Anda di halaman 1dari 22

BAB IV

RELEVANSI II KORINTUS 5: 18-21 BAGI PEMBERITAAN MENGENAI YESUS


KRISTUS DALAM KONTEKS KEBERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA

Pada bagian-bagian sebelumnya, Penulis telah membahas bagaimana Rasul Paulus


memberitakan Kristus dalam konteks Jemaat di Korintus menurut surat II Kor 5: 18-21.
Pemberitaan mengenai Kristus oleh Paulus ternyata tidak lepas dari penghayatan Rasul Paulus
sendiri terhadap Kristus. Kristus yang dihayatinya sebagai sarana di mana Allah menyatakan
karya perdamaian, pembenaran, dan penebusan bagi manusia itulah Kristus yang diberitakan
oleh Rasul Paulus dalam pelayanannya kepada Jemaat di Korintus. Bahasa pendamaian,
pembenaran, dan penebusan memang tidak sepenuhnya lahir karena konflik sosial yang ada
dalam Jemaat, karena ada pengaruh juga dari refleksi Paulus sendiri terhadap
pengalamannya/peristiwa Damsyik. Namun, jika Rasul Paulus memakai tiga istilah tersebut
untuk menjelaskan karya pemulihan Allah dalam konteks Jemaat Korintus yang pada waktu itu
penuh dengan konflik, maka bisa dikatakan bahwa tiga istilah tersebut dimaksudkan oleh Paulus
sebagai respon atas konflik yang ada. Dengan kata lain, Rasul Paulus berbicara banyak tentang
Allah yang melalui Kristus mendamaikan manusia dengan diri-Nya, membenarkan, dan menebus
manusia, demi terciptanya relasi yang damai dan harmonis antara Paulus dengan Jemaat, antara
Jemaat itu sendiri, dan Jemaat dalam ibadahnya/hubungannya dengan Allah. Memang tidak
tersurat apakah dengan demikian lalu ada damai di antara Paulus dan Jemaat itu sendiri. Namun,
jika mengingat bahwa teks II Kor. 5:18-21 ini diteruskan sebagai pengajaran dan disimpan oleh
Jemaat pada waktu itu, maka setidaknya “damai” tersebut tetap menjadi tujuan dan cita-cita
luhur yang dituju selaku hidup bersama dengan Jemaat yang lainnya. Dengan kata lain,
pemberitaan Injil oleh Rasul Paulus – khususnya mengenai Kristus – relevan bagi kehidupan
Jemaat di Korintus pada waktu itu dan selama beberapa masa berikutnya. Lalu, apakah makna
dan pemberitaan Kristus yang mendamaikan, membenarkan, dan menebus manusia tersebut
masih relevan dengan konteks di Indonesia sekarang – khususnya dalam konteks keberagaman
agama? Bagaimanakah memberitakan Kristus yang kontekstual dalam konteks keberagaman
agama?

59
I. Gambaran Umum Pluralisme Agama di Indonesia

Pluralitas keagamaan adalah sebuah realita dalam kehidupan masyarakat Indonesia


dengan berbagai dimensinya. Secara umum, hal ini tampak pada adanya keberagaman agama di
Indonesia, bahkan termasuk keberagaman paham atau ajaran secara intern dalam umat beragama
itu sendiri. Kemajemukan memang sebuah realita kehidupan, namun seringkali pula realita
tersebut membawa suatu masalah tersendiri dalam kehidupan, baik dalam kehidupan
bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama. Indonesia mungkin sebuah negara yang
unik, karena di dalamnya berkembang berbagai agama besar di dunia. Agama Hindu sebagai
agama yang pertama kali datang ke Indonesia datang dengan memperkenalkan kehidupan
pemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas lokal (kesukuan). Agama
Budha, sebagai agama berikutnya yang datang, membawa pola yang hampir sama dengan agama
Hindu. Selain itu, agama Budha juga meninggalkan berbagai warisan monumental diantaranya
adalah Candi Borobudur yang menjadi salah satu keajaiban dunia. Agama Islam yang datang dan
berkembang dengan pola dari bawah. Dalam artian, agama Islam berangkat dari tradisi
kemasyarakatan yang ada sehingga penyebaran agama Islam dapat dengan mudah diterima oleh
masyarakat. Hal inilah yang membuat agama Islam di kemudian hari mengalami perkembangan
yang pesat yang pada akhirnya menjadi agama mayoritas di Indonesia. Agama terakhir yang
berkembang di Indonesia adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama
Kristen yang dibawa oleh para zending yang umumnya berasal dari Eropa, datang bersamaan
dengan datangnya para kolonial. Hal inilah yang membuat adanya paradigma dalam masyarakat
pada umumnya bahwa agama Kristen adalah “agama kaum penjajah”. Selain lima agama
tersebut, sebenarnya masyarakat Indonesia pada umumnya juga mempunyai agamanya sendiri
(agama suku atau agama tradisional) 1. Seperti di Sumba ada kepercayaan Marapu, di Batak ada
kepercayaan Parmalim, di Jawa ada Kejawen, dan lain sebagainya.

Secara empiris memang tidak dapat disangkal, bahwa masyarakat Indonesia, apalagi
masyarakat dunia, sangat plural. Pluralitas yang dialami sebagai kenyataan seringkali
mengakibatkan gesekan-gesekan (konflik) dalam hal bermasyarakat dan hidup bersama, yang
kadang kala berujung pada pertumpahan darah. Dalam sejarah umat manusia, ternyata agama
dapat menjadi salah satu sumber atau pemicu permusuhan/pertikaian (konflik). Mengapa agama

1
Pada umumnya, agama tradisional atau agama suku lebih dikenal dengan istilah “kepercayaan”.

60
yang mencita-citakan kebaikan bagi umat manusia malah bisa menjadi pemicu atau bahkan
sumber konflik?

Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, ternyata ada kalanya konflik yang terjadi
mengatasnamakan agama sebagai penyebab utamanya. Padahal, jika ditelusuri secara objektif
maka bukanlah agama penyebab konflik tersebut. Misalnya saja GAM (Gerakan Aceh Merdeka),
di mana paradigma masyarakat umum konflik yang terjadi adalah karena rakyat Aceh
memperjuangkan syariat Islam dan Negara Islam. Jika menelusuri sejarah konflik GAM terjadi,
maka sumber konflik bukanlah masalah agama. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik
tersebut ternyata lahir karena adanya diskriminasi sosial, pelanggaran HAM, pemerkosaan
hukum Islam, dan lain-lain. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh umat
agama lain. Konflik yang terjadi bukan karena sentimen terhadap agama lain, walaupun mereka
sendiri mencita-citakan Negara Islam. Konflik juga bukan karena pertentangan etnis, tetapi
masih berada dalam tingkat konflik vertikal berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat. 2
Contoh lain adalah konflik Ambon/Maluku, di mana konflik yang terjadi juga mengatasnamakan
agama sebagai penyebab konflik. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik saling
membunuh secara biadab yang terjadi di Ambon dan Maluku sama sekali bukan konflik agama,
melainkan karena adanya rasa „super‟ dibanding yang lain – di mana rasa ini muncul karena
adanya pengaruh kolonialisme di masa lalu. Diskriminasi yang terjadi akhirnya membawa agama
ke ranah konflik. 3 Dewasa ini, selain menjadi “kambing hitam” atas konflik yang terjadi, agama
juga bisa menjadi penyebab konflik itu sendiri. Hal ini seringkali dikarenakan adanya perbedaan
pandangan teologis, rasa curiga satu terhadap yang lain, penafsiran ajaran secara eksklusif, dan
lain-lain. Misalnya saja kasus penutupan Gereja oleh umat agama lain di beberapa tempat,
karena adanya praktik-praktik yang dicurigai sebagai kristenisasi. Pembangunan tempat ibadah
yang dipermasalahkan, karena dikhawatirkan mengganggu dan membawa pengaruh negatif bagi
masyarakat di luar agama tersebut. Diakonia-diakonia gereja kepada masyarakat umum yang
seringkali dipermasalahkan, karena diisukan sebagai praktik kristenisasi. Konflik antar agama
juga bisa diakibatkan oleh perbedaan ideologi dalam agama-agama itu sendiri. Hal ini terjadi

2
Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan
Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei. 2001). Hlm. 27-28
3
Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman. Hlm. 28-34

61
tatkala masing-masing agama mengklaim bahwa dirinyalah atau ajarannya yang paling benar. 4
Dengan demikian, tampak bahwa fakta keberagaman agama di Indonesia ternyata rentan
terhadap adanya konflik. Baik konflik karena adanya manipulasi atau provokasi dari pihak-pihak
tetentu, maupun konflik yang terjadi karena perbedaan ideologi agama satu dengan yang lainya.
Ibarat mata uang koin yang punya dua sisi, begitupun juga dengan keberagaman agama. Di satu
sisi memang dapat membawa konflik dalam kehidupan bersama. Namun, di sisi lain
keberagaman agama di Indonesia merupakan suatu fakta yang berpotensial demi pembangunan
iman masing-masing agama/kepercayaan. Hal itu tercapai bilamana masing-masing agama mau
menerima dan membuka diri terhadap fakta keberagaman tersebut, sehingga muncul kesadaran
untuk saling belajar dari satu sama lain demi pembangunan iman yang diyakininya sendiri
berikutnya praksisnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran bahwa secara empiris kekristenan tidak berdiri sendiri, melainkan berada di
tengah-tengah keberagaman agama membuat beberapa kalangan termasuk para teolog membuka
diri dan berupaya merumuskan kembali iman Kristen yang selama ini dipegangnya. Iman
terhadap Yesus Kristus kini mulai ditelaah kembali demi menghadirkan Yesus Kristus dalam
dunia yang penuh dengan konteks, khususnya keberagaman agama. Hal ini dikarenakan
pemahaman dan iman akan diri Yesus ternyata seringkali membuat adanya masalah antara umat
Kristen dengan umat agama lain. Oleh karena itu, agaknya umat Kristen perlu merumuskan
ulang misi dan paham mengenai Yesus agar pemberitaan mengenai Yesus Kristus tidak
menambah daftar konflik antar agama, namun turut memberikan pengaruh yang positif dalam
perdamaian antar umat beragama. Dalam misinya untuk memberitakan Injil, khususnya
memberitakan Yesus Kristus, rasul Paulus tentunya mempunyai pola-pola pemberitaannya
sendiri. Apakah pola rasul Paulus dalam memberitakan Yesus Kristus tersebut, seperti dalam
teks II Korintus 5:18-21, relevan bagi pemberitaan Yesus Kristus dalam konteks keberagaman
agama di Indonesia?

4
Bandingkan dengan Widi Artanto yang berpendapat bahwa agama menjadi sebuah bencana dalam kehidupan plurali tatkala
agama tersebut memutlakkan klaim kebenarannya, paling benar dan satu-satunya. Lihat Widi Artanto, Tantangan Kehidupan
Masyarakat Plural, dalam Wahju Satrio W. (ed.) Konsep Mesianis dalam Kitab Yesaya dan Relevansinya dalam Kehidupan
Masyarakat Plural (Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 2005). Hlm. 123-124

62
II. II Korintus 5: 18-21 sebagai Dasar Memberitakan Yesus Kristus

Berdasarkan pemaparan gambaran umum keberagaman agama di Indonesia seperti di


atas, tampak bahwa agama dapat menjadi salah satu sumber atau pemicu permusuhan atau
pertikaian (konflik). Padahal, tidak ada agama yang menghendaki yang namanya konflik. Setiap
agama menghendaki “yang baik” bagi penganutnya dalam keterikatannya dengan yang
transendental (illahi). Ada agama-agama yang berhenti sampai di situ, namun ada pula agama-
agama yang melihat kebaikan itu sebagai nilai yang tidak boleh dimilki sendiri tetapi harus
diteruskan kepada orang lain. Hal inilah yang menjadi dasar sikap dan keyakinan agama-agama
missioner, yakni memberitakan kebenaran yang dianutnya. Persoalan yang seringkali menjadi isu
dalam masyarakat adalah masalah pemberitaan agama yang dianggap menganggu kerukunan
hidup umat beragama. Dilihat dari segi keyakinan agama masing-masing, pemberitaan agama
merupakan suatu hal atau tugas yang mulia karena bertujuan ingin menyelamatkan orang lain
dari kesesatan. Akan tetapi, bagi pihak lain pemberitaan agama tersebut dianggap sebagai suatu
sikap yang ingin menyesatkan mereka. Dari perspektif tersebut, sebenarnya kedua belah pihak
termotivasi oleh niat luhur mengajak orang lain ke-keselamatan di satu pihak dan menjaga orang
lain dari kesesatan. Namun, pada kenyataannya niat luhur tersebut diperhadapkan pada
pertanyaan: adakah keselamatan dalam agama lain? Terkait dengan hal ini, Schillebeeckx
sebagaimana yang dikutip oleh Knitter mengatakan bahwa “keyakinan teguh yang terus
dipegang seseorang sebagai kebenaran di mana yang lainnya salah tidak dimungkinkan lagi
sekarang. Dalam konteks ini (keberagaman agama), kalau ada yang mengatakan bahwa cara
seseorang merupakan satu-satunya kemungkinan yang ada untuk memahami kebenaran agama
(keselamatan), berarti ia hidup dalam „zaman yang sesat‟”.5 Berdasarkan hal tersebut, maka umat
Kristen sebenarnya dituntut untuk bisa terbuka terhadap agama-agama lain, namun dengan tidak
mengesampingkan kesetiaan iman terhadap Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat bagi
mereka. Ketika mengarahkan diri pada keterbukaan, maka orang Kristen dituntut untuk
merumuskan kembali misi maupun pemahaman mengenai Yesus Kristus (kristologi) yang
melekat pada dirinya. 6 Hal ini merupakan sebuah upaya untuk menghadirkan Yesus Kristus,

5
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius. 2008). Hlm. 7-8
6
Bandingkan dengan pendapatnya Widi Artanto yang mengatakan bahwa Alkitab tidak berisi panggilan kepada orang-orang
Kristen untuk membuat klain-klaim bagi diri mereka sendiri, melainkan membuat suatu komitmen yang membuka hidup
mereka bagi orang lain. Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner; dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen. 2008). Hlm. 193

63
yang merupakan pengejawantahan Kerajaan Allah, di dalam konteks keberagaman agama di
Indonesia. Dengan demikian, jika karya kematian Kristus membawa pendamaian antara manusia
dan dunia dengan Allah, maka seyogyanya pemberitaan mengenai Kristus-pun juga mampu
membawa dan menghadirkan perdamaian di antara agama-agama.

Rasul Paulus merupakan seorang misionaris Kristen pertama. 7 Sebagai seorang


misionaris, maka tampaknya rasul Paulus memang mempunyai suatu pola tersendiri di dalam
memberitakan Yesus Kristus. Hal ini – salah satunya – tampak/terbukti dari teks II Kor 5: 18-21,
di mana rasul Paulus dapat memberitakan Yesus Kristus secara relevan dan kontekstual dalam
konteks jemaat di Korintus. Bertolak dari pola rasul Paulus dalam memberitakan Yesus Kristus,
maka bagaimanakah sebaiknya orang Kristen memberitakan Yesus Kristus dalam konteks
keberagaman agama di Indonesia?

a. Merumuskan ulang Misi

Dalam proses memberitakan Yesus Kristus, rasul Paulus tampaknya memang


mengalami suatu pergumulan. Seringkali peristiwa Damsyik disebut sebagai peristiwa
“pertobatan” rasul Paulus. Padahal menurut Bosch, peristiwa tersebut tidak menggambarkan
“pertobatan” rasul Paulus, melainkan suatu peristiwa yang membuat Saulus – yang kemudian
menjadi Paulus – menggumuli akan panggilannya untuk memberitakan Injil atau Yesus
Kristus. Dengan kata lain, peristiwa tersebut bukanlah peristiwa “pertobatan”, melainkan
peristiwa “pemanggilan”. 8 Melalui refleksi atas peristiwa Damsyik tersebut, rasul Paulus
ternyata mengalami suatu transformasi. Terkait dengan hal ini, Bosch mengatakan bahwa
“rasul Paulus mengalami suatu revisi yang dasariah terhadap persepsinya tentang Yesus dari
Nazaret dan tentang nilai hukum Torah yang menyelamatkan”. 9 Jika dikatakan bahwa
peristiwa Damsyik merupakan peristiwa “pemanggilan”nya, maka bisa dikatakan pula dalam
refleksinya terhadap peristiwa tersebut rasul Paulus menghayati dan menggumuli kembali
imannya, sehingga merumuskan ulang “misi”nya dan memberitakan Injil. Perubahan konsep
misi Paulus tersebut tampak dalam ucapannya di I Kor 1: 17, di mana dia mengatakan bahwa

7
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1997). Hlm. 194
8
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 195-197
9
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 197

64
keterpanggilannya bukan untuk membaptis melainkan untuk memberitakan Injil. Selain itu,
tampaknya rasul Paulus juga memahami bahwa berita Injil bukanlah hanya untuk orang
Yahudi, melainkan juga untuk orang non-Yahudi. Dengan kata lain, misi yang dipahami oleh
Paulus kini bukanlah misi untuk membaptis atau mengkristenkan orang Yahudi, melainkan
misi Injil yang mendunia.10 Oleh karena itu, rasul Paulus bisa sampai pada pemahaman
bahwa pendamaian Allah berlaku bagi seluruh manusia dan dunia (II Kor 5:18-19). Dalam
terang demikian, maksud misi Paulus adalah memimpin orang pada keselamatan di dalam
Kristus. Keselamatan tersebut didapatkan di dalam perjumpaan dengan Allah yang di dalam
Yesus Kristus menyatakan karya-Nya.11 Dengan kata lain, karya keselamatan Allah – yang
dipahami oleh rasul Paulus sebagai karya pendamaian Allah bagi manusia dan dunia – dapat
terwujud secara nyata tatkala Yesus Kristus diberitakan tidak hanya bagi orang Yahudi,
namun juga bagi orang non-Yahudi.

Jika rasul Paulus merumuskan ulang misinya agar karya pendamaian Allah nyata bagi
manusia dan dunia lewat pemberitaan mengenai karya Yesus Kristus, maka apakah orang
Kristen juga perlu merumuskan kembali misinya agar karya pendamaian Allah nyata dalam
konteks keberagaman agama di Indonesia yang rentan terhadap konflik? Jika memang benar
demikian, maka rumusan misi seperti apakah yang sekiranya relevan?

Misi selalu identik dengan pengutusan dan pemberitaan. Namun, bila melihat sejarah
dari misi itu sendiri maka misi tampak lebih kepada “ekpansi agama”. Konsep mengenai misi
pada masa itu adalah (a) penyebaran iman, (b) perluasan pemerintahan Allah, (c) pertobatan
orang-orang kafir, dan (d) pendirian jemaat-jemaat baru.12 Pada masa lalu, dalam usaha
misinya para misionaris Barat menekankan pentingnya pertobatan individu dan
mengesampingkan dimensi sosial yang ada, termasuk nilai-nilai positif dalam agama lain.
Hal inilah yang menyebabkan misi Kristen menempatkan orang-orang beragama lain sebagai
orang-orang kafir, yang tidak memliki kebenaran ilahi. 13 Sementara itu, Widi Artanto
mengatakan bahwa “misi Kristen yang tidak menyentuh realitas sosial yang nyata adalah

10
Bandingkan dengan pendapat Bosch, bahwa visi misioner Paulus bersifat universal (mendunia). Dalam hal ini, Paulus
mempunyai pemahaman misi “oikumenis”. Dalam arti, seluruh dunia yang didiami harus dijangkau dengan Injil. Lihat David
J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm.203-204
11
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 211
12
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm. 1
13
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 121. Lihat pula pada hlm. 98-100, di mana Widi menyebutnya dengan “misi
penaklukan”.

65
misi yang tidak relevan”. 14 Senada dengan hal tersebut, Stan Nusbaum berpendapat bahwa
misi dalam konteks keberagaman agama seharusnya bersifat universal, dalam arti mampu
menjangkau masyarakat dengan latar belakang yang berbeda – termasuk latar belakang
agama. 15 Dengan demikian, maka tampak bahwa orang Kristen perlu merumuskan kembali
konsepnya mengenai misi di dalam konteks keberagaman agama.

Hal yang seringkali disalahpahami mengenai misi adalah mempertobatkan atau


mengkristenkan orang lain. Padahal, tujuan utama misi sebenarnya adalah menghadirkan
Kerajaan Allah (kingship), bukan menjadikan seluruh dunia menjadi beragama Kristen.
Rasul Paulus sendiri beranggapan bahwa keterpanggilannya adalah untuk memberitakan
Injil, bukan untuk membaptis (I Kor 1: 17). Masalah apakah orang nantinya memutuskan
untuk menjadi Kristen atau tidak adalah kepentingan nomor sekian. Yang terutama adalah
menghadirkan Kerajaan Allah melalui pewartaan. Menurut Kurt Piskaty, “misi Kristen
berarti melanjutkan misi Kristus menjadikan Kerajaan Allah (kingship) sebagai suatu realitas
yang hidup di dalam dunia ini. Kerajaan Allah merupakan warta utama dalam pengajaran
Yesus: sebuah Kerajaan yang mewujudkan rencana Allah di tengah-tengah umat manusia,
yang memenuhi harapan-harapan dan kerinduan-kerinduan hati manusia, yang menantang
tingkah laku manusia dan memanggil kepada pertobatan, yang sudah hadir namun belum
selesai, yang bertumbuh seperti biji sesawi dan bertujuan untuk menjadi ragi masyarakat
manusia. Kerajaan Allah diperkenalkan melalui tindakan-tindakan dan perkataan-perkataan
Kristus dan diwariskan melalui Alkitab”. 16 Dengan kata lain, misi menghadirkan Kerajaan
Allah terlaksana tatkala orang Kristen memberitakan Yesus Kristus, karena Kerajaan Allah
itu sendiri tercermin baik dalam ajaran/perkataan maupun kehidupan Yesus. Yesus Kristus
adalah pengejawantahan Kerajaan Allah di dunia. 17 Oleh karena itu, orang Kristen memang

14
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 125
15
Stan Nusbaum, A Reader`s Guide to Transforming Mision (New York: Orbis Books, Maryknoll. 2005). Hlm 27-29
16
Kurt Piskaty, Motif-motif Karya Misioner Kristen dalam Misi, Evangelisasi, Penghayatan Iman oleh Georg Kirchberger
(ed.) (Maumere: Ledalero. 2004). Hlm. 17. Bandingkan juga dengan pendapatnya Bosch, yang mengatakan bahwa Misi
Kristen pada hakikatnya juga adalah cerminan hubungan yang dinamis antara Allah dengan dunia (David J. Bosch,
Transformasi Misi Kristen, hlm. 13).
17
Bevans sendiri berpendapat bahwa Yesus adalah autobasileia. Yesus adalah gambaran yang paling jelas tentang Allah dan
misi-Nya yang pernah dilihat dunia. Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia; Dasar, Pola,
dan Konteks Misi (Maumere: Ledalero. 2006). Hlm. 581

66
sudah seharusnya memberitakan Yesus Kristus demi terwujudnya Kerajaan Allah (kingship)
di dunia yang beragam konteksnya.18

Salah satu aspek dalam hadirnya Kerajaan Allah adalah damai sejahtera. Damai
tersebut sudah dinyatakan oleh Allah melalui kedatangan Yesus Kristus (band Luk 2: 14).
Berdasarkan hal tersebut, maka misi memberitakan Yesus Kristus, yang merupakan
pengejawantahan Kerajaan Allah, bisa dikatakan pula dengan misi rekonsiliasi. 19 Menurut
Widi Artanto, misi rekonsiliasi merupakan misi yang memperjuangkan relasi baru antara
manusia untuk membangun kembali relasi lama yang dirobek-robek oleh kecurigaan, apriori,
keterasingan, permusuhan, dan peperangan yang disebabkan oleh perbedaan agama dan
budaya. 20 Dengan demikian, maka bisa dikatakan pula pemberitaan mengenai Yesus Kristus
dalam terang misi rekonsiliasi terutama terfokus pada karya Yesus Kristus yang
mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah.

Bertolak dari situasi Jemaat Korintus yang sedang berkonflik, yang sifatnya
komunalistik, maka misi perdamaian yang diangkat/dirumuskan oleh Paulus agaknya tepat
untuk merespon situasi tersebut.21 Situasi konflik di mana masing-masing berseteru satu
sama lain mengindikasikan adanya relasi yang rusak. Dengan mengatakan bahwa Allah
mendamaikan dunia dan manusia dengan diri-Nya melalui Kristus, maka secara tidak
langsung pula Paulus juga ingin mengatakan kepada Jemaat Korintus bahwa mereka – yang
secara pribadi dengan Allah telah didamaikan – supaya berdamai juga dengan sesamanya.
Dalam hal ini, situasi keberagaman agama di Indonesia kurang lebih sama dengan situasi di
Jemaat Korintus pada waktu itu. Keberagaman agama di Indonesia yang rentan konflik,
agaknya membuat misi rekonsiliasi cukup relevan. Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi
umumnya bukanlah konflik yang bersifat religius atau ideologis, melainkan bersifat
komunalistik. 22 Konflik komunalistik dalam artian bahwa orang semakin tidak mampu

18
Bandingkan dengan pendapatnya Bevans, bahwa sasaran utama teologi misi adalah mewartakan nama Yesus. Lihat Stephen B.
Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 565
19
Bandingkan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 175-176
20
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 176
21
Bandingkan dengan pendapat Bosch bahwa pemahaman rasul Paulus tentang misi bukanlah suatu bangunan abstrak yang
bergantung pada sebuah prinsip universal, melainkan suatu analisis tentang realitas yang didorong oleh suatu pengalaman
mula-mula yang memberikan Paulus sebuah pandangan dunia yang baru. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm.
194
22
Terkait dengan hal ini, Th. Sumartana berpendapat bahwa konflik antar-agama acapkali dipicu oleh perbedaan doktrinal yang
dipeliharan sebagai keyakinan dan kebenaran yang absolut. Th. Sumartana, Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Refleksi tentang

67
menghayati dirinya sebagai “saudara sebangsa” atau “sama-sama manusia”. Realita yang
terjadi adalah pada akhirnya orang terbawa pada penghayatan diri “saya/kami” berhadapan
dengan “kamu/mereka”. Pada akhirnya, perbedaan agama-lah yang dijadikan kambing hitam
atas konflik yang terjadi. Padahal, walaupun ada perbedaan ideologi namun jika masing-
masing pihak merasa bahwa mereka semua adalah satu dan tidak membenarkan diri dalam
kelompoknya masing-masing, maka niscaya konflik tidak akan terjadi. Konflik
mengakibatkan tiap-tiap pihak yang terkait saling berseteru satu sama lain dengan membela
kebenaran yang diyakininya. Relasi yang rusak akibat konflik yang terjadi membutuhkan
adanya pemulihan demi kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam konteks seperti inilah
Widi mengatakan bahwa teks II Kor 5: 18-19 seyogyanya tidak hanya dipahami dalam
pengertian rohani. Maksudnya, misi rekonsiliasi Allah di dalam Kristus seyogyanya tidak
hanya dimengerti sebagai pendamaian dosa demi keselamatan jiwa manusia, melainkan juga
sebagai pemulihan kemanusiaan manusia. Ketika kemanusiaan manusia terpulihkan, maka
tidak hanya hubunganya dengan Allah pulih melainkan juga hubunganya dengan sesama dan
alam. 23 Dengan demikian, rumusan misi yang cukup relevan dalam konteks keberagaman
agama di Indonesia adalah misi rekonsiliasi dan teks II Kor 5: 18-21 dapat menjadi dasar
misi rekonsiliasi.

b. Merumuskan/menginterpretasikan Ulang Kristologi

Refleksi Paulus atas peristiwa Damsyik rupanya juga membuatnya mengimani bahwa
Yesus adalah Mesias/Kristus. Dalam hal ini, tampak bahwa sebenarnya Paulus mengalami
transformasi iman. Ia yang dulunya seorang Yahudi yang masih dalam menantikan Mesias
dan tidak mengimani Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, kini telah mengimani bahwa
Yesus dari Nazaret itulah Mesias yang dijanjikan. Berdasarkan teks II Kor 5: 18-21 – Paulus
rupanya memberitakan ke- Mesias-an Yesus Kristus tidak sebagai gelar, melainkan karya-
Nya sebagai Mesias yang memperdamaikan manusia dan dunia dengan Allah

Hubungan antar-agama di Indonesia; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di
Indonesia. Hlm. 79. Lihat pula Frans Magnis-Suseno, Pluralisme Agama, Dialog, dan Konflik di Indonesia; dalam Th.
Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Hlm. 71
23
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 181. Lihat juga hlm. 288

68
(rekonsiliator).24 Hal itu agaknya juga dikarenakan Paulus merumuskan ulang pemahaman
mengenai diri Yesus sebagai Mesias/Kristus menjadi Yesus sebagai rekonsiliator agar
relevan dalam konteks jemaat Korintus yang sedang berkonflik. Rumusan kristologi bahwa
Yesus adalah Mesias yang membawa keselamatan dan pembebasan kini telah dirumuskan
ulang oleh rasul Paulus. Yesus kini lebih cenderung diberitakan oleh Paulus sebagai Mesias
yang membawa pendamaian Allah bagi manusia dan dunia, di mana karya kematian-Nya
juga membawa penghapusan pelanggaran (pembenaran) dan penebusan. Perumusan ulang
tersebut bukan karena Paulus tidak lagi mengimani Yesus sebagai Mesias/Kristus, melainkan
baginya lebih penting memberitakan karya Yesus sebagai Mesias daripada gelar mesianis-
Nya. Selain itu, bahasa perdamaian dirasa oleh Paulus cukup kontekstual dan relevan dalam
konteks jemaat Korintus yang sedang berkonflik. Perumusan ulang tersebut ternyata juga
membuat Paulus memahami bahwa Karya Yesus yang mendamaikan manusia dengan Allah
berlaku tidak hanya bagi orang Yahudi saja, melainkan bagi seluruh manusia dan dunia.
Dengan adanya perumusan ulang tersebut, Yesus Kristus kini dapat diberitakan secara
relevan oleh Paulus di dalam mengemban misi rekonsiliasi dari Allah.

Seperti halnya Paulus, maka orang Kristen pun juga harus merumuskan ulang
pemahaman terhadap Yesus (kristologi). Mengapa? Hal ini karena penghayatan iman dan
pemahaman akan Yesus mempengaruhi pola dan seperti apa Yesus diberitakan di dalam
konteksnya. Ketika Yesus diimani dan diimani sebagai satu-satunya Juruselamat, di mana
agama lain dianggap kafir, maka pemberitaan tersebut hanya akan menambah daftar konflik
antar agama di Indonesia. Bagi orang Kristen, Yesus memang satu-satunya Juruselamat.
Namun, hal tersebut seyogyanya tidak membuat orang Kristen menutup mata terhadap
adanya kebenaran lain yang diyakini oleh umat agama lain. 25 Perumusan tersebut juga
seyogyanya diupayakan agar kontekstual, sehingga pada nantinya Yesus Kristus tidak hanya
“dinikmati” oleh umat Kristen saja, namun juga umat lain. Dalam arti, kebenaran maupun
iman akan Yesus Kristus juga dapat diterima dalam konteks keberagaman agama dan juga
menjadi salah satu hal yang dapat dijadikan pembelajaran bersama – terkait dengan adanya
unsur saling belajar satu sama lain dalam pluralisme agama.

24
Dalam memberitakan Yesus Kristus, yang terpenting (fokus pemberitaan) bagi rasul Paulus adalah pemberitaan mengenai
karya-Nya dan bukan gelar – sekalipun gelar-gelar yang dikenakan pada diri Yesus juga penting bagi dirinya. Lihat ulasannya
dalam Bab II.
25
Bandingkan dengan Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 121-122

69
Menghadapi fakta adanya keberagaman agama yang menuntut adanya keterbukaan,
beberapa teolog mencoba merumuskan kristologi – secara kontekstual. Seperti John Hick,
sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, ia merumuskan teologi Copernican. Seperti
halnya matahari yang menjadi pusat seluruh tata surya, demikian juga Allah merupakan pusat
dari semua agama yang ada. 26 Demikian halnya Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana yang
dikutip juga oleh Harold Coward, yang berpendapat demikian:

Jikalau wahyu Kristen tidak benar, maka ada kemungkinan untuk


membayangkan bahwa Allah membiarkan orang Hindu memuja Dia atau
orang Muslim mematuhi Dia atau orang Budha merasa berbelaskasihan
kepada sesamanya, tanpa tanggapan-Nya, tanpa uluran tangan-Nya untuk
merangkul mereka. Namun, karena Allah adalah sebagaimana ada-Nya,
karena Dia adalah Allah sebagaimana diwahyukan Kristus, maka orang lain
memang hidup di hadirat-Nya. Juga, oleh karena itu kita (sebagai orang
Kristen) mengetahui hal ini demikian.27

Di sisi lain, ia juga berpendapat bahwa “kelirulah bila kita mengidentifikasikan


„agama‟ kita sendiri, atau tradisi itu, dengan Allah atau kebenaran mutlak, lebih sebagai yang
illahi daripada sebagai jalan kepada atau dari yang illahi”. 28 Tokoh lain yang juga
mendasarkan pandangannya secara teosentris adalah Stanley Samartha. Sebagaimana yang
dikutip oleh Harold Coward, Samartha berpendapat bahwa “kewajiban orang Kristen dewasa
ini bukanlah pada agama Kristen, juga bukan kepada bentuk-bentuk budaya agama Kristen
yang telah kita warisi, melainkan kepada Allah, yang pada saat Dia mewahyukan diri-Nya
dalam Yesus Kristus, membebaskan kita dari belenggu partikular kita agar kita memiliki
hubungan baru dengan tetangga-tetangga kita dalam komunitas yang lebih besar”. 29 Lain
halnya pula dengan Pannikar, seperti yang dikutip oleh Coward, yang membuat suatu
terobosan dengan kristologi yang lebih terbuka, bahwa semua agama memiliki kebenaran dan
penyingkapan kebenaran tersebut dapat memberikan pencerahan timbal balik bagi semua
yang terlibat.30 Lebih lanjut lagi, Pannikar mengungkapkan – sebagaimana yang dikutip oleh
Harold Coward – bahwa Kristus tidak melulu Yesus. Kristus juga “ada” dalam agama-agama

26
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 58-59; lihat juga John Hick, Ketidakmutlakan Agama Kristen, dalam John Hick dan Paul F.
Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen, hlm. 36-37
27
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 63
28
Wilfred Cantwell Smith, Pemberhalaan; Dalam Perspektif Perbandingan, dalam John Hick dan Paul F. Knitter (ed), Mitos
Keunikan Agama Kristen, hlm. 95
29
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 77
30
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 78

70
lain. 31 Bisa dikatakan pula, Allah juga menyatakan diri-Nya melalui “Kristus” – dalam
bentuk yang berbeda – dalam agama-agama lain. 32

Tampaknya tuntutan untuk lebih terbuka terhadap keberagaman agama telah


membuat para teolog di atas mendasarkan pemikirannya pada teosentris. Pandangan mereka
memang benar, jika pemikiran-pemikiran tersebut untuk memahami perihal Allah sebagai
sumber keselamatan dan bahwa kebenaran yang absolut adalah Allah sendiri. Namun,
pandangan-pandangan tersebut agaknya sulit diterima terkait dengan permasalahan mengenai
penyataan Allah yang diimani dan dipahami oleh masing-masing agama berbeda. Dengan
mengalihkan dasar pemikiran pada teosentris, maka hal itu terkesan seperti menghindari
adanya perbedaan dan merelatifkan semua agama. Sederhananya, yang terpenting adalah
iman kepada Allah, bukan iman terhadap pernyataan Allah dalam masing-masing agama (mis
Yesus Kristus, Al-Qur‟an/Muhammad, Krishna, dll). Memang benar Allah-lah yang menjadi
pusat kebenaran tertinggi. Namun, hal itu bukan berarti mendistorsikan (mengurangi) makna
pernyataan Allah dalam masing-masing agama. Bukan berarti pula tidak ada keunikan dalam
tiap-tiap agama. Mengalihkan pemikiran pada teosentris secara tidak langsung mengaburkan
iman kepada Yesus Kristen (dalam agama Kristen). Yesus Kristus menjadi sama halnya
dengan Muhammad, Krishna, dll. Padahal, bagi orang Kristen Yesus Kristus merupakan
adalah unik dan pusat iman. Dalam arti, umat Kristen mengenal dan memahami Allah
berangkat dari Yesus Kristus, di mana Allah diyakini menyatakan diri-Nya melalui ajaran
dan kehidupan Yesus. Seseorang disebut Kristen, karena ia menetapkan hidup mengikuti dan
mengimani Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Bandingkan dengan pendapat Bevans yang
mengatakan bahwa “penanggalan atas klaim agama menyangkut keunikannya sama artinya
dengan mengosongkan identitas agama bersangkutan”. 33 Oleh karena itu, secara faktual dan
historis, kekristenan tidak bisa dilepaskan dari iman terhadap Yesus Kristus.

31
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 81; Bandingkan juga ketika ia berpendapat bahwa “Kristus tidak boleh dikungkung dalam
Yesus dari Nazaret. Kristus adalah perantara antara Yang Illahi dengan ciptaan, sehingga agama-agama lain dapat menyebut
Kristus dengan Krishna atau Budha”, Harold Coward, Pluralisme, hlm. 83; bandingkan pula Knitter yang berpendapat bahwa
“keillahian sungguh-sungguh ada dalam Yesus, namun dapat ditemukan mengatasi Yesus”, Paul F. Knitter, Menggugat
Arogansi Kekristenan. Hlm. 85
32
Bandingkan dengan pendapat Kniiter bahwa “misteri Allah tidaklah sederhana tetapi plural”, Paul F. Knitter, Menggugat
Arogansi Kekristenan. Hlm. 86
33
Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 564

71
Bertolak dari teks II Kor 5:18-21, sekalipun Rasul Paulus menyatakan bahwa
perdamaian, pembenaran, dan penebusan itu berasal dari Allah dan berlaku bagi manusia dna
dunia, namun ia tidak mengingkari bahwa melalui kematian Kristus-lah Allah menyatakan
semuanya itu kepadanya. Rasul Paulus mengimani bahwa dirinya beroleh pendamaian,
pembenaran, dan penebusan adalah melalui penghayatan iman terhadap Yesus Kristus.
Dengan kata lain, bagi Rasul Paulus Yesus Kristus adalah pernyataan Allah satu-satunya.
Namun, ia pun juga tidak memungkiri bahwa pendamaian yang dinyatakan Allah melalui
Kristus tersebut ditujukan untuk semua orang, bahkan dunia. Pola kristologi Rasul Paulus
tersebut agaknya diikuti oleh beberapa teolog lainnya. Seperti halnya dengan Karl Rahner,
sebagaimana yang dikutip oleh Harold Coward, di mana ia agaknya lebih terbuka dengan
tetap menegaskan keeksklusifan dan universalitas Kristus di samping sekaligus menghormati
kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal. 34 Sekalipun Rahner
menekankan universalitas keselamatan dari Allah (untuk semua orang bahkan dunia), namun
ia tetap mempertahankan bahwa secara historis keselamatan hadir dalam peristiwa Yesus
Kristus.35 Bandingkan pula dengan pendapatnya Knitter, yang walaupun ia mengusulkan
meninjau kembali keunikan Yesus Kristus namun ia – di sisi lain – tetap menegaskan
keunikan Yesus Kristus.36 Tampaknya para teolog tersebut, sekalipun mengarahkan diri pada
keterbukaan terhadap agama lain, namun di sisi lain mereka tetap mempertahankan Kristus,
sebagaimana yang mereka imani di mana Allah menyatakan keselamatan atau pendamaian
melalui diri-Nya. Mengapa orang Kristen perlu mempertahankan iman terhadap Kristus di
dalam keterbukaannya terhadap agama lain?

Mempertahankan iman terhadap Kristus bukan berarti tertutup dan menolak


kebenaran dalam agama lain. Merumuskan kembali pemahaman terhadap diri Yesus
(kristologi), bukan berarti mengalihkan pusat iman pada Allah dengan mengesampingkan
bahwa dalam iman Kristen Allah menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus. Iman terhadap
Yesus Kristus adalah tetap bahkan harus ada dalam diri umat Kristen, namun kristologi-lah

34
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 73
35
Harold Coward, Pluralisme, hlm. 75
36
Knitter mengartikan “unik” bukan dalam artian sesuatu yang dimiliki seseorang yang membedakannya dari yang lain. Menurut
Knitter, “keunikan Yesus dan Injil ialah apa yang tanpa itu Yesus tidak lagi bertindak atau berbicara dengan cara sebagaimana
Ia digambarkan dalam Perjanjian Baru, apa yang tanpa itu kita tidak lagi mempunyai Injil yang autentik, yang lengkap”, lihat
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 169. Berdasarkan hal tersebut, bisa dikatakan bahwa Knitter
sebenarnya mengajak untu meninjau kembali dan meneguhkan, bukan untuk menyangkal.

72
yang senantiasa harus berkembang agar Yesus bisa senantiasa dihadirkan sepanjang masa
dan dalam setiap konteks.37 Pluralisme tidak identik dengan Relativisme yang menganggap
semua agama sama saja dan mengesampingkan keunikan masing-masing. Namun, pluralisme
itu mengakui dan menghargai kebenaran yang terdapat di dalam semua agama, di mana ada
kerelaan untuk saling belajar satu sama lain demi pencarian kebenaran yang sejati.38 Bagi
umat Kristen, Yesus Kristus adalah kebenaran mutlak. Bagi umat Kristen, Yesus Kristus
adalah satu-satunya pernyataan Allah dan jalan keselamatan. Tetapi, keyakinan ini tidak
harus membuat orang Kristen menutup diri dan merendahkan kebenaran yang diyakini oleh
agama lain, namun seyogyanya mau belajar dari umat lain demi memperkaya imannya. 39

Dalam merumuskan ulang kristologi, umat Kristen perlu menjaga imannya terhadap
Yesus. Knitter mengatakan bahwa dalam tiap-tiap agama ada faktor atau hal-hal yang tak
ternegosiasikan dan masalah tersebut bagi umat Kristen menyangkut tentang – keunikan –
Yesus Kristus. Hal-hal yang tak ternegosiasikan tersebut ialah:

Di dalam Yesus, Allah telah melakukan sesuatu yang sangat khusus, sesuatu yang belum
pernah dilakukan, dan tidak akan dilakukan, di mana pun.
Karena sesuatu yang khusus ini, Yesus mungkin memiliki kesamaan dengan para tokoh
lain, namun Ia tetap berbeda, berbeda tanpa bisa dikurangi. Perbedaan ini harus
dipelihara.
Sesuatu yang khusus dilakukan Allah di dalam Yesus itu penting – sangat penting –
bukan hanya bagi umat Kristiani, tetapi juga bagi semua orang. 40

37
Bandingkan dengan pendapatnya Gerrit, di mana ia membedakan antara teologi dan iman dalam bingkai menjaga “kemurnian
iman”. Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi, dan Bermasyarakat (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. 2007). Hlm.
172
38
Bandingkan dengan pendapat Wyanto, “Pluralisme agama itu sendiri mengasumsikan bahwa kebenaran sejati itu memang
tidak ada, semuanya relatif. Yang menjadi masalah bukanlah ada atau tidaknya standar kebenaran sejati yang berlaku bagi
semuanya, tetapi adalah semua agama memiliki unsur kebenaran – semuanya patut saling belajar/mendengar, dan janganlah
terlalu cepat mengklaim bahwa padanya ada kebenaran sejati yang sempurna. Kebenaran sejati itu masih harus dicari
bersama”, lihat M. W. Wyanto, Diktat (Pengantar) Teologi Agama-agama, UKDW, 2009. Hlm. 7. Dengan demikian,
pluralisme agama tidak hanya bertujuan untuk saling menghargai saja, namun juga saling belajar demi memperkaya iman
masing-masing.
39
Bandingkan dengan pendapatnya Rahner yang dikutip oleh Knitter, bahwa komitmen iman memerlukan suatu norma yang
pasti (kepastian) dari Allah dan bagi umat Kristen hal itu terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Lebih lanjut lagi Knitter
mengatakan bahwa komitmen religius mengisyaratkan adanya keyakinan bahwa Allah telah benar-benar memanggil seseorang
kepada Kristus, bukan karena ini adalah satu-satunya panggilan yang Allah berikan kepada manusia. Paul F. Knitter,
Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 124-125.
40
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 121-122

73
Yesus Kristus adalah penyataan Allah kepada manusia, namun hal itu bukan berarti
menyamakan Yesus dengan tokoh-tokoh illahi dalam agama lain atau penyataan Allah yang
lain. Semua agama pastilah mempunyai keunikannya masing-masing dan hal itu tidak perlu
dijadikan sama/seragam atau dihilangkan. Yesus Kristus unik, namun unik di sini bukanlah
dalam artian lebih daripada yang lain. Knitter menafsirkan kembali keunikan Yesus sebagai
berikut: “Dia bukan kebenaran Allah yang total, definitif, tidak tertandingi, tetapi Dia
membawa a universal, decisive, indispensable truth (suatu warta yang universal,
menentukan, sangat perlu)”.41 Sekalipun demikian, bukan berarti Knitter tidak menganggap
Yesus unik.42 Yesus tetap unik, namun keunikannya bersifat relasional. Dalam arti tidak
berdiri sendiri, melainkan dengan yang lain. Bukan keunikan individual yang
mengesampingkan dan mengabaikan yang lain. 43

Selain menegaskan kembali keunikan Yesus yang relasional, Knitter juga


mengusulkan kristologi sakramental. Sakramen, satu kata yang bagi umat kristiani berarti
“simbol”, memang sangat berpengaruh karena ada sesuatu di dalamnya dan bisa dirasakan
yang memang benar ada atau sudah ada di sana, namun mungkin belum hadir atau aktif di
dalam hidup sebagaimana seharusnya. Umat kristiani agaknya sudah memahami Yesus
sebagai sakramen, karena mereka selalu merasa bahwa Yesus mewujudkan, menyatakan, dan
memampukan mereka merasakan sesuatu yang mengubahkan kehidupan mereka. Dengan
menghayati Yesus sebagai sakramen-representatif, maka para pengikut Yesus bisa tetap
berpegang pada keyakinan tentang apa arti Yesus bagi mereka dan, sejalan dengan itu,
mengakui apa yang Allah katakan dalam agama-agama lain. Menghayati Yesus sebagai
sakramen rahmat kasih Allah dan keadilan Allah yang dipenuhi Roh tidak hanya akan
memampukan umat kristiani mengakui kehadiran Roh dalam umat beragama lain, tetapi juga
akan menuntut mereka untuk mendengarkan, belajar dari, dan karena itu terlibat dalam dialog
dengan Roh itu. Hal ini berarti bahwa umat kristiani yang yakin bahwa Firman Tuhan di
dalam Yesus itu “absolut” atau “definitif” harus, secara paradoks, mengakui bahwa

41
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 160. “a universal”, Knitter tidak menggunakan “the” tetapi “a”,
karena menurutnya apabila orang Kristen tidak lagi bersikeras bahwa Yesus merupakan satu-satunya Sabda Allah yang
menyelamatkan, kita terbuka pada kemungkinan – iman Kristen kita dalam pewahyuan universal akan mengusulkan
probabilitas – bahwa ada pengejawantahan realitas illahi lain yang universal, menentukan, sangat perlu, di samping Yesus.
42
Bagi Knitter, keunikan seseorang ialah apa yang membuat orang itu khusus atau khas – yang tanpa hal itu, orang tersebut
bukan sebagaimana adanya, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 169
43
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan. Hlm. 162

74
keabsolutan atau kedefinitifan itu “membutuhkan” yang lain dan bahwa keyakinan itu bisa
demikian kalau yang lain itu didengarkan dan diajarkan. Umat kristiani memang
sesungguhnya telah menemukan kepenuhan kasih Allah yang menyelamatkan dan kuasa di
dalam Yesus Kristus, tetapi mereka tidak bisa berpendapat bahwa kepenuhan ini hanya
terdapat di dalam Yesus Kristus.44 Dengan menghayati Yesus sebagai sakramen-
representatif, umat Kristen juga dapat menghayati bahwa di dalam Yesus mereka beroleh
pendamaian. Namun mereka pun juga tidak menutup mata bahwa pendamaian Allah berlaku
bagi semua manusia, tidak hanya bagi orang Kristen saja. Dengan merumuskan ulang misi
dan pemahaman terhadap Yesus, maka orang Kristen dapat mempunyai dasar di dalam
memberitakan Yesus, dapat menjaga imannya terhadap Yesus, serta dapat menghadirkan
perdamaian – di mana Allah menyatakannya melalui Yesus Kristus – secara relevan dan
kontekstual dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Lalu, dengan adanya
perumusan ulang seperti di atas, bagaimanakah orang Kristen memberitakan Yesus Kristus
dalam konteks keberagaman agama di Indonesia?

c. Memberitakan Karya Yesus Kristus

Berdasarkan teks II Kor 5: 18-21, rasul Paulus ternyata lebih menekankan


pemberitaan mengenai Yesus Kristus pada karya-Nya, dibanding gelar-gelar mesianis-Nya.
Terkait dengan hal tersebut, penulis tidak membahas secara mendalam dalam Bab ini karena
hal tersebut sudah penulis paparkan dalam Bab II. Pada bagian Bab III, Penulis juga sudah
menyinggung bagaimana kesadaran Paulus akan kerasulannya yang membuat merasa
mempunyai kesadaran untuk memberitakan Injil – khususnya karya pendamaian Allah
melalui Kristus. Kesadaran untuk memberitakan karya pendamaian Allah rupanya tidak
semata-mata didasarkan atas refleksinya atas pengalaman di Damsyik, namun pemberitaan
itu dilakukan oleh Paulus supaya karya pendamaian Allah kepada manusia dapat menjadi
nyata. Allah memang sudah menyatakan karya pendamaian tersebut melalui kematian Yesus
Kristus. Namun, pendamaian itu menjadi nyata hanya ketika orang menaruh iman kepada
Yesus Kristus, selaku sang rekonsiliator. Jika tidak ada orang yang memberitakan bahwa
melalui Kristus Allah telah menyatakan karya pendamaian-Nya sehingga orang tidak

44
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, hlm. 182-186

75
mengetahui perihal karya pendamaian Allah bagi manusia, maka karya pendamaian Allah
sulit terwujud secara nyata (terhambat). Rasul Paulus tampaknya mempunyai kesadaran
tersebut (II Kor 5: 19 “…Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami”). Oleh
karena itu, di satu sisi ia memberitakan berita pendamaian Allah kepada Jemaat di Korintus
agar mereka mengalami pendamaian dengan Allah (II Kor 5: 20). Di sisi lain, pemberitaan
tersebut dimaksudkan agar tercipta perdamaian di dalam diri jemaat Korintus itu sendiri.
Dengan kata lain, pemberitaan Paulus mengenai karya pendamaian Allah juga
mengisyaratkan adanya praksis iman dari Jemaat Korintus itu sendiri. Jika memang mereka
mengimani Kristus, yang adalah rekonsiliator dalam karya pendamaian Allah, maka sudah
selayaknya mereka mewujudnyatakan damai tersebut dalam kehidupan bersama mereka.
Lalu, bagaimana orang Kristen memberitakan karya Yesus Kristus, dalam terang misi
rekonsiliasi, dalam konteks keberagaman agama di Indonesia, agar karya pendamaian Allah
terwujud nyata?

Situasi keberagaman agama di Indonesia yang rentan terhadap konflik, tampaknya


membuat perdamaian perlu untuk diupayakan. Perkataan Hans Kung yang sering
didengungkan adalah “tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama”.
Berdasarkan hal tersebut, tampaknya memang perlu ada perdamaian di antara agama-agama
terlebih dahulu agar perdamaian dunia tercipta. Dalam situasi seperti inilah, karya
pendamaian Allah bagi manusia memang perlu diberitakan. Menurut Hans Kung, “agama
merupakan sesuatu dalam diri manusia untuk dihayati, bukan sekedar konsep teknis yang
abstrak, merupakan iman yang konkret, bukan sekedar lembaga”. 45 Agama memang selalu
bersangkutan dengan iman sebagai dasar hidup seseorang. Sekalipun iman terkait erat dengan
penghayatan personal dan bersifat individual, antara seseorang dengan Allah, namun iman
juga mempunyai sisi komunal di mana implikasinya bersentuhan dengan komunitas sosial.
Di dalam komunitas sosial banyak sekali konteks yang ada. Dengan konteks yang ada
tersebut, agama mengajarkan umat yang memeluknya untuk bisa menghayati kehidupan ini
di mana hal tersebut merupakan bagian dari religiusitas. Penghayatan itu bukan hanya
bersifat abstrak, melalui pemikiran atau pemahaman, tetapi juga secara konkret, melalui

45
Hans Kung, Sebuah Praksis Kehidupan dalam Bambang Subandrijo, Agama dalam Praksis (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan
Yayasan Widya Bhakti. 2003) Hlm. 1.

76
tindakan nyata. Dengan kata lain, iman tidak hanya dihayati dalam bentuk pemikiran namun
juga dalam bentuk praksis.

Jika iman terwujud dalam pemikiran maupun praksis, maka begitu pula dengan
pemberitaan mengenai Yesus Kristus. Menurut Mortimer Arias, seperti yang dikutip oleh
Bevans, “pewartaan adalah tindakan untuk mengkomunikasikan Injil tentang Yesus dan Injil
dari Yesus“. Pewartaan tidak hanya mengenai kisah hidup Yesus, melainkan juga ajaran dari
Yesus. 46 Jika Allah telah mempercayakan berita pendamaian kepada rasul Paulus, maka
begitu pula halnya orang Kristen saat ini di mana Allah juga telah mempercayakan berita
pendamaian tersebut kepadanya untuk diberitakan. Bevans mengatakan bahwa “dalam dunia
pascamodern, perhatian khusus mesti dijuruskan kepada pewartaan tentang Yesus sebagai
satu-satunya penyelamat dunia sejati, walaupun ada kenyataan menyangkut keabsahan
agama-agama lain. Namun, pewartaan selalu tentang Yesus Kristus”. 47 Dengan demikian,
pewartaan merupakan undangan bagi orang-orang yang percaya akan Injil dari dan tentang
Yesus guna bersama-sama menjadikan Injil itu kelihatan dan kedengaran di tengah dunia.
Pewartaan juga merupakan undangan bagi umat agama lain, di mana di dalamnya
mengandung unsur meyakinkan namun dilakukan dengan kerendahan. 48 Berdasarkan hal di
atas, maka orang Kristen memang perlu memberitakan karya Yesus Kristus, yang
mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah, bukan gelar-gelar mesianis-Nya sekalipun
itu juga penting, demi terwujudnya perdamaian, dan pemberitaan tersebut terwujud dalam
praksis dalam kehidupan bersama. Praksis itu sendiri terwujud dalam suatu dialog kehidupan.

Mengapa disebut dialog? Menurut Widi, “dalam dialog terjadi sikap saling
menghargai, karena orang berkepercayaan lain tidak dijadikan objek yang „nasibnya‟
ditentukan oleh penganut agama tertentu. Dialog itu sendiri bukan sekedar alat atau strategi
misi, melainkan dialog sebagai misi. Dialog dalam misi mempunyai tugas pokok untuk
mengarahkan kerinduan bersama manusia dalam mencari kebenaran yang penuh,
kemanusiaan yang penuh, dan tanggung jawab bersama terhadap alam semesta. Dialog
sebagai misi merupakan dialog kehidupan, karena di dalamnya mengandung sikap untuk

46
Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 608
47
Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 615
48
Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, hlm. 609. Bandingkan juga pendapatnya bahwa
tujuan dari pewartaan bukanlah pertambahan anggota (kuantitas), melainkan pemenuhan Kerajaan Allah di mana karya Allah
di dalamnya tidak dapat diukur secara kuantitas, hlm. 290

77
berbagai kehidupan. 49 Jika pemberitaan mengenai Yesus Kristus, dalam terang
mewujudnyatakan karya pendamaian Allah, maka seyogyanya pemberitaan tersebut juga
dilakukan secara damai, tidak menekankan superioritas diri atau agama Kristen. Oleh karena
itu, pemberitaan mengenai Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan
Allah perlu diwujudkan dalam dialog kehidupan. Pemberitaan dalam dialog kehidupan
mengartikan adanya pemberitaan secara verbal maupun tindakan, baik secara personal
maupun sebagai komunitas Kristen.50

Pertama, pemberitaan secara verbal mengenai Yesus agaknya lebih tepat jika
ditempatkan dalam dialog teologis antar iman. Hal ini dikarenakan pemberitaan secara verbal
seringkali menimbulkan masalah, kecuali dalam khotbah di Gereja. Pemberitaan secara
verbal secara biasa/sepihak – dalam konteks keberagaman agama – dapat membuat orang
beragama lain beranggapan kristenisasi. Berbeda halnya jika pemberitaan secara verbal
tersebut ditempatkan dalam suatu dialog teologis, di mana pihak lain juga diundang untuk
bisa berkomunikasi dan berbagi. Dengan adanya dialog teologis antar iman, maka berbagai
masalah teologis yang merupakan titik temu maupun titik berbeda agama-agama dapat
dibicarakan dengan terbuka atas dasar saling menghargai pandangan dan penghayatan iman
masing-masing. Dialog teologis ini juga harus diadakan secara intelektual, sehingga perasaan
curiga dan klaim-klaim yang bersifat emosional dapat dikendalikan. Dalam arti, masing-
masing pihak dapat berpikiran jernih, sehingga dapat bersedia untuk saling mendengarkan
dan berdialog. 51 Dalam dialog tersebut, orang Kristen dapat memberitakan arti dan makna
pendamaian yang Allah nyatakan melalui Kristus kepada umat agama lain. Dengan
demikian, maka karya Yesus Kristus yang mendamaikan manusia dan dunia dengan Allah
dapat diberitakan kepada umat agama lain secara damai, tanpa menimbulkan suatu
kecurigaan ataupun masalah dengan pihak lain, sehingga dapat turut mewujudkan
perdamaian. Di samping itu, umat Kristen pun juga dapat belajar mengenai karya
pendamaian Allah bagi manusia dan dunia menurut penghayatan iman umat agama lain, agar
imannya sendiri akan pendamaian dapat semakin diperkaya.

49
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 123
50
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 289
51
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 294-296

78
Kedua, pemberitaan melalui tindakan, baik secara personal maupun sebagai
komunitas Kristen, juga diperlukan di samping pemberitaan secara verbal. Memberitakan
karya Yesus yang mendamaikan melalui tindakan berarti setiap tindakan orang Kristen juga
seyogyanya mencerminkan perdamaian itu sendiri. Sederhananya, jika seseorang mengimani
bahwa Kristus mendamaikan manusia dengan Allah, maka seyogyanya ia mewujudkan
perdamaian dalam kehidupannya sehari-hari. Damai diwujudkan bukan hanya dalam
komunitas sesama Kristen saja, melainkan juga dalam komunitas umum dengan masyarakat
yang berlainan agama. Memberitakan karya Yesus Kristus melalui tindakan juga berarti
menerapkan pola hidup sama seperti Dia yang telah memulihkan martabat manusia dan relasi
manusia dengan Allah. Jika di dalam karya pendamaian Kristus telah berkarya untuk
membenarkan manusia, maka seyogyanya orang Kristen tidak menganggap dirinya paling
benar dibanding yang lain. Apalagi jika sampai menghakimi dan menyalahkan sesuatu yang
dipegang sebagai kebenaran atau diimani dalam agama lain. Jika karya Kristus mengartikan
penebusan bagi seluruh manusia, maka seyogyanya orang Kristen pun juga memperlakukan
sesamanya, termasuk yang beda agama, sebagaimana orang yang ditebus (merdeka). Dalam
arti, tidak melarang, membatasi, atau bahkan mengintimidasi kebebasan orang lain dalam
beragama, baik memeluk maupun melaksanakan ibadahnya. Ketika orang Kristen
menerapkan cinta kasih, keadilan, dan perdamaian dalam hidup bersama dengan umat lain,
maka di saat itulah karya pendamaian Allah sedang dalam proses diberitakan dan nyata
dalam konteks keberagaman agama. 52

Dengan demikian, tampak bahwa teks Alkitab II Kor 5: 18-21 relevan dan bahkan
dapat dijadikan dasar/acuan dalam pemberitaan Injil, khususnya dalam memberitakan Yesus
Kristus, dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Pemberitaan mengenai Yesus
Kristus memang seyogyanya didahului dengan perumusan ulang misi dan pemahaman akan
Yesus. Hal ini dikarenakan konteks yang berbeda mempengaruhi pola pemberitaan Yesus
Kristus secara relevan dan kontekstual. Perumusan ulang misi berikut paham-paham
mengenai diri Yesus, yang disesuaikan dengan konteks keberagaman agama, akan mampu
membawa umat Kristen terbuka terhadap agama lain, dengan tetap menyatakan kesetiaan

52
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, hlm. 289

79
imannya terhadap Yesus Kristus sebagai satu-satunya penyataan Allah yang diyakininya, di
dalam sebuah pewartaan. Yesus Kristus yang diberitakan pun pada akhirnya dapat “hadir”
dan diterima, sehingga dapat meminimalisasikan kemungkinan konflik antar agama dan turut
memberikan pengaruh yang positif dalam perwujudan karya pendamaian Allah bagi manusia
dan dunia.

80

Anda mungkin juga menyukai