Anda di halaman 1dari 97

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahtera

yang memugkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian

yang utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan

memperhatikan semua segi kehidupan manusia (Keliat, 2014 ).

Menurut Suryani (2013), Penyakit gangguan jiwa

merupakan sebuah Journey Of Challenge, perjalanan yang penuh

tantangan. Mereka sulit untuk langsung sembuh. Butuh proses

yang panjang dalam penyembuhannya. Karena itu, memerlukan

pendampingan yang terus menerus sampai pasien benar-benar

kuat. Ketika sudah di rumah, dukungan dari keluarga dan

lingkungan sekitar pun sangat dibutuhkan agar pasien bisa

menjalani proses recovery (penyembuhannya).

Macam-macam gangguan jiwa adalah gangguan persepsi

sensori halusinasi, proses pikir waham, isolasi sosial,

perilaku kekerasan, harga diri rendah, defisit perawatan

diri dan risiko bunuh diri (Direja, 2013)

Menurut Hartono dan Kusumawati (2013), Gangguan jiwa

dengan perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana

seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara

fisik, baik pada dirinya sendiri, maupun orang lain,

disertai dengan mengamuk dan gaduh gelisah yang tidak

terkontrol. Perilaku kekerasan tersebut membawa berbagai


2

dampak dalam kehidupan sehari-hari untuk klien, keluarga dan

juga orang disekitar.

Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2013

mencapai 450 juta jiwa diseluruh dunia. Dalam satu tahun

sesuai jenis kelamin sebanyak 1,1% wanita, pada pria

sebanyak 0,9%. Sementara jumlah yang mengalami gangguan jiwa

seumur hidup sebanyak 1,7% pada wanita dan 1,2% pria.

Menurut National Institute of Mental Health gangguan jiwa

mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan

diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030.

Orang yang mengalami gangguan jiwa sepertiganya tinggal di

negara berkembang, sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan

mental itu tidak mendapatkan perawatan (Kemenkes RI, 2012).

Meskipun penderita gangguan jiwa belum bisa

disembuhkan 100%, tetapi para penderita gangguan jiwa

memiliki hak untuk sembuh dan diperlakukan secara manusiawi.

UU RI No. 18 Tahun 2014 Bab I Pasal 3 Tentang Kesehatan Jiwa

telah dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa bertujuan

menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang

baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari

ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu

kesehatatan jiwa (Kemenkes, 2014).

Depertemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010,

menyatakan bahwa jumlah penderita gangguan jiwa di indonesia

mencapai 2,5 juta yang terdiri dari pasien resiko perilaku


3

kekerasan. Diperkirakan sekitar 60% menderita resiko

perilaku kekerasan di Indonesia (Wirnata, dalam Sari, 2015).

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013,

Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥15

tahun berdasarkan Self Reporting Questionnaire) di provinsi

Nusa Tenggara Barat (NTB), berjumlah 6,4%. Berdasarkan data

di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi NTB dari bulan September

2016 - februari 2017 jumlah pasien risiko perilaku kekerasan

sebanyak 666 orang yang tersebar di beberapa ruang rawat

inap sperti ruang Dahlia, dahlia, mawar, pelamboyan dan

wijaya kusuma. Pada ruang Dahlia pasien dengan gangguan

risiko perilaku kekerasan sebanyak 33 orang pada tanggal 12

juni-11 juli 2017.

Dalam penanganan pasien dengan Risiko Perilaku

Kekerasan di RSJ Mutiara Sukma NTB yaitu : Dengan cara

pemeberian obat-obatan, fiksasi fisik, menegakkan strategi

pelaksanaan tindakan keperawatan (SPTK) dan melakukan terapi

aktivitas kelompok.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai Pengaruh Terapi Aktivitas

Kelompok Stimulasi Persepsi perilaku kekerasan Terhadap

Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Pasien Risiko Perilaku

Kekerasan di Ruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma Provinsi NTB.

Terapi aktivitas kelompok ini dilakukan untuk membantu klien

risiko perilaku kekerasan agar bisa mengontrol emosi secara

bertahap melalui lima sesi.


4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang

diuraikan di atas maka hal tersebut mendorong peneliti

melakukan penelitian tentang, “Bagaimana Pengaruh Terapi

Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi perilaku kekerasan

Terhadap Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Pasien Risiko

Perilaku Kekerasan Di Ruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma

Provinsi NTB?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui

Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi

perilaku kekerasan Terhadap Kemampuan Mengontrol Emosi pada

Pasien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Dahlia RSJ Mutiara

Sukma Provinsi NTB.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahuai Kemampuan Mengontrol Emosi pada Pasien

Risiko Perilaku Kekerasan sebelum diberikan terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan.

b. Mengetahuai Kemampuan Mengontrol Emosi pada Pasien

Risiko Perilaku Kekerasan sesudah diberikan terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan.
5

c. Menganalisa Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok

Stimulasi Persepsi perilaku kekerasan Terhadap

Kemampuan Mengontrol Emosi pada Pasien Risiko

Perilaku Kekerasan Di Ruang Dahlia RSJ Mutiara

Sukma Provinsi NTB.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang akan dilakukan adalah:

1. Bagi Peneliti

Untuk menambah pengetahuan, wawasan dan

pengalaman dalam merawat pasien yang mengalami

gangguan jiwa, khususnya pasien risiko perilaku

kekerasan yang di berikan tarapi aktivitas kelompok.

2. Bagi Institusi Pendidikan STIKES MATARAM

Institusi pendidikan dapat menjadikan sebagai

bahan data untuk melakukan penelitian selanjutnya dan

perkembangan ilmu keperawatan jiwa

3. Bagi RSJ Provinsi NTB

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan untuk meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan di RSJ Mutiara Sukma Provinsi NTB.

Khususnya dalam meningkatkan kemampuan mengontrol

emosi pada pasien risiko perilaku kekerasan dengan

menggunakan TAK.
6

4. Bagi Responden

Responden mengerti bagaimana cara mengontrol

emosi dengan mengguanakan terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekersan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini berjudul Pengaruh Terapi Aktivitas

Kelompok Stimulasi Persepsi Perilaku Kekerasan Terhadap

Kemampuan Mengontrol Emosi pada Pasien Risiko Perilaku

Kekerasan Di Ruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma Provinsi NTB.

Dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dari terapi

tersebut. Penelitian ini berbeda dengan penelitian

sebelumnya, dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

Tekhnik
No Nama Judul sampling Desain Hasil
1 Dias Ganes Pengaruh Terapi Quota Pra-Eksperimen Terdapat ada
Perwiranti Aktivitas Kelompok sampling Pendekatan pengaruh terapi
Stimulasi Persepsi yang digunakan aktivitas kelompok
Sesi 2 dalam stimulasi persepsi
Terhadap Kemampuan penelitian ini sesi 2 terhadap
Mengontrol adalah kemampuan
Emosi Pada Klien One Group mengontrol emosi
Perilaku Kekerasan Pretest- pada klien perilaku
Di Rsjd Dr. Amino Postest kekerasan di RSJD
Gondohutomo Dr. Amino
Semarang Gondohutomo
Semarang.
2 Feri Pengaruh Terapi Purposive Pra-Eksperimen Terapi Aktivitas
Wibowo Aktivitas Kelompok Sampling menggunakan Kelompok Stimulasi
Stimulasi Persepsi One Group Persepsi yang
Sesi I-III Pretest- diberikan pada klien
Terhadap Kemampuan Postest perilaku kekerasan
Mengenal Dan memberikan pengaruh
Mengontrol yang signifikan
Perilaku Kekerasan terhadap kemampuan
Pada Pasien mengenal dan
7

Perilaku Kekerasan mengontrol perilaku


Di RSJD Dr. Amino kekerasan baik
Gonohutomo secara fisik maupun
Semarang secara sosial di
RSJD Dr. Amino
Gonohutomo Semarang
3 Siti Pengaruh Terapi Purposive Pra Eksperimen Terdapat pengaruh
Sholikhah Aktivitas Kelompok Sampling Dengan pemberian TAK
Stimulasi Persepsi Menggunakan stimulasi persepsi
Terhadap Tingkat Desain One perilaku kekerasan
Kemandirian Pada Group Pretest- terhadap tingkat
Pasien Perilaku Postest kemandirian di RSJ
Kekerasan Di Rumah Menur Surabaya.
Sakit Jiwa Menur
Surabaya
4 Muhammad Pengaruh Terapi Purposive Pra Eksperimen Nilai P-value lebih
Abdul Aktivitas Kelompok Sampling Dengan kecil dari pada α
Basir Stimulasi Persepsi Menggunakan (0,05) atau 0,001 <
Perilaku Kekerasan Desain One 0,05. Dengan
Terhadap Kemampuan Group Pretest- demikian maka
Mengontrol Emosi Postest kesimpulan yang
Pada Pasien Risiko diambil adalah H0 di
Perilaku Kekerasan tolak dan Ha
Di Ruang Dahlia diterima.
RSJ Mutiara Sukma
Provinsi NTB
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perilaku Kekerasan

1. Penegertian

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana

seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara

fisik, baik pada diri sendiri maupun orang lain, disertai

dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol

(Diraja, 2013).

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana

seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara

fisik baik terhadap diri sendiri, maupun orang lain (Yosep,

2014).

Perilaku kekerasan merupakan salah satu resphon

terhadap stressor yang di hadapi oleh seseorang. Respons ini

dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang

lain, maupun lingkungan (Keliat, 2010).

2. Tanda dan Gejala

Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan

perilaku kekerasan:

a. Fisik

Mata melotot/pandagan tajam, tangan mengepal,

rahang mengatup, wajah merah dan tegang, serta

postur tubuh kaku.


9

b. Verbal

Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor,

berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.

c. Perilaku

Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang

lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.

d. Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa

terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya,

bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan

dan menuntut.

e. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan,

dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada

serkasme.

f. Spiritual

Merasa dia berkuasa, merasa diri benar, keragu-

raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat.

g. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan,

ejekan, dan sindiran.

h. Perhatian

Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan

seksual.
10

3. Rentang Respon

Respon Adaftif Respon Maladaftif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 2.1 : Rentang Respon Perilaku Kekerasan

Keterangan:

a. Asertif

Individu mampu mengungkapkan marah tanpa

menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan.

b. Frustasi

Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah

dan tidak dapat menemukan alternatif.

c. Pasif

Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.

d. Agresif

Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan

untuk menuntut tetapi masih terkontrol.

e. Kekerasan

Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta

hilangnya kontrol.
11

4. Faktor Predisposisi

a. Faktor psikologis

1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai

suatu tujuan mengalami hambatan akan timbul

dorongan agresif yang memotivasi perilaku

kekerasan.

2) Berdasrkan penggunaan mekanisme koping inidividu

dan masa kecil yang tidak meyenangkan.

3) Rasa frustasi

4) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga

atau lingkungan.

5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa

tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat

mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat

konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan

dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat

meningkatkan citra diri serta memberikan arti

dalam kehidupannya. Teori lain beramsumsi bahwa

perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan

pengungkapan secara terbuka terhadap rasa

ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri

perilaku tindak kekerasan.

6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan

perilaku yang dipelajari, individu memiliki

pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan

lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh


12

peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa

faktor predisposisi biologik.

b. Faktor sosial budaya

Sesorang akan berespon terhadap peningkatan

emosionalnya secara agresif sesuai dengan respons

yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut

Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respons-

respons yang lain. Faktor ini dapat dipelajari

mulai observasi atau imitasi, dan semakin sering

mendapatkan penguatan maka semakin besar kemugkinan

terjadi. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan

ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak

dapat diterima.

Kontrol masyarakat yang rendah dan

kecendrungan menerima perilaku kekerasan sebagai

cara penyelesaian masalah dalam masyarakat

merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku

kekerasan.

c. Faktor biologis

Berdasarkan hasil penelitian pada hewan,

adanya pemberian stimulus elektris ringan pada

hipotalamus (sistem limbik) ternyata menimbulkan

perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan

fungsi limbic (untuk emosi dan perilaku), lobus

frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus

temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan


13

memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil

berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada

disekitarnya.

Selain itu menurut teori biologik, ada

beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang

melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagi berikut:

1) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system

neurologis mempunyai implikasi dalam

mempasilitasi dan menghambat implus agresif.

System limbik sangat terlibat dalam menstimulasi

timbulnya perilaku bermusuhan dan respons

agresif.

2) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam

townsend (2011) menyatakan bahwa berbagi

neurotransmiter (epineprin, norepineprin,

dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat

berperan dalam memfasilitasi dan menghambat

impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan

norepineprin serta penurunan serotonin dan GABA

(6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan

faktor predisposisi penting yang menyebabkan

timbulnya perilaku agresif pada seseorang.

3) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku

agresif sangat erat kaitanya dengan genetik tipe

kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh

penghuni penjara tidak kriminal (narapidana).


14

4) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan

dengan serebral, tumor otak (khususnya pada

limbic dan lobus temporal), terutama otak,

penyakit ensefalitis, epilepsy (epilepsy lobus

temporal), terbukti berpengaruh terhadap perilaku

agresif dan tindak kekerasan.

5. Faktor Presipitasi

a. Internal
Bisa disebabkan karena kelemahan fisik, kurang
percaya diri, putus asa, dan perasaan
ketidakberdayaan
b. Eksternal
Penganiayaan fisik, kehilangan orang yang
disukai atau dicintai, kritikan yang mengarah pada
penghinaan.

Secara umum sesorang akan marah jika dirinya

merasa terancam, baik berupa injuri secara fisik,

pisikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor

pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:

1) Klien: kelemahan fisik, keputusasaan,

ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh degan

agresif, dan masa lalu yang tidak menyenagkan.

2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan

orang yang berarti, konflik, merasa terancam baik

internal dari permasalahan diri klien sendiri

maupun eksternal dari lingkungan.


15

3) Lingkungan: panas, padat, dan bising.

Menurut Shives (2013), hal-hal yang dapat

menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan

antara lain sebagi berikut:

1) Kesulitan kondisi sosial ekonomi

2) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu

Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya

dan ketidakmampuannya dalam menempatkan diri

sebagai orang dewasa.

3) Pelaku mugkin mempunyai riwayat anti sosial

seperti penyalahgunaan obat dan alkohol serta

tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi

rasa frustasi.

4) Kematian anggota keluarga yang terpenting,

kehilangan pekerjaan, perubahan tahap

perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan

keluarga.

6. Mekanisme Koping

Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping

klien, sehinngga dapat membantu klien untuk

mengembangkan mekanisme koping yang konstuktif dalam

mengekspresikan kemarahanya. Mekanisme koping yang

umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti

displacement, sublimasi, proyeksi, regresif, denal,

dan reaksi formasi:


16

Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan

antara lain:

a. Menyerang atau menghindar

Pada keadaan ini respon fisiologis timbul

karena kegiatan system syaraf otonom bereaksi

terhadap sekresi epineprin yang menyebabkan tekanan

darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil

melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltik

gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva

meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat,

tangan mengepal, tubuh menjadi kaku dan di sertai

reflek yang cepat.

b. Menyatakan secara asertif

Perilaku yang sering ditampilkan individu

dalam mengekspresikan kemarahanya yaitu dengan

perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku

asertif adalah cara yang terbaik, individu dapat

mengekspresikan rasa marahnya tampa menyakiti orang

lain secara fisik maupun psikologis dan dengan

perilaku tersebut individu juga dapat mengembangkan

diri.

c. Memberontak

Perilaku yang muncul biasanya disertai

kekerasan akibat konflik perilaku untuk menarik

perhatian orang lain.


17

d. Perlaku kekerasan

Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan

kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

B. Konsep Emosi

1. Pengertian

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu

emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini

menyiratkan bahwa kecendrungan bertindak merupakan hal

mutlak dalam emosi. Sementara itu dalam makna harfiah,

English oxford dictionary mendefinisikan emosi sebagai

setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan,

nafsu; setiap keadan mental yang kuat atau meluap-luap

(Golmen dalam Azmi, 2013).

Emosi adalah suatu pengalaman yang sadar dan

memberikan pengaruh pada aktivitas tubuh dan

menghasilkan sensasi organis dan kinetis (Yosep,

2014).

Menurut Golmen dalam Azmi, (2013) emosi merujuk

pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu

keadaan biologis dan psikologis dan serangkain

kecendrungan untuk bertindak, emosi pada dasarnya

adalah dorongan untuk bertindak, biasanya emosi

merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan

dalam diri individu. Sebagai contoh, emosi gembira

mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga


18

secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih

mendorong seseorang berperilaku menagis.

Menurut Golmen dalam Azmi, (2013) mengelompokan

emosi ke dalam beberapa golongan sebagai berikut:

a. Amarah: beringis, mengamuk, benci, jengkel, kesel

hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggug,

bermusuhan, dan yang paling hebat, tindak kekerasan

dan kebencian patologis.

b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis,

mengasih diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan

apabila menjadi patologis, depresi berat.

c. Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was,

perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang,

ngeri, takut sekali, kecut; sebagai patologis,

fobia dan panik.

d. Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas,

terhibur, bangga, kenikmatan inderawi, takjub, rasa

terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan

luar biasa, senag, senang sekali, dan batas

ujungnya, mania.

e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan,

kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan

dan kasih.

f. Terkejut: terkesiap, terkejut, takjub dan terpana.

g. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka dan

mau muntah.
19

h. Malu: malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib dan

hancur lebur.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan

bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang

mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku

terhadap stimulus, baik yang berasal darai dalam

maupun dari luar dirinya.

Selanjutnya menurut Descartes (Netty, 2013) juga

mengemukakan emosi-emosi dasar sebanyak enam macam:

a. Desire (Keinginan)

b. Hate (Benci)

c. Wonder (Kagum)

d. Sorrow (Kesedihan)

e. Love (Cinta)

f. Joy (Kegembiraan)

2. Teori-Teori Emosi

Menurut Netty (2013) ada dua macam pendapat

tentang terjadinya emosi, pendapat yang nativistik,

mengatakan bahwa emosi pada dasrnya merupakan bawaan

sejak lahir, sedangkan pendapat yang empiristik

mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan

proses belajar. Salah satu penganut paham nativistik

adalah Rene Descartes mengatakan bahwa sejak lahir

manusia telah mempunyai enam emosi dasar, Yaitu:


20

a. Cinta

b. Kegembiraan

c. Keinginan

d. Benci

e. Sedih dan Kagum

Di pihak kaum empiristik yakni james-lenge juga

menungkapkan pendapat atau teori tentang emosi. Dalam

teori ini, emosi adalah hasil persepsi seseorang

terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh

sebagai respons terhadap rangsangan-rangsangan yang

datang dari luar. Gejala-gejala kejasmanian bukanlah

merupakan akibat dari emosi yang dialami individu oleh

individu merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh

individu merupakan gejala-gejala kejasmanian. Menurut

teori ini, orang tidak menagis kerena susah, tetapi

sebaliknya, iya susah karena menangis (Netty dalam

Azmi, 2013).

3. Fisiologi Emosi

Terutama pada emosi yang kuat di ungkapkan oleh

(Netty dalam Azmi, 2013) seringklai tejadi juga

perubahan-perubahan pada tubuh kita, antara lain:

a. Reaksi elaktris pada kulit meningkat bila

terpesona

b. Peredaran darah bertambah cepat bila marah

c. Denyut janntung bertambah cepat bila terkejut


21

d. Pernapasan: bernapas panjang bila kencang

e. Pupil mata membesar bila sakit atau marah

f. Liur mongering bila takut atau tegang

g. Bulu roma berdiri bila takut

h. Pencernaan mencret-mencret bila tegang

i. Otot ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot

menegang dan bergetar

j. Komposisi darah: komposisi darah akan cpat

berubah dalam keadaan emosional karena kelenjar-

kelenjar lebih aktif.

4. Penggolongan Emosi

Atas dasar arah aktivitasnya. Mahmud dalam Azmi

(2013) menjelaskan tingkah laku emosional dapat dibagi

menjadi empat macam yaitu: a) marah, orang bergerak

menentang sumber prustasi; b) takut, orang bergerak

meninggalkan sumber prustasi; c) cinta, orang bergerak

menuju kesenangan; d) depresi, orang menghentikan

respon-respon terbukanya dan mengalihkan emosi ke

dalam dirinya sendiri (Sobur dalam Azmi, 2013).

5. Ekspresi dan emosi

Menurut (Wullur dalam Azmi, 2013) melukiskan

ekspresi sebagai “peryataan batin seseorang dengan

cara berkata, bernyayi, bergerak, dengan catatan bahwa


22

ekspresi itu selalu tumbuh karena dorongan akan

menjelmakan perasaan atau buah pikiran”.

Selanjutnya, ekspresi itu dapat mengembangkan

sifat kreativitas seseorang dan jika anak sanggup

beraktivitas secara kreatif, barulah mereka dapat

belajar secara sunguh-sunguh (Sobur dalam Azmi, 2013)

Ekspresi menurut Wullur juga bersifat

membersihkan, membereskan (Katarsis). Karena itu

ekspresi dapat mencegah timbulnya kejadian-kejadian

yang tidak diberi kesempatan untuk menjelmakan

perasaannya dan menghadapi perasaanya. Tampa ekspresi,

bahan yang terpendam itu dapat membahayakan. Dan

terkadang bias menjadi “letusan kecil" seperti

perilaku memaki-maki, atau bias juga terjadi “letusan

besar”, misalnya mengamuk, bahkan membunuh. “letusan”

yang lebih besar lagi adalah terjadi letusan revolusi

suatu bangsa yang bertahun-tahun atau berabad-abad

tertindas (Sobur dalam Azmi, 2013).

Menurut Sobur dalam Azmi (2013), dalam kaitanya

dengan emosi, Dirgagunarsa membagi ekspresi emosi

dalam tiga macam yakni:

a. Startle response atau reaksi terkejut. Reaksi ini

merupakan sesuatu yang ada pada setiap orang dan

diperoleh sejak lahir (inbron); jadi tidak

dipengaruhi oleh pengalaman tiap-tiap individu.

Karena itu reaksi terkejut ini sama pada setiap


23

orang. Yaitu menutup mata, mulut melebar dan kepala

serta leher bergerak kedepan.

b. Facial and vocal exspression (Ekspresi wajah dan

suara). Keadaan emosi seseorang dapat dinyatakan

melalui wajah dan suara. Melalui perubahan wajah

dan suara, kita bisa membedakan orang-orang yang

sedang marah, gembira, dan sebagainya. Para artis

seperti pelukis dan dramawan sangat perlu

mempelajari ekspresi wajah dan suara dari berbagai

emosi, untuk menghasilkan karya yang benar-benar

baik.

c. Posture and gesture (sikap dan gerak tubuh). Sikap

dan gerak tubuh juga merupakan ekspresi dari

keadaan emosi. Ini sangat dipengaruhi oleh keadaan

kebudayaan tempat orang itu hidup dan pendidikan

yang didapat dari orang tuanya. Jadi ekspresi emosi

dalam sikap dan gerak tubuh ini biasa berlainan

sekali pada setiap orang. Emosi marah, misalnya

pada seorang yang dapat dinyatakan dengan mengepal-

ngepal tangan, dan pada orang lain bisa dinyatakan

dengan memukul meja, dan ada lagi yang berbentuk

menarik-narik rambut, pada anak-anak, ada suatu

reaksi marah yang disebut tempertamtrum, yaitu

gerakan yang berguling-guling dilantai.


24

6. Bentuk-Bentuk Gangguan Emosi dan Apek

a. Eforia; emosi yang menyenangkan, masa riang, senag

gembira, bahagia yang berlebihan dan bila tidak

sesuai keadaan, hal ini menunjukkan ada gangguan

jiwa. Orang eforia biasanya optimistis, percaya

diri dan tegas pada sikapnya.

b. Elasi; eforia yang berlebihan disertai dengan

motorik sering merupakan emosi yang labil dan

sering berubah menjadi mudah tersinggung.

c. Eksaltasi; elasi yang berlebihan dan biasanya

disertai dengan sikap kebesaran (waham kebesaran).

d. Eklasi (kegairahan); gairah yang berlebihan

disertai rasa aman, damai dan tenang biasanya

berhubungan dengan perasaan keagamaan yang kuat.

e. Inappropriate afek (apek yang tidak sesuai), adalah

suatu gejala gangguan emosi, dimana dijumpai

perbedaan yang jelas antara emosi yang tampak

dengan situasi yang menyebabkannya, misalnya

tertawa ketika ada suatu musibah.

f. Apek yang kaku(rigid) adalah suatu keadaan dimana

rasa hati dipertahankan walau terdapat rangsang

yang biasanya menyebabkannya reaksi emosional yang

berlebihan.

g. Emosi labil adalah suatu gejala dimana terdapat

ketidakstabilan yang berlebihan dan bermacam


25

emosional, cepat berubah dari emosi yang satu pada

emosi yang lain.

h. Cemas dan depresi merupakan gejala yang terlihat

dari ekspresi muka atau tingkah laku.

i. Ambivalensi adalah emosi dan apek yang berlawanan

yang timbul bersama-sama pada seseorang, suatu

objek atau keadaan, benci atau rindu.

j. Apatis, kurang atau tidak ada sama sekali reaksi

emosional dalam keadaan-keadaan yang seharusnya

menimbulkan emosi.

k. Emosi yang tumpul dan datar, pengurangan atau tidak

ada sama sekali tanda-tanda ekspresi afektif.

(Yosep, 2014)

C. Konsep Teori Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi

Persepsi Perilaku Kekerasan

1. Pengertian

Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi

perilaku kekerasan adalah terapi yang menggunakan

aktivitas sebagai latihan mempresepsikan stimulus yang

disediakan atau stimulus yang dialami. Kemampuan

persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan tiap sesi.

Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap

berbagai stimulasi dalam kehidupan menjadi adaptif

(Keliat, 2014).
26

2. Tujuan

a. Tujuan Umum

Tujuan umum pada terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi ini adalah agar klien mampu

mengontrol emosi dalam mencegah terjadinya perilaku

kekerasan.

b. Tujuan Husus

Tujuan khusus pada terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi ini adalah:

1) Klien mampu memngenal perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

2) Klien mampu mencegah perilaku kekerasan secara

fisik.

3) Klien mampu mencegah perilaku kekerasan dengan

cara interaksi sosial asertif (cara verbal).

4) Klien mampu mencegah perilaku kekerasan dengan

cara spiritual.

5) Klien mampu mencegah perilaku kekerasan dengan

dengan patuh mengkonsumsi obat.

3. Tahapan Terapi Aktivitas kelompok Stimulasi Persepsi

perilaku kekerasan di bagi menjadi 5 sesi (Keliat,

2014):

a. Sesi 1: Mengenal Perilaku Kekerasan yang Biasa

Dilakukan.

Tujuan :
27

1) Klien dapat menyebutkan stimulasi penyebab

kemarahannya.

2) Klien dapat menyebutkan respons yang

dirasakan saat marah (tanda dan gejala

marah).

3) Klien dapat menyebutkan reaksi yang

dilakukan saat marah (prilaku kekerasan).

4) Klien dapat menyebutkan akibat perilaku

kekerasan.

Setting :

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam

lingkaran.

2) Ruangan nyaman dan tenang.

Alat :

1) Papan tulis/flipchart/whiteboard

2) Kapur/spidol

3) Buku catatan dan pulpen

4) Jadwal kegiatan klien

Metode :

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi dan tanya jawab

3) Bermain peran/simulasi

Langkah Kegiatan :

1) Persiapan

a) Memilih klien perilaku kekerasan yang

sudah kooperatif.
28

b) Membuat kontrak dengan klien.

c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

2) Orientasi

a) Salam teraupetik

(1) Salam dari terapis kepada klien.

(2) Perkenalkan nama panggilan terapis

kepeda klien (pakai papan nama).

(3) Menanyakan nama panggilan semua

Klien (beri papan nama).

b) Evaluasi /validas

(1) Menanyakan perasaan klien saat ini.

(2) Menanyakan masalah yang dirasakan.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan yaitu

mengenal perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

(2) Menjelaskan aturan main berikut :

(3) Jika ada klien yang ingin

Meninggalkan kelompok, harus minta

izin kepada terapis.

(4) Lama kegiatan 45 menit.

(5) Setiap klien mengikuti kegiatan dari

awal sampai selesai.

3) Tahap Kerja

a) Mendiskusikan penyebab marah

(1) Tanyakan pengalaman tiap klien


29

marah.

(2) Tulis di papan tulis /flipchart

/whiteboard.

b) Mendiskusikan tanda dan gejala yang

dirasakan klien saat terpapar oleh

penyebab marah sebelum perilaku kekerasan

terjadi

(1) Tanyakan perasaan tiap klien saat

terpapar oleh penyebab (tanda dan

gejala).

(2) Tulis di papan tulis tulis/

flipchart/ whiteboard.

c) Mendiskusikan perilaku kekerasan yang

pernah dilakukan klien (verbal, merusak

lingkungan, menciderai/ memukul orang

lain, dan memukul diri sendiri)

(1) Tanyakan perilaku yang dilakukan

saat marah

(2) Tulis di papan tulis tulis/

flipchart/ whiteboard.

d) Membantu klien memilih salah satu

perilaku kekerasan yang paling sering

dilakukan untuk diperagakan.

e) Melakukan bermain peran/simulasi untuk

perilaku kekerasan yang tidak berbahaya


30

(terapis sebagai sumber penyebab dan

klien yang melakukan perilaku kekerasan).

f) Menanyakan perasaan klien setelah selesai

bermain peran/simulasi.

g) Mendiskusikan dampak/akibat perilaku

kekerasan

(1) Tanyakan akibat perilaku kekerasan

(2) Tuliskan di papan tulis / flipchart/

whiteboard

h) Memberikan reinforcement pada peran serta

klien.

i) Dalam menjalankan a sampai h, upayakan.

j) Beri kesimpulan penyebab, tanda dan

gejala, perilaku kekerasan, dan akibat

perilaku kekerasan.

k) Menanyakan kesedian klien untuk

mempelajari cara baru yang sehat

menghadapi kemarahan.

4) Tahap Terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan perasaan klien

setelah mengikuti TAK.

(2) Memberikan reinforcement positif

terhadap perilaku klien yang positif.

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien memulai dan


31

mengevaluasi jika terjadi penyebab

marah, yaitu tanda dan gejala,

perilaku kekerasan yang terjadi,

serta akibat perilaku kekerasan.

(2) Menganjurkan klien mengingat

penyebab, tanda dan gejala perilaku

kekerasan dan akibatnya yang belum \

diceritakan.

c) Kontrak yang akan datang

(1) Menyepakati belajar cara baru yang

sehat untuk mencegah perilaku

kekerasan.

(2) Menyepakati waktu dan tempat TAK

berikutnya.

Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung,

khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi

adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.

Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan

sesi 1, kemampuan yang diharapkan adalah

mengetahui penyebab perilaku, mengenal tanda dan

gejala, perilaku kekerasan yang dilakukan dan

akibat perilaku kekerasan. Formulir evaluasi

sebagai berikut :
32

Sesi 1 TAK

Stimilasi perilaku Kekerasan

Tabel 2.1 Evaluasi Kemampuan Mengenal Perilaku Kekerasan

Memberi Tanggapan Tentang


Nama Penyebab
No Tanda & Perilaku
Klien PK Akibat PK
Gejala PK Kekerasan
1.
2.
3.
4.

Petunjuk :

1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom

nama klien.

2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan

mengetahui penyebab perilaku kekerasan, tanda dan

gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang

dilakukan dan akibat perilaku kekerasan, serta

mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan

dengan nafas dalam. Beri tanda (+) jika mampu dan beri

tanda (-) jika tidak mampu.

Dokumentasi

Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK

pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh :

Klien mengikuti Sesi 1, TAK stimulus persepsi perilaku

kekerasan. Klien mampu menyebutkan penyebab perilaku

kekerasannya (disalahkan dan tidak diberi uang),

mengenal tanda dan gejala yang dirasakan (”gregeten”


33

dan ”deg-degan”), perilaku kekerasan yang dilakukan

(memukul meja), akibat yang dirasakan (tangan sakit

dan dibawa ke rumah sakit jiwa), dan cara mengontrol

perilaku kekerasan dengan latihan tarik nafas dalam.

Anjurkan klien mengingat dan menyampaikan jika semua

dirasakan selama di rumah sakit.

b. Sesi 2: Mencegah Perilaku Kekerasan Fisik

Tujuan :

1) Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik

yang dilakukan klien.

2) Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik

yang dapat mencegah perilaku kekerasan

3) Klien dapat mendemontrasikan dua kegiatan

fisik yang dapat mencegah perilaku

kekerasan.

Setting :

1) Terapis dan klien duduk bersama membentuk

segi empat

2) Ruangan nyaman dan tenang.

Alat :

1) Bantal

2) Sound musik

3) Papan tulis

4) Buku catatan dan pulpen

5) Jadwal kegiatan klien


34

Metode :

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi dan tanya jawab

3) Permainan

Langkah kegiatan :

1) Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan klien yang

telah ikut Sesi 1.

b) Mempersiapkan alat dan tempat

pertemuan.

2) Orientasi

a) Salam terapeutik

(1) Salam dari terapis kepada klien.

(2) Klien dan terapis pakai papan

nama.

b) Evaluasi validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat

ini.

(2) Menanyakan apakah ada kejadian

perilaku kekerasan: penyebab;

tanda dan gejala; perilaku

kekerasan serta akibatnya.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu

cara fisik untuk mencegah perilaku


35

kekerasan.

(2) Menjelaskan aturan main berikut:

(a) Klien Bersedia mengikuti TAK

(b) Berpakaian rapi dan bersih

(c) Peserta tidak diperbolehkan

makan, minum atau merokok

selama pelaksanaan TAK

(d) Jika ada klien yang ingin

meninggalkan kelompok, harus

minta izin kepada terapi

(e) Lama kegiatan 45 menit

(f) Setiap klien mengikuti kegiatan

dari awal sampai selesai.

3) Tahap kerja

1) Mendiskusikan kegiatan fisik yang

biasanya dilakukan oleh klien.

(1) Tanyakan kegiatan :rumah tangga,

harian, dan olah raga yang biasa

silakukan oleh klien.

(2) Tulis dipapan tulis/ flipchart/

whiteboard

2) Menjelaskan kegiatan fisik yang dapat

digunakan untuk menyalurkan kemarahan

secara sehat: tarik napas dalam,

menjemur/memukul kasur/bantal,
36

menyikat kamar mandi, main bola,senam,

memukul gendang.

3) Membantu klien memilih dua kegiatan

yang dapat dilakukan.

4) Bersama klien mempraktekan dua

kegiatan yang dipilih.

(1) Terapis mempratekkan.

(2) Klien mendemostrasikan ulang.

5) Menanyakan perasaan klien setelah

mempraktekan cara penyaluran

kemarahan.

6) Upayakan semua klien berperan aktif.

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapi menanyakan perasaan klien

setelah mengikuti TAK.

(2) Menanyakan ulang cara baru yang

sehat mencegah perilaku kekerasan.

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien menggunakan

cara yang telah dipelajari jika

stimulus penyebab perilaku

kekerasan.

(2) Menganjurkan klien malatih secara

teratur cara yang telah

dipelajari.
37

(3) Memasukkan pada jadwal kegiatan

harian klien.

c) Kontak yang akan datang

(1) Menyepakati untuk belajar cara

baru yang lain, yaitu interaksi

sosial yang asertif.

(2) Menyepakati waktu dan tempat TAK

berikutnya.

Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung,

khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi

adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.

Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan

sesi 2, kemampuan yang di harapakan adalah dua

kemampuan mencegah perilaku kekerasan secara

fisik. Formulir evaluasi sebagai berikut:


38

Sesi 2:

Stimulasi Persepsi Perilaku Kekerasan

Tabel 2.2 Evaluasi Kemampuan mencegah perilaku kekerasan

fisik

Mempraktekkan
Mempraktekkan Cara
No Nama Klien Cara Fisik Yang
Fisik Yang Pertama
Kedua
1.
2.
3.
4.

Petunjuk :

1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom

nama klien.

2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan

mempraktekkan 2 cara fisik untuk mencegah perilaku

kekerasan. Beri tanda (+) jika klien mampu dan tanda

(-) jika klien tidak mampu.

Dokumentasi

Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK

pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh :

klien mengikuti sesi 2 TAK stimulasi persepsi perilaku

kekerasan, klien mampu mempraktekkan tarik nafas

dalam, tetapi belum mampu mempraktekkan pukul kasur

dan bantal. Anjurkan dan bantu klien mempraktekkan di

ruang rawat (buat jadwal).


39

c. Sesi 3: Mencegah perilaku kekerasan dengan cara

interaksi sosial asertif (cara verbal)

Tujuan :

1) Klien dapat mengungkapkan keinginan dan

permintaan tanpa memaksa

2) Klien dapat mengungkapkan penolakan dan

rasa sakit hati tanpa kemarahan

Setting :

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam

lingkaran

2) Ruangan nyaman dan aman

Alat :

1) Papan tulis/ flipchart/ whiteboard dan

alat tulis

2) Buku catatan dan pulpen

3) Jadwal kegiatan klien

Metode :

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi dan tanya jawab

3) Bermain peran / simulasi

Langkah kegiatan :

1) Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan klien yang

telah ikut sesi 2

b) Mempersiapkan alat dan tempat

pertemuan
40

2) Orientasi

a) Salam terapeutik

(1) Salam dari terapis kepada klien

(2) Klien dan terapis pakai papan nama

b) Evaluasi /Validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat ini

(2) Menanyakan apakah ada penyebab

marah,tanda dan gejala marah,

serta perilaku kekerasan

(3) Tanyakan apakah kegiatan fisik

untuk mencegah perilaku kekerasan

sudah dilakukan

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan yaitu

cara sosial untuk mencegah

perilaku kekerasan

(2) Menjelaskan aturan main berikut:

(a) Jika ada klien yang akan

meninggalkan kelompok, harus

meminta izin kepada terapis.

(b) Lama kegiatan 45 menit.

(c) Setiap klien mengikuti

kegiatan dari awal sampai

selesai.

3) Tahap kerja
41

a) Mendiskusikan dengan klien cara

bicara jika ingin meminta sesuatu

dari orang lain.

b) Menuliskan cara-cara yang disampaikan

klien.

c) Terapis mendemonstrasikan cara

meminta sesuatu tanpa paksaan yaitu,”

Saya perlu/ ingin/ minta...., yang

akan saya gunakan untuk....”.

d) Memilih dua orang klien secara

bergilir mendemonstrasikan ulang cara

pada poin c.

e) Ulangi d sampai semua klien mencoba.

f) Memberikan pujian pada peran serta

klien.

g) Terapis mendemonstrasikan cara

menolak dan menyampaikan rasa sakit

hati pada orang lain, yaitu, ”Saya

tidak dapt melakukan...”atau” Saya

tidak menerima dikatakan .....”atau”

Saya kesal dikatakan seperti...”.

h) Memilih dua orang klien secara

bergilir mendemonstrasikan ulang cara

pada poin d.

i) Ulangi h sampai semua klien mencoba.


42

j) Memberikan pujian pada peran serta

klien.

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan perasaan klien

setelah melakukan TAK.

(2) Menanyakan jumlah cara pencegahan

perilaku kekerasan yang telah

dipelajari.

(3) Memberikan pujian dan penghargaan

atas jawaban yang benar.

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien menggunakn

kegiatan fisik dan interaksi

sosial yang asertif, jika stimulus

penyebab perilaku kekerasan

terjadi.

(2) Menganjurkan klien Dahliah

kegiatan fisik dan interaksi

sosial yang asertif secara

teratur.

(3) Memasukkan interaksi sosial yang

asertif pada jadwal kegiatan

harian pasien.

c) Kontrak yang akan datang

(1) Menyepakati untuk belajar cara


43

baru yang lain, yaitu kegiatan

ibadah.

(2) Menyepakati waktu dan tempat TAK

berikutnya.

Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses Tak berlangsung,

khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi

adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.

Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan

sesi 3, kemampuan klien yang diharapkan adalah

mencegah perilaku kekerasan secara sosial.

Formulir evaluasi sebagai berikut:

Sesi 3: TAK

Stimulasi persepsi perilaku kekerasan

Tabel 2.3 Evaluasi Kemampuan mencegah perilaku kekerasan

secara interaksi sosial asertif (cara verbal)

Memperagakan Memperagakan Mamperagakan Cara


No Nama Klien Cara Meminta Cara Menolak Mengungkapkan
Yang Baik Yang Baik Kekerasan Yang Baik
1.
2.
3.
4.
44

Petunjuk :

1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom

nama klien.

2. Untuk tiap klien, beri penilaian akan kemampuan

mempraktikkan pencegahan perilaku kekerasan secara

social : meminta tanpa paksa, menolak dengan baik,

mengungkapkan kekesalan dengan baik. Beri tanda (√)

jika klien mampu dan tanda (х) jika klien tidak mampu.

Dokumentasi

Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK

pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh :

klien mengikuti Sesi 3 TAK stimulasi persepsi perilaku

kekerasan. Klien mampu memperagakan cara meminta tanpa

paksa, menolak dengan baik dan mengungkapkan

kekerasan. Anjurkan klien mempraktikkan di ruang rawat

(buat jadwal).

d. Sesi 4: Mencegah Perilaku Kekerasan dengan cara

spiritual

Tujuan :

Klien dapat melakukan kegiatan ibadah

secara teratur.

Setting :

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam

lingkaran.
45

2) Ruangan nyaman dan tenang.

Alat :

1) Papan tulis/ flipchart/ whiteboard dan

alat tulis

2) Buku catatan dan pulpen

3) Jadwal kegiatan klien

Metode :

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi dan tanya jawab

3) Bermain peran/ stimulasi

Langkah kegiatan :

1) Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan klien yang

telah ikut sesi.

b) Menyiapkan alat dan tempat.

2) Orientasi

a) Salam terapeutik

(1) Salam dari terapis kepada klien

(2) Klien dan terapis pakai papan nama

b) Evaluasi/ validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat

ini.

(2) Menanyakan apakah ada penyebab

marah, tanda dan gejala marah,

serta perilaku kekerasan.

(3) Tanyakan apakah kegiatan fisik dan


46

interaksi sosial yang asertif

untuk mencegah perilaku kekerasan

sudah dilakukan.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu

kegiatan ibadah untuk mencegah

perilaku kekerasan

(2) Menjelaskan aturan main berikut:

(a) Jika ada klien yang akan

meninggalkan kelompok, harus

meminta izin kepada terapis.

(b) Lama kegiatan 45 menit.

(c) Setiap klien mengikuti

kegiatan dari awal sampai

selesai.

3) Tahap kerja

a) Menanyakan agama dan kepercayaan

masing-masing klien.

b) Mendiskusikan kegiatan ibadah yang

biasa dilakukan masing-masing klien.

c) Menuliskan kegiatan ibadah masing-

masing klien.

d) Meminta klien untuk memilih satu

kegiatan ibadah.

e) Meminta klien mendemonstrasikan

kegiatan ibadah yang dipilih.


47

f) Memberikan pujian pada penampilan

klien.

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan perasaan klien

setelah mengikuti TAK.

(2) Menanyakan jumlah cara pencegahan

perilaku kekerasan yang telah

dipelajari.

(3) Memberikan pujian dan penghargaan

atas jawaban yang benar.

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien menggunakan

kegiatan fisik, interaksi sosial

yang asertif, dan kegiatan ibadah

jika stimulus penyebab perilaku

kekerasan terjadi.

(2) Menganjurkan klien Dahliah

kegiatan fisik, interaksi sosial

yang asertif, dan kegiatan ibadah

secara teratur.

(3) Memasukkan kegiatan ibadah pada

jadwal kegiatan harian klien.

c) Kontrak yang akan datang

(1) Menyepakati untuk balajar cara

baru yang lain, yaitu minum obat


48

teratur.

(2) Menyepakati waktu dan tempat

pertemuan berikutnya.

Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung,

khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi

adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.

Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan

Sesi 4, kemampuan klien yang diharapkan adalah

perilaku 2 kegiatan ibadah untuk mencegah

kekerasan. Formulir evaluasi sebagai berikut.

Sesi 4 : TAK

Stimulasi persepsi perilaku kekerasan

Tabel 2.4 Evaluasi Kemampuan mencegah perilaku kekerasan

dengan cara spiritual

Mempraktikkan Mempraktikkan
No Nama Klien Kegiatan Ibadah Kegiatan Ibadah
Pertama Kedua
1.
2.
3.
4.

Petunjuk:

1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom

nama klien
49

2. Untuk tiap klien, beri penilaian akan kemampuan

mempraktikkan pencegahan perilaku kekerasan secara

social : meminta tanpa paksa, menolak dengan baik,

mengungkapkan kekesalan dengan baik. Beri tanda (√)

jika klien mampu dan tanda (х) jika klien tidak mampu.

Dokumentasi

Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK

pada catatan proses keperawatan tiap klien. Contoh :

klien mengikuti Sesi 4, TAK stimulasi persepsi

perilaku kekerasan. Klien mampu memperagakan dua cara

ibadah. Anjurkan klien melakukannya secara teratur di

ruangan (buat jadwal).

e. Sesi 5: Mencegah Perilaku Kekerasan Dengan Patuh

Mengonsumsi Obat

Tujuan :

1) Klien dapat menyebutkan keuntungan patuh

minum obat

2) Klien dapat menyebutkan akibat/ kerugian

tidak patuh minum obat

3) Klien dapat menyebutkan lima benar cara

minum obat

Setting :

1) Terapis dan klien duduk bersama dalam

lingkaran.
50

2) Ruangan nyaman dan tenang.

Alat :

1) Papan tulis/ flipchart/ whiteboard dan

alat tulis

2) Buku catatan dan pulpen

3) Jadwal kegiatan klien

4) Beberapa contoh obat

Metode :

1) Dinamika kelompok

2) Diskusi dan tanya jawab

Langkah kegiatan

1) Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan klien yang

telah mengikuti sesi 4.

b) menyiapkan alat dan tempat pertemuan.

2) Orientasi

a) Salam terapeutik

(1) Salam dari terapis kepada klien

(2) Klien dan terapis pakai papan nama

b) Evaluasi/ validasi

(1) Menanyakan perasaan klien saat

ini.

(2) Menanyakan apakah ada penyebab

marah, tanda dan gejala marah,

serta perilaku kekerasan.


51

(3) Tanyakan apakah kegiatan fisik dan

interaksi sosial yang asertif

untuk mencegah perilaku kekerasan

sudah dilakukan.

c) Kontrak

(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu

petuh minum obat untuk mencegah

perilaku kekerasan

(2) Menjelaskan aturan main berikut:

(a) Jika ada klien yang akan

meninggalkan kelompok, harus

meminta izin kepada terapis.

(b) Lama kegiatan 45 menit.

(c) Setiap klien mengikuti

kegiatan dari awal sampai

selesai.

3) Tahap kerja

a) Mendiskusikan macam obat yang dimakan

klien : nama dan warna (upayakan tiap

klien menyampaikan).

b) Mendiskusikan waktu minum obat yang

biasa dilakukan klien.

c) Tuliskan di whiteboard hasil a dan b.

d) Menjelaskan lima benar minum obat,

yaitu benar obat, benar waktu minum

obat, benar orang yang minum obat,


52

benar cara minum obat, benar dosis

obat.

e) Minta klien menyebutkan lima benar

cara minum obat secara bergiliran.

f) Berikan pujian pada klien yang benar.

g) Mendiskusikan perasaan klien sebelum

minum obat(catat di whiteboard).

h) Mendiskusikan perasaan klien setelah

teratur minum obat (catat di

whiteboard).

i) Menjelaskan keuntungan patuh minum

obat, yaitu salah satu cara mencegah

perilaku kekerasan/ kambuh.

j) Menjelaskan akibat/ kerugian jika

tidak patuh minum obat, yaitu kejadian

perilaku kekerasan/ kambuh.

k) Minta klien menyebutkaa kembali

keuntungan patuh minum obat dan

kerugian tidak patuh minum obat.

l) Memberikan pujian setiap kali klien

benar.

4) Tahap terminasi

a) Evaluasi

(1) Terapis menanyakan perasaan klien

setelah mengikuti TAK.

(2) Menanyakan jumlah cara pencegahan


53

perilaku kekerasan yang telah

dipelajari.

(3) Memberikan pujian dan penghargaan

atas jawaban yang benar.

b) Tindak lanjut

(1) Menganjurkan klien menggunakan

kegiatan fisik, interaksi sosial

asertif kegiatan ibadah, dan patuh

minum obat untuk mencegah perilaku

kekerasan.

(2) Memasukkan minum obat pada jadwal

kegiatan harian klien.

c) Kontrak yang akan datang

(1) Mengakhiri pertemuan untuk TAK

perilaku kekerasan dan disepakati

jika klien perlu TAK yang lain.

Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung

khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi

adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.

Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan

sesi 5, kemampuan yang diharapkan adalah

mengetahui lima benar cara minum obat, keuntungan


54

minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat.

Formulir evaluasi sebagai berikut:

Sesi 5: TAK

Stimulasi persepsi perilaku kekerasan

Tabel 2.5 Evaluasi Kemampuan mencegah perilaku kekerasan

dengan patuh minum obat

Menyebutkan Menyabutkan Menyebutkan


Nama
No lima benar keuntungan akibat tidak
klien
minum obat minum obat patuh minum obat
1.
2.
3.
4.

Petunjuk:

1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom

nama klien

2. Untuk tiap klien, beri penilaian akan kemampuan

mempraktikkan pencegahan perilaku kekerasan secara

sosial: meminta tanpa paksa, menolak dengan baik,

mengungkapkan kekesalan dengan baik. Beri tanda (√)

jika klien mampu dan tanda (х) jika klien tidak mampu.

Dokumentasi

Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien pada catatan

proses keperawatan tiap klien. Contoh : klien

mengikuti Sesi 5, TAK stimulasi persepsi perilaku

kekerasan. Klien mampu menyebutkan keuntungan minum


55

obat, belum dapat menyebutkan keuntungan minum obat

dan akibat tidak minum obat. Anjurkan klien

mempraktikkan lima benar cara minum obat, bantu klien

merasakan keuntungan minum obat, dan akibat tidak

minum obat
56

Faktor Internal :
 Kelemahan fisik
D. Kerangka Konsep
 Kurang percaya diri
 Putus asa
 Perasaan ketidakberdayaan

Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan:


 Fisik
TAK  Verbal
1. Mampu
Stimulasi Persepsi  Perilaku 2. Cukup Mampu
perilaku kekerasan  Emosi 3. Kurang Mamapu
sesi 1-5  Intelektual 4. Tidak Mampu
 Spiritual
 Sosial
 Perhatian

Faktor External :
 Penganiayaan fisik
Keterangan : Diteliti  Kehilangan orang yang disukai atau
dicintai
Tidak Diteliti  Kritikan yang mengarah pada penghinaan

Bagan 2.1 Kerangka konsep Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok

Stimulasi Persepsi Terhadap Kemampuan Mengontrol

Emosi Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan


57

E. Hipotesa penelitian

Hipotesa adalah suatu jawaban yang bersifat sementara

terhadap permasalahan peneliti, sampai terbukti melalui data

yang dikumpulkan (Arikunto, 2013).

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka

dapat diajukan suatu hipotesis yaitu:

Ha : Ada pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi

Persepsi perilaku kekerasan Terhadap Kemampuan Mengontrol

Emosi pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Di Ruang

Dahlia RSJ Mutiara Sukma Provinsi NTB.


58

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Subjek Peneltian

Subyek penelitian adalah sabyek yang dituju untuk

diteliti oleh penelitian atau sasaran peneliti (Nursalam,

2014). Dalam penelitian ini yang menjadi subyek atau sasaran

penelitian adalah pasien dengan risiko perilaku kekerasan

diruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma NTB.

B. Populasi, Sampel Dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang

telah ditetapkan (Nursalam, 2014). Dalam penelitian ini

populasi yang digunakan adalah pasien dengan risiko

perilaku kekerasan di ruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma NTB

pada tanggal 12 juni-11 juli 2017 berjumlah 33 orang.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti

atau sebagai jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh

populasi (Nursalam, 2013). Dalam penelitian ini sampel

yang digunakan adalah pasien dengan risiko perilaku

kekerasan diruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma NTB pada

tanggal 12 juni-11 juli 2017. Untuk menentukan jumlah


59

sampel yang akan digunakan, maka digunakan rumus sebagai

berikut:

n = N

1+N (d)²

= 33

1+33(0,05)2

= 33

1+33(0,0025)

= 33

1+0,0825

= 32

1,0825

n = 30

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Jumlah populasi

d = Tingkat ketepatan yang diinginkan (0,05)

Jadi, besar sampel yang akan didunakan dalam penelitan

ini adalah 30 pasien risiko perilaku kekerasan.


60

a) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek

penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau

yang akan diteliti (Nursalam, 2014).

Adapun kriteria inklusi yang akan dilakukan dalam

penelitian ini adalah:

1) Klien dengan gangguan jiwa risiko perilaku

kekerasan

2) Klien bersedia menjadi responden

3) Klien yang di rawat di ruang Dahlia

4) Klien yang tidak dalam pengobatan khusus (sakit

secara fisik)

5) Klien yang kooperatif

b) Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana

subyek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena

tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

(Hidayat, 2012)

Adapun kriteria eksklusi penelitian ini adalah:

1) Klien yang tidak di tempat saat penelitian

2) Klien yang ketakutan

3) Klien yang menngamuk.

4) Klien dengan gangguan komunikasi fugsional (tuna

wicara)
61

3. Tekhnik sampling

Pada penelitian ini sampel diambil dengan

mengguanakan teknik non probability sampling dengan

purposive sampling, dimana pengambilan sampel ini

berdasarkan pada suatu yang di buat oleh peneliti

sendiri (Soekidjo, 2012).

C. Desain Penelitian

Desian penelitian merupakan rencana penelitian yang

disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat

memperololeh jawaban terhadap pertanyaan penelitian

(Setiadi, 2013).

Adapun desain penelitian yang akan digunakan pada

penelitian ini adalah metode penelitian pra-eksperimen

yaitu menggunakan rancangan one group pretest-postest

design, yaitu mengugkapkan hubungan sebab akibat dengan

cara melibatkan satu kelompok subjek (Nursalam, 2013).

Sehingga dalam rancangan penelitian ini hanya melibatkan

kelompok perlakuan tanpa ada kelompok kontrol, tetapi

paling tidak sudah dilakukan observasi pertama (pretest).

K 0 1 01

Bagan 3.1 : Desain penelitian


62

Keterangan :

K : Subyek (pasien dengan risiko perilaku kekerasan)

0 : Observasi sebelum di lakukan kegiatan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan

1 : Kegiatan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi

1 : Observasi sesudah dilakukan kegiatan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan

D. Teknik Pengumpulan Data, Instrument Penelitian dan

Pengolahan Data

1. Teknik pengumpulan data

a. Persiapan

Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengajukan

permohonan untuk mendapatkan izin peneliti kepada Direktor

Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma Provinsi Nusa Tenggara Barat

setelah terlebih dahulu menjelaskan tujan penelitian yang

dilakukan. Setelah mendapatkan izin, peneliti mulai melakukan

pengumpulan data khusus klien yang mengalani masalah risiko

perilaku kekerasan yang ingin diteliti oleh peneliti.

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah menggunakan lembar observasi dan wawancara untuk

melihat kemampuan mengontrol emosi pada pasien risiko perilaku

kekerasan sebelum dan sesudah diberikan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan.


63

b. Pelaksanaan

1) Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti

melakukan penelitian kepada pasien risiko perilaku

kekerasan diruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma NTB.

2) Peneliti memberikan persetujuan menjadi responden

kepada pasien risiko perilaku kekerasan diruang

Dahlia RSJ Mutiara Sukma NTB.

3) Peneliti melakukan wawancara dan observasi kepada

pasien risiko perilaku kekerasan untuk melihat

kemampuan mengontrol emosi pada pasien risiko perilaku

kekerasan sebelum diberikan terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekerasan.

4) Peneliti melakukan terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi perilaku kekerasan.

5) Peneliti melakukan wawancara dan observasi kepada

pasien risiko perilaku kekerasan untuk melihat

kemampuan mengontrol emosi pada pasien risiko perilaku

kekerasan sesudah diberikan terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekerasan.

6) Penaliti mengumpulkan hasil observasi sebelum dan

sesudah di lakukan terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi perilaku kekerasan kemudian di bandingkan

antara hasil pre-tes dan pos-tes.


64

2. Instrument penelitian

Instrument penelitian adalah alat atau fasilitas

yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar

pekerjaan lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti

lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga mudah di

olah (Arikunto, 2013). Pada rancangan penelitian ini

calon peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa

lembar observasi dan wawancara untuk mengetahui kemapuan

mengontrol emosi pada pasien risiko perilaku kekerasan.

3. Teknik pengolahan data

Cara pengolahan data agar dapat disimpulkan atau

diinterprestasikan menjadi informasi. Dalam melakukan analisa

data terlebih dahul data harus diolah. Dalam penelitian ini

proses pengolahan data menggunakan langkah-langkah, dianaranya

yaitu sebagai berikut (Hidayat, 2012).

a. Editting (pengeditan)

Editting adalah upaya untuk memeriksa kembali

kebenaran data yang dieroleh atau dikumpulkan. Editting

dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau data

setelah terkumpul.

b. Clanning (membersihkan data)

Sebuah data diolah, dilakukan pengecekan kembali

agar tidak terjadi kesalahan dan sesuai dengan kriteria

inklusi.
65

c. Coding(mengkode data)

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik

(angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa

kateggori. Pemberian kode ini sangat penting bila

pengolahan dan analisis menggunakan komputer.

d. Entry data (Memasukkan Data)

Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang

telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau data base

computer, kemudian membuat distribusi tingkat sederhana

dengan membuat tabel kontigensi.

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

1. Identifikasi Variabel

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang

memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia,

dan lain-lain) (Nursalam, 2013).

a. Variabel bebas (variable independent)

variable independent adalah variable yang

mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan atau

timbulnya variable terikat (Sugiyono, 2014). Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan variabel

independent yakni pelaksanaan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan.


66

b. Variabel terikat (variabel dependen)

Variable dependen adalah variabel yang

dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya

variabel bebas (Sugiyono, 2014). Dalam hal ini,

peneliti menggunakan variabel dependen berupa

mengontrol emosi pada pasien risiko perilaku

kekerasan.

2. Definisi operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan secara

operasinonal berdasarkan karakteristik yang diamati

sehingga memugkinkan peneliti untuk melakukan observasi

atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau

phenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan

parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian

(Hidayat, 2014)
Tabel 3.1 Identifikasi variable penelitian dan definisi operasional: Pengaruh Terapi

Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi perilaku kekerasan Terhadap Kemampuan

Mengontrol Emosi Pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Di Ruang Dahlia

RSJ Mutiara Sukma Provinsi NTB.

No Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Hasil Ukur


Operasional
1 Variabel Pelaksanaan Melaksanaan - - -
Independent Terapi Aktivitas Terapi
Pelaksanaan Kelompok Aktivitas
Terapi Aktivitas Stimulasi Kelompok
Kelompok Persepsi Perilaku Stimulasi
Stimulasi Kekerasan. Persepsi
Persepsi Perilaku
Perilaku Kekerasan Dari
Kekerasan. Sesi 1-5

2 Variabel Perasaan Yang Perubahan Emosi Lembar Ordinal 1. Skor 0 =


Dependen Berlebihan Dalam Dilihat Dari Observasi Mampu
Berupa: Menyikapi Segala Aspek: Dan 2. Skor 1-2 =
Kemampuan Sesuatu/Peristiwa  Perubahan wawancara Cukup Mampu
Mengontrol Emosi Sehingga Akan Tanda dan 3. Skor 3-4 =
Pada Pasien Mengganggu Gejala Emosi Kurang Mampu
Risiko Perilaku Hubungan 4. Skor 5-6 =
Kekerasan. Seseorang Dengan Tidak Mampu
Lingkungan
Disekitarnya.
68

F. Analisa Data

Analisa yang digunakan adalah alat bantu computer

melalui program SPSS versi 16.0 uji statistic menggunakan

Wilcoxon Match Pairs Test dengan taraf kesalahan 0,05

(5%) untuk menganalisa hasil eksperimen pre-test dan

post-test design dan mengetahui Pengaruh Terapi Aktivitas

Kelompok Stimulasi Persepsi perilaku kekerasan Terhadap

Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Pasien Risiko Perilaku

Kekerasan. Hasil perhitungan tersebut untuk memperoleh

nilai signifikan, Ha diterima apabila p<0,05.

G. Etika Penelitian

Penelitian akan dilakukan setelah mendapat

rekomendasi dari institusi pendidikan kemudian mengajukan

permohonan ijin kepada tempat penelitian dan setelah

mendapat persetujuan baru melaksanakan penelitian dengan

menekankan etika yang meliputi:

1. Informed Condent

Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian,

calon responden diberi penjelasan tentang tujuan dan

manfaat penelitian yang dilakukan. Apabila calon

responden bersedia untuk diteliti maka calon responden

harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, dan


69

jika calon responden menolak untuk diteliti maka

peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya.

2. Anomity (Tampa Nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak

mencantumkan nama responden dalam pengolahan data

penelitian. Peneliti akan menggunakan nomor

(inisiyal).

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Informasi yang diberikan oleh responden serta

semua data yang terkumpul dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti.
70

H. Kerangka Kerja Penelitian

Populasi
Pasien Dengan Risiko Perilaku Kekerasan
Diruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma NTB

Metode Purposive
Sampling
Sampel Sesuai Dengan
Kriteria Inklusi

Inform Consent

Pre Test
Observasi dan wawancara Sebelum
Melakaukan Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Perilaku Kekerasan

Analisa Data
Melakukan Terapi Aktivitas
Kelompok Stimulasi Persepsi
Perilaku Kekerasan
Hasil

Post Test
Observasi dan wawancara Setelah Laporan
Melakukan Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Perilaku Kekerasan

Bagan 3.2 Kerangka Kerja Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok

Stimulasi Persepsi perilaku kekerasan Terhadap

Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Pasien Risiko

Perilaku Kekerasan.
71

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada BAB ini akan diuraikan hasil penelitian serta

pembahasan mengenai Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok

Stimulasi Persepsi Perilaku Kekerasan Terhadap Kemampuan

Mengontrol Emosi pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan Di

Ruang Dahlia RSJ Mutiara Sukma Provinsi NTB.

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Dahlia RSJ Mutiara

Sukma Provinsi NTB pada tanggal 12 juni-11 juli 2017. Dimana

para responden tersebut telah memiliki kriteria sampel yang

telah ditetapkan sesuai dengan rencana penelitian.

Berdasarkan tujuan penelitian, pada BAB ini akan disajian

data hasil penelitian yang terdiri atas data umum, data khusus

dan hambatan penelitian. Data umum dalam penelitian ini

meliputi: 1) Gambaran umum lokasi penelitian, 2) Distribusi

responden berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan.

Sedangkan data khususnya meliputi: 1) Mengetahui kemampuan

mengontrol emosi sebelum diberikan terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekerasan, 2) Mengetahui kemampuan

mengontrol emosi sesudah diberikan terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekerasan dan 3) Analisa data

kemampuan mengontrol emosi sebelum dan sesudah diberikan


72

terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan dengan menggunkan bantuan computer melalui uji SPSS

versi 16.0

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma Provinsi NTB

berlokasi di kota mataram, tepatnya di jalan ahmad yani

No.1 Selagalas mataram. Letak geografis berbatasan

dengan:

Sebelah Barat : Jalan Ahmad Yani

Sebelah Selatan : Rumah Sakit Harapan Keluarga

Sebelah Timur : Persawahan

Sebelah Utara : Jalan Gora

Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma Provinsi NTB

memiliki beberapa ruangan perawatan yaitu : Ruang Melati,

Ruang Dahlia, Ruang UGD, Ruang Dahlia, Ruang Angsoka,

Ruang Anggrek dan Ruang Pelamboyan. Rumah Sakit Jiwa

Mutiara Sukma Provinsi NTB berdiri di atas lahan dengan

luas 60.000 m2 dengan luas bangunan 7.000 m2. Adapun rumah

sakit jiwa mutiara sukma provinsi NTB merupakan lembaga

teknis daerah (LTD), dengan status rumah sakit khusus

tipe B, dimana tugas pokok dan fungsi dari rumah sakit

jiwa mutiara sukma provinsi NTB yaitu:

a. Melaksanakan sebagian tugas teknis dinas kesehatan

provinsi NTB dibidang pelayanan kesehatan jiwa dan


73

kesehatan dasar sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

b. Melakukan kebijakan teknis operasional pelayanan

kesehatan jiwa dan kesehatan dasar untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia.

2. Data Umum

Responden dalam penelitian ini adalah pasien yang

mengalami risiko perilaku kekerasan diruang dahlia Rumah

Sakit Jiwa Mutiara Sukma Provinsi NTB yaitu sebanyak 30

responden. Pemaparan karakteristik responden akan

diurikan dalam data umum yaitu berdasarkan umur,

pendidikan dan pekerjaan.

a. Umur

Tabel 4.1: distribusi responden berdasarkan umur

No Umur Frekuensi Persentase %


1 19-34 13 43,3
2 35-50 14 46,7
3 51-65 3 10
Total 30 100
Sumber : data primer

Dari tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa

sebagian besar responden berumur 35-50 tahun yaitu

sebanyak 14 responden (46,7%) dan yang paling sedikit

responden yang berumur 51-65 tahun sebanyak 3

responden (10%).
74

Menurut Potter & Perry (2001), untuk tingkat

umur para responden yang cenderung ke arah

perkembangan dewasa awal dan dewasa akhir yang

merupakan fase perkembangan yang sangat kerisis yaitu:

keintiman (intimacy) vs isolasi (isolation) terjadi

pada masa dewasa awal. Untuk mekanisme koping

maladaptive adalah rasa cuwek. Generativitas

(generativity) vs stagnasi (stagnation) terjadi pada

masa dewasa akhir (30-60 tahun) dimana pada masa fase

tersebut hubungan yang signifikan ada pada keluarga

dan tempat kerja. Untuk mekanisme koping maladaptifnya

adalah terlalu peduli.

Perilaku dan kemampuan kognitif merupakan

factor yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan usia

seseorang. Tugas perkembangan pada dewasa awal antara

lain adalah fisiologis, kognitif, dan psikososial yang

berupa tanggug jawab terhadap karir, pernikahan dan

membuat atau membentuk tipe kelurga (sesuai dengan

tugas perkembangan usia dewasa awal) tentunya

pengalaman yang telah dilalui menjadikan seseorang

telah banyak belajar dalam perjalanan kehidupannya.

Sehingga kemampuan perilaku atau kebiasaan dapat

diajarkan kembali dalam proses terapi (Potter,

Patricia A, 2005)
75

b. Pendidikan

Tabel 4.2: Distribusi responden berdasarkan

Pendidikan

No Pendidikan Frekuensi Persentase %


1 Tidak sekolah 5 16,7
2 SD 11 36,7
3 SMP 6 20
4 SMA 6 20
5 S1 2 6,7
Total 30 100
Sumber : data primer

Dari tabel 4.2 di atas menunjukkan responden

dengan tingkat pendidikan paling banyak adalah SD

sebanyak 11 responden (36,7%) dan yang paling sedikit

adalah serjana (S1) sebanyak 2 responden (6,7%).

Menurut Pradana, Widodo, dkk (2013), rendahnya

tingkat pendidikan mengakibatkan seseorang mudah

mengalami masalah gangguan psikologi, hal ini terjadi

karena mereka lebih sulit untuk menerima penyuluhan

yang diberikan oleh tenaga kesehatan, dan mereka juga

lebih sulit dalam menerima suatu keadaan yang terjadi

pada diri mereka dalam masalah terjadinya proses

perubahan pada kejiwaan seseorang, sehingga pada

penelitian ini dilihat dari tingkat pendidikan

kebanyakan mempuyai pendidikan rendah (SD) yang

umumnya berasal dari wilayah pedesaan.


76

c. Pekerjaan

Tabel 4.3: Distribusi responden berdasarkan

Pekerjaan

No Pekerjaan Frekuensi Persentase %


1 IRT 2 6,7
2 Buruh Tani 3 10
3 Petani 14 46,7
4 Pedagang 9 30
5 Guru 2 6,7
Total 30 100
Sumber : data primer

Dari tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa

sebagian besar memiliki pekerjaan terbanyak adalah

petani sebanyak 14 responden (46,7%) dan yang paling

sedikit adalah guru sebanyak 2 responden (6,7%).

Pekerjaan dalam penelitian ini diartikan

sebagai suatu tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang

dapat menghasilkan uang dalam memenuhi kebutuhannya.

Menurut Fitria (2009), bahwa kesulitan kondisi sosial

ekonomi akan memicu perilaku kekerasan atau

penganiayaan.
77

3. Data Khusus

a. Kemampuan mengontrol emosi sebelum di berikan terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan

Tabel 4.4 Distribusi Kemampuan mengontrol emosi

sebelum diberikan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan

Kemampuan
No Mengontrol Emosi Frekuensi Persentase %
1 Mampu 0 0
2 Cukup Mampu 5 17
3 Kurang Mampu 15 50
4 Tidak Mampu 10 33
Total 30 100
Sumber : data primer

Dari tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa

persentase terbanyak adalah responden yang kurang

mampu mengontrol emosi sebanyak 15 responden (50%) dan

responden yang paling sedikit adalah cukup mampu

mengontrol emosi sebanyak 5 responden (17%).


78

b. Kemampuan mengontrol emosi sesudah di berikan terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan

Tabel 4.5 Distribusi Kemampuan mengontrol emosi

setelah di berikan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan

Kemampuan
No Mengontrol Emosi Frekuensi Persentase %
1 Mampu 0 0
2 Cukup Mampu 10 33
3 Kurang Mampu 17 57
4 Tidak Mampu 3 10
Total 30 100
Sumber : data primer

Dari tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa

persentase terbanyak adalah responden yang kurang

mampu mengontrol emosi sebanyak 17 responden (57%) dan

responden yang paling sedikit adalah tidak mampu

mengontrol emosi sebanyak 3 responden (10%).


79

c. Kemampuan mengontrol emosi sebelum dan sesudah di

berikan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi

perilaku kekerasan

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Pengaruh Pemberian Terapi

Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi

Perilaku Kekerasan Terhadap Kemampuan

Mengontrol Emosi

Kemampuan Mengonrol Emosi


Wilcoxon
No Perlakuan Mampu Cukup Kurang Tidak Jumlah Asymp.Sig.
Mampu Mampu Mampu (2-tailed)
N %
N % N % N % N %
1 Pre-test 0 0
5 17 15 50 10 33 30 100 0,003
2 Post-test 0 0
10 33 17 57 3 10 30 100
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
pre_test 30 3.1667 .69893 2.00 4.00
post_test 30 2.7667 .62606 2.00 4.00
Sumber : data primer dan data uji SPSS versi 16.0

Dari tabel 4.6 di atas terlihat sebelum

diberkan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi

perilaku kekerasan menunjukkan bahwa persentase

terbanyak adalah responden yang kurang mampu

mengontrol emosi sebanyak 15 responden (50%) dan

responden yang paling sedikit adalah cukup mampu

mengontrol emosi sebanyak 5 responden (17%).

Setelah diberikan terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekerasan menunjukkan


80

bahwa persentase terbanyak adalah responden yang

kurang mampu mengontrol emosi sebanyak 17 responden

(57%) dan responden yang paling sedikit adalah tidak

mampu mengontrol emosi sebanyak 3 responden (10%).

Berdasarkan hasil analisa data menggunakan uji

wilcoxon, menggunakan SPSS versi 16.0 menunjukkan

nilai P-value 0,003. Oleh karena itu, nilai P-value

lebih kecil dari pada α (0,05) atau 0,003 < 0,05.

Dengan demikian maka kesimpulan yang diambil adalah H0

di tolak dan Ha diterima, artinya ada pengaruh

pemberian terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi

perilaku kekerasan terhadap kemampuan mengontrol emosi

pada pasien risiko perilaku kekerasan di ruang dahlia

RSJ mutiara sukma privinsi NTB.

B. Pembahasan

1. Mengetahuai Kemampuan Mengontrol Emosi pada Pasien Risiko

Perilaku Kekerasan sebelum diberikan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan.

Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa persentase

terbanyak adalah responden yang kurang mampu mengontrol

emosi sebanyak 15 responden (50%) dan responden yang

paling sedikit adalah cukup mampu mengontrol emosi

sebanyak 5 responden (17%). Adapun dari hasil wawancara


81

dari 30 responden menyatakan bahwa sebagian besar

penyebab dari perilaku kekerasannya adalah sering di

bentak oleh suaminya, perceraian, suami selingkuh,

kekerasan dalam rumah tangga, kehilangan orang yang di

cintai (orang tua, anak, suami), kehilangan pekerjaan dan

tidak di kuliahkan oleh orang tuanya.

Menurut Golmen (2013), menyatakan bahwa emosi

merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu

keadaan biologis dan psikologis dan serangkain

kecendrungan untuk bertindak, emosi pada dasarnya adalah

dorongan untuk bertindak, biasanya emosi merupakan reaksi

terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.

Sebagai contoh, emosi gembira mendorong perubahan suasana

hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat

tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku

menangis. Pernyataan ini sesuai dengan rumusan Chaplin

(2002) yang merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang

terasang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang

di sadari, yang mendalam sifatnya dan perubahan perilaku.

Emosi merupakan keadaan yang di timbulkan oleh situasi

tertentu yang cenderung terjadi dalam kaitanya dengan

perilaku mengarah (approach) dan menyingkir (avoidance)

terhadap sesuatu.
82

Pernyataan tersebut di perjelas oleh keterangan

dari sebagian responden yang menghindari sebagian faktor

penyebab timbulnya rasa emosi dengan melakukan tarik

nafas dalam, pukul bantal atau kasur, melakukan kegiatan

positif seperti melakukan kegiatan spiritual (sholat,

istigfar, berdo’a, dan membaca Al-Qur’an) dan mengaku

merasa lebih tenang setelah melakukan kegiatan seperti

ini. Selain itu, keadaan ini juga diperjelas oleh

responden yang tampak melantunkan bacaan AL-Qur’an di

kamarnya selepas sholat maupun dalam waktu luang yang di

miliki responden.

Perilaku tersebut pada umumnya juga akan di sertai

dengan adanya ekspresi kejasmanian sehingga orang lain

dapat mengetahui bahwa seseorang tersebut sedang

menmgalami emosi. Dari hasil observasi sebelum dilakukan

terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan, sebagian besar ekspresi yang ditunjukkan oleh

responden adalah wajah merah & tegang, tangan mengepal,

postur tubuh kaku, jalan mondar mandir, berbicara dengan

nada keras, namun tidak menunjukkan ekspresi marah yang

berlebihan (agresif, mengamuk dan merusak lingkungan).

Ekspresi yang tampak adalah sebagian besar responden yang

timbul karena masih mengingat dan membayangkan ketika

keluarga mereka melakukan perbuatan seperti: memukul,


83

memarahi, mengikat dan mengasingkan mereka. Menurut

Marasmis (2004) emosi adalah suatu keadaan yang kompleks

yang berlangsung biasanya tidak lama, Yang mempunyai

komponen pada badan dan jiwa individu itu pada jiwa

timbul keadaan terangsang (excitemen) dengan perasaan

yang hebat serta biasanya juga terdapat implus untuk

berbuat sesuatu yang tertentu, pada badan timbul gejala-

gejala dari pihak susunan saraf vegetative, umpamanya

pada pernapasan, sirkulasi dan sekresi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Yosep (2007) bahwa

kemarahan merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai

respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman.

Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruktif

pada waktu yang terjadi akan melegakan individu dan

membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang

sebenarnya. Namun demikian, faktor budaya perlu

dipertimbangkan sehingga keuntungan kedua belah pihak

dapat tercapai. Keadaan ini sesuai dengan Yosep (2014)

mengatakan bahwa emosi merupakan suatu pengalaman yang

sadar dan memberikan pengaruh pada aktivitas tubuh dan

menghasilkan sensasi organis dan kinetis.


84

2. Mengetahuai Kemampuan Mengontrol Emosi pada Pasien Risiko

Perilaku Kekerasan sesudah diberikan terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan.

Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa persentase

terbanyak adalah responden yang kurang mampu mengontrol

emosi sebanyak 17 responden (57%) dan responden yang

paling sedikit adalah tidak mampu mengontrol emosi

sebanyak 3 responden (10%).

Dari hasil evaluasi setelah diberikan terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan

dari sesi 1-5 dapat di lihat bahwa dari 30 responden,

kemampuan responden dalam mengontrol emosi dengan cara

nafas dalam dan pukul bantal/kasur berjumlah (19

responden yang mampu melakukan nafas dalam dan yang tidak

mampu melakukan nafas dalam 11 responden, untuk pukul

bantal dan kasur 8 dari 30 responden yang mampu

melakukannya), kemampuan responden dalam mengontorol

emosi dengan cara verbal berjumlah (18 responden mampu

memperagakan cara meminta dengan yang baik dan 12

responden tidak mampu memperagaan cara meminta dengan

yang baik, 10 responden mampu memperagakan cara menolak

yang baik dan 20 responden tidak mampu memperagakan cara

menolak yang baik, sedangkan 30 responden tidak mampu

memperagakan cara mengungkapkan yang baik), kemampuan


85

responden dalam mengontrol emosi dengan cara spiritual

rata-rata semua responden sudah mampu melaukan kegitan

spiritual seperti (sholat, ngaji, istigfar dan berdo’a)

dan untuk sesi yang terakhir yaitu dengan cara patuh

minum obat mulai dari menyebutkan keuntungan minum obat,

kerugian minum obat rata-rata semua responden sudah

mengerti dari ke untungan dan kerugian kalau tidak patuh

mengkonsumsi obat.

Menurut Perwiranti (2013) tentang pengaruh terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi sesi 2 terhadap

kemampuan mengontrol emosi pada klien perilaku kekerasan

di RSJD dr. Amino gondohutomo semarang dengan hasil

analisa dengan Uji T test didapatkan nilai p value =

0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak yang

berarti ada pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi sesi 2 terhadap kemampuan mengontrol emosi pada

klien perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo

Semarang.

Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi

perilaku kekerasan sesi 1-5, di bagi menjadi 2, sesi 1-3

dilakukan dihari pertama dan sesi 4-5 dilakukan dihari

ke-dua dalam satu kelompok terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekerasan. Penelitian ini di

dukung oleh Benita, Dewi, dkk (2014) tentang pengaruh


86

terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi sesi 1-5

terhadap kemampuan mengontrol dan mengekpresikan marah

pada pasien risiko perilaku kekerasan dengan hasil

penelitian rata-rata selisih antara kempuan sebelum dan

sesudah di berikan intervensi sebesar 0,84 dengan p-vule

0,000 dengan menggunakan α 0,05. Upaya pencegahan dan

rehabilitasi klien dengan perilaku kekerasan yaitu dengan

pemberian terapi aktivitas kelompok dan tindakan

pengobatan (medis) sangat berpengaruh pada proses

penyembuhan klien, terapi aktivitas kelompok bertujuan

membantu klien berhubungan dengan orang lain serta

mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif (keliat

& akemat 2004). Sedangkan pemberian obat-obat

psikofarmaka bertujuan dalam perbaikan klinis (Maramis

2005).

Menurut Keliat & Akemat (2004) Terapi aktivitas

kelompok merupakan suatu terapi modalitas yang di lakukan

perawat kepada kelompok klien yang mempunyai masalah

keperawatan yang sama. Aktivitas di gunakan sebagai

terapi dan kelompok di gunakan sebagai target asuhan. Di

dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling

bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium

tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk

memperbaiki perilaku lama yang maladaptif. Menurut Keliat


87

(2011) menjelaskan bahwa pada saat proses asosiasi dalam

terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku

kekerasan klien menciptakan kesan dalam pikiran, mengenal

emosi yang biasa di lakukan, mengontrol emosi dengan cara

fisik 1 & 2 (nafas dalam & pukul bantal/kasur), cara

verbal seperti (meminta, menolak dan mengungkapkan dengan

baik), cara spiritual (istigfar, ngaji, sholat, berdo’a

dan wudhu) dan cara yang terakhir dengan mengkonsumsi

obat agar klien lebih tenang dan terkontrol.

Menurut Keliat (2011) menjelaskan bahwa terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan

bermanfaat untuk meningkatkan identitas diri, menyalurkan

emosi secara konstruktif dan meningkatkan keterampilan

secara sosial.

3. Menganalisa Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi

Persepsi perilaku kekerasan Terhadap Kemampuan Mengontrol

Emosi pada Pasien Risiko Perilaku Kekerasan.

Dari tabel 4.6 terilihat sebelum diberkan terapi

aktivitas kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan

menunjukkan bahwa persentase terbanyak adalah responden

yang kurang mampu mengontrol emosi sebanyak 15 responden

(50%) dan responden yang paling sedikit adalah cukup

mampu mengontrol emosi sebanyak 5 responden (17%).


88

Setelah diberikan terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekerasan menunjukkan bahwa

persentase terbanyak adalah responden yang kurang mampu

mengontrol emosi sebanyak 17 responden (57%) dan

responden yang paling sedikit adalah tidak mampu

mengontrol emosi sebanyak 3 responden (10%).

Berdasarkan hasil analisa data menggunakan uji

wilcoxon, menggunakan SPSS versi 16.0 menunjukkan nilai

P-value 0,003. Oleh karena itu, nilai P-value lebih kecil

dari pada α (0,05) atau 0,003 < 0,05. Dengan demikian

maka kesimpulan yang diambil adalah H0 di tolak dan Ha

diterima, artinya ada pengaruh pemberian terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi perilaku kekerasan terhadap

kemampuan mengontrol emosi pada pasien risiko perilaku

kekerasan di ruang dahlia RSJ mutiara sukma privinsi NTB.

Penelitian ini di dukung oleh peneliti Feri Wibowo

(2013) tentang pengaruh terpai aktivitas kelompok sesi 1-

3 terhadap kemampuan mengenal dan mengontrol perilaku

kekerasan dengan hasil penelitian variable mengenal dan

mengontrol perilaku kekerasan (p-value 0,000 dan p-value

0,000) dan menurut hasil penelitian Dias Ganes Perwiranti

(2013) tentang pengaruh terpai aktivitas kelompok

stimulasi persepsi sesi 2 terhadap kemampuan mengontrol

emosi pada pasien risiko perilaku kekerasan dan Hasil


89

analisa dengan Uji T test didapatkan nilai p-value =

0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak yang

berarti ada pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi sesi 2 terhadap kemampuan mengontrol emosi pada

pasien risiko perilaku kekerasan.

Perilaku kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun

dan dapat disebabkan oleh apapun, perilaku kekerasan

dapat terjadi karena seseorang mengalami Stress, cemas

dan marah yang tidak dapat dikendalikan. Stress, cemas

dan marah merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang

harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat

menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak

menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan

kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon

terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal

maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku

kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku

depresi dan penyakit fisik (Depkes, 2000).

Menurut Shives (2013) menyatakan bahwa hal-hal yang

dapat menimbulkan perilaku kekerasan antara lain sebagai

berikut; kesulitan kondosi sosial ekonomi, Kesulitan

dalam mengkomunikasikan sesuatu Ketidaksiapan seorang ibu

dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam

menempatkan diri sebagai orang dewasa, Pelaku mugkin


90

mempunyai riwayat anti sosial seperti penyalahgunaan obat

dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat

menghadapi rasa frustasi dan Kematian anggota keluarga

yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap

perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, hal-hal

penyebab dari perilaku kekerasannya adalah sering di

bentak oleh suaminya, perceraian, suami selingkuh,

kekerasan dalam rumah tangga, kehilangan orang yang di

cintai (orang tua, anak, suami), kehilangan pekerjaan dan

tidak di kuliahkan oleh orang tuanya. Menurut sudut

pandang dari peneliti, emosi adalah bagian dari kehidupan

kita sehari-hari, kehidupan ini sangat kompleks, banyak

stressor yang dapat memicu terjadinya perilaku kekerasan,

jika kita tidak bisa menyesuaikan diri maka kita akan

meresponnya dengan cara-cara yang maladaptif sebaliknya

apabila kita mampu menyesuaikan diri dan menyikapi segala

situasi dan permasalahan dengan baik maka kita tidak akan

meresponya dengan hal demikian melainkan dengan cara-cara

yang adaptif.

Menurut Nasir & Muhith (2011) menjelaskan bahwa

seseorang mengalami gangguan jiwa apabila di temukan

adanya gangguan pada fungsi mental, yang meliputi emosi:

pikiran, perilaku, perasaan, motivasi, kemauan, keinginan


91

dan persepsi sehingga menggangu dalam proses hidup di

masyarakat. Hal ini dipicu oleh adanya keinginan

seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam

mempertahankan hidup sehingga seseorang di hadapkan untuk

berfikir, berkeinginan untuk mencapai cita-cita yang

mengharuskan seseorang berhubungan dengan orang lain.

Gangguan jiwa merupakan menifestasi dari bentuk

penyimpangan perilaku akibat adanya distori emosi

sehingga di temukan ketidak wajaran dalam bertingkah laku

salah satu contohnya adalah munculnya perilaku kekerasan

(Nasir & Muhith, 2011)

Selain dengan terapi aktivitas kelompok klien juga

diberikan obat, obat yang diberikan pada klien perilaku

kekerasan terutama pada klien yang menjadi responden

dalam penelitian ini adalah dengan diberikan obat

Haloperidol 25 mg yang digunakan untuk meredam simptom

negatif dengan cara mengubah efek dopamin sehingga sedasi

dapat terjadi, obat ini dapat dipakai untuk mengendalikan

psikosis (gangguan jiwa atas dasar kelainan organik atau

gangguan emosi yang ditandai dengan kehancuran

kepribadian dan kehilangan kontak dengan kenyataan,

sering kali mengalami delusi, halusinasi dan ilusi),

mengurangi tanda-tanda agitasi pada orang dewasa maupun

anak-anak serta gangguan jalan pikiran, emosi dan


92

perilaku. Obat lain yang dapat menurunkan respon emosi

pada klien gangguan perilaku kekerasan adalah

Chlorpamazine (CPZ) 25 mg yang mempunyai efek sedasi yang

kuat sehingga termasuk anti psikosis. Pada beberapa

pasien sebagaimana salah satu respoden dalam penelitian

terkadang diberikan salah satu obat psikosis, selain obat

tersebut, yaitu diberikan terapi stelazine 1 mg untuk

berfungsi mengurangi gejala gangguan mental emosi,

neurotik dan psikosomatik.

Pada saat pasien dinyatakan sembuh, masih sangat

penting untuk tetap mendapat pengobatan, perlu diingat

bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering

kekambuhan dan makin beratnya penyakit. Untuk itu dalam

menghentikan pengobatan diperlukan pengkajian secara

komprehensif serta secara bertahap tentang dosisnya.

Selain itu upaya persiapan dalam menghadapi lingkungan

sosial juga lebih penting, hal ini dapat dilatih melalui

terapi aktivitas kelompok (TAK).

Menurut Keliat & Akamet (2004) Upaya pencegahan dan

rehabilitas pasien dengan perilaku kekerasan yaitu dengan

pemberian terapi aktivitas kelompok dan tindakan

pengobatan (medis) sangat berpengaruh pada proses

penyembuhan pasien, terapi aktivitas kelompok bertujuan

untuk membantu pasien berhubungan dengan orang lain serta


93

mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Dengan

pemberian terapi aktivitas kelompok stimulasi yang

efektif, didukung lingkungan tempat terapi diberikan, dan

kemauan pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Maka

pasien diajarkan cara mengontrol dan mekspresikan emosi,

sehingga pasien dapat merubah pengertian, sikap dan

perilakunya.

C. Hambatan penelitian

Hambatan dalam penelitian ini yaitu pada saat

proses dilakukan terapi aktivitas kelompok dimana

responden pada penelitian ini adalah klien dengan

gangguan jiwa perilaku kekerasan sehingga peneliti

memerlukan banyak pertimbangan, kesabaran dan ketelitian

pada saat dilakukan kegiatan terapi aktivitas kelompok.

Pada saat proses awal kegiatan terapi aktivitas kelompok

berlangsung sulit untuk mencapai tahap bina hubungan

saling percaya antara klien dengan peneliti, sebagai

contoh ketertiban antara klien yang satu dengan yang

lainya yang sulit untuk dikondisikan, klien cenderung

tidak fokus dengan kegiatan karena pengaruh dari teman

sesama klien yang tidak mengikuti kegiatan terapi

aktivitas kelompok misalnya klien diajak bicara dengan

klien yang klien. Kegiatan terapi aktivitas kelompok


94

dilakukan di dalam ruangan perawatan dengan fasilitas

kursi untuk klien duduk, jarak antara ruangan yang satu

dengan ruangan lain sangat dekat sehingga banyak klien

dari ruangan lain yang berjalan-jalan di sekitar rungan

tempat peneliti melakukan kegiatan. Hambatan yang lain

adalah bahasa daerah yang mereka gunakan sehingga

peneliti kurang memahami maksud dari yang disampaikan

klien. untuk mengatasi hambatan dalam bahasa yang

digunakan klien tersebut peneliti melakukan pendekatan

seperti penggunaan bahasa yang dimengerti sehingga

peneliti harus menterjemahkan sesuai latar belakang

klien. Kemudian peneliti melakukan pendekatan seperti

memberikan barang atau makanan untuk membantu

mengkondisikan klien sehingga klien mau untuk diajak

kerjasama pada kegiatan terapi aktivitas kelompok.


95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebelum diberkan terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi perilaku kekerasan adalah responden yang kurang

mampu mengontrol emosi sebanyak 15 responden (50%) dan

responden yang paling sedikit adalah cukup mampu

mengontrol emosi sebanyak 5 responden (17%).

2. Setelah diberikan terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi perilaku kekerasan adalah responden yang kurang

mampu mengontrol emosi sebanyak 17 responden (57%) dan

responden yang paling sedikit adalah tidak mampu

mengontrol emosi sebanyak 3 responden (10%).

3. Berdasarkan hasil analisa data menggunakan uji wilcoxon,

menggunakan SPSS versi 16.0 menunjukkan nilai P-value

0,003. Oleh karena itu, P-value lebih kecil dari pada α

(0,05) atau 0,003 < 0,05. Dengan demikian maka kesimpulan

yang diambil adalah H0 ditolak dan Ha diterima, artinya

ada pengaruh pemberian terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi perilaku kekerasan terhadap kemampuan

mengontrol emosi pada pasien risiko perilaku kekerasan di

ruang dahlia RSJ mutiara sukma provinsi NTB.


96

B. Saran

1. Bagi RSJ Mutiara Sukma Provinsi NTB

Hasil penelitain ini dapat dijadikan acuan dalam

memberikan asuhan keperawatan pasien dengan risiko

perilaku kekerasan. Bahwa pemberian terapi aktivitas

kelompok stimulasi persepsi yang di lakukan secara

intensif dan efektif dapat meningkatkan kemampuan pasien

dalam mengontrol emosi.

2. Bagi Keperawatan

Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi

modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien

yang mampunyai masalah yang sama. Aktivitas diguanakan

sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target

asuhan. Jika dilakukan secara intensif akan sangat

membantu pasien dalam mengontrol emosi.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Perlu ada penelitian lebih lanjut tentang kemampuan

mengontrol emosi pada pasien risiko perilaku kekerasan

yang dapat menjadi pembanding hasil penelitian yang sudah

di lakukan demi tercapainya derajat kesehatan dan

kesejahtraan yang optimal bagi pasien gangguan jiwa di

Indonesia.
97

4. Bagi Pasien

Diharapkan dapat melakukan latihan secara fisik, verbal

dan spiritual untuk mengontrol emosi.

5. Bagi Keluarga

Diharapkan keluarga dapat membantu kondisi pasien saat

dirumah dan membantu dalam proses peyembuhan pasien.

Anda mungkin juga menyukai