Anda di halaman 1dari 36

Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda

Oletta, Maria Grace


Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kapas transgenik merupakan hasil bioteknologi di bidang perkapasan yang
memiliki keunggulan yaitu produksinya tinggi, mutu seratnya baik, tahan terhadap
hama utama kapas Helicoverpa armigera dan hanya memerlukan sedikit pestisida
sehingga menguntungkan bagi para petani kapas sebagaimana dinikmati oleh petani-
petani di Amerika Serikat dengan luas tanah tahun 2000 adalah 30,3 juta Ha,
Australia, 0,2 Ha dan Cina 0,5 juta Ha.1
Pendapat kelompok masyarakat yang pro dan kontra meyakini tanaman kapas
transgenik memiliki manfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk, tetapi hal
tersebut belum teruji, apakah lebih besar manfaatnya atau kerugiannya.
Di Sulawesi selatan terdapat penolakan akan keberlakuan kapas transgenik .
Penolakan terhadap SK Menteri Pertanian diajukan oleh beberapa Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) akibat tidak dilakukannya Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Amdal) terlebih dahulu, padahal kapas transgenik berpotensi
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Selain itu, terdapat beberapa
permasalahan lain seperti akibat dari kapas transgenik yang dapat menyebabkan
resistensi terhadap antibiotik, serta tidak transparannya informasi yang dikeluarkan
oleh Pemerintah terhadap petani-petani di Sulawesi Selatan, dan tidak tepatnya
penggunaan kapas transgenik di Sulawesi Selatan karena kapas transgenik hanya
dapat bertahan dari hama Heliothis virescens, Helicoverpa armigera, dan
Pectinophora gossypiella, padahal hama kapas yang paling banyak menyerang di
Sulawesi berjenis Empoasca.
Hingga akhirnya LSM tersebut mengajukan gugatan pembatalan SK Mentan
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap Pemerintah RI, PT Monagro
Kimia, dan sejumlah petani di Sulawesi Selatan.
1
D.A. Andow and Claudia Zwahlen, Assessing Environmental Risks of Transgenic Plants, Vol.9
(USA: Ecology Letters, 2006), p. 196.

1
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

B. Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Lingkungan serta untuk menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai
penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
Secara khusus, tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
a) Menganalisa secara kritis apakah pertimbangan hakim telah tepat dan sesuai
dengan teori hukum lingkungan beserta Peraturan yang berlaku.
b) Menganalisa secara kritis apakah putusan hakim telah tepat dan sesuai dengan
teori hukum lingkungan beserta Peraturan yang berlaku.

C. Rumusan Masalah
a) Sudah tepatkah penggunaan hak gugat oleh para Penggugat dalam kasus ini?
Sudah tepatkah pendapat hakim atas hak gugat para para Penggugat?
b) Bagaimana pendapat para pihak dan hakim mengenai hubungan Amdal, Risk
Asessment, dan Precautionary Principle dalam kasus ini? Sudah tepatkah
pendapat hakim terkait hubungan ini?
c) Bagaimana para pihak melihat keamanan produk kapas transgenik, yang
termasuk pest/insect resistant crops (Bt)?
d) Bagaimana pendapat hakim atas persoalan keamanan ini? Sudah tepatkah
pendapat hakim ini?

BAB II
ISI

2
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

A. Kasus Posisi
Kasus ini terjadi antara koalisi ORNOP untuk keamanan Hayati dan Pangan
(ICEL, YLKI, Biotani Indonesia, YLKSS di Makassar, LPPM di Makassar dan
KONPHALINDO) yang selanjutnya disebut sebagai para para Penggugat, melawan
Menteri Pertanian R. I., PT. Monagro Kimia, juga Syarifuddin, dkk.
Dalam gugatan tersebut, para para Penggugat salah satu pokoknya
mendalilkan mengenai pelepasan izin bagi produk transgenik tanpa melalui proses
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal, yang mana menurut penilaian
para para Penggugat, pelepasan kapas transgenik Bt DP 5690B sebagai varietas
unggul dengan nama NuCOTN 32B (Bollgard) tersebut haruslah didahului dengan
pelaksanaan proses AMDAL sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Tetapi pada kenyataannya
pengeluaran izin pelepasan kapas transgenik di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan
ini terjadi tanpa adanya proses AMDAL dan hal tersebut menurut para penggungat
akan mengganggu optimalisasi upaya penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) pada usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan produk transgenik,
pengelolaan dan pelestarian lingkungan, perlindungan konsumen dan sebagainya,
sehingga mengakibatkan menurunnya partisipasi masyarakat dan berkurangnya
kemampuan pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati serta daya dukung
lingkungan .
Berdasarkan hal-hal tersebut, Majelis Hakim dalam pertimbangannya
berpendapat bahwa dalam penerbitan Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan tergugat telah cukup mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dalam
pelepasan uji coba lapangan secara terbatas kapas transgenik Bt DP 5690 B. Hal yang
dilakukan tergugat tersebut juga terbukti tidak melanggar ketentuan tentang AMDAL
dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Kedua hal tersebut berdasarkan
pada bukti tertulis ditemukannya fakta-fakta tindakan tergugat antara lain berupa: (1)
melakukan pengumuman kepada masyarakat sebelum Keputusan Tata Usaha Negara
diterbitkan, (2) memenuhi ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri

3
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri


Negara Pangan dan Holtikultura tanggal 29 September 1999 yang pada akhirnya
menyatakan kapas transgenik Bt DP 5690 B aman terhadap lingkungan dan
keanekaragaman hayati, (3) memperhatikan rekomendasi Tim Penilai dan Pelepas
Varietas (TP2V) yang terdiri dari 16 anggota Tim dan Narasumber Ahli Bioteknologi
yang memberi rekomendasi pelepasan kapas transgenik di Sulawesi Selatan, (4)
klarifikasi kegiatan pelepasan kapas transgenik oleh tergugat kepada Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Pada akhirnya amar Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT berbunyi
Majelis Hakim memutuskan untuk menolak gugatan para para Penggugat seluruhnya.

B. Pembahasan
1. Hak Gugat Para Penggugat
Para para Penggugat dalam kasus ini adalah :
1) Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup/ Indonesian
Centre for Environmental Law (ICEL);
2) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
3) Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan (YLKSS);
4) Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam
Indonesia (KONPHALINDO);
5) Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/ Biotani Indonesia;
6) Yayasan Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 53 (1) UU No. 5 tahun 1986 :
“Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
gati rugi dan/atau rehabilitasi”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dapat kita ketahui paragraf keempat disebutkan bahwa

4
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup memiliki hak untuk mengajukan


gugatan. Pada Pasal 38 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 :
1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan pola kemitraan,organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2. Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada
tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti
rugi,kecuali biaya atau pengeluaran riil.
3. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan :
a) Berbentuk badan hukum atau yayasan;
b) Dalam Anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkugan hidup;
c) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Berdasarkan ketentuan beberapa Undang-Undang yang bersangkutan diatas,
maka kami akan menjelaskan apakah semua para Penggugat memiliki hak gugat.
1) Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam Pasal 4 AD/ART–
nya disebutkan bahwa tujuan dari lembaga ini ada adalah salah satunya untuk
memberikan dukungan terhadap upaya-upaya pembelaan dalam permasalahan
lingkungan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.Dapat disimpulkan
bahwa badan hukum ini berhak untuk mengajukan gugatan karena mempunyai
kepentingan berdasarkan tujuan dari lembaga ini yang mereka perjuangkan .
Sehingga ICEL berhak mengajukan gugatan administratif ke Pengadilan Tata
Usaha Negara.

2) Dalam Pasal 5 AD/ART dari YLKI disebutkan bahwa maksud dan tujuan dari
lembaga ini ada adalah untuk memberikan bimbingan dan perlindungan kepada
masyarakat konsumen menuju kepada kesejahteraan keluarga. Tetapi hal yang
perlu kita perhatikan bahwa bahwa lembaga ini tidak mencerminkan secara

5
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

eksplisit sebagai organisasi lingkungan hidup. Lembaga ini dibentuk dengan


maksud dan tujuan untuk menengahi sengketa yang timbul antara konsumen
dengan pelaku usaha ,bukan di bidang lingkungan hidup oleh karena itu kualitas
para para Penggugat tidak memenuhi syarat Undang-Undang No.23 tahun 1997.
Sehingga lemabaga ini tidak memiliki hak gugat.
3) Dalam Pasal 4 AD/ART dari KONPHALINDO disebutkan bahwa maksud dan
tujuan dari lembaga ini ada adalah turut serta melestarikan hutan dan alam
Indonesia guna kesejahteraan masyarakat luas, hal ini jelas termasuk dalam usaha
perlindungan lingkungan hidup. Dapat disimpulkan bahwa badan hukum ini
berhak untuk mengajukan gugatan karena mempunyai kepentingan berdasarkan
tujuan dari lembaga ini. Sehingga KONPHALINDO berhak mengajukan gugatan
administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini memenuhi syarat Undang-
Undang No.23 tahun 1997 lembaga ini bergerak di bidang lingkungan hidup yaitu
usaha untuk melestarikan hutan dan alam Indonesia guna kesejahteraan
masyarakat Luas. Dan apabila kita memperhatikan kembali ketentuan dalam pasal
53 (1) UU No. 5 tahun 1986 lembaga ini jelas dapat mengajukan gugatan karena
kepentingannya ada yang dirugikan secara langsung yaitu apabila resiko
pemakaian kapas transgenik terjadi maka akibatnya adalah kelestarian hutan dan
alam Indonesia akan terganggu. Kesimpulan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku bahwa Lembaga ini memiliki hak gugat.
4) Dalam Pasal 5 AD/ART dari Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia
disebutkan disebutkan bahwa tujuan dari lembaga ini didirikan adalah salah
satunya untuk pengembangan pertanian berwawasan lingkungan (sustainable
agriculture). Dapat disimpulkan bahwa badan hukum ini berhak untuk mengajukan
gugatan karena mempunyai kepentingan berdasarkan tujuannya.Sehingga
Lembaga ini berhak mengajukan gugatan administratif ke Pengadilan Tata Usaha
Negara. Hal ini memenuhi syarat Undang-Undang No.23 tahun 1997 lembaga ini
bergerak di bidang lingkungan hidup yaitu usaha untuk melestarikan hutan dan
alam Indonesia guna kesejahteraan masyarakat Luas. Seperti yang kita ketahui
bahwa Kapas transgenik merupakan hasil bioteknologi di bidang perkapasan yang

6
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

dinikmati oleh petani-petani dan merupakan salah satu bentuk perkembangan


pertanian, dan jika perkembangan tersebut tidak berwawasan lingkungan seperti
yang di kuatirkan atas produk ini maka sangat jelas bahwa Lembaga ini
mempunyai kepentingan untuk menggugat. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal
53 (1) UU No. 5 tahun 1986 lembaga ini jelas dapat mengajukan gugatan karena
kepentingannya ada yang dirugikan secara langsung .Sehingga Lembaga ini
memiliki hak gugat.
5) Dalam Pasal 5 AD/ART dari YLK Sulawesi Selatan disebutkan bahwa maksud
dan tujuan lembaga ini didirikan adalah memberikan bimbingan dan perlindungan
kepada masyarakat konsumen, menuju kepada kesejahteraan keluarga. Lembaga
ini bukan merupakan organisasi lingkungan hidup. Lembaga ini dibentuk dengan
maksud dan tujuan untuk menengahi sengketa yang timbul antara konsumen
dengan pelaku usaha khususnya di wilayah Sulawesi Selatan ,bukan di bidang
lingkungan hidup oleh karena itu kualitas para para Penggugat tidak memenuhi
syarat Undang-Undang No.23 tahun 1997. Dan apabila kita memperhatikan
kembali ketentuan dalam pasal 53 (1) UU No. 5 tahun 1986 lembaga ini tidak
dapat mengajukan gugatan karena kepentingannya tidak ada yang dirugikan secara
langsung. Hingga saat ini belum ada konsumen produk ini yang merasa dirugikan.
YLK Sulawesi Selatan dapat disimpulkan tidak memiliki hak gugat.
6) Dalam Pasal 3 ayat (6) AD/ART dari Yayasan Lembaga Pengkajian dan
Pemberdayaan Masyarakat disebutkan bahwa salah satu maksud dan tujuan
lembaga ini didirikan adalah untuk mengembangkan potensi sumber daya alam
dalam upaya mengelola dan meningkatkan kesejahteraan menuju masyarakat yang
adil danmakmur. Hal ini dapat ditempuh salah satunya dengan cara perlindungan
dan pelestarian lingkungan hidup agar rakyat dapat sejahtera dan terlindungi dari
pencemaran lingkungan. Tetapi bisa kita lihat kembali pada maksud dan tujuan
lembaga ini didirikan tidak secara eksplisit merupakan lembaga yang bergerak di
lingkungan hidup. Hak gugat lembaga ini tidak sesuai dengan Undang-Undang
No.23 tahun 1997. Sehingga tidak dapat memiliki hak gugat. Dan apabila dengan
memeperhatikan ketentuan dalam pasal 53 (1) UU No. 5 tahun 1986 lembaga ini

7
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

tidak dapat mengajukan gugatan karena kepentingannya tidak ada yang


dirugikan secara langsung.
Dalam putusan ini hakim berpendapat bahwa para para Penggugat tidak
mempunyai kualitas untuk mengajukan gugatan karena tidak memenuhi pasal 38
Undang-Undang No.23 tahun 1997 dan tidak dapat mewakili kepentingan
masyarakat.
Menurut pendapat kami berdsarkan penjelasan sebelumnya, bahwa pendapat
hakim tersebut tidak sepenuhnya telah tepat karena dari Para para Penggugat tersebut
ada 3 Lembaga yang memiliki hak Gugat karena sesuai dengan Pasal 38 Undang-
Undang No. 23 tahun 1997. Lembaga yang memiliki Hak Gugat tersebut adalah :
1) Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup/ Indonesian
Centre for Environmental Law (ICEL);
2) Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam
Indonesia (KONPHALINDO);
3) Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/ Biotani Indonesia.
Sedangkan lembaga yang tidak memiliki hak gugat adalah :
1) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
2) Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan (YLKSS);
3) Yayasan Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat.
Jadi dalam memutus perkara ini seharusnya hakim dengan jelas daneksplisit
menyebutkan siapa para Penggugat yang sah mengajukan gugatannya dan siapa yang
tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni pasal 53
ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Pasal 38 UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Pendapat Para Pihak dan Hakim Mengenai Hubungan Amdal, Risk


Assessment, dan Precautionary Principle
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

8
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

(Amdal), disebutkan bahwa "Usaha dan/atau kegiatan introduksi jenis tumbuh-


tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik”, harus didahului dengan pelaksanaan proses
Amdal. Hal ini dapat dilihat dari :
a) Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang menyebutkan ”Setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan.”
b) Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 yang menyebutkan: “Untuk
menjamin pelestarian lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan
dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.”
c) Pasal 15 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 yang menyebutkan: ”Setiap
usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan.”
d) Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak
Lingkungan yang menentukan:
Ayat (1) ”Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi:
a) ....
b) ....
........
f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.”
Ayat (2) ”Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan
Menteri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan pendapat Menteri
lain dan/atau Pimpinan Lembaga Non Departemen yang terkait.”
e) Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa : ”Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang

9
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha/atau kegiatan yang


diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.”
f) Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: Ayat
(1) ”Setiap usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat
(2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa
menyusun analisis mengenai dampak lingkungan.”

Eviromental Risk Assesment (ERA)


Environmental Risk Assesment (ERA) diartikan sebagai suatu bentuk
penilaian dari risiko baik positif ataupun negatif yang akan timbul dari suatu kegiatan
atau usaha yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup,
ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan dan atau kesehatan dan keselamatan
manusia sebagai seorang makhluk hidup. Hal ini diatur dalam pasal 47 UU No. 32
Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup yang meliputi pengkajian risiko, pengelolaan
risiko dan komunikasi risiko. Namun dalam dalam UU yang terdahulu (UU No. 23
Tahun 1997) tidak disebutkan secara eksplisit mengenai pengaturan ERA ini. OLeh
karena keputusan PTUN Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT ini dikeluarkan pada
tahun 2001, yaitu sebelum UU No. 32 Tahun 2009 dikeluarkan, maka pengaturan
yang digunakan masih merujuk kepada UU No. 23 Tahun 1997. Penerbitan SK ini
dengan alasan in litis kurang memperhatikan analisa ERA terhadap resiko yang akan
terjadi apabila SK ini diterbitkan walaupun dalam jangka waktu sementara.
Environmental Risks Assesment pada dasarnya dibagi dalam empat tahapan2 yaitu :
1. Identifikasi bahaya atau risiko;
2. Melakukan penilaian terbuka;
3. Menghasilkan penilaian pengaruh atau dampak; dan
4. Mengklasifikasikan karakteristik dari pengaruh atau dampak tersebut.
Precautionary Principle

2
D.A. Andow and Claudia Zwahlen, Assessing Environmental Risks of Transgenic Plants, Vol.9
(USA: Ecology Letters, 2006), p. 197.

10
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Precautionary principle atau prinsip kehati-hatian merupakan serangkaian


tindakan pencegahan yang dilakukan berkaitan dengan risiko atau bahaya yang serius
serta ketidakpastian (uncertainity) ilmiah dan teknologi. Precautionary principle
muncul pertama kali pada penerapan hukum lingkungan di Jerman pada awal tahun
1970-an yang dikenal dengan Vorsorgeprinzip yang bertujuan untuk mencegah risiko
yang timbul dari pencemaran lingkungan hidup. Kemudian, precautionary principle
kembali ditegaskan pada Prinsip 15 Rio Declaration (1992), yang menyatakan bahwa
apabila terdapat kemungkinan timbulnya kerusakan yang serius dan besar, maka
kelangkaan atau kurangnya data ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda
upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, prinsip kehati-hatian pada kebijakan lingkungan hidup di Indonesia diterapkan
dengan adanya Amdal atau UKL-UPL sebagai syarat wajib untuk mendapatkan izin
lingkungan yang mana izin lingkungan tersebut merupakan syarat yang harus
dipenuhi untuk mendapatkan izin usaha. Sehingga untuk mendapatkan izin usaha,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup
haruslah mempunyai Amdal atau UKL-UPL.
Yang mana dengan adanya Amdal sebagai syarat wajib pemberian izin usaha
bagi usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup,
berarti Pemerintah sebagai pemberi izin telah menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pemerintah telah melakukan suatu tindakan pencegahan sebelum suatu dampak yang
mungkin terjadi pada lingkungan hidup. Karena apabila Amdal bukan syarat wajib
pemberian suatu izin usaha, pastinya akan banyak sekelompok orang yang bebas
menjalankan usaha dan/atau kegiatan tanpa memperhatikan kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Apabila dilihat dari tujuannya, yaitu untuk menganalisa/mengidentifikasi
risiko lingkungan, dapat dikatakan bahwa ERA adalah kegiatan lanjut atau tindakan

11
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

nyata pelaksanaan dari Amdal.3 Sehingga untuk membuat ERA haruslah dengan
adanya Amdal terlebih dahulu, karena ERA berpedoman pada Amdal itu sendiri.
Karena itulah prinsip kehati-hatian dengan Amdal dan ERA saling berkaitan satu
sama lain.
Prinsip kehati-hatian baru diakui di Indonesia melalui putusan pengadilan,
pada tahun 2005, melalui PP No. 21 Tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati Produk
Rekayasa Genetika (PRG). Pasal 3 PP No. 21 Tahun 2005 menyatakan bahwa
ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan kehati-
hatian guna mencapai keamanan lingkungan. Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3
ini menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya
kewajiban melakukan penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk
management) sebelum diizinkannya penggunaan atau pemanfaatan PRG.
Teori-teori di atas akan dikaitkan dengan pendapat para pihak dan hakim
dalam kasus Kapas Transgenik dengan putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKY
oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Pendapat Para Pihak


Berikut pembahasan mengenai pendapat pihak Para Penggugat terhadap
Amdal, precautionary principle dan kaitannya dengan ERA :
1) “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Tergugat bertentangan
dengan ketentuan mengenai Amdal”. Para Penggugat menyatakan bahwa
pelepasan kapas transgenic Bt DP 5690B sebagai varietas unggul dengan
nama NuCOTN 35B (BOLLGARD), yang menjadi materi Surat Keputusan
Tergugat, harus didahului dengan pelaksanaan proses Amdal dan
pengumuman kepada masyarakat sebelum penyusunan Amdal. Hal ini
diperkuat dengan penjelasan rincian oleh para Penggugat dengan dasar
hukum:
a) Pasal 6 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
3
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijakan Pembangunan Lingkungan
Hidup (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal 108.

12
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

b) Pasal 14 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


c) Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
d) Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan
e) Pasal 7 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan
f) Pasal 33 PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan
2) “Bahwa tidak mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan oleh PT.
Monagro Kimia, sebagai pihak pengusul dalam pelepasan kapas Bt, yang
telah melakukan uji coba, penanaman uji coba, penanaman, pengembangan,
serta komersialisasi kapas transgenic Bt di Sulawesi Selatan.”
Dalam dalil gugatannya, para para Penggugat menyatakan alasan yang
berkaitan dengan Amdal, ERA dan precautionary principle, yatiu : “Bahwa
pelepasan izin bagi produk transgenik tanpa melalui pelaksanaan proses Amdal, maka
akan mengganggu optimalisasi upaya penerapan Prinsip Kehati-hatian
(Precautionary Principle) pada usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan produk
transgenik, pengelolaan dan pelestarian lingkungan, perlindungan keanekaragaman
hayati, perlindungan konsumen, dsb, sehingga mengakibatkan menurunnya
partisipasi masyarakat dan berkurangnya kemampuan pemerintah untuk melindungi
keanekaragaman hayati serta daya dukung lingkungan.
Dari uraian di atas, maka kami menganalisis bahwa Para Penggugat
menyatakan secara tegas bahwa seharusnya Tergugat mewajibkan PT. Monagro
Kimia untuk melakukan proses Amdal sebelum melakukan kegiatan usahanya untuk
memproduksi kapas transegenik BOLLGARD. Menurut kami alasan gugatan ini
tepat. Karena dalam pasal 3 ayat (1) huruf f PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa introduksi jenis
tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik, termasuk kapas transgenic termasuk
pelepasan Kapas Transgenik Bt DP 5690B sebagai varietas unggul, merupakan salah
satu usaha dan/atau kegiatan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak besar

13
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

dan penting terhadap lingkungan hidup, sehingga seharusnya melalui proses


pelaksanaan Amdal. Namun Tergugat tidak melakukannnya dan kemudian langsung
mengeluarkan Surat Keputusan No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan
Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul Dengan
Nama NuCOTN 35B (BOLLGARD) tertanggal 7 Februari 2001 terhadap PT.
Monagro Kimia.
Berikut pembahasan mengenai pendapat pihak Tergugat terhadap Amdal,
precautionary principle dan kaitannya dengan ERA :
1. “Walaupun ada desakan dari petani kapas Sulawesi Selatan yang diwakili Asosiasi
Petani Kapas Indonesia di Sulawesi Selatan untuk melepas kapas transgenik Bt
dan permohonan Gubernur Sulawesi Selatan untuk melepas varietas kapas
Bollgard serta usul dari DPRD Sulawesi Selatan untuk melepas kapas transgenik
Bt ketiga-tiganya kepada Menteri Pertanian, Menteri Pertanian tetap berpegang
teguh prinsip kehati-hatian yang menerbitkan pelepasan kapas Bt tersebut secara
terbatas.”
Pihak tergugat disini keliru dalam memahami prinsip kehati-hatian, yang
mana pihak tergugat mengasumsikan bahwa pihak tergugat telah menerapkan
prinsip kehati-hatian dengan menerbitkan pelepasan kapas Bt secara terbatas.
Pemahaman itu salah karena walaupun dilepaskan secara terbatas, belum tentu
dengan penanaman yang terbatas itu tidak memberikan dampak/risiko terhadap
lingkungan hidup. Maka dari itu sebelum diterbitkan izin pelepasan kapas Bt
secara terbatas haruslah dengan membuat Amdal terlebih dahulu yang kemudian
dilanjuti dengan pembuatan ERA sehingga dapat diketahui risiko apa saja yang
mungkin terjadi dalam rangka pencegahan kerusakan lingkungan yang merupakan
arti sesungguhnya dari prinsip kehati-hatian.
2. “Dalam ketentuan pasal 6 UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman memberikan kebebasan kepada petani untuk menentukan jenis tanaman
dan pembudidayaannya. Namun pasal 60 dan 61 UU ini mengancam dengan
hukuman pidana terhadap pihak yang mengedarkan hasil pemuliaan atau
introduksi varietas tanaman yang belum dilepas oleh Menteri Pertanian. Sementara

14
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

itu, petani kapas di Sulawesi Selatan menghendaki untuk menanam varietas kapas
transgenik Bt dalam musim tanam tahun 2001. Dalam rangka melindungi petani
dari ancaman pidana dimaksud, sekaligus melaksanakan prinsip kehati-hatian
dalam memanfaatkan kapas transgenik, Menteri Pertanian merespon keadaan
tersebut dengan menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
107/Kpts/KB.430/2/2001 tanggal 7 Februari 2001.”
Pemahaman pihak tergugat atas prinsip kehati-hatian pada jawaban ini juga
keliru. Prinsip kehati-hatian diterapkan untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan terjadi yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup
yang salah satunya dengan mewajibkan Amdal dan ERA sebagai syarat wajib
pemberian izin usaha, bukan untuk melindungi petani sehingga menerbitkan SK
tersebut seperti penjelasan diatas.
3. “Mengingat penerapan Amdal tidak mungkin lagi dilakukan, maka dalam rangka
kehati-hatian sesuai dengan prinsip yang ada dalam Protokol Cartagena, Meneg
Lingkungan Hidup memohon tergugat agar meminta PT. Monagro Kimia dalam
waktu segera melakukan Risk Assesment (Analisis Risko Lingkungan). Surat
tersebut telah tergugat tanggapi dengan surat Nomor KB. 430/58/A/XI/2000
tanggal 10 November 2000 yang menyatakan bahwa proses pelepasan terbatas
varietas kapas transgenik ditempuh sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan
Bersama Keputusan Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perburuhan,
Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Holtikultura tentang
Keamanan hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa
Genetik.”
Ini berarti pihak tergugat belum menyuruh PT. Monagro Kimia untuk
melaksanakan risk assessment, karena Amdal merupakan dasar/pedoman
pembuatan risk assessment, padahal Amdal-nya tidak ada. Walaupun pihak
tergugat menyatakan bahwa pelepasan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan
dalam Keputusan Bersama 4 Menteri, Amdal dan risk assessment adalah berbeda
dengan keputusan tersebut. Maka jelas, pihak tergugat telah menerbitkan suatu SK
dengan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.

15
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

4. “Proses pelepasan kapas transgenik Bt dilakukan sesuai dengan peraturan


perundang-undangan yaitu Keputusan Bersama Nomor 998/Kpts/OT.210/9/1999,
790-a/Kpts-IX/1999, 1145A/MENKES/SKBI/X/1999, dan 015 A/Meneg
PHOR/09/1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk
Pertanian Hasil Reakayasa Genetik. Hal ini ditempuh karena nelum ada petunjuk
teknis Amdal untuk introduksi tanaman transgenik.”
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) huruf f PP No. 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis
hewan, dan jasad renik termasuk salah satu usaha dan/atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan,
sehingga untuk kapas transgenik ini memerlukan Amdal. Sehingga jelas adanya
bahwa kapas transgenik merupakan usaha dan/atau kegiatan yang harus dilengkapi
dengan Amdal. Dan apabila pihak tergugat menyangkal bahwa belum ada
petunjuk teknis Amdal untuk tanaman transgenik, bukan berarti usaha dan/atau
kegiatan tersebut dapat diizinkan tanpa adanya Amdal. Karena sesuai dengan
Penjelasan Pasal 2f dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “prinsip kehati-
hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau
kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau
menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Maka dari itu prinsip kehati-hatian disini yaitu mengizinkan kegiatan
tersebut dengan Amdal walaupun belum ada petunjuk teknis mengenai itu, tetap
merupakan syarat yang harus dipenuhi. Sehingga berdasarkan penjelasan ini pihak
tergugat terbukti tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.
5. “Bahwa pihak tergugat mempunyai kepedulian dengan melakukan Analisis Risiko
Lingkungan Hidup (ARL/ERA) sesuai dengan saran Meneg Lingkungan Hidup
untuk mengkonpensasi tidak dilakukannya Amdal (karena belum ada petunjuk
teknis Amdal untuk introduksi tanaman transgenik) dan pengujian daya hasil serta
pengujian sosial ekonomi.”

16
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Dapat disimpulkan dari jawaban diatas bahwa yang melakukan


ARLH/ERA adalah pihak tergugat. Padahal menurut ketentuan pasal 47 ayat (1)
UU No. 32 Tahun 2009 yang melakukan ARLH/ERA adalah pihak pemrakarsa
bukanlah pihak yang memberikan izin yaitu pihak tergugat.
6. “Menteri Pertanian telah melaksanankan prinsip kehati-hatian sebab telah
melaksanakan semua tindakan yang perlu dan bertanggungjawab termasuk
pengumuman dengan cara melibatkan masyarakat umum melalui Pemda dan
DPRD Sulawesi Selatan sebelum mengeluarkan keputusan No.
107/Kpts/KB.430/2/2001.”
Memberikan informasi kepada masyarakat merupakan bagian dari ERA,
namun apabila yang diinformasikan kepada masyarakat tersebut tidak membuat
Amdal dan ERA tetap saja merupakan hal yang keliru dan tidak melakukan prinsip
kehati-hatian. Karena pada prinsipnya untuk mengidentifikasi segala risiko dan
tindakan pencegahan diperoleh kepastiannya dari pelaksanaan Amdal dan ERA. Hal
ini sebetulnya yang diperlukan masyarakat, bukan hanya sekadar pemberian
informasi oleh Pemerintah.

Berikut pembahasan mengenai pendapat Hakim melalui putusannya dalam


kasus ini :
Majelis hakim pada saat kasus ini muncul belum melihat adanya dampak
negatif yang disebabkan oleh kapas transgenik. Dalam pertimbangan hakim dalam
aspek akibat dari diterbitkannya SK Menteri Pertanian, Majelis hakim
mempertimbangkan mengenai GMO (dalam hal ini kapas transgenik) dari beberapa
hal yaitu:
1) Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan
dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan
Hortikultural tanggal 29 September 1999 yang menyatakan kapas transgenik Bt
DP 5690 B aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati.
2) Rekomendasi Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V) yang terdiri dari 16
anggota dan Narasumber ahli Bioteknologi IPB, Balai Penelitian Bioteknologi

17
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Bogor, Universitas Hasanuddin dan Universitas Gajah Mada yang memberi


rekomendasi pelepasan kapas transgenik BOLLGARD di Sulawesi Selatan
dalam surat dari tim tersebut tanggal 9 Januari 2001.
3) Klarifikasi kegiatan pelepasan kapas transgenik dari tergugat kepada Menteri
Negara Lingkungan Hidup/Kepala BAPEDAL dalam surat tanggal 10 November
2000 yang menyatakan bahwa “Pengujian laboratorium telah dilaksanakan pada
September 1998 dan Maret 2000 di BALITBIO Bogor yang hasilnya menyatakan
tanaman kapas transgenic tersebut aman terhadap lingkungan dan
keanekaragaman hayati dan oleh karenanya dapat dilakukan uji daya hasil/uji
adaptasi mengikuti prosedur yang berlaku. Uji daya hasil/uji adaptasi telah
dilaksanakan mulai Maret 2000 sampai September 2000 di Kabupaten
Bantaeng”.
Sementara yang terjadi di lapangan hama tetap menyerang kapas transgenik,
hasil panen tidak pernah mencapai 3-4 ton seperti yang dijanjikan perusahaan dan
pemerintah. Bahkan pada Maret 2002 data yang dipaparkan oleh Kepala Dinas
Perkebunan Sulsel, Ir. Makkarasang menunjukkan sekitar 74 persen lahan yang
ditanami kapas transgenik memiliki produktivitas kurang dari satu ton per ha. Dari
4.364,20 ha luas areal tanam kapas transgenik, terdapat sekitar 522,43 ha yang gagal
total, tidak memberikan hasil sedikit pun. Kegagalan dan rendahnya hasil panen
mengakibatkan petani berhutang kepada perusahaan pemilik kapas transgenik Bt.
Berdasarkan data tersebut rata-rata hasil kapas transgenik Bt hanya 1.121 kg/ha.
Majelis Hakim memutuskan bahwa para para Penggugat mempunyai hak
untuk mengajukan gugatan demi kepentingan lingkungan, tetapi menolak pokok
perkara yang diajukan oleh Para Penggugat. Majelis hakim menganggap bahwa SK
107/2001 adalah untuk keperluan uji coba, sehingga mereka memutuskan pelepasan
kapas transgenik tidak wajib Amdal, dan SK 107/2001 justru mencerminkan sikap
kehati-hatian dari Menteri Pertanian, sebelum melepas kapas transgenik di areal yang
lebih luas lagi. Sehingga dalam putusan Majelis Hakim, pihak Para Penggugat
dinyatakan kalah dalam kasus ini dan menghukum para Penggugat untuk membayar
biaya perkara.

18
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Menurut analisis kami putusan Majelis Hakim kurang tepat karena telah keliru
dalam memahami tentang kapas transgenik yang merupakan produk rekayasa
genetika tersebut. Produk ini merupakan produk baru di Indonesia. Hal ini terbukti
dari putusannya yang memenangkan pihak tergugat. Majelis Hakim hanya
mempertimbangkan kapas transegnik tersebut dari sisi bukti-bukti yang dikemukakan
oleh Tergugat dan tidak melihat pada kenyataan. Memang pada saat itu dampak
negatif dari kapas transgenik belum terlihat, namun pada akhirnya kapas transgenik
tersebut memberikan dampak negatif. Sesuai dengan akibat dari kapas transegnik dan
karakteristiknya, Pelepasan kapas transgenic harusnya terlebih dahulu diuji sebelum
dicoba ke lapangan untuk diperjualbelikan sehingga seharusnya Majelis Hakim lebih
bijak dalam mengambil keputusan dan tidak lupa mempertimbangkan dalil-dalil dari
Para Penggugat dengan melihat dari kenyataan dan literatur mengenai hasil penelitian
tentang kapas transgenik yang independen.
Dari putusan ini pun dapat terlihat adanya ketidakhati-hatian dalam
mengambil keputusan karena Majelis Hakim berpendapat bahwa saat kasus terjadi
belum ada dampak negatif yang ditimbulkan sehingga pelepasan terbatas kapas
transgenik diperbolehkan, namun jika terbukti kedepannya ada dampak negatif maka
barulah analisis mengenai dampak lingkungan baru diwajibkan. Seharusnya jika ada
keraguan dengan dampak dari pelepasan kapas transgenik ini sebelumnya, maka
analisis mengenai dampak lingkungan dilakukan terlebih dahulu untuk memenuhi
prinsip kehati-hatian (precautionary principle).

3. Pandangan para pihak melihat keamanan produk kapas transgenik, yang


termasuk pest/insect resistant crops (Bt)

19
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Pihak Para Penggugat memandang produk kapas transgenik yang termasuk


jenis pest/insect resistant crops (Bt), sebagai berikut:4
1) Kapas hasil rekayasa genetika varietas Delta pine (DP) 5690 yang telah
disisipi gen Cry1A yang mengandung endotoxin Bt (Bacillus thuringiensis)
sehingga tahan hama karena dapat membunuh serangga tertentu.
2) Tanaman semacam itu harus melalui kajian lingkungan paling rinci dan ketat,
karena kemampuannya menghasilkan toxin yang dapat membunuh hama
sasaran, sehingga mempunyai potensi besar untuk menimbulkan kerugian
pada keanekaragaman hayati, karena dapat mengakibatkan terbunuhnya
suatu jenis hewan tertentu atau bisa menurunkan populasi tertentu suatu jenis
tanaman yang bukan merupakan sasaran. Dapat menimbulkan perpindahan
gen dari tanaman transgenik ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma
super yang sulit diberantas, selain itu tanaman transgenik dapat membentuk
senyawa yang menimbulkan alergi atau keracunan bagi manusia.
Keputusan pelepasan Kapas Bt berlatar belakang karena kapas transgenik
tersebut memiliki keunggulan yakni produksinya tinggi, mutu seratnya baik, tahan
terhadap hama utama kapas Helicoverpa armigera dan hanya memerlukan sedikit
pestisida sehingga menguntungkan petani. Pihak Tergugat memandang produk kapas
transgenik yang termasuk jenis pest/insect resistant crops (Bt).
Dalam sosialisasi kegiatan kapas transgenik yang dilakukan melalui press
camping, Ketua Tim Pengkajian Resiko Lingkungan Kapas Transgenik Ir. Dwi
Santosa mengungkapkan bahwa setiap temuan barudalam bidang bioteknologi tidak
bisa dikatakan seratus persen aman sehingga masalah yang harus diperhatikan
kemungkinan timbulnya proses kekebalan hama utama kapas karena setelah 6-7 kali
penanaman kapas Bt, hama atau ulat yang selama ini menjadi musuh utama tanaman
kapas sehingga menjadi kebal terhadap kapas Bt. Untuk mengatasinya maka
diwajibkan menanam repujia yang merupakan kapas konvensional di sekitar tanaman
kapas Bt. Agar terdapat hama yang tidak resisten. Antara hama yang resisten dan

4
Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT.

20
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

yang tidak resisten itu dibiarkan kawin sehingga menghasilkan keturunan yang tidak
resisten.5
Menurut pihak Tergugat, penggunaan varietas unggul NuCOTN 35B
(BOLLGARD) akan berguna bagi lingkungan hidup sebab akan mengurangi secara
signifikan penggunaan pestisida kimiawi sehingga sehingga berkurang pencemaran
udara dan lingkungan oleh zat kimia pestisida, dan secara ekonomis mengurangi
biaya produksi bagi para petani. Dari berbagai pandangan mengenai keamanan dari
pihak Para Penggugat dan Tergugat di atas sekarang kita harus membandingkannya
dengan hasil penelitian para ilmuwan mengnai dampak baik positif maupun negati
dari tanaman kapas transgenik ini.
Sharples (1982) dan Gillet et al. (1986) menyimpulkan bahwa untuk setiap
jenis organisme transgenik dianggap mempunyai risiko lingkungan yang potensial. 6
Menurut Regal (1986) semua pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada resiko
lingkungan substantif bagi organisme transgenik adalah tidak logis sehingga penilaian
terhadap resiko lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh tanaman transgenik itu
harus dilakukan.7
Ecological Society of America (Tiedje et al. 1989), yang merangkum temuan
tahun 1980 dan akan memberikan kontribusi pada dasar ilmiah bagi sebuah
konsensus internasional bahwa penilaian risiko lingkungan tanaman transgenik
adalah perlu dan harus dilakukan dengan cara kasus per kasus, dengan
mempertimbangkan beberapa pemahaman yang terintegrasi dari transgen, organisme
penerima dan lingkungan di sekitarnya.8 Berdasarkan fakta tersebut dapat dipastikan
bahwa kemungkinan resiko atasa tanaman transgenik itu tetap ada.
Pada penelitian yang dilakukan oleh NRC dan EPA tahun 1990 mengenai
pengkajian resiko tanaman transgenik terhadap lingkungan, laporan awal
menunjukkan bahwa tanaman transgenik tidak mempunyai jenis baru bagi resiko

5
Ibid.
6
D.A. Andow and Claudia Zwahlen,” Assessing environmental risk of transgenic plants”,
Ecology Letter (2006): 197.
7
Ibid.
8
Ibid.

21
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

lingkungan (NRC 1987;. Tiedje et al 1989)9. Jenis-jenis risiko lingkungan pertama


kali dirangkum oleh Snow & Morán-Palma (1997) yakni sebagai berikut: (1) non-
target dan risiko keanekaragaman hayati, yang termasuk non-target spesies, fungsi
ekosistem, dan efek pada tanah, (2) risiko yang terkait dengan aliran gen dan
rekombinasi, dan (3) risiko yang terkait dengan evolusi resistensi dalam organisme
target, seperti hama serangga untuk tanaman transgenik Bt dan gulma untuk herbisida
diterapkan transgenik toleran herbisida tanaman. Jenis risiko ketiga menjadi penting
saat ini karena sekitar 99% dari semua tanaman transgenik di seluruh dunia adalah Bt
atau toleran herbisida tanaman.10
a. Resiko terhadap organisme bukan sasaran (non-target) dan keanekaragaman
hayati
Organisme non-target adalah spesies yang bukan target tanaman transgenik.
Semua tanaman transgenik memiliki beberapa spesies non-sasaran. Spesies ini dapat
dikelompokkan ke dalam kategori beberapa lapis (Andow & Hilbeck 2004, Snow et
al 2005.): (a) spesies yang menguntungkan, termasuk musuh alami hama (misalnya
kepik kumbang, tawon parasit) dan penyerbuk (misalnya lebah dan kelelawar); (b)
non-target herbivora, (c) organisme tanah, (d) jenis perhatian konservasi, termasuk
spesies yang terancam punah dan spesies karismatik (misalnya kupu-kupu monarch),
dan (e) spesies yang berkontribusi terhadap keanekaragaman hayati lokal.11
Tahun 1997, kebanyakan studi pada risiko non-target dan keanekaragaman
hayati tanaman transgenik tidak menunjukkan efek dari tanaman transgenik pada
organisme non-target (Fitt et al 1994;. Sims 1995, Dogan et al 1996;. Orr & Landis
1997; Pilcher et al, 1997;. Yu et al, 1997;. EPA 2001, Monsanto Company 2002a, b).
Hanya satu studi laboratorium menunjukkan kelangsungan hidup dari non-target
spesies menjadi lebih rendah, seperti PEGAS Folsomia candida (Willem)
(Collembola, Isotomidae) ketika diberi makan dengan daun jagung Bt konsentrasi
protein tinggi (EPA 2001), meskipun koneksi risiko lingkungan tetap jelas. Namun
studi yang dilakukan oleh Hilbeck et al. pada tahun 1998 mngejutkan, karena efek
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid., hlm:198.

22
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Cry1Ab yang diyakini hanya akan menjadi racun bagi Lepidoptera, ternyata menjadi
racun pula bagi C. carnea, berdasarkan uji coba pemberian makanan kepada larva C.
carnea dengan mangsa yang telah mengonsumsi jagung Bt. dan menunjukkan
mortalita lebih tinggi.12
Resiko lain yang mungkin terjadi adalah adanya hama sekunder dan juga
gulma yang hidup di lingkungan tanaman transgenik seperti yang terjadi akibat
beberapa insektisida dan herbisida.13
b. Resiko aliran gen ke tanaman lain
Aliran gen antara tanaman yang satu dengan kerabat spesies liar telah terjadi
selama ribuan tahun (Hancock et al 1996;. Ellstrand et al 1999). Gen suatu tanaman
dapat mengalir dan mengontaminasi gen tanaman liar (asimilasi genetik: Ellstrand &
Elam 1993; Levin et al 1996, Wolf et al, 2001), mengurangi keragaman genetik
populasi liar. Gen tanaman juga dapat mengalir ke varietas tanaman lain atau ras
tanah, mencemari kolam penerima benih. Apakah ini kontaminasi genetik disebut
'polusi genetik' atau 'kehadiran adventif', dapat memiliki konsekuensi yang tidak
diinginkan, mengurangi kualitas benih (Friesen et al. 2003), mengancam keamanan
pangan (NRC 2004a) dan produksi makanan organik, atau merugikan budaya asli
[Amerika Utara Perjanjian Perdagangan Bebas-Komisi Kerjasama Lingkungan
(NAFTA-CEC) 2004].14Menurut Ellstrand et al. aliran gen dari tanaman ke kerabat
liar terlibat dalam evolusi weediness (rumput) di tujuh dari 13 dunia tanaman yang
paling signifikan.15 Aliran gen tersebut dapat ditimbulkan oleh berbagai cara baik
yang dilakukan oleh manusia maupun oleh alam seperti angin, air, atau hewan.16

c. Resistensi
Manajemen resistensi telah diperlukan hanya untuk tanaman transgenik
insektisida dan bukan untuk tanaman transgenik toleran herbisida, meskipun ini dapat
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid., hlm: 200.
15
Ibid.
16
Ibid.

23
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

berubah menyusul laporan baru tentang resistensi gulma (WeedScience.org 2003,


Owen & Zelaya 2005).
Di Australia, kapas Bt tidak memberikan dosis tinggi terhadap hama utama,
kapas bollworm H. armigera, petani dan regulator sepakat untuk meminta
perlindungan 70% untuk membuat kemungkinan resistensi jarak jauh (Fitt 1997).
Kekhawatiran yang berkaitan dengan resistensi akibat tanaman transgenik ini salah
satunya adalah terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di
lingkungan.17
d. Resiko Keanekaragaman Hayati
Resiko terhadap keanekaragaman hayati melibatkan hilangnya
keanekaragaman hayati, yaitu variabilitas di antara organisme hidup termasuk
kompleks ekologi yang merupakan bagian dari variabilitas ini mencakup
keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem [Konvensi
Keanekaragaman Hayati (CBD) 1992].18
Banyak dari spesies transgenik baru lebih mungkin untuk membentuk
populasi liar dan berhibridisasi dengan kerabat liar dari tanaman transgenik (Godfree
et al 2004, Van Frankenhuizen & Beardmore 2004, Watrud et al. 2004). Seperti
beberapa spesies baru transgenik sudah invasif di bagian jangkauan geografis
mereka, ada risiko bahwa spesies bisa menjadi lebih invasif, menyerang habitat baru
dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem.19

Penerapan dalam Kasus


Berdasarkan fakta-fakta di atas memang sulit untuk memprediksi resiko
lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya tanaman transgenik yang dalam hal ini
adalah tanaman kapas Bt. karena terikat oleh ruang dan waktu, artinya resiko dari
tanaman kapas Bt in baru akan berdampak secara jelas jika terjadi dalam waktu yang
tidak dapat ditentukan dan dalam skala penanaman yang sangat luas (Wolfenbarger
and Phifer, 2000). Berdasarkan kenyataan akan kesulitan memprediksi kapan
17
Richardus Widodo. "Kontroversi Pangan Rekayasa Genetik ", (Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya), 23 April 2008. Diakses pada 17 Mei 2010.
18
Andow and Zwahlen, op. cit. p: 207
19
Ibid. Hlm: 208.

24
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

terjadinya efek negatif dari tanaman kapas transgenik Bt inilah maka bagi Tergugat
yang bersangkutan dalam hal ini pemrakarsa Kapas Bt memang harus melakukan
Amdal dan ERA. Karena bagaimanapun juga produk Kapas Transgenik Bt ini tetap
merupakan produk yang dapat menimbulkan efek negatif, entah dalam waktu dekat
ataupun jangka panjang.
Menurut SK bersama Empat Menteri, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan
dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan holtikultura
No.998.1/Kpts/OT.210/9/99;790.a/Kpts-IX/1999; 145A/MENKES/SKB/IX 199;
015A/Nmeneg PHOR/09/1999, tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik bahwa pemanfaatan tanaman transgenik
baik produk yang berasal dari dalam maupun luar negeri harus memenuhi persyaratan
keamanan hayati dan keamanan pangan, serta mempertimbangkan kaidah agama,
etika, sosial, budaya dan estetika.
Jika kita melihat ketentuan SK tersebut di atas maka nampaknya pihak
Tergugat ini sudah memenuhinya, karena sebelum pelepasan Kapas Bt sudah
didahului dengan uji laboratorium di Balai Penelitian Bioteknologi Bogor, uji
lapangan terbatas dan uji multilokasi di Sulawesi Selatan. Sebagai wujud perhatian
terhadap kaidah agama pula bahwa produk transgenik tersebut halal, sedangkan
perhatian terhadap aspek sosial ini bahwa pihak Tergugat dalam melakukan
pelepasan kapas Bt ini justru sangat memperhatikan aspek sosial masyarakat karena
dengan adanya produk kapas transgenik yang dapat dibudidayakan oleh para petani di
Sulawesi Selatan ini mereka bisa meningkatkan kesejahteraan dengan penurunan
biaya pestisida yang harus dikeluarkan oleh para petani untuk membunuh hama
utama tanaman kapas. Namun masalahnya pihak Tergugat ini kurang memperhatikan
dampak penting yang mungkin terjadi pada waktu yang tidak bisa ditentukan, maka
dari itu tetaplah dalam kasus pelepasan produk kapas transgenik Bt ini harus
dilengkapi dengan penilaian resiko lingkungan dan juga Amdal, supaya pihak
Tergugat mengetahui secara rinci minimal adanya berbagai kemungkinan dampak
negatif dari adanya budidaya kapas transgenik Bt tersebut.

25
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Pandangan Resiko Kapas Trasngenik-Bt terhadap Organisme Non-Target


Memang dari sekian banyak ilmuan yang meneliti kebanyakan menyebutkan
bahwa tidak ada resiko signifikan terhadap individu non-target. Jika kita mengacu
pada penelitian Hilbeck dan kawan-kawannya pada tahun 1998 seperti tertera dalam
uraian sebelumnya yang menghasilkan temuan bahwa penelitian yang semula dikira
bahwa racun Cry1Ab ini hanya akan mematikan hama Lepidoptera ternyata menjadi
racun pula bagi C. carnea, berdasarkan uji coba pemberian makanan kepada larva C.
carnea dengan mangsa yang telah mengonsumsi jagung Bt. dan menunjukkan
mortalita lebih tinggi.
Misalnya kita menganalogikan hal tersebut dengan racun Bt yang ada pada
kapas, berarti dapat dimungkinkan bahwa kapas Bt ini juga bisa berefek pada
organisme bukan sasaran. Artinya misal terdapat serangga yang sebenarnya bukan
hama tanaman kapas, jika ia memakan hama yang sudah terkontaminasi racun Cry1A
sehingga ia mati maka benar bahwa spesies serangga yang menjadi musuh alami
hama kapas ini akan punah, padahal hama utama tanaman kapas akan mengalami
kekebalan. Jika kenyataannya seperti ini bukankah berarti justru akan menimbulkan
kerugian bagi para petani kapas baik yang transgenik maupun yang bukan transgenik,
karena hama tersebut tidak bisa mati, kembali lagi berarti para petani harus
menbunuhnya dengan pestisida yang ekstra. Akan tetapi penelitian yang memberikan
hasil semacam itu memang tidak banyak dan tidak begitu signifikan.
Tanaman transgenik-Bt tidak memiliki dampak terhadap lebah madu dalam
berbagai uji coba sebgaimana dipersyaratkan oleh EPA (EPA, 1998). Akan tetapi
tanaman transgenik yang disisipi toksin Cry1A berpengaruh negatif terhadap
lepidoptera non-target yang memakan tanaman tersebut (NRC, 2000)20.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perhimpunan Entomologi
Indonesia21 pada April 2006, sampai saat ini belum pernah ada laporan mengenai
dampak negatif yang serius akibat penggunaan Bt. Pada dosis yang efektif terhadap
20
Dwi Andreas Santosa, “Analisis Resiko Lingkungan Tanaman Transgenik”, (Jurnal Ilmu Tanah
dan Lingkungan, Oktober 2000), hlm: 33.
21
Purnama Hidayat dan D. Prijono, “Aktivitas Residu Protein Cry1Ac pada Lahan yang ditanami
Kapas Transgenik –Bt di Bajeng dan Soppeng, Sulawesi Selatan”, (Penelitian Departemen Proteksi
Tanaman Fakultas Pertanian, IPB, 2005), hlm: 56.

26
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

hama sasaran, produk Bt cukup aman terhadap organisme bukan sasaran termasuk
serangga parasitoid dan predator serta mamalia (Glare & O’Callaghan 2000). Pada
penelitian ini, residu protein Cry1Ac di dalam tanah yang ditanami kapas-Bt Bollgard
tidak mematikan hama sasaran H. armigera sehingga residu tersebut tidak perlu
dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap organisme bukan sasaran di dalam
tanah. Namun demikian, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menganalisis
residu Cry1Ac di tanah dalam jangka panjang (setelah beberapa kali musim tanam
kapas).

Pandangan Resiko Peralihan Gen pada Tanaman Lain


Kaitannya dengan resiko aliran gen dari tanaman kapas Bt ke tanaman lain.
Berdasarkan penelitian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa memang
memungkinkan gen dari Kapas Bt ini berpindah ke gen tanaman liar disekitarnya,
sehingga sangatlah logis apabila kita membayangkan seandainya terdapat gulma yang
terkontaminasi dengan gen Bt sehingga gulma tersebut akan menjadi resisten,
kemudian justru para petani akan mempunyai beban lebih berat untuk membasmi
guslma tersebut dengan pestisida yang lebih banyak lagi. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh pihak Pergugat bahwa produk kapas Bt ini bisa menimbulkan
adanya gulma super yang sulit diberantas akibat perpindahan gen.
Akan tetapi kita harus jeli dalam mengkaji hal ini, apakah mungkin semudah
itu suatu gen kapas akan berpindah ke tanaman lainnya terutama gulma/tanaman
liar?. Secara alami tanaman kapas bersifat self pollination (penyerbukan sendiri) dan
hanya sekitar 2% yang melalui penyerbukan silang dengan perantara angin dan
serangga antara lain bumble bees dan honey bees (Canadian Food Inspection
Decision Document, Decision Document No. 96-14, 1999).22 Serbuk sari pada
tanaman kapas bersifat sangat banyak dan lengket, dan penyerbukan silang hanya
bisa terjadi pada batasan jarak yang terbatas dan hanya sesama tanaman kapas
(Canadian Food Inspection Decision Document, Decision Document No. 96-14,

22
Dikutip dari Laporan Hasil Penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) (judul, tahun, dan penulis
tidak diketahui)

27
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

1996).23 Sedangkan kemungkinan penyerbukan silang antara kapas transgenik


Bollgard dengan spesies liarnya di Indonesia tidak mungkin terjadi, karena
berbedanya jumlah ploidi dari kapas yang dibudidayakan dengan spesies liar dan
tidak samanya letak georafis dari spesies kapas liar Gossypium tomentosum yang
terdapat di Hawai (Mosanto, 2001)24
Berdasarkan teori tersebut kita dapat mengetahui bahwa kekhawatiran yang
dinyatakan oleh pihak Para Penggugat akan adanya gulma super akibat perpindahan
gen dari tanaman kapas Bt ke tanaman liar disekitarnya dalam hal ini gulma tidak
beralasan karena pada kenyataannya tidak ada gulma yang satu kerabat dengan
tanaman kapas di Indonesia. Sudah tentu lebih logis alasan yang dikemukakan oleh
pihak Tergugat bahwa gen tanaman kapas Bt tidak mungkin berpindah ke tanaman
liar atau gulma yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan tanaman kapas ini.
Karena berdasarkan teori dari Canadian Food Inspection di atas bahwa asimilasi gen
hanya terbatas pada sesama tanaman kapas.

Pandangan Resiko Kapas Transgenik-Bt terhadap Timbulnya Hama Resisten


Kekhawatiran akan adanya hama yang resisten ternyata bisa terjadi apabila
budidaya tanaman kapas Bt itu dilakukan secara terus menerus dan dalam skala yang
sangat luas. Pengertian luas ini mungkin kita bisa mengacu pada ketentuan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2000, yang menyebutkan bahwa
kewajiban AMDAL bagi budidaya tanaman transgenik ini jika luas lahannya antara
5.000-10.000 ha. Karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Perhimpunan
Entomologi Indonesia menunjukkan bahwa penanaman kapas Bt secara terus-
menerus dan dalam area yang luas dapat mengakibatkan berkembangnya ras hama
yang resisten terhadap racun Bt dengan cepat. Sebagai contoh ras YHD2 Heliothis
virescens yang diberi pakan yang mengandung Cry1Ac selama lebih dari 30 generasi
menimbulkan resistensi sekitar 10.000 kali (Jenkin, 1999)25.

23
Ibid.
24
Ibid.
25
Hidayat dan Prijono, op. cit., hlm: 57.

28
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Berdasarkan fakta di atas kita bisa menganalogikan bahwa lahan yang dimiliki
oleh para petani kapas Bt di Sulawesi Selatan ini rata-rata hanya sekitar 100-500
meter dan belum berlangsung lama, maka belumlah dapat diklasifikasikan dapat
menimbulkan hama resisten. Akan tetapi jika kita kembali lagi pada penjelasan
sebelumnya karena sebenarnya memang sulit memprediksi adanya dampak negatif
dari adanya produk kapas transgenik Bt termasuk juga akan timbulnya hama yang
resisten. Maka dari itu tetap saja para pemrakarsa harus membuat suatu penilaian atas
resiko yang mungkin ditimbulkan akibat budidaya kapas transgenik Bt ini. Perlu
diperhatikan bahwa adanya akumulasi dari keberadaan produk kapas transgenik yang
terjadi dalam waktu yang lama ini dapat menimbulkan hama resisten, karena
kekebalan yang amat sangat kuat dari hama tersebut bisa saja justru merusak tanaman
kapas baik yang transgenik ataupun non-transgenik akibat hama tersebut tidak dapat
dimatikan. Jika kondisinya seperti ini tidak mustahil bahwa petani justru akan
membutuhkan pestisida yang lebih banyak untuk membunuh hama yang super
resisten tersebut.

Pandangan Resiko Kapas Transgenik-Bt terhadap Kesehatan Manusia


Dampak negatif tanaman transgenik-Bt terhadap kesehatan manusia umumnya
berkaitan dengan munculnya alergen baru pada konsumen pangan hasil
rekayasa/transgenik ini. Misalnya terdapat beberapa orang yang alergi terhadap
kedelai transgenik.26 Karena produk kapas sejauh ini hanya untuk bahan tekstil maka
kemungkinan alergi bagi pengguna tekstil ini sangat kecil, lain halnya dengan dengan
produk transgenik yang berupa pangan seperti jagung atau kedelai.
Akan tetapi meskipun resiko terhadap kesehatan manusia ini sangat kecil dan
belum pernah ditemukan sampai saat ini, sebagai langkah antisipasi para pemrakarsa
budidaya tanaman kapas transgenik tetap tidak boleh melepaskan kewajibannya untuk
melakukan pengkajian resiko dan juga Amdal karena bagaimanapun juga resiko
terhadap kesehatan manusia ini tetap saja ada.

Pandangan Resiko Kapas Transgenik-Bt terhadap Keanekaragaman Hayati

26
Santosa, op. cit., hlm: 33.

29
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Godfree dkk, Van Frankenhuizen


& Beardmore, Watrud dkk pada tahun 2004 seperti telah dijelaskan sebelumnya pada
bagian resiko tanaman transgenik terhadap keanekaragaman hayati maka memang
dimungkinkan para spesies tanaman transgenik yang masih dalam jangkauan
geografisnya membentuk populasi liar dan berhibridisasi dengan kerabat liar dari
tanaman transgenik, sehingga menimbulkan serangan terhadap spesies lain yang
minoritas. Hal ini menjadi sangat logis apabila tanaman transgenik dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati tentunya dalam
jangka waktu yang yang tidak dapat ditentukan.
Berdasarkan uraian di atas saatnya kita menyimpulkan pandangan keamanan
terhadap keamanan tanaman transgenik dari pihak Tergugat dan pihak Para
Penggugat. Pandangan para Para Penggugat ini benar karena menyatakan bahwa
pelepasan produk kapas transgenik Bt ini wajib Amdal karena pada kenyataannya
memang produk kapas transgenik Bt ini dapat menimbulkan efek negatif terhadap
lingkungan dan kesehatan manusia. Akan tetapi pihak Para Penggugat dalam
memandang keamanan kapas transgenik-Bt ini kurang mendalam, karena dalam
gugatannya mereka menyatakan terjadinya bahaya yang sebenarnya hal itu tidak akan
terjadi seperti mengenai masalah perpindahan gen dari kapas transgenik-Bt yang bisa
menyebabkan gulma super. Sementara pandangan Tergugat terutama mengenai
masalah perpindahan gen ke tanaman lain yang tidak mungkin terjadi apabila beda
kerabat sepertinya memang lebih logis. Akan tetapi pandangan bahwa tidak adanya
efek terhadap lingkungan yang sampai saat ini belum terjadi bukanlah menjadi alasan
Tergugat untuk tidak dilakukannya Amdal dan ERA karena seperti yang dikatakan
oleh para ilmuwan di atas terhadap resiko produk kapas transgenik Bt ini tetap harus
dilakukan penilaian.
Selain itu pihak Tergugat lebih melihat aspek ekonomis dan sosial yang
berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Selatan, dengan adanya kapas
transgenik-Bt ini masyarakat dapat menghemat biaya untuk membeli pestisida, selain
itu produk kapas transgenik-Bt meberikan hasil yang lebih menjanjikan daripada
kapas non-transgenik. Padahal seharusnya aspek lingkungan juga harus benar-benar

30
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

dilakukan. Pelepasan secara terbatas pun bukanlah menjadi alasan bagi Tergugat
untuk tidak dilakukannya Amdal dan ERA sebagaimana disarankan oleh para
ilmuwan di atas, karena tetap saja lama-kelamaan budidaya kapas transgenik Bt ini
akan menimbulkan berbagai efek negatif terhadap lingkungan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
4. Pendapat Hakim Atas Persoalan Keamanan Serta Ketepatan Pendapat
Hakim mengenai Keamanan Produk Kapas Transgenik
Dalam putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, dalam pertimbangan-
pertimbangannya majelis hakim berpendapat, terutama mengenai AMDAL, bahwa
keberadaan AMDAL ini hanya diwajibkan untuk pemrakarsa usaha dan/atau
kegiatannya, bukan sebagai syarat untuk dikeluarkannya izin pelepasan bibit kapas
transgenik ini. Sehingga tergugat tak disyaratkan untuk wajib AMDAL. Pun kalau
berdasarkan hasil uji coba yang berlaku 1 tahun itu nantinya ternyata benar-benar
kegiatan tersebut berdampak penting dan merugikan bagi lingkungan, maka hal
tersebut akan menjadi tolak ukur terhadap kegiatan itu kedepannya dan beradasarkan
ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 dapat ditinjau
kembali, baru kemudia diterbitkan AMDAL.
Kemudian majelis hakim juga berpendapat bahwa kegiatan pelepasan bibit
kapas transgenik untuk digunakan di 7 kabupaten tersebut masih merupakan uji coba,
sehingga belum dapat diketahui hasilnya karena masih dalam tahap pemantauan dan
evaluasi. Selain itu dengan jelas disebutkan bahwa penilaian yang dilakukan oleh
bada peradilan TUN ini bersifat posteriori, yaitu didasarkan setelah terjadinya akibat
yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi, yang demikian itu majelis hakim berpendapat SK
Tata Usaha Negara yang diterbitkan tergugat itu belum mengakibatkan kerugian atas
kepentingan para para Penggugat.
Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut,
sepertinya majelis hakim terlalu berkonsentrasi dengan akibat-akibat yang secara
faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi, terlihat dari seringnya pendapat tersebut diungkapkan oleh hakim

31
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

dalam berbagai pertimbangannya. Majelis hakim melupakan untuk memasukkan


pertimbangan mengenai prinsip kehati-hatian yang seharusnya tidak diabaikan oleh
tergugat, mengingat pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan-tindakan yang
mengarah pada pengesahan Protokol Cartagena untuk terikat pada prinsip kehati-
hatian ini27. Terlihat hakim kiranya kurang mengetahui dengan apa yang dimaksud
prinsip kehati-hatian ini, dengan konsentrasi hakim yang lebih banyak menggunakan
dasar hukum yang berasal dari Indonesia dalam pertimbangannya yang kalau kita
pikir, hal ini tentu lebih memudahkan pekerjaan hakim itu sendiri dalam memutus
perkaranya.
Dengan terlupakannya prinsip kehati-hatian ini dari pertimbangan hakim,
kami mengira hal ini telah menjadi salah satu indikator yang berperan besar atas
ditolaknya gugatan para para Penggugat seluruhnya. Hal lain yang perlu kiranya kita
perhatikan adalah mengenai Environmental Risk Assessment yang dilakukan oleh
pihak tergugat dimana hal tersebut dilakukan untuk uji daya atau uji adaptasi bukan
untuk uji terhadap kerusakan lingkungan, terhadap perubahan gen tanaman lain, atau
aman tidaknya produk tersebut bagi manusia, seperti yang sebenarnya ditekankan
dalam dalil-dalil yang diungkapkan oleh para para Penggugat.
Dengan keputusan majelis hakim menolak seluruh gugatan para para
Penggugat, terlihat kalau majelis hakim lagi-lagi hanya berpusat pada akibat-akibat
yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi. Hakim tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian
(preautionary principle) merujuk pada ketentuan dalam prinsip 15 Deklarasi Rio
1992, yang berbunyi:“bahwa tidak adanya kepastian ilmiah, tidak adanya atau kurang
memadainya informasi ilmiah, tidak boleh digunakan untuk menunda atau
menghambat langkah preventif yang tepat untuk mencegah kerusakan lingkungan”

27
Terjemahan pasal 1 Protokol Cartagena: “berdasarkan pendekatan kehati-hatian yang
terkandung dalam prinsip 15 deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Protokol ini
bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam memastikan tingkat proteksi yang memadai dalam hal
transfer, penanganan dan penggunaan yang aman dari organisme hidup hasil bioteknologi modern
yang mungkin berpengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati, dengan juga mempertimbangkan resiko terhadap kesehatan manusia, dan
khususnya berfokus pada pergerakan lintas batas”

32
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

Yang sebenarnya bisa menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengabulkan


gugatan para para Penggugat, walaupun belum ada akibat nyata yang terjadi yang
telah merugikan para para Penggugat. Dari pertimbangannya, kami menilai juga
sebenarnya hakim telah mengalami keragu-raguan dalam pertimbangannya. Hal
tersebut tersirat dari pertimbangan hakim di halaman 184 yang isiya tidak berlebihan
jika dipertimbangkan: oleh karena para para Penggugat adalah Lembaga-lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang berminat dan bergerak di bidang lingkungan hidup,
maka sebaiknya sesuai dengan kegiatannya yang empati terhadap pelestarian
lingkungan dan perlindungan konsumen tersebut, dapat ikut melakukan pemantauan
dan pengawasan serta mengevaluasi terhadap pelaksanaan uji coba terbatas kapas
transgenik tersebut. Sehingga kalau dikemudian hari terdapat hal-hal yang
menyimpang atau berdampak negatif terhadap lingkungan hidup dan kesehatan
sementara tergugat tetap memproduksi kapas transgenik tersebut dalam usahanya,
maka para para Penggugat dapat melakukan tindakan-tindakan untuk melindungi hak-
hak dan kepentingannya. Dari pertimbangan tersebut tercermin majelis hakim juga
takut akan akibat yang kemudian bisa saja terjadi dengan tetap berlakunya pelepasan
kapas transgenik selama satu tahun tersebut, tetapi tidak mau mengambil tindakan
tegas untuk mengabulkan gugatan dari para para Penggugat.

33
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1) Tidak semua Para Penggugat memenuhi syarat untuk mengajukan gugatannya
dalam kasus kapas ransgenik Bt. Para para Penggugat dalam kasus tersebut yang
memenuhi kriteria untuk mengajukan gugatan sebagai badan hukum perdata
sesuai dengan pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara jo. Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah Yayasan Lembaga Pengembangan
Hukum Lingkungan Hidup/ Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL),
Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia
(KONPHALINDO), dan Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/ Biotani
Indonesia. Oleh karena itu para para Penggugat mempunyai kedudukan hukum
dan kepentingan hukum untuk mengajukan gugatan dalam kasus Kapas
Transgenik. Para Penggugat selain yang disebutkan tersebut tidak memenuhi
kriteria sebagai para Penggugat perkara a quo, karena tidak memenuhi unsur
pasal 53 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo.
Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup .
2) Menteri Pertanian sebagai Tergugat dalam Kasus Transgenik melakukan
kelalaian dalam izin pembebasan Amdal sebelum pelepasan Kapas Transgenik
Bt. Hal ini ditinjau dari jenis kegiatannya dan dengan dihubungkan dengan pasal
3 PP No. 27 Tahun 1999, maka kegiatan yang dilakukan oleh PT. Monargo
Kimia sebagai pengelola Kapas Transgenik merupakan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang tergolong introduksi jenis tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik
salah satunya proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan

34
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

dampak penting terhadap lingkungan. Sehingga secara potensial dapat


menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan hasilnya dapat mempengaruhi
lingkungan alam. Maka PT. Monargo Kimia sebagai pengelola wajib mempunyai
dokumen Amdal, sedangkan dalam putusan sama sekali tidak disinggung
mengenai pelaku usaha/kegiatan yang harus mempunyai dokumen wajib Amdal,
inilah kelalaian oleh Menteri Pertanian yang dimaksud.
3) Dalam kasus kapas transgenik, Majelis Hakim hanya mempertimbangkan kapas
transgenik tersebut dari sisi bukti-bukti yang dikemukakan oleh Tergugat dan
tidak melihat pada kenyataan. Memang pada saat itu dampak negatif dari kapas
transgenik belum terlihat, namun pada akhirnya kapas transgenik tersebut
memberikan dampak negatif. Sesuai dengan akibat dari kapas transgenik dan
karakteristiknya, pelepasan kapas transgenik harusnya terlebih dahulu diuji
sebelum dicoba ke lapangan untuk diperjualbelikan sehingga Majelis Hakim
dianggap kurang bijaksana dalam mengambil keputusan karena lupa
mempertimbangkan dalil-dalil dari Para Penggugat dengan melihat dari
kenyataan dan literatur mengenai hasil penelitian tentang kapas transgenik yang
independen.
B. Saran
Dari seluruh pembahasan kasus Kapas Transgenik ini, kami memberikan
saran atau masukan sebagai berikut :
1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) seharusnya dilakukan terlebih
dahulu sebelum melakukan suatu usaha dan/atau kegiatan, terutama jika usaha
yang dilakukan berkaitan dengan introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis
hewan, dan jasad renik yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Terutama
jenis usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
2) Pelaksanaan Amdal dan Risk Assesment dalam kaitannnya dengan Prinsip
Kehatian-hatian atau Precautionary Principle harus dijadikan koridor wajib bagi
setiap kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan

35
Copyright: Anggi Maisarah, Andy Setyadi, Catur Nugraheni, Faza Luna Lestari, Lestari Hotmaida Sianturi, Lewinda
Oletta, Maria Grace
Untuk Makalah Mata Kuliah Hukum Lingkungan Semester Genap Tahun 2012.

hidup. Karena hal ini menyangkut kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup
yang berpengaruh terhadap pembangunan berkelanjutan.

36

Anda mungkin juga menyukai