Anda di halaman 1dari 18

EFEKTIVITAS FITOESTROGEN DALAM MENANGANI ATROFI VAGINA

WANITA MENOPAUSE

Dr. I Wayan Sugiritama,M.Kes

BAGIAN HISTOLOGI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul “ Efektivitas Fitoestrogen
Dalam Menangani Atrofi Vagina Wanita Menopause”.

Tulisan ini merupakan tinjuan pustaka yang dimaksudkan untuk memberikan sumbangan
pengetahuan dan bahan bacaan untuk pengunjung perpustakaan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang konstruktif dari semua pihak penulis sangat harapkan.

Denpasar, Januari 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………………………………………….i

Kata Pengantar………………………………………………………………………………...ii

Daftar isi……………………………………………………………………………………....iii

Daftar Gambar………………………………………………………………………………...iv

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………1

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………...2

2.1 ATROFI VAGINA PADA MENOPAUSE…………………………………………2

2.2 PERUBAHAN HORMON PADA MENOPAUSE…………………………………3

2.3 Terapi Sulih Hormon (TSH)……………………………………………………….5

2.4 Efektivitas Fitoestrogen Dalam Mengatasi Atrofi Vagina Wanita Menopause ….6

2.4.1 Definisi Fitoestrogen………………………………………………………………….7

2.4.2 Metabolisme Fitoestrogen……………………………………………………………7

2.4.3 Fitoestrogen sebagai SERMS (selective estrogen receptor modulators)…………..7

2.4.3.1Resveratrol……………………………………………………………………………7

2.4.3.2 Isoflavon…………………………………………………………………………….8

2.4.3.3 Lignans………………………………………………………………………………..8

2.4.3.5 Coumestans…………………………………………………………………………8

2.4.4 Efektifitas Fitoestrogen dalam mengatasi gejala atrofi vagina………………………..9

BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………………..11

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..12

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sintesis estradiol dan estron serta perbandingan struktur estrogen dengan
fitoestrogen (genistein dan daidzein)………………………………………………………….5

iv
BAB I. PENDAHULUAN

Selama masa masa reproduksi seorang wanita (pubertas sampai pre-menopause)


struktur dan fungsi organ reproduksi dipertahankan oleh hormone estrogen. Saat memasuki
menopause kadar hormon estrogen turun yang menyebabkan munculnya gejala-gejala
menopause. Salah satu gejala yang sering dikeluhkan adalah atrofi vagina yang bisa
mengakibatkan gangguan fungsi seksual.

Untuk mengatasi gejala menopause khususnya atrofi vagina, terapi sulih hormon
(TSH) digunakan secara luas. TSH dengan hormon estrogen sudah terbukti bisa mengurangi
gejala menopause dan atrofi vagina, tetapi meningkatkan resiko kanker payudara, endotrium
dan ovarium. Dengan adanya resiko dari TSH, maka perlu mencari terapi alternatif dalam
mengatasi gejala atrofi vagina.Salah satu terapi alternatif yang banyak dikembangkan adalah
fitoestrogen.

Fitoestrogen adalah senyawa estrogenic yang berasal dari tanaman, salah satu
fitoestrogen yang banyak dipelajari adalah golongan flavonoid. Karena kemiripan strukturnya
dengan estrogen maka senyawa flavonoid bisa menempel dan mengaktivasi reseptor estrogen
pada sel target, beberapa fitoestrogen sudah diidentifikasi terikat pada kedua jenis reseptor
estrogen (ERβ dan ERα), dan dapat menginduksi efek seperti estrogen (estrogen-like
actions). Beberapa fitoestrogen menunjukkan efek positif terhadap struktur dan fisiologi
vagina baik pada hewan coba mupun uji klinis pada wanita menopause.

Pada makalah ini akan dibahas tentang patogenesis dan gejala atrofi vagina serta
bebera hasil penelitian tentang efektivitas fitoestrogen sebagai alternatif dari estrogen dalam
mengatasi gejala atrofi vagina.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ATROFI VAGINA PADA MENOPAUSE

Menopause merupakan siklus reproduksi pada wanita yang tidak bisa dihindari.Pada
akhir masa reproduksi, wanita mengalami menopause yang berlangsung antara umur 45 tahun
hingga 55 tahun.Seorang wanita dikatakan mengalami menopause jika menstruasi berhenti
secara spontan paling sedikit selama satu tahun. Menopause disebabkan oleh terhentinya
aktivitas folikel ovarium (Bedell et al., 2014; Burger, 2006), yang mengakibatkan
menurunnya produksi hormone estrogen dan terjadi penurunan kadar estrogen dalam
darah(Al-Azzawi and Palacios, 2009). Penurunan kadar estrogen yang dramatis, secara klinis
menyebabkan gejala baik fisik maupun mental yaitu: gejala vasomotor, peningkatan risiko
osteoporosis, peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler, resistensi insulin, insomnia,
perubahan histologis pada jaringan yang sensitif dan tergantung pada estrogen, dispareunia,
dan atrofi vagina (Bedell et al., 2014; Doshi and Agarwal, 2013)

Vagina terdiri dari epitel berlapis pipih pada bagian dalam, otot polos dibagian tengah
dan jaringan fibrous pada bagian luar.Dengan adanya hormone estrogen pada saat pubertas
sampai sebelum menopause, epitel vagina memilki karakteristik lapisan yang tebal, memiliki
rugae, mempunyai vaskularisasi dan lubrikasi yang baik.

Vagina merupakan salah satu target hormone estrogen, dan estrogen merupakan
pengatur utama dari fisiologi vagina. Kedua jenis reseptor estrogen (ER α dan ER β)
ditemukan pada vagina baik pada epitel maupun pada stroma.Ekspresi kedua jenis reseptor
pada epitel dan stroma mengalami variasi selama siklus estrous, ekspresi kedua jenis reseptor
sejalan dengan ekspresi mRNA nya. Secara umum ekspresi ER α lebih banyak dari ER β baik
pada epitel maupun stroma(Jin et al., 2007; Wang et al., 2000). Pada epitel vagina ER α
berperan dalam proliferasi sel epitel, sedangkan ER β berperan dalam differensiasi sel
epitel(Fuermetz et al., 2015). Densitas reseptor estrogen paling tinggi pada vagina, dan
semakin menurun di genetalia eksterna dan kulit.Reseptor androgen juga ditemukan pada
vagina tetapi memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pada genetalia
eksterna. Reseptor progesterone hanya ditemukan pada vagina dan epithelium pada
vulvovaginal junction(Hodgins et al., 1998).

Istilah atropi vagina mengacu pada perubahan pada permukaan vagina yang menjadi
tipis, pucat dan kering. Kehilangan estrogen pada masa menopause menyebabkan vagina
kehilangan kolagen, jaringan adiposa, dan kemampuan untuk menahan air, sehingga dinding
vagina menyusut, vagina menjadi lebih sempit dan pendek, dan introtitus
mengalamikontriksi, khususnya bila tidak melakukan aktivitas seksual (penetrasi) dalam
waktu yang lama. Epitel permukaan kehilangan lapisan luar dan menjadi lebih tipis, hanya
terdiri dari beberapa lapisan sel saja, dan berkurangnya rasio antara sel superfisial dan sel
basal, sabut elastic berkurang, rugae menghilang dan menjadi lebih halus.Akibatnya,
permukaan vagina rentan terhadap perdarahan dengan trauma minimal, pada mukosa sering
ditemukan petechie.Pembuluh darah di dinding vagina berkurang dan sekresi dari kelenjar

2
sebaceous berkurang.pH menjadi lebih alkali yang menyebabkan rentan terhadap infeksi oleh
patogen urogenital dan fekal. Dispareunia yang kadang-kadang disertai dengan perdarahan
pascakoitus, adalah konsekuensi dari berkurangnya lubrikasi vagina(Fuermetz et al., 2015;
Levine et al., 2008; Speroff, 2005)

Pemeriksaan sitologi dari mukosa vagina wanita menopause menunjukkan penurunan


proporsi sel superfisial dan peningkatan proporsi sel parabasal. Juga, lapisan vagina menipis
dan pH vagina meningkat dari normal 3,5-4,0 (yang menguntungkan bagi lactobacilli) ke 6,0-
8,0 (yang menguntungkan organisme patogen)(Lima et al., 2014)

Gejala yang sering dirasakan akibat atropi vulvovagina adalah rasa kering, iritasi vulva, rasa
panas, sakit saat kencing, nyeri saat berhubungan badan(dispareunia), dan keluarnya cairan
vagina. Gejala atropi vulvovagina bisa sangat mengganggu dan berhubungan dengan
gangguan fungsi seksual pada wanita post menopause (Levine et al., 2008)

Menurut The North American Menopause Society (NAMS), gejala yang berhubungan
dengan vulvovaginal atrofi (VVA) mempengaruhi 20-45% dari wanita setengah baya dan
wanita yang lebih tua, tetapi gejala menopause ini sering diabaikan dan tidak mendapat
penanganan yang baik, karena hanya sedikit dari mengalaminya yang mencari bantuan medis.
Berbeda dengan gejala vasomotor, yang cenderung untuk mengalami perbaikan dari waktu ke
waktu bahkan tanpa pengobatan, atrofi vagina cenderung progresif dan tidak akan mengalami
perbaikan tanpa penanganan yang tepat(Lima et al., 2014).

Tujuan utama dari pengobatan gejala atrofi vagina adalah untuk meringankan gejala. Terapi
lini pertama mencakup non-hormon, pelembab vagina yang long-acting dan estrogen
pervaginal dengan dosis rendah. Meskipun estrogen terbukti efektif, tetapi adanya
kekhawatiran akan efek samping dan keamanan telah membuat banyak wanita menopause
tidak mau memakainya. Dalam beberapa tahun terakhir, suplemen fitoestrogen telah menjadi
alternatif yang menarik dan lebih aman, dan keberhasilan mereka telah diteliti dalam uji
eksperimental dan klinis (Lima et al., 2014).

2.2 PERUBAHAN HORMON PADA MENOPAUSE

Estrogen pada wanita terutama dihasilkan oleh sel teka dan granulose pada ovarium.
Ada tiga jenis estrogen endogen yaitu 17 B –estradiol (E2 ), estrone (E1), and estriol (E3)
yang memiliki struktur 18 atom C, yang disintesis dari kolesterol. Kolesterol menempel pada
reseptor lipoprotein, kemudian dimasukan kedalam sel (steroidogenik), disimpan dan
ditransport ke tempat sintesis steroid.Aromatisasi adalah tahap terakhir dari sinteisis estrogen.
Reaksi ini dikatalis oleh P450 aroma tase monooxygenase enzyme complex yang ada di
smooth endoplasmic reticulum. Melalui tiga tahap reaksi hidroksilasi dihasilkan estrone dan
estradiol dari prekursor androstenedione and testosterone.Beberapa bahan dari tanaman
memiliki struktur dan fungsi yang mirip dengan estrogen yang dikenal dengan fitoestrogen.
(gambar 1) (Gruber et al., 2002)

3
Produksi estrogen dan kadarnya dalam darah paling rendah pada masa
premenstruasi.Pada masa menopause produksi estrogen turun yang disebabkan oleh
berkurang folikel ovarium.Kadar estrogen darah bisa mencapai dibawah 20 pg/ml, dan
sebagian besar estradiol disintesis oleh jaringan ekstragonad dengan mengkonversi testoteron.
Pada masa menopause estrogen yang dominan adalah estrone. (Gruber et al., 2002)

Dalam peredaran darah (serum) estrogen terikat secara reversible pada sex-hormone–
binding globulin, dan terikat dengan afinitas rendah pada albumin. Estrogen di metabolism
melalui sulfationatauglucuronidation dan konjugatnya diekskresikan ke dalam urin dan
empedu. Estrogen mengalami sirkulasi enterohepatik karena konjugat estrogen dihidrolisis
oleh flora usus dan kemudian direabsorbsi(Gruber et al., 2002).

Mekanisme aksi dari estrogen adalah melalui terikatnya hormone pada reseptor yang
terletak dalam sitoplasma sel target, yang kemudian menyebabkan aktivasi transkripsi dari
steroid - responsif gen(Wang et al., 1999). Ada dua bentuk yang berbeda dari reseptor
estrogen, biasanya disebut sebagai ERα dan ERβ. Hormone estrogen mengaktivasi reseptor
yang kemudian membentuk dimer, baik homodimer ERα ( αα ) atau ERβ ( ββ ), atau
heterodimer ERαβ ( αβ )(Li et al., 2004). ER ditemukan dalam berbagai jaringan, dengan
konsentrasi yang bervariasi antara jenis sel yang berbeda. Dalam jaringan reproduksi tikus,
studi reverse transciption-polymerase chain reaction (RT-PCR) menunjukkan bahwa ekspresi
ERα sedang sampai tinggi dalam uterus , testis , ovarium , dan epididimis , sedangkan
ekspresi ERβ tinggi di prostat , ovarium , uterus , dan testis(Kuiper et al., 1997) .

4
Gambar 1. Sintesis estradiol dan estron serta perbandingan struktur estrogen dengan
fitoestrogen (genistein dan daidzein)(Gruber et al., 2002) (Gruber, C.J. et al.,. 2002)

Setelah diaktifkan oleh estrogen, ER mampu translokasi ke dalam inti dan terikat ke
DNA untuk mengatur aktivitas beberapa gen ( yang merupakan DNA-binding transcription
factor). Pada tikus yang diovariektomi, estradiol ( E2 ) menginduksi sintesis DNA dan
mitosis dalam uterus (Wang et al., 1999). Estrogen memicu up-regulasi ekspresi gen baik
reseptor estrogen (ER) dan reseptor progesteron (PR) di uterus pada semua spesies mamalia.
Selama siklus estrus atau menstruasi, peningkatan kadar estrogen sebelum ovulasi
(preovulasi) menyebabkan upregulasi baik ER dan PR, dan kemudian pada fase luteal
progesteron menyebabkan down-regulasi kedua reseptor tersebut(Ing and Tornesi, 1997).

2.3 Terapi Sulih Hormon (TSH)

Karena hampir semua gejala yang muncul pada masa menopause disebabkan oleh
penurunan kadar estrogen, maka mengembalikan kadar hormone dengan memberikan
hormone dari luar merupakan cara yang terbaik untuk mengatasi gejala-gejala menopause.
Metode pemberian hormone ini disebut dengan Terapi Sulih Hormon (TSH). TSH telah
terbukti secara efektif dan konsisten mampumengurangibaik frekuensi dan intensitas hot
flushes , efektif mengurangi atrofi vagina dan insomnia, dan mampu mengurangi kehilangan

5
masa tulang danrisiko patah tulang . TSH juga dapat mencegah penyakit
kardiovaskular(Bedell et al., 2014)

Hormon Replacement Therapy (HRT) diberikan selama periode perimenopause dan


menopause dini untuk menyembuhkan gejala menopause dan untuk pengobatan atrofi
vulvovagina.Estrogen tunggal hanya diperuntukkan untuk wanita yang telah menjalani
histerektomi.Bagi wanita yang masih memiliki uterus yang utuh, agen progestagen harus
dikombinasikan dengan estrogen untuk melindungi endometrium dari resiko perkembangan
hiperplasia. Progesteron dapat diberikan secara continue atau sequensial. Apabila digunakan
secara siklik, progesteron harus diberikan selama 10 sampai 14 hari setiap bulan(Schindler,
2014).

Meskipun TSH memberikan manfaat yang sangat baik dalam mengatasi gejala
menopause, tetapi lebih dari 80 % dari perempuanyang mungkin mendapatkan manfaat dari
TSH tidak mau atau tidak bisa menjalanipengobatan karena berbagai alasan medis atau
pribadi , termasukpeningkatan risiko pembekuan , penyakit hati atau takut kanker(Bedell et
al., 2014)

Terapi Sulih Hormon (TSH) dengan estrogen sintetik antara lain ethinyl estradiol
digunakan secara luas untuk mengatasi munculnya gejala-gejala yang terjadi pada
menopause. Pengamatan jangka panjang terhadap perempuan yang menerima TSH dengan
Estrogen / progestin menunjukkan adanya peningkatan risiko penyakit jantung, kanker
payudara, endometrium, dan ovarium, sehingga ada kecenderungan untuk mengurangi
penggunaan hormon dalam mengatasi gejala menopause (Thomas et al., 2014; Tice et al.,
2003).

Adanya kenyataan bahwa banyak resiko kesehatan yang dialami seorang wanita yang
menerima TSH, maka ada kecenderungan untuk mengurangi penggunaan horman dalam
mengurangi gejala menopause. Sebaliknya pemakaian bahan-bahan nonsteroid yang memilki
aktivitas menyerupai estrogen mengalami peningkatan, sebagai alternative pengganti
estrogen. Salah satu terapi alternative yang banyak dikembangkan untuk mencegah dan
mengatasi gejala menopause adalah fitoestrogen. Walaupun beberapa hasil penelitian tentang
efektifitas fitoestrogen dalam mengatasi gejala menopause tidak konsisten, tetapi semakin
banyak bukti yang mendukung adanya manfaat fitoestrogen dalam mengatasi gejala
menopause(Bedell et al., 2014)

2.4 Efektivitas Fitoestrogen Dalam Mengatasi Atrofi Vagina Wanita Menopause

2.4.1 Definisi Fitoestrogen

Fitoestrogen adalah senyawa nonsteroid yang memiliki aktivitas estrogenic yang berasal dari
tanaman (Weihua et al., 2000), atau metabolit yang berasal dari precursor tanaman(Bedell et
al., 2014). Fitoestrogen bervariasi dalam hal struktur, potensi estrogenik, dan ketersediaannya

6
dalam sumber makanan seperti kedelai, sereal, dan kecambah(Kummer V, 2001). Ada
ratusan bahan alam yang telah diketahui mengandung fitoestrogen, yang sebagian besar
berasal dari golongan isoflavones, lignans dan coumestans.Salah satu bahan alam yang telah
banyak diteliti aktivitas fitoestrogennya adalah golongan flavonoid.

Flavonoid adalah kelompok besar dari polisiklik phenol yang berasal dari tanaman
dan memberikan berbagai efek pada mamalia.Sampai saat ini lebih dari 4000 flavonoid telah
teridentifikasi. Struktur kimia flavonoid memiliki struktur umum kerangka 15 karbon , yang
terdiri dari dua cincin fenil ( A dan B ) dan cincin heterosiklik ( C ) . Struktur karbon ini
dapat disingkat C6 - C3 - C6 . Menurut nomenklatur IUPAC, flavonoid dapat
diklasifikasikan menjadi : (1) flavonoid atau bioflavonoid, (2) isoflavonoid , dan (3)
neoflavonoids

2.4.2 Metabolisme Fitoestrogen

Setelah dikonsumsi isoflavon, lignan dancoumestans , mengalami metabolisme diusus


dan dikonversi menjadi fenol heterosiklik ; isoflavondimetabolisme menjadi aglikon ,
genistein dan daidzein , lignan menjadi secoisolariciresinol - diglucoside ( SDG ) , dan
coumestans menjadi Coumestrol(Setchell and Cassidy, 1999) . Semua produk metabolism ini
mempunyai cincin fenolik yang dapat bersaing untuk terikat ke reseptor estrogen. Senyawa
ini secara struktural menyerupaiestrogen dan memiliki aktivitas estrogenik lemah, dan karena
alasan inilah kelompok senyawa ini disebut fitoestrogen. Setiap senyawa fitoestrogen
memodulasi reseptor estrogen secara selektif dan memiliki cara kerja yang berbeda (Bedell et
al., 2014).

2.4.3 Fitoestrogen sebagai SERMS (selective estrogen receptor modulators)

SERMs didefinisikan sebagai kelompok senyawa yang berperilaku sepertiagonis


estrogen di jaringan tertentu , dan antagonis pada jaringan lainnya. Semua estrogen ,
termasuk steroidal estrogen , seperti estradiol ,dan banyak jenis xenobiotik merupakan
SERMs. Efek yang muncul tergantung dari dua hal yaitu : jaringan tempat senyawa bekerja
dan jumlah relative SERM lainnya. Saat ini banyak bahan alam dan sintetis yang telah
diketahui sebagai SERMs (Bedell et al., 2014). Berikut ini adalah beberapa fitoestrogen
utama yang berperan sebagai SERM.

2.4.3.1Resveratrol

Resveratrol adalah fenol alami yang ditemukan dalam kulit anggur dan berbagai tanaman
obat. Karena konsentrasinya tinggi pada kulit anggur, maka sejumlah besar resveratrol
ditemukan dalam anggur merah. Resveratrol adalah fitoestrogen, karena senyawa ini mampu
terikat pada reseptor estrogen manusia. Fungsi SERMresveratrol serta sifat antagonis atau
agonisnya belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Beberapa studi menunjukkan bahwa dalam
tidak ada17-estradiol, resveratrol menunjukkan sifat campuran agonis dan antagonis pada
jaringan payudara, tetapi jika ada 17-estradiol berfungsi sebagai antagonis(Gehm et al.,
1997).

7
2.4.3.2 Isoflavon

Sumber fitoestrogen utama yang digunakan untuk pengobatan menopause adalah kedelai,
yang mengandung isoflavon dengan kadar tertinggi. (Bedell et al., 2014). Isoflavon
memiliki kesamaan struktur kimia dengan steroid estrogenik yang ada dalam tubuh manusia
(gambar 1) dan memiliki efek yang mirip (agonis) dengan senyawa estrogenik dalam tubuh
(Nikov et al., 2000). Fitoestrogen utama dari golongan isoflavon adalah genistein dan
daidzein(Kummer V, 2001). Genistein telah dibuktikan bisa menempel pada kedua reseptor
estrogen tetapi menempel lebih kuat pada ERβ daripada ERα (Thomas et al., 2014).

Efek isoflavon tergantung pada tingkat estradiol endogen, karena isoflavon dan
estradiol bersaing untuk terikat pada ER. Dalam keadaan tingkat tinggi estrogen endogen
seperti pada fase folikuler dari siklus estrus, isoflavon dapat menghambat aktivitas estrogen
penuh dengan menduduki ERs . Di sisi lain, dalam keadaan dengan tingkat rendah estrogen
endogen seperti setelah menopause atau ovariektomi, aktivitas estrogen isoflavon dapat
menjadi sangat meningkat(Kummer V, 2001). Pemberian fitoestrogen isoflavon pada tikus
normal (tidak dilakukan ovariektomi) , tidak mengakibatkan perubahan kadar estradiol,
namun peningkatan kadar serum estradiol terjadi jika isoflavon diberikan kepada tikus yang
diovariektomi (Kawakita et al., 2009).

Peningkatan berat uterus , meningkatnya ketinggian epitel luminal, edema rahim ,


hiperplasia epitel luminal dan acini kelenjar menunjukkan bahwa fitoestrogen kedelai bekerja
dalam uterus dengan mekanisme mirip dengan estrogen yaitu , dapat melalui penempelan
pada ER, kemudian kompleks ligan-reseptor menginduksi expression of estrogen-responsive
Genes (Francisco et al., 2013)

2.4.3.3 Lignans

Di antara makanan nabati yang dapat dikonsumsi, biji rami (flaxseed) adalah sumber terkaya
dari lignan, yang dilaporkan memiliki baik efek estrogenik dan anti-estrogenik yang lemah.
Selama pencernaan biji rami precursor utama lignan yaitu secoisolariciresinol diglucoside
(SDG), dikonversi oleh bakteri kolon menjadi enterodiol dan enterolactone. Lignan dan
metabolitnya terikat pada reseptor estrogen yang dipengaruhi oleh dosis (dose dependent),
sehingga bisa berfungsi sebagai SERM(Bedell et al., 2014)

2.4.3.5 Coumestans

Makanan seperti alfalfa dan kecambah biji semanggi (clover sprout) mengandung
konsentrasi tertinggi coumestans. Secara keseluruhan, tingkat konsumsi coumestans tidak
sebesar isoflavon dan lignan.Setelah dicerna, coumestans dipecah menjadi beberapa senyawa
termasuk Coumestrol, yang memiliki afinitas yang kuat terhadap reseptor
estrogen.Coumestrol (serta genistein) telah terbukti terikat ERβ daripada ERα.Di antara
beberapa metabolit phytoestrogen yang telah diteliti, Coumestrol terbukti memiliki
afinitastertinggi untuk terikat pada reseptor estrogen (Kuiper et al., 1998). Penelitian lain
menunjukkan bahwa Coumestrol terikat dengan reseptor estrogen dengan afinitas hanya
limasampai sepuluh kali lipat kurang dari 17-estradiol. Karena afinitas pengikatan yang

8
relatif kuat pada reseptor estrogen ini menyebabkan beberapa peneliti menyatakan bahwa
coumestans berpotensi menjadi fitoestrogen yang paling potensial(Bedell et al., 2014)

2.4.4 Efektifitas Fitoestrogen dalam mengatasi gejala atrofi vagina

Chiechi et al .menganalisis dampak dari diet kaya kedelai selama 6 bulan pada epitel
vagina dengan melibatkan 187 wanita yang tidak mengalami menstruasi paling sedikit enam
bulan sebelum penelitian dimulai.Hasil penelitiannya menunjukkan adanya peningkatanbaik
dalam pematangan dan karyopyknotic indeks pada wanita yang diberi diet kaya kedelai
(Chiechi et al., 2003). Hasil yang sama didapatkan dari penelitian yang melibatkan 60 wanita
menopause yang diberikan suplemen kedelai (90 mg isoflavon) selama 16 minggu,
didapatkan terjadi penurunan gejala urogenital secara signifikan dibandingkan dengan
kelompok placebo (Carmignani et al., 2010) . Penelitian dengan kombinasi isoflavon dan
lignan selama 12 minggu dilaporkan mampu memperbaiki gejala atrofi vagina pada wanita
menopause yang meliputi peningkatan kualitas seksual, perbaikan PH vagina dan perbaikan
indeks maturasi epitel vagina (Sanchez-Borrego et al., 2015) . Penelitian yang melibatkan
wanita post menopause membuktikan bahwa Pueraria mirifica mampu mencegah kerusakan
epitel vagina akibat menurunnya estrogen, memperbaiki atrofi epitel vagina, mengurangi
kekeringan vagina dan mengurangi dyspareunia(Manonai et al., 2007)

Dua penelitian lainnya mendapatkan hasil yang berlawanan. Penelitian yang


melibatkan 64 wanita postmenopause diberi tablet yang mengandung 114 mg isoflavonoid
kedelai selama 3 bulan amelaporkan adanya perbaikan struktur histology vagina walaupun
berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol (Nikander et al., 2005). Penelitian pada
36 wanita menopause yang diberi diet kaya kedelai (50 mg isoflavon ) selama dua periode
12-minggu dengandua periode pembersihan 4 minggu.Mendapatkan hasil tidak ada perbaikan
indeks kesehatan vagina (Manonai et al., 2006).

Penelitian pada hewan coba juga menunjukkan efektivitas fitoestrogen dapat


mengurangi gejala atrofi vagina.Pemberian ekstrak Renshen yang diperkirakan memiliki
aktivitas fitoestrogen pada mencit yang belum dewasa (immature) memberikan perubahan
mirip seperti efek estrogen yaitu epitel vagina menebal, lapisan sel bertambah dan ditemukan
kornifikasi. Efek estrogenic ekstrak Renshen juga terlihat dari adanya upregulasi ERα and
ERβ pada jaringan vagina dan uterus(Ding et al., 2015). Ekstrak Red clover yang kaya
dengan isoflavones genistein, daidzein, biochanin A and formononetin glycitein (Ewies,
2002) , mampu meningkatkan kornifikasi epitel vagina selain itu juga meningkatkan berat
uterus dan percabangan duktus kelenjar payudara tikus betina yang mengalami ovariektomi.
Efek estrogenic Red clover bersifat dose dependent dan diferensiasi epitel vagina terjadi pada
dosis yang paling tinggi (Burdette et al., 2002)

Pemberian fitoestrogen Pueraria mirifica pada tikus yang mengalami ovariektomi


mampu memperbaiki epitel vagina yang diamati melalui adanya kornifikasi pada vaginal
smear(Cherdshewasart et al., 2008). Sebuah penelitian yang pada monyet post menopause
membuktikan bahwa pemberian ekstrak fitoestrogen Pueraria mirifica secara topical mampu
mengurangi atrofi vagina dan memperbaiki fisiologi vagina. Terjadi peningkatan lapisan

9
epitel vagina dan penurunan PH menjadi lebih asam, keuntungan lainnya dari pemakaian
ekstrak pueraria mirifica adalah tidak munculnya efek samping sistemik (Jaroenporn et al.,
2014).

Pemberian topikal gel yang mengandung isoflavon pada wanita menopause selama
12 minggu mampu memperbaiki gejala kekeringan vagina, dispareunia, mengembalikan pH
vagina dari 7 menjadi 5.4, meningkatkan proporsi sel-sel superficial, dan meningkatkan tebal
epitel dan meningkatkan jumlah sel yang mengekspresikan reseptor estrogen pada epitel
vagina(Lima et al., 2014).

Pemberian suplemen Femarelle® yang mengandung kombinasi isoflavon dan lignan


sebanyak dua kali sehari selama 12 minggu pada 12 wanita pot-menopause memberikan hasil
yang baik terhadap atrofi vagina. Semua responden melaporkan peningkatan kualitas hidup
dan kualitas kehidupan seksual, serta penurunan gejala atrofi vagina. Selain itu, perbaikan
pH vagina dan indeks maturasi epitel vagina secara signifikan (Bedell et al., 2014).

10
BAB III

KESIMPULAN

Beberapa fitoestrogen menunjukan efektivitas yang cukup baik untuk memperbaiki struktur
epitel vagina yang mengalami atrofi akibat defisiensi estrogen. Fitoestrogen bisa menjadi
pengganti estrogen, walaupun memiliki aktivitas estrogen yang lemah tetapi memiliki efek
samping yang lebih rendah serta tingkat keamanan yang lebih baik daripada estrogen.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Azzawi, F., and S. Palacios. 2009. Hormonal changes during menopause. Maturitas. 63:135-137.
Bedell, S., M. Nachtigall, and F. Naftolin. 2014. The pros and cons of plant estrogens for menopause.
The Journal of steroid biochemistry and molecular biology. 139:225-236.
Burdette, J.E., J. Liu, D. Lantvit, E. Lim, N. Booth, K.P. Bhat, S. Hedayat, R.B. Van Breemen, A.I.
Constantinou, J.M. Pezzuto, N.R. Farnsworth, and J.L. Bolton. 2002. Trifolium pratense (red
clover) exhibits estrogenic effects in vivo in ovariectomized Sprague-Dawley rats. The Journal
of nutrition. 132:27-30.
Burger, H.G. 2006. Hormone therapy in the WHI era. The Australian & New Zealand journal of
obstetrics & gynaecology. 46:84-91.
Carmignani, L.O., A.O. Pedro, L.H. Costa-Paiva, and A.M. Pinto-Neto. 2010. The effect of dietary soy
supplementation compared to estrogen and placebo on menopausal symptoms: a
randomized controlled trial. Maturitas. 67:262-269.
Cherdshewasart, W., S. Sriwatcharakul, and S. Malaivijitnond. 2008. Variance of estrogenic activity of
the phytoestrogen-rich plant. Maturitas. 61:350-357.
Chiechi, L.M., G. Putignano, V. Guerra, M.P. Schiavelli, A.M. Cisternino, and C. Carriero. 2003. The
effect of a soy rich diet on the vaginal epithelium in postmenopause: a randomized double
blind trial. Maturitas. 45:241-246.
Ding, J., Y. Xu, X. Ma, J. An, X. Yang, Z. Liu, and N. Lin. 2015. Estrogenic effect of the extract of
Renshen (Radix Ginseng) on reproductive tissues in immature mice. Journal of traditional
Chinese medicine = Chung i tsa chih ying wen pan / sponsored by All-China Association of
Traditional Chinese Medicine, Academy of Traditional Chinese Medicine. 35:460-467.
Doshi, S.B., and A. Agarwal. 2013. The role of oxidative stress in menopause. Journal of mid-life
health. 4:140-146.
Ewies, A.A. 2002. Phytoestrogens in the management of the menopause: up-to-date. Obstetrical &
gynecological survey. 57:306-313.
Francisco, A.M., A.F. Carbonel, R.S. Simoes, J.M. Soares, Jr., E.C. Baracat, and M.A. Haidar. 2013. Do
extracts of oral soybean augment the trophic effect of estrogen on the rat uterus?
Climacteric : the journal of the International Menopause Society. 16:161-168.
Fuermetz, A., M. Schoenfeld, S. Ennemoser, E. Muetzel, U. Jeschke, and K. Jundt. 2015. Change of
steroid receptor expression in the posterior vaginal wall after local estrogen therapy.
European journal of obstetrics, gynecology, and reproductive biology. 187:45-50.
Gehm, B.D., J.M. McAndrews, P.Y. Chien, and J.L. Jameson. 1997. Resveratrol, a polyphenolic
compound found in grapes and wine, is an agonist for the estrogen receptor. Proceedings of
the National Academy of Sciences of the United States of America. 94:14138-14143.
Gruber, C.J., W. Tschugguel, C. Schneeberger, and J.C. Huber. 2002. Production and actions of
estrogens. The New England journal of medicine. 346:340-352.
Hodgins, M.B., R.C. Spike, R.M. Mackie, and A.B. MacLean. 1998. An immunohistochemical study of
androgen, oestrogen and progesterone receptors in the vulva and vagina. British journal of
obstetrics and gynaecology. 105:216-222.
Ing, N.H., and M.B. Tornesi. 1997. Estradiol up-regulates estrogen receptor and progesterone
receptor gene expression in specific ovine uterine cells. Biology of reproduction. 56:1205-
1215.
Jaroenporn, S., N. Urasopon, G. Watanabe, and S. Malaivijitnond. 2014. Improvements of vaginal
atrophy without systemic side effects after topical application of Pueraria mirifica, a
phytoestrogen-rich herb, in postmenopausal cynomolgus macaques. The Journal of
reproduction and development. 60:238-245.
Jin, L., X.H. Zhang, J.L. Wang, and Y.Z. Yu. 2007. [Expression of estrogen receptor alpha and beta
subtypes in the vaginal wall of women with anterior vaginal prolapse]. Zhonghua fu chan ke
za zhi. 42:18-21.

12
Kawakita, S., F. Marotta, Y. Naito, U. Gumaste, S. Jain, J. Tsuchiya, and E. Minelli. 2009. Effect of an
isoflavones-containing red clover preparation and alkaline supplementation on bone
metabolism in ovariectomized rats. Clinical interventions in aging. 4:91-100.
Kuiper, G.G., B. Carlsson, K. Grandien, E. Enmark, J. Haggblad, S. Nilsson, and J.A. Gustafsson. 1997.
Comparison of the ligand binding specificity and transcript tissue distribution of estrogen
receptors alpha and beta. Endocrinology. 138:863-870.
Kuiper, G.G., J.G. Lemmen, B. Carlsson, J.C. Corton, S.H. Safe, P.T. van der Saag, B. van der Burg, and
J.A. Gustafsson. 1998. Interaction of estrogenic chemicals and phytoestrogens with estrogen
receptor beta. Endocrinology. 139:4252-4263.
Kummer V, M.J., canderle J, Zraly J, Necha J, Machala M. 2001. Estrogenic effect of Silymarian in
ovariectomized Rats. Vet. Med. 46:17-23.
Levine, K.B., R.E. Williams, and K.E. Hartmann. 2008. Vulvovaginal atrophy is strongly associated with
female sexual dysfunction among sexually active postmenopausal women. Menopause.
15:661-666.
Li, X., J. Huang, P. Yi, R.A. Bambara, R. Hilf, and M. Muyan. 2004. Single-chain estrogen receptors
(ERs) reveal that the ERalpha/beta heterodimer emulates functions of the ERalpha dimer in
genomic estrogen signaling pathways. Molecular and cellular biology. 24:7681-7694.
Lima, S.M., B.F. Bernardo, S.S. Yamada, B.F. Reis, G.M. da Silva, and M.A. Galvao. 2014. Effects of
Glycine max (L.) Merr. soy isoflavone vaginal gel on epithelium morphology and estrogen
receptor expression in postmenopausal women: a 12-week, randomized, double-blind,
placebo-controlled trial. Maturitas. 78:205-211.
Manonai, J., A. Chittacharoen, U. Theppisai, and H. Theppisai. 2007. Effect of Pueraria mirifica on
vaginal health. Menopause. 14:919-924.
Manonai, J., S. Songchitsomboon, K. Chanda, J.H. Hong, and S. Komindr. 2006. The effect of a soy-
rich diet on urogenital atrophy: a randomized, cross-over trial. Maturitas. 54:135-140.
Nikander, E., E.M. Rutanen, P. Nieminen, T. Wahlstrom, O. Ylikorkala, and A. Tiitinen. 2005. Lack of
effect of isoflavonoids on the vagina and endometrium in postmenopausal women. Fertility
and sterility. 83:137-142.
Nikov, G.N., N.E. Hopkins, S. Boue, and W.L. Alworth. 2000. Interactions of dietary estrogens with
human estrogen receptors and the effect on estrogen receptor-estrogen response element
complex formation. Environmental health perspectives. 108:867-872.
Sanchez-Borrego, R., N. Mendoza, and P. Llaneza. 2015. A prospective study of DT56a (Femarelle(R))
for the treatment of menopause symptoms. Climacteric : the journal of the International
Menopause Society. 18:813-816.
Schindler, A.E. 2014. The "newer" progestogens and postmenopausal hormone therapy (HRT). The
Journal of steroid biochemistry and molecular biology. 142:48-51.
Setchell, K.D., and A. Cassidy. 1999. Dietary isoflavones: biological effects and relevance to human
health. The Journal of nutrition. 129:758S-767S.
Speroff, L. 2005. Alternative therapies for postmenopausal women. International journal of fertility
and women's medicine. 50:101-114.
Thomas, A.J., R. Ismail, L. Taylor-Swanson, L. Cray, J.G. Schnall, E.S. Mitchell, and N.F. Woods. 2014.
Effects of isoflavones and amino acid therapies for hot flashes and co-occurring symptoms
during the menopausal transition and early postmenopause: a systematic review. Maturitas.
78:263-276.
Tice, J.A., B. Ettinger, K. Ensrud, R. Wallace, T. Blackwell, and S.R. Cummings. 2003. Phytoestrogen
supplements for the treatment of hot flashes: the Isoflavone Clover Extract (ICE) Study: a
randomized controlled trial. Jama. 290:207-214.
Wang, H., H. Eriksson, and L. Sahlin. 2000. Estrogen receptors alpha and beta in the female
reproductive tract of the rat during the estrous cycle. Biology of reproduction. 63:1331-1340.
Wang, H., B. Masironi, H. Eriksson, and L. Sahlin. 1999. A comparative study of estrogen receptors
alpha and beta in the rat uterus. Biology of reproduction. 61:955-964.

13
Weihua, Z., S. Saji, S. Makinen, G. Cheng, E.V. Jensen, M. Warner, and J.A. Gustafsson. 2000.
Estrogen receptor (ER) beta, a modulator of ERalpha in the uterus. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America. 97:5936-5941.

14

Anda mungkin juga menyukai