Anda di halaman 1dari 43

MODUL

FISIOTERAPI PEDIATRI (FT A)

PRODI D3 FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami ucapkan atas terselesaikannya FISIOTERAPI


PEDIATRI (FT A) yang akan digunakan untuk membantu pembelajaran praktikum bagi
mahasiswa Program Studi D III Fisioterapi Jurusan Fisioterapi IIK Kediri

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak
membantu penyusunan modul ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami juga
sangat menyadari bahwa Modul ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik,
saran maupun masukan yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.

Kami sangat berharap agar Modul ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin
khususnya bagi mahasiswa program studi D III Fisioterapi maupun pihak lain yang
berkepentingan

Penulis,
BAB I

Fisioterapi pediatri

A. Tumbuh kembang embrional

1. Minggu I:

Dalam 1 siklus mens, ovum unfertilised dilepas dari salah satu ovarium.
Fertilisasi hrs sdh berlangsung a/ 12-24 jam or dibuang ikut mens berikutnya. Dalam
tempo 30 jam, telur fertilised membagi jadi 2 sel kmd trs tumbang jadi sel bola. Sel
bag dlm -> embrio, bag. Luar -> plasenta. Stlh 4-5 hr embrio dan plasenta melekat pd
dinding uterus -> implant

2. Minggu II-III

Placenta tumbuh cepat ke sekeliling uteri, lapisan luar kontak dgn darah ibu. Embrio
konsisten tumbang sbg flat disc dg 2 sel tebal. Bag. Luar -> ectoderm, bag dalam ->
endoderm, di antaranya -> mesoderm. Ectoderm -> kulit & sistim saraf. mesoderm ->
otot, tulang, jaringan connective & darah endoderm -> trac digestvus, organ dalam.

3. Minggu IV-VIII

Terbentuk blue print sistim organ -> masa kritis embrio. Embrio tumbang dari
5mm-> 30mm, ujungnya berubah > embrional

JARINGAN SYARAF

Otak & medula spinalis dibentuk dari satu strip ectoderm sepanjang embrio.
Ujung strip ectoderm melipat -> cekungan -> menutup jadi tabung (neural tube)
komplit pd usia 27th Neural tube bag kepala tumbang jd otak, bag Bawah jd medula
spinalis. Tumbang sistim syaraf terus berlanjut hingga tahun 1stlh lahir

a. Tumbang jantung:

Berawal dari tabung tunggal. Pada usia embrio 27-45hr, terbentuklah sekat-
sekat jantung.

b. Tumbang ekstremitas:

Usia embrio 5 minggu, ekstr. Tumbah seperti dayung yg mjorok ke luar dr


batang embrio. Pada usia 6 minggu, tangan sdh tampak sbg lmbaran jaringan, juga
dijumpai adanya sel kartilago sbg calon tulang ekstr. Blue print jari2 terbentuk
lengkap pd usia 8 minggu

c. Sistim Respirator:

Esopagus mulai terbentuk pd usia 4 minggu dr sisi anterior embrio ->


respiratory diverculum -> terus tumbuh, di dada ujungnya membelah 2 jd paru
kanan & kiri -> usia 7bln sudah lengkap. Setelah 7 bulan bag dalam paru alveoli
dilapisi phospolid. Sebelum lahir paru terisi oleh cairan amniotic yg akan diserap
darah scr cpt saat janin dilahirkan

4. Minguu IX-bulan IX

a. Semua sistim organ terus tumbang hingga mature

b. Berat janin tambah 50% dari berat saat dilahirkan

c. Bentuk mengarah lebih manusiawi

d. Reflek sucking ada mulai usia 5 bulan

e. Gerak buka tutup mata usia 7 bulan

B. Natal

a. Bayi full-term, lahir sth 266 hr dr konsepsi (280 hr dr mens terakhir) dengan berat
3000-3500 gram, panjang sekitar 50cm

b. Bayi full-term lahir belum cukup umur -> small for date

c. Bayi belum full-term lahir belum cukup umur -> premature

C. Causa conginetal

1. Critical time periods penyebab defect disebut teratogenic factor

a. Aksi teratogenic factor sdh bisa mulai saat usia 3 minggu

b. Awal aksinya kerusakan > parah

c. Aksi pd usia 2-3 bulan -> kerusakan organ permanen

d. Aksi di atas usia 3 bln -> menghambat tumbang

2. Hereditary teratogenic factor

Faktor genetik mis: ekstra chromosome (trysomi 21/ Down Syndrome, trysomi
13 / Pattau syndrome, trysomi 18 / edwards syndrom), satu fertilisasi (45, X/
turner syndrome), ekstra X chromosome (45, XXY / klinefellter syndrom).

3. Environmental teratobenic factor

a. Viral factor e. Usia 6-9mg -> defect


jantung
b. Virus rubella
f. cytomegalovirus
c. usia 6mg -> cataract
g. Kebutaan
d. Usia 9mg -> tuli
h. Microchepaly
i. Drugs

j. Thalidomide, anti epilepsy,


antipsikotic, anti anxiety

k. Another substances

 Mercury, alchohol, radiasi


BAB II

Pemeriksaan Skrining Tumbuh Kembang Anak

A. GROSS MOTOR FUNCTION MEASURE (GMFM)


LEMBAR NILAI (NILAI GMFM-88 DAN GMFM-66)

Versi 1.0.

Nama Anak: ____________________________ No. Identitas ____________________

Tanggal Assesment: ______________________ Level GMFCS1

Tanggal / Bulan / Tahun

I II III IV V

Tanggal Lahir: ___________________________

Tanggal / Bulan / Tahun Kondisi pada saat diperiksa

Usia kronologis: __________________________ (misalnya tentang ruangan, pakaian,


waktu, dll)

Bulan / Tahun

Nama Evaluator: __________________________ ____________________________

________________________________________ ____________________________

GMFM adalah sarana yang sudah distandarisasi untuk melakukan pengamatan, yang didesain
dan disahkan untuk mengukur perubahan fungsi motorik kasar pada anak-anak cerebral palsy.
Scoring key menjadi petunjuk umum untuk pengukuran tersebut. Tetapi, sebagian besar item
mengandung gambaran khusus untuk tiap skor. Petunjuk dalam manual ini harus digunakan
untuk menilai tiap item.

Scoring key 0 = does not initiate

1 = initiates

2 = partially completes

3 = completes

NT = Not tested (digunakan untuk GMAE scoring*)


Kita harus membedakan nilai sebenarnya dari “0” (anak tidak inisiatif) dari item yang
masuk dalam skor Not Tested (NT) jika Anda tertarik menggunakan GMFM-66 Ability
Estimator Software.

*GMFM-66 Gross Motor Ability Estimator (GMAE) software disediakan dengan GMFM
manual (2002). Kelebihan dari software ini adalah konversi skala ordinal ke dalam skala
interval. Hal ini akan memungkinkan perkiraan yang lebih akurat terhadap kemampuan anak
dan memberikan ukuran responsif yang setara terhadap perubahan pada level kemampuan.
Item dalam penghitungan skor GMFM-66 ditandai dengan tanda bintang (*). GMFM-66
hanya berlaku untuk anak-anak cerebral palsy.

B. Pemeriksaan Denver Deveopment Screenig Test (DDST)

A. Tujuan

Deteksi dini adanya developmental problem.

B. Indikasi

Anak usia 4 minggu s/d 6 tahun

Developmental problem adl adanya suatu kegagalan untuk berkembang


secara normal dalam mengatasi keadaan lingkungannya. (Franken burg &
North, 1974)

C. Sasaran pemeriksaan

Meliputi 4 sektor :

1. Personal Social

2. Fine Motor Adaptive

3. Language

4. Gross Motor

D. Langkah pemeriksaan

1. Hitung usia riil: HPx – HLx / HPL

2. Buat garis usia (G.U.)


3. Px dimulai dr item di KIRI G.U. tapi letaknya terkanan,  (1)
LULUS, lanjut ke KANAN tuk smua item yg terpotong G.U., (2)
TIDAK LULUS, ke KANAN spt di atas + ke KIRI 1 item.

4. Beri tanda: (1) V  lulus, (2) 0  Tak lulus, (3) M  menolak

E. Penilaian

1. Bila TIDAK LULUS item KIRI garis usia  Delay

2. Delay  arsir sisi kiri kotak

3. Hitung berapa sektor dg 2 atau lebih delays.

4. Hitung berapa sektor dg 1 delay dan semua item yang terpotong garis
usia pada sector yang sama TIDAK LULUS.

F. Intepretasi

1. ABNORMAL, bila 2 sektor atau lebih masing-masing dengan 2 delays


atau lebih.

2. ABNORMAL, bila 1 sektor memiliki 2 delay atau lebih ditambah 1


sektor dengan 1 delay dan dalam sector tersebut semua item yang
terpotong garis usia tidak lulus semua.

3. QUESTIONABLE, bila 1 sektor dengan 2 delay atau lebih

4. QUESTIONABLE, bila 1 sektor atau lebih masing-masing dengan 1


delay dan dalam sector yang sama semua item yang terpotong garis
usia tidak lulus.

5. UNTESTABLE, bila penolakan anak yang menyebabkan hasil test


abnormal/questionable

G. Rescreening

Bila hasil test abnormal atau questionable, lakukan pemeriksaan ulang 2 –


3 minggu kemudian.

Peralatan yang dibutuhkan:

1. Blanko DDST

2. Benang wol warna-warni

3. Alat tulis

4. manik-manik

5. Kubus ukuran warna-warni 2 x 2 cm


6. Berbagai gambar binatang

7. Mainan anak-anak

C. Pemeriksaan reflek primitive


Adapun beberapa refleks primitif pada bayi baru lahir, antaralain
1. Refleks moro
eflek ini disebut juga startle reflex. Refleks primitif ini terdapat pada bayi
baru lahir sampai 2-4 bulan. Refleks ini dapat dimunculkan dengan cara memukul
tempat tidur bayi, suara ribut, dsb. Tetapi paling baik dengan cara memegang dan
meletakkan lengan pemeriksa sepanjang punggung dan kepala bayi. Kemudian,
jika tiba-tiba kepala bayi dijatuhkan sesaat beberapa centimeter ke belakang, akan
muncul reflex
Tahap 1. Lengan dan tungkai terentang seperti terkejut.
Tahap 2. Lengan melakukan gerak fleksi seperti memeluk
2. Refleks genggam
Grasp Reflex = Refleks genggam
Refleks genggam ini menghilang pada bayi umur 2-3 bulan. Refleks grasp ini
dapat ditimbulkan dengan cara menggoreskan jari-jari pemeriksa pada permukaan
telapak tangan bayi. Bayi akan menggenggam jari pemeriksa dan genggaman
tersebut cukup erat sehingga dengan genggaman tersebut bayi dapat diangkat,
bahkan pada bayi kurang bulan genggaman tersebut juga sudah cukup kuat.
Refleks ini berhubungan dengan penilaian taktil dan propioseptif.
3. Refleks tonik otot leher asimetris (ATNR )
Refleks Tonik Leher
Refleks ini disebut juga posisi pemain anggar 9fencer position. Refleks tonik leher
asimetris ini dapat ditimbulkan dengan cara menolehkan kepala bayi ke satu sisi
dan bayi akan bereaksi dengan gerakan ekstensi lengan dan tungkai pada sisi yang
berlawanan. Refleks ini berangsur menghilang pada umur kehamilan
36 minggu dan hampir tidak tampak pada bayi cukup bulan, kemudian muncul
lagi pada umur 1 bulan dan selanjutnya menghilang pada usia 4-6 bulan.
4.  Refleks tonik otot leher simetris
Refleks ini dikenal dengan reflex merangkak. Dengan mengekstensikan lengan
dan menekuk lutut kemudian akan menyebabkan kepala dan leher menjadi
ekstensi. Refleks ini menghilang pada umur 9-11 bulan.
5. Refleks berjalan
Refleks ini dapat ditimbulkan dengan cara memegang bayi pada ketiaknya seperti
posisi berdiri. Bayi akan mengerakkan kakinya seperti gerak berjalan.
6.  Refleks menaiki tangga
Bila bagian dorsal kaki bayi disentuhkan ke bawah permukaan meja, bayi akan
mengangkat kakinya ke atas permukaan meja.
7. Refleks rooting (Refleks Rooting)
Jika pipi bayi disentuh, ia akan menggerakan mulutnya ke arah sentuhan. Itulah
sebabnya, pada waktu bayi dalam posisi menyusu dan pipinya tersentuh putting
susu, ia akan menggerakan mulutnya ke arah putting susu tersebut. Refleks ini
disebut Refleks Rooting, salah satu refleks primitif pada bayi baru lahir.

BAB III
Kelainan / Gangguan Pada Anak

A. Developmental Delay – Keterlambatan Tumbuh Kembang

1. Keadaan terlambat perkembangan yang bermakna pada dua atau lebih dari ranah
perkembangan (global developmental delay)

a) 5 – 10% anak diperkirakan mengalami keterlambatan perkembangan

b) 1 – 3% anak dibawah usia 5 th mengalami keterlambatan perkembangan


umum

Aspek Perkembangan

a) Motorik kasar : sitting, walking, jumping, and overall large muscle movement

b) Motorik halus : eye hand coordination, manipulation of small objects, and


problem solving

c) Bahasa / bicara : hearing, understading, and using languange

d) Personal sosial / kemandirian : getting along with people and caring for personal
needs

2. Tanda bahaya perkembanan

Motorik kasar :

a) Gerakan yang asimetris atau tidak seimbang misalnya antara anggota tubuh
bagian kiri dan kanan.

b) Menetapnya refleks primitif (refleks yang muncul saat bayi) hingga lebih dari
usia 6 bulan

c) Hiper / hipotonia atau gangguan tonus otot

d) Hiper / hiporefleksia atau gangguan refleks tubuh

e) Adanya gerakan yang tidak terkontrol

Motorik Halus :

a) Bayi masih menggenggam setelah usia 4 bulan

b) Adanya dominasi satu tangan (handedness) sebelum usia 1 tahun

c) Eksplorasi oral (seperti memasukkan mainan ke dalam mulut) masih sangat


dominan setelah usia 14 bulan

d) Perhatian penglihatan yang inkonsisten


Tanda bahaya bicara dan bahasa

a) Kurangnya kemampuan menunjuk untuk memperlihatkan ketertarikan terhadap


suatu benda pada usia 20 bulan

b) Ketidakmampuan membuat frase yang bermakna setelah 24 bulan

c) Orang tua masih tidak mengerti perkataan anak pada usia 30 bulan

Tanda bahaya gangguan sosio-emosional

a) 6 bulan: jarang senyum atau ekspresi kesenangan lain

b) 9 bulan: kurang bersuara dan menunjukkan ekspresi wajah

c) 12 bulan: tidak merespon panggilan namanya

d) 15 bulan: belum ada kata

e) 18 bulan: tidak bisa bermain pura-pura

f) 24 bulan: belum ada gabungan 2 kata yang berart

g) Segala usia: tidak adanya babbling, bicara dan kemampuan bersosialisasi /


interaksi

Tanda bahaya gangguan kognitif :

a) 2 bulan: kurangnya fixation

b) 4 bulan: kurangnya kemampuan mata mengikuti gerak benda

c) 6 bulan: belum berespons atau mencari sumber suara

d) 9 bulan: belum babbling seperti mama, baba

e) 24 bulan: belum ada kata berarti

f) 36 bulan: belum dapat merangkai 3 kata

 Faktor-faktor pencetus Delay Development

1. Genetik

2. Lingkungan (Bio-fisiko-psikososial)

a) pre-peri-post natal

b) Keluarga

c) Masyarakat

d) Lingk. Biologis
e) Lingk. Fisik

f) Ekonomi-politik

g) ASAH, ASIH, ASUH

 Tujuan dari Fisioterapi

Meningkatkan kemampuan fungsional agar pasien mampu hidup mandiri sehungga


dapat mengurangi ketergantungan tehadap orang lain

 Pemeriksaan Fisioterapi Untuk Delay Development

1. Anamnesis: (pre natal, natal, post natal)

2. Pemeriksaan fisik:

a) Vital sign : LK (Lingkar Kepala), LLA, TB, BB, HR, RR, Suhu

b) Inspeksi :

c) Palpasi

d) Perkusi

e) Auskultasi

3. Pemeriksaan gerak dasar

4. Pemeriksaan spesifik :

a) Pemeriksaan sensoris : Visual, Auditory, Touch, Smell, Taste, Tactile,


Propioceptive, Vestibular

b) Pemeriksaan Reflek

c) Pemeriksaan Kekuatan oto t : Children’s Memorial Hospital USA (XOTR),


dimana.

B. Hidrosefalus
hidrosefalus (hydrocephalus) adalah kondisi penumpukan cairan di dalam otak yang
mengakibatkan meningkatnya tekanan pada otak. Arti harfiah dari penyakit ini adalah
“air di dalam otak.
Cairan serebrospinal biasanya mengalir melalui ventrikel dan menggenangi otak dan
tulang belakang. Jika tekanan cairan serebrospinal terlalu banyak, maka jaringan otak
akan rusak dan menyebabkan gangguan dalam fungsi otak.
Fungsi dari cairan serebrospinal adalah menjaga otak yang volumenya berat agar
terapung di dalam tengkorak, merupakan bantalan otak untuk mencegah cedera,
membuang limbah metabolisme di dalam otak, dan mempertahankan tekanan yang tetap
di dalam otak, tepatnya antara rongga otak dan tulang belakang untuk mengkompensasi
perubahan tekanan darah di dalam otak.
Gangguan dalam otak ini sangat berpengaruh pada penderitanya. Karena menyebabkan
gangguan perkembangan fisik maupun intelektual. Belum lagi, jika penyakit tersebut
memiliki komplikasi yang serius. Sekalipun bisa menimpa ke semua usia, namun
hidrosefalus umum terjadi pada usia dewasa dan bayi. Para ilmuwan mencatat bahwa 2
dari 1000 bayi terlahir dengan kondisi hidrosefalus.

 Penyebab Hidrosefalus
1. Terjadinya penyumbatan yang mencegah cairan serebrospinal mengalir
normal.
2. Terjadi penurunan kemampuan pembuluh darah untuk menyerapnya.
3. Otak ikut memproduksi kelebihan cairan tersebut.

Namun, dalam beberapa kasus, penyakit ini juga bisa menimpa bayi yang belum
dilahirkan. Penyebabnya adalah:

1. Cacat bawaan di mana tulang belakang tidak menutup


2. Kelainan genetic
3. Adanya infeksi tertentu yang terjadi selama kehamilan, misalnya virus rubella
C. Epilepsy
Epilepsi merupakan masalah neurologi utama. Angka kejadian epilepsi masih tinggi
terutama di negara berkembang. Terdapat sekitar 40-50 juta pasien epilepsi, 85 % di
negara berkembang. Insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70 kasus per
100.000 penduduk. Sedangkan prevalensinya antara 0,5-4%. Diperkirakan prevalensi
epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, sekitar 6,3-10,2 per 1000 penduduk
dengan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk.1,2 Epilepsi adalah suatu
keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya
gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh
berbagai etiologi.
 Penyebab
Epilepsi bukanlah penyakit tunggal, melainkan suatu gejala yang dapat dihasilkan
oleh sejumlah gangguan berbeda.[15] Menurut definisinya, serangan epilepsi terjadi
secara spontan dan tanpa ada sebab langsung seperti pada penyakit akut Penyebab
yang mendasari epilepsi dapat diidentifikasikan sebagai masalah genetik, struktural,
atau metabolisme, namun 60% kasus epilepsi tidak diketahui sebabnya. Genetik, cacat
bawaan lahir, dan gangguan perkembangan lebih umum dialami mereka yang lebih
muda, sedangkan tumor otak dan stroke lebih mungkin pada orang yang lebih
tua Serangan juga dapat terjadi sebagai akibat masalah kesehatan lain; jika serangan
terjadi tepat setelah adanya sebab tertentu, seperti stroke, cedera kepala, konsumsi
bahan toksik, atau masalah metabolisme, serangan ini disebut kejang simtomatik akut,
dan termasuk kejang-kejang dalam klasifikasi yang lebih luas gangguan terkait-
kejang bukan epilepsi. Banyak di antara sebab-sebab kejang simtomatik akut yang
juga dapat mengarah pada kejang yang disebutkan belakangan, yaitu epilepsi
sekunder.
 Penatalaksanaan
Epilepsi biasanya ditangani dengan pemberian obat setiap hari bila telah timbul
kejang yang kedua, tetapi untuk pasien dengan risiko tinggi, pengobatan dapat
dimulai segera setelah kejang yang pertama kali. Pada sejumlah kasus mungkin perlu
dilakukan diet khusus, implantasi neurostimulator, atau pembedahan saraf.

D. Gbs (Guillain-Barre Syndrome)


Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari
bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan.
Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada
gejala sisa biasanya gangguan.
Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya
selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama
sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik
 Problem fisioterapi
1. Muskuloskeletal
2. Kardiopulmunari
3. Sistem saraf otonomik
4. Sensasi
 Penatalaksanaan fisioterapi
1. Problem pada muskuloskeletal
2. Penatalaksanaan pada luas gerak sendi
3. Penatalaksanaan pada panjang otot
4. Penatalaksanaan pada problem kardiopulmonari

E. Dystropy muscular progrsive (DMD)

A. Definisi
Muscular Dysrophy (MD) adalah sekelompok penyakit yang diturunkan
dimana otot-otot yang mengontrol pergerakan (yang disebut otot sadar/volunter
muscle) secara perlahan – lahan melemah.
Dystrophy Muscular Progressive atau biasa disingkat DMP adalah Kelainan
distrofi otot yang bersifat progresif disebabkan abnormalitas gen yang diturunkan
secara X-linked ataupun secara autosom.
Jadi penyakit ini merupakan kelainan berupa kelemahan otot karena
degenerasi yang progresif (makin lama makin parah). Nama lain DMP adalah
Dunchenne Muscular Dystrophy (DMP).
B. Etiologi
Dunchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular
progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif
jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan
melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya
sebagai karier. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X,
lokus Xp21.2 yang bertnggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin.
Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan
disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf
perifer.
Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan berat molekul 427
kDa, dan tereiri dari 3685 asam amino. Penyebab utama proses degeneratif pada
DMD kebenyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan protein distrofin pada membran sel otot, sehingga menyebabkan
ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot.
C. Patofisiologi
Proses Penyakit
Beberapa bentuk dari MD muncul pada masa bayi atau anak-anak, beberapa
bentuk yang lain mungkin tidak akan timbul sampai usia pertengahan atau lebih.
Gangguan – gangguan ini berbeda-beda dalan nama dan distribusinya dan
perluasan kelemahan ototnya (ada beberapa bentuk dari MD yang juga menyerang
otot jantung), onset usis, tingkat progresifitas, dan pola pewarisannya.
Pada kelainan ini terlihat pseudohipertropi pada betis dan pantat, dimana
penderitanya semua dari golongan umur anak-anak. Dalam 10-12 tahun penderita
tidak dapat menderita lagi dan bidupnya terpaksa ditempat tidur atau di kursi roda.
Pada tahap terminal ini seluruh otot skeletal sudah atrofik.
Penyakit ini secara bertahap melemahkan kerangkat otot, yang di lengan, kaki
dan punggung. Pada remaja awal atau bahkan lebih awal, otot jantung dan otot
pernafasan juga mungkin dapat terpengaruh, munculnya kelemahan berjalan pada
awal dekade kedua, dan biasanya akan meninggal pada usia 0 tahun. Diagnosa
pasti dari penyakit ini dapat di lakukan melalui pemeriksaan analisis DNA atau
pemeriksaan distrofin. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat membantu
pasien untuk mampu lebih lama berjalan dan duduk.
D. Patogenesis
Duchenne distrofi otot (DMD) disebabkan oleh mutasi gen distrofi dilobus
Xp21. Tidak adanya distrofin memungkinkan kelebihan kalsium untuk menembus
sercolemma (membran sel).
Peruahan dalam jalur sinyal menyebabkan air masuk kedalam mitokondria
yang kemudian meledak. Dalam distrofi otot rangka, disfungsi mitokondria
menimbulkan amplifikasi stres-induced sinyal disfungsi mitokndria menimbulkan
amplifikasi stres-induced sinyal kalsium sitosol dan amplifikasi dari stres akibat
reaktif oksigen psesies (ROS) produksi. Cascending proses yang melibatkan beberapa
jalur dan tidak jelas dipahami, meningkatkan stres oksidatif dslam kerusakan sel
sacrolmma dan akhirnya menyebabkan kamtian sel. Serat otot mengalami nekrosis
dan akhirnya diganti dengan adiposa dan jaringan ikat.
E. Manifestasi Klinis
1. Canggung cara berjalan, melangkah, atau berjalan. ( pasien cendrung untuk
berjalan pada kaki depan mereka, karena suatu tonus beris peningkatan juga.
Berjalan kaki adalah adaptasi kompensasi untuk kelemahan ekstensor lutut.)
2. Seringa jatuh
3. Kelelahan
4. Kesuliatan dengan keterampilan motorik (berlari,melompat)
5. Peningkatan lumbal lordosis, menyebabkan pemendekan otot fleksor hip, ini
memiliki efek pada postur keseluruhan dan cara berjalan, melangkah, atau
berjalan.
6. Otot kontraktur tendon aschiles dan paha belakang merusak fungsi karena serat
otot memendek dan fibrosis terjadi pada jaringan ikat
7. Progresif kesulitan berjalan
8. Pseudohypertrophy ( pembesaran ) dari ,idah atau betis, jaringan otot akhirnya di
gantikan oleh jaringan lemak dan ikat, maka Pseudohypertrophy panjamg.
9. Resisko tinggi gangguan neurobehavioral ( misalnya, ADHD ), gangguan belajar
(disleksia), dan non-progresif kelemahan dalam keterampilan kognitif tertentu
( terutama memori jangkan pendel verbal), yang diyakini sebagai hasil dari
distrofin hadir atau disfungsional dalam otak.
10. Akhirnya kehilangan kemampuan untuk berjlan biasanya pada usia 12 tahun.
11. Cacat tulang Skeletal cacat termasuk scoliosis dalam beberapa kasus
F. Komplikasi
1. Dekompresis jantung dan kardiomiopati
2. Infeksi paru
3. Osteoporosis
4. Obesitas
5. Kontraktur
6. Skoliosis
7. Depresi
G. Prognosis
Prognosis dari DMP bervariasi tergantung dari janis DMP dan progresifitas
penyakitnya. Pada beberapa kasus dapat ringan dan memburuk sangat lambat, dengan
kehidupan normal, sedangkan pada kasus yang lain mungkin memiliki pemburukan
kelemahan otot yang bermakna, disabiliti fungsional dan kehilangan kemampuan
berjalan.
H. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tanda vital dalam
batas normal dengan gizi cukup. Pada Ekstremitas atas tampak atrofi otot bahu kanan
dan kiri, kontraktur fleksi pada siku lengan kanan dan kiri, sensabilitas normal, refleks
tendon biceps dan triceos kanan dan kiri negatif, dan kekuatan otot motoik kanan dan
kiri. Padah ekstremitas bawah tampak atrofi otot panggul kanan dan kiri, kontraktur
fleksi lutut kanan dan kiri, ekuinovarus regio betis kanan, sensabilitas normal, dan
kekuatan otot motorik kanan dan kiri. Pemeriksaan radiologi menunjukkan
kifoskoliosis thorakolumbal, dengan kesan penyempitan celah sendi genu bilateral,
serta disue osteoporotic pedis dan krurus bilateral.
I. Identifikasi Problem
1. Kelemahan otot
2. ROM menurun
3. Ambulasi terganggu
4. Kempuan fungsional terganggu
5. Fungsi respiratory terganggu
6. Problem / trauma emosional
J. Tujuan Terapi
1. Mencegah kecatatan sekunder
2. Meningkatkan kapasitas fungsional
3. Fasilitas perkembangan & support mental
4. Mengontrol rasa sakit akibat kelemahan
K. Intervensi Fisioterapi
Pada penderita DMP dapat dilakukan terapi konservatif, seperti fisioterapi, dengan
berbagai contoh latihan, diantaranya :
1. Stretching heel-cord
2. Lengthening tendon ascilles
3. Lengthening hip fleksor
4. Stretching illio tibialis
5. Stretching hamstring
6. Lengthening calf muscle

BAB IV
Spina Bifida
A. Definisi
Adalah defek pada penutupan columna vertebralis dengan atau tanpa tingkatan
protusi jaringan melalui celah tulang (Donna L. Wong, 2003)
Merupakan suatu kelainan bewaan berupa defek pada arcus tulang belakang
akibatkegagalan penutupan elemen saraf dari caalis spinalis pada perkembangan awal
embrio (Chairuddin Rasjad, 1998)
Spina bifida adalah cacat lahir yang ditandai dengan terbentuknya celah pada
tulang belakang bayi. Kelainan ini dipicu oleh pembentukan tulang belakang yang
tidak sempurna pada bayi selama dalam kandungan.
Perkembangan tidak sempurna ini disebut cacat tabung saraf (neural tube
defect). Pada kondisi normal, embrio akan membentuk tabung saraf yang kemudian
berkembang menjadi tulang belakang dan sistem saraf. Jika proses ini tidak berjalan
dengan lancar, beberapa ruas tulang belakang tidak bisa menutup dengan sempurna
sehingga menciptakan celah.
B. Patologi
1. Kekurangan asam folat.
2. Faktor keturunan. Orang tua yang pernah memiliki anak yang mengidap spina
bifida mempunyai risiko lebih tinggi untuk kembali memiliki bayi dengan jenis
kelainan yang sama.
3. Jenis kelamin. Kondisi ini lebih sering dialami oleh bayi perempuan.
4. Obat-obatan tertentu. Khususnya asam valproat dan carbamazepine yang
digunakan untuk epilepsi atau gangguan mental (seperti bipolar).
5. Diabetes. Wanita yang mengidap diabetes memiliki risiko lebih tinggi untuk
melahirkan bayi dengan spina bifida. Kadar glukosa berlebih dalam darah bisa
mengganggu perkembangan anak.
6. Obesitas. Obesitas pada masa sebelum kehamilan akan meningkatkan risiko
seorang wanita untuk memiliki bayi yang mengidap spina bifida.
C. Jenis dan bentuk celah Spina Bifida
1. Spina bifida okulta.
Jenis ini termasuk spina bifida yang paling ringan dan umum karena hanya
mengakibatkan terbentuknya celah kecil di antara ruas tulang punggung. Spina
bifida okulta umumnya tidak memengaruhi saraf sehingga pengidapnya cenderung
mengalami gejala ringan atau bahkan tanpa gejala.Satu atau beberapa vertebra
tidak terbentuk sacara normal, tetapi korda spialis dan seaputnya (meningens)
tidak menonjol Anomali ini paling sering pada daerah L5-S1.
2. Spina Bifida Cystica
Meningocele, penonjolan selaput pembungkus medula spinals melalu
Intervertebrata yang tidak utuh yang teraba sebagai penonjolan.
Melibatkan meningens, yaitu selaput yang bertanggung jawab untuk menutup
dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang.
3. Mielomeningocele
Ini merupakan jenis spina bifida yang paling serius. Pada jenis ini, kantung
yang terbentuk berisi cairan tulang belakang, membran pelindung, dan saraf
tulang belakang. Pada mieloskisis, kasus spina bifida terberat, kantung ini tidak
memiliki kulit. Akibatnya, bayi lebih rentan untuk mengalami infeksi yang bisa
mengancam jiwa.
D. Clinical Picture:
It will differ according to the level of lesion (most common site is lumbosacral
region)
1. Flaccid paralysis, muscle weakness, reflek tendon menurun atau tidak ada
2. Decreased or absent extroceptive & proprioceptive sensation
3. Rectal & bladder incontinence, Hydrocephalus, Sever vasomotor changes
4. Paralytic or congenital deformities as in club foot
5. Pressure ulceration due to poor sensation, Osteoporosis , soft tissue contracture
6. Physical emotion& mental delay
E. Prognosis:
With successful closure of simple meningeocele prognosis is good
Myelomeningeocele die from infection, if survive after proper closure stationary
disability
F. Impairments associated with spina bifida:
1. Perubahan fisiologis terjadi di bawah tiingkat lesi, perubahan tonus otot
2. Musculoskeletal deformities(Scoliosis), osteoporosis
3. Joint&extermity deformities, jaringan saraf yang rusak
4. Menurnnya pertumbuhan sendi
Complication
1- Hydrocephalus
2- Movement disorders, Deformity
3- Bowel& Bladder Disturbance
4- Social& Psychological problem
G. Masalah Fisoterapi
Muscle tone: hypotone untuk tungkai
Gerak: Kesulitan berjalan, saat bayi anak tidak bisa merangkak, kalau merangkak
seperti merayap, bila duduk posisi kaki seperti huruf ”w,”
sensasi: penurunan sensasi
keseimbangan: anak tampak aneh dalam perjalanan, sering jatuh, tersandung dan
menabrak, kesulitan mengikat sepatu, kesulitan memasang dan melepaskan kancing,
melempar dan menangkap bola, anak tampak lamban dalam bergerak halus dan kasar,
benda yang dipegang sering jatuh
postur: Skoliosis, club foot
H. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Pasif exercise
2. Latihan diatas Bola
3. Tillting Table
4. Latihan Berjalan
BAB V
1. Peran Fisioterapi Pada Autis
A. Pengertian
Autism atau autis atau autisma berasal dari kata Auto (yunani) yang berarti
berdiri sendiri. Ditemukan pertama kali oleh Dr. Leo Kanner di tahun 1943 yang
melihat anak-anak ini cenderung acuh, menyendiri dan seakan-akan hidup dalam
dunianya sendiri
Autisme atau biasa disebut Autistic Spectrum Disorder (ASD) merupakan
gangguan perkembangan fungsi otak yang komplex dan sangat bervariasi (spektrum).
Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi cara berkomunikasi, ber-interaksi
sosial dan kemampuan ber-imajinasi.
B. Penyebab
Hingga saat ini belum diketahui penyebab pasti dari autisme. Diperkirakan ada
sejumlah penyebab termasuk perkembangan otak dan faktor genetis. Berbagai
penelitian menemukan adanya perbedaan dalam perkembangan otak individu dengan
autisme dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya.
Belum ada bukti yang kuat bahwa autisme disebabkan oleh faktor lingkungan
seperti keracunan logam. Namun, faktor eksternal itu diduga bisa memicu autisme
pada anak yang memang punya kecenderungan genetis untuk mengalami autisme.
Satu hal yang pasti, autisme tidak disebabkan oleh pola asuh orang tua.
C. Gangguan Sistem Syaraf
1. Lobus pre frontal  gangguan perilaku
2. Area broca, wernicke  gangguan bicara
3. Amigdala  gangguan emosi
4. Hipokampus  gangguan belajar
5. Frontostriatal  perilaku stereotip, repetitif
6. Cerebellum/otak kecil  gangguan koordinasi
D. Ciri-ciri pada anak autis
1. Bermain yg tidak layak 5. Terlalu/kurang sensitif thd
2. Tidak dapat bermain bersama suara
3. Tertawa dan menangis yg tak 6. Keterikatan pada benda tertentu
wajar 7. Terlambat bicara
4. Terlalu aktif atau terlalu pasif 8. Menyukai rutinitas
9. Kurang sadar thd bahaya
Kriteria ASD :
1. Kurangnya komunikasi dan interaksi sosial, meliputi:
- Berkurangnya kemampuan sosial dan emosional
- Terganggunya perilaku komunikasi non-verbal yang digunakan untuk interaksi
sosial (integrasi komunikasi verbal dan non verbal yang parah sangat parah,
hilangnya kontak mata, bahasa tubuh dan ekspresi wajah)
- Kurangnya mengembangkan, mempertahankan dan mengerti hubungan
(kesulitan dalam bermain imajinatif, tidak adanya ketertarikan terhadap teman
sebaya)
2. Perilaku terbatas, pola perilaku repetitif, ketertarikan, atau aktifitas yang
termanifestasi minimal dua pola dari perilaku berikut:
- Gerakan motor repetitif atau stereotipi, penggunaan obyek atau bahasa
- Perhatian yang berlebihan pada kesamaan, rutinitas yang kaku atau pola
perilaku verbal atau nonverbal yang diritualkan
- Sangat terbatas, terpaku pada ketertarikan dengan intensitas atau fokus yang
tidak normal
- Hiperaktifitas/hipoaktifitas pada masukan sensoris atay ketertarikan yang tidak
biasa aspek sensoris pada lingkungan
3. Gejala harus muncul pada periode perkembangan awal
4. Gejala menyebabkan gangguan yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan
atau hal penting dalam kehidupan
5. Gangguan ini tidak disebabkan oleh disabilitas intelektual atau keterlambatan
perkembangan global. Disabilitas intelektual dan gangguan spektrum autisme
sering muncul bersamaan.
E. Patofisiologi
1. Gangguan perkembangan motorik
2. Gangguann sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi
(perhatian)
3. Gangguan koordinasi gerak dan perilaku (perilaku yang diulang – ulang),
hiperaktif
4. Gangguan fungsi control terhadap agresi dan emosi (Handojo, 2004)
F. Pemeriksaan Fisioterapi
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Spesifik fisiopedi:
a. Pemeriksaan reflek primitif
b. Pemeriksaan Sistem sensoris : Visual, Audiotori, Olfactory, Gustatory, Tactil,
Propriosetif, Vestibular.
c. Pemeriksaan Profil Motorik : Tonus Postural, Kontrol postural, Koordinasi
gerak, Keseimbangan gerak, Motorik kasar, Motorik halus
d. Pemeriksaan Perilaku Abnormal : stereotip/ stimulasi diri, Melukai diri,
Agresif/tantrum, perilaku menentang, perilaku anti sosial.
G. Prognosis
ASD adalah sebuah kondisi yang berlangsung sepanjang hidup. Sangat sedikit
studi longitudinal dari prognosis tentang autis telah dilakukan.
Longitudinal data dari autism cohorts menunjukkan bahwa sekitar 15% dari
autism dewasa akan mampu menjalani hidup mandiri. Sedangkan 15% sampai 20%
akan menjalani hidup dengan dukungan komunitas .
Prognosis ditentukan oleh ada tidaknya gangguan intelektual dan bahasa
(misalnya berbahasa fungsional pada usia 5 tahun merupakan tanda prognosis baik)
serta adanya masalah kesehatan mental lainnya.
H. Problematik Fisioterapi
1. Dissinkronisasi sistem neuromuskular
2. Melemahnya Regulasi tonus otot
3. Masalah postural control
4. Melemahnya koordinasi motoric
5. Permasalahan dalam sistem visual dan auditory persepsi
6. Keterlambatan perkembangan reflek

2. Down Syndrome
Trisomi 21
A. Karakteristik Down Syndrome
1. Struktur wajah lebih datar
2. Kepala dan telinga kecil
3. Leher pendek
4. Lidah menggembung
5. Mata miring ke atas
6. Bentuk telinga tidak normal
7. Pergerakan pasif karena otot yang lebih lemah
B. Etiologi
1. gg.metab & endokrin
2. genetik/ krom abnormal
3. CNS mall formasi
C. Klasifikasi IQ , Dorland,1985
1. Border Line 68-83 (sejak SD tinggal kelas)
2. Ringan 52-67 (max SMP)
3. sedang 36-51 (kelas khusus)
4. Berat 20-35 , <20 (perintah tdk sampai)
D. IQ mnrt Wooworth-Marquis,
1. >140 Luar biasa/ Jenius
2. 120-139 Cerdas sekali/ very sup
3. 110-119 Cerdas/ sup
4. 90-109 Sedang/ average
5. 80-89 Bodoh
6. 70-79 Border Line
7. 50-69 Debil (mongoloid)
8. 30-49 Ambisil (mongoloid)
9. <30 Idiot
E. Perubahan Motoris
Bln 1, hipotonus (malas)
Selanjutnya perkembangan mot general terhambat
F. Tanda Awal
1. Feeding problem (Sucking R min)
2. Gg. Respon sosial (selfcare, intersosial)
3. Banyak tidur, banyak nangis (neonatus normal 18 jm}
4. Gg. Sensoris (mis.lapar ga respon)
5. Emosi min
6. Reflex min/ areflex (krn hipotonus)
7. Stereotip action (grk sama & diulang-ulang)
G. Problem Utama
HIPOTONUS
1. ↓ act, grk lambat
2. Reflex primitif ada dominasi, tp respon ber-
3. TX :
- Deep tapping t.u pd muscle belly
- Quick icing (>cepat kontraksi)
- Hubbart Tank, semprotan, ad reaksi melawan
- Sensory Feed Back,lat kepekaan & fokus
GG KESEIMBANGAN
-1. ke arah hipermobil
2. TX : Perbaikan stabilisasi
- aproximasi
- placing (pertahankan posisi tertentu)
- WB / close chain
- stimulasi otot stabilisator sendi
BAB VI
Terapi Latihan (Neuro Developmental Treatment-Bobath, Propriceptive Neuromuskular
Fasicilitation, Aquatic Therapy)
Metode ini khususnya ditujukan untuk menangani gangguan system saraf pusat pada bayi
dan anak-anak (Sheperd, 1997). Agar lebih efektif, penanganan harus dimulai secepatnya
(Bobath dan Kong, 1967, dikutip oleh Sheperd, 1997), sebaiknya sebelum anak berusia 6
bulan. Hal ini sesungguhnya masih efektif untuk anak pada usia yang lebih tua, namun
ketidaknormalan akan semakin tampak seiring dengan bertambahnya usia anak dengan
cerebral palsy dan biasanya membawa terapi pada kehidupan sehari-hari sangat sulit dicapai
(Sheperd, 1997).

Metode ini dimulai dengan mula-mula menekankan reflek-reflek abnormal yang patologis
menjadi penghambat terjadinya gerakan-gerakan normal. Anak harus ditempatkan dalam
sikap tertentu yang dinamakan Reflek Inhibiting Posture (RIP) yang bertujuan untuk
menghambat tonus otot yang abnormal (Trombly, 1989).

Handling digunakan untuk mempengaruhi tonus postural, mengatur koordinasi, menghinbisi


pola abnormal, dan memfasilitasi respon otomatis normal. Dengan handling yang tepat, tonus
serta pola gerak yang abnormal dapat dicegah sesaat setelah terlihat tanda-tandanya
(Trombly, 1989).

Key Point of Control yaitu titik yang digunakan terapis dalam inhibisi dan fasilitasi. KPoC
harus dimulai dari proksimal ke distal/bergerak mulai dari kepala-leher-trunk-kaki dan jari
kaki. Dengan bantuan KPoC, pola inhibisi dapat dilakukan pada penderita cerebral palsy
dengan mengarahkan pada pola kebalikannya (Trombly, 1989).

Metode NDT mempunyai beberapa teknik :

1. Inhibisi dari postur yang abnormal dan tonus otot yang dinamis,

2. Stimulasi terhadap otot-otot yang mengalami hypertonik ,

3. Fasilitas pola gerak normal (Rood, 2000)

Prinsip-prinsip NDT:
1. Kemampuan mekanik setelah mengalami lesi atau dengan menggunakan penanganan yang
tepat memungkinkan untuk diperbaiki

2. Lesi pada susunan saraf pusat menyebabkan gangguan fungsi secara keseluruhan namun
dalam NDT yang ditangani adalah motorik.

3. Spastisitas dalam NDT dipandang sebagai gangguan dari sikap yang normal dan kontrol
gerakan.

4. Pembelajaran pada gerakan yang normal merupakan dasar gerakan dapat dilakukan jika
tonus normal.

5. Mekanisme Postural Reflex yang normal merupakan dasar gerakan yang normal.

6. Otot tidak tahu fungsi masing-masing otot tapi pola geraknya.

7. Gerakan dicetuskan di sensoris dilaksanakan oleh motorik dan dikontro oleh sensoris.

Tujuan konsep NDT :

1. Memperbaiki dan mencegah postur dan pola gerakan abnormal.

2. Mengajarkan postur dan pola gerak yang normal.

Prinsip terapi dan penanganan :

1. Simetris dalam sikap dan gerakan

2. Seaktif mungkin mengikuti sertakan sisi yang sakit pada segala kegiatan.

3. Pemakaian gerakan-gerakan ADL dalam terapi.

4. Konsekuensi selama penanganan (ada tahap-tahap dalam terapi).

5. Pembelajaran bukan diarahkan pada gerakannya, tetapi pada perasaan gerakan.

6. Terapi dilakukan secara individu

Teknik terapi:
Metode NDT mempunyai beberapa teknik : 1) Inhibisi dari postur yang abnormal dan tonus
otot yang dinamis, 2) Stimulasi terhadap otot-otot yang mengalami hypertonik , 3) Fasilitas
pola gerak normal (Rood, 2000).

1. Inhibisi

Suatu upaya untuk menghambat dan menurunkan tonus otot. Tekniknya disebut Reflex
Inhibitory Paternt. Perubahan tonus postural dan patern menyebabkan dapat bergerak lebih
normal dengan menghambat pola gerak abnormal menjadi sikap tubuh yang normal dengan
menggunakan teknik “Reflex Inhibitory Pattern”.

2. Fasilitasi

Upaya untuk mempermudah reaksi-reaksi automatik dan gerak motorik yang sempurna pada
tonus otot normal. Tekniknya disebut “Key Point of Control”.

Tujuannya:

a. Untuk memperbaiki tonus postural yang normal.

b. Untuk memelihara dan mengembalikan kualitas tonus normal.

c. Untuk memudahkan gerakan-gerakan yang disengaja, diperlukan dalam aktifitas sehari-


hari.

3. Stimulasi

Yaitu upaya untuk memperkuat dan meningkatkan tonus otot melalui propioseptif dan taktil.
Berguna untuk meningkatkan reaksi pada anak, memelihara posisi dan pola gerak yang
dipengaruhi oleh gaya gravitasi secara automatic. Tapping: ditujukan pada group otot
antagonis dari otot yang spastic. Placcing dan Holding: Penempatan pegangan. Placcing
Weight Bearing: Penumpukan berat badan.
BAB VII

Sensori itegration

Sensory integration (SI) adalah sebuah proses otak alamiah yang tidak disadari. Dalam proses ini
informasi dari seluruh indera akan dikelola kemudian diberi arti lalu disaring, mana yang penting dan
mana yang diacuhkan. Proses ini memungkinkan kita untuk berprilaku sesuai dengan pengalaman
dan merupakan dasar bagi kemampuan akademik dan prilaku social. Sensory integration adalah
pengorganisasian sensasi untuk penggunaan sebuah proses yang berlangsung di dalam otak yang
memungkinkan kita memahami dunia kita dengan menerima, mengenali, mengatur, menyusun dan
menafsirkan informasi yang masuk ke otak melalui indra kita. Pengintegrasian sensoris adalah dasar
untuk memberikan respon adaptif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan dan
pembelajaran Sensory integration adalah proses pengorganisasian masukan sensorik. Fungsi
pembelajaran tergantung pada kemampuan anak untuk memanfaatkan informasi sensorik yang di
dapat dari lingkungannya. Mengintegrasikan informasi kemudian menjadi rencana adalah sebuah
bentuk tujuan perilaku. Intervensi integratif sensorik, stimulasi vestibular, pendekatan terapi
perkembangan saraf merupakan metode yang efektif digunakan sebagai terapi okupasi / fisioterapi.

Tabel 1. Elemen inti terapi sensori integrase

Elemen inti Deskripsi sikap dan perilaku terapis


Memberikan Memberikan kesempatan pada anak untuk mengalami berbagai pengalaman
rangsangan sensori, yang meliputi taktil, vestibular, dan/atau proprioseptif; intervensi yang
sensori diberikan melibatkan lebih dari satu modalitas sensori.
Memberikan Memberikan aktivitas yang bersifat menantang, tidak terlalu sulit maupun
tantangan terlalu mudah, untuk membangkitkan respons adaptif anak terhadap tantangan
yang tepat sensori dan praksis.
Kerjasama Mengajak anak berperan aktif dalam proses terapi, memberikan kesempatan
menentukan pada anak mengontrol aktivitas yang dilakukan, tidak menetapkan jadwal dan
pilihan rencana terapi tanpa melibatkan anak.
aktivitas
Memandu Mendukung dan memandu anak untuk mengorganisasi perilaku secara mandiri,
organisasi memilih dan merencanakan perilaku yang sesuai dengan kemampuan anak,
mandiri mengajak anak untuk berinisiatif, mengembangkan ide, dan merencanakan
aktivitas.
Menunjang
stimulasi Menjamin lingkungan terapi yang kondusif untuk mencapai atau
optimal mempertahankan stimulasi yang optimal, dengan mengubah lingkungan atau
aktivitas untuk menarik perhatian anak, engagement, dan kenyamanan.

BAB VIII
BAB IX
BAB X
BAB XI
SCOLIOSIS

B. Definisi
Perubahan kurva tulang belakang kearah lateral diikuti dengan rotasi adalah
SCOLIOSIS
1. ± 4% populasi, 10-15 years, kebanhyakan perempuan
2. Perkembangan dari penyakit yang mulai ada sejak kecil, misalnya scoliosis
yang tak tertangani dengan baik. Kurva dapat mengenai thoracic, lumbar, or
bith
3. Adanya asimetri degeneratif dari spinal elements. Bisa karena osteoporosis
(porous bone), disc degeneration, compression fracture, atau combinasi.
Biasanya mengenai lumbar spine dapat mempengaruhi panjang vertebra,
bentuk, atau stuctural integritas.
4. Scoliosis adalah penyakit 3 dimensi yang sangat komplek, walaupun
prinsipnya berasal dari kurva kearah lateral, yang kemudian membuat bertebra
berputar
5. Perputaran vertebra akan merubah bentuk dan volume dari rongga thorac
maupun ronga abdominal
6. Sehingga berujung pada organ-organ didalamnya, misalnya berkurangnya
kinerja sistem cardio pulmonal, Heart, back pain
C. Dampak
1. Menyebabkan distorsi costae
2. pengaruh dengan pencernaan, muscular, Cardio respiratory, bones and
neurological
3. Deformitas sangkar thorak, nafas pendek, gangguan pencernaan
4. Kelelahan kronik, nyeri punggung bawah, nyeri menjalar ke tungkai
5. Gangguan keseimbangan
D. Patologi
1. Idiophathic
2. Neuromusculair
3. congenital
Terminologi Curva:
a. Primary/major curve  kurva “C”
b. Double major curve  kurva double “C” (“S”)
c. Compensatory curve  kurva triple “C”
d. Decompensation  garis kurva keluar dr midline
Jenis kerusakan:
e. Fungsional  kurva hilang bila: (1) berbaring, (2) menggelantung, (3)
diluruskan sendiri
f. Struktural
E. Skoliosis
Struktural
1. Dijumpai adanya perubahan pada collumna vertebralis
2. Corpus vertebra kanan dan kiri ketebalannya tidak sama
3. Curve akan tetap meskipun pasien pada posisi berbaring / meggelantung
4. Penyebab utama : anak = bawaan, dewasa = degenerasi osteoporosis
5. Gangguan ketidakmampuan pengembangan thorax → gangguan respirasi
6. Proc. Spinosus vertebra tidak lurus
7. Shoulder asymestris
8. Scapula menonjol & elevasi pada samping yang convex
9. Bengkok ke ateral & rotasi dari corpus ke heterolateral
10. Seringkali dijumpai nyeri punggung tengah
11. Karena terjadi perbedaan penjang tungkai sehingga crista illiaa kanan kiri
tiak selevel (miring)
F. Pemeriksaan
1. Panjang Tungkai
2. Kelurusan vertebrae dari C7 sampai sacrum
3. Palpasi struktur vertebrae, costa, otot-otot para vertebrae .
4. Luas gerak sendi fleksi, ekstensi, lateral fleksi, rotasi.
5. Pengukuran derajat scoliosis
G. Penatalaksanaan
1. Exercise
b. Mobility - ROM
c. Streching - shortening
d. Strengthening - weakness
2. Electrical stimulation
Weak muscle – daerah convec
3. Braces
a. 24 hours minus mandi
b. Harus dengan Exercise
4. Surgical
a. Distraction
b. Spinal Fusion
5. Terapi:
a. Pain dumping: TENS, SWD
b. Massage: Effleurage, “dwars friction”
c. Tx.Latihan: (1) pendekatan unilateral ->arah ke samping, (2) pendekatan
bilateral -> penguatan dan penguluran bersama arah latihan ke cranial dan
ventral
d. Bracing: (1) kurva < 250, (2) usia < 40 th, (3) 3 point principle. Misalnya:
i. milwaukee brace/CTLSO, boston jacket/TLSO.
ii. Lama bracing 12 jam/hr  saat aktivitas  u/ koreksi dan u/
counter
e. Tripoint principle : counter,correction, counter

BAB XII
BAB XIII
BAB XIV
Mendeteksi Gangguan Tumbuh Kembang Pada Anak

F. Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang

Deteksi dini merupakan upaya penjaringan yang dilaksanakan secara komprehensif


untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta mengenal
faktor resiko pada balita, yang disebut juga anak usia dini

1. Pengukuran Pertumbuh

a) Pengukuran Berat Badan (BB)

b) Pengukuran Tingi Bandan (TB)

c) Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA)

2. Deteksi Dini Perkembangan

a) Fine Motor/adaptive

b) Gross Motor

c) Language

d) Personal Social

G. Developmental Delay – Keterlambatan Tumbuh Kembang

3. Keadaan terlambat perkembangan yang bermakna pada dua atau lebih dari ranah
perkembangan (global developmental delay)

c) 5 – 10% anak diperkirakan mengalami keterlambatan perkembangan

d) 1 – 3% anak dibawah usia 5 th mengalami keterlambatan perkembangan


umum

Aspek Perkembangan

e) Motorik kasar : sitting, walking, jumping, and overall large muscle movement

f) Motorik halus : eye hand coordination, manipulation of small objects, and


problem solving

g) Bahasa / bicara : hearing, understading, and using languange

h) Personal sosial / kemandirian : getting along with people and caring for personal
needs

4. Tanda bahaya perkembanan


Motorik kasar :

f) Gerakan yang asimetris atau tidak seimbang misalnya antara anggota tubuh
bagian kiri dan kanan.

g) Menetapnya refleks primitif (refleks yang muncul saat bayi) hingga lebih dari
usia 6 bulan

h) Hiper / hipotonia atau gangguan tonus otot

i) Hiper / hiporefleksia atau gangguan refleks tubuh

j) Adanya gerakan yang tidak terkontrol

Motorik Halus :

e) Bayi masih menggenggam setelah usia 4 bulan

f) Adanya dominasi satu tangan (handedness) sebelum usia 1 tahun

g) Eksplorasi oral (seperti memasukkan mainan ke dalam mulut) masih sangat


dominan setelah usia 14 bulan

h) Perhatian penglihatan yang inkonsisten

Tanda bahaya bicara dan bahasa

d) Kurangnya kemampuan menunjuk untuk memperlihatkan ketertarikan terhadap


suatu benda pada usia 20 bulan

e) Ketidakmampuan membuat frase yang bermakna setelah 24 bulan

f) Orang tua masih tidak mengerti perkataan anak pada usia 30 bulan

Tanda bahaya gangguan sosio-emosional

h) 6 bulan: jarang senyum atau ekspresi kesenangan lain

i) 9 bulan: kurang bersuara dan menunjukkan ekspresi wajah

j) 12 bulan: tidak merespon panggilan namanya

k) 15 bulan: belum ada kata

l) 18 bulan: tidak bisa bermain pura-pura

m) 24 bulan: belum ada gabungan 2 kata yang berart

n) Segala usia: tidak adanya babbling, bicara dan kemampuan bersosialisasi /


interaksi

Tanda bahaya gangguan kognitif :


g) 2 bulan: kurangnya fixation

h) 4 bulan: kurangnya kemampuan mata mengikuti gerak benda

i) 6 bulan: belum berespons atau mencari sumber suara

j) 9 bulan: belum babbling seperti mama, baba

k) 24 bulan: belum ada kata berarti

l) 36 bulan: belum dapat merangkai 3 kata

H. Faktor-faktor pencetus Delay Development

3. Genetik

4. Lingkungan (Bio-fisiko-psikososial)

h) pre-peri-post natal

i) Keluarga

j) Masyarakat

k) Lingk. Biologis

l) Lingk. Fisik

m) Ekonomi-politik

n) ASAH, ASIH, ASUH

I. Tujuan dari Fisioterapi

Meningkatkan kemampuan fungsional agar pasien mampu hidup mandiri sehungga


dapat mengurangi ketergantungan tehadap orang lain

J. Pemeriksaan Fisioterapi Untuk Delay Development

5. Anamnesis: (pre natal, natal, post natal)

6. Pemeriksaan fisik:

f) Vital sign : LK (Lingkar Kepala), LLA, TB, BB, HR, RR, Suhu

g) Inspeksi :

h) Palpasi

i) Perkusi

j) Auskultasi
7. Pemeriksaan gerak dasar

8. Pemeriksaan spesifik :

d) Pemeriksaan sensoris : Visual, Auditory, Touch, Smell, Taste, Tactile,


Propioceptive, Vestibular

e) Pemeriksaan Reflek

f) Pemeriksaan Kekuatan otot : Children’s Memorial Hospital USA (XOTR),


dimana.

Anda mungkin juga menyukai