Anda di halaman 1dari 33

Tugas Lampiran 1

MAKALAH
PENGANTAR ILMU SEJARAH
“Awal Mula Perkembangan Studi Sejarah di Eropa, Timur Tengah dan
Nusantara”

Disusun Oleh :
Meishe Fitria Azzara
NIM. 1911270034

Dosen :
Siti Rahmana, M.A

PROGRAM STUDI TADRIS IPS


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Awal Mula
Perkembangan Studi Sejarah di Eropa, Timur Tengah dan Nusantara” tepat pada
waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah
memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu, April 2020

Penulis

i
2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................


KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Sejarah sebagai Ilmu dan Seni................................................ 3
B. Kegunaan Sejarah untuk Ilmu-ilmu Sosial........................................... 5
C. Kegunaan Ilmu-ilmu Sosial untuk Sejarah........................................... 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan........................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

3ii
PEMBAHASAN

A. Hakikat Sejarah sebagai Ilmu dan Seni


1. Sejarah sebagai ilmu
Kata sejarah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan
sering dari kita juga diajukan beberapa pertanyaan: “Apa sejarah itu?” atau
ada pertanyaan seperti ini: “Kita harus belajar dari sejarah”, atau “Jangan
pernah melupakan sejarah”. Pertanyaan-pertanyaan seperti contoh di atas
yang kelihatannya sangat sederhana dan sangat mudah atau mungkin
banyak dari kita menganggapnya remeh ternyata tidak dapat dijawab
dengan segera. Kita harus merenung dan memikirkan jawabannya.
Oleh karena itu, kita harus mengetahui apa itu sejarah, mengapa
sejarah bisa dijadikan sebuah ilmu, dan apa peranan serta manfaatnya di
kehidupan. Pernahkah darimu mendengar cerita-cerita kehidupan manusia
pada masa lampau? pasti jawabannya ya. Nah, cerita-cerita yang terjadi
pada masa lampau tersebutlah yang disebut sejarah. Objek kajian dari
sejarah adalah manusia.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan,
sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu menunjukkan fungsinya yang sejajar
dengan disiplin-disiplin lain bagi kehidupan umat manusia kini dan masa
mendatang. Kecenderungan demikian akan semakin nyata bila penulisan
sejarah bukan hanya sebatas kisah biasa, melainkan di dalamnya
terkandung eksplanasi kritis dan kedalaman pengetahuan tentang
bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa masa lampau terjadi.
Sejarah dan ilmu-ilmu sosial mempunyai hubungan timbal balik.
Sejarah diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial, dan sebaliknya. Dalam sejarah
baru, yang memang lahir berkat ilmu-ilmu sosial, penjelasan sejarah
didasarkan atas ilmu-ilmu sosial. Belajar sejarah tidak dapat dilepaskan
dari belajar ilmu sosial. Meskipun demikian perlu diingat bahwa sejarah
dan ilmu sosial berbeda tujuannya.

1
Awal abad ke-20 terjadi suatu perdebatan tentang pandangan
sejarah. Perdebatan tersebut diantaranya mengenai apakah sejarah
merupakan cabang dari ilmu pengetahuan atau merupakan suatu seni.
Perdebatan tersebut terjadi di Jerman dan melibatkan ahli filsafat dan ahli
sejarah. Dua ilmuwan yang mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Burry : sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan, tidak kurang dan
tidak lebih.1
York Powell : sejarah bukanlah sekedar suatu cerita yang indah,
instruktif, dan mengasyikkan, tetapi merupakan cabang ilmu pengetahuan.
Seperti ilmu pengetahuan lainnya, ilmu sejarah mulai berkembang
pada abad ke-19. Pengetahuan ini meliputi kondisi-kondisi masa manusia
yang hidup pada suatu jenjang sosial tertentu. Sejarah berusaha untuk
mencari hukum-hukum yang mengendalikan kehidupan manusia dan juga
mencari penyebab terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat.2
Sejarah sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan hendaklah
dibahas dan dibuktikan secara keilmuan atau alamiah. Untuk itu maka
digunakan berbagai metode standar ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan menggunakan metode ilmiah para ahli
sejarah akan lebih berhati-hati dalam mengungkapkan kebenaran sejarah.
Suatu metode tentu saja tak luput dari kemungkinan kesalahan, untuk itu
perlu ditempuh alternatif lain agar dapat meminimalisir kesalahan saat
melakukan pembahasan peristiwa.
Terjadi pemisahan secara tegas antara sejarah ilmiah dan sejarah
populer. Sejarah ilmiah juga dikenal sebagai sejarah akademis dalam
pembahasannya lebih banyak menggunakan metode ilmiah, sehingga
terkesan kaku untuk dibaca. Sedangkan sejarah populer dengan
berlandaskan kesusasteraan menjadi lebih menarik untuk dibaca, bahkan

1
Ahmad Maksum. Interpretasi Sejarah Sebagai Peristiwa Dan Masalah Pendidikan. (AT-
TURATS, Vol.9 Nomor 2. 2015) h. 67
2
Aman. Di seputar sejarah dan pendidikan sejarah. (Informasi, No. 1, XXXVII. 2011) h.
122

2
masyarakat awam lebih menyukai sejarah populer meskipun sangat sulit
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sebagai contoh penemuan fosil manusia purba di Indonesia. Untuk
mengungkapkan keberadaan manusia purba melalui hasil penemuan fosil-
fosil tersebut, para ahli mencoba melakukan penelitian dengan
menggunakan metode standar atau ilmiah. Namun para ahli ternyata belum
dapat membuat kesimpulan jika hanya menyelidikinya di Indonesia.3
2. Sejarah sebagai seni
Hakekat sejarah sebagai seni – Menurut Mills, Spencer, dan
Comte, metode ilmu alam dapat digunakan untuk mempelajari sejarah,
tanpa memodifikasi lebih lanjut. Tetapi, Dithley, seorang sejarawan dan
filsuf modern menyatakan bahwa hal tersebut adalah salah besar. Sifat-
sifat alami dari bahan-bahan pengetahuan alam adalah sesuatu yang selalu
nyata terlihat, sehingga dengan mudah dapat dianalisa, diterangkan, dan
diduga.
Sejarah adalah pengetahuan tentang rasa. Sejarah membutuhkan
pemahaman dan pendalaman akan bahan-bahan yang dihadapinya. Sejarah
tidak saja mempelajari segala sesuatu gerakan dan perubahan yang tampak
di permukaan, tetapi juga mempelajari motivasi yang mendorong
terjadinya perubahan itu bagi pelaku sejarah.
Lebih lanjut, sejarah mempelajari suatu proses dinamis dari
kehidupan manusia yang didalamnya terlihat hubungan sebab akibat
(causal) yang cukup rumit.
Dalam sejarah terdapat elemen-elemen ilmiah, yaitu pada bagian
sejarah yang memungkinkan pendekatan-pendekatan ilmiah dapat
dilakukan dengan baik. Namun, sejalan dengan penggunaan metode
ilmiah, tetap terdapat jiwa sejarah itu sendiri, yaitu jiwa dalam diri
manusia itu sendiri yang merupakan nyata api kehidupan manusia.
Pemahaman terhadap jiwa sejarah hanya mungkin dapat dilakukan
oleh seni, karena telah diketahui bahwa metode ilmiah sangat bermanfaat

3
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius. 1975) h. 32

3
untuk menguji arti dan nilai dari bahan sejarah, mengisi, melacak
hubungan sebab akibat (causal) dan menyusun cerita sejarah dengan
sistematis dan berlandaskan fakta yang akurat.
Bahkan, sejarawan harus mampu melakukan penafsiran
berdasarkan hal-hal yang umum terjadi dalam masyarakat, perlu
menguasai pengetahuan tentang kodrat manusia berdasarkan pengelaman
dan pemahaman. Mereka juga perlu melakukan pendalaman dan
pengertian untuk mengungkap apa yang tersirat dan dibutuhkan imajinasi.
Jika pemahaman imajinasi dapat diterangkan atau didukung oleh
hubungan sebab akibat, maka sejarah akan menjadi sama bermanfaatnya
dengan pengetahuan alam bagi kesejahteraan manusia.4

B. Kegunaan Sejarah untuk Ilmu-ilmu Sosial


Adapun guna sejarah untuk ilmu-ilmu social meliputi:
1. Kritik sejarah terhadap generalisasi ilmu-ilmu social
Dalam penelitian ilmu-ilmu social digunakan ideal type  (ideal
abstrak). Model ini sudah diawali oleh Max Weber (1864-1920) untuk
mempermudah penelitian. Hasil penelitian Weber ternyata tidak sesuai
dengan kenyataan,karena sejarah mendasarkan penelitian empiric yang
berbeda dengan generalisasi abstrak oleh Weber dalam membuat
kesimpulan umum.5
Contoh:
Oriental Despotism dari Karl Wittfogel tenntang hidrolic
society tidak cocok diterapkan untuk Jawa.
The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism karya Max Weber,
bahwa semangat kapitalisme berasal dari etika protestan ternyata tidak
benar. Akan tetapi kapitalisme sebenarnya adalah bentuk pengumpulan
dan penanaman modal.

4
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah (Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto).
(Jakarta: UI-Press, 1985) h. 44
5
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Modern. (Jakarta: Gramedia. 1992) h. 89

4
2. Permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu-ilmu social
Masalah sejarah banyak mengilhami tulisan social seperti tulisan
Loekman Soetrisno yang menjelaskan perubahan pedesaan dengan irigasi
di pedesaan Jawa. Soedjito Sosridihardjo juga menjelaskan perkembangan
Tanam Paksa dengan mengaitkan struktur social masyarakat Jawa.
3. Pendekatan sejarah menambah wawasan baru untuk pendekatan ilmi-ilmu
social
Frans Husken menulis stratifikasi masyarakat Jawa dan
perkembangan masyarakatnya di sebuah desa di Pati. Perpaduan dua
disiplin itu tetap diakui sebagai ilmu social dan bukan ilmu sejarah
sehingga karya itu disebut historical sociology, atau historical
anthropology.6
Max Weber (1864-1920) dalam metodologi ilmu-ilmu sosial
menggunakan ideal type (tipe yang abstrak) unthk mempermudah penelitian,
yang sangat berguna bagi sejarawan. Namun, ketika dihadapkan pada
kenyataan yang faktual, ternyata tipe ideal itu banyak yang iidak mempunyai
dasar faktual. Buku Weber yang terkenal, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism (dalam bahasa Jerman keluar tahun 1904-1 905, dalam
terjemahan Inggris 1930), menyatakan bahwa timbulnya kapitalisme ialah
karena adanya semangat Protestantisme yang memperkenankan orang untuk
menimbun kekayaan, tidak (untuk dinikmati, tetapi untuk mengabdi pada
Tuhan. Jadilah orang mulai menanam dan menanam modal. Buku Weber yang
lain, The Religion of China, banyak dikecam karena mengandung kelemahan,
Weber tidak peka dengan Periodisasi sejarah. Dalam buku itu dia membuat
kesimpulan-kesimpulan umum mengenai Cina dengan hubungkan fakta-fakta
dan periode yang berlabel.
Buku Karl Wittfogel, Oriental Des potisif yang teori tentag hydraulic
society yang diambil dan studi tentang adanya despotisme dalam masyarakat
pengguna air sekitar sungai-sungai Nil, Indus, dan Yang Tse. Di safla bisa

6
SuriasumantrI, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 2005) h. 67

5
timbul raja yang berkuasa mutlak untuk membagikan air. Bila teori hydraulic
society itu akan dipakai untuk menganalisis birokrasi di Jawa, misalnya,
pertanyaan apakah di tempat ini benar-benar ada hydraulic society harus
dijawab. Memang di Jawa ada patrimonialisme, tetapi kekerasan dan
kekejaman yang ada sifatnya individual, tidak massal, sebab di Jawa raja tidak
bisa membiayai tentara yang jumlahnya besar. Ketika Sultan Agung menyerbu
Batavia pada 1628, ia menggunakan bupati pantai utara Bahureksa. Di Bali
teori itu akan dihadapkan pada fakta sejarah, karena urusan air di Bali diatur
oleh lembaga subak, dan tidak oleh negara.7
Untuk Indonesia, banyak tulisan sudah dikerjakan oleh sosiologi pedesaan
dengan permasalah Tanam Paksa. Soedjito Sosrodihardjo sudah menulis
tentang struktur rnasyarakat Jawa dan Loekman Soetrisno tentang perubahan
pedesaan kedua-duanya adalah sosiolog. Pendekatan sejarah yang bersifat
diakronis menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial yang sinkronis. Dua
buku Clifford Geertz, Agricultural Involution: The Process of Ecological
Change in Indonesia dan The Social History of an Indonesian Town, adalah
contoh penggunaan pendekatan sejarah untuk antropologi.
Buku pertama, yang sudah diterjemahkan ke dalaffi bahasa Indonesia,
Geertz melakukan analisis atas perubahan ekologi Jawa. Dengan membedakan
Indonesia dalam dan Indonesia luar, yang mempunyai ekologi yang berbeda,
yaitu sawah dan ladang, Geertz bertanya mengapa Jawa dapat menampung
pertambahan penduduk. Kuncinya terletak karena sejak abad ke-19 di Jawa
ditanam tebu.
Dalam buku yang kedua, Geertz melukiskan bahwa kota Mojokerto yang
ditelitinya berdiri pada abad ke-19 di jalan di mana perusahaan-perusahaan
pertanian mulai beropérasi. Kota itu dapat menjadi contoh bagi banyak kota di
ujung Jawa Timur, yang merupakan wilayah yang baru dibuka bersamaan
dengan pembukaan perkebunan. Penduduk kota-kota itu adalah migran dan

7
Hamid, ABD Rahman dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah.
(Yogyakarta: Ombak, 2011) h. 77

6
ternpat-tempat lain yang tenaga kerjanya mengalami tekanan karena Tanam
Paksa.8
Kedua buku itu menjadi contoh bagaimana sejarah yang lebih menekankan
proses dapat membantu ilmuilmu sosial yang menekankan struktur. Buku Elly
Touwen-Bouwsma, Staat, Islam en locale leiders in West Madura, Indonesia:
Een historisch-anthropologisch studie, selain riset antropologi dengan
penelitian lapangan, juga dikombinasikan dengan penemuan-penemuan
sejarah.9
Hasil dan perpaduan itu tetap diakui sebagai ilmu sosial dan bukan sejarah.
Misalnya, kita kenal historical sociology dan historical demography. Batas
antara keduanya sering kali kabur.
Sejarah Baru yang memang lahir dan adanya perkem.. bangan ilmu-ilmu
sosial menjadi bukti bagaimana besar pengaruh ilmu-ilmu sosial pada sejarah.
Pengaruh ilmu... ilmu sosial pada sejarah dapat kita golongkan ke dalam
empat macam, yaitu (1) konsep, (2) teori, (3) permasalah.. an, dan (4)
pendekatan.Meskipun demikian, penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah
itu bervariasi. Variasi itu ialah (1) yang menolak sama sekali, (2) yang
menggunakan secara implisit, dan (3) yang menggunakan secara eksplisit.
Tentu saja ada varian campuran dan kekaburan batas.Yang menolak sama
sekali penggunaan ilmu-ilmu sosial berpendapat:
(1) Bahwa penggunaan ilmu-ilmu sosial akan berarti hilangnya jati din
sejarah sebagai ilmu yang diakui keberadaannya, jadi sejarah cukup dengan
common sense (akal sehat, nalar umum, akal sehari-hari) dan penggunaan
dokumen secara kritis. Tanpa ilmu-ilmu sosial sejarah dapat menjadi dirinya
sendiri. Sejarah itu harus mendekati objeknya tanpa prasangka intelektual
(memakai semacam grounded research). Dan penelitian akan timbul dengan
sendirinya pengelompokan-pengelompokan, dan luar melalui ilmu-ilmu sosial.

8
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995) h.
45
9
Suparlan, Parsudi., Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya. (Jurnal Antropologi
Indonesia No. 59 Th XXIII, Mei-Agustus. 1999) h. 165

7
Misalnya, tanpa konsep intelektual apa pun kita tahu bahwa ada revolusi
antara tahun 1945-1 950.10
(2) Penggunaan ilmu-ilmu sosial hanya akan menjadi kan sejarah sebagai
ilmu yang tertutup secara akademis dan personal. Dan sudut pandang
akademis, tanpa ilmu-ilmu sosial, sejarah bersifat multidisipliner. Dengan
ilmu-ilmu sosial, sejarah akan kehilangan sifat kemandiriannya sebagai the
ultimate interdisciplinarian. Secara personal, sejarah akan punya peristilahan
teknis, dan mi tidak menguntungkafl. Sebab, orang yang “hanya” berbicara
dengan bahasa sehari-hari akan menyingkir. Ke mana mereka, kalau tidak ke
sejarah? Begitu banyak orang berbakat yang tetap menjadi amatir, hanya
karena sejarah menggunakan ilmu-ilmu sosial.
Ternyata, tanpa ilmu-ilmu sosial, sejarah dapat ditulis dengan baik.
Tulisan Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in
West Sumatra (1927-1933). Demikian juga buku-buku H. J. de Graaf tentang
Mataram, M. C. Ricklefs tentang Yogyakarta abad ke-18, Peter Carey tentang
Yogyakarta abad ke-19, dan Leonard Blusse tentang Batavia abad ke-17.
Semua itu dituliskan dengan kekayaan dokumen, ketelitian, sikap kritis,
cerdas, dan retorika yang baik. Jangan sampai penggunaan analisis iimu-ilmu
sosial dipakai untuk menutupi kekurangan retorika.11
Akan tetapi, mereka yang tidak memakai ilmu-ilmu sosial pun setuju
bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial amat penting karena ilmu-ilmu sosial akan
mempertajam wawasan sejarawan.

C. Kegunaan Ilmu-ilmu Sosial untuk Sejarah


Sejarah dan ilmu-ilmu social mempunyai hubungan timbal balik. Sejarah
diuntungkan oleh ilmu-ilmu social, dan sebaliknya. Belajar sejarah tidak dapat
dilepaskan dari belajar ilmu-ilmu social, meskipun sejarah punya cara sendiri
menghadapi objeknya.perlu diingat juga bahwa sejarah dan ilmu-ilmu social

10
Hamid, ABD Rahman dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah.
(Yogyakarta: Ombak, 2011) h. 115
11
Soedjatmoko, Kesadaran Sejarah dalam Pembangunan, (dalam Prisma No. 7. Jakarta
LP3ES) h. 30

8
mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan sejarah ialah mempelajari hal-hal
yang unik, tunggal, ideografis, dan sekali terjadi; sedangkan ilmu-ilmu social
tertarik kepada yang umum, ajek, nomotetis, dan merupakan pola. Pendekatan
sejarah berbeda dengan ilmu-ilmu social. Sejarah itu diakronis, memanjang
dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu social itu sinkronis, melebar dalam ruang.
Sejarah mementingkan proses, sementara ilmu-ilmu social menekankan
struktur.
Adapun penggunaan ilmu-ilmu social meliputi:
1. Konsep
Bahasa latin conceptus berarti gagasan atau ide. Sejarawan banyak
menggunakan konsep ilmu-ilmu social. Karya-karya sejarawan Indonesia
yang menggunakan konsep ilmu social antara lain:
b. Suhartono, dalam Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta, 1830-1920, menggunakan konsep rural elite (bekel) dan
counter elite (bandit) dalam memahami resistensi terhadap
perkebunan.
c. Ong Hok Ham, dalam The Residency of Madiun: Priyayi and
Petani menjelaskan konsep patron-klien untuk melihat perkembangan
sejarah Madiun pada masa colonial.
d. Anak Agung Gde Putra Agung dalam Birokrasi Kerajaan
Karangasem pada abad XIX menggunakan konsep birokrasi untuk
menjelaskan perkembangan kerajaan Karangasem.12
2. Teori
Teori adalah kaidah yang mendasari suatu gejala dan sudah
diverifikasi. Teori-teori dalam ilmu social banyak digunakan oleh
sejarawan untuk membantu mengungkap sejarah.
T. Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah menerangkan
Perang Aceh menggunakan teori collective behaviour (tingkah laku
kolektif) dalam rekrutmen masa Islam melawan pemerintah colonial.

12
Pramono, Suwito Eko. Kinerja Guru Sejarah: Studi Kausal Pada Guru-Guru Sejarah
SMA di Kota Semarang. (Paramita. Vol. 24 No. 1. 2012) 114-125

9
3. Permasalahan
Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu social yang
dapat diangkat jadi topic-topik penelitian sejarah. Misalnya mobilitas
social, migrasi, kriminalitas, pajak, kerja paksa, dan lain-lain.
Sartono Kartodirdjo, dalam Perkembangan Peradaban Priyayi,
membahas tentang persoalan lahirnya elit pada masa colonial,
lembaganya, lambing-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.13
4. Pendekatan
Pendekatan adalah cara menjelaskan suatau penelitian dengan
memanfaatkan salah satu aspek ilmu social. Pendekatan ilmu social
digunakan oleh semua tulisan sejarah yang melibatkan penelitian suatu
gejala sejarah dengan jangka relative panjang dan yang melibatkan
penelitian aspek ekonomi, masyarakat, atau politik. Penelitian yang
diakronis mau tidak mau menggunakan pendekatan ilmu social jika ingin
tulisannya jelas dan bersasaran sehingga kelihatan tekanannya.14
Kuntowijoyo, dalam Social Change in an Agrarian Society:
Madura,1850-1940 menggunakan pendekatan sosialuntuk melihat
perubahan masyarakat dari patrimonialisme ke kolonialisme.

13
Pranoto, Suhartono W, Teori dan Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010)
h. 89
14
Ahmad Maksum. Interpretasi Sejarah Sebagai Peristiwa Dan Masalah Pendidikan. (AT-
TURATS, Vol.9 Nomor 2. 2015) h. 21

10
Kesimpulan
Secara emitologi, kata sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun
yang artinya pohon. Sejarah merupakan suatu ilmu yang mempelajari
mengenai peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan manusia atau
makhluk hidup lainnya pada waktu atau ruang dimasa yang lampau. Menurut
Kuntowijoyo, sejarah menyuguhkan fakta secara diakronis, ideografis, unik,
dan empiris. Sejarah bisa sebagai peristiwa, kisah, ilmu, dan sebagai seni.
Di dalam penulisan sejarah, diperlukan adanya generalisasi, periodisasi,
dan kronologi. Sejarah banyak memberikan manfaat bagi yang
mempelajarinya dan mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat.
Sejarah dan ilmu-ilmu social memiliki hubungan yang sangat erat. Karena
mulai dari subjek sampai objek kajian yang dipelajari ilmu social dibutuhkan
ilmu sejarah untuk memperluas ilmu sejarah. Dari hubungan inilah timbul
manfaat dari masing-masing ilmu, guna sejarah terhadap ilmu-ilmu social dan
sebaliknya.
Adapun guna sejarah terhadap ilmu-ilmu social, yaitu:
1. Kritik sejarah terhadap generalisasi ilmu-ilmu social
2. Permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu-ilmu social
3. Pendekatan sejarah menambah wawasan baru untuk pendekatan ilmu-ilmu
social
Adapun guna ilmu-ilmu social terhadap sejarah, yaitu:
1. Konsep
2. Teori
3. Permasalahan
4. Pendekatan

11
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Maksum. 2015. Interpretasi Sejarah Sebagai Peristiwa Dan Masalah


Pendidikan. AT-TURATS, Vol.9 Nomor 2

Aman. 2011. Di seputar sejarah dan pendidikan sejarah. Informasi, No. 1,


XXXVII.

Bertens, K.1975. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah (Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto).


Jakarta: UI-Press, 1985.

Hamersma, Harry.1992. Tokoh-Tokoh Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia.

Hamid, ABD Rahman dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah.


Yogyakarta: Ombak, 2011.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,


1995.

Pramono, Suwito Eko. 2012. Kinerja Guru Sejarah: Studi Kausal Pada Guru-
Guru Sejarah SMA di Kota Semarang. Paramita. Vol. 24 No. 1 – Januari
2014: 114-125

Pranoto, Suhartono W, Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu,


2010.

Soedjatmoko, Kesadaran Sejarah dalam Pembangunan, dalam Prisma No. 7.


Jakarta LP3ES. 30

Suparlan, Parsudi., 1999. Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya. Jurnal


Antropologi Indonesia No. 59 Th XXIII, Mei-Agustus.

SuriasumantrI, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

12
Lampiran 2 Makalah

MAKALAH
PENGANTAR ILMU SEJARAH
“Perkembangan Historiografi Tradisional dan Modern di
Indonesia”

Disusun Oleh :
Meishe Fitria Azzara
NIM. 1911270034

Dosen :
Siti Rahmana, M.A

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2020

13
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Perkembangan
Historiografi Tradisional dan Modern di Indonesia” tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah
memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu, April 2020

Penulis

14
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................


KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Historiografi........................................................................ 3
B. Perkembangan Historiografi Masa Tradisional di Indonesia .............. 3
C. Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia .............................. 6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan........................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

15
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari zaman kemegahan kerajaan, zaman kolonial dan zaman
kemerdekaan sayangnya sedikit sekali penduduk Indonesia yang menjadi
aktor sejaman tidak menulis peristiwa-peristiwa tersebut. Tradisi menulis
bangsa Indonesia sudah berkembang lama, namun sayangnya kurang begitu di
minati. Penulisan sebuah peristiwa merupakan sesuatu yang penting karena
untuk merekam sebuah keadaan zaman agar bisa diketahui oleh masa
selanjutnya. Histiografi merupakan tulisan-tulisan yang menceritakan
peristiwa sejarah. Pola histiografi adalah struktur gagasan yang ditentukan
terutama oleh realitas utama yang tidak berakar pada kebutuhan untuk
menggambarkan realitas tersebut. Penulisan adalah puncak dari sejarah, sebab
apa yang dituliskan itu merupakan peristiwa sejarah. penulisan
sejarah. Historigrafi merupakan representasi dan kesadaran.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Historiografi?
2. Bagaimana Perkembangan Historiografi Tradisional di Indonesia ?
3. Bagaimana Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Historiografi
2. Untuk mengetahui Perkembangan Historiografi Tradisional di Indonesia
3. Untuk mengetahui Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penulisan Sejarah (Histiografi)


Sejarah bukan semata-mata rangkaian fakta belaka, tetapi sejarah adalah
sebuah cerita. Cerita yang dimaksud adalah penghubungan antara kenyataan
yang sudah menjadi kenyataan peristiwa dengan suatu pengertian bulat dalam
jiwa manusia atau pemberian tafsiran /interpretasi kepada kejadian tersebut
(R. Moh. Ali, 2005: 37). Dengan kata lain penulisan sejarah merupakan
representasi kesadaran penulis sejarah dalam masanya ( Sartono Kartodirdjo,
1982: XIV ). Secara umum dalam metode sejarah, penulisan sejarah
(historiografi) merupakan fase atau langkah akhir dari beberapa fase yang
biasanya harus dilakukan oleh peneliti sejarah. Penulisan sejarah
(historiografi) merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil
15
penelitian sejarah yang telah dilakukan
Pengkisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subyektif, karena
setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangannya
terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi yang erat
kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh karena itu
perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang pada
dasarnya adalah obyektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi kenyataan
yang relatif. Bagi penulis sejarah ataupun sejarawan akademis yang menganut
relativisme historis, sikap netral dalam pengkajian dan penulisan sejarah
merupakan hal yang sulit direalisasikan. Alasannya seperti yang dinyatakan
Al-Sharqawi (dalamDudung Abdurrahman,1999:5) bahwa “pengetahuan
sejarah itu pada dasarnya adalah mengalihkan fakta-fakta pada suatu bahasa
lain,menundukkannya pada bentuk-bentuk, kategori-kategori dan tuntutan
khusus”. Proses pemilihan unsur-unsur tertentu mengenai perjuangan seorang
tokoh, umpamanya dilakukan penulis biografi dengan mendasarkan diri pada

15
Anggar Kaswati. Metodelogi Sejarah dan Historiografi.  (Yogyakarta: Beta Offset.
1998) h. 67

2
interpretasi historis atas peristiwa-peristiwa yang dikehendakinya, lalu
disusunlah kisah baru.
Demikianlah kecenderungan subyektivitas itu selalu mewarnai bentuk-bentuk
penulisan sejarah. Hal ini karena secara umum dapat dikatakan bahwa
kerangka pengungkapan atau penggambaran atas kenyataan sejarah itu
ditentukan oleh penulis sejarah atau sejarawan akademis, sedangkan kejadian
sejarah sebagai aktualitas itu juga dipilih dengan dikonstruksi menurut
kecenderungan seorang penulis.
Selain alasan praktis diatas, ternyata dimungkinkan lebih banyak lagi
faktor yang menyebabkan terjadinya subyektivitas. Ibnu Khaldun (dalam
Dudung Abdurrahman, 1999:6) menyatakan bahwa:
“Ada faktor yang dipandangnya sebagai kelemahan dalam penulisan
sejarah (historiografi) yaitu:1)sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-
mazhab tertentu, 2) sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah, 3)
sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar
serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru, 4) sejarawan
memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita, 5)
ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang
sebenarnya, 6) kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada
penguasa atau orang berpengaruh, dan 7) sejarawan tidak mngetahui watak
berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban”.

Bila ketujuh alasan tersebut atau sebagian dari padanya mewarnai karya
sejarah dari suatu generasi, maka generasi sejarawan yang lain juga akan
terpengaruhi dengannya. Karena setiap telaah historis, baik dari masa silam,
masa kini, atau masa depan, selalu bersifat subyektif (Ankersmit dalam
Dudung Abdurrahman,1999:6).
Kepribadian sejarawan tidak dapat disangkal lagi merupakan faktor
dominan yang dapat menjuruskan penulisan sejarah menjadi subyektif, maka
seluruh kesadaran sejarawan sesungguhnya terselimuti oleh sitem
kebudayaan. Sartono Kartodirdjo (1992:64) mendefinisikannya:

3
“Sebagai subyektivitas kultural, yakni sikap atau pandangan penulis
sejarah itu berhubungan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya. Individu
sejarawan sebagai anggota masyarakat akan lebur dalam proses sosialisasi,
sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan kemauannya terpola menurut struktur
etis, estetis, dan filosofis yang berlaku dalam masyarakat”. Subyektivitas
kultural itu tercakup pula subyektivitas waktu, karena kebudayaan tumbuh dan
berkembang dalam waktu tertentu.
Telah menjadi istilah umum di kalangan ahli sejarah, seorang sejarawan
merupakan anak zamannya dan bersama dengan orang sezaman, tetapi iapun
menerima nilai-nilai yang dianut pada zamannya itu (Ankersmit dalam
Dudung Abdurrahman, 1999:7). Disinyalir subyektivitas waktu akan terasa
lebih sulit untuk diatasi.
Berdasarkan tinjauan mengenai subyektivitas sejarah diatas, dapat
disebutkan bahwa setiap hasil penulisan sejarah tidak seluruhnya relatif,
karena dalam karya seperti itu dapat pula diperoleh pula hal-hal yang absolut,
yakni fakta-fakta yang tidak diragukan lagi kesahihannya. Penunjukkan fakta
keras atau fakta yang telah menjadi kebenaran umum dan tidak diragukan lagi
kebenarannya.
Bila kecenderungan pribadi pangkal terjadinya subyektivitas, sebenarnya
tidak selalu merupakan penghalang bagi obyektivitas, sebab sejarawanpun
akan mampu mengetahui perasaan-perasaan subyektif dalam dirinya dan ia
akan selalu berusaha untuk berhati-hati agar tidak terjerumus kedalam
subyektivitas tersebut (Walsh dalam Dudung Abdurrahman, 1999: 8 ).
Pengetahuan sejarah yang obyektif itu justru timbul bila terdapat beberapa
pendapat antara para sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai
peristiwa sejarah yang sama, belumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab
peristiwa sejarah bisa dilihat dari berbagai perspektif.
Atas dasar pertimbangan diatas, nyatalah bahwa penafsiran terhadap
peristiwa sejarah akan beragam didalam historiografi, yang barangkali
jumlahnya sebanyak kepala penulis sejarah itu sendiri

4
Penulisan sejarah ( histiografi ) menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-
hasil penelitian yang diangkap, diuji (verifikasi), dan interpretasi sesuai
dengan tugas penelitian sejarah untuk merekontruksi sejarah masa lampau,
maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil penelitian
tersebut ditulis (histiografi).
Penulisan sejarah tidak semudah dalam penulisan ilmiah lainnya, tidak
cukup dengan menghadirkan informasi dan orgamentasi penulisan sejarah,
walaupun terikat pula oleh aturan-aturan logika dan bukti-bukti ampirik. Tidak
boleh dilupakan bahwa ia adalah juga karya sastra yang menuntut kejelasan
struktur dan gaya bahasa, aksetuansi serta nada retorika tertentu.
Karya penulisan penelitian sejarah dapat mengambil beberapa bentuk
seperti paper, artikel atau buku, bahkan dalam bentuk buku yang berjilid-jilid.
Masing-masing memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, menuntut komposisi
dan gaya bahasa serta jenis-jenis kerja yang berlainan pula. Dalam penulisan
ini lebih difokuskan pada prinsip-prinsip penulisan sejarah pada umumnya.
Menulis karya penelitian sejarah tidak cukup dalam sekedar meringkaskan
hasil-hasil penelitiannya, menuliskan kesimpulan-kesimpulan nya tanpa
memerhatikan gaya, strategi bagaimana dapat menampilkan kemampuan
penulisannya secara efektif, sehingga dapat diyakinkan dan mau menerima
Hasil pemahamannya melalui intepretasi mengenai peristiwa periode, individu
dan proses sejarah.

B. Perkembangan Historiografi Tradisional di Indonesia


Istilah historiografi memiliki dua pegertian yaitu historiografi sebagai
penulisan sejarah dan historiografi sebagai sejarah penulisan sejarah.
Historiografi sebagai penulisan sejarah merupakan satu kesatuan dalam
metodologi sejarah. Sebagai sejarah penulisan sejarah, historiografi memiliki
berbagai kelompok sesuai dengan sudut pandang sejarawan melihat suatu
peristiwa.16

16
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan
Aktor Sejarah, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002) h. 11

5
Historiografi disini merupakan cara pandang orang terhadap peristiwa
disekelilingnya yang dia tuangkan kedalam sebuah tulisan (cerita). Tulisannya
tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan pada waktu dia hidup, sehingga
tulisan dia mewakili keadaan zaman dimana dia hidup. Historiografi
tradisional merupakan ekspresi kultural dari usaha untuk merekam sejarah.
Historiografi tradisional merupakan kekayaan intelektual dalam sejarah
Indonesia. Historiografi ini dijadikan sumber satu-satunya untuk penulisan
sejarah Indonesia pada masa kerjaan-kerajaan terutama masa kerajaan Hindu-
Budha, meskipun ada sumber lain seperti sumber Cina dan berita para
peziarah namun kedudukan historiografi tradisional ini menjadi amat penting
karena menjadi sumber utama dalam penulisan sejarah masa Hindu-Budha.
Meskipun banyak yang dipertentangkan mengenai isi dari historiografi ini
karena sebagaimana kita ketahui penulisan historiografi pada masa ini
cenderung raja sentris atau istana sentris dan berbagai hal lainnya, tapi
setidaknya kita mendapatkan gambaran mengenai kondisi pada saat itu selain
fakta-fakta yang kita dapatkan.17
Ciri-Ciri Historiografi Tradisional menurut wilayah
Bagian Barat Bagian Tengah  Bagian Timur

Puisi atau Prosa Puisi atau Prosa Puisi


Etnosentris Etnosentris Etnosentris
Istana atau Raja Istana atau Raja sentris Istana atau Raja sentris
sentris
Mitologi-Irasional Mitologi-Irasional Rasional

Melegitimasi Melegitimasi kekuasaan Melegitimasi kekuasaan


kekuasaan
Kronogram/
____ Candrasangkala atau ____
penanggalan
Ramalan
Pengaruh Islam Pengaruh Hindu-Budha Pengaruh Islam

17
Kartodirdjo, Sartono. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif. (Jakarta: PT Gramedia. 1982) h .67

6
Keterangan:
1. Bagian barat meliputi semenanjung Melayu dan pulau Sumatera
2. Bagian Tengah meliputi pulau Jawa, Madura, Kalimantan dan Bali
3. Bagian Timur meliputi pulau Sulawesi dan Maluku.18
Historiografi tradisional Indonesia dimulai dari historiografi Indonesia
bagian tengah, hal ini dilihat dari peta keberadaan kerajaan-kerajaan awal di
Indonesia. Kerajaan pertama di Indonesia adalah kerajaan Kutai dan dan
dilanjutkan oleh kerajaan Hindu-Budha di pulau Jawa. Persentuhan antara
Nusantara khususnya pulau Jawa dengan India menyebabkan masuknya
pengaruh Hindu-Budha mengawali masuknya Indonesia dalam babak sejarah,
masuknya pengaruh India juga mempengaruhi historiografi tradisional bagian
tengah. Historiografi tradisional Indonesia dimulai dari historiografi Indonesia
bagian tengah, hal ini dilihat dari peta keberadaan kerajaan-kerajaan awal di
Indonesia. Kerajaan pertama di Indonesia adalah kerajaan Kutai dan
dilanjutkan oleh kerajaan Hindu-Budha di pulau Jawa. Persentuhan antara
Nusantara khususnya pulau Jawa dengan India menyebabkan masuknya
pengaruh Hindu-Budha mengawali masuknya Indonesia dalam babak sejarah,
masuknya pengaruh India juga mempengaruhi historiografi tradisional bagian
tengah. Meskipun Islam memiliki tempat yang dominan pada zaman
kelanjutannya, namun pengaruh agama Hindu terutama sangat kental sekali
terutama di daerah Jawa.
Corak Islam justru sangat kuat di daerah timur, yang meliputi Sulawesi dan
Maluku pada umumnya. Hal ini kemungkinan karena penetrasi budaya Hindu
dan Budha tidak sekuat di pulau Jawa dan Bali, hal ini dikarenakan kerajaan
dengan corak Hidu dan Budha di daerah ini tidak sekuat kerajaan Hindu dan
Budha di daerah Jawa dan Bali, sehingga ajaran Hindu-Budha pun tidak
mengakar dalam masyarakatnya, dan bahkan justru kepercayaan lokal yang
tetap menjadi dominan dalam masyarakat tersebut.19

18
Erwiza Erman. 2011. Penggunaan Sejarah Lisan Dalam Historiografi Indonesia.
(Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 13 No. 1 Tahun 2011) h. 45
19
Priyadi, Sugeng. Historiografi Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2015) h. 113

7
Historiografi tradisional di daerah barat yang justru sangat kental dengan
aroma Islam, karena kita tahu daerah pertama yang bersentuhan dengan Islam
adalah wilayah barat terutama Aceh. Meskipun di Sumatera pernah ada
kerajaan Budha besar yaitu Sriwijaya, namun penetrasi Islam dilancarkan oleh
kerajaan Islam setelahnya yaitu Aceh, dan usahanya berhasil sehingga Islam
melekat dalam budaya orang Sumatera (melayu).20
Dalam historiografi tradisional yang biasa disebut babad, wawacan, carita,
sajarah dan lainnya raja-raja diabadikan oleh para pujangga kedalam tulisan
baik itu puisi atau prosa sebagai seorang titisan dewa atau pembawa
kesejahteraan. Pada hakekatnya penulisan ini dimaksudkan hanya untuk
memberikan pujian kepada raja yang telah memberikan kesejahteran kepada
rakyatnya. Atau maksud dari penulisan itu bisa juga melegitimasi kekuasaan
seorang raja terhadap daerah kekuasaannya. Contoh historiografi tradisional
bagian tengah : Babad Tanah Jawi, Wawacan Sajarah Galuh, Carita
Parahiyangan, Wangsakerta, Pararaton, Nagarakertagama dan lainnya.

C. Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia


Historiografi modern adalah penulisan sejarah Indonesia yang bersifat
kritis atau memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Banyak tulisan yang salah
interpretasi dengan mendefinisikan historiografi modern sebagai penulisan
sejarah Indonesia setelah Indonesia merdeka. Padahal, sebelum Indonesia
merdekapun, kita memiliki karya sejarah yang sengat tepat yaitu historiografi
modern. Contohnya Cristiche Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan
Kritis tentang Sejarah Banten) yang merupakan karya dari Dr. Hoesein
Djajadiningrat.
Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah
Indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu
yaitu historiografi tradisional, historiografi masa kolonial atau masa reformasi.
Tumbuhnya historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan

20
Yakub, M. 2013. Historiografi Islam Indonesia Perspektif Sejarawan Informal. (Dalam
MIQOT, Vol. XXXVII No. 1 Januari-Juni 2013) h. 76

8
ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat
mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta
menerangkannya setepat mungkin. Historiografi modern merupakan cara
menulis, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah
dilakukan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.21
1. Garis-Garis Pokok dan Pola Perkembangan Historiografi Indonesia
Kesadaran akan historisitas kita menunjukkan perbedaan yang
sangat besar antara corak historiografi tradisional, seperti Babad, Hikayat,
Silsilah atau Kronik, dengan historiografi modern yang berlandaskan ilmu
sejarah. Perubahan dari historiografi jenis pertama ke yang kedua
merupakan proses yang bergerak melalui beberapa fase. Sebagian besar
historiografi tradisional memuat tindakan-tindakan dari manusia, tetapi
dipengaruhi oleh kekuatan dewa-dewa, jadi merupakan teogoni dan
kosmogoni yang menerangkan kekuatan-kekuatan alam dan
mempersonifikasikan sebagai dewa. Selama suatu kelompok manusia
belum hidup sebagai suatu kesatuan politis, maka historiografi belum
berkembang. Dengan timbulnya kerajaan atau negara dan bangsa yang
hidup sebagai suatu kesatuan politik, maka perhatian timbul terhadap
sejarah sebagai kesatuan yang mencakup hubungan antara kejadian-
kejadian dan fakta-fakta. Akan tetapi penggerak sejarah masih dilihat
sebagai kekuatan kosmis, maka sejarah tidak dibedakan dari alam.22
Sejarah berjalan tanpa dipengaruhi atau ditentukan oleh aksi atau
motivasi manusia. Jadi lama sebelum orang menulis sejarah mitos telah
menjawab pertanyaan wie es eigentlich gewesen, yaitu bagaimana sesuatu
sesungguhnya terjadi. Mitos mempunyai fungsi membuat masa lampau
bermakna dengan memusatkan kepada bagian-bagian masa lampau yang
mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum, maka dalam mitos tidak
ada unsur waktu, juga tidak ada masalah kronologi, tidak ada awal

21
Rohaedi,A. Historiografi Daerah: Sebuah Kajian Bandingan. (Jakarta: Depdiknas.
1985) h. 90
22
Sartono kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiograrfi Indonesia : Suatu
Alternatif. (Jakarta : Gramedia. 1982) h. 148

9
maupun akhir. Kronologi merupakan benih sejarah yang berpusat pada
tindakan manusia, meskipun masih merupakan susunan kosmis kejadian-
kejadian, baik yang alamiah maupun yang super alamiah. Sudah mulai
tampak hal-hal yang esensial bagi cerita sejarah, yaitu adanya batasan
waktu dan urutan kejadian.23
2. Perkembangan Historiografi Modern Indonesia
Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa baru dikembangkan
di Indonesia dan Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19. Perluasan
kekuasaan bangsa Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan sumber
bahan yang sedikit tidak memungkinkan adanya perkembangan
historiografi modern, maka tulisan yang dihasilkan orang-orang Eropa
pada abad ke 16 sampai ke 19 tidak mempengaruhi penulisan orang-orang
Asia khususnya Indonesia.
Usaha penulisan sejarah bangsa kita, dalam artian historiografi
modern, telah dilakukan pada zaman penjajahan berupa sejarah Hindia-
Belanda (Geschiedenis van Nederlands-Indie) sejumlah 5 jilid. Jilid satu
tentang prasejarah, jilid dua tentang sejarah Hindu-Jawa, jilid tiga tentang
pembentukan VOC, dan jilid empat tentang sejarah Hindia Belanda abad
ke-18. Jilid lima ditulis oleh F.W. Stappel terbit tahun 1943, ketika
Belanda diduduki Jerman dan kepulauan Indonesia diduduki Jepang. Oleh
karena itu, jilid lima ini tidak beredar di Indonesia. Tentu saja,
kecenderungan penulisan buku tersebut didasarkan perspektif kolonial
Belanda (Purwanro dan Asvi, 2005: 103).
Setelah kemerdekaan Indonesia, mulai didasari kebutuhan akan
penulisan buku sejarah oleh anak bangsa. Penulisan sejarah oleh orang
Belanda berfokus pada masyarakat Belanda di negara koloni atau di Eropa.
Sekiranya terdapat pembahasan tentang bumiputera tentunya dari
perspektif Barat (Van Leur, misalnya). Oleh karena itu, muncul pemikiran
untuk menulis sejarah oleh orang Indonesia sendiri sebagai history from

23
Soedjatmoko,dkk. Historiografi Indonesia Pengantar. (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. 1995) h. 67

10
within. Terjadi dekolonisasi sejarah, dengan motivasi menggantikan buku
teks Belanda. Penulisan sejarah ini dilakukan melalui penyaduran dengan
membalikkan posisi pelaku sejarah. Model historiografi Indonesia tahun
1957 bergeser dari Belandasentris menjadi Indonesiasentris. Label
“pemberontak” bagi Belanda seperti Diponegoro misalnya, berganti
menjadi “pahlawan” bagi kita (Piliang, 2001: 2). Akan tetapi, dekolonisasi
penulisan sejarah ini cenderung menjadi regionalisasi, dalam hal ini pokok
pembahasannya lebih banyak tentang Jawa (Jawasentris).
Historiografi Indonesia Modern dimulai pada tanggal 14-18
Desember 1957, ketika itu kementrian pendidikan mengadakan Seminar
Nasional Sejarah yang pertama di Yogyakarta untuk merancang sejarah
nasional yang resmi. Pembangunan nasional adalah salah satu tema utama
pada tahun 1950-an dan penulisan sejarah nasional adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari proses ini. Seminar itu membicarakan tentang usaha
penulisan sejarah nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah
nasional diharapkan menjadi alat pemersatu dengan memberikan
penjelasan tentang keberadaaan bangsa Indonesia melalui jejak sejarahnya.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia
sendiri, dengan demikian tentu objektivitasnya dapat
dipertanggungjawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang
berada pada saat peristiwa tersebut terjadi atau setidaknya adalah orang
Indonesia asli.24
Ciri-ciri Historiografi Modern Indonesia, yaitu:
1. Menggunakan metode yang kritis
Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya
mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif,
deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti
dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktur analitis).
2. Penghalusan teknik penelitian

24
Muhammad Shoheh. Historigrafi Islam Indonesia Kontemporer. (Aribakti, Volume 12
No.2. 2005) h. 33

11
Dalam teknik penelitian sejarah menggunakan metode yang tepat
yaitu:25
a. Memilih topik penulisan yang tepat/sesuai
b. Mencari dan memilih bukti-bukti sejarah yang sesuai dengan topik
c. Membuat berbagai catatan penting (teknik membuat catatan)
d. Mengevaluasi secara kritis semua bukti yang ada
e. Menyusun hasil-hasil penelitian dalam suatu sistematika tertentu yang
telah disiapkan sebelumnya
f. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan
mengkomunikasikan kepada para pembaca
g. Dalam teknik penelitian menggunkan teknik studi kepustakaan yaitu
dengan melalaui kajian terhadap sumber-sumber tertulis
h. Wawancara melalui oral history
i. Observasi dilakukan melalui penelitian di lapangan
j. Ekskavasi dilakukan melalui penggalian terhadap peninggalan sejarah.
3. Memakai ilmu-ilmu bantu baru yang bermunculan
Secara bertahap berbagai ilmu bantu baru dalam pengerjaan sejarah
berkembang mulai dari:26
a. Penguasaan bahasa
b. Epigrafi (membaca tulisan kuno)
c. Numismatik (mempelajari mata uang kuno)
d. Arkeologi yang mempelajari permasalahan arsip-arsip.
4. Metode pengumpulan sumber (heuristik) harus dikembangkan
Heuristik sebagai tahapan atau kegiatan menemukan dan
menghimpun sumber, informasi, dan jejak masa lampau. Jadi, heuristik
merupakan tahapan proses mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Di
samping sumber tertulis, terdapat pula sumber lisan. Dalam sejarah lisan,
terdapat informasi-informasi yang tidak tercantum dalam sumber-sumber

25
Sartono Kartodirdjo. Beberapa Vasal dari Historiografi Indonesia. (Jurnal Lembaran
Sejarah: Jogjakarta : Kanisius. 1968) h. 67
26
Anggar Kaswati. Metodelogi Sejarah dan Historiografi.  (Yogyakarta: Beta Offset.
1998) h. 89

12
tertulis. Untuk mendapatkan informasi-informasi itu, penulis harus
melakukan wawancara dengan narasumber yang disebut sebagai pengkisah
dengan menggunakan alat rekam dan kaset.
5. Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya
mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif,
deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti
dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis).
6. Menggunakan pendekatan multidimensional. Caranya yaitu dengan
menggunakan teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadiaan sejarah
sesuai dengan dimensinya dengan menggunakan sumber-sumber yang
lebih beragam daripada masa sebelumnya.27
7. Mengungkapkan dinamika masyarakat dari berbagai aspek kehidupan
yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan
sejarah Indonesia. Sebagai contoh: Tulisan berjudul ”Pemberontakan
Petani di Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan
Indonesia pertama yang menggunakan metode multidimensional dalam
penulisannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari sudut etmologi historiografi bermula dari bahasa yunani yaitu historia
dan grapetin. Historia yang berarti gejala alam phisik sedangkan grapehin
yang berarti gambaran , lukisan atau uraian, demikian segara harfiah
historiografi dapat diartikan sebagai suatu uraian, atau gambaran tentang suatu
hasil penelitian dari gejala alam. Namun dalam perkembangan historiografi
juga mengalami perkembangan yaitu melalui mengalami perubahan.
27
Hasan, Hamid. S. Pendidikan Sejarah untuk Membangun Inspirasi dan
Mengembangkan Aspirasi. (Jurnal Asosiasi Guru Sejarah Indonesia edisi 2. Jakarta: ISSI & AGSI.
2011) h. 113

13
Historiografi disebut sebagai sejarah dari sejarahnya atau sejarah penulisan
sejarah. Historiografi sering disebut rekongstruksi yang imaginatif,
kemungkinan melalui masa lampau sebagai pengertian yang untuk mengerti
dan memunculkan kembali.
Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai dari
zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.
Penulisan sejarah pada zaman ini berpusat pada masalah-masalah
pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa, bersifat istanasentris, yang
mengutamakan keinginan dan kepentingan raja. Penulisan sejarah di zaman
Hindu-Buddha pada umumnya ditulis diprasastikan dengan tujuan agar
generasi penerus dapat mengetahui peristiwa di zaman kerajaan pada masa
dulu, di mana seorang raja memerintah.
Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah
Indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu
yaitu historiografi tradisional, historiografi masa kolonial atau masa reformasi.
Tumbuhnya historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan
ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat
mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta
menerangkannya setepat mungkin. Historiografi modern merupakan cara
menulis, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah
dilakukan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
B. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan kelompok ini meskipun
penulisan ini jauh dari sempurna minimal kita mengimplementasikan tulisan
ini. Masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami, dan kami juga
butuh saran/kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih
biaik dari pada masa yang sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada bapak ahmad yani yang telah memberi kami tugas kelompok demi
kebaikan kita sendiri dan untuk negara dan bangsa.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anggar Kaswati. 1998. Metodelogi Sejarah dan Historiografi.  Yogyakarta:


Beta Offset.

Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan


Aktor Sejarah, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002)

Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi


Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: PT Gramedia.

Priyadi, Sugeng. 2015. Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Rohaedi,A. 1985. Historiografi Daerah: Sebuah Kajian Bandingan. Jakarta:


Depdiknas.

Sartono kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiograrfi


Indonesia : Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia.

Soedjatmoko,dkk. 1995. Historiografi Indonesia Pengantar. Jakarta : Gramedia


Pustaka Utama.

Muhammad Shoheh. 2005. Historigrafi Islam Indonesia Kontemporer. Aribakti,


Volume 12 No.2.

Sartono Kartodirdjo. 1968. Beberapa Vasal dari Historiografi Indonesia. Jurnal


Lembaran Sejarah: Jogjakarta : Kanisius.

Hasan, Hamid. S. Pendidikan Sejarah untuk Membangun Inspirasi dan


Mengembangkan Aspirasi. dalam Jurnal Asosiasi Guru Sejarah Indonesia
edisi 2. 2011. Jakarta: ISSI & AGSI

Erwiza Erman. 2011. Penggunaan Sejarah Lisan Dalam Historiografi Indonesia.


Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 13 No. 1 Tahun 2011

Yakub, M. 2013. Historiografi Islam Indonesia Perspektif Sejarawan


Informal. Dalam MIQOT, Vol. XXXVII No. 1 Januari-Juni 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai