Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini kejadian serangan jantung maupun kecelakaan sangat
meningkat khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Basic Life
Support (BLS) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Bantuan Hidup
Dasar (BHD) merupakan usaha yangdilakukan untuk mempertahankan
kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami keadaan yang mengancam
jiwa. Di luar negeri BLS/BIID ini sebenamya sudah banyak diajarkan pada
orang-orang awam atau orang-orang awam khusus, namun sepertinya hal ini
masih sangat jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia.
Basic Life Support merupakan usaha untuk mempertahankan kehidupan
saat penderitamengalami keadaan yang mengancam nyawa dan atry alat gerak.
Pada kondisi napas dandenyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan
tansportasi oksigen berhenti, sehinggadalam waktu singkat organ-organ tubuh
terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal
bagi korban dan mengalami kerusakan.
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak
hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika
dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan
glukosa maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak
berarti pula kematian si korban. Oleh karena ifi golden period (waktu emas)
pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10
menit.Artinya dalam watu kurang dari l0 menit penderita yang mengalami
henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan
pertolongan.Jika tidalq maka harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun
pertolongan yang harus dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas
dan henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru (RIF).
Resusitasi jantung paru (RIP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
Mengembalikan fungsi pemafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung
paru otak dibagi dalamttiga fase : bantuan hidupdasar, bantuan hidup lanjut,
bantuan hidup jangka lama

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian BHD dan BHL?
2. Bagaimana tindakan A B C D di lapangan?
3. Bagaimana penanganan RJP di lapangan?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari BHD dan BHL
2. Mengetahui tindakan A, B, C, D di lapangan
3. Mengetahui penanganan RJP di lapangan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup Lanjut (BHL)
1. Bantuan hidup dasar / BHD 

Adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway)


tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan
alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat
keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan
sirkulasi dan ventilasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat
mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya
sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa
resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan “henti
jantung” yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan
oleh orang yang berada di sekitar korban.
2. Bantuan hidup lanjut / BHL 
Adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha hidup dasar
dengan memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien.

2.2 Tindakan A B C D di Lapangan

Resusitasi jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :


a. Survei Primer (Primary Survey), yang dapat dilakukan oleh setiap orang
b. Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh
tenaga medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei
primer.

1. Survei Primer
Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan
sirkulasi serta defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan
survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu
A airway (jalan napas)
B breathing (bantuan napas)
C circulation (bantuan sirkulasi)
D defibrilation (terapi listrik)
Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu
dilakukan prosedur awal pada korban/pasien, yaitu :
a) Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong
b) Memastikan kesadaran dari korban/pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong
harus melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran
korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan
bahu korban/pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah
pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! /
Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.
c) Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap
panggilan, segera minta bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!”
untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang lebih lanjut.
d) Memperbaiki posisi korban/pasien.
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban/pasien harus
dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan
keras. jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap,
ubahlah posisi korban ke posisi terlentang. Ingat! penolong harus
membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan
bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang,
korban harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur
yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
e) Mengatur posisi penolong.
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan
bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi
atau menggerakkan lutut.
Tindakan A B C D
A. A  (AIRWAY) Jalan Napas
Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan
dengan melakukkan tindakan :
1. Pemeriksaan jalan napas.
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan
jalan napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus
dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat
dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi
dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat
dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan.
Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari
diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada mulut korban.
2. Membuka jalan napas.
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing,
biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka
lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah
satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh
lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala topang dagu
(Head tild – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula.
Teknik membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang
awam dan petugas, kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu,
namun demikian petugas kesehatan harus dapat melakukan
manuver lainnya.

B. B  (BREATHING) Bantuan napas


Terdiri dari 2 tahap :
1. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada, mendengar
bunyi napas dan merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk
itu penolong harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung
korban/pasien, sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap
terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.
2. Memberikan bantuan napas.
Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan
melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma
(lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan
hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 – 2 detik dan
volume udara yang dihembuskan adalah 7000 – 1000 ml (10
ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang.
Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan
menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%.
Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban/pasien
setelah diberikan bantuan napas.
Cara memberikan bantuan pernapasan :
1. Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini
merupakan cara yang tepat dan efektif untuk memberikan
udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan
hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus
mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut
penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban
dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat
mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup
lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang
dewasa adalah 700 – 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara
yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat
menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi
distensi lambung.
2. Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut
korban tidak memungkinkan, misalnya pada Trismus atau
dimana mulut korban mengalami luka yang berat, dan
sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus
menutup mulut korban/pasien.
3. Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang
(stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit.
Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus
dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

C. C (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi


Terdiri dari 2 tahapan :
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban/pasien.
Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan
meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau
tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba
pertengahan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari
digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1 – 2 cm raba dengan
lembut selama 5 – 10 detik.
Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa
pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah kepala
topang dagu untuk menilai pernapasan korban/pasien. Jika tidak
bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan
jalan napas.
2. Memberikan bantuan sirkulasi.
Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat
diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung
luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
1. Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang
iga kanan atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada
(sternum).
2. Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2
atau 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk
meletakan tangan penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.
3. Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk
satu telapak tangan di atas telapak tangan yang lainnya, hindari
jari-jari tangan menyentuh dinding dada korban/pasien, jari-jari
tangan dapat diluruskan atau menyilang.
4. Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada
korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak
15 kali dengan kedalaman penekanan berkisar antara 1.5 – 2 inci
(3,8 – 5 cm).
5. Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada
dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula setiap kali
melakukan kompresi dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk
melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat melakukan
kompresi. (50% Duty Cycle).
6. Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah
posisi tangan pada saat melepaskan kompresi.
7. Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 15 : 2,
dilakukan baik oleh 1 atau 2 penolong jika korban/pasien tidak
terintubasi dan kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit
(dilakukan 4 siklus permenit), untuk kemudian dinilai apakah perlu
dilakukan siklus berikutnya atau tidak.
Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai
tekanan sistolik 60 – 80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah,
sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah
jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan
dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan
sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

D. D (DEFIBRILATION)
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
istilah defibrilasi adalah suatu terapi dengan memberikan energi listrik.
Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah
kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa
sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat
digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External
Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui korban henti jantung
ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi
alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan
defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi saja.

2.3 Penanganan Resusitasi Jantung Paru


1. Definisi 
Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya
dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu
episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Tindakan yang
dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung Resusitasi Jantung
Paru (RJP) merupakan gabungan penyelamatan pernapasan (bantuan napas)
dengan kompresi dada eksternal. RJP digunakan ketika seorang korban
mengalai henti jantung dan henti napas.

2. Klasifikasi 
Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni :
1. Bantuan hidup dasar / BHD 
2. Bantuan hidup lanjut / BHL 
3. Penyebab 
Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah :
1. Infark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac
standstill, aritmia lain, renjatan dan edema paru.
2. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.
3. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular.
4. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru
berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks,
kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat.
5. Gagal ginjal, karena hyperkalemia

Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas.


Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan telah terjadi, denyut jantung
masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti
jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi
45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal terjadi
dalam waktu 1 menit 45 detik. 

Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan sudah
terjadi 50 % kerusakan otak irreversibel.Resusitasi jantung paru bertujuan
untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi, dan penanganan
akibat henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest),
yang mana fungsi tersebut gagal total oleh sebab yang memungkinkan untuk
hidup normal. 
Adapun sebab henti nafas adalah :
1.  Sumbatan Jalan Nafas 
Bisa disebabkan karena adanya benda asing, aspirasi, lidah yang
jatuh ke belakang,pipa trakhea terlipat, kanula trakhea tersumbat, kelainan
akut glotis dan sekitarnya (sembab glotis, perdarahan).
2.  Depresi pernafasan Sentral
Obat, intoksikasi, Pa O2 rendah, Pa CO2 tinggi, setelah henti
jantung, tumor otak dan tenggelam.Perifer : obat pelumpuh otot, penyakit
miastenia gravis, poliomyelitis.

4. Tanda dan Gejala 


1. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
2. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa
atau brakialis pada bayi)
3. Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
4. Terlihat seperti mati (death like appearance)
5. Warna kulit pucat sampai kelabu
6. Pupil dilatasi (setelah 45 detik) . 

Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai


ketidak sadaran dan tak teraba denyut arteri besar :

1. Tekanan darah sistolik 50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut


nadi yang dapat diraba.
2. Aktivitas elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun
tidak ada kontraksi mekanis, terutama pada asfiksia.
3. Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap.
4. Bila ragu-ragu, mulai saja RIP.

5. RJP yang Tidak Efektifa dan Komplikasinya


RJP yang efektif tidak berarti bahwa pasien harus hidup. Banyak
korban yang mendapatkan usaha resusitasi yang baik tidak dapat pulih ( tidak
hidup). Kesempatan pasien untuk hidup menjadi lebih besar jika RJP
dilakukan secara efisien.

Jika usaha RJP tidak efektif, biasanya disebabkan masalah-masalah


seperti di bawah ini: 
1.  Posisi kepala korban tidak sesuai dengan posisi head-tilt pada waktu
diberikan napas buatan;
2.  Mulut korban kurang terbuka lebar untuk pergantian udara;
3.  Mulut penolong tidak melingkupi mulut korban secara erat;
4.  Hidung korban tidak ditutup selama pemberian napas buatan;
5.  Korban tidak berbaring diatas alas yang keras;
6.  Irama kompresi yang tidak teratur.

Cedera pada tulang iga merupakan komplikasi yang sering terjadi


pada RJP. Apabila tangan ditempatkan terlalu keatas dari titik kompresi,
maka patah tulang pada bagian atas sternum dan clavicula mungkin terjadi.
Apabila tangan terlalu rendah maka proc. xiphoid mungkin dapat
mengalami fraktur atau tertekan kebawah menuju hepar yang dapat
mengakibatkan laserasi (luka) disertai perdarahan dalam.

Apabila tangan ditempatkan terlalu jauh dari titik kompresi atau


meleset satu dari lainnya maka costa atau kartilagonya dapat mengalami
patah.Meskipun RJP dilakukan secara benar, masih terdapat kemungkinan
terjadinya patah tulang iga atau terpisahnya kartilago dari perlekatannya.
Jika terdapat kasus sepert ini, jangan hentikan RJP. Karena korban lebih
baik mengalami patah beberapa tulang iga dan hidup daripada korban
meninggal karena anda tidak melanjutkan RJP karena takut akan adanya
cedera tambahan. Masalah distensi gaster juga sering terjadi.

6. Penatalaksanaan RJP 
Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang
mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh
karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita,
memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. Pada
penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan
resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.

1.  Resusitasi dilakukan pada :


a. Infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”
b. Serangan Adams-Stokes
c. Hipoksia akut
d. Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
e. Sengatan listrik
f. Refleks vagal
g.Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi
peluang untuk hidup. 

2.  Resusitasi tidak dilakukan pada :


a. Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau
kronik yang berat.
b. Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
c. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih,
yaitu sesudah ½ – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa
RJP.

Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD


sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan
nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang
betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah
ABC RJP dimulai dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas
dan tidak ada nadi. 
Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi jantung paru
adalah sebagai berikut :

1.  Airway (Jalan nafas) 


Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan
nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh
mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena
sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan.
Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini.Bila tindakan ini tidak
menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan. 

Caranya ialah :

a. Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,


b. Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
c. Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau
hidung.
d. Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada
pada bagian puncak kepala korban. 

Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke


samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke
mulut atau mulut ke hidung.

2.  Breathing (Pernafasan) 


Dalam melakukan pernafasan mulut ke mulut penolong
menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar
kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban
(dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke
belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara
ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif,
sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu
kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.

Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong,


yaitu perhatikan :

a. Gerakan dada waktu membesar dan mengecil


b. Merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu
mengembang
c. Dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
d. Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru
korban mengecil sampai batas habis.

3.  Circulation (Sirkulasi buatan) 


Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti
jantung (cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara
tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan
darurat yang paling gawat.

Sebab-sebab henti jantung :


a. Afiksi dan hipoksi
b. Serangan jantung
c. Syok listrik
d. Obat-obatan
e. Reaksi sensitifitas
f.  Kateterasi jantung
g. Anestesi.

Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus


diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi
henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari
tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan
sirkulasi buatan.

Henti jantung diketahui dari :


1. Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
2. Korban tidak sadar
3. Korban tampak seperti mati
4. Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.

Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama


membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban
tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut arteri
carotis. 

Perabaan arteri carotis lebih dianjurkan karena : 


1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan
pernafasan buatan
2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut
sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.

Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut


nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai
sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar
harus disertai dengan pernafasan buatan. 

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC pada


RJP tersebut adalah :
1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali
bila ia sudah stabil
3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena
dapat berakibat robeknya hati
4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat
pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur
dan tidak terputus
6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP.

ABC pada RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung
dapat memberi kemungkinan beberapa hasil :
1. Korban menjadi sadar kembali
2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP
yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak
betul pelaksanaannya.
3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung
spontan. 

Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu


bantuan hidup lanjut (BHL).Pengajaran resusitasi jantung paru (RJP)
dibagi dalam 3 fase, yaitu : 
1. Bantuan Hidup Dasar (BDH).
2. Bantuan Hidup Lanjut (BHL).
3. Bantuan Hidup Jangka Lama. Dan dalam 9 langkah dengan
menggunakan huruf abjad dari A sampai I. 

Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari :


(A) Airway Control : penguasaan jalan nafas. 
(B) Breathing Support : ventilasi bantuan dan oksigen paru darurat. 
(C) Circulation Support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan
pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian
perdarahan dan posisi untuk syok. 

Fase II : untuk memulai sirkulasi spontan terdiri dari : 


(D)  Drugs and Fluid Intravenous Infusion : pemberian obat dan cairan
tanpa menunggu hasil EKG. 
(E) Electrocardioscopy (Cardiography). 
(F) Fibrillation Treatment : biasanya dengan syok listrik (defibrilasi). 

Fase III : untuk pengelolaan intensif pasca resusitasi, terdiri dari : 


(G) Gauging : menetukan dan memberi terapi penyebab kematian dan
menilai sejauh mana pasien dapat diselamatkan. 
(H) Human Mentation : SSP diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi
otak yang baru dan 
(I) Intensive Care : resusitasi jangka panjang.

Fase I (Bantuan Hidup Dasar)


Bila terjadi nafas primer, jantung terus dapat memompa darah
selama beberapa menit dan sisa O2 yang berada dalam paru darah akan
terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban
dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti
jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang
tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti jantung
dapat disertai dengan fenomena listrik berikut : fibrilasi fentrikular,
takhikardia fentrikular, asistol ventrikular atau disosiasi elektromekanis.

Penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi


meliputi posisi pembukaan jalan nafas buatan dan kompresi dada luar
dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang
tepat. Setiap langkah ABC RJP dimulai dengan penentuan tidak ada
respon, tidak ada nafas dan tidak ada nadi. Pada korban yang tiba- tiba
kolaps, kesadaran harus segera ditentukan dengan tindakan goncangan
atau teriak yang terdiri dari menggoncangkan korban dengan lembut dan
memanggil keras. Bila tidak dijumpai tanggapan hendaknya korban
diletakkan dalam posisi terlentang dan ABC BHD hendaknya dilakukan.
Sementara itu mintalah pertolongan dan bila mungkin aktifitaskan sistem
pelayanan medis darurat. 

Tindakan BHD
1.  Airway (Jalan Nafas) 
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior
faring adalah merupakan persoalan yang sering timbul pada pasien yang
tidak sadar dengan posisi terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila
sumbatan tidak diatasi. Tiga cara telah dianjurkan untuk menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka yaitu dengan metode ekstensi kepala angkat leher,
metode ekstensi kepala angkat dagu dan metode angkat dagu dorong
mandibula, dimana metode angkat dagu dorong mandibula lebih efektif
dalam membuka jalan nafas atas daripada angkat leher.

Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan


metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada
pasien dengan dugaan patah tulang leher. Bila korban yang tidak sadar
bernafas spontan dan adekuat dengan tidak ada sianosis, korban sebaiknya
diletakkan dalam posisi mantap untuk mencegah aspirasi. Bila tidak
diketahui atau dicurigai ada trauma kepala dan leher, korban hanya
digerakkan atau dipindahkan bila memang mutlak diperlukan karena gerak
yang tidak betul dapat mengakibatkan paralisis pada korban dengan cedera
leher. Disini teknik dorong mandibula tanpa ekstensi kepala merupakan
cara yang paling aman untuk membuka jalan nafas, bila dengan ini belum
berhasil dapat dilakukan sedikit ekstensi kepala.
2.  Breathing (Pernafasan) 
Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai
apakah pasien dapat bernafas spontan atau tidak. Ini dapat dilakukan
dengan mendengarkan gerak nafas pada dada korban. Bila pernafasan
spontan tidak timbul kembali diperlukan ventilasi buatan.Untuk
melakukan ventilasi mulut ke mulut penolong hendaknya
mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang
telah disebutkan diatas dan memencet hidung korban dengan satu tangan
atau dua kali ventilasi dalam. Kemudian segera raba denyut nadi karotis
atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih mempunyai denyut
nadi diberikan ventilasi yang dalam sebesar 800 ml sampai 1200 ml setiap
5 detik.

Bila denyut nadi karotis tidak teraba, dua kali ventilasi dalam harus
diberikan sesudah tiap 15 kompresi dada pada resusitasi yang dilakukan
oleh seorang penolong dan satu ventilasi dalam sesudah tiap 5 kompresi
dada pada yang dilakukan oleh 2 penolong. Tanda ventilasi buatan yang
adekuat adalah dada korban yang terlihat naik turun dengan amplitudo
yang cukup ada udara keluar melalui hidung dan mulut korban selama
respirasi sebagai tambahan selama pemberian ventilasi pada korban,
penolong dapat merasakan tahanan dan pengembangan paru korban ketika
diisi.

Pada beberapa pasien ventilasi mulut ke hidung mungkin lebih


efektif daripada fentilasi mulut ke mulut. Ventilasi mulut ke stoma
hendaknya dilakukan pada pasien dengan trakeostomi. Bila ventilasi mulut
ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik walaupun jalan nafas
telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah
ada sekresi atau benda asing.Pada tindakan jari menyapu, korban
hendaknya digulingkan pada salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa
membuka mulut korban dengan satu tangan memegang lidah dan
rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan
yang lain kedalam satu sisi mulut korban dalam satu gerakan menyapu.
Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya
dikerjakan hentakan abdomen atau hentakan dada, sehingga tekanan udara
dalam abdomen meningkat dan akan mendorong benda untuk
keluar.Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, teknik ini
sama dengan kompresi dada luar. 

Urutan yang dianjurkan adalah :


a. Berikan 6 sampai 10 kali hentakan abdomen.
b. Buka mulut dan lakukan sapuan jari.
c. Reposisi pasien, buka jalan nafas dan coba beri ventilasi buatan dapat
dilakukan dengan sukses.

Bila sesudah dilakukan gerak tripel (ekstensi kepala, buka mulut


dan dorong mandibula), pembersihan mulut dan faring ternyata masih ada
sumbatan jalan nafas, dapat dicoba pemasangan pipa jalan nafas. Bila
dengan ini belum berhasil perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak
mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi trakheal, sebagai alternatifnya
adalah krikotomi atau fungsi membrane krikotiroid dengan jarum
berlumen besar (misal dengan kanula intravena 14 G). Bila masih ada
sumbatan di bronkhus maka perlu tindakan pengeluaran benda asing dari
bronkhus atau terapi bronkhospasme dengan aminophilin atau adrenalin.

3.  Circulation (Sirkulasi)


Bantuan ketiga dalam BHD adalah menilai dan membantu
sirkulasi. Tanda- tanda henti jantung adalah:
a. Kesadaran hilang dalam waktu 15 detik setelah henti jantung.
b. Tak teraba denyut nadi arteri besar (femoralis dan karotis pada orang
dewasa atau brakhialis pada bayi).
c. Henti nafas atau megap- megap.
d. Terlihat seperti mati.
e. Warna kulit pucat sampai kelabu.
f. Pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung)
g. Tidak ada nadi yang teraba pada arteri besar, pemeriksaan arteri karotis
sesering mungkin merupakan tanda utama henti jantung. 

Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar


dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan
kompresi dada luar diperlukan pada keadaan sangat gawat.Korban
hendaknya terlentang pada permukaan yang keras agar kompresi dada luar
yang dilakukan efektif. Penolong berlutut di samping korban dan
meletakkan sebelah tangannya diatas tengah pertengahan bawah sternum
korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari dari
persambungan episternum. Tangan penolong yang lain diletakkan diatas
tangan pertama, jari- jari terkunci dengan lurus dan kedua bahu tepat
diatas sternum korban, penolong memberikan tekanan ventrikel ke bawah
yang cukup untuk menekan sternum 4 sampai 5 cm.

Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak


boleh diangkat dari dada korban, dianjurkan lama kompresi sama dengan
lama relaksasi. Bila ada satu penolong, 15 kompresi dada luar (laju 80
sampai 100 kali/ menit) harus diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi
dalam (2 sampai 3 detik). Dalam satu menit harus ada 4 siklus kompresi
dan ventilasi (yaitu minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi). Jadi 15
kali kompresi dan 2 ventilasi harus selesai maksimal dalam 15 detik. Bila
ada 2 penolong, kompresi dada diberikan oleh satu penolong dengan laju
80 sampai 100 kali/ menit dan pemberian satu kali ventilasi dalam 1
sampai 1,5 detik oleh penolong kedua sesudah tiap kompresi kelima.
Dalam satu menit minimal harus ada 60 kompresi dada dan 12 ventilasi.
Jadi lima kompresi dan satu ventilasi maksimal dalam 5 detik.Kompresi
dada harus dilakukan secara halus dan berirama. 
Bila dilakkan dengan benar, kompresi dada luar dapat
menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg, dan tekanan rata- rata
40 mmHg pada arteri karotis. Kompresi dada tidak boleh terputus lebih
dari 7 detik setiap kalinya, kecuali pada intubasi trakheal, transportasi naik
turun tangga dapat sampai 15 detik. Sesudah 4 daur kompresi dan ventilasi
dengan rasio 15 : 2, lakukan reevaluasi pada pasien. 

Periksa apakah denyut karotis sudah timbul (5 detik). Bila tidak


ada denyut lanjutkan dengan langkah berikut : Periksa pernafasan 3
sampai 5 detik bila ada, pantau pernafasan dan nadi dengan ketat. Bila
tidak ada lakukan ventilasi buatan 12 kali per menit dan pantau nadi
dengan ketat. Bila RJP dilanjutkan beberapa menit dihentikan, periksa
apakah sudah timbul nadi dan ventilasi spontan begitu seterusnya.

Fase II (Bantuan Hidup Lanjut)


Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk
memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi
gangguan irama utama selama henti jantung. Bantuan hidup dasar memerlukan
peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus segera dimulai bila diagnosis
henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan sampai bantuan
hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan ABC RJP dan belum timbul denyut
jantung spontan, maka resusitasi diteruskan dengan langkah DEF. 

1.  Drug and Fluid (Obat dan Cairan) 


Tanpa menunggu hasil EKG dapat diberikan :
a. Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada
anak- anak. 
Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin
diencerkan dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml
mengandung 100 mcg adrenalin). 

Jika keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh


tenaga yang sudah terlatih). Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama
sampai timbul denyut spontan atau mati jantung.

b. Natrium Bikarbonat : dosis mula 1 mEq/ kg (bila henti jantung lebih


dari 2 menit) kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/
kg sampai timbul denyut jantung spontan atau mati jantung.

Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali pada


resusitasi yang lama, yaitu pada korban yang diberi ventilasi buatan yang
lama dan efisien, sebab kalau tidak asidosis intraseluler justru bertambah
dan tidak berkurang. Penjelasan untuk keanehan ini bukanlah hal yang
baru. CO2 yang tidak dihasilkan dari pemecahan bikarbonat segera
menyeberangi membran sel jika CO2 tidak diangkut oleh respirasi.  

2.  EKG 
Meliputi fibrilasi ventrikuler, asistol ventrikuler dan disosiasi elektro
mekanis. 

3.  Fibrilation Treatment (Terapi Fibrilasi) 


Elektroda dipasang disebelah kiri puting susu kiri disebelah kanan
sternum atas, defibrilasi luar arus searah:
a. 200 – 300 joule pada dewasa.
b. 100 – 200 joule pada anak.
c. 50 – 100 joule pada bayi.
Fase II ( bantuan Hidup Jangka lama atau Bantuan Hidup Pasca
Resusitasi)
Jenis pengelolaan pasien yang diperlukan pasien yang telah mendapat
resusitasi bergantung sepenuhnya kepada resusitasi. Pasien yang mempunyai
defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya
memerlukan pantauan intensif dan observasi terus menerus terhadap sirkulasi,
pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan
satu atau lebih dari satu sistem memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi,
terapi aritmia, dialisis atau resusitasi otak.

Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemik dan


iskemik selama henti jantung adalah otak. Satu dari lima orang yang selamat
dari henti jantung mempunyai defisit neurologis. Bila pasien tetap tidak sadar,
hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak.
Tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan
darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sembab
otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intracranial.
Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajad sedang
juga membantu.

Keputusan Untuk Menghakhiri RJP


Semua tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RJP segera setelah
diagnosis henti nafas atau henti jantung dibuat, tetapi dokter pribadi korban
hendaknya lebih dulu diminta nasehatnya sebelum upaya resusitasi dihentikan.
Tidak sadar ada pernafasan spontan dan refleks muntah dan dilatasi pupil yang
menetap selama 15 sampai 30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian
otak kecuali pasien hipotermik atau dibawah efek barbiturat atau dalam
anesthesia umum. Akan tetapi tidak adanya tanggapan jantung terhadap
tindakan resusitasi. Tidak ada aktivitas listrik jantung selama paling sedikit 30
menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal
menandakan mati jantung.
Dalam resusitasi darurat, seseorang dinyatakan mati, jika :
1. Terdapat tanda- tanda mati jantung.
2. Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi
spontan dan refleks muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15 sampai 30
menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh
barbiturat atau anestesia umum.

Dalam keadaan darurat resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu
dari berikut ini:
1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang lebih bertanggung
jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).
3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter
sebelumnya).
4. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
5. Pasien dinyatakan mati.

` Setelah dimulai resusitasi ternyata diketahui bahwa pasien berada dalam


stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih (yaitu sesudah setengah atau satu
jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu
tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan
untuk menghentikan proses yang menuju kematian. Langkah BLS yaitu
Memeriksa respon pasien termasuk ada/tidaknya nafas secara visual, Melakukan
panggilan darurat, Circulation (Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus 30
kompresi, sekitar 18 detik), Airway (Head Tilt, Chin Lift), Breathing
( memberikan ventilasi sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas buatan (30 :
2)), Defribilasi. Skema dari EMC yaitu Injury, Pre Hospital stage, Hospital Satge,
dan Rehabilitation.
3.2 Saran
Kami menyarankan agar siapapun yang membaca ini apabila mengetahui
adanya korban yang memerlukan  Bantuan Hidup Dasar untuk segera ditolong
dengan cepat agar  nyawanya bisa tertolong dengan cepat. Untuk menghindari
hal-hal yang tidak di inginkan. 
Daftar Pustakan

Neumar RW, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW, dkk. Part
8: adult advanced cardiovascular life support: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Circulation. 2010; 122 (suppl 3):S729-67.
ads-java.blogspot.com/2012/01/bantuan hidup dasar.siti rohmah
http//rido248.wordpress.com/2008/08/27all-about-first-aid-part-ii/
Muhammad Ashar. Maret 2011. Planning cardiac emergency medical service with
Mobile application in aceh rural.
http://www.acehpublication.com/adic2011/ADIC2011-039.pdf
Tirti Lasprita. 3 September 2012. Bantuan Hidup Dasar (BLS).
http://www.scribd.com/doc/84871056/Bantuan-Hidup-Dasar.

Anda mungkin juga menyukai