Anda di halaman 1dari 6

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN ANAK JALANAN DI KOTA MALANG

Dwi Susilowati1

1Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang


Alamat Korespondensi : Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang
E-mail: 1)ibudwisusilowati@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi profil anak jalanan di Kota Malang dan merumuskan
konsep penanggulangannya. Alat analisis yang digunakan untuk adalah analisis statistik deskriptif
kuantitatif. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui sebagai berikut: pertama, Mayoritas anak
jalanan berada pada usia 10-15 tahun yaitu sebanyak 54,17%, 33,33% berusia lebih dari 15 tahun
dan sebanyak 12,5% berusia kurang dari 10 tahun. Kedua, Peran orang tua sangatlah penting dalam
penanggulangan anak jalanan, orang tua seringkali keberatan ketika anaknya dibina untuk
memperoleh ketrampilan di lembaganya hanya karena waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk
mencari uang menjadi tidak bisa. Ketiga, Faktor kemiskinan yang menjadi faktor utama munculnya
anak jalanan maka pemerintah, LSM dan masyarakat harus bersinergi untuk memberdayakan
keluarga anak jalanan, dengan meningkatnya ekonomi keluarga maka anak dapat fokus untuk
menempuh pendidikan.

Kata kunci: Kemiskinan Perkotaan, Anak Jalanan, Kota Malang.

1. PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia [1]. Masalah
kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya
dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia, walaupun seringkali tidak disadari
kehadirannya sebagai masalah untuk oleh manusia yang bersangkutan. Bagi mereka yang tergolong
miskin, kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan mereka sehari-hari, karena
mereka itu merasakan dan menjalani sendiri bagaimana mereka hidup dalam kemiskinan. Walaupun
demikian belum tentu mereka itu sadar akan kemiskinan yang mereka jalani. Kesadaran akan
kemiskinan yang mereka miliki itu, baru terasa pada waktu mereka membandingkan kehidupan yang
mereka jalani dengan kehidupan orang lain yang tergolong mempunyai tingkat kehidupan sosial yang
lebih tinggi.
Secara singkat, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang
rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan
[2, 3]. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat
keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang
miskin [4].
Berawal dari kemiskinan, maka bermunculan berbagai masalah sosial lainnya. Merebaknya
gepeng di jalanan maupun yang berkeliaran di kampung-kampung salah satu indikatornya. Begitu
pula PSK dan akan anak jalanan yang terkena razia, bisa dipastikan 90 % beralasan karena faktor
ekonomi. Belum lagi anak putus sekolah yang selalu meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun.
Lansia terlantar, anak terlantar, penyandang cacat terlantar, semakin melengkapi data penyandang
masalah sosial yang berpangkal pada kemiskinan. Seperti halnya anak-anak yang masih dibawa umur
sudah menjadi pengemis ataupun lainnya.
Sesuai dari data Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur di kota Malang sendiri secara berturut-turut
selama tiga tahun terakhir terdapat 942 orang, 555 orang, dan 641 orang anak jalanan. Masalah ini
tentu membutuhkan program besar yang terpadu, bukan hanya melibatkan Pemerintah tapi juga
segenap komponen masyarakat.

884 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk


Jika dilihat dari kekuatan pemerintah yang dimana Dinas sosial sebagai ’kepanjang
tanganannya’, usaha kesejahteraan sosial sepenuhnya ditentukan pada urusan masyarakat. Tak bisa
dipungkiri, masih sering dijumpai program pengentasan kemiskinan tak ubahnya proyek bagi-bagi
bantuan. Bagaimana proses, bagaimana kelanjutannya seringkali terabaikan. Justru yang diutamakan
hanya sekedar memenuhi tuntutan pelaporan administratif.
Dalam kaitannya dengan pembangunan sumber daya manusia, terutama di perkotaan,
penanganan yang serius terhadap masalah anak jalanan merupakan suatu isu kebijakan yang
mendesak. Penanganan tuntas tentunya tidak hanya mencakup upaya-upaya yang bersifat
rehabilitatif saja, tetapi juga mencakup usaha yang bersifat pencegahan dan pengembangan. Selain
itu, kebijakan yang kurang tepat dan menyederhanakan permasalahan yang sesungguhnya hanya
akan membuat usaha penanggulangan anak jalanan menjadi usaha tambal sulam karena kesalahan
dalam melihat masalah yang sesungguhnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam rangka menciptakan sebuah kebijakan yang
efektif tentang anak jalanan, perlu dilakukan kajian terhadap profil anak jalanan sebagai upaya
merumuskan model kebijakan penanggulangan anak jalanan yang integral dan komprehensif. Demi
efektivitas pencapaian tujuan penelitian, penelitian ini mengambil kota Malang sebagai lokasi
penelitian. Secara umum penetapan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa Kota
Malang dikenal sebagai kota pendidikan yang merupakan tolak ukur perkembangan dunia
pendidikan di kawasan timur Indonesia. Dengan banyaknya kampus di kota Malang mengakibatkan
banyaknya mahasiswa dari luar daerah berdatangan.
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan mahasiswa di kota Malang semakin bertambah. Pusat
perbelanjaan maupun tempat-tempat hiburan semakin banyak akibat pemenuhan kebutuhan
mahasiswa. Disisi lain, perkembangan anak jalanan di kota Malang semakin bertambah pula. Hal ini
menunjukkan bahwa secara fisik kota Malang berkembang pesat. Akan tetapi, hal tersebut tidak
diimbangi dengan kesejahteraan masayarakat sehingga anak jalanan di tempat keramaian masih ada.

2. METODE

Lokasi penelitian ini di Kota Malang mengingat di kota Malang masih terdapat banyak anak
jalanan. Khususnya di alun-alun, pusat perbelanjaan dan perempatan traffic light.
Adapun Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari respondden yaitu para anak jalanan
beserta orang tua anak jalanan di kota Malang.
b. Data sekunder yaitu data yang disajikan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan
penelitian ini, seperti Dinas Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di
kota Malang.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi lapangan yaitu
teknik penelitian secara langsung pada keluarga anak jalanan dan kondisi anak jalanan di kota
Malang guna memperoleh data yang diperlukan untuk penelitian.
Teknik analisa data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisa deskriptif
kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif yaitu dengan tabulasi dan distribusi frekuensi,
selain itu juga menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif yang disertai dengan uraian yang
mendalam dari hasil penelitian [5].

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Anak jalanan yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang
aktifitasnya berada disekitar Alun-alun Kota Malang, terdapat 24 anak jalanan yang berhasil
dijumpai dan dijadikan responden. Usia responden mayoritas berada pada usia 10-15 tahun yaitu
sebanyak 54,17%, 33,33% berusia lebih dari 15 tahun dan sebanyak 12,5% berusia kurang dari 10
tahun. Jenis kelamin responden antara laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 50%.

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 885


Adapun tingkat pendidikan responden yaitu sebanyak 58,33% berpendidikan SD, 29,17%
berpendidikan SMA, dan 12,5% berpendidikan SMP.
Status sosial keluarga sangat berperan terhadap keputusan dan aktifitas seseorang. Agar
mengetahui status sosial keluarga anak jalanan, maka peneliti melalui kuisioner menggali informasi
terkait hal tersebut. Berikut ini adalah gambaran status sosial keluarga anak jalanan di Kota Malang.
Pertama, riwayat pendidikan responden, seluruh responden saat ini masih aktif menempuh
pendidikan. Hal ini dikarenakan adanya fasilitas yang disediakan oleh pemerintah maupun LSM
dalam mendukung pendidikan anak jalanan.
Kedua, Kondisi keluarga anak jalanan sebanyak 87,5% masih memiliki kedua orang tua dan
sebanyak 12,5% berstatus sebagai anak yatim. Adapun jumlah saudara anak jalanan umumnya antara
1-3 orang yaitu sebanyak 58,3%, 37,5% memiliki saudara antara 4-6 orang dan sebanyak 4,17%
memiliki saudara di atas 10 orang.
Ketiga, Orang tua anak jalanan pada umumnya berprofesi sebagai pedagang kecil yaitu
sebanyak 33,33% dan 16,67% berprofesi sebagai pegawai swasta. Adapun profesi lainnya secara
berurutan yaitu sebagai tukang becak, Buruh harian/serabutan, tidak bekerja dan lainnya (tukang
parkir, penjahit, buruh pabrik, dan kuli bangunan) masing-masing sebanyak 12,5%, 8,33%, 8,33%,
dan 20,83%.
Keempat, Pendapatan yang diperoleh orang tua anak jalanan dapat dikategorikan sangat minim
untuk ukuran kehidupan di perkotaan yaitu sebanyak 66,67% berpendapatan kurang dari Rp.
500.000,00, 29,17% berpendapatan antara Rp. 500.000,00 s/d Rp. 1.000.000,00 dan 4,17%
berpendapatan antara Rp. 1.000.000,00 – Rp. 1.500.000,00.
Kelima, Jika dilihat dari tingkat pendidikan, orang tua anak jalanan mayoritas berpendidikan
SD dan SMP yaitu masing-masing sebesar 29,17%, selanjutnya sebanyak 25% Tidak Lulus SD dan
sebanyak 16,67% berpendidikan SMA. Keenam, Adapun perhatian orang tua terhadap mereka,
sebanyak 87,5% anak jalanan menilai bahwa orang tua mereka perhatian dan sebanyak 12,5% anak
jalanan menganggap perhatian orang tua kepada mereka masih kurang.
Agar mengetahui identifikasi anak jalanan maka harus diketahui terkait kehidupan anak
jalanan. Berikut ini adalah gambaran kehidupan anak jalanan. Pertama, sebanyak 62,5% responden
menjawab bahwa mereka sudah lebih dari 3 tahun menjadi anak jalanan. Sedangkan sisanya
sebanyak 20,83% telah menjalani anak jalanan selama antara 1-3 tahun dan 16,67% masih kurang
dari 1 tahun.
Kedua, Pada umumnya mereka hanya mengalokasikan kurang dari 4 jam/hari untuk menjalani
aktifitas sebagai anak jalanan yaitu sebanyak 79,17% responden. Sedangkan sisanya sebanyak
20,83% berada di jalanan antara 4-9 jam/hari. Hal ini dikarenakan mereka menjalani aktifitas sebagai
anak jalanan setelah mereka pulang dari sekolah, sehingga rata-rata hanya 4 jam/hari.
Ketiga, sebanyak 62,5% alasan mereka di jalanan hanya sebatas bermain saja, 25% bermain
sambi mencari uang dan 12,5% mereka sepenuhnya mencari uang. Meskipun demikan, hal ini tetap
perlu menjadi perhatian dikarenakan banyak anak jalanan yang pada awalnya hanya bermain akan
tetapi lama-kelamaan mereka mencoba aktifitas lain selama berada dijalanan, sebagaimana hasil
penelitian Handayani (2009). Adapun pekerjaan yang dijalani selama di jalanan sebanyak 45,83%
tidak menjawab pertanyaan ini, 20,83% hanya bermain saja, 16,67% berprofesi sebagai pengamen,
12,5% berjualan, dan 4,17% beraktfitas sebagai polisi cepek.

3.1. Peran Keluarga dalam Penanggulangan Anak Jalanan


Status perkawinan orang tua anak jalanan yang menjadi responden di Kota Malang berasal
dari keluarga dengan status perkawinan kawin. Hal ini menunjukkan bahwa tidak lengkapnya orang
tua dalam satu keluarga tidak menjadi suatu alasan munculnya anak jalanan. Kehadiran anak dalam
suatu keluarga merupakan sesuatu yang diidamkan bagi semua keluarga. Akan tetapi, keluarga yang
kurang beruntung, anak akan dijadikan alat penggerak ekonomi keluarga. Hal ini dapat dilihat dari
anak jalanan Kota Malang yang diantaranya memilih hidup sebagai anak jalanan dengan berjualan
dikarenakan mereka harus membantu orang tua.
Salah satu penyebab anak harus ikut membantu bekerja adalah tingkat pendidikan orang tua
mereka. Orang tua anak jalanan mayoritas adalah dengan pendidikan Tidak Lulus SD, SD dan SMP.
Hal inilah yang menyebabkan bahwa pekerjaan yang dijalani adalah pekerjaan sektor informal.

886 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk


Mereka tidak mempunyai keahlian dan ketrampilan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi keluarga.
Meskipun demikian, mayoritas anak jalanan mengaku hidup di jalanan hanyalah bermain saja.
Hal ini juga disebabkan ketidakcukupan sarana bermain di rumah sendiri mengakibatkan mereka
memilih untuk bermain di jalanan. hal ini tetap perlu menjadi perhatian dikarenakan banyak anak
jalanan yang pada awalnya hanya bermain akan tetapi lama-kelamaan mereka mencoba aktifitas lain
selama berada dijalanan, sebagaimana hasil penelitian [6].
Berdasarkan kondisi tersebut, maka penanggulangan anak jalanan tidaklah cukup hanya dari
LSM dan pemerintah. Peran orang tua sangatlah penting, sebagaimana pengakuan dari Yuyun
pengelola salah satu LSM anak jalanan di Kota Malang yang menyatakan bahwa orang tua seringkali
keberatan ketika anaknya dibina untuk memperoleh ketrampilan di lembaganya hanya karena waktu
yang seharusnya dapat digunakan untuk mencari uang menjadi tidak bisa. Hal inilah yang kemudian
menjadi penghambat anak jalanan untuk memperoleh ketrampilan. Meskipun demikian, LSM Anak
jalanan menyiasatinya yaitu dengan mengganti uang transport sesuai yang seharusnya dapat diterima
apabila mereka bekerja dalam waktu yang sama agar diizinkan oleh orang tua untuk mengikuti
kegiatan yang diselenggarakan oleh LSM.

3.2. Alternatif Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan


Berkaitan dengan Keputusan Walikota Malang Nomor 88 tahun 2011, anak jalanan
dimasukkan sebagai salah satu kategori dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Dalam Keputusan Walikota ini menyatakan bahwa untuk melakukan penanganan
terhadap PMKS perlu dilakukan dengan upaya koordinasi secara terpadu dengan
mengikutsertakan seluruh komponen, baik dari pihak pemerintah maupun non pemerintah, juga
peran serta masyarakat luas dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Untuk mempermudah dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, dibentuk suatu Komite
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dibawah pengarahan dari Walikota Malang dan
dibawah tanggungjawab dari Sekretaris Daerah Kota Malang serta Asisten Administrasi Daerah
Kota Malang, dimana yang bertindak sebagai ketua pelaksana adalah Kepala Dinas Sosial Kota
Malang.
Dinas Sosial selama ini mengacu pada tiga hal yang disebut dengan “3 fungsi utama
penanganan anak jalanan”, antara lain terdiri dari: Pertama, Fungsi pencegahan dilakukan dengan
cara sosialisasi kepada anak jalanan melalui kerjasama dengan LSM ataupun pihak-pihak lain
yang terkait. Proses sosialisasi ini tidak serta merta dapat berjalan dengan maksimal, sebagai
alternatif pencegahan yang lain, Dinas Sosial Kota Malang bekerjasama dengan Satpol-PP
untuk melakukan kegiatan razia anak jalanan yang disebut “Operasi Simpatik”. Kegiatan Operasi
Simpatik ini tidak hanya dilakukan oleh Satpol-PP, tetapi ada tim terkait yang bekerjasama
dalam kegiatan ini, tim tersebut adalah gabungan dari Dinas Sosial, Satpol-PP, Polresta Kota
Malang, Kementerian Agama Kota Malang dan Dinas Ketenagakerjaan Kota Malang.
Kedua, Fungsi rehabilitasi. Anak jalanan yang hasil razia Operasi Simpatik kemudian didata
dan ditampung di LIPONSOS (Lingkungan Pondok Sosial) yaitu tempat yang memang
disediakan untuk membina anak-anak jalanan yang terjaring dalam razia. Materi pembinaan
yang diberikan dalam upaya rehabilitasi di LIPONSOS antara lain adalah pembinaan mental,
Keagamaan, dan motivasi-motivasi. Setelah dari LIPONSOS, anak-anak jalanan ini akan dirujuk
ke UPT-UPT (Unit Pelayanan Terpadu) yang berada di Provinsi Jawa Timur untuk mendapatkan
pembinaan lebih lanjut. Dalam fase ini Dinas Sosial Kota Malang bekerjasama dengan Dinas
Sosial Provinsi Jawa Timur. Dinas Sosial juga bekerjasama dengan panti-panti asuhan untuk
merujuk anak jalanan yang tidak memiliki tempat tinggal tetap dan sudah tidak memiliki
keluarga ataupun orang tua.
Ketiga, Fungsi pemberdayaan. Pemberdayaan ini dimaksudkan agar nantinya anak-anak
jalanan tersebut dapat memiliki keterampilan tertentu yang nantinya dapat mereka jadikan bekal
dalam bekerja, hal inilah yang diharapkan secara perlahan dapat membuat mereka berhenti
menjadi anak jalanan. Pemberdayaan ini dimulai dari tahapan identifikasi atau pendataan anak
jalanan, dengan skema by name by address. Setelah dilakukan pendataan/identifikasi, data yang
ada akan diseleksi. Proses seleksi ini dimaksudkan agar pelatihan yang diikuti oleh anak-anak

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 887


jalanan ini sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk memastikan bahwa data yang
didapat dan telah terploting merupakan data yang benar, maka Dinas Sosial melakukan home-
visite. Tidak hanya berhenti pada proses home-visite, selanjutnya dilakukan tahapan assessment
untuk dapat mengetahui latar belakang anak jalanan secara lebih menyeluruh. Dalam proses ini,
para relawan (seperti halnya pekerja sosial, ataupun relawan-relawan yang tergabung dalam
LSM-LSM) melakukan pengidentifikasian terhadap anak jalanan untuk mendapatkan data yang
selengkap-lengkapnya tentang mereka.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada teori penanggulangan anak jalanan bahwa model
penanganan anak jalanan mengarah pada 4 jenis model, yaitu: Street-centered intervention, Family-
centered intervention, Intitutional-centered intervention dan Community-centered intervention. Tiga
dari empat jenis model tersebut sudah pernah dilakukan oleh pemerintah dan LSM yang ada di Kota
Malang yaitu penanggulangan anak jalanan yang dipusatkan di “jalan” (Street-centered intervention),
penanganan anak jalanan yang dipusatkan di lembaga seperti adanya rumah singgah (Intitutional-
centered intervention), dan penanganan anak jalanan yang dipusatkan dalam sebuah komunitas
(Community-centered intervention).
Model penanggulangan anak jalanan melalui model Family-centered intervention perlu juga
dilakukan agar orang tua memiliki kesadaran dan berperan dalam mengontrol anaknya untuk tidak
menjadi anak jalanan dikarenakan seluruh anak jalanan mengakui bahwa aktivitasnya sudah
diketahui dan dibiarkan oleh orang tua mereka. Selain itu, hal ini juga tidak terlepas dari
permasalahan kemiskinan perkotaan yang dialami oleh orang tua anak jalanan, mengingat bahwa
faktor kemiskinan yang menjadi faktor utama munculnya anak jalanan maka pemerintah, LSM dan
masyarakat harus bersinergi untuk memberdayakan keluarga anak jalanan, dengan meningkatnya
ekonomi keluarga maka anak dapat fokus untuk menempuh pendidikan.
Selain itu, pengembangan usaha berbasis anak jalanan juga perlu dijalankan. Ketrampilan-
ketrampilan yang diberikan kepada anak jalanan dapat dilanjutkan dengan pembentukan usaha-usaha
mandiri yang bekerja sama dengan pihak swasta atau masyarakat luas. Sehingga melalui usaha ini,
ekonomi anak jalanan dapat ditingkatkan dari perolehan pembagian hasil produk yang dihasilkan.

4. KESIMPULAN
Penanggulangan anak jalanan melalui model Family-centered intervention perlu juga
dilakukan agar orang tua memiliki kesadaran dan berperan dalam mengontrol anaknya untuk tidak
menjadi anak jalanan. Selain itu, Mayoritas anak jalanan berada pada usia sekolah, sehingga
diperlukan model pendidikan bagi anak jalanan dengan berbasis ketrampilan yang dapat digunakan
anak-anak ketika sudah tidak lagi berada di jalanan sehingga mereka dapat memberdayakan diri
mereka sendiri. Maka, Pengembangan usaha berbasis anak jalanan perlu dijalankan agar
Ketrampilan-ketrampilan yang diberikan kepada anak jalanan dapat dilanjutkan dengan
pembentukan usaha-usaha mandiri yang bekerja sama dengan pihak swasta atau masyarakat luas.
Sehingga melalui usaha ini, ekonomi anak jalanan dapat ditingkatkan dari perolehan pembagian hasil
produk yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Susilowati, Dwi dan Suliswanto, M.S.W. 2014. Pertumbuhan Ekonomi, Indeks
Pembangunan Manusia, Utang Luar Negeri dan Kemiskinan (Kajian Teoritis di Indonesia).
Jurnal Ekonomika-Bisnis, Vol. 6. No. 1. Januari 2015, hal. 89-106..
[2] Lembaga Penelitian SMERU. 2001. Paket Informasi Dasar Penanggulangan Kemiskinan.
[3] Mukherjee, Nilanjana. 2006. Voices of the Poor: Making Services Work for the Poor in
Indonesia. World Bank. Washington, D.C.
[4] Renggapratiwi, Amelia. 2009. Kemiskinan dalam Perkembangan Kota Semarang:
Karakteristik dan Respon Kebijakan. Tesis S2, tidak dipublikasikan, Pasca Sarjana Magister
Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang.
[5] Moleong, 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

888 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk


[6] Handayani, Kartika. 2009. Identifikasi Anak Jalanan di Kota Medan. Skripsi S1, tidak
dipublikasikan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 889

Anda mungkin juga menyukai