Anda di halaman 1dari 18

Nama : Satria Rizki Wibisono

NIM : 12030119410046

Kelas : JSM Maksi’41

1. Jelaskan perbedaan antara pandangan monistis dan dualitis berkaitan unsur


tindak pidana. Apa konskwensi dengan dianutnya teori tersebut?

Pandangan monistis adalah pandangan yang menyatukan atau tidak memisahkan


antara perbuatan pidana beserta akibatnya di satu pihak, dan pertanggung jawaban pidana
di pihak lainnya. Sedangkan pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara
perbuatan serta akibatnya di satu pihak, dan pertanggungjawaban pidana di lain pihak.
         Dengan kata lain bahwa, pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan, di
mana pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian
tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act), dan
pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility). 

Konsekuensinya :
apabila ada orang yang melakukan tindak pidana, maka sudah dapat dipidana.

Aliran Monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana, ia memberikan unsur-unsur


tindak pidana sebagai berikut : 1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau
tidak berbuat); 2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum; 4. Dilakukan dengan
kesalahan; 5. Orang yang mampu bertanggungjawab.

Pandangan dualistis melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada


perbuatan pidana, di mana pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup criminal
act dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana.
Konsekuensi
Aliran Dualistis belum tentu, karena harus dilihat dan dibuktikan dulu pelaku/orangnya
itu, dapat dipidana tau tidak. Aliran Dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana
memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

2. Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana dalam pengertian Yuridis? Apa
konsekwensinya? Bagaiman hubungannya dengan Asas Legalitas Ps. 1 ayat (1) KUHP.

Menurut Moeljatno tindak pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukularangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut

Pengertian straafbaarfeit menurut Simons dalam rumusannya adalah Tindakan yang


melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang
telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Konsekuensinya : pelaku hukum pidana yang melanggar hukum baik sengaja atau tidak
sengaja melakukannya makan harus dapat ditanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
UU.

Rumusan pengertian tindak pidana (straafbaarfeit) yang dinyatakan oleh Simons juga diatur
dalam asas hukum pidana Indonesia, yaitu asas legalitas (principle of legality) atau dalam
bahasa latin biasanya dikenal dengan Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege
Poenali. maksudnya bahwa Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, ketentuan yang senada
dengan asas tersebut juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu : Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam perundang- Pasal tersebut.

Tindak pidana akan melahirkan pertanggungjawaban pidana yang hanya dapat terjadi setelah
sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana, dimana pertanggungjawaban pidana
dilakukan dengan asas yang berbeda yaitu dengan asas yang tidak tertulis Tiada pidana tanpa
kesalahan
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Tindak Pidana adalah
pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang biasa
diartikan seeara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.

3. Sebut dan jelaskan pembagian tindak pidana secara yuridis dan pembagian
menurut Ilmu Pengetahuan atau Ilmiah;

Kejahatan dan Pelanggaran

Disebut dengan rechtsdelicten  atau tindak pidana hukum, yang artinya sifat tercelanya
itu tidak semata-mata pada dimuatnya dalam UU melainkan memang pada dasarnya telah
melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam UU.
Walaupun sebelum dimuat dala UU pada kejahatan telah mengandung sifat tercela (melawan
hukum), yakni pada masyarakat, jadi berupa melawan hukum materiil.
Sebaliknya, wetsdelicten sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya
sebagai demikian dalam UU. Sumber tercelanya wetsdelicten adalah UU.

Dasar pembeda itu memiliki titik lemah karna tidak menjamin bahwa seluruh
kejahatan dalam buku II itu bersifat demikian, atau seluruh pelanggaran dalam buku III
mengandung sifat terlarang karena dimuatnya dalam UU. Contoh sebagaimna yang
dikemukakan Hazewinkel Suringa, pasal 489 KUHP (artikel 424 WvS Belanda), pasal 490
KUHP (artikel 425 WvS Belanda) atau pasal 506 KUHP (artikel 432 ayat 3 WvS Belanda)
yang masuk pelanggaran pada dasarnya merupakan sifat tercela dan patut dipidana sebelum
dimuatnya dalam UU. Sebaliknnya, ada kejahatan misalnya pasal 182 KUHP (artikel 154
WvS Belanda), pasal 344 (artikel 293 WvS Belanda) yang dinilai menjadi serius dan
mempunyai sifat terlarang setelah dimuat dalam UU (Andi Hamzah, 1991;76).

Contoh-contohnya:

a.       Kejahatan (buku II): penghinaan, kejahatan terhadap nyawa,


penganiayaan, pencurian dll.

b.      Pelanggaran (buku III): pelanggaran jabatan, pelanggaran pelayaran,


pelanggaran kesusilaan, pelanggaran ketertiban umum dll.
 Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan perumusannya.

Delik Formil dan Delik  Materiil

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu
perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak
memerlukan timbulnya suatau akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian
tindak pidana, melaiinkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (pasal
362 KUHP) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil.

Sebaliknya dalam perumusan tindak pidana materiil, inti larangan adalah pada
menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karna itu, siapa yang menimbulkan akibat yang
dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana. Tentang bagaimana wujud
perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang tu tidaklah penting. Misalnya pada pembunuhan
(pasal 338 KUHP) inti larangan adalah pada menimbulkan kematian oang, dan bukan dari
wujud menembak, membacaok atau memukul. Untuk selesainya tindak pidana digantungkan
pada timbulnya akibat dan bukan pada selesainya suatu perbuatan.

Begitu juga dengan selesainya tindak pidana mateeriil, tidak tergantung sejauh mana
wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya digantung kan pada syarat timbulnya
akibat terlarangtersebut. Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal
pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak
menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan.

Contoh-contohnya:

a.       Delik formil: pencurian (362)

b.      Delik materiil: kejahatan terhadap nyawa (338)


 Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan kesalahan.
Delik Sengaja dan Delik Kelalaian
Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau ada unsur kesengajaan. Sementara itu tindak pidana culpa
(culpose delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur kealpaan.
Dalam suatu rumusan tindak pidana tertentu adakalanya kesengajaan dan kealpaan
dirumuskan secara bersama (ganda), maksudnya ialah dapat berwujud tindak pidana
kesengajaan dan kealpaan sebagai alternatifnya. Misalnya unsur “yang diketahui” atau
“sepatutnya harus diduga”. Dilihat dari unsur kesalahannya disini, ada dua tindak pidana,
yaitu tindak pidana sengaja dan kealpaan, yang wancaman pidananya sama atau kedua tindak
pidana ini dinilai sama beratnya. Membentuk tindak pidana kesengajaan yang disama beratkan
dengan tindak pidana kealpaan merupakan perkecualian dari ketentua umum bahwa kesalahan
pada kesengajaan itu lebih berat dari kesalahan dalam bentuk culpa, sebagaimana dapat dilihat
pada kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana
penjara maksimum 15 tahun (338) bahkan dengan pidana mati atau seumur hidup atau
sementara maksimum 20 tahun (340) jika dibandingkan yang dilakukan karena culpa seperti
pada pasal 351 (3) dengan pidana penjara maksimum 7 tahun.
Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang unsur kesalahannya berupa
kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan.
Contoh-contohnya:
a.       Delik kesengajaan: 362 (maksud), 338 (sengaja), 480 (yang
diketahui) dll
b.      Delik culpa: 334 (karena kealpaannya), 359 (karna kesalahannya).
c.       Gabungan (ganda): 418, 480 dll
 Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan cara melakukannya.
Delik Commisionis dan Delik Omisionis
Tindak pidana aktif (delicta commisionis) adalah tindak pidana yang perbuatannya
berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut perbuatan materiil) adalah perbuatan
yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.
Dengan berbuat aktif, orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik tindak
pidana yang dirumuskan secara formil maupun materiil. Sebagian besar tindak pidana yang
dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif.
Berbeda dengan tindak pidana pasiff, dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan
atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat
tertentu, yang apabila tidak dilakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggara kewajiban
hukumnya tadi. Di sini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini dapat
disebut juga tindak pidana pengabaian suatau kewajiban hukum.
Tindak pidana pidana pasif ada dua macam, yaitu tindak pidana pasif murni dan
tidak murni disebut dengan (delicta commisionis per omissionem).
Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil
atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa
perbuatan pasif.
Tindak pidana pasif yang tidak murni adalah yang pada dasarnya berupa tindak pidana
positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang
mengandung suatau akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan atau tidak berbuat/atau
mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul. Misalnya pada pembunuhan 338
(sebenarnya tindak pidana aktif), tetapi jika akibat matinya itu di sebabkan karna seseorang
tidak berbuat sesuai kewajiban hukumnya harus ia perbuat dan karenanya menimbulkan
kematian, disini ada tindak pidana pasif yang tidak murni. Misalnya seorang ibu tidak
mnyusui anaknya agar mati, peruatan ini melanggar pasal 338 dengan seccara perbuatan pasif.
Contoh-contohnya:
a.       Delik commisionis: 338, 351, 353, 362 dll.
b.      Delik omisionis:
·         Pasif murni: 224, 304, 522.
·         Pasif tidak murni: 338 (pada ibu menyusui)

 Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan jangka watu terjdinya.


Delik Terjadi Seketika dan Delik Berlangsung Terus
Tindak pidana yang terjadi dalam waktu yang seketika disebut juga dengan aflopende
delicten. Misalnya pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu
menjadi selesai secara sempurna.
Sebaliknya, tindak pidana yang terjadinya berlangsung lama disebut juga
dengan voortderende delicten. Seperti pasal 333, perampasan kemerdekaan itu berlangsung
lama, bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.
Contoh-contohnya:
a.       Delik terjadi seketika: 362,338 dll.
b.      Delik berlangsung terus: 329, 330, 331, 334 dll.

 Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan sumbernya.


Delik Umum dan Delik Khusus
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KHUP
sebagai kodifikasi hukum ppdn materiil. Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua
tindak pidana yang terdapat dalam kodifikasi tersebut.
Walaupun atelah ada kodifikasi (KUHP), tetapi adanya tindak pidana diluar
KHUP merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Perbuatan-perbuatan tertentu
yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus berkembang,
sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang tidak cukup
efektif dengan hanya menambahkannya pada kodifikasi (KUHP).
Tindak pidana diluar KUHP tersebar didalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang ada. Peraturan perundang-undangan itu berupa peraturan perundang-undangan pidana.
Contoh-contohnya:
A.      Delik umum: KUHP.
B.      Delik khusus: UU No. 31 th 1999 tentang tindak pidana korupsi, UU
No. 5 th 1997 tentang psikotropika, dll.

  Jenis-jenis tindak pidana dilihat dari sudut sabjek hukumnya.


Delik Communia dan delik propria
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan
antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delictacommunia  ) dan
tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta
propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang. Akan tetapi,
ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
berkualitas tertentu saja.
Contoh-contohnya:
a.       Delik communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351, dll.
b.      Delik propria: pegawai negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada
kejahatan pelayaran) dll.
 Jenis-jenis tindak pidana dalam perlu tidaknya aduan dalam penuntutan.
Delik Biasa dan Delik Aduan
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan
pidana tidak disyaratkan adanya aduan dari yang berhak. Sedangkan delik aduan
adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana  disyaratkan adanya
aduan dari yang berhak.
Contoh-contohnya:
a.       Delik biasa: pembunuhan (338) dll.
b.      Delik aduan: pencemaran (310), fitnah (311), dll.
Pembagian tindak pidana menurut pandangan ilmiah
A) Delik Formal dan Delik Materiil

1. Delik Formal (formeel delict); Yaitu delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang. Contohnya: Pasal
362 KUHP tentang pencurian dan Pasal 209 dan Pasal 210 KUHP tentang penyuapan
aktif.
2. Delik Materiil (materieel delict); Yaitu delik yang baru dianggap terjadi setelah
timbulnya akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Contohnya: Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 351 KUHP tentang
penganiayaan.
B) Delik Komisi dan Delik Omisi

1. Delik Komisi (commissie delict); Yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan di dalam undang-undang. Contohnya: Pasal 362 KUHP (delik formal) dan
Pasal 338 KUHP (delik materiil).
2. Delik Omisi (omissie delict); Yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan
di dalam undang-undang. Contohnya: Pasal 224 KUHP tentang keharusan menjadi
saksi.

C) Delik Berdiri Sendiri dan Delik Lanjutan

1. Delik Berdiri Sendiri (zelfstandig delict); Adalah delik yang hanya terdiri atas satu
perbuatan tertentu. Misalnya: Pasal 338 KUHP (suatu pembunuhan).
2. Delik Lanjutan (voortgezette delict); Adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan
yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi antara perbuatan-perbuatan itu ada
hubungan yang erat, sehingga harus dianggap sebagai satu perbuatan lanjutan.

D) Delik Rampung dan Delik Berlanjut

1. Delik Rampung (aflopend delict); Adalah delik yang terdiri atas satu atau beberapa
perbuatan tertentu yang selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat.
2. Delik Berlanjut (voortdorend delict); Adalah delik yang terdiri atas satu atau beberapa
perbuatan yang melanjutkan suatu keadaan yang dilarang oleh undang-undang.
Misalnya: Pasal 221 KUHP tentang menyembunyikan orang yang melakukan
kejahatan.

Pembagian delik ini adalah penting antara lain untuk menentukan tenggang waktu daluarsa.

E) Delik Tunggal dan Delik Bersusun

1. Delik Tunggal (enkelvoudig delict); Adalah delik yang hanya satu kali perbuatan
sudah cukup untuk dikenakan pidana. Misalnya: Pasal 480 KUHP tentang penadahan.
2. Delik Bersusun (samengesteld delict); Adalah delik yang harus beberapa kali
dilakukan untuk dikenakan pidana. Misalnya: Pasal 481 tentang kebiasaan menadah.
F) Delik Sederhana/Delik Pokok, Delik dengan Pemberatan, dan Delik Berprivilige

1. Delik Sederhana (eenvoudig delict) atau Delik Pokok (grond delict); Misalnya: Pasal
338 KUHP tentang pembunuhan, dan Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
2. Delik dengan Pemberatan (ge qwalificeerd delict); Adalah delik yang mempunyai
unsur-unsur yang sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan
unsur-unsur lain sehingga ancaman pidananya lebih berat daripada delik pokoknya.
Misalnya: Pasal 339 KUHP tentang pembunuhan berkualifikasi, dan Pasal 363 KUHP
tentang pencurian berkualifikasi.
3. Delik Berprivilage (ge previligieerd delict); Adalah delik yang mempunyai unsur-
unsur yang sama dengan delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur yang lain,
sehingga ancaman pidananya lebih ringan daripada delik pokok. Misalnya: Pasal 342
KUHP tentang pembunuhan anak sendiri dengan rencana.

G) Delik Kesengajaan dan Delik Kealpaan

1. Delik Kesengajaan (doleus delict); Adalah delik yang dilakukan dengan sengaja.
Misalnya: Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 KUHP.
2. Delik Kealpaan (culpoos delict); Adalah delik yang dilakukan karena kesalahannya
atau kealpaannya. Misalnya: Pasal 359 KUHP karena kesalahannya menyebabkan
orang lain mati, dan Pasal 360 KUHP karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka.

Pembagian delik-delik ini adalah penting untuk ajaran penyertaan (deelneming) dan
percobaan (poging).

H) Delik Politik dan Delik Umum

1. Delik Politik (politiek delict); Adalah delik yang ditujukan terhadap keamanan negara
dan kepala negara. Misalnya: Pasal 104 s/d Pasal 181 KUHP dan Undang-undang
tentang Subversi
2. Delik Umum (gemeen delict); Adalah delik yang tidak ditujukan kepada keamanan
negara dan kepala negara.
I) Delik Khusus dan Delik Umum

1. Delik Khusus (delicta propria); Adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-
orang tertentu saja, karena suatu kualitas. Misalnya: Bab ke 28 Pasal 413-437 KUHP
tentang kejahatan jabatan dan undang-undang tindak pidana korupsi.
2. Delik Umum (delicta comunia); Adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.

Perbedaan atas delik-delik ini penting untuk ajaran penyertaan (deelneming).

J) Delik Aduan dan Delik Biasa

1. Delik Aduan (klacht delict); Adalah delik yang hanya dapat dituntut jika diadukan oleh
orang yang merasa dirugikan. Terdiri atas: (a) delik aduan absolut, yaitu delik yang
disebabkan oleh sifat kejahatannya, maka delik ini hanya dapat dituntut apabila
diadukan. Misalnya: Pasal 284 KUHP tentang perzinahan dan Pasal 293 KUHP
tentang perbuatan cabul, dan (b) delik aduan relatif, yaitu delik yang pada dasarnya
merupakan delik biasa, tetapi karena adanya hubungan keluarga yang sangat dekat
antara si korban dengan si pelaku/si pembantu kejahatan, maka delik ini hanya dapat
dituntut jika diadukan oleh pihak si korban. Misalnya: Pasal 367 ayat 2 KUHP tentang
pencurian dalam keluarga.

2. Delik Biasa (gewone delict; Adalah delik yang dapat dituntut tanpa adanya pengaduan
oleh orang yang merasa dirugikan.

4. Mengapa dalam KUHP tidak mengenal subjek hukum korporasi? Dimana sunjek
hukum korporasi diatur?  berikan contohnya

Permasalahan korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak lepas dari aspek hukum perdata.
Dalam hukum perdata orang perseorangan bukanlah satu- satunya subjek hukum. Hal ini
disebabkan masih ada subjek hukum lain yang memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan
hukum sama seperti orang perseorangan. Pandangan seperti ini berbeda dengan KUHP yang
hanya mengenal orang perseorangan sebagai subjek hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan
produk hukum Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi di wilayah Hindia
Belanda. Subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang perorangan. Dengan
kata lain, hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan hanya manusia yang dapat
dituntut serta dibebani pertanggungjawaban pidana. KUHP tidak mengenal korporasi sebagai
subjek hukum pidana. Hal ini didasarkan pada Pasal 59 KUHP, dimana apabila korporasi yang
melakukan tindak pidana, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus
korporasi dalam hal pengurus korporasi melakukan tindak pidana dalam rangka mewakili atau
dilakukan atas nama korporasi tersebut. Dalam perkembangannya, korporasi (juridical person)
muncul sebagai subjek yang dapat melakukan tindak pidana dan seharusnya pula dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, namun sayangnya kondisi ini belum
diwujudkan secara konkrit dalam KUHPidana kita.

Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana terdapat dalam peraturan


perundangundangan khusus di luar KUHP, antara lain:

A. Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam Pasal 15 ayat
(1) disebutkan bahwa: “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama suatu badan
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan, orang atau yayasan, maka...”
B. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Penyebutan korporasi tidak
secara tertulis, akan tetapi dalam Pasal 21 ayat (1) Jo. Pasal 1 angka 7 disebut subjek tindak
pidana berupa “Perusahaan Industri”. Dalam Pasal 1 angka 7 dijelaskan: “Perusahaan industri
adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri.”
C. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos. Dalam Pasal 19 ayat (3) disebutkan:
“...dilakukan oleh, atau atas nama, suatu badan hukum perseroan, perserikatan orang lain atau
yayasan,...”
D. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. Dimana menurut Pasal 6 ayat (1), Pasal 7
ayat (1) Jo. Pasal 24, Pasal 10 ayat (1) Jo. Pasal 25, “Setiap orang atau badan hukum dilarang
melakukan...”
E. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10Tahun 1998. Menurut Pasal 46 ayat (2) bahwa,
“...dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas, perserikatan, yayasan
atau korporasi.”
F. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Subjek yang disebut dalam
formulasi delik adalah “setiap pihak”. Yang dimaksud dengan setiap pihak menurut Pasal 1
angka 23 adalah: “Orang perorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok
yang terorganisasi.”
G. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam formulasi tindak
pidana psikotropika, hanya disebut dengan istilah “korporasi”. Sedangkan pengertian
korporasi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 13, yaitu “kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.” Undang-undang inilah
yang pertama menggunakan istilah korporasi.
H. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Disebut juga dengan korporasi
seperti halnya pada undang-undang psikotropika. Pengertian korporasi dirumuskan dalam
Pasal 1 angka 19, yaitu “kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum maupun bukan.”
I. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut
Pasal 46 ayat (1), ditentukan “...jika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain.”
J. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Formulasi delik dalam undang-undang ini hanya diatur dalam Pasal 48
saja, yang terdiri dari pelanggaran beberapa pasal dalam undang-undang ini. Dalam pasal-
pasalyang disebut di dalam Pasal 48 tersebut, tidak ada penyebutan korporasi atau badan
hukum. Subjek yang disebut adalah “pelaku usaha”. Dalam ketentuan umum Pasal 1 sub 5
dijelaskan bahwa: “pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
berbentuk badan hukum atau bukan.”
K. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Subjek tindak
pidana yang disebut dalam formulasi delik adalah pelaku usaha dalam Pasal 62. Pengertian
pelaku usaha dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu: “pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang bukan”, sama dengan
rumusan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999.
L. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Perumusannya:
“...jika dilakukan oleh korporasi. Pengertiannya dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1, yaitu:
“Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.”
M. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Istilah yang
digunakan adalah badan usaha. Pengertian badan usaha diatur dalam Pasal 1 angka 17 yang
menyatakan: “Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan
jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
N. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Istilah yang dipakai adalah korporasi. Pengertiannya dijelaskan
dalam Pasal 1 angka 10 yaitu: “kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Dari berbagai peraturan di atas yang
merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam perundang-undangan, dapat dilihat
bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana terdapat dalam undang-undang
khusus di luar KUHP. Selain itu juga, peraturan perundang-undangan tersebut menunjukkan
bahwa pengertian korporasi dalam bidang hukum pidana lebih luas daripada pengertian
korporasi dalam bidang hukum perdata.
Arief (1998) mengemukakan bahwa, dari perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana
yang terdapat dalam undang-undang khusus di luar KUHP dapat disimpulkan bahwa:

(1) penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang
diatur dalam undangundang khusus;
(2) pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tetapi digunakan istilah yang
bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten;
(3) istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam Undang- Undang Psikotropika
yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep KUHP 1993.
Berkaitan dengan pengertian korporasi, Konsep KUHP 2006 juga mengatur mengenai
korporasi sebagai subjek tindak pidana yang diatur dalam Pasal 47 Konsep KUHP. Konsep
KUHP 2006 juga memberikan pengertian korporasi dalam Pasal 182, yaitu: “Korporasi adalah
kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik yang merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum”. Dengan diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana
dalam Konsep KUHP, maka diharapkan kelak aturan tersebut dapat menjadi pedoman bagi
pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di
luar KUHP.

Contohnya : Korporasi sebagai subjek tindak pidana perumusannya berada dalam peraturan
perundangundangan di luar KUHP, maka langkah selanjutnya dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah dengan menentukan aturan atau syarat
mengenai kapan suatu korporasi dikatakan melakukan tindak pidana. Dengan kata lain, harus
ditentukan pedoman atau batasan suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi. Dalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 20 ayat (2) ditentukan bahwa:
“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”

5. Sebut, jelaskan dan berikan contoh teori-teori kausalitas yang ada.

Ada beberapa ajaran kausalitas yang dikelompokkan menjadi tiga teori besar:
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dan
mantan presiden Reichsgericht (Mahkamah Agung) Jerman. Von Buri mengatakan bahwa
tiap-tiap syarat atau semua faktor yang turut serta atau bersama-sama menjadi penyebab
suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan
akibat harus dianggap causa (akibat). Tiap-tiap faktor memiliki nilai yang sama dan
sederajad tidak membedakan faktor syarat dan faktor penyebab. Jika salah satu syarat
tidak ada maka akan menimbulkan akibar yang lain pula. Teori ini juga disebut dengan
equivalent theori karena setiap syarat nilainya sama dan bedingung theori sebab bagianya
tidak ada perbedaan antara syarat dan penyebab. Ajaran ini berimplikasi pada perluasan
pertanggungjawaban dalam perbuatan pidana. Seperti halnya teori-teori yang lain, teori
Von Buri ini memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Kelemahan ajaran ini adalah
tidak dibedakannya faktor syarat dan faktor penyebab.
Contohnya, seorang laki-laki mengendarai sepeda motor mendadak menyeberang
tanpa memberikan isyarat lampu dan dari arah belakang melaju kencang sebuah mini bus,
sopir mini bus yang kaget membunyikan klakson dan menginjak rem sekuat tenaga
sehingga tabrakan pun tidak sampai terjadi. Namun, laki-laki tersebut tiba-tiba jatuh dan
segera dilarikan ke rumah sakit. Beberapa jam kemudian, laki-laki ini meninggal dunia
karena serangan jantung. Pihak kepolisian menyatakan bahwa kecelakaan yang terjadi
akibat pengendara sepeda motor yang tidak mematuhi peraturan dan sopir minibus
dibebaskan.  Namun ahli waris tidak terima terhadap pengehentian penyelidikan dan
mengajukan upaya pra peradilan ke Pengadilan Negeri agar menetapkan bahwa
pengehntian penyelidikan tidak sah dan memerintahkan kepada penyidik untuk
melanjutkan perkara itu. Hal ini tentunya tidak mudah bagi pengadilan negeri dan
penyidik dalam menilai kasus ini. Dalam ilustrasi kasus, si pengemudi mini bus harus
diminta pertanggung jawaban atas kematian pengendara sepeda motor. Padahal bunyi
klakson dan suara rem merupakan faktor syarat bukan faktor penyebab. Hal ini dipandang
tidak adil sebab tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan pada dirinya. Artinya teori ini
bertentangan dengan asas tindak pidana tanpa kesalahan (geen straft zonden schuld).
2. Teori Individualisasi
Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan
hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan
kata lain peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum).
Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan penyebab. Dan faktor penyebab itu
sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki peran terkuat terhadap timbulnya
suatu akibat. Pendukung teori ini adalah Birkmayer dan Karl Binding.
Birkmayer mengemukakan teori de meest werkzame factor pada tahun 1885 yang
menyatakan bahwa dari serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan, tidak semua dapat
digunakan untuk menimbulkan suatu akibat, hanya faktor yang dominan atau kuat
pengaruhnyalah yang dapat dijaadikan penyebab timbulnya suatu akibat. Kesulitannya
adalah bagaimana menentukan faktor yang dominan dalam suatu perkara. Contohnya,
faktor serangan jantung yang menjadi faktor dominan yang menyebabkan seseorang
meninggal dunia dalam ilutrasi di atas. Dan pengemudi mini bus yang membunyikan
klakson tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Karl Binding mengemukakan
teori ubergewischts theorie yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor
terpenting dan sesuai dengan akibat yang timbul. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat
terjadi karena faktor yang menyebabkan timbulnya akibat lebih dominan (faktor positif)
daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif). Satu-satunya faktor sebab adalah
faktor syarat terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan memenangkan faktor positif
tadi.
Kelemahan dari teori ini adalah penentuan faktor yang paling kuat pengaruhnya
jika semua faktor sama-sama kuat untuk menimbulkan akibat. atau jika sifat dan corak
pengaruh tidak sama dalam rangkaian faktor tidak sama. Kelemahan teori ini juga dapat
dipahami dari ilustrasi berikut: A berniat membakar gudang orang lain, lalu ditempatknya
kaca pembesar di atas tumpukan jerami sehingga kalau matahari mengenai kaca dapat
menimbulkan percikan api yang memicu kebakaran. Berdasarkan teori ini maka A luput
dari jerat hukum pidana sebab faktor dominan terakhir adalah sinar matahari yang
mengenai kaca pembesar.
3. Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor
yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan dengan melihat
dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada
umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan
faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman umum yang
menurut akal dan kewajaran manusia. Persoalannya kemudian bagaimana menentukan
sebab yang secara akal dan menurut pandangan umum menimbulkan akibat? Berdasarkan
pertanyaan ini kemudian muncul teori Adequat yaitu:

a. Teori Adequat Subjektif


Dipelopori oleh J. Von Kries yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab dari
rangkaian faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja
yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat.
Contoh, si A mengetahui bahwa si B mengidap penyakit jantung dan dapat
menimbulkan kematian jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memuukul
si B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan mengejutkan itu
dikatakan sebagai sebab.    

b. Teori Adequat objectif-nachtraglicher prognose


Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi
sebab atau akibat, ialah faktor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor
yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi. Atau dengan kata lain
causa dari suatu akibat terletak pada faktor objektif yang dapat dipikirkan untuk
menimbulkan akibat.
c. Teori Adequate menurut Traeger
Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya
pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van
Bemmelen mengomentari teori ini bahwa yang dimaksud dengan in het algemeen
voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang artinya, disadari
sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.

Anda mungkin juga menyukai