Islam adalah agama yang syâmil (meliputi segala sesuatu) dan kâmil (sempurna). Sebagai agama
yang syâmil, Islam menjelaskan semua hal dan mengatur segala perkara: akidah, ibadah, akhlak,
makanan, pakaian, mumamalah, ‘uqûbât (sanksi hukum), dll. Tak ada satu perkara pun yang
luput dari pengaturan Islam. Hal ini Allah SWT tegaskan di dalam al-Quran:
َ ك ْال ِكت
َاب تِ ْبيَانًا لِ ُكلِّ َش ْي ٍء َ َونَ َّز ْلنَا َعلَ ْي
Kami telah menurunkan kepada kamu al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu (TQS an-Nahl
[16]: 89).
Islam sekaligus merupakan agama yang kâmil (sempurna), yang tidak sedikit pun memiliki
kekurangan. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya:
Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian (Islam), telah melengkapi
atas kalian nikmat-Ku dan telah meridhai Islam sebagai agama bagi kalian (TQS al-Maidah [5]:
3).
Namun saat ini islam dicampakkan, aturan aturan nya diabaikan padahal berbagai
permasalahan kalut tengah melanda masyarakat bangsa ini, Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat jumlah pengangguran naik 50 ribu orang per Agustus 2019. Alhasil dengan kenaikan
tersebut, jumlah pengangguran meningkat dari 7 juta orang pada Agustus 2018 lalu menjadi
7,05 juta orang.
Kepala BPS Suhariyanto memaparkan rata-rata jumlah pengangguran sejak Agustus 2015 tak
pernah turun di bawah 7 juta orang. Rinciannya, pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang,
Agustus 2016 sebanyak 7,03 juta orang, dan Agustus 2017 sebanyak 7,04 juta orang.
Bahkan di pembuka awal tahun baru 2020, Banjir bandang yang melanda Lebak, Banten serta
banjir yang melanda Tangerang ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Gubernur Banten
Wahidin Halim mengatakan saat ini Pemprov sedang menyiapkan status KLB.
"Bupati (Lebak) sudah menyatakan status luar biasa dan Kota Tangerang, dengan begitu punya
syarat gubernur untuk menetapkan kejadian luar biasa (KLB), SK (surat keputusan) sedang
disiapkan," kata Wahidin kepada wartawan di lokasi bencana banjir bandang di Cipanas, Lebak,
Banten, Kamis (2/1/2020).
Indonesia seakan sedang terhujani dengan ribuan macam masalah yang tak ada habisnya,
kesenjangan sosial yang tak merata, pendidikan yang sebatas transfer ilmu tanpa ada perbaikan
moral, pergaulan bebas yang terus menerus merajalela, gaya hidup hedonis yang banyak
merambat di kalangan pemerintah negeri ini, bahkan hilangnya fungsi pemimpin dalam
melayani kemaslahatan ummat. Belum lagi masalah radikalisme terus menerus digaungkan
oleh pemerintah anti Islam, salah satunya dengan penghapusan bab jihad dan khilafah dalam
buku pendidikan agama Islam.
Selama puluhan tahun tak ada persoalan dengan agama di negeri ini, khususnya Islam sebagai
agama dengan pemeluk mayoritas. Baru beberapa tahun belakangan saja dimunculkan isu
seolah-olah agama (Islam) atau seruan dan kajian keislaman menjadi pemicu radikalisme,
perpecahan, dsb.
Padahal radikalisme bukanlah persoalan inheren dalam Islam. Isu atau tuduhan radikalisme
lebih merupakan framing dari pihak luar untuk menyudutkan Islam atau menghalangi geliat
umat Islam dan kebangkitan mereka. Bisa diduga, tujuan akhir dari isu radikalisme itu adalah
untuk makin menjauhkan Islam dari kehidupan. Dengan itu Islam dan umat Islam tidak
menghalangi-halangi agenda liberalisme dan penjajahan Barat. Itu persis seperti dulu penjajah
Belanda menggunakan terma radikalisme untuk menyudutkan siapa saja—kebanyakan dari
kalangan umat Islam—yang menentang penjajahan Belanda.
Begitu pun sekarang ini. Isu radikalisme awalnya dimunculkan dan terus dinyanyikan oleh Barat.
Ini seiring dengan mulai tampaknya kebangkitan umat Islam dan penolakan mereka terhadap
ideologi kapitalisme dan liberalisme serta penjajahan Barat. Lalu isu radikalisme itu disuntikkan
ke tubuh kaum Muslim di berbagai negeri Islam dengan berbagai jalan dan cara. Akhirnya, isu
radikalisme ini pun dinyanyikan dan dimainkan oleh mereka yang secara sadar ataupun tidak
menjadi agen Barat.
Tuduhan Islam menjadi penyebab perpecahan dan persoalan juga hanya sekadar tuduhan
tanpa bukti. Kekisruhan politik yang ada tidak pernah terbukti disebabkan oleh Islam. Faktanya,
tak jarang kisruh diakibatkan oleh proses demokrasi, kecurangan dan persaingan
memperebutkan kekuasaan yang menggunakan cara-cara machiavelis. Banyaknya korupsi juga
tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Sudah banyak sekali ahli yang mengatakan,
maraknya korupsi di antara faktor utamanya adalah proses demokrasi yang mahal.
Adanya ketimpangan antara warga dan antardaerah. Rakyat tidak merasakan kemakmuran dari
melimpahnya kekayaan alam. Makin menggunungnya utang Negara. Makin kuatnya
cengkeraman asing dan kapitalis. Adanya segudang problem ekonomi. Semua itu pun bukan
karena Islam, tetapi justru karena penerapan sistem di luar Islam, yakni kapitalisme-liberalisme.
Artinya, berbagai kerusakan yang terjadi itu bukan karena Islam, tetapi justru karena penerapan
sistem selain Islam, dengan meninggalkan Islam dan syariahnya. Fakta-fakta jelas menunjukkan
yang demikian. Allah SWT pun sudah memperingatkan kita dalam firman-Nya:
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami
akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta… (TQS Thaha [20]: 124).
Makna, “berpaling dari peringatan-Ku” adalah menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang Aku
turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Ibnu
Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, V/323).
Berbagai kerusakan yang terjadi itu tentu mendatangkan akibat buruk bagi masyarakat secara
keseluruhan. Sejatinya itu baru sebagian dari akibat kerusakan yang disebabkan manusia
berpaling dari Islam dan syariahnya. Allah SWT menimpakan sebagian dari akibat kerusakan itu
agar manusia bertobat dengan kembali pada Islam dan syariahnya. Allah SWT berfirman:
﴿ َْض الَّ ِذي َع ِملُوا لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ِجعُون ِ َّت أَ ْي ِدي الن
َ اس لِيُ ِذيقَهُم بَع ْ َ﴾ظَهَ َر ْالفَ َسا ُد فِي ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر بِ َما َك َسب
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia
supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar)(TQS ar-Rum [30]: 41).
Totalitas dan kesempurnaan Islam tentu tidak akan tampak kecuali jika kaum Muslim
mengamalkan Islam secara kâffah (total) dalam seluruh segi kehidupan. Inilah yang Allah SWT
perintahkan secara tegas dalam al-Quran:
ِ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا ا ْد ُخلُوا فِي الس ِّْل ِم َكافَّةً َواَل تَتَّبِعُوا ُخطُ َوا
ٌ ِت ال َّش ْيطَا ِن إِنَّهُ لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُمب
ين
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi
kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Sabab an-nuzûl ayat ini menurut Imam al-Baghawi berkaitan dengan masuk Islamnya seorang
Ahlul Kitab Yahudi Bani Nadhir bernama Abdulah bin Salam dan teman-temannya. Namun,
setelah memeluk Islam ia tetap menganggap mulia hari Sabtu dan tidak mau memakan daging
unta. Mereka pun menyatakan, “Wahai Rasulullah, bukankah Taurat itu adalah Kitabullah?
Karena itu izinkanlah kami tetap membaca Taurat itu dalam shalat-shalat malam kami.” Lalu
turunlah turunlah ayat ini sebagai jawaban (Tafsir al-Baghawi, I/240).
Terkait kata kâffah dalam ayat di atas ada dua pendapat. Pertama: menurut Imam an-Nasafi,
kata kâffah adalah hâl (penjelasan keadaan) dari dhamir (kata ganti) pada frasa udkhulû
(masuklah kalian) yang bermakna jamî’an (menyeluruh/semua kaum Mukmin). Artinya, ayat ini
ditujukan untuk semua kaum Mukmin (Lihat: An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, I/112).
Kedua: Menurut Imam Qurthubi, kata kâffah berfungsi sebagai hâl (penjelasan keadaan) dari
kata al-silmi (Islam) (Tafsir al-Qurthubi, III/18). Artinya, melalui ayat ini Allah SWT menuntut
orang-orang yang masuk Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Mereka
tidak boleh memilih-milih maupun memilah-milah sebagian hukum Islam untuk tidak
diamalkan. Pemahaman ini diperkuat dengan sabâb an-nuzûl ayat ini—sebagaimana
diterangkan di atas—yang menolak dispensasi beberapa orang Yahudi ketika hendak masuk
Islam untuk mengamalkan sebagian isi Taurat.
Menurut Imam ath-Thabari, dalam ayat ini kaum Mukmin diseru untuk menolak semua hal yang
bukan dari hukum Islam; melaksanakan seluruh syariah Islam; dan menjauhkan diri dari upaya-
upaya untuk melenyapkan sesuatu yang merupakan bagian dari hukum-hukum Islam (Tafsîr
ath-Thabari, II/337).
Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan, “Allah SWT menyeru para
hamba-Nya yang mengimani-Nya serta membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil seluruh
ajaran dan syariah Islam; melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh
larangan-Nya sesuai dengan kemampuan mereka.” (Ibn Katsir, 1/335).
Karena itulah, menurut Syaikh Mahmud Syaltut, Islam menuntut menyatunya syariah dengan
akidah; masing-masing tidak bisa dipisahkan. Akidah adalah dasar yang memancarkan syariah,
sementara syariah merupakan wujud nyata yang lahir dari akidah. Dengan kata lain akidah
adalah fondasi, sedangkan syariah adalah bangunan yang berdiri di atasnya. Karena itu akidah
tanpa syariah bagaikan fondasi tanpa wujud bangunan sehingga abstrak dan sulit diukur.
Sebaliknya, bangunan tanpa fondasi juga tidak mungkin karena ia akan runtuh. Karena itu pula
para ulama menyatakan, bahwa keimanan adalah aspek batiniah, sedangkan syariah adalah
aspek lahiriah (Al-Kirmani, Jawâhir al-Bukhâri, hlm. 39).
Dengan demikian Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, yang meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia. Tidak ada satu pun persoalan yang tidak dipecahkan oleh Islam sehingga
masih kabur atau tidak jelas status hukumnya. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh
Rasulullah saw.:
Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang terang-benderang, malamnya bagaikan
siang harinya. Setelahku tidak akan ada yang tersesat kecuali orang yang celaka (HR Ahmad).
Oleh karena itu kaum Muslim diperintahkan untuk hanya melaksanakan seluruh syariah yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tak sepatutnya kaum Muslim mempraktikkan aturan-
aturan lain yang bersumber dari Barat yang diajarkan oleh Motesquie, Thomas Hobbes, John
Locke, dll yang melahirkan sistem politik demokrasi; atau yang diajarkan John Maynard Keynes,
David Ricardo, dll yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme.
Dengan demikian haram bagi kaum Muslim untuk mengingkari atau mencampakkan sebagian
syariah Islam dari realitas kehidupan dengan mengikuti prinsip sekularime (memisahkan agama
dari kehidupan) sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara saat ini. Allah SWT dengan tegas
mengecam sikap semacam ini:
ِّدVر ُّدونَ إِلَى أَ َشV َ Vُ ِة يVوْ َم ْالقِيَا َمVVَ ُّد ْنيَا َويVا ِة الVVَي فِي ْال َحي َ Vِْض فَ َما َجزَا ُء َم ْن يَ ْف َع ُل َذل
ٌ ْزVك ِم ْن ُك ْم إِاَّل ِخ ِ ْض ْال ِكتَا
ٍ ب َوتَ ْكفُرُونَ بِبَع ِ أَفَتُ ْؤ ِمنُونَ بِبَع
َب َو َما هَّللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما تَ ْع َملُون ِ ْال َع َذا
Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab serta mengingkari sebagian yang lain? Tiada
balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dilemparkan ke dalam siksa yang
amat keras. Allah tidaklah lalai atas apa saja yang kalian kerjakan (TQS al-Baqarah [2]: 85).
Sayang, apa yang dikecam oleh Allah SWT dalam ayat di atas justru dipraktikkan dengan
sempurna oleh kaum Muslim hari ini, khususnya oleh negara (penguasa). Bukan hanya
sebagian, bahkan sebagian besar hukum Islam dicampakkan. Sebaliknya, yang diterapkan pada
sebagian besar aspek kehidupan kita adalah aturan-aturan sekular yang bersumber dari Barat,
baik sistem politik demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, sistem hukum/peradilan warisan
penjajah Belanda, dll. Jelas, ini adalah kemungkaran yang amat besar. Siapapun yang mengaku
Mukmin tak layak berdiam diri menyaksikan kemungkaran ini. Sebabnya, Rasulullah saw. tegas
bersabda:
Pertanyaan 1 :
Nama : Reva
Alamat : Serang-Banten
Grup discuss 3
Dari pemaparan di atas, apa peran pemerintah melihat fakta musibah dan kriminal yang terjadi
saat ini ?
Jawaban :
Tapi jauh dari semua itu seharusnya peran pemerintah yang dilakukan adalah melakukan
pencegahan sebelum terjadinya bencana, misalkan dibuat bendungan yang besar, membuat
gerakan menanam 1000 pohon, tidak merusak hutan untuk lahan industri
Peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan musibah bencana alam saat ini
- Memberikan dana bantuan, dan solusi untuk kelangsungan hidup para korban bencana.
Dan pemerintah juga seharusnya membuat peraturan tegas dalam hal menjaga kebersihan
lingkungan, karena membuang sampah sembarangan adalah hal yang menurut kita kecil tapi
berdampak besar bila sampah itu justru dapat menyumbat aliran air
Kejahatan sendiri bukan berasal dari fitrah manusia. Kejahatan bukan pula semacam “profesi”
yang diusahakan oleh manusia. Kejahatan bukan juga ‘penyakit’ yang menimpa manusia.
Kejahatan (jarimah) adalah tindakan melanggar aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan hubungannya
dengan manusia lain. Allah SWT. telah menciptakan manusia lengkap dengan potensi
kehidupannya, yaitu meliputi naluri-naluri dan kebutuhan jasmani. Naluri-naluri dan kebutuhan
jasmani adalah potensi hidup manusia yang mampu mendorong manusia untuk melakukan
pemenuhan terhadap potensi hidupnya. Manusia yang mengerjakan suatu perbuatan yang
muncul dari potensi hidup tadi, adalah dalam rangka mendapatkan pemenuhan terhadap
potensi hidupnya.
Meskipun demikian, membiarkan pemenuhan itu tanpa aturan, akan mengantarkan pada
kekacauan dan kegoncangan. Juga akan mengantarkan pada pemenuhan naluri ataupun
kebutuhan jasmani yang salah, atau pemenuhan yang tercela. Oleh karena itu, ketika Allah
SWT. mengatur perbuatan-perbuatan manusia, Allah juga telah mengatur pemenuhan terhadap
naluri-naluri dan kebutuhan jasmani. Jadi, pemenuhan potensi yang dimiliki manusia harus
diatur dan sesuai dengan hukum. Syari’at Islam telah menjelaskan kepada manusia, hukum atas
setiap peristiwa yang terjadi. Itu sebabnya Allah SWT. mensyari’atkan halal dan haram. Syara’
mengandung perintah dan larangan-Nya, dan Allah SWT. meminta manusia untuk berbuat
sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT. dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Jika
menyalahi hal tersebut, maka manusia telah melakukan perbuatan tercela, yakni melakukan
kejahatan. Oleh karena itu, orang-orang yang berdosa harus dikenai sanksi (‘iqab). Dengan
demikian, manusia dituntut untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
Perintah dan larangan tersebut tidak akan berarti sama sekali jika tidak ada sanksi bagi orang
yang melanggarnya. Syari’at Islam menjelaskan bahwa bagi pelanggar akan dikenai sanksi di
akhirat dan di dunia. Allah SWT. akan memberi sanksi di akhirat bagi pelanggar, dan Allah juga
akan mengazabnya kelak di hari kiamat. Firman Allah SWT.:
“Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa” (QS al-Baqarah :179).
Maksud ayat tersebut bahwa di dalam pensyariatan qishash bagi kalian, yakni membunuh lagi si
pembunuh, terdapat hikmah yang sangat besar, yaitu menjaga jiwa (manusia). Sebab, jika
pembunuh mengetahui akan dibunuh lagi, maka ia akan merasa takut untuk melakukan
pembunuhan. Itu sebabnya, di dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa. Pada ghalibnya, jika
orang berakal mengetahui bahwa bila ia membunuh akan dibunuh lagi, maka ia tidak akan
melakukan pembunuhan tersebut. Dengan demikian, ‘uqubat (sanksi-sanksi) berfungsi sebagai
zawajir (pencegahan). Keberadaannya disebut sebagai zawajir, sebab dapat mencegah manusia
dari tindak kejahatan.
Selain itu, sanksi di dunia bagi para pendosa atas dosa yang dikerjakannya di dunia dapat
menghapuskan sanksi di akhirat bagi pelaku dosa tersebut. Hal itu karena ‘uqubat berfungsi
sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Keberadaan uqubat sebagai zawajir, karena
mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindakan pelanggaran. Keberadaan
‘uqubat sebagai zawabir karena ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi
seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara di dunia. Dalilnya adalah apa
diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit r.a. berkata:
فَ َم ْن َوفَّى ِم ْن ُك ْم،اVVَ ِة ُكلُّهV َ َوقَ َرأَ هَ ِذ ِه ْاآلي، َوالَ تَ ْس ُرقُوْ ا َوالَ ت َْزنُوْ ا،ً بَايَعُوْ نِي َعلَى أَ ْن الَ تُ ْش ِر ُكوْ ا بِاهللِ َشيْئا:س فَقَا َلِ ُِكنَّا ِع ْن َد النَّبِ ِّي فِي َمجْ ل
َوإِ ْن،ُهVVَك َش ْيئًا فَ َست ََرهُ هللاُ َعلَ ْي ِه إِ ْن َشا َء ُغفِ َرل َ ِاب ِم ْن َذل َ ص َ َ َو َم ْن أ،ُك َشيْئا ً فَعُوْ قِبُ بِ ِه فَه َُو َكفَّا َرةٌ لَه
َ ِاب ِم ْن َذل
َ صَ َ َو َم ْن أ،ِفَأَجْ ُرهُ َعلَى هللا
َُشا َء ع ََّذبَه
“Kami bersama Rasulullah SAW. dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah
membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina,
kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut. “Barang siapa di antara kalian
memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu
maka sanksinya adalah kifarat (denda) baginya, dan barang siapa mendapatkan dari hal itu
sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau mengazab.”
Hadis ini menjelaskan bahwa sanksi dunia diperuntukkan dosa tertentu, yakni sanksi yang
dijatuhkan negara bagi pelaku dosa, dan ini akan menggugurkan sanksi akhirat.
Dengan demikian, tidak ada satu sistem hukum pun di dunia ini yang serupa sebagaimana
sistem hukum Islam. Sistem hukum Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) atas tindak
kriminalitas, sekaligus sebagai penebus (jawabir) atas tindakan jahat yang telah dilakukan oleh
si pelaku.