com/radin
-inten-ii-pemuda-jenius-yang-
ditakuti-penjajah-belanda/
Perjuangan Radin Inten II Melawan
Penjajah Belanda (1)
Patung Radin Inten II di Kompleks Permakaman Radin Inten II
Zainal Asikin |Teraslampung.com
Ihwal ini belum banyak terungkap ke publik. Banyak warga Lampung yang
tidak tahu bahwa masa kecil dan remaja Radin Inten II penuh dengan
rahasia. Mengapa harus dirahasiakan? Kisahnya teramat panjang. Dan itu
berkaitan dengan perjuangan Radin Imba II dan keluarga besarnya di
Keratuan Darah Putih melawan Belanda.
Pada usianya yang masih sangat muda (22 tahun) Radin Intan II gugur di
tangan tentara Belanda. Hingga akhir hayatnya, pemuda gagah berani yang
tidak sudi takluk kepada Belanda itu belum (tidak) menikah.
Radin Intan II merupakan putra tunggal dari Raden Imba II yang dilahirkan
dan dibesarkan oleh Ibunya, Ratu Mas dan keluarganya ditengah hutan dan
dengan penuh kerahasiaan. Sedangkan Raden Imba II adalah putra Radin
Inten I.
Berdasarkan silsilah, Radin Intan I adalah keturunan dari dari Ratu Darah
Putih, Minak Gejala Ratu atau Muhammad Aji Saka putra dari Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama Islam di
Keratuan Pugung, Lampung Timur sekitar abad 15.
Dari sini diketahui bahwa Radin Inten II masih keturunan langsung Sultan
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang menjadi penyebar agama
Islam di Tanah Jawa. Sunan Gunung Jati dan delapan wali lain terkenal
dengan sebutan Wali Songo (Sembilan Wali).
Semasa kecil, Radin Inten II diliputi suasana perang melawan Belanda dan
sekutu-sekutunya. Pada saat itu, Keratuan Darah Putih di bawah Perwalian
Dalom Mangku Bumi dan sedang melakukan perlawanan terhadap penjajah
Belanda.
Sejak saat itulah Radin Inten II mulai menyusun segala sarana dan
prasarana yang telah rusak akibat perlawanan kakek dan ayahnya melawan
penjajah Belanda.
Selain itu juga, Radin Inten II membentuk pasukan yang mana pasukan-
pasukan tersebut dibagi menjadi beberapa unit-unit kecil yang terdiri dari 40
orang yang dipimpin oleh seorang komandan prajurit. Sarana lain yang
dipersiapkan seperti dapur umum atau pejunjungan, yakni untuk menopang
pasukan yang berjuang melawan penjajah Belanda.
Hal itu karna pada usia yang masih muda (16 tahun), Radin Inten II bisa
membentuk pasukan. Dari paling kecil yang berpangkat Ngebihi membawahi
10 kepala keluarga. Lalu level di atasnya, yakni pasukan berkekuatan 44
prajurit yang dipimpin komandan berpangkat Temenggung, Temenggung
membawahi para Ngebihi.
Pusat pertahanan yang dibangun oleh Radin Inten II kala itu adalah di
Gunung Rajabasa. Gunung itu letaknya sangatl strategis. Bisa
dijadikan tempat menyusun strategi menghadapi Belanda. Kala itu Gunung
Rajabasa dikelilingi oleh benteng-benteng pertahanan, seperti sebelah Barat
dan Utara, terdapat Benteng Merambung, Galah Tanoh, Pematang Sentok,
Katimbang dan Salai Tabuhan.
Sedangkan di sebelah Timur terdapat Benteng Bendulu dan Hawi Berak dan
dikaki gunung terdapat Benteng Raja Gepeh Cempaka dan Kahuripan Lama.
Sepak terjang Radin Inten II sama seperti ayahnya, Radin Imba II, yakni
menggalang persahabatan dengan beberapa tokoh penting seperti Wak Maas
dari Sulawesi, Khaja Makalam, Pangeran Singabrata serta rakyat dari Marga
Ratu dan Dantaran.
Namun suasana tenang itu hanya berlangsung selama dua tahun yakni tahun
1855.Sebab, pada 1856 Radin Inten II kembali menyerang Belanda. Karena
kewalahan menghadapi serangan pasukan Radin Inten II, Belanda pun
meminta bala bantuan tentara dari Batavia. Pasukan Belanda yang datang
dari Batavia itu di bawah pimpinan Kolonel Welleson dibantu oleh Mayor
Nauta, Mayor Van Costade,dan Mayor AWP Weitzel.
Dua hari kemudian yakni pada tanggal 10 Agustus 1856, pimpinan pasukan
Belanda mengeluarkan ultimatum: dalam tempo lima hari Radin Inten II
beserta pasukannya harus menyerahkan diri.
Sekitar pukul 08.00 WIB pada tanggal 18 Agustus 1856, pasukan Belanda
bergerak menuju Benteng Hawi Berak. Ternyata pada saat bersamaan,
Benteng Bendulu dapat direbut kembali oleh Radin Inten II dan Pasukannya.
Mendapat kabar tersebut, Kolonel Welleson dan pasukannya kembali berbalik
arah menuju ke Benteng Bendulu dan berhasil merebut Benteng Bendulu.
Lalu pasukan kedua yang dipimpin Mayor Van Costade, beregrak dari Pesisir
Selatan (Pulau Palubu, kalianda dan Way Urang) dengan melingkar melalui
lereng sebelah Barat dan Utara menunju Kelau dan Kunyaian untuk merebut
Benteng Merambung dan menuju Benteng Katimbang. Pasukan ketiga yang
dipimpin Mayor Nauta, bergerak dari arah Penengahan melalui hutan untuk
merebut Benteng Selai tahunan dan menuju Benteng Katimbang.
Pada tanggal 19 Agustus 1856, pasukan Kolonel Walleson berhasil merebut
Benteng Hawi Berak dan membakar Benteng tersebut. Karena cuaca buruk,
Kolonel Walleson dan pasukannya harus kembali ke Benteng Bendulu
bergabung dengan pasukan Mayor Van Costade yang bergerak melalui lereng
barat Gunung Rajabasa. Pasukan Belanda yang dipimpin Kolonel Walleson
dan Mayor Van Costade, berhasil merebut Benteng Merambung, Galah Tanoh
dan Pematang sentok pada tanggal 27 Agustus 1856.
“Benteng Merambung direbut Belanda pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB,
saat Belanda berupaya merebut Benteng Galah Tanoh mendapat perlawanan
cukup sengit dengan pasukan Radin Inten II yang mempertahankan Benteng
itu dengan senjata meriam dan ranjau darat. Sekitar pukul 09.00 WIB,
pasukan Belanda akhirnya berhasil merebut Benteng tersebut,”paparnya.
Pada tanggal 9 September 1856, Hi. Wakhia, Hi. Isnail bersama putra-
putranya serta dua orang putra Singa Berata tertangkap dan dihukum mati.
Pada tanggal 17 September 1856, Wak Maas pun akhirnya tewas setelah
diserang oleh pasukan Belanda.
Teras Lampung
-
7 February 2018
2411
SHARE
Twitter
Patung Radin Inten II di Kompleks Permakaman Radin Inten II
“Radin Inten II diajak oleh Radin Ngerapat disebuah areal perkebunan antara
Desa Tetaan dengan Desa Gayam tepatnya di Lapai Khatu. Di tempat itulah,
Radin Inten II menyantap nasi yang dicampur dengan potongan daging
kerbau bule, sementara Inton Mas tidak ikut makan karena melakukan
penjagaan. Ternyata nasi yang dimakan Radin Inten II itu, oleh Radin
Ngerapat dimasak dengan dibubuhi racun tuba,”ungkapnya.
Pada saat itulah, lanjut Budiman, Radin Inten II merasa kesakitan setelah
menyabtap nasi yang sudah bercampur racun tersebut. Pasukan Belanda
langsung datang menyerangnya.
“Sekitar tahun 1869, Iton Mas bisa pulang dan kembali lagi ke tanah
Lampung lalu dia diangkat dan mendapatkan gelar Pangeran,”tandasnya.