Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH PANCASILA

BAGAIMANA PANCASILA DALAM ARUS SEJARAH


BANGSA INDONESIA

Dosen Pengampu :
Hevi Susanti, S.I.Kom., M.A

Disusun Oleh

Disusun Oleh:
Kelompok III
Elisa Pebrianti 1607122685
Mhd. Refsi Oktavian 1607116138
Teguh Imam Pradhonggo 1607116192
Syaktia Aryuda 1607116180

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul

“Bagaimana Pancasila Dalam Arus Sejarah Bangsa Indonesia” . Makalah ini


dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Pancasila.
Dalam proses penyelesaian makalah ini banyak pihak yang terlibat. Oleh
sebab itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Hevi Susanti, S.I.Kom.,
M.A sebagai dosen pengampu yang telah memberikan arahan dan bimbingan
dalam pembuatan makalah, serta semua pihak terkait yang telah membantu dalam
penyelesaiannya.
Makalah ini bukanlah pencapaian yang sempurna, dan masih memiliki
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya penulis
ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................1
1.3 Tujuan.......................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3
2.1 Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila dalam
Kajian Sejarah Bangsa Indonesia............................................................3
2.2 Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila
dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia.................................................8
2.3 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah
Bangsa Indonesia untuk Masa Depan...................................................20
BAB III PENUTUP.............................................................................................31
3.1 Kesimpulan.............................................................................................31
3.2 Saran.......................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pancasila adalah dasar dalam mengatur pemerintahan negara Indonesia yang
mengutamakan semua komponen di seluruh wilayah Indonesia.. Dalam perjalanan
sejarah bangsa Indonesia, sesungguhnya nilai- nilai Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa sudah terwujud dalam kehidupan bermasyarakat sejak sebelum
Pancasila sebagai dasar negara dirumuskan dalam satu sistem nilai. Sejak zaman
dahulu, wilayah-wilayah di nusantara ini mempunyai beberapa nilai yang
dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Perumusan pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia mengalami dinamika
yang kaya dan penuh tantangan. Bahkan pada saat perumusan pancasila, sampai
pengesahan pancasila mengalami tantangan berupa “Amnesia sejarah”. Argumen
tentang dinamika dan tantangan pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia
dapat dipahami setelah mengetahui sumber histori, sosiologi, dan politik tentang
pancasila. Didalam pancasila terdapat lima sila, setiap silanya memiliki nilai-nilai
tersendiri. 
Pandangan hidup bangsa terhadap pancasila sebagai dasar negara menjadi
perjanjian luhur bangsa yang perlu dijunjung tinggi. Bangsa Indonesia bertekad
untuk menjalankan dan mengatur negara berdasarkan Pancasila. Selain itu semua
hukum yang disusun harus berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, pengetahuan
masyarakat tentang pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia sangat
penting agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap pancasila dimasa mendatang.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana sumber historis, sosiologis, politis tentang pancasila dalam
kajian sejarah bangsa indonesia?
2. Bagaimana membangun argumen tentang dinamika dan tantangan pancasila
dalam kajian sejarah bangsa indonesia?
3. Bagaimana esensi dan urgensi pancasila dalam kajian sejarah bangsa
indonesia untuk masa depan?

1
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain:
1. Dapat mengetahui dan memahami sumber-sumber pancasila
2. Dapat mengetahui dan memahami dinamika dan tantangan pancasila
3. Dapat mengetahui dan memahami esensi dan urgensi pancasila untuk masa
depan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila dalam


Kajian Sejarah Bangsa Indonesia
Nilai-nilai essensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu: Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan dalam kenyataannya secara
objektif telah dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum
mendirikan Negara. Berdasarkan kajian dari sejarah Bangsa Indonesia, pancasila
memiliki beberapa sember seperti berikut ini:
2.1.1 Sumber Historis Pancasila
Sejak jaman kerajaan dahulu kala, nilai-nilai pancasila sudah ada dalam
adat istiadat, kebudayaan, dan agama. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia
secara obyektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Contohnya
yaitu sila ketuhanan yang sudah ada pada zaman dahulu meskipun dalam praktik
pemujaan yang berbeda-beda. Beberapa unsur yang terdapat dalam agama seperti
kepercayaan dengan kekuatan supranatural, perbedaan antara sakral dan profan,
tindakan ritual pada objek sakral, dan lain-lain (RISETDIKTI, 2016).
Presiden soekarno pernah mengatakan, “jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah”, pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi
penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa
depan. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan seorang filsuf yunani yang bernama
Cicero (106-43SM) yang mengungkapkan, “Historia vitae magistra”, yang,
bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian lain dari istilah tersebut
yang sudah menjadi pendapat umum (common-sense) adalah “sejarah merupakan
guru kehidupan” (Warsito, 2017).
Dalam era reformasi bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan
hidup yang kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah
masyarakat internasional. Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa
yang berakar pada sejarah bangsa. Pancasila memilki landasan historis yang kuat.
Agar nilai-nilai Pancasila selalu melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia,
maka nilai-nilai yang terkandung dalam setiap Pancasila tersebut kemudian

3
dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara. Sebagai sebuah dasar Negara,
Pancasila harus selalu dijadikan acuan dalam bertingkah laku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Semua peraturan perundang-undangan
yang ada juga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. 
2.1.2 Sumber Sosiologis Pancasila
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di
dalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial
dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga mengkaji
masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam masyarakat. Nilai-
nilai pancasila secara sosiologi telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak zaman
dahulu hingga sekarang seperti, nilai gotong royong. Kegiatan ini dilakukan
dengan semangat kekeluargaan sebagai cerminan dari sila Keadilan Sosial. Sistem
perpajakan di Indonesia juga menggunakan nilai gotong royong karena,
masyarakat bersama-sama membayar iuran untuk pelaksanaan pembangunan
negara (RISETDIKTI, 2016).
Bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki
dan melekat pada bangsa itu sendiri. Soekanto (1982) mengaskan bahwa dalam
perspektif sosiologi, suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki
nila-nilai yang tertentu. Melalui pendekatan sosiologis ini pula, anda diharapkan
dapat mengkaji struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan
sosial, dan masalah-masalah sosial yang patut disikapi secara arif dengan
menggunakan standar nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila
(Warsito, 2017).
Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasila sebagai ideologi
negara meliputi hal-hal sebagai berikut: 
a.      Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan
beragama masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan
keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib.
b.     Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab  dapat  ditemukan dalam hal
saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap
sewenang-wenang.

4
c.      Sila Persatuan Indonesia yang dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas,
rasa setia kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai
produk dalam negeri.
d.     Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai
pendapat orang lain, semangat musyawarah dalam mengambil keputusan.
e.      Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin  dalam sikap
suka menolong, menjalankan gaya hidup sederhana, tidak menyolok atau
berlebihan.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, Bangsa Indonesia mendasarkan
pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada suatu
asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa, dan bernegara pada suatu
asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri, nilai-nilai
kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan
hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya besar Bangsa
Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara (Kaelan,
2000). Bung Karno menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi
pertiwi Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan
sosiologis masyarakat Indonesia (Warsito, 2017).

2.1.3 Sumber Politis Pancasila


Pancasila bersumber dari local wisdom, budaya, dan pengalaman bangsa
Indonesia, termasuk hubungan dengan negara lain. Nilai pancasila seperti yang
ditemukan dikehidupan masyarakat pedesaan yang memiliki pola kehidupan
bersama dan bersatu serta demokratis yang dijiwai dengan semangat
kekeluargaan. Nilai ini tercermin dalam sila ke-4 Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (RISETDIKTI,
2016).
Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk memutuskan
benar atau salah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah
kesesuaian dan tindakan pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila. Etika
politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut dalam pelaksanaan
pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, legislatif,  yudikatif, para pelaksana

5
dan penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi
demokratis juga harus berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila
mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa, seperti tindak pidana korupsi, kolusi
dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan
narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi momok
masyarakat.
Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai
beberapa kendala-kendala, yaitu :
1. Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang
mengkritik sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan
dan kekurangannya, baik secara konseptual maupun praksis. Hingga
muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi satu-satunya cara
yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik
menjadi sebuah ideologi tersendiri.
2. Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap dibanding
etika politik Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada
Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari
Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan membuahkan apa-apa.
Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu
menjadi alat atau cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi
dengan cara membuka lebar-lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan
koreksi dari manapun, sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala
kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis Pancasila
terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada pemahaman yang
lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma
moral. 
Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam rangka melancarkan pelaksanaan
pembangunan semua program-program dan proyek-proyek pembangunan yang
dirancang secara nasional dan kedaerahan akhirnya bermuara atau dilaksanakan di

6
daerah pedesaan. Oleh karena itu, diperlukan adanya hubungan serasi antara
pemerintah pusat dan daerah.
Pembangunan desa perlu mendapatkan penanganan yang baik dan terpadu,
mengingat mayoritas penduduk Indonesia berada di pedesaan, dengan demikian
keberhasilan pembangunan di pedesaan akan menjadi tolak ukur berhasilnya
pembangunan nasional. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut diperlukan
adanya pengambilan keputusan yang terwadahi dalam suatu forum musyawarah
desa yang melibatkan kepala desa, perangkat desa dan tokoh masyarakat yang
mewakili warga desa sebagai pelaksanaan keputusan pembangunan.
Keputusan yang dihasilkan di tingkat desa pada umumnya merupakan
tindak lanjut dari keputusan pemerintah pusat dalam mengakomodasi dan
mengalokasikan hasil keputusan tersebut. Setiap keputusan yang diambil
didahului dengan prosedur yang akhirnya sampai pada kenyataan bahwa
keputusan itu penting untuk diambil. Sahnya keputusan sangat tergantung pada
mereka yang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yaitu siapa yang
memprakarsai dan siapa yang terlibat dalam proses pengabsahan, sebab
pengambilan keputusan masyarakat mencakup sebuah dimensi kekuasaan
(Febriani, 2012).
Cara pengambilan keputusan dalam kehidupan masyarakat atau organisasi
yaitu berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam setiap majelis atau
perjamuan besar, pasti ada persoalan bersama yang dibahas. Dan, nantinya akan
menjadi sebuah ketetapan bersama. Persoalan bersama itu antara lain membahas
program kerja, juga pemilihan pengurus baru.
Rembuk desa, ini kalau di kampung, kongres, muktamar atau munas, kalau
di partai. Esensinya sama, yaitu bagaimana cara dan proses pengambilan
keputusan ditempuh. Jika tidak mengagendakan pergantian pengurus, biasanya,
rapat dipimpin langsung oleh kepala desa, ketua RT, ketua RW, atau ketua umum
partai.
Namun, jika salah satu acara pentingnya adalah pergantian pengurus, atau
kepala desa atau ketua umum, rapat dibuka oleh ketua panitia yang ditunjuk.
Seterusnya, peserta musyawarah menetapkan pimpinan rapat. Pimpinan rapat
yang dipilih oleh seluruh peserta itulah yang mengatur jalannya rapat.

7
Agar tertib, dibuatlah aturan main atau sering disebut tata tertib. Biasanya,
tata tertib berisi tentang tata cara dan persyaratan teknis. Semua diputuskan secara
terbuka di forum rapat. Itulah kebijaksanaan permusyawaratan yang kita kenal
dengan sistem demokrasi. Selain demokrasi, tak ada proses pengambilan
keputusan secara kolektif, tapi berdasarkan titah atau perintah raja, atau presiden,
atau menteri, atau lurah sekalipun yang ditetapkan sesuai kehendaknya.

2.2. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila


dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia

2.2.1 Argumen tentang Dinamika Pancasila dalam Sejarah Bangsa


Dinamika Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia memperlihatkan
adanya pasang surut dalam pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila.
Misalnya pada masa pemerintahan presiden Soekarno, terutama pada 1960-an
NASAKOM lebih populer daripada Pancasila. Pada zaman pemerintahan presiden
Soeharto, Pancasila dijadikan pembenar kekuasaan melalui penataran P-4
sehingga pasca turunnya Soeharto ada kalangan yang mengidentikkan Pancasila
dengan P-4. Pada masa pemerintahan era reformasi, ada kecendrungan para
penguasa tidak respek terhadap Pancasila (RISTEKDIKTI, 2016).
2.2.2 Argumen tentang Dinamika dan Perubahan Pancasila Sejak Masa Pra-
Proklamasi

Dalam sidang BPUPKI, dasar Negara dibahas oleh Panitia Kecil (Panitia
9) yang di dalamnya terdapat dua kubu: (Nurucian, 2014)

a. Kubu Nasionalis Netral Agama (Soekarno, Hatta, Ahmad Soebardjo, A. A.


Maramis, dan Muhammad Yamin).
b. Kubu Nasionalis Muslim (Kahar Muzakkir, Agus Salim, Abikusno
Tjokrosujoso, dan Wahid Hasyim) Prof. Faisal Ismail menarik kesimpulan
sebagai berikut: Pembentukan Pancasila bersifat normal dan prosedural
karena formulasi Pancasila itu telah disepakati dalam Panitia 9 BPUPKI
(institusi resmi yang diberi kewenangan untuk memformulasikan dasar
negara). Pancasila tidak pernah dicabut sejak mulai sidang Konstituante
pada 10 November 1956 hingga Dekrit 5 Juli 1959. Yang terjadi adalah
sidang untuk menyusun UUD baru yang menggantikan UUD 45 dan

8
kemudian mengalami deadlock ketika membahas masalah dasar negara.
Pancasila bersifat final dan mengikat karena pada founding fathers (baik
wakil-wakil nasionalis netral agama maupun nasionalis muslim).

2.2.3 Argumen tentang Dinamika dan Perubahan Pancasila pada Masa Awal
Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma
yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi.
Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan
dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat
terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa awal kemerdekaan adalah
masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem
kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Pada
masa ini, hegemoni komunisme yang mendasarkan pertentangan telah menguasai
politik indonesia sejak 1959 (Nurucian, 2014).
Kepribadian rakyat yang religius semakin dikaburkan oleh ideologi 
komunisme yang dimotori PKI dan sub-organisasinya. Pada tahun 1945-1950,
implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada
upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham
komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII
yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Anehnya PKI secara tiba-tiba
dapat menjadi organisasi yang sangat besar dan dapat menguasai, mengatur serta
mendominasi kehidupan politik Indonesia. Dalam sejarah disebutkan bahwa
pemerintah awal kemerdekaan waktu itu membentuk front nasional serta
menerapkan metode dialektis pertentangan kelas yang telah lama diterapkan oleh
penganut komunisme. Golongan revolusioner yang dimana PKI menyatakan diri
sebagai golongan ini dan Golongan kontra revolusioner pada 1950-1959
(Nurucian, 2014).
Pada tahun 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin.
Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah
nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden
Soekarno. Presiden dinobatkan menjadi pemimpin besar revolusi seumur

9
hidupnya. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan
Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan
moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai
Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman
Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah
perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45,
sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan
kepribadian nasional . Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap
Pancasila dalam konstitusi Pancasila terus menerus dipisahkan, diperas menjadi
‘Tri Sila’, bahkan sampai menjadi ‘Eka Sila’ yaitu ‘Gotong Royong’, yang mana
gotong royong sendiri menjadi istilah yang popular bagi massa pendukung PKI.
Tetapi bila esensi Pancasila menjadi Eka Sila, maka sila ketuhanan yang Maha
Esa menjadi hilang. Hal ini menjadi sangat sesuai dengan ideologi komunisme
yaitu atheis atau anti Tuhan (Nurucian, 2014).
Oleh karena dasar demokrasi yang demikian, maka dalam Negara pada
pemerintahan awal kemerdekaan tidak meletakkan kekuasaan pada rakyat
sebagaimana tercantum dalam sila keempat Pancasila, melainkan praktek
otoritarianisme dan dalam Negara dibentuklah doktrin- doktrin yang harus ditaati
oleh rakyat seperti Manipol Usdek, NASAKOM dan sebagainya yang tidak serasi
karena ada unsur pemaksaan, ideologi komunis seperti pada NASAKOM yang
merupakan singkatan dari ‘Nasional, Agama dan Komunis’. Agama yang
mengajarkan ketuhanan tentu saja tidak dapat digabungkan oleh komunis yang
tidak percaya terhadap Tuhan. Namun setelah pengkhianatan PKI pada G30 S,
bangsa Indonesia dapat menumpaskan PKI (Nurucian, 2014).

2.2.4 Argumen tentang Dinamika dan Perubahan Pancasila pada Masa Orde
Lama
Masa orde lama berlangsung mulai dari 11 Maret 1966 sampai dengan 21
Mei 1998. Pada masa ini, implementasi Pancasila tidak beda jauh dengan masa
sebelumnya. Hanya saja jauh lebih rapi dan sistematis bahkan berhasil menguasai
sistem politik di Indonesia. Pemberontakan PKI dijadikan tolak ukur dan sarana

10
untuk melumpuhkan lawan-lawan politik yang tidak sesuai dengan pancasila dan
pemerintahan sebelumnya (Nurucian, 2014).
Kenyataannya, kekuasaan rakyat melemah dan sebaliknya kekuasaan
pemerintah menjadi lebih kuat bahkan bersifat otoriter. Ditambah lagi penguasa
orde baru selalu menanamkan kekuasaan ‘satus quo’ dengan mengembangkan
jargon-jargon semacam: “Politik no, Pembangunan yes”, “Akselerasi
Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun”, “Monoloyalitas bagi Pegawai Negeri
Sipil” serta jargon-jargon lainnya (Nurucian, 2014).
Pancasila yang merupakan sumber pelaksanaan demokrasi, pada orde ini
menjadi alat membrantas demokrasi. Segala perbedaan ditekan untuk membantu
pemerintahan, pendapat-pendapat baik melalui lisan maupun media dibungkam,
aktivis-aktivis, tokoh dan para mahasiswa dipenjarakan atas tuduhan yang tidak
bermoral. Penyimpangan-penyimpangan di era Orde Lama itu antara lain
(Nurucian, 2014):
a. Presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum 1955 dan membentuk
DPR Gotong Royong. Hal ini dilakukan karena DPR menolak rancangan
pendapaan dan belanja Negara yang diajukan pemerintah.
b. Pimpinan lembaga-lembaga Negara diberi kedudukan sebagai menteri-
menteri Negara yang berarti menempatkannya sebagai pembantu presiden.
c. Kekuasaan presiden melebihi wewenang yang ditetapkan didalam UUD
1945. Hal ini terbukti dengan keluarnya beberapa keputusan presiden
sebagai produk hukum yang setingkat dengan UUD tanpa persetujuan
DPR. Penetapan ini antara lain meliputi hal- hal sebagai berikut:
d. Penyederhanaan kehidupan partai-partai politik dengan dikeluarkannya
Penetapan Presiden nomor 7 tahun 1959.
e. Pembentukan Front Nasional dengan Penetapan Presiden nomor 13 tahun
1959.
f. Pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota MPRS, DPA dan MA
oleh presiden.
g. Hak budget DPR tidak berjalan karena pemerintah tidak mengajukan
rancangan undang-udang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR.

11
2.2.5 Argumen tentang Dinamika dan Perubahan Pancasila pada Masa Orde
Baru
Setelah lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal
Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi
kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan,
“Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita
mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan,
“Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan,
Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah
UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai
kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka
pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai
pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika
ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang
dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42).
Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan
Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan
Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada
tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya tepatnya Pasal 4
menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan
penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan

12
bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di
Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Adapun nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan
ketetapan tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
dan kepercayaan masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
b. Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina
kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama
dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa
dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

13
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan
hasil keputusan musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
g. Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5. Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g. Tidak bersifat boros.
h. Tidak bergaya hidup mewah.
i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
j. Suka bekerja keras.
k. Menghargai hasil karya orang lain.

14
l. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada
tahun 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4.
Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila
Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara
Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini
menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan
pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan
dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa
serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia
sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan
dalam pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37).
Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah
dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila.
Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara
keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan
mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist
ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu
membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun
warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru
menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas
Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai
pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44).
Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar
masuk Indonesia pada akhir 1990an yang secara tidak langsung mengancam
aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula
demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak
transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus
mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai

15
dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo
dan Endah (ed), 2010: 45).

2.2.6 Argumen tentang Dinamika dan Perubahan Pancasila pada Masa


Reformasi
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan
aparat pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi
politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi
nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh
mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang
menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum
(Kaelan, 2000: 245).
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara
itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan
rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-
satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang
benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat
melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi
ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti,
namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial,
masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik
horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya
bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian
bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda. Dalam bidang
ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi
dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang
politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-
olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu,
aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk

16
berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan
nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara
seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik
Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR
Nomor XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun
ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi
sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah
Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh UndangUndang Dasar
1945”.
Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat.
Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas perlunya
rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen identitas
nasional. Seruan demikian tampak signifikan karena proses amandeman UUD
1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan kembali Piagam
Jakarta (Ali, 2009: 51).
Selain keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan
agama. Tidak lama kemudian muncul gejala Perda Syariah di sejumlah daerah.
Rangkaian gejala tersebut seakan melengkapi kegelisahan publik selama
reformasi yang mempertanyakan arah gerakan reformasi dan demokratisasi.
Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan. Diskursus tentang Pancasila

17
kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila
yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52).
Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif
melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila.
Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila
di Perguruan Tinggi.
Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah menyelenggarakan
kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah Mada,
Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas
Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari
itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal
dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, yang terdiri dari: Pancasila, Undang-
Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Akan tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012:
249-252) mengandung; 1) linguistic mistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula
dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada
realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan
mengacu pada suatu pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu
dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan kategori
(category mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila,
UndangUndang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu
berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan,
kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa:
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang

18
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada
kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak
cukup. Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu
dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai
tumbuh kembali, sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang
melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu
kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di
kalangan mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi
wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa
Indonesia.
Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen
bangsa harus secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan Pancasila
baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hidup Bangsa, dengan
berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan secara
konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945.

2.2.7 Argumen tentang Tantangan terhadap Pancasila dalam Kehidupan


Berbangsa dan Bernegara
Salah satu tantangan terhadap Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara adalah meletakkan nilai-nilai Pancasila tidak dalam posisi sebenarnya
sehingga nilai-nilai Pancasila menyimpang dari kenyataan hidup berbangsa dan
bernegara. Salah satu contohnya, pengangkatan presiden seumur hidup oleh
MPRS dalam TAP No.III/MPRS/1960 Tentang Pengangkatan Soekarno sebagai
Presiden Seumur Hidup. Hal tersebut bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945
yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memangku jabatan selama

19
lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pasal ini menunjukkan bahwa
pengangkatan presiden seharusnya dilakukan secara periodik dan ada batas waktu
lima tahun (RISTEKDIKTI, 2016).

2.3 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah


Bangsa Indonesia untuk Masa Depan
2.3.1 Essensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa
Pancasila pada hakikatnya merupakan Philosofische Grondslag dan
Weltanschauung. Pancasila dikatakan sebagai dasar filsafat negara (Philosofische
Grondslag) karena memuat alasan filosofis berdirinya suatu negara serta setiap
produk hukum di Indonesia harus berdasarkan nilai Pancasila. Pada mulanya
rumusan Pancasila hanyalah "Philosophische Grondslag" yang dimunculkan
dalam sidang Badan Penyilidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai beranggotakan 60 orang. Ketuanya
Radjiman Wedyodiningrat didampingi dua wakil ketua yaitu Raden Pandji
Soeroso dan Ichibangase Yosio dari Jepang. Dalam sidang BPUPKI itulah muncul
rumusan Pancasila sebagai "Philosophische Grondslag" bukan rumusan ideologi
apalagi rumusan agama (Humaidi,2018).
Yang memunculkan bukan hanya berasal dari pemikiran Soekarno tapi
juga sebelumnya dari pemikiran Mohammad Yamin dan Soepomo. Ketiganya
memunculkan rumusan Pancasila yang berbeda urut-urutannya tapi memiliki
kesamaan dalam setiap rumusannya dari lima rumusan yang ada. Pembahasan
rumusan Pancasila belum juga berakhir dalam sidang BPUPKI hingga berlanjut
dalam sidang Panitia Sembilan beranggotakan sembilan orang. Ketuanya
Soekarno didampingi wakil ketua Mohammad Hatta. Rumusan Pancasila baru
berakhir dan diakhiri pada 18 Agustus 1945 sebagaimana rumusan Pancasila yang
ada sekarang tanpa mengalami perubahan satu katapun kecuali penyesuaian
dengan ejaan baru bahasa Indonesia (Humaidi,2018).
"Philosophische Grondslag" bukanlah ideologi apalagi agama melainkan
hanya pemikiran dari 60 orang anggota BPUPKI atau 9 orang anggota Panitia
Sembilan. Pemikiran mengenai kehendak hidup bersama dari segala suku bangsa
Indonesia dalam satu negara yang entah negara apa? Pasalnya saat mereka
berpikir itu belum ada negara yang bernama Republik Indonesia (Humaidi,2018).

20
Negara Republik Indonesia masih sebatas rencana yang dalam
mewujudkannya sepenuhnya ditentukan penguasa Jepang "Philosophische
Grondslag" memang bukan ideologi apalagi agama. Pasalnya, 60 orang anggota
BPUPKI sudah memiliki ideologi dan agama masing-masing yang berbeda-beda
terlebih lagi anggota BPUPKI dari Jepang bernama Ichibangase Yosio. Semua
anggota BPUPKI memahami benar apa yang dimaksud dengan "Philosophische
Grondslag". Karena mereka memahami bahasa dan budaya Belanda.
"Philosophische Grondslag"  berasal dari bahasa Belanda yang berarti norma
(lag), dasar (grands), dan yang bersifat filsafat (philosophische). Selain itu, berasal
juga dari bahasa Jerman, yaitu "Weltanschauung" yang memiliki arti sebagai
pandangan mendasar (anshcauung), dengan dunia (welt) (Humaidi,2018).
"Apa dasarnya Indonesia merdeka?" atau, "Apa "Philosofische grodslag"
dari Indonesia merdeka?" Begitu tanya Soekarno dalam sidang BPUPKI. "Itulah
fundamen, filosofi, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-
dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan
abadi," jelasnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasarnya Indonesia
merdeka atau dasar negara atau Pancasila adalah pedoman dalam mengatur
kehidupan penyelenggaraan negara. Tidak jauh berbeda dengan dasar rumah
tangga atau akad nikah adalah pedoman dalam mengatur kehidupan
penyelenggaraan rumah tangga atau berkeluarga (Humaidi,2018).
Dalam penyelenggaraan negara maka Pancasila menjadi aturan yang
mengikat Presiden dan bawahan-bawahannya dengan rakyat. Mengandung hak
dan kewajiban masing-masing. Bilamana semua pihak melaksanakan Pancasila
maka negara menjadi damai atau bahagia. Sebaliknya bilamana semua pihak atau
salah satu pihak tidak melaksanakan Pancasila maka negara menjadi tidak damai
atau tidak bahagia. Begitu pula dalam penyelenggaraan rumah tangga maka Akad
Nikah menjadi aturan yang mengikat suami dengan istri. Mengandung hak dan
kewajiban masing-masing. Bilaman suami dan istri melaksanakan Akad Nikah
maka rumah tangga menjadi damai atau bahagia (Humaidi,2018).
Sebaliknya bilamana suami dan istri atau salah satunya tidak
melaksanakan Akad Nikah maka rumah tangga menjadi tidak damai atau tidak
bahagia. Hanya saja dalam perjalanannya, Pancasila dipaksa menjadi ideologi dan

21
bahkan agama. Sampai-sampai dimunculkan adanya "Salam Pancasila" dan "Saya
Pancasila" seakan-akan menandingi "Salam Islam" dan "Saya Muslim". Padahal
Pancasila bukan ideologi apalagi agama. Pancasila hanyalah "Philosophische
Grondslag" sebagaimana kemunculannya pertama kali dalam sidang BPUPKI
(Humaidi,2018).
Berusaha dan memaksakan Pancasila menjadi ideologi dan agama bukan
saja merusak Pancasila itu sendiri tapi juga membuat kekacauan dalam
penyelenggaraan negara. Bermunculan penafsir-penafsir tunggal terhadap
Pancasila yang mengharuskan setiap warga negara yang berbeda-beda ideologi
dan agama mengikuti ideologi dan agama dari penafsir tunggal terhadap
Pancasila. Berakibat di dalam negara berdasarkan Pancasila timbul segolongan
pihak yang kuat menindas segolongan pihak yang lemah. Kembali ke masa
penjajahan. Bahkan lebih jauh lagi ke masa perbudakan (Humaidi,2018).
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung)
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: nilai-nilai agama, budaya, dan adat
istiadat. Sejak tanggal 18 Agustus 1945 itu, Pancasila dapat dikatakan telah
menjadi dasar falsafah negara (Philosophische gronslag) dan Ideologi negara
(Weltanschauung). Dalam pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, ia menyebut istilah
“Philosfische gronslag” sebanyak 4 kali plus 1 kali menggunakan istilah
“filosifische principe”. Sedangkan istilah “Weltanschauung” ia sebut sebanyak 31
kali. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa Bung karno lebih menekankan
Pancasila dalam pengertian ideologis (Latif, 2015).
Tentang istilah “Philosophische grondslag”, di definisikan sebagai
“Fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-
dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka.” Frase “untuk
diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka” menjelaskan bahwa Pancasila
sebagai Philosophische grondlag merupakan padanan dari istilah “Dasar Negara”
(Latif, 2015).
Tentang istilah Weltanschaaung, ia tidak memberikan definisinya secara
eksplisit; namun tersirat dari contoh-contoh yang ia berikan, antara lain, sebagai
berikut:

22
 Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische
Weltanschauung”.
 Lenin mendirikan negara Sovyet di atas “Marxistische, Historisch
Materialistiche Weltanschaaung”.
 Nippon mendirikan negara di atas “Tenno Koodo Seisin”.
 Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara di atas satu “Weltanschauung”,
bahkan di atas dasar agama, yaitu Islam.
 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka di atas
“Weltanschauung” San Min Chu I, yaitu Mintsu, Minchuan, Minshen:
Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme.
Pengertian Bung Karno bahwa Weltanschauung itu dekat dengan ideologi
dan bahkan agama, mirip dengan pengertian yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar (Grundgesetz) Jerman. Dalam pasal 4 UUD tersebut dinyatakan
bahwa Weltanschaaung harus diperlakukan sama dengan agama. Bedanya,
Weltachauung adalah hal yang bersifat “immanent”, sedangkan Agama bersifat
“transendent” (Latif, 2015).
Perlu dijelaskan bahwa filsafat/falsafah (philosophy) dan Weltanschauung
(worldview, pandangan dunia) tidak selalu sebangun. Filsafat berkonotasi sebagai
pemikiran saintifik dan rasional dengan klaim validitas universalnya. Adapun
Weltanschauung berkonotasi sebagai pandangan yang relatif lebih personal,
eksistensial dan historikal. Filsafat ada dalam lingkungan pengetahuan, sedangkan
Weltanschauung ada dalam lingkungan hidup (Latif, 2015).
Dalam pandangan Prof. Driyarkara, “filsafat sebagai filsafat belumlah
berupa (menjadi) Weltanschauung. Dengan berfilsafat orang berhasrat
memerlukan memandang realitas sedalam-dalamnya.” Untuk menjadi
Weltanschauung, filsafat harus mengambil sikap dan pendirian tentang dunia
kehidupan. Pemikiran yang abstrak beralih menjadi pendirian hidup, yang
kemudian pendirian itu diterima dan dijalankan (Latif, 2015).
Sebaliknya, Weltanschauung tidak selalu didahului dan melahirkan
filsafat. Di dalam berbagai kearifan tradisional berbagai suku di Indonesia,
terkandung adanya Weltanschauung, tetapi tanpa rumusan filsafat. Selain itu, ada

23
pula Weltacshauung yang melahirkan rumusan filsafat, dan filsafat berbuah
Weltanschauung (Latif, 2015).
Atas dasar itu, terdapat perbedaan pandangan di antara para pakar
mengenai hubungan filsafat dan Weltanschauung. A.B. Wolters membedakannya
ke dalam 5 kelompok pandangan.
  Weltanschaaung repels philosophy (Weltanschauung berbeda dengan
filsafat). Hal ini dikemukakan oleh Kierkegaard, tokoh Eksistensialisme
dan Carl Jaspers yang menulis buku “Psychologie der Weltanscauungen”.
 Weltanschauung crown philosophy (Weltanschauung adalah mahkota dari
Filsafat). Menurut model ini, Weltanschauung adalah manifestasi tertinggi
dari filsafat. Tujuan filsafat adalah menjelaskan arti kehidupan dan nilai
yang dianut. Pandangan ini dianut oleh Neo Kantianism aliran Baden
(Ricket dan Wundt).
 Weltanschuung flanks philosophy (Weltanschauung berdampingan dengan
filsafat). Betapapun Weltanschauung itu “sah” (legitimate) keberadanya,
dan jangan dicampuradukkan dengan “scientific philosophy yang
mengandung bebas nilai (value-free nature). Aliran ini dianut oleh H.
Ricket, E. Husserl dan Max Weber.
 Weltanschauung yields philosophy” (Weltanschauung menghasilkan
filsafat). Filsafat tidak menghasilkan Weltanschauung, tetapi
kebalikannya, yaitu dihasilkan oleh Weltanschauung. Dianut oleh Dilthey
dan Karl Mannheim.
 Weltanschauung equals phisophy (Weltanschauung sebangun dengan
Filsafat. Aliran ini dianut oleh Friedrich Engels yang menyatakan bahwa,
“Dialectical Materialism is the truly scientific Weltanschauung and
therefore a virtual synonym for ‘philosophy’ (Latif, 2015).
Pengertian Bung Karno yang memandang Pancasila sebagai
Weltanchauung dan sekaligus sebagai Philosophische grondslag menyerupai
pandangan Friedrich Engels. Bahwa Weltanschaaung sebangun dengan filsafat
yang menyatu dalam ideologi. Dengan kata lain, ideologi adalah pendangan dunia
(Weltanschauung) yang diteoritisasikan dan disistematisasikan secara ilmiah-
filosofis. Ideologi juga bisa dikatakan sebagai filsafat yang dimanifestasikan

24
sebagai keyakinan normatif, kerangka interpretatif dan operatif dalam dunia
kehidupan (Latif, 2015).
Dasar berfikir Bung Karno kira-kira dapat dijelaskan seperti ini. Bahwa
nilai-nilai pendirian hidup yang digali dari berbagai kearifan suku bangsa
dipandang sebagai bantalan Weltanschauung bagi negara Indonesia merdeka.
Agar Weltanschauung masing-masing suku bangsa ini tidak berdiri sendiri-
sendiri, tetapi mengandung kesatuan dan koherensi yang bisa menjadi dasar dan
haluan bersama, maka Weltanschauung tersebut perlu dirumuskan secara
sistematik dan rasional; menjadi scientific Weltanschauung, yang sebangun
dengan filsafat (Philosophische grondslag). Selanjutanya, Pancasila sebagai
scientific Weltanshauung itu menjadi ideologi negara (Latif, 2015).
Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus
bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam
mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti itu, Pancasila merupakan dasar
keyakinan-normatif, pengetahuan, tindakan kita sebagai bangsa. Ia merupakan 
sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Soekarno
sendiri melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia itu secara padat dan
meyakinkan: “Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar
falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-
yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat
bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di
atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu
alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah
kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme.”

2.3.2 Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa


Hasil Survei yang dilakukan KOMPAS yang dirilis pada 1 Juni 2008
menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang Pancasila merosot secara
tajam, yaitu 48,4% responden berusia 17 sampai 29 tahun tidak mampu
menyebutkan silai-sila Pancasila secara benar dan lengkap. 42,7% salah menyebut
sila-sila Pancasila, lebih parah lagi, 60% responden berusia 46 tahun ke atas salah
menyebutkan sila-sila Pancasila. Fenomena tersebut sangat memprihatinkan

25
karena menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Pancasila yang ada dalam
masyarakat tidak sebanding dengan semangat penerimaan masyarakat terhadap
Pancasila (Ali, 2009: 2).
Selain data tersebut, pentingnya Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia
dikarenakan hal-hal berikut: pengidentikan Pancasila dengan ideologi lain,
penyalahgunaan Pancasila sebagai alat justifikasi kekuasaan rezim tertentu,
melemahnya pemahaman dan pelaksanaan nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
(A) Periode Pengusulan Pancasila
Cikal bakal munculnya ideologi bangsa itu diawali dengan lahirnya rasa
nasionalisme yang menjadi pembuka ke pintu gerbang kemerdekaan bangsa
Indonesia. Ahli sejarah, Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikutip oleh
Mochtar Pabottinggi dalam artikelnya yang berjudul Pancasila sebagai Modal
Rasionalitas Politik, menengarai bahwa benih nasionalisme sudah mulai tertanam
kuat dalam gerakan Perhimpoenan Indonesia yang sangat menekankan solidaritas
dan kesatuan bangsa. Perhimpoenan  Indonesia menghimbau agar segenap suku
bangsa bersatu teguh menghadapi penjajahan dan keterjajahan. Kemudian, disusul
lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 merupakan momen momen
perumusan diri bagi bangsa Indonesia (Amelia,2018).
Hal tersebut merupakan modal politik awal yang sudah dimiliki tokoh-
tokoh pergerakan sehingga sidang-sidang maraton BPUPKI yang difasilitasi
Laksamana Maeda, tidak sedikitpun ada intervensi dari pihak penjajah Jepang.
Para peserta sidang BPUPKI ditunjuk secara adil, bukan hanya atas dasar
konstituensi, melainkan juga atas dasar integritas dan rekam jejak di dalam
konstituensi masingmasing. Oleh karena itu, Pabottinggi menegaskan bahwa
diktum John Stuart Mill atas Cass R. Sunstein tentang keniscayaan
mengumpulkan the best minds atau the best character yang dimiliki suatu bangsa,
terutama di saat bangsa tersebut hendak membicarakan masalah-masalah
kenegaraan tertinggi, sudah terpenuhi (Amelia,2018).
Dengan demikian, Pancasila tidaklah sakti dalam pengertian mitologis,
melainkan sakti dalam pengertian berhasil memenuhi keabsahan prosedural dan
keabsahan esensial sekaligus. Selanjutnya, sidang-sidang BPUPKI berlangsung

26
secara bertahap dan penuh dengan semangat musyawarah untuk melengkapi
goresan sejarah bangsa Indonesia hingga sampai kepada masa sekarang ini.
Perumusan Pancasila itu pada awalnya dilakukan dalam sidang BPUPKI pertama
yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI dibentuk
oleh Pemerintah Pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota
60 orang. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi
oleh dua orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan
Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada,
panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945. Sehari setelah
dilantik, 29 Mei 1945, dimulailah sidang yang pertama dengan materi pokok
pembicaraan calon dasar negara (Amelia,2018).
Menurut catatan sejarah, diketahui bahwa sidang tersebut menampilkan
beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo,
Mr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan usulan tentang dasar
negara menurut pandangannya masing-masing. Meskipun demikian perbedaan
pendapat di antara mereka tidak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan
demi mewujudkan Indonesia merdeka. Sikap toleransi yang berkembang di
kalangan para pendiri negara seperti inilah yang seharusnya perlu diwariskan
kepada generasi selanjutnya (Amelia,2018).
Salah seorang pengusul calon dasar negara dalam sidang BPUPKI adalah
Ir. Soekarno yang berpidato pada 1 Juni 1945. Pada hari itu, Ir. Soekarno
menyampaikan lima butir gagasan tentang dasar negara, diantaranya adalah
Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri
Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan
yang berkebudayaan. Berdasarkan catatan sejarah, kelima butir gagasan itu oleh
Soekarno diberi nama Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan jika
seandainya peserta sidang tidak menyukai angka 5, maka ia menawarkan angka 3,
yaitu Trisila yang terdiri atas Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno akhirnya juga menawarkan angka 1, yaitu
Ekasila yang berisi asas Gotong-Royong (Amelia,2018).

27
(B)  Periode Perumusan Pancasila
Perumusan pancasila dimulai dalam sidang BPUPKI kedua pada 10 – 16
Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang
kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta itu merupakan
naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada alinea keempat Piagam
Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila diantaranya adalah Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kedua,
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia. Keempat,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan dan kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(Amelia,2018).
Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta”
ini kemudian dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah perubahan di
sana-sini. Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima
pada 6 Agustus 1945. Sehari setelah peristiwa itu, 7 Agustus 1945, Pemerintah
Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan maklumat yang berisi pertengahan
Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia
(PPKI), panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai bersidang
19 Agustus 1945, direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan
(Amelia,2018).
Pada tanggal 8 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil
Jenderal Terauchi (Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang
berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang kota itu bernama Ho Chi Minh).
Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera membentuk
suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai dengan maklumat
Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi. Sepulang dari Saigon, ketiga tokoh tadi
membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta,
Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo,
Suryohamijoyo, Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir,
Abdul Abbas, Ratulangi, Andi Pangerang, Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan,
Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan (Amelia,2018).

28
Jatuhnya Bom di Hiroshima belum membuat Jepang takluk, Amerika dan
sekutu akhirnya menjatuhkan bom lagi di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang
meluluh lantahkan kota tersebut sehingga menjadikan kekuatan Jepang semakin
lemah. Kekuatan yang semakin melemah, memaksa Jepang akhirnya menyerah
tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945. Konsekuensi dari menyerahnya
Jepang kepada sekutu, menjadikan daerah bekas pendudukan Jepang beralih
kepada wilayah perwalian sekutu, termasuk Indonesia. Sebelum tentara sekutu
dapat menjangkau wilayah-wilayah itu, untuk sementara bala tentara Jepang
masih ditugasi sebagai sekadar penjaga kekosongan kekuasaan. Kekosongan
kekuasaan ini tidak disia-siakan oleh para tokoh nasional. PPKI yang semula
dibentuk Jepang karena Jepang sudah kalah dan tidak berkuasa lagi, maka para
pemimpin nasional pada waktu itu segera mengambil keputusan politis yang
penting. Keputusan politis penting itu berupa melepaskan diri dari bayang-bayang
kekuasaan Jepang dan mempercepat rencana kemerdekaan bangsa Indonesia
(Amelia,2018).

(C)  Periode Pengesahan Pancasila


Pada 12 Agustus 1945, ketika itu Soekarno, Hatta, dan Rajiman
Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer Jepang di Asia Selatan ke Saigon
untuk membahas tentang hari kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang pernah
dijanjikan. Namun, di luar dugaan ternyata pada 14 Agustus 1945 Jepang
menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pada 15 Agustus 1945 Soekarno, Hatta,
dan Rajiman kembali ke Indonesia. Kedatangan mereka disambut oleh para
pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan
secepatnya karena mereka tanggap terhadap perubahan situasi politik dunia pada
masa itu. Para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada sekutu
sehingga Jepang tidak memiliki kekuasaan secara politis di wilayah pendudukan,
termasuk Indonesia (Amelia,2018).
Perubahan situasi yang cepat itu menimbulkan kesalahpahaman antara
kelompok pemuda dengan Soekarno dan kawan-kawan sehingga terjadilah
penculikan atas diri Soekarno dan M. Hatta ke Rengas Dengklok, tindakan
pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00 WIB
menjelang 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta. Melalui jalan berliku,

29
akhirnya dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945. Teks kemerdekaan itu didiktekan oleh Moh. Hatta dan ditulis oleh Soekarno
pada dini hari. Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Rancangan
pernyataan kemerdekaan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI yang diberi nama
Piagam Jakarta, akhirnya tidak dibacakan pada 17 Agustus 1945 karena situasi
politik yang berubah (Amelia,2018).
Pada 18 Agustus 1945, PPKI bersidang untuk menentukan dan
menegaskan posisi bangsa Indonesia dari semula bangsa terjajah menjadi bangsa
yang merdeka. PPKI yang semula merupakan badan buatan pemerintah Jepang,
sejak saat itu dianggap mandiri sebagai badan nasional (Amelia,2018).
Atas prakarsa Soekarno, anggota PPKI ditambah 6 orang lagi, dengan
maksud agar lebih mewakili seluruh komponen bangsa Indonesia. Mereka adalah
Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, Iwa
Koesoema Soemantri, dan Ahmad Subarjo. Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka memerlukan perangkat dan kelengkapan kehidupan bernegara, seperti
Dasar Negara, Undang-Undang Dasar, Pemimpin negara, dan perangkat
pendukung lainnya.
Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang
disahkan PPKI ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang termasuk dalam
Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang
mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang menemui Bung
Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata “Ketuhanan”, yaitu “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan ini
ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi perubahan yang
disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian
hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa” (Amelia,2018). Identitas
Nasional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila
dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi
dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan
hukum yang berlaku di Indonesia (Amelia,2018).

30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari materi diatas kita bisa menyimpulkan bahwa pancasila merupakan
pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia karena berasal dari sumber sejarah bangsa
itu sendiri. Dengan memahami sejarah perumusan pancasila ini diharapkan
masyarakat tidak menyalah gunakan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang.

3.2 Saran
Dapat kita lihat fenomena yang terjadi pada akhir-akhir ini, yaitu banyaknya
penyalah gunaan terhadap nilai-nilai yang terdapat didalam pancasila. Jadi,
alangkah baiknya kita jaga nilai-nilai Pancasila ini, agar kedepannya bangsa
Indonesia tetap memiliki jati diri dan tidak kehilangan arah.

31
DAFTAR PUSTAKA
Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa.
Pustaka LP3ES. Jakarta.
Amalia, R.,dkk, 2018. Pancasila Dalam Arus Sejarah Bangsa Indonesia
Universitas Jember : Indonesia.
Anshari, Endang Saifuddin. 1981. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular”
tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Pustaka-
Perpustakaan Salman ITB. Bandung.
Bahar, Safroedin. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Sekretariat
Negara Republik Indonesia. Jakarta.
Febriani, I. 2012. Peran Tokoh Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan
Pembangunan Di Desa Banjurpasar Kecamatan Buluspesantren Kebumen.
Jurusan Politik Dan Kewarganegaran Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang, Indonesia.
Hidayat, Arief. 2012. “Negara Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal
Penyelenggaraan Negara Hukum”. Makalah pada Kongres Pancasila IV di
UGM Yogyakarta tanggal 31 Mei- 1 Juni 2012.
Humaidi, A. 2018. Pancasila Hanya "Philosophische Grondslag", Bukan
Ideologi atau Agama Kompasiana : Indonesia.
Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta. Paradigma
Latif, Y. 2015. Mengapa Pancasila Suatu Keharusan? (Bagian 6) Aktual : Indonesia.
MD, Moh. Mahfud. 2011. “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan
Konstitusionalitas Indonesia”. Makalah pada Sarasehan Nasional 2011 di
Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 2-3 Mei 2011.
Notosusanto, Nugroho. 1981. Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. PN
Balai Pustaka. Jakarta.
Nurucian. 2014. Dinamika Aktualisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara.
http://nurucian.blogspot.com/2014/10/dinamika-aktualisasi-pancasila-
sebagai.html?m=1. Diakses Tanggal 26 Februari 2020.
RISTEKDIKTI. 2016. Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pembelajaran
dan Kemahasiswaan. Jakarta.
Saksono, B. 2014. Musyawarah Mufakat, Aklamasi, Atau Voting. Teropong
Senayan.com. https://www.teropongsenayan.com/3712-musyawarah-mufak
at-aklamasi-atau-voting. Diakses pada 25 Februari 2020.
Setiardja. A. Gunawan. 1994. Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Soekarno. 1989. Pancasila dan Perdamaian Dunia. CV Haji Masagung. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta.
Suwarno. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.
Warsito. 2017. Internalisasi Nilai-Nilai Luhur Pancasila dalam Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Tangerang.

32

Anda mungkin juga menyukai