59
I. Gambaran Umum Pluralisme Agama di Indonesia
Secara empiris memang tidak dapat disangkal, bahwa masyarakat Indonesia, apalagi
masyarakat dunia, sangat plural. Pluralitas yang dialami sebagai kenyataan seringkali
mengakibatkan gesekan-gesekan (konflik) dalam hal bermasyarakat dan hidup bersama, yang
kadang kala berujung pada pertumpahan darah. Dalam sejarah umat manusia, ternyata agama
dapat menjadi salah satu sumber atau pemicu permusuhan/pertikaian (konflik). Mengapa agama
1
Pada umumnya, agama tradisional atau agama suku lebih dikenal dengan istilah “kepercayaan”.
60
yang mencita-citakan kebaikan bagi umat manusia malah bisa menjadi pemicu atau bahkan
sumber konflik?
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, ternyata ada kalanya konflik yang terjadi
mengatasnamakan agama sebagai penyebab utamanya. Padahal, jika ditelusuri secara objektif
maka bukanlah agama penyebab konflik tersebut. Misalnya saja GAM (Gerakan Aceh Merdeka),
di mana paradigma masyarakat umum konflik yang terjadi adalah karena rakyat Aceh
memperjuangkan syariat Islam dan Negara Islam. Jika menelusuri sejarah konflik GAM terjadi,
maka sumber konflik bukanlah masalah agama. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik
tersebut ternyata lahir karena adanya diskriminasi sosial, pelanggaran HAM, pemerkosaan
hukum Islam, dan lain-lain. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh umat
agama lain. Konflik yang terjadi bukan karena sentimen terhadap agama lain, walaupun mereka
sendiri mencita-citakan Negara Islam. Konflik juga bukan karena pertentangan etnis, tetapi
masih berada dalam tingkat konflik vertikal berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat. 2
Contoh lain adalah konflik Ambon/Maluku, di mana konflik yang terjadi juga mengatasnamakan
agama sebagai penyebab konflik. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik saling
membunuh secara biadab yang terjadi di Ambon dan Maluku sama sekali bukan konflik agama,
melainkan karena adanya rasa „super‟ dibanding yang lain – di mana rasa ini muncul karena
adanya pengaruh kolonialisme di masa lalu. Diskriminasi yang terjadi akhirnya membawa agama
ke ranah konflik. 3 Dewasa ini, selain menjadi “kambing hitam” atas konflik yang terjadi, agama
juga bisa menjadi penyebab konflik itu sendiri. Hal ini seringkali dikarenakan adanya perbedaan
pandangan teologis, rasa curiga satu terhadap yang lain, penafsiran ajaran secara eksklusif, dan
lain-lain. Misalnya saja kasus penutupan Gereja oleh umat agama lain di beberapa tempat,
karena adanya praktik-praktik yang dicurigai sebagai kristenisasi. Pembangunan tempat ibadah
yang dipermasalahkan, karena dikhawatirkan mengganggu dan membawa pengaruh negatif bagi
masyarakat di luar agama tersebut. Diakonia-diakonia gereja kepada masyarakat umum yang
seringkali dipermasalahkan, karena diisukan sebagai praktik kristenisasi. Konflik antar agama
juga bisa diakibatkan oleh perbedaan ideologi dalam agama-agama itu sendiri. Hal ini terjadi
2
Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan
Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei. 2001). Hlm. 27-28
3
Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman. Hlm. 28-34
61
tatkala masing-masing agama mengklaim bahwa dirinyalah atau ajarannya yang paling benar. 4
Dengan demikian, tampak bahwa fakta keberagaman agama di Indonesia ternyata rentan
terhadap adanya konflik. Baik konflik karena adanya manipulasi atau provokasi dari pihak-pihak
tetentu, maupun konflik yang terjadi karena perbedaan ideologi agama satu dengan yang lainya.
Ibarat mata uang koin yang punya dua sisi, begitupun juga dengan keberagaman agama. Di satu
sisi memang dapat membawa konflik dalam kehidupan bersama. Namun, di sisi lain
keberagaman agama di Indonesia merupakan suatu fakta yang berpotensial demi pembangunan
iman masing-masing agama/kepercayaan. Hal itu tercapai bilamana masing-masing agama mau
menerima dan membuka diri terhadap fakta keberagaman tersebut, sehingga muncul kesadaran
untuk saling belajar dari satu sama lain demi pembangunan iman yang diyakininya sendiri
berikutnya praksisnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kesadaran bahwa secara empiris kekristenan tidak berdiri sendiri, melainkan berada di
tengah-tengah keberagaman agama membuat beberapa kalangan termasuk para teolog membuka
diri dan berupaya merumuskan kembali iman Kristen yang selama ini dipegangnya. Iman
terhadap Yesus Kristus kini mulai ditelaah kembali demi menghadirkan Yesus Kristus dalam
dunia yang penuh dengan konteks, khususnya keberagaman agama. Hal ini dikarenakan
pemahaman dan iman akan diri Yesus ternyata seringkali membuat adanya masalah antara umat
Kristen dengan umat agama lain. Oleh karena itu, agaknya umat Kristen perlu merumuskan
ulang misi dan paham mengenai Yesus agar pemberitaan mengenai Yesus Kristus tidak
menambah daftar konflik antar agama, namun turut memberikan pengaruh yang positif dalam
perdamaian antar umat beragama. Dalam misinya untuk memberitakan Injil, khususnya
memberitakan Yesus Kristus, rasul Paulus tentunya mempunyai pola-pola pemberitaannya
sendiri. Apakah pola rasul Paulus dalam memberitakan Yesus Kristus tersebut, seperti dalam
teks II Korintus 5:18-21, relevan bagi pemberitaan Yesus Kristus dalam konteks keberagaman
agama di Indonesia?
4
Bandingkan dengan Widi Artanto yang berpendapat bahwa agama menjadi sebuah bencana dalam kehidupan plurali tatkala
agama tersebut memutlakkan klaim kebenarannya, paling benar dan satu-satunya. Lihat Widi Artanto, Tantangan Kehidupan
Masyarakat Plural, dalam Wahju Satrio W. (ed.) Konsep Mesianis dalam Kitab Yesaya dan Relevansinya dalam Kehidupan
Masyarakat Plural (Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 2005). Hlm. 123-124
62
II. II Korintus 5: 18-21 sebagai Dasar Memberitakan Yesus Kristus
5
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius. 2008). Hlm. 7-8
6
Bandingkan dengan pendapatnya Widi Artanto yang mengatakan bahwa Alkitab tidak berisi panggilan kepada orang-orang
Kristen untuk membuat klain-klaim bagi diri mereka sendiri, melainkan membuat suatu komitmen yang membuka hidup
mereka bagi orang lain. Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner; dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen. 2008). Hlm. 193
63
yang merupakan pengejawantahan Kerajaan Allah, di dalam konteks keberagaman agama di
Indonesia. Dengan demikian, jika karya kematian Kristus membawa pendamaian antara manusia
dan dunia dengan Allah, maka seyogyanya pemberitaan mengenai Kristus-pun juga mampu
membawa dan menghadirkan perdamaian di antara agama-agama.
7
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1997). Hlm. 194
8
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 195-197
9
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 197
64
keterpanggilannya bukan untuk membaptis melainkan untuk memberitakan Injil. Selain itu,
tampaknya rasul Paulus juga memahami bahwa berita Injil bukanlah hanya untuk orang
Yahudi, melainkan juga untuk orang non-Yahudi. Dengan kata lain, misi yang dipahami oleh
Paulus kini bukanlah misi untuk membaptis atau mengkristenkan orang Yahudi, melainkan
misi Injil yang mendunia.10 Oleh karena itu, rasul Paulus bisa sampai pada pemahaman
bahwa pendamaian Allah berlaku bagi seluruh manusia dan dunia (II Kor 5:18-19). Dalam
terang demikian, maksud misi Paulus adalah memimpin orang pada keselamatan di dalam
Kristus. Keselamatan tersebut didapatkan di dalam perjumpaan dengan Allah yang di dalam
Yesus Kristus menyatakan karya-Nya.11 Dengan kata lain, karya keselamatan Allah – yang
dipahami oleh rasul Paulus sebagai karya pendamaian Allah bagi manusia dan dunia – dapat
terwujud secara nyata tatkala Yesus Kristus diberitakan tidak hanya bagi orang Yahudi,
namun juga bagi orang non-Yahudi.
Jika rasul Paulus merumuskan ulang misinya agar karya pendamaian Allah nyata bagi
manusia dan dunia lewat pemberitaan mengenai karya Yesus Kristus, maka apakah orang
Kristen juga perlu merumuskan kembali misinya agar karya pendamaian Allah nyata dalam
konteks keberagaman agama di Indonesia yang rentan terhadap konflik? Jika memang benar
demikian, maka rumusan misi seperti apakah yang sekiranya relevan?
Misi selalu identik dengan pengutusan dan pemberitaan. Namun, bila melihat sejarah
dari misi itu sendiri maka misi tampak lebih kepada “ekpansi agama”. Konsep mengenai misi
pada masa itu adalah (a) penyebaran iman, (b) perluasan pemerintahan Allah, (c) pertobatan
orang-orang kafir, dan (d) pendirian jemaat-jemaat baru.12 Pada masa lalu, dalam usaha
misinya para misionaris Barat menekankan pentingnya pertobatan individu dan
mengesampingkan dimensi sosial yang ada, termasuk nilai-nilai positif dalam agama lain.
Hal inilah yang menyebabkan misi Kristen menempatkan orang-orang beragama lain sebagai
orang-orang kafir, yang tidak memliki kebenaran ilahi. 13 Sementara itu, Widi Artanto
mengatakan bahwa “misi Kristen yang tidak menyentuh realitas sosial yang nyata adalah
10
Bandingkan dengan pendapat Bosch, bahwa visi misioner Paulus bersifat universal (mendunia). Dalam hal ini, Paulus
mempunyai pemahaman misi “oikumenis”. Dalam arti, seluruh dunia yang didiami harus dijangkau dengan Injil. Lihat David
J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm.203-204
11
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 211
12
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 1
13
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 121. Lihat pula pada hlm. 98-100, di mana Widi menyebutnya dengan “misi
penaklukan”.
65
misi yang tidak relevan”. 14 Senada dengan hal tersebut, Stan Nusbaum berpendapat bahwa
misi dalam konteks keberagaman agama seharusnya bersifat universal, dalam arti mampu
menjangkau masyarakat dengan latar belakang yang berbeda – termasuk latar belakang
agama. 15 Dengan demikian, maka tampak bahwa orang Kristen perlu merumuskan kembali
konsepnya mengenai misi di dalam konteks keberagaman agama.
14
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 125
15
Stan Nusbaum, A Reader`s Guide to Transforming Mision (New York: Orbis Books, Maryknoll. 2005). Hlm 27-29
16
Kurt Piskaty, Motif-motif Karya Misioner Kristen dalam Misi, Evangelisasi, Penghayatan Iman oleh Georg Kirchberger
(ed.) (Maumere: Ledalero. 2004). Hlm. 17. Bandingkan juga dengan pendapatnya Bosch, yang mengatakan bahwa Misi
Kristen pada hakikatnya juga adalah cerminan hubungan yang dinamis antara Allah dengan dunia (David J. Bosch,
Transformasi Misi Kristen, hlm. 13).
17
Bevans sendiri berpendapat bahwa Yesus adalah autobasileia. Yesus adalah gambaran yang paling jelas tentang Allah dan
misi-Nya yang pernah dilihat dunia. Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia; Dasar, Pola,
dan Konteks Misi (Maumere: Ledalero. 2006). Hlm. 581
66
sudah seharusnya memberitakan Yesus Kristus demi terwujudnya Kerajaan Allah (kingship)
di dunia yang beragam konteksnya.18
Salah satu aspek dalam hadirnya Kerajaan Allah adalah damai sejahtera. Damai
tersebut sudah dinyatakan oleh Allah melalui kedatangan Yesus Kristus (band Luk 2: 14).
Berdasarkan hal tersebut, maka misi memberitakan Yesus Kristus, yang merupakan
pengejawantahan Kerajaan Allah, bisa dikatakan pula dengan misi rekonsiliasi. 19 Menurut
Widi Artanto, misi rekonsiliasi merupakan misi yang memperjuangkan relasi baru antara
manusia untuk membangun kembali relasi lama yang dirobek-robek oleh kecurigaan, apriori,
keterasingan, permusuhan, dan peperangan yang disebabkan oleh perbedaan agama dan
budaya. 20 Dengan demikian, maka bisa dikatakan pula pemberitaan mengenai Yesus Kristus
dalam terang misi rekonsiliasi terutama terfokus pada karya Yesus Kristus yang
mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah.
Bertolak dari situasi Jemaat Korintus yang sedang berkonflik, yang sifatnya
komunalistik, maka misi perdamaian yang diangkat/dirumuskan oleh Paulus agaknya tepat
untuk merespon situasi tersebut.21 Situasi konflik di mana masing-masing berseteru satu
sama lain mengindikasikan adanya relasi yang rusak. Dengan mengatakan bahwa Allah
mendamaikan dunia dan manusia dengan diri-Nya melalui Kristus, maka secara tidak
langsung pula Paulus juga ingin mengatakan kepada Jemaat Korintus bahwa mereka – yang
secara pribadi dengan Allah telah didamaikan – supaya berdamai juga dengan sesamanya.
Dalam hal ini, situasi keberagaman agama di Indonesia kurang lebih sama dengan situasi di
Jemaat Korintus pada waktu itu. Keberagaman agama di Indonesia yang rentan konflik,
agaknya membuat misi rekonsiliasi cukup relevan. Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi
umumnya bukanlah konflik yang bersifat religius atau ideologis, melainkan bersifat
komunalistik. 22 Konflik komunalistik dalam artian bahwa orang semakin tidak mampu
18
Bandingkan dengan pendapatnya Bevans, bahwa sasaran utama teologi misi adalah mewartakan nama Yesus. Lihat Stephen B.
Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 565
19
Bandingkan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 175-176
20
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 176
21
Bandingkan dengan pendapat Bosch bahwa pemahaman rasul Paulus tentang misi bukanlah suatu bangunan abstrak yang
bergantung pada sebuah prinsip universal, melainkan suatu analisis tentang realitas yang didorong oleh suatu pengalaman
mula-mula yang memberikan Paulus sebuah pandangan dunia yang baru. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm.
194
22
Terkait dengan hal ini, Th. Sumartana berpendapat bahwa konflik antar-agama acapkali dipicu oleh perbedaan doktrinal yang
dipeliharan sebagai keyakinan dan kebenaran yang absolut. Th. Sumartana, Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Refleksi tentang
67
menghayati dirinya sebagai “saudara sebangsa” atau “sama-sama manusia”. Realita yang
terjadi adalah pada akhirnya orang terbawa pada penghayatan diri “saya/kami” berhadapan
dengan “kamu/mereka”. Pada akhirnya, perbedaan agama-lah yang dijadikan kambing hitam
atas konflik yang terjadi. Padahal, walaupun ada perbedaan ideologi namun jika masing-
masing pihak merasa bahwa mereka semua adalah satu dan tidak membenarkan diri dalam
kelompoknya masing-masing, maka niscaya konflik tidak akan terjadi. Konflik
mengakibatkan tiap-tiap pihak yang terkait saling berseteru satu sama lain dengan membela
kebenaran yang diyakininya. Relasi yang rusak akibat konflik yang terjadi membutuhkan
adanya pemulihan demi kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam konteks seperti inilah
Widi mengatakan bahwa teks II Kor 5: 18-19 seyogyanya tidak hanya dipahami dalam
pengertian rohani. Maksudnya, misi rekonsiliasi Allah di dalam Kristus seyogyanya tidak
hanya dimengerti sebagai pendamaian dosa demi keselamatan jiwa manusia, melainkan juga
sebagai pemulihan kemanusiaan manusia. Ketika kemanusiaan manusia terpulihkan, maka
tidak hanya hubunganya dengan Allah pulih melainkan juga hubunganya dengan sesama dan
alam. 23 Dengan demikian, rumusan misi yang cukup relevan dalam konteks keberagaman
agama di Indonesia adalah misi rekonsiliasi dan teks II Kor 5: 18-21 dapat menjadi dasar
misi rekonsiliasi.
Refleksi Paulus atas peristiwa Damsyik rupanya juga membuatnya mengimani bahwa
Yesus adalah Mesias/Kristus. Dalam hal ini, tampak bahwa sebenarnya Paulus mengalami
transformasi iman. Ia yang dulunya seorang Yahudi yang masih dalam menantikan Mesias
dan tidak mengimani Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, kini telah mengimani bahwa
Yesus dari Nazaret itulah Mesias yang dijanjikan. Berdasarkan teks II Kor 5: 18-21 – Paulus
rupanya memberitakan ke- Mesias-an Yesus Kristus tidak sebagai gelar, melainkan karya-
Nya sebagai Mesias yang memperdamaikan manusia dan dunia dengan Allah
Hubungan antar-agama di Indonesia; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di
Indonesia. Hlm. 79. Lihat pula Frans Magnis-Suseno, Pluralisme Agama, Dialog, dan Konflik di Indonesia; dalam Th.
Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Hlm. 71
23
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 181. Lihat juga hlm. 288
68
(rekonsiliator).24 Hal itu agaknya juga dikarenakan Paulus merumuskan ulang pemahaman
mengenai diri Yesus sebagai Mesias/Kristus menjadi Yesus sebagai rekonsiliator agar
relevan dalam konteks jemaat Korintus yang sedang berkonflik. Rumusan kristologi bahwa
Yesus adalah Mesias yang membawa keselamatan dan pembebasan kini telah dirumuskan
ulang oleh rasul Paulus. Yesus kini lebih cenderung diberitakan oleh Paulus sebagai Mesias
yang membawa pendamaian Allah bagi manusia dan dunia, di mana karya kematian-Nya
juga membawa penghapusan pelanggaran (pembenaran) dan penebusan. Perumusan ulang
tersebut bukan karena Paulus tidak lagi mengimani Yesus sebagai Mesias/Kristus, melainkan
baginya lebih penting memberitakan karya Yesus sebagai Mesias daripada gelar mesianis-
Nya. Selain itu, bahasa perdamaian dirasa oleh Paulus cukup kontekstual dan relevan dalam
konteks jemaat Korintus yang sedang berkonflik. Perumusan ulang tersebut ternyata juga
membuat Paulus memahami bahwa Karya Yesus yang mendamaikan manusia dengan Allah
berlaku tidak hanya bagi orang Yahudi saja, melainkan bagi seluruh manusia dan dunia.
Dengan adanya perumusan ulang tersebut, Yesus Kristus kini dapat diberitakan secara
relevan oleh Paulus di dalam mengemban misi rekonsiliasi dari Allah.
Seperti halnya Paulus, maka orang Kristen pun juga harus merumuskan ulang
pemahaman terhadap Yesus (kristologi). Mengapa? Hal ini karena penghayatan iman dan
pemahaman akan Yesus mempengaruhi pola dan seperti apa Yesus diberitakan di dalam
konteksnya. Ketika Yesus diimani dan diimani sebagai satu-satunya Juruselamat, di mana
agama lain dianggap kafir, maka pemberitaan tersebut hanya akan menambah daftar konflik
antar agama di Indonesia. Bagi orang Kristen, Yesus memang satu-satunya Juruselamat.
Namun, hal tersebut seyogyanya tidak membuat orang Kristen menutup mata terhadap
adanya kebenaran lain yang diyakini oleh umat agama lain. 25 Perumusan tersebut juga
seyogyanya diupayakan agar kontekstual, sehingga pada nantinya Yesus Kristus tidak hanya
“dinikmati” oleh umat Kristen saja, namun juga umat lain. Dalam arti, kebenaran maupun
iman akan Yesus Kristus juga dapat diterima dalam konteks keberagaman agama dan juga
menjadi salah satu hal yang dapat dijadikan pembelajaran bersama – terkait dengan adanya
unsur saling belajar satu sama lain dalam pluralisme agama.
24
Dalam memberitakan Yesus Kristus, yang terpenting (fokus pemberitaan) bagi rasul Paulus adalah pemberitaan mengenai
karya-Nya dan bukan gelar – sekalipun gelar-gelar yang dikenakan pada diri Yesus juga penting bagi dirinya. Lihat ulasannya
dalam Bab II.
25
Bandingkan dengan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 121-122
69
Menghadapi fakta adanya keberagaman agama yang menuntut adanya keterbukaan,
beberapa teolog mencoba merumuskan kristologi – secara kontekstual. Seperti John Hick,
sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, ia merumuskan teologi Copernican. Seperti
halnya matahari yang menjadi pusat seluruh tata surya, demikian juga Allah merupakan pusat
dari semua agama yang ada. 26 Demikian halnya Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana yang
dikutip juga oleh Harold Coward, yang berpendapat demikian:
26
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 58-59; lihat juga John Hick, Ketidakmutlakan Agama Kristen, dalam John Hick dan Paul F.
Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen, hlm. 36-37
27
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 63
28
Wilfred Cantwell Smith, Pemberhalaan; Dalam Perspektif Perbandingan, dalam John Hick dan Paul F. Knitter (ed), Mitos
Keunikan Agama Kristen, hlm. 95
29
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 77
30
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 78
70
lain. 31 Bisa dikatakan pula, Allah juga menyatakan diri-Nya melalui “Kristus” – dalam
bentuk yang berbeda – dalam agama-agama lain. 32
31
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 81; Bandingkan juga ketika ia berpendapat bahwa “Kristus tidak boleh dikungkung dalam
Yesus dari Nazaret. Kristus adalah perantara antara Yang Illahi dengan ciptaan, sehingga agama-agama lain dapat menyebut
Kristus dengan Krishna atau Budha”, Harold Coward, Pluralisme, hlm. 83; bandingkan pula Knitter yang berpendapat bahwa
“keillahian sungguh-sungguh ada dalam Yesus, namun dapat ditemukan mengatasi Yesus”, Paul F. Knitter, Menggugat
Arogansi Kekristenan. Hlm. 85
32
Bandingkan dengan pendapat Kniiter bahwa “misteri Allah tidaklah sederhana tetapi plural”, Paul F. Knitter, Menggugat
Arogansi Kekristenan. Hlm. 86
33
Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 564
71
Bertolak dari teks II Kor 5:18-21, sekalipun Rasul Paulus menyatakan bahwa
perdamaian, pembenaran, dan penebusan itu berasal dari Allah dan berlaku bagi manusia dna
dunia, namun ia tidak mengingkari bahwa melalui kematian Kristus-lah Allah menyatakan
semuanya itu kepadanya. Rasul Paulus mengimani bahwa dirinya beroleh pendamaian,
pembenaran, dan penebusan adalah melalui penghayatan iman terhadap Yesus Kristus.
Dengan kata lain, bagi Rasul Paulus Yesus Kristus adalah pernyataan Allah satu-satunya.
Namun, ia pun juga tidak memungkiri bahwa pendamaian yang dinyatakan Allah melalui
Kristus tersebut ditujukan untuk semua orang, bahkan dunia. Pola kristologi Rasul Paulus
tersebut agaknya diikuti oleh beberapa teolog lainnya. Seperti halnya dengan Karl Rahner,
sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, di mana ia agaknya lebih terbuka dengan
tetap menegaskan keeksklusifan dan universalitas Kristus di samping sekaligus menghormati
kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal. 34 Sekalipun Rahner
menekankan universalitas keselamatan dari Allah (untuk semua orang bahkan dunia), namun
ia tetap mempertahankan bahwa secara historis keselamatan hadir dalam peristiwa Yesus
Kristus.35 Bandingkan pula dengan pendapatnya Knitter, yang walaupun ia mengusulkan
meninjau kembali keunikan Yesus Kristus namun ia – di sisi lain – tetap menegaskan
keunikan Yesus Kristus.36 Tampaknya para teolog tersebut, sekalipun mengarahkan diri pada
keterbukaan terhadap agama lain, namun di sisi lain mereka tetap mempertahankan Kristus,
sebagaimana yang mereka imani di mana Allah menyatakan keselamatan atau pendamaian
melalui diri-Nya. Mengapa orang Kristen perlu mempertahankan iman terhadap Kristus di
dalam keterbukaannya terhadap agama lain?
34
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 73
35
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 75
36
Knitter mengartikan “unik” bukan dalam artian sesuatu yang dimiliki seseorang yang membedakannya dari yang lain. Menurut
Knitter, “keunikan Yesus dan Injil ialah apa yang tanpa itu Yesus tidak lagi bertindak atau berbicara dengan cara sebagaimana
Ia digambarkan dalam Perjanjian Baru, apa yang tanpa itu kita tidak lagi mempunyai Injil yang autentik, yang lengkap”, lihat
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 169. Berdasarkan hal tersebut, bisa dikatakan bahwa Knitter
sebenarnya mengajak untu meninjau kembali dan meneguhkan, bukan untuk menyangkal.
72
yang senantiasa harus berkembang agar Yesus bisa senantiasa dihadirkan sepanjang masa
dan dalam setiap konteks.37 Pluralisme tidak identik dengan Relativisme yang menganggap
semua agama sama saja dan mengesampingkan keunikan masing-masing. Namun, pluralisme
itu mengakui dan menghargai kebenaran yang terdapat di dalam semua agama, di mana ada
kerelaan untuk saling belajar satu sama lain demi pencarian kebenaran yang sejati.38 Bagi
umat Kristen, Yesus Kristus adalah kebenaran mutlak. Bagi umat Kristen, Yesus Kristus
adalah satu-satunya pernyataan Allah dan jalan keselamatan. Tetapi, keyakinan ini tidak
harus membuat orang Kristen menutup diri dan merendahkan kebenaran yang diyakini oleh
agama lain, namun seyogyanya mau belajar dari umat lain demi memperkaya imannya. 39
Dalam merumuskan ulang kristologi, umat Kristen perlu menjaga imannya terhadap
Yesus. Knitter mengatakan bahwa dalam tiap-tiap agama ada faktor atau hal-hal yang tak
ternegosiasikan dan masalah tersebut bagi umat Kristen menyangkut tentang – keunikan –
Yesus Kristus. Hal-hal yang tak ternegosiasikan tersebut ialah:
Di dalam Yesus, Allah telah melakukan sesuatu yang sangat khusus, sesuatu yang belum
pernah dilakukan, dan tidak akan dilakukan, di mana pun.
Karena sesuatu yang khusus ini, Yesus mungkin memiliki kesamaan dengan para tokoh
lain, namun Ia tetap berbeda, berbeda tanpa bisa dikurangi. Perbedaan ini harus
dipelihara.
Sesuatu yang khusus dilakukan Allah di dalam Yesus itu penting – sangat penting –
bukan hanya bagi umat Kristiani, tetapi juga bagi semua orang. 40
37
Bandingkan dengan pendapatnya Gerrit, di mana ia membedakan antara teologi dan iman dalam bingkai menjaga “kemurnian
iman”. Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi, dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. 2007). Hlm.
172
38
Bandingkan dengan pendapat Wyanto, “Pluralisme agama itu sendiri mengasumsikan bahwa kebenaran sejati itu memang
tidak ada, semuanya relatif. Yang menjadi masalah bukanlah ada atau tidaknya standar kebenaran sejati yang berlaku bagi
semuanya, tetapi adalah semua agama memiliki unsur kebenaran – semuanya patut saling belajar/mendengar, dan janganlah
terlalu cepat mengklaim bahwa padanya ada kebenaran sejati yang sempurna. Kebenaran sejati itu masih harus dicari
bersama”, lihat M. W. Wyanto, Diktat (Pengantar) Teologi Agama-agama, UKDW, 2009. Hlm. 7. Dengan demikian,
pluralisme agama tidak hanya bertujuan untuk saling menghargai saja, namun juga saling belajar demi memperkaya iman
masing-masing.
39
Bandingkan dengan pendapatnya Rahner yang dikutip oleh Knitter, bahwa komitmen iman memerlukan suatu norma yang
pasti (kepastian) dari Allah dan bagi umat Kristen hal itu terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Lebih lanjut lagi Knitter
mengatakan bahwa komitmen religius mengisyaratkan adanya keyakinan bahwa Allah telah benar-benar memanggil seseorang
kepada Kristus, bukan karena ini adalah satu-satunya panggilan yang Allah berikan kepada manusia. Paul F. Knitter,
Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 124-125.
40
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 121-122
73
Yesus Kristus adalah penyataan Allah kepada manusia, namun hal itu bukan berarti
menyamakan Yesus dengan tokoh-tokoh illahi dalam agama lain atau penyataan Allah yang
lain. Semua agama pastilah mempunyai keunikannya masing-masing dan hal itu tidak perlu
dijadikan sama/seragam atau dihilangkan. Yesus Kristus unik, namun unik di sini bukanlah
dalam artian lebih daripada yang lain. Knitter menafsirkan kembali keunikan Yesus sebagai
berikut: “Dia bukan kebenaran Allah yang total, definitif, tidak tertandingi, tetapi Dia
membawa a universal, decisive, indispensable truth (suatu warta yang universal,
menentukan, sangat perlu)”.41 Sekalipun demikian, bukan berarti Knitter tidak menganggap
Yesus unik.42 Yesus tetap unik, namun keunikannya bersifat relasional. Dalam arti tidak
berdiri sendiri, melainkan dengan yang lain. Bukan keunikan individual yang
mengesampingkan dan mengabaikan yang lain. 43
41
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 160. “a universal”, Knitter tidak menggunakan “the” tetapi “a”,
karena menurutnya apabila orang Kristen tidak lagi bersikeras bahwa Yesus merupakan satu-satunya Sabda Allah yang
menyelamatkan, kita terbuka pada kemungkinan – iman Kristen kita dalam pewahyuan universal akan mengusulkan
probabilitas – bahwa ada pengejawantahan realitas illahi lain yang universal, menentukan, sangat perlu, di samping Yesus.
42
Bagi Knitter, keunikan seseorang ialah apa yang membuat orang itu khusus atau khas – yang tanpa hal itu, orang tersebut
bukan sebagaimana adanya, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 169
43
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 162
74
keabsolutan atau kedefinitifan itu “membutuhkan” yang lain dan bahwa keyakinan itu bisa
demikian kalau yang lain itu didengarkan dan diajarkan. Umat kristiani memang
sesungguhnya telah menemukan kepenuhan kasih Allah yang menyelamatkan dan kuasa di
dalam Yesus Kristus, tetapi mereka tidak bisa berpendapat bahwa kepenuhan ini hanya
terdapat di dalam Yesus Kristus.44 Dengan menghayati Yesus sebagai sakramen-
representatif, umat Kristen juga dapat menghayati bahwa di dalam Yesus mereka beroleh
pendamaian. Namun mereka pun juga tidak menutup mata bahwa pendamaian Allah berlaku
bagi semua manusia, tidak hanya bagi orang Kristen saja. Dengan merumuskan ulang misi
dan pemahaman terhadap Yesus, maka orang Kristen dapat mempunyai dasar di dalam
memberitakan Yesus, dapat menjaga imannya terhadap Yesus, serta dapat menghadirkan
perdamaian – di mana Allah menyatakannya melalui Yesus Kristus – secara relevan dan
kontekstual dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Lalu, dengan adanya
perumusan ulang seperti di atas, bagaimanakah orang Kristen memberitakan Yesus Kristus
dalam konteks keberagaman agama di Indonesia?
44
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 182-186
75
mengetahui perihal karya pendamaian Allah bagi manusia, maka karya pendamaian Allah
sulit terwujud secara nyata (terhambat). Rasul Paulus tampaknya mempunyai kesadaran
tersebut (II Kor 5: 19 “…Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami”). Oleh
karena itu, di satu sisi ia memberitakan berita pendamaian Allah kepada Jemaat di Korintus
agar mereka mengalami pendamaian dengan Allah (II Kor 5: 20). Di sisi lain, pemberitaan
tersebut dimaksudkan agar tercipta perdamaian di dalam diri jemaat Korintus itu sendiri.
Dengan kata lain, pemberitaan Paulus mengenai karya pendamaian Allah juga
mengisyaratkan adanya praksis iman dari Jemaat Korintus itu sendiri. Jika memang mereka
mengimani Kristus, yang adalah rekonsiliator dalam karya pendamaian Allah, maka sudah
selayaknya mereka mewujudnyatakan damai tersebut dalam kehidupan bersama mereka.
Lalu, bagaimana orang Kristen memberitakan karya Yesus Kristus, dalam terang misi
rekonsiliasi, dalam konteks keberagaman agama di Indonesia, agar karya pendamaian Allah
terwujud nyata?
45
Hans Kung, Sebuah Praksis Kehidupan dalam Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan
Yayasan Widya Bhakti. 2003) Hlm. 1.
76
tindakan nyata. Dengan kata lain, iman tidak hanya dihayati dalam bentuk pemikiran namun
juga dalam bentuk praksis.
Jika iman terwujud dalam pemikiran maupun praksis, maka begitu pula dengan
pemberitaan mengenai Yesus Kristus. Menurut Mortimer Arias, seperti yang dikutip oleh
Bevans, “pewartaan adalah tindakan untuk mengkomunikasikan Injil tentang Yesus dan Injil
dari Yesus“. Pewartaan tidak hanya mengenai kisah hidup Yesus, melainkan juga ajaran dari
Yesus. 46 Jika Allah telah mempercayakan berita pendamaian kepada rasul Paulus, maka
begitu pula halnya orang Kristen saat ini di mana Allah juga telah mempercayakan berita
pendamaian tersebut kepadanya untuk diberitakan. Bevans mengatakan bahwa “dalam dunia
pascamodern, perhatian khusus mesti dijuruskan kepada pewartaan tentang Yesus sebagai
satu-satunya penyelamat dunia sejati, walaupun ada kenyataan menyangkut keabsahan
agama-agama lain. Namun, pewartaan selalu tentang Yesus Kristus”. 47 Dengan demikian,
pewartaan merupakan undangan bagi orang-orang yang percaya akan Injil dari dan tentang
Yesus guna bersama-sama menjadikan Injil itu kelihatan dan kedengaran di tengah dunia.
Pewartaan juga merupakan undangan bagi umat agama lain, di mana di dalamnya
mengandung unsur meyakinkan namun dilakukan dengan kerendahan. 48 Berdasarkan hal di
atas, maka orang Kristen memang perlu memberitakan karya Yesus Kristus, yang
mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah, bukan gelar-gelar mesianis-Nya sekalipun
itu juga penting, demi terwujudnya perdamaian, dan pemberitaan tersebut terwujud dalam
praksis dalam kehidupan bersama. Praksis itu sendiri terwujud dalam suatu dialog kehidupan.
Mengapa disebut dialog? Menurut Widi, “dalam dialog terjadi sikap saling
menghargai, karena orang berkepercayaan lain tidak dijadikan objek yang „nasibnya‟
ditentukan oleh penganut agama tertentu. Dialog itu sendiri bukan sekedar alat atau strategi
misi, melainkan dialog sebagai misi. Dialog dalam misi mempunyai tugas pokok untuk
mengarahkan kerinduan bersama manusia dalam mencari kebenaran yang penuh,
kemanusiaan yang penuh, dan tanggung jawab bersama terhadap alam semesta. Dialog
sebagai misi merupakan dialog kehidupan, karena di dalamnya mengandung sikap untuk
46
Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 608
47
Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 615
48
Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 609. Bandingkan juga pendapatnya bahwa
tujuan dari pewartaan bukanlah pertambahan anggota (kuantitas), melainkan pemenuhan Kerajaan Allah di mana karya Allah
di dalamnya tidak dapat diukur secara kuantitas, hlm. 290
77
berbagai kehidupan. 49 Jika pemberitaan mengenai Yesus Kristus, dalam terang
mewujudnyatakan karya pendamaian Allah, maka seyogyanya pemberitaan tersebut juga
dilakukan secara damai, tidak menekankan superioritas diri atau agama Kristen. Oleh karena
itu, pemberitaan mengenai Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan
Allah perlu diwujudkan dalam dialog kehidupan. Pemberitaan dalam dialog kehidupan
mengartikan adanya pemberitaan secara verbal maupun tindakan, baik secara personal
maupun sebagai komunitas Kristen.50
Pertama, pemberitaan secara verbal mengenai Yesus agaknya lebih tepat jika
ditempatkan dalam dialog teologis antar iman. Hal ini dikarenakan pemberitaan secara verbal
seringkali menimbulkan masalah, kecuali dalam khotbah di Gereja. Pemberitaan secara
verbal secara biasa/sepihak – dalam konteks keberagaman agama – dapat membuat orang
beragama lain beranggapan kristenisasi. Berbeda halnya jika pemberitaan secara verbal
tersebut ditempatkan dalam suatu dialog teologis, di mana pihak lain juga diundang untuk
bisa berkomunikasi dan berbagi. Dengan adanya dialog teologis antar iman, maka berbagai
masalah teologis yang merupakan titik temu maupun titik berbeda agama-agama dapat
dibicarakan dengan terbuka atas dasar saling menghargai pandangan dan penghayatan iman
masing-masing. Dialog teologis ini juga harus diadakan secara intelektual, sehingga perasaan
curiga dan klaim-klaim yang bersifat emosional dapat dikendalikan. Dalam arti, masing-
masing pihak dapat berpikiran jernih, sehingga dapat bersedia untuk saling mendengarkan
dan berdialog. 51 Dalam dialog tersebut, orang Kristen dapat memberitakan arti dan makna
pendamaian yang Allah nyatakan melalui Kristus kepada umat agama lain. Dengan
demikian, maka karya Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah
dapat diberitakan kepada umat agama lain secara damai, tanpa menimbulkan suatu
kecurigaan ataupun masalah dengan pihak lain, sehingga dapat turut mewujudkan
perdamaian. Di samping itu, umat Kristen pun juga dapat belajar mengenai karya
pendamaian Allah bagi manusia dan dunia menurut penghayatan iman umat agama lain, agar
imannya sendiri akan pendamaian dapat semakin diperkaya.
49
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 123
50
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 289
51
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 294-296
78
Kedua, pemberitaan melalui tindakan, baik secara personal maupun sebagai
komunitas Kristen, juga diperlukan di samping pemberitaan secara verbal. Memberitakan
karya Yesus yang mendamaikan melalui tindakan berarti setiap tindakan orang Kristen juga
seyogyanya mencerminkan perdamaian itu sendiri. Sederhananya, jika seseorang mengimani
bahwa Kristus mendamaikan manusia dengan Allah, maka seyogyanya ia mewujudkan
perdamaian dalam kehidupannya sehari-hari. Damai diwujudkan bukan hanya dalam
komunitas sesama Kristen saja, melainkan juga dalam komunitas umum dengan masyarakat
yang berlainan agama. Memberitakan karya Yesus Kristus melalui tindakan juga berarti
menerapkan pola hidup sama seperti Dia yang telah memulihkan martabat manusia dan relasi
manusia dengan Allah. Jika di dalam karya pendamaian Kristus telah berkarya untuk
membenarkan manusia, maka seyogyanya orang Kristen tidak menganggap dirinya paling
benar dibanding yang lain. Apalagi jika sampai menghakimi dan menyalahkan sesuatu yang
dipegang sebagai kebenaran atau diimani dalam agama lain. Jika karya Kristus mengartikan
penebusan bagi seluruh manusia, maka seyogyanya orang Kristen pun juga memperlakukan
sesamanya, termasuk yang beda agama, sebagaimana orang yang ditebus (merdeka). Dalam
arti, tidak melarang, membatasi, atau bahkan mengintimidasi kebebasan orang lain dalam
beragama, baik memeluk maupun melaksanakan ibadahnya. Ketika orang Kristen
menerapkan cinta kasih, keadilan, dan perdamaian dalam hidup bersama dengan umat lain,
maka di saat itulah karya pendamaian Allah sedang dalam proses diberitakan dan nyata
dalam konteks keberagaman agama. 52
Dengan demikian, tampak bahwa teks Alkitab II Kor 5: 18-21 relevan dan bahkan
dapat dijadikan dasar/acuan dalam pemberitaan Injil, khususnya dalam memberitakan Yesus
Kristus, dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Pemberitaan mengenai Yesus
Kristus memang seyogyanya didahului dengan perumusan ulang misi dan pemahaman akan
Yesus. Hal ini dikarenakan konteks yang berbeda mempengaruhi pola pemberitaan Yesus
Kristus secara relevan dan kontekstual. Perumusan ulang misi berikut paham-paham
mengenai diri Yesus, yang disesuaikan dengan konteks keberagaman agama, akan mampu
membawa umat Kristen terbuka terhadap agama lain, dengan tetap menyatakan kesetiaan
52
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 289
79
imannya terhadap Yesus Kristus sebagai satu-satunya penyataan Allah yang diyakininya, di
dalam sebuah pewartaan. Yesus Kristus yang diberitakan pun pada akhirnya dapat “hadir”
dan diterima, sehingga dapat meminimalisasikan kemungkinan konflik antar agama dan turut
memberikan pengaruh yang positif dalam perwujudan karya pendamaian Allah bagi manusia
dan dunia.
80