyakit yang
disebabkannya disebut trikiuriasis. Cacing betina panjangnya
sekitar 5cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Bagian anterior langsing

29
seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh
tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina
bentuknya membulat tumpul. Pada cacing jantan melingkar dan
terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens
dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor
cacing betina dapat menghasilkan telur sehari 3.000-5.000 butir.
Bentuk cacing dan telur dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Morfologi Trichuris trichiura.


Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti
tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub.
Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di
dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama
tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 3–6
minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur
yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

30
Gambar 2. Siklus hidup Trichuris trichiura
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh
manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan
masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus
bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan
mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur
sekitar 30-90 hari.
3. Patofisiologi
Trichuris trichiura berkembang pada tanah yang
terkontaminasi tinja, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab
dan tanah dengan suhu optimal ± 30oC. Cacing kemudian menetas
menjadi larva dan masuk ke tubuh manusia melalui oral. Cacing
cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga
ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama
pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-
kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.
Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan.
Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga
dapat menyebabkan anemia.
4. Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak
memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala.
Sedangkan infeksi cacing cambuk yang berat dan menahun
terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri,

31
anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapses
rektum. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering disertai
dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Cara menegakkan
diagnosa penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja. Parasites
Load Trichuris trichura untuk infeksi ringan adalah 1-999 EPG,
untuk infeksi sedang adalah 1.000-9.999 EPG, dan untuk infeksi
berat adalah ≥10.000 EPG.
d) Strongiloides stercolaris
1. Taksonomi
Taksonomi Strongiloides stercolaris
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis
2. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini
dapat menyebabkan strongiloidiasis. Hanya cacing dewasa betina
hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyenum. Cacing
betina berbentuk filiform, halu, tidak berwarna dan panjangnya 2
mm. Telur berbentuk parasitik diletakkan di mukosa usus,
kemudian telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform yang
masuk ke ronnga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Siklus
secara langsung, larva filaform menembus kulit dan mencapai
peredaran darah sehingga dapat sampai ke paru atau jantung, dari
paru parasit menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring.
Secara tidak langsung, larva rabditiform dapat menjadi larva
filariform yang infeksius dan mengeinfeksi hospes atau larva
rabditiform kembali ke siklus bebasnnya. Secara autoinfeksi larva

32
filariform di daerah perianal menembus langsung daerah tersebut
dan capai peredaran darah.
3. Patofisiologi
Bila larva dalam jumlah besar menembus kulit, timbul
kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering
disertai dengan gatal hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan
pada mukosa usus halus. Ditemukan eosinophilia meskipun dapa
juga dalam kondisi normal.
4. Gejala Klinik dan Diagnosis
Umumnya tanpa gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan
rasa sakit seperti ditusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan
tidak menjalar.mungkin ada mual dan muntah, diare dan konstipasi
saling bergantian. Diagnosis klinis tidak pasti karena
strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata.
Diagnosis pasti adalah dengan menemukan larva rabditiform dalam
tinja segar, dalam biakan atau aspirasi duodenum. Biakan
sekurang-kurangnya 2x24 jam menghasilkan larva filariform dan
cacing dewasa.
B. Diagnosis infeksi STH
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi
nematoda usus adalah dengan mendeteksi keberadaan telur cacing atau
larva pada feses. Berikut adalah penjelasan mengenai jenis pemeriksaaan
feses yang biasa digunakan, yaitu:
a. Metode Direct slide
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan
baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit
untuk menemukan telur. Diambil feses kira-kira 0,2 gr lalu
diletakan pada object glass, tambahkan 1-2 tetes larutan
garam fisiologis NaCl kemudian ratakan. Selanjutknya
ditutup dengan cover glass dan langsung diperiksa di bawah
mikroskop.
b. Metode Flotasi

33
Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau sebagai
bahan untuk mengapungkan telur. Masukan feses kurang
lebih 5 gr ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan
NaCl jenuh, lalu aduk samapi homogen, setelah itu
diamkan selama 10-15 menit. Cara kerja dari metode ini
berdasarkan Berat Jenis (BJ) telur-telur yang lebih ringan
daripada BJ larutan yang digunakan sehingga telur-telur
terapung dipermukaan. Menurut Maharani dan Sofiana
(2014), metode pemeriksaan floating memiliki sensitifitas
44,4% dan spesitifitas 97,22% jika dibandingkan dengan
gold standart pemeriksaan infeksi STH yaitu kato katz
c. Metode sedimentasi Formol Ether (Ritchie)
Metode ini baik digunakan untuk memeriksa sampel feses
yang sudah lama. Prinsip dari metode ini adalah dengan
adanya gaya sentrifugal dapat memisahkan antara suspensi
dan supernatannya, sehingga telur cacing dapat
terendapkan. Metode sedimentasi memiliki sensitivitas 40%
dan spesitivitas 64,71% unruk mendeteksi keberadaan
A.lumbricoides dan 63,62% untuk T.trichiura.
d. Metode Stoll
Metode ini merupakan metode kuantitatif, dimana
menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut feses untuk
infeksi berat dan sedang. Metode ini kurang baik untuk
pemeriksaan ringan.
e. Metode Kato-Katz
Metode ini dapat digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif
maupun kualitatif feses. Prinsip metode ini hampir sama
dengan metode direct slide dengan penambahan pemberian
selophane tape yang sudah direndam dengan malanchite
green sebagai latar. Metode ini merupakan gold standart
pemeriksaan infeksi STH .
f. Pemeriksaan larva cacing Harada-Mori

34
Metode ini digunakan untuk menentukan dan
mengidentifikasi larva infektif dari Ancylostoma duodenale,
Necator americanus, dan Strongyloides stercoralis. Telur
cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas
saring basah dengan metode ini. Larva ini akan ditemukan
di dalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.
C. Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi STH
Tatalaksana untuk penderita infeksi STH hampir sama, yaitu dengan
pemberian antihelmintik yaitu pirantel pamoat 10 mg/kgBB/hari, diberikan
dalam dosis tunggal dapat memberi hasil yang memuaskan. Mebendazol
100 mg dua kali sehari, selama 3 hari berturut-turut dapat memberikan
hasil yang baik, selain mebendazol, dapat juga diberkan albendazol 400
mg (2 tablet) dalam dosisi tunggal, dan yang terakhir dapat juga diberikan
oksantel-pirantel pamoat dengan dosis 10 mg/kgBB dalam dosis tunggal.
Untuk pengobatan cutaneus larva migran akibat cacing kait, dapat
diberikan liquid nitrogen atau kloretilen spray atau dengan tiabendazol
topikal selama 1 minggu. Pada infeksi yang berat disertai dengan anemia
berat (Hb <5 gr/dL), maka dapat diberikan preparat besi sebelum dimulai
pengobatan dengan obat cacing. Cara terbaik untuk mencegah infeksi
cacing adalah dengan cara memutus siklus hidup cacing tersebut, yaitu
dapat dilakukan dengan cara perbaikan perilaku, sanitasi dan pendidikan
kesehatan. Ketiga cara ini bertujuan untuk mengendalikan penyebaran
STH dan mengurangi kontaminasi dengan sumber infeksi.

35
BAB III
HOOKWORM

A. Pengertian Cacing Tambang


Cacing tambang adalah cacing yang berasal dari anggota famili
Ancylostomatidae yang mempunyai alat pemotong pada mulut berupa tonjolan
seperti gigi pada genus Ancylostoma dan lempeng pemotong pada genus Necator.
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus merupakan cacing tambang yang
menginfeksi manusia sedangkan Ancylostoma brazilliense, Ancylostoma
ceylanicum, dan Ancylostoma caninum merupakan cacing tambang yang
menginfeksi binatang (anjing dan kucing).
B. Taksonomi Cacing Tambang
 Kingdom : Animalia
 Filum : Nematoda
 Kelas : Secernentea
 Ordo : Strongylida
 Famili : Ancylostomatidae
 Genus : Necator / Ancylostoma
Spesies :
o Ancylostoma duodenale
o Necator americanus
o Ancylostoma brazilliense
o Ancylostoma ceylanicum
o Ancylostoma caninum
C. Siklus Hidup Cacing Tambang

36
Cacing dewasa hidup di dalam intestinum tenue (usus halus).
Cacing betina dewasa mengeluarkan telur dan telur akan keluar bersama
dengan tinja. Apabila kondisi tanah menguntungkan (lembab, basah, kaya
oksigen, dan suhu optimal 26°C – 27°C) telur akan menetas dalam waktu
24 jam menjadi larva rhabditiform. Setelah 5 – 8 hari larva rhabditiform
akan mengalami metamorfosa menjadi larva filariform yang merupakan
stadium infektif dari cacing tambang. Jika menemui hospes baru larva
filariform akan menembus bagian kulit yang lunak, kemudian masuk ke
pembuluh darah dan ikut aliran darah ke jantung, kemudian terjadi siklus
paru-paru (bronchus → trachea → esopagus), kemudian menjadi dewasa
di usus halus. Seluruh siklus mulai dari penetrasi larva filariform ke dalam
kulit sampai menjadi cacaing tambang dewasa yang siap bertelur
memakan waktu sekitar 5 – 6 minggu.
D. Morfologi Cacing Tambang

Ciri-ciri telur hook worm :


 berbentuk oval
 ukuran : panjang ± 60 μm dan lebar ± 40 μm
 dinding 1 lapis tipis dan transparan
 isi telur tergantung umur :
o Tipe A → berisi pembelahan sel (1 – 4 sel)
o Tipe B → berisi pembelahan sel (> 4 sel)
o Tipe C → berisi larva
Larva rhabditiform dan larva filariform
Ilustrasi larva rhabditiform dan larva filariform

37
Ciri-ciri larva rhabditiform:
 ukuran : panjang ± 250 μm dan lebar ± 17 μm
 cavum bucalis panjang dan terbuka
 esophagus 1/3 dari panjang tubuhnya
 mempunyai 2 bulbus esophagus
 ujung posterior runcing

Ciri-ciri larva filariform:


 ukuran : panjang ± 500 μm
 cavum bucalis tertutup
 esophagus 1/4 dari panjang tubuhnya
 tidak mempunyai bulbus esophagus
 ujung posterior runcing

Ciri-ciri hook worm dewasa :


Walaupun terdiri dari beberapa spesies, cacing ini mempunyai morfologi
yang hampir sama, perbedaan tiap spesies bisa dilihat dari susunan gigi / lempeng
pemotong.
 ukuran : panjang ± 1 cm
 berwarna putih kekuningan
 ujung posterior cacing betina lurus dan meruncing
 ujung posterior cacing jantan membesar karena adanya bursa kopulatoris
yang terdiri dari : bursa rays / vili dorsal, spicula, dan gubernaculum
 perbedaan antar spesies hook worm :
o Ancylostoma duodenale → mempunyai 2 pasang gigi besar
o Necator americanus → mempunyai sepasang lempeng pemotong
o Ancylostoma brazilliense → mempunyai 1 pasang gigi besar dan 1
pasang gigi kecil
o Ancylostoma ceylanicum → mempunyai 1 pasang gigi besar dan 1
pasang gigi sedang
o Ancylostoma caninum → mempunyai 3 pasang gigi besa

38
E. Gejala Klinis Infeksi Cacing Tambang
Berat ringannya gejala klinis yang terjadi pada infeksi hook worm
tergantung pada :
 jumlah cacing
 stadium cacing tambang
 infeksi pertama atau infeksi ulang
 lamanya infeksi
 keadaan gizi penderita
 adanya penyakit lain
 umur penderita
Manifestasi klinis pada infeksi hook worm bisa ditimbulkan oleh :
1. Larva
o Ground itch / Dew itch adalah rasa gatal yang timbul saat
larva hook worm masuk menembus kulit, semakin banyak
larva yang menembus kulit semakin hebat gejala yang
timbul. Masuknya larva hook worm yang menembus kulit
juga bisa menyebabkan dermatitis dengan eritemia, edema,
vesikel, dan gatal.
o Infeksi pertama memberikan gejala yang lebih berat
daripada infeksi ulangan.
o Larva dari cacing tambang hewan (Ancylostoma
brazilliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum) juga bisa menginfeksi manusia dan menimbulkan
creeping eruption (cutaneus larva migrans). Dalam kulit
manusia larva bisa hidup beberapa hari sampai beberapa
bulan. Larva ini mengembara dalam kulit manusia tetapi
tidak pernah mencapai stadium dewasa.
2. Cacing tambang dewasa
o Terjadi gejala anemia, karena cacing dewasa menghisap
darah manusia, selain itu tempat perlekatan cacing juga
terjadi perdarahan. Anemia yang terjadi akibat infeksi
cacing tambang adalah anemia mikrositik hipokromik.
o Pada infeksi lanjut dapat menyebabkan defisiensi gizi,
karena adanya anemia, gangguan absorbsi, digesti akibat
atrofi vili usus akibat luka gigitan, dan diare akibat iritasi
gigitan cacing.
o Pada pemeriksaan darah biasanya didapatkan eosinofilia
yaitu meningkatnya jumlah sel eosinofil. Peningkatan
jumlah eosinofil pada infeksi hook worm bisa sampai 15%
– 30%.
o Pemeriksaan darah samar (occult) dalam tinja biasanya
positif, bahkan kadang darah bisa dilihat dengan mata
telanjang.

39
o Infeksi cacing ini dapat menimbulkan kekebalan. Jika tidak
ada defisiensi gizi, infeksi ulangan akan memberikan
kekebalan sehingga jumlah cacing tambang akan berkurang
sampai hilang dari intestinum / usus halus.
F. Cara Diagnosis Infeksi Cancing Tambang
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur pada pemeriksaan
tinja. Karena telur sulit ditemukan pada infeksi ringan disarankan
menggunakan prosedur konsentrasi.

G. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Cacing Tambang


Pencegahan :
 Selalu menggunakan alat kaki saat keluar rumah
 Hindari kontak kaki secara langsung dengan tanah
 Tidak buang air besar sembarangan
Pengobatan :
 Obat Anthelminthic (obat yang membersihkan tubuh dari cacing
parasit), seperti albendazole dan mebendazole, merupakan obat pilihan
untuk pengobatan infeksi cacing tambang. Infeksi pada umumnya
diobati selama 1-3 hari. Obat yang ini efektif untuk mengobati infeksi
dan hanya memiliki sedikit efek samping. Suplemen zat besi juga
diperlukan jika pendertia memiliki anemia.
H. Epidemiologi Cacing Tambang
Cacing tambang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis.
Cacing ini mempunyai prevalensi yang tinggi di daerah perkebunan dan
persawahan. Cacing ini menyerang terutama pada golongan sosial
ekonomi rendah. Tanah yang gembur, lembab, teduh,tanah berpasir, atau
tanah liat dan humus merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan telur
cacing tambang sampai menjadi larva. Telur dan larva mudah mati karena
keekeringan dan suhu yang rendah. Di Indonesia Necator americanus lebih
banyak dijumpai daripada Ancylostoma duodenale. Frekuensi infeksi pada
pria lebih besar daripada wanita. Kebiasaan buang air besar sembarangan,
penggunaan kotoran manusia sebagai pupuk, kebiasaan tidak memakai
alas kaki dan kurangnya pengetahuan tentang kebersihan dan kesehatan
merupakan faktor-faktor yang menguntungkan untuk perkembangan dan
penyebarang cacing tambang

40
BAB IV
TAENIA SAGINATA

A. Pengertian Taenia saginata


Keberadaan cacing pita ini telah diketahui
sejak dulu. Parasit ini dikenal sebagai suatu
spesies tersendiri oleh Goeze pada
tahun.Hubungan antara cacing dewasa dengan
cacing gelembungnya (sistiserkus), yaitu stadium
larva yang terdapat pada sapi, yang telah
dibuktikan oleh Leukart tahun 1861, yang berhasil menginfeksi proglotid
gravid pada anak sapi. Delapan tahun kemudian, Oliver mengadakan
percobaan sebaliknya, yaitu menginfeksi manusia dengan sistiserkus sapi.
Sistiserkus yang ditemukan pada sapi, dikenal dengan Cysticercus bovis.
Taksonomi dari Taenia saginata
 Kingdom : Animalia
 Filum : Platyhelminthes
 Kelas : Cestoda
 Ordo : Cyclophyllidea
 Famili : Taeniidae
 Genus : Taenia
 Spesies : Taenia saginata
Taenia saginata disebut juga cestoda usus habitat cacing ini dalam tubuh
manusia terletak pada usus halus bagian atas. Cacing dewasa dapat hidup di
dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya.Morfologi cacing dewasa
berwarna putih, tembus sinar, dan panjangnya dapat mencapai 4-25 meter,
walaupun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai
dengan 20 tahun, bahkan lebih.
Taenia saginata dewasa terdiri dari skoleks (kepala) berbentuk segiempat
yang berukuran 1-2 mm dan dilengkapi dengan empat buah alat penghisap
(sucker) menyerupai mangkuk, sebuah leher dan sebuah strobila yang
panjangnya berkisar dari 35 mm sampai 6 mm. Tidak ada rostelum maupun

41
kait pada skoleks. Leher Taenia saginata berbentuk segi empat menunjang
dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya
tidak terlihat struktur.
Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai
ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran
0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen.
Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di
pertengahan segmen, mempunyai 15-30 cabang di setiap sisi segmen. Segmen
gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak
sendiri di luar anus. Segmen gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk
bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi.
Telur Taenia saginata memiliki morfologi yang tidak dapat dibedakan
dengan telur Taenia solium. Telur Taenia sp. berbentuk bulat dengan
diameter antara 31-43 mikron. Telur ini memilki embriopor yang bergaris
radier, dengan ukuran 30-40 x 20-30 m, mengelilingi embrio heksasan.

Gambar 1. Huruf (A) Taenia saginata; (B) Proglotid; (C) Telur, tidak dapat
dibedakan dengan telur Taenia solium

42
Gambar 2. Larva Taenia saginata yaitu Cysticercus bovis dalam mikroskop
perbesaran 400 x 10 (Prianto, 2006)
B. Siklus Hidup Taenia saginata
Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan
induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan
mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif
bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang
antara (sapi dan babi) menelan telur maka telur yang menetas akan
mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding
usus.Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur
berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. Otot
yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot
pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk.Infeksi Taenia
dikenal dengan istilah Taeniasis dan Sistiserkosis.Taeniasis adalah penyakit
akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia yang
dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Taeniasis pada
manusia disebabkan oleh spesies Taenia solium atau dikenal dengan cacing
pita babi , sementara Taenia saginata dikenal juga sebagai cacing pita sapi.
Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva
Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita
babi). Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia,
sedangkan cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada
manusia. Sedangkan kemampuan Taenia asiatica dalam menyebabkan
sistiserkosis belum diketahui secara pasti. Terdapat dugaan bahwa Taenia

43
asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.Manusia terkena taeniasis
apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah matang yang
mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia
dewasa dalam usus manusia. Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan
makanan atau minuman yang mengandung telur Taenia solium. Hal ini juga
dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu penderita melalui
pengeluaran dan penelanan kembali makanan.

Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu:


 Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen
tubuh (proglotid) cacing pita.
 Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita
(sistisekus).
 Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
Gejala klinis terinfeksi penyakit Taeniasis
Gejala yang sering muncul pada penderita cacing pita Cestoda adalah
perut mulas tanpa sebab, nafsu makan menurun, mual, kekurangan gizi, berat
badan menurun. Telur cacing pita babi bisa menetas di usus halus, lalu memasuki
tubuh atau struktur organ tubuh., sehingga muncul penyakit Cysticercosis, cacing
pita cysticercus sering berdiam di jaringan bawah kulit dan otot, gejalanya
mungkin tidak begitu nyata ; tetapi kalau infeksi cacing pita Cysticercus menjalar

44
ke otak, mata atau ke sumsum tulang akan menimbulkan efek lanjutan yang
parah.Infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus biasanya disebut
Taeniasis. Ada dua spesies yang sering sebagai penyebab-nya, yaitu Taenia
solium dan Taenia saginata. Menurut penelitian di beberapa desa di Indonesia,
angka infeksi taenia tercatat 0,8–23%., frekuensinya tidak begitu tinggi. Namun
demikian, cara penanganannya perlu mendapat perhatian, terutama kasus-kasus
taeniasis Taenia solium yang sering menyebabkan komplikasi sistiserkosis.Cara
infeksinya melalui oral karena memakan daging babi atau sapi yang mentah atau
setengah matang dan me-ngandung larva cysticercus. Di dalam usus halus, larva
itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala gastero- intestinal seperti rasa
mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu makan menurun atau meningkat, diare
atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi penderita bisa menjadi buruk se-
hingga terjadi anemia malnutrisi. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan
eosinofilia. Semua gejala tersebut tidak spesifik bahkan sebagian besar kasus
taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).
Cacing dewasa Taenia saginata biasanya menyebabkan gejala klinis yang
ringan, seperti sakit ulu hati, perut merasa tidak enak, mual, muntah, mencret,
pusing atau gugup. Gejala-gejala tersebut disertai dengan ditemukannya proglotid
cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama dengan atau tanpa tinja. Gejala
yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks,
atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobilla cacing. Berat
badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi. Meskipun
infeksi ini biasanya tidak menimbulkan gejala, beberapa penderita merasakan
nyeri perut bagian atas, diare dan penurunan berat badan. Kadang-kadang
penderita bisa merasakan keluarnya cacing melalui duburnya.
C. Diagnosis
Diagnosis ditegakakan dengan menemukan proglotid yang keluar secara
aktif melalui anus. Diagnosa genus dengan menemukan telur dalam tinja, sebab
telur Taenia saginata tak dapat dibedakan dari telur Taenia solium.
D. Cara Mengatasi Infeksi Taenia saginata dan Cysticercus bovis
Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan-
tindakan sebagai berikut:

45
a. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan menecgah
terjadinya autoinfeksi.
b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing
(sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis
biasanyaadalah inspeksi di rumah potong. Namun, biasanya adalah inspeksi
tersebut tidak dapat menyaring semua kasus yang sangat ringan.
c. Memasak daging sampai di atas 56oC, untuk membunuh kista cacing,
mendinginkan daging hingga (-10)oC hingga lebih dari 5 hari, dan
mengasinkan dalam larutan garam 25% selama lebih dari 5 hari, untuk
mencegah resistensi larva.
d. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai
makanan babi, tidak membuang tinja di sembarang tempat.
e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak
dimasak yang tidak dapat dikupas.
f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau
air yang dididihkan selama 1 menit.
g. Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan.
h. Obat yang baik adalah niclosamide atau quinakrin HCL dengan dosis yang
sama dengan D. latum. Obat ini disertai dengan pemberian praziquantel
dengan dosis 10 mg/kg berat badan.Obat lain dengan biothionol diberikan
peroral 40-60mg/kg berat badan. Mebendazol, dengan dosis 300 mg
pemberian dua kali perhari selama 3 hari.
i. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan (kebersihan,
mempersiapkan makanan, dan sebagainya).
Upaya penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis sebenarnya tidak sulit, salah
satunya dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya
pada sapi. Pada hewan besar diagnosis harus dilakukan secara post mortem
dengan memeriksa kesehatan daging. Sistiserkosis dapat dideteksi pada lidah sapi
dengan melakukan palpasi, bila positif akan teraba benjolan atau nodul di bawah
jaringan kulit atau intramuskular. Pengembangan uji-uji imunodiagnostik untuk
mendeteksi adanya agen penyakit tersebut relah dilakukan mulai puluhan tahun
lalu. Uji-uji diagnostik diantaranya dalah uji serologi dengan metode enzyme

46
linked immunosorbent assay (ELISA). Metode tersebut menunjukkan sebaran
infeksi Cysticercus bovis dalam satu wilayah dengan wabah infeksi tinggi.

47
BAB V
Enterobius vermicularis

A. Pengertian Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)


Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia
yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis merupakan infeksi
cacing yang terbesar dan sangat luas dibandingkan dengan infeksi cacing
lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang erat antara parasit
ini dengan manusia dan lingkungan sekitarnya. Parasit ini lebih banyak
didapatkan diantara kelompok dengan tingkat sosial yang rendah, tetapi tidak
jarang ditemukan pada orang-orang dengan tingkat sosial yang tinggi.
Cacingan, penyakit yang cukup akrab di kalangan anak-anak Indonesia. Mulai
dari yang berukuran besar seperti cacing perut, sampai yang kecil setitik
seperti cacing kremi (pinworm). Cacing kremi atau Oxyuris vermicularis atau
Enterobius vermicularis adalah parasit yang hanya menyerang manusia,
penyakitnya kita sebut oxyuriasis atau enterobiasis. Oleh awam, kita sering
mendengar, Kremian.
Enterobiasis juga merupakan penyakit keluarga yang disebabkan
oleh mudahnya penularan telur baik melalui pakaian maupun alat rumah
tangga lainnya. Anak berumur 5-14 tahun lebih sering mengalami infeksi
cacing E. vermicularis dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih bisa
menjaga kebersihan dibandingkan anak-anak
Pertumbuhan telur cacing tergantung pada tingkat pertumbuhan, temperatur
dan kelembaban udara. Telur yang belum masak lebih mudah rusak dari pada
telur yang masak. Telur cacing rusak pada temperatur 45ºC dalam waktu 6
jam. Udara yang dingin dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik
untuk pertumbuhan telur cacing. Enterobius vermicularis
a) Klasifikasi E. vermicularis
Enterobius vermicularis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Nematoda

Kelas : Plasmidia

Ordo : Rabtidia

48
Super famili : Oxyuroidea

Family : Oxyuridea

Genus : Enterobius
: Enterobius
Species vermicularis
b) Morfologi telur E. vermicularis.
Ukuran telur E. vermicularis yaitu 50-60 mikron x 20-30 mikron
(rata-rata 55 x 26 mikron). Telur berbentuk asimetris, tidak berwarna,
mempunyai dinding yang tembus sinar dan salah satu sisinya datar. Telur ini
mempunyai kulit yang terdiri dari dua lapis yaitu : lapisan luar berupa lapisan
albuminous, translucent, bersifat mechanical protection. Di dalam telur
terdapat bentuk larvanya. Seekor cacing betina memproduksi telur sebanyak
11.000 butir setiap harinya selama 2 samapi 3 minggu, sesudah itu cacing
betina akan mati.

Gambar 2.1 Telur cacing E. Vermicularis


c) Morfologi cacing E. vermicularis.
Cacing dewasa E. vermicularis berukuran kecil, berwarna putih,
yang betina jauh lebih besar dari pada yang jantan. Ukuran cacing jantan
adalah 2-5 mm, cacing jantan mempunyai sayap yang dan ekornya melingkar
seperti tanda tanya. Sedangkan ukuran cacing betina adalah 8-13 mm x 0,4
mm, cacing betina mempunyai sayap , bulbus esofagus jelas sekali, ekornya
panjang dan runcing. Uterus cacing betina berbentuk gravid melebar dan
penuh dengan telur. Bentuk khas dari cacing dewasa ini adalah tidak terdapat
rongga mulut tetapi dijumpai adanya 3 buah bibir, bentuk esofagus bulbus

49
ganda (double bulb oesophagus), didaerah anterior sekitar leher kutikulum
cacing melebar, pelebaran yang khas disebut sayap leher (cervical alae).

Gambar 2.2 Cacing dewasa E. Vermicularis

d) Siklus hidup E. vermicularis


Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif E. vermicularis
dan tidak diperlukan hospes perantara. Cacing dewasa betina mengandung
banyak telur pada malam hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui
anus ke daerah : perianal dan perinium. Migrasi ini disebut Nocturnal
migration. Di daerah perinium tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara
kontraksi uterus, kemudian telur melekat didaerah tersebut. Telur dapat
menjadi larva infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur
optimal 23-26 ºC dalam waktu 6 jam.
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelan telur
matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi kedaerah
perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya
hanya berlangsung kira-kira I bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan
kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan.
e) Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui tiga jalan :
1. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection)
atau pada orang lain sesudah memegang benda yang tercemar telur
infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam penderita.
2. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur
yang infektif.

50
3. Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada
penderita sendiri, oleh karena larva yang menetas di daerah perianal
mengadakan migrasi kembali ke usus penderita dan tumbuh menjadi
cacing dewasa.

Gambar 2.3 Siklus hidup E. Vermicularis

f) Epidemiologi E. vermicularis
a. Insiden tinggi di negara-negara barat terutama USA 35-41 %.
b. Merupakan penyakit keluarga.
c. Tidak merata dilapisan masyarakat.
d. Yang sering diserang yaitu anak-anak umur 5-14 tahun.
e. Pada daerah tropis insidensedikit oleh karena cukupnya sinar
matahari, udara panas, kebiasaan ke WC (yaitu sehabis defekasi dicuci
dengan air tidak dengan kertas toilet). Akibat hal-hal tersebut diatas maka
pertumbuhan telur terhambat, sehingga dapat dikatakan penyakit ini tidak
berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat tapi lebih
dipengaruhi oleh iklim dan kebiasaan.

51
f. Udara yang dingin, lembab dan ventilasi yang jelek merupakan
kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur.

g) Diagnosa Laboratorium
Cara memeriksa Enterobiasis yaitu dengan menemukan adanya
cacing dewasa atau telur dari cacing E. vermiculsris. Adapun caranya
adalah sebagai berikut :
a. Cacing dewasa
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam feses, dicuci dalam
larutan Nacl agak panas, kemudian dikocok sehingga menjadi
lemas, selanjutnya diperiksa dalam keadaan segar atau dimatikan
dengan larutan fiksasi untuk mengawetkan. Nematoda kecil seperti
E. vermicularis dapat juga difiksasi dengan diawetkan dengan
alkhohol 70% yang agak panas.
b. Telur cacing
Telur E. vermicularis jarang ditemukan didalam feses, hanya
5% yang positif pada orang-orang yang menderita infeksi ini.
Telur cacing E. vermicularis lebih mudah ditemukan dengan
tekhnik pemeriksaan khusus, yaitu dengan menghapus daerah
sekitar anus dengan “Scotch adhesive tape swab”.
B. Cara pencegahan dan pemberantasan Enterobiasis.
Mengingat bahwa Enterobiasis adalah masalah kesehatan keluarga maka
lingkungan hidup keluarga harus diperhatikan, selain itu kebersihan
perorangan merupakan hal yang sangat penting dijaga. Perlu ditekankan pada
anak-anak untuk memotong kuku, membersihkan tangan sesudah buang air
besar dan membersihkan daerah perianal sebaik-baiknya serta cuci tangan
sebelum makan.
Di samping itu kebersihan makanan juga perlu diperhatikan. Hendaknya
dihindarkan dari debu dan tangan yang terkontaminasi telur cacing E.
vermicularis. Tempat tidur dibersihkan karena mudah sekali tercemar oleh
telur cacing infektif. Diusahakan sinar matahari bisa langsung masuk ke
kamar tidur, sehingga dengan udara yang panas serta ventilasi yang baik

52
pertumbuhan telur akan terhambat karena telur rusak pada temperatur lebih
tinggi dari 46ºC dalam waktu 6 jam. Karena infeksi Enterobius mudah
menular dan merupak penyakit keluarga maka tidak hanya penderitanya saja
yang diobati tetapi juga seluruh anggota keluarganya secara bersama-sama.

53
DAFTAR PUSTAKA

http:/ https://medlab.id/taenia-saginata//ariakiki.blogspot.com/2016/04/makalah-

tentang-feses.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Taenia_(cacing_pita)

https://medlab.id/cacing-tambang-hook-worm)

http://mimintriwa.blogspot.com/p/42-persiapan-dan-pengambilan-specimen.html

https://www.slideshare.net/orbitech/enterobius-vermicularis-10512308

https://fk.ugm.ac.id/soil-transmitted-helminth-sth-masih-menjadi-masalah-di-

indonesia/

https://pdf2doc.com/id/download/8tzpi79tyhh0q5nu/o_1du2472l71bf5172c4sbg3t

ejrl/BAB% 20II_6.doc?rnd=0.9500988106916606

https://pdf2doc.com/id/download/8tzpi79tyhh0q5nu/o_1du24s28aqsl1ib51nc7q6e

t22q/pendahuluan-bab6pdf.doc?rnd=0.4073557761077068

https://medlab.id/taenia-saginata/

https://i0.wp.com/medlab.id/wp-content/uploads/2016/10/taenia-saginata-taenia-

solium.png?fit=600%2C375&ssl=1

54

Anda mungkin juga menyukai