Mazhab Mazhab Ilmu Hukum
Mazhab Mazhab Ilmu Hukum
BAHAN AJAR
Dosen Pengampu:
Vica Natalia, SH., MH., M.Kn
BAB II
dari uraian diatas maka dalam ilmu hukum timbul dua pengertian yang penting, yaitu “KEKUASAAN’
(gezaag, authority) dan “KEKUATAN” ( macht, power).
Kekuasaan adalah pengertian politik. dalam hal ini Utrecht menjelaskan sebagai berikut :
“kekuatan adalah paksaan dari suatu badan/instansi yang lebih tinggi kepada seseorang, lepas
daripada orang itu menerima paksaan sebagai sesuatu yang sah atau tidak (sebagian besar dari tata
tertib hukum positif)”
Kekuatan ini baru merupakan kekuasaan apabila kekuatan itu diterima sesuai dengan perasaan
hukum orang yang bersangkutan atau badan yang lebih tinggi dan sebagainya diakui sebagai
penguasa yang sah (otoriteit). Oleh karenanya, peraturan hukum harus mempunyai kekuasaan
hukum. Apabila tidak, maka peraturan itu berupa kekuatan, karena hanya merupakan paksaan
semata.
jadi hukum alam adalah hukum yang tidak bergantung pada pandangan manusia, berlaku kapan
saja, dimana saja, bagi siapa saja dan jelas bagi semua manusia tanpa ada yang menjelaskan nya.
Ajaran mengenai hukum kodrat dikemukakan antara lain :
menurut Aristoteles pendapat orang tentang “Keadilan” adalah tidak sama, sehingga seakan
akan tidak ada hukum alam yang asli. Namun harus diakui bahwa ada hukum yang bersifat
mutlak, artinya bahwa hukum tidak tergantung pada waktu dan tempat.
Hukum abadi (Lex Aeterna) itu sendiri pada dasarnya terdiri dari hukum positif Tuhan (Lex
Dirina) dan hukum alam(Lex Naturalis) yang bersumber pada ratio ke Tuhan nan.
Hukum Abadi
(Lex Aeterna)
Principia Principia
prima secundaria
yang adil atau apa yang tidak adil, mana yang jujur atau yang tidak jujur. Dari akal sehatnya
itu manusia berkeinginan hidup secara damai pada tatanan masyarakat yang teratur.
manusia harus hidup sesuai dengan kodratnya, karena menurut kodratnya manusia memiliki
akal yang sempurna maka manusia harus hidup menurut kehendak akalnya. Isi Hukum alam
diperoleh dari akal sehat.
berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus-menerus.” (L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu
Hukum, Inleiding Tot de Studio van Net Nederlandse Recht, 2001).
Argumentasi ini dipertajam lagi oleh Friederich Karl von Savigny yang melahirkan mazhab
sejarah menekankan bahwa:
“Hukum tidak berlaku universal, setiap bangsa memiliki kesadaran hukum, kebiasaan, budaya
yang berbeda dengan bangsa lain yang dapat ditemukan dalam jiwa bangsa. Hukum dapat
dikenali dalam ciri khas sebuah bangsa, seperti bahasa, tata krama dan konstitusi. Hukum
tumbuh melalui sebuah perkembangan dan menguat dengan kekuatan rakyat dan akhirnya
lenyap sebagaimana kehilangan rasa kebangsaannya.”
Pemikiran Lawrence Friedman, keberadaan hukum sebaiknya dipahami dalam konteks sistemik.
Artinya, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem terdiri atas beragam unsur antara lain:
Substansi, merupakan nilai, norma, ketentuan atau aturan hukum yang dibuat dan
dipergunakan untuk mengatur perilaku manusia.
Struktur, berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam
fungsi dalam rangka mendukung teraktualisasinya hukum
Kultur, menyangkut nilai-nilai, sikap, pola perilaku para masyarakat dan faktor nonteknis
merupakan pengikat sistem hukum tersebut.
Selain itu alasan lahirnya mazhab sejarah ini yaitu:
Adanya rasionalisme abad 18, yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-
prinsip yang semuanya berperan pd filsafat hukum, karena mengandalkan jalan pikiran deduktif
tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional
Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi cosmopolitan
(kepercayaan kepada rasio dan kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya).
Adanya pendapat yang melarang hakim menafsirkan hukum karena UU dianggap dapat
memecahkan semua masalah hukum.
Kodifikasi hukum di Jerman yang diusulkan Thibaut (guru besar Heidelberg): hukum tidak
tumbuh dari sejarah.
Dikotomi pemikiran-pemikiran paradigma teori hukum yang dikemukakan Savigny maupun
Friedman, dapatlah dipahami betapa pentingnya budaya hukum dalam hukum adat dan
pluralisme hukum. Hukum yang ideal harus sesuai dengan budaya hukum di masyarakat (living
law) berupa hukum adat atau hukum kebiasaan dalam pembentukan hukum. Dengan demikian,
bila ada hukum dan ketentuan perundang-undangan yang tidak menyatu atau seirama dengan
budaya hukum masyarakat, maka hukum tersebut sulit ditegakkan. Artinya, hukum adat dan
pluralisme hukum merupakan kesatuan hukum dan fakta yang tidak dapat dipisahkan dan
mengikuti aliran pemikiran teori relisme hukum. Konsekuensinya, hukum memerlukan kesatuan
kehendak (unity of will). Sebab, kesatuan dalam penerapan (unity of enforcement)
mensyaratkan kesatuan kehendak. Hal ini, tentunya terjadi perbedaan pendapat antara
paradigma realisme hukum dengan aliran legisme hukum. Bagi pengikut aliran kaum legisme,
hukum itu eksis karena adanya perintah penguasa. Karena hukum bersifat imperatif maka pasti
akan implementatif, meskipun masyarakat menolak untuk mematuhi dengan alasan
bertentangan dengan budaya hukum.
7
Hukum saat ini sebagai akumulasi kebijaksanaan dari pemikir besar masa lampau, tetapi hukum
juga sangat diwarnai disiplin kontemporer. Hukum sebagai sistem norma dan juga sebagai
bentuk kontrol sosial berdasar pada pola tertentu dari perilaku manusia. Hukum bersumber
pada hukum yang lebih tinggi dan diarahkan oleh akal dan tidak dibuat tapi hukum harus
ditemukan, sebab hukum sudah ada hubungan antara hukum dan moral masih sangat penting.
Paradigma semacam ini melahirkan asas hukum lex superior derogate legi inferior, artinya
hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Asas ini didukung lagi
oleh asas lex posterir derogat lex prio dan lex specialis derogat lex generalis. Pada hakikatnya,
penempatan hukum itu ada untuk diberlakukan. Maka bila hukum yang ada tidak berlaku berarti
ketentuan tersebut telah berhenti menjadi hukum. Dengan demikian, hukum tersebut menjadi
peraturan tertidur (slapende regeling).
Ada beberapa tokoh mazhab sejarah dalam hal ini, antara lain yaitu:
sebagai contoh adalah ketentuan pasal 913 burgerlijk wetboek (BW) Indonesia, dikutip dari buku
Pengantar Ilmu Hukum karangan Prof.Dr.Mahmud Marzuki SH.MS.LL.M yang berbunyi: ”Legitieme
portie atau bagian warisan menurut undang-undang adalah suatu bagian dari harta benda yang
harus di berikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya
orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu,baik sebagai hibah antara orang-
orang yang masih hidup maupun sebagai wasiat”.
Berdasarkan ketentuan tersebut,pewaris dengan testamen sekalipun tidak di bolehkan untuk
mengurangi bagian terkecil dari ahli waris sekecil apapun nilainya. hal ini akan terjadi pada kasus
kematian seseorang, ketika dia meninggal dan meninggalkan sebuah harta.
Contoh kasus I :
almarhum punya 3 anak dan dia juga punya wanita simpanan yang ia cintai, sebelum meninggal
dia telah mewasiatkan seluruh harta bendanya kepada wanita simpanan tersebut, karena
testamen atau wasiat tersebut bertentangan dengan ketentuan pasal 913 BW, maka testamen itu
tidak dapat dieksekusi. disini yang di haruskan terjadi ialah ketiga anak tersebut harus
mendapatkan warisan sesuai dangan pasal 914 BW tentang besarnya legitieme portie (LP) yang
berhak di terima oleh ketiga anak tersebut, barulah sisanya kemudian dapat di wariskan kepada
wanita simpanan tersebut.
Contoh kasus II : apabila seorang guru ASN di Sekolah Dasar akan mengadakan pungutan, maka ia
tidak boleh melanggar peraturan undang-undang yang mengatur tentang UU ASN , UU
pendidikan, UU korupsi dan sebagainya. Bila ia terbukti melakukan pelanggaran hukum karena
pungutan tersebut, maka ia dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
Hukum Fakultatif adalah hukum yang mengatur,yang bisa di artikan juga sebagai hukum
pelengkap yang artinya dalam keadaan kongkret,hukum tersebut dapat di kesampingkan oleh
perjanjian yang diadakan oleh para pihak dan dengan kata lain ini merupakan hukum secara apiori
tidaklah mengikat atau wajib di ta’ati.
9
contoh kasus I :
Sebagai contoh dalam pasal 119 KUH Perdata berbunyi
”Mulai saat perkawinan dilangsungkan,demi hukum, berlakulah persatuan bulat antara harta
kekayaan suami dan harta kekayaan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak
diadakannya ketentuan lain.
Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu
persetujuan antara suami dan istri”. (di kutip dari ”Dasar-Dasar Ilmu Hukum” Ishaq SH.M Hum).
Jadi,dalam hal ini sebenarnya kedua belah pihak dapat mengesampingkan peraturan ini, jika
kedua belah pihak membuat persetujuan-persetujuan lain yang sekiranya dapat membuat
kedunya saling menyepakati persetujuan atau perjanjian tersebut.misalnya dengan membuat
perjanjian kawin, harta mereka terpisah satu sama lain,atau sebagainya.
Dari pengertian di atas tentang hukum imperatif(hukum yang memaksa) dan fakultatif (hukum
yang mengatur), kata hukum yang memaksa dan mengatur sebenarnya merupakan istilah yang di
gunakan oleh Belanda dalam membentuk Undang-undang, karena itulah istilah yang sangat tepat
untuk menyebut ”hukum yang mengatur dan memaksa” sebagai ketentuan-ketentuan yang
bersifat memaksa dan mengatur.hal ini sejalan dengan istilah bahasa inggris ”Mandatory
Provision”untuk ketentuan yang bersifat memaksa,dan ”Directory Provision” untuk ketentuan
yang bersifat mengatur.
6. Bab 2 Pasal 6 ayat 1 UU. No 1 tahun 1974 6. Buku III Bab 1 bagian 9 Pasal 1303
tentang Perkawinan KUHPerdata
7. Bab 4 Pasal 15 UU. No 8 tahun 1999 tentang 7. Buku III Bab 1 bagian 10 Pasal 1306
Perlindungan Konsumen KUHPerdata
8. Bab 1 Pasal 7 UU. No 5 tahun 1960 tentang 8. Buku III Bab 3 Pasal 1370 KUHPerdata
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria 9. Buku III Bab 3 Pasal 1371
9. Buku III Bab 1 bagian ke-3 Pasal 1242 10. Buku III Bab 4 bagian 2 Pasal 1404
KUHPerdata KUHPerdata
10. Buku III Bab 3 bagian 9 Pasal 1301
KUHPerdata
11. Buku III Bab 3 Pasal 1360 KUHPerdata