Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan fenomena yang kompleks seperti

yang di definisikan oleh organisasi kesehatan dunia atau

World Health Organitation (WHO) bahwa kesehatan adalah

“suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang

komplit dan bukan semata – mata terbebas dari penyakit”

(Wong, 2009). Kesehatan anak adalah hal yang teramat penting

untuk diketahui orang tua, karena itu sebagai orang tua kita

layak untuk mengetahui berbagai permasalahan kesehatan anak,

termasuk penyakit anak, pencegahan, dan penanganannya

(Irianto, 2014).

Menurut Irianto (2014), pada abad ke -19 satu dari

lima anak meninggal sebelum usia 5 tahun, sebagian besar

kematian itu disebabkan oleh penyakit menular. Namun kini

beberapa dari kematian itu dicegah dengan menyembuhkan

penyakit saat hal itu terjadi, sebagian besar dari mencegah

penyakit dengan imunisasi (Irianto, 2014).

Anak adalah titipan Tuhan Yang Maha Esa, karena itu

nasib dan masa depan anak – anak adalah tanggung jawab

semua. Isu global yang di hadapi dunia ilmu kesehatan anak

menjelang tahun 2015, adalah Sustainable Development Goals

(SDG) dan hak asasi anak – anak sedunia (Irianto, 2014).

1
2

Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah

utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di

Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat

kesehatan bangsa, karena anak sebagai generasi penerus

bangsa memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam

meneruskan pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut,

masalah kesehatan anak diprioritaskan dalam perencanaan atau

penataan pembangunan bangsa (Hidayat, 2012). Menurut

Pudjiastuti (2011), tolok ukur keberhasilan pembangunan

kesehatan dapat dilihat dari menurunnya angka kesakitan,

angka kematian umum dan bayi, serta meningkatnya Umur

Harapan Hidup.

Anak merupakan sebagian individu yang unik dan

mempunyai kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangannya,

kebutuhan tersebut dapat meliputi kebutuhan fisiologis

seperti nutrisi dan cairan, aktivitas dan eliminasi,

istirahat tidur dan lain-lain, anak juga individu yang

membutuhkan kebutuhan psikologis sosial dan spritual

(Hidayat, 2008). Aktivitas yang berlebih pada anak dapat

memengaruhi suhu tubuh dan peningkatkan suhu tubuh pada

anak. Faktor lain seperti kecemasan, lingkungan, termasuk

pakaian juga dapat meningkatkan suhu tubuh anak. Biasanya

demam disebabkan oleh panas yang berlebihan pada lingkungan

tetapi demam juga dapat menjadi tanda-tanda klinis karena

infeksi bakteri (Engel, 2009).


3

Batita adalah usia yang paling rawan dalam

pertumbuhan, dikarenakan pada usia tersebut anak mulai

berinteraksi dan bereksplorasi dengan lingkungan sehingga

meningkatkan risiko terkena paparan beberapa penyakit baik

itu dari virus, bakteri ataupun jamur yang bisa menimbulkan

gejala demam (Jaelani, 2007). Istilah terrible twos sering

digunakan untuk menjelaskan masa batita, periode dari usia

12 sampai 36 bulan. Masa ini merupakan masa eksplorasi

lingkungan yang intensif karena anak berusaha mencari tau

bagaimana semua terjadi dan bagaimana mengontrol sesuatu,

dibawah kondisi variasi suhu yang moderat, batita jarang

mengalami kesulitan seperti pada bayi kecil dalam

mempertahankan suhu tubuh, dikarenakan fungsi sistem ginjal

membantu mempertahankan cairan pada saat stres dan

mengurangi resiko dehidrasi ( Wong, 2009).

Demam adalah suhu tubuh diatas batas normal biasa,

dapat di sebabkan oleh zat toksin yang mempengaruhi pusat

pengaturan suhu, penyakit – penyakit bakteri, tumor otak

atau dehidrasi. Gejala – gejala umum yang muncul biasanya

suhu tinggi pada bagian kepala, leher, maupun seluruh tubuh,

sementara tangan dan kaki menggigil (Jaelani, 2007). Menurut

Widagdo (2012), suhu tubuh normal adalah berkisar antara

360C pada pagi hari dan setelah beraktivitas yaitu pada

siang hari adalah 36.80C sampai 370C. Bila lebih rendah dari

360C adalah tidak normal, demikianpun bila lebih tinggi dari


4

370C (Widagdo, 2012). Peningkatan suhu tubuh ini pula

sebagai respon terhadap infeksi, ataupun peradangan, dimana

demam sering menjadi alasan mengapa orang tua membawa

anaknya kepelayanan kesehatan (Sodikin, 2012).

Demam bukanlah penyakit, melainkan tanda dari

penyakit. Mayoritas penyebab demam pada anak adalah infeksi,

baik karena bakteri maupun virus. Selain karena infeksi,

demam juga dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain

inflamasi atau peradangan, penyakit autoimun seperti

kawasaki atau lupus (Sofwan, 2010). Menurut Widagdo (2012),

Demam dapat dianggap sebagai suatu tanda penting dari

aktivasi sistem imun dengan hasil pengendalian kenaikan suhu

tubuh. Demam merupakan bagian dari mekanisme pertahanan

tubuh dalam menghadapi berbagai mikroorganisme patogen

termasuk virus dan bakteri dengan cara menghambat replika

mikroorganisme dan membantu proses fagositosis/aktifitas

bakterisida. Penyebab lain dari demam yaitu efektivitas

fisik yang berlebihan, aktivitas fisik yang berlebihan,

selain itu bila berada di lingkungan yang terlalu panas dan

lama (Sofwan, 2010). Suhu tubuh dapat diartikan sebagai

keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang

hilang dari tubuh (Asmadi, 2008).

Badan kesehatan dunia ( WHO ) tahun 2012 mengemukakan

jumlah kasus demam di seluruh dunia mencapai 18-34 juta

kasus. Menurut laporan WHO tahun 2012 Angka Kematian bayi


5

dan anak (AKB) di dunia yaitu 289.000 jiwa. Amerika Serikat

yaitu 9300 jiwa, Afrika Utara 179.000 jiwa, dan Asia

Tenggara 16.000 jiwa. Angka kematian anak di negara-negara

Asia Tenggara yaitu Indonesia 214 per 100.000 kelahiran

hidup, Filipina 170 per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam 160

per 100.000 kelahiran hidup, Thailand 44 per 100.000

kelahiran hidup, Brunei 60 per 100.000 kelahiran hidup, dan

Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2012).

Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia

menunjukkan bahwa kematian bayi dan anak telah turun

separuhnya, dari 68 kematian per 1.000 kelahiran hidup

menjadi 32 kematian per 1.000 kelahiran untuk periode 2008-

2012. Perbandingan angka kematian untuk dua survei terakhir

menunjukkan kematian bayi dan anak turun sedikit, kecuali

kematian neonatum yang tetap konstan. Terkait tujan SDGS

poin goal 3 yaitu kehidupan sehat dan sejahtera dalam

menurunkan kematian ibu dan kematian anak pada tahun 2030,

nampaknya berat bagi indonesia untuk mencapi tujuan ini.

Segala usaha harus di tingkatkan seperti keberadaan

fasilitas kesehatan, akses ke fasilitas kesehatan dan

petugas kesehatan baik dalan jumlah dan kualitas maupun

kuantitas ( Data SDKI, 2012).

Berdasarkan pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu

dan anak (PWS-KIA) di Kabupaten Lombok Timur tahun 2015.

Pada tahun 2015 jumlah kasus kematian anak balita (1 – 5


6

tahun) yang di temukan sebesar 35 kasus sehingga bila

ditambahkan dengan kasus kematian neonatal (0 – 28 hari)

sebanyak 389, dan kasus kematian bayi (29 hari – 11 bulan)

sebanyak 93, maka jumlah kasus kematian Balita (0 - 5 tahun)

menjadi 517 kasus. Setelah dihitung angka kematian Balita (0

- 5 tahun) adalah sebesar 19 per 1.000 KH. Adapun

perkembangan anngka kematian balita per 1.000 KH di

Kabupaten Lombok timur pada tahun 2011 – 2015, menunjukkan

bahwa tahun 2011 - 2012 perkembangan AKABA mengalami trend

meningkat, tahun 2013 – 2015 mengalami trend menurun.

Sedangkan penyebab kematian anak balita di Kabupaten Lombok

Timur tahun 2015 menunjukkan bahwa kasus kematian anak

balita paling besar di sebabkan oleh pneumonia 13 kasus

(37,14%), kemudian diare 4 kasus (11,43%), gizi buruk 1

kasus (2,86%), dan tanda – tanda awal dari kasus tersebut

adalah adanya peningkatan suhu tubuh (Profil kesehatan

Kabupaten Lombok Timur, 2015).

Berdasarkan data survei awal yang dilakukan calon

peneliti dengan cara metode wawancara di RSUD Dr. Soedjono

Selong Lombok timur, banyak anak – anak mengalami demam di

sebabkan oleh adanya infeksi. Infeksi yang di sebabkan oleh

virus, bakteri, jamur, atau parasit dan sering kali kondisi

ini di tandai oleh adanya peningkatan suhu tubuh, di sertai

dengan gejala menggigil, batuk pilek, infeksi tenggorokan

dan nafsu makan menurun, ini tercatat dari data yang


7

didapatkan oleh penulis di RSUD Dr. Soedjono Selong Lombok

Timur, pada tahun 2017 yaitu terhitung sejak bulan September

sampai dengan November jumlah batita yang mengalami demam

sebanyak 67 pasien yaitu sekitar 54% dari keseluruhan anak

yang mengalami demam. (Data Rekam Medik RSUD Selong, 2017).

Dampak yang ditimbulkan demam, dapat berupa penguapan

cairan tubuh yang berlebihan sehingga terjadi kekurangan

cairan dan kejang (Alves & Almeida, 2008). Dampak terburuk

yang bisa terjadi akibat demam tinggi adalah terjadinya

kerusakan jaringan tubuh seperti kerusakan pada otak/susunan

saraf pusat, kerusakan otot tubuh, kerusakan organ seperti

jantung dan ginjal, demam yang terlalu tinggi juga bisa

mengakibatkan penguapan cairan tubuh meningkat, hal itu

beresiko membuat anak mengalami dehidrasi (Murtie, 2014).

Perawat sangat berperan untuk mengatasi demam melalui

peran mandiri ataupun kolaborasi. Untuk peran mandiri

perawat dalam mengatasi demam bisa dengan melakukan tepid

sponge bath (Alves & Almeida, 2008). Selain tepid spnge

bath ada juga kompres yang populer saat ini yaitu kompres

plester yang sudah di jual bebas di apotik dan toko obat

(Bardu, 2014).

Tepid sponge bath adalah sebuah tehnik kompres hangat

yang menggabungkan tehnik kompres blok pada pembuluh darah

supervisial dengan tehnik seka. Pemberian tepid sponge bath

memungkinkan aliran udara lembab membantu pelepasan panas


8

tubuh dengan cara konveksi. Suhu tubuh lebih hangat daripada

suhu udara atau suhu air memungkinkan panas akan pindah ke

molekul molekul udara melalui kontak langsung dengan

permukaan kulit. Pemberian tepid sponge bath ini dilakukan

dengan cara menyeka seluruh tubuh klien dengan air hangat

( Guyton, 2007 ).

Selain tepid sponge bath, masih ada kompres yang

dianggap lebih praktis, modern dan saat ini sudah beredar

secara luas di masyarakat yaitu plester kompres, dimana

plester ini dibuat dari bahan hydrogel yang mengandung

hydrogel on polyacrylate-basis dengan kandungan paraben dan

mmentol yang dapat menurunkan suhu tubuh melalui evaporasi

(Sodikin, 2012).

Beberapa cara telah dilakukan dalam pemberian kompres

seperti cara modern maupun tradisional, contohnya tepid

sponge bath dan plester kompres. Tepid sponge bath maupun

plester kompres memiliki keunggulan dan kekurangan masing –

masing, namun untuk keefektifan punurunannya panasnya belum

dapat di pastikan bahwa plester kompres lebih efektif dari

pada tepid sponge bath begitu juga sebaliknya terhadap

penurunan suhu tubuh anak toddler.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bartolomeus

Maling pada tahun 2012, dengan hasil “Ada pengaruh kompres

tepid sponge bath terhadap penurunan suhu tubuh pada anak

usia 1 – 10 tahun yang mengalami hipertermia”.


9

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mariana

S.Woror pada tahun 2017 dengan hasil “Terdapat perbedaan

antara kompres air suhu hangat dan kompres plester terhadap

penurunan suhu tubuh anak demam usia pra-sekolah”. Yang

dimana kompres air suhu hangat lebih efektif menurunkan suhu

tubuh anak yang mengalami demam.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membuktikan

secara teliti tentang perbedaan efektivitas antara pemberian

tefid sponge bath dan kompres plester terhadap perubahan

suhu tubuh anak batita yang mengalami demam di RSUD Dr.

Soedjono Selong Lombok Timur.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka calon peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dan dapat merumuskan

masalah : “Adakah perbedaan efektivitas antara pemberian

tepid sponge bath dan kompres plester terhadap perubahan

suhu tubuh pada anak batita yang mengalami demam di RSUD Dr.

Soedjono Selong Lombok Timur” ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan keefektivan

antara pemberian tepid sponge bath dan kompres plester

terhadap perubahan suhu tubuh pada anak batita yang

mengalami demam di RSUD Dr. Soedjono Selong Lombok

Timur.
10

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi suhu tubuh anak sebelum di berikan

tepid sponge bath.

b. Mengidentifikasi suhu tubuh anak setelah di berikan

tepid sponge bath.

c. Mengidentifikasi suhu tubuh anak sebelum di berikan

kompres plester.

d. Mengidentifikasi suhu tubuh anak setelah di berikan

kompres plester.

e. Menganalisa efektivitas pemberian tepid sponge bath

terhadap perubahan suhu tubuh batita.

f. Menganalisa efektivitas pemberian kompres plester

terhadap perubahan suhu tubuh batita.

g. Menganalisa perbedaan efektivitas antara pemberian

tepid sponge bath dan kompres plester terhadap

perubahan suhu tubuh batita.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang di lakukan, diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi :

1. Bagi Orang Tua Responden

Diharapkan penelitian ini nantinya dapat berguna bagi

responden dalam meningkatkan pengetahaun tentang cara

menurunkan suhu tubuh anak dengan cara yang sederhana.

2. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai acuan intervensi mandiri keperawatan dalam


11

menangani pasien hipertermia di Rumah Sakit, khususnya

RSUD Dr. Soedjono Selong Lombok Timur.

3. Bagi Institusi Pendidikan STIKES MATARAM

Sebagai bahan dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi

peserta didik khususnya pada pendidikan S1 keperawatan

serta institusi pendidikan dapat menggunakan hasil

penelitian ini, untuk menambah dan mengembangkan

literatur dalam pendidikan keperawatan anak.

4. Bagi Ilmu Keperawatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan

referensi bagi ilmu keperawatan dalam menentukan

intervensi mandiri keperawatan dalam menangani anak

yang mengalami demam.

Anda mungkin juga menyukai