PENELITIAN TA 2007
Oleh :
Budiman Hutabarat
M. Husein Sawit
Saktyanu K. D.
Helena J. Purba
Wahida
Sri Nuryanti
Ringkasan Eksekutif
I. PENDAHULUAN
(1) Menurut teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara yang tanpa
hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui
spesialisasi produksi komoditas yang diunggulkan oleh masing-masing negara
itu. Namun, dalam kenyataan, paling tidak dari penelitian empiris dengan
semakin terbukanya suatu perekonomian tidak serta-merta menciptakan
kemakmuran bagi negara-negara yang terlibat.
(2) Dalam perkembangan terakhir ini, banyak negara mencoba mencari alternatif ke
arah liberalisasi melalui Perdagangan Bebas Kawasan/PBK. Sampai bulan
Oktober 2004, di markas OPD telah terdaftar sebanyak 300 kawasan
perdagangan terbatas/KPT atau preferential trade area/PTA atau secara umum
Kesepakatan Perdagangan Bebas/KPB atau Free Trade Agreement/FTA dari
seluruh dunia.
(5) Penelitian ini menggunakan berbagai macam teknik analisis, kombinasi metoda
dan alat-alat deskriptif untuk menjelaskan masalah-masalah penelitian dengan
metoda Analisis Bilateral/Regional (Indeks Grubel-Lloyd) dan metoda Global
Trade Analysis (GTAP Modeling). Pemilihan metoda atau alat analisa didasarkan
pada kerelevanan masalah dan ketersediaan data dan informasi untuk menjawab
masalah. Analisis data dilakukan hanya menyangkut isu-isu perdagangan
komoditas dalam hal pemotongan tarif dan sedikit tentang kemudahan
perdagangan (trade facilitation) seperti pelabuhan ekspor dan impor, terutama
untuk produk pertanian dan tidak membahas tentang isu-isu kemudahan
v
investasi, hambatan teknis perdagangan, jasa-jasa, hak kekayaan intelektual,
kebijakan persaingan, pengadaan dan investasi pemerintah. Selain itu isu
perlindungan keamanan (safeguards), antidumping and countervailing measures,
perangsang ekspor (export incentives), bantuan domestik (domestic support),
jumlah dan jenis aturan asal barang (rules of origin/ROO), cakupan aturan asal
barang, pembatasan aturan asal barang, hambatan teknis perdagangan dan
aturan sanitari dan fitosanitari juga tidak disinggung dalam penelitian ini.
(6) Dalam dasawarsa terakhir ini perkembangan KPB atau KPW meningkat dengan
tajam bersamaan dengan berjalannya perundingan multilateral dalam wadah
OPD. Jumlah KPB yang tercatat sampai bulan Oktober 2004 telah mencapai 300
di seluruh kawasan dunia. Yang bersemangat membentuk dan mengikuti KPB
tidak hanya NB atau kelempok NB, tetapi juga negara-negara atau kelompok
negara maju seperti AS, Jepang, Australia, UE dan lain-lain.
(7) Terdapat dua macam KPB, yakni: (1) Bilateral, antara dua negara atau dua fihak
atau kelompok dan (2) Plurilateral antara berbagai fihak atau kelompok. Banyak
komitmen kesepakatan Indonesia dalam KPB dilakukan melalui kebersamaannya
dengan negara-negara sekawasan ASEAN. Indonesia melangkah ke arena
persaingan bebas wilayah melalui kesepakatan KPB ASEAN, (AFTA), KPB
ASEAN-China (ASEAN-China FTA) dan KPB Indonesia-China (Indonesia-China
FTA).
(8) Secara teoritis dapat dikatakan bahwa KPB dapat menciptakan perdagangan dan
dapat juga mengalihkan perdagangan di dan ke negara-negara dalam kelompok.
Selain itu, karena Indonesia adalah negara yang meratifikasi OPD, KPB juga
dapat menjadi batu landasan atau batu sandungan ke kesepakatan perdagangan
bebas multilateral. Hal ini ditentukan oleh paling tidak oleh empat faktor yang
saling berhubungan: (1) Keadaan keseimbangan ekonomi dalam ”second-best”
yang ruwet, (2) Sifat dinamisme kebijakan ekonomi dan perdagangan yang
memberi dampak timbal-balik pada sektor-sektor ekonomi, (3) Sifat KPW itu
sendiri, yang mungkin mengarah pada keadaan dua kutub ”pusat atau poros” dan
”pinggiran” dan (4) Kedalaman dan keluasan liputan KPW, dalam hal produk atau
sektor, tarif, hambatan teknis perdagangan, jasa-jasa, hak kekayaan intelektual,
kebijakan persaingan, pengadaan dan investasi pemerintah.
vi
(10) Produk pertanian utama impor Indonesia adalah dari kelompok subsektor
hortikultura, seperti bawang putih dengan pangsa tertinggi (25,46 persen),
disusul buah-buahan terutama buah apel, pir, dan jeruk yang tentu saja termasuk
penyumbang devisa bagi pemerintah China. Komoditas lain yang diimpor
Indonesia adalah bahan olahan dari karet, gula dan lain-lain. Namun, komoditas
impor yang dominan adalah produk primer dan sebenarnya adalah juga
komoditas yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia, kecuali barangkali
bawang putih dan pir, di mana bawang putih hanya tumbuh sangat baik di daerah
dengan elevasi tinggi dan kering.
(11) Sejak EHP Indonesia-China berlangsung ekspor produk pangan dan pertanian
telah mencapai lonjakan dan bertahan pada posisi surplus, tetapi surplus ini
hanya mungkin terjadi karena dukungan dua produk ekspor pertanian utama,
yaitu minyak sawit dan karet alam.
(14) Minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kopra merupakan produk ekspor
pertanian unggulan Indonesia ke kawasan ASEAN. Namun, Indonesia, beserta
petaninya tidak akan mendapatkan banyak manfaat dari semua kerjasama
perdagangan kalau sekedar menjadi titik terbawah di dalam tangga mekanisme
rantai nilai komoditas pertanian (commodity value chain). Jaringan pemasaran
dan industri hilir komoditas pertanian harus dikembangkan.
(15) Peralihan ke KPB menyebabkan impor Indonesia dari kawasan ASEAN atas
berbagai produk meningkat tajam. Nilai impor Indonesia pada masa pra KPB
ASEAN lebih kecil dibanding pada masa pasca KPB ASEAN. Pada masa pasca
KPB ASEAN. impor jeruk mandarin meningkat sebesar 76,40 persen setiap
tahunnya, diikuti oleh komoditas bawang putih (73,67 persen), tembakau jenis
virginia (40 persen) dan buah jeruk (15,07 persen).
(16) Indonesia merupakan negara produsen tapioka terbesar kedua di dunia sesudah
Thailand, tetapi dalam perdagangan regional ASEAN, Indonesia menunjukkan
kinerja intra industri tepung tapioka yang tidak baik. Bahkan Indonesia banyak
mengimpor pati ubi kayu dari Thailand. Ini mengundang sikap kewaspadaan
dalam kelompok HS 11 yang merupakan industri tepung tapioka rakyat (ITARA)
yang banyak terdapat di Indonesia. Namun, KPB, pada awalnya diwadahi
ASEAN, agaknya mengalami kerugikan dalam perdagangan beberapa produk.
Pasar ekspor komoditas pertanian Indonesia pasca KPB ASEAN tidak semakin
menyebar ke seluruh negara di kawasan ASEAN.
(17) Produk-produk pertanian yang menjadi perhatian dalam setiap KPB sudah
memiliki modalitas pemotongan tarif dari segi sasaran tingkat yang akan dicapai,
waktu pelaksanaannya dan tahapan pemotongannya dengan memperkenalkan
jalur-jalur. Yang penting diantisipasi adalah penetapan produk-produk pertanian
vii
(dalam hal ini pos tarif) yang sebaiknya diprogramkan atau tidak sama sekali
dalam jalur-jalur yang tersedia atau pemindahannya dari daru jalur satu ke jalur
lain.
(18) Hasil simulasi menunjukkan bahwa dampak pemotongan tarif terhadap produksi,
ekspor bersih, PDB dan kesejahteraan Indonesia menunjukkan hasil yang positif,
kalau China dan semua negara anggota ASEAN menerapkan secara bersamaan
pemotongan tarif dan dengan besaran yang sama. Namun, KPB Indonesia-
China memberi peningkatan jauh lebih besar daripada KPB ASEAN pada
indikator ekspor, tingkat kesejahteraan, PDB dan bahkan impor, sedangkan
untuk indikator produksi laju peningkatan yang lebih tinggi dihasilkan oleh KPB
ASEAN.
(19) Selain dari hasil-hasil positif tersebut terlihat pula dampak-dampak negatif pada
beberapa komoditas atau kelompok komoditas. Neraca perdagangan padi
menjadi negatif dalam kerangka EHP, sementara indikator produksi, impor dan
kesejahteraan petaninya meningkat. Pada komoditas yang sama, (padi) KPB
ASEAN memprakirakan impor dan kesejahteraan petaninya menurun, sementara
produksi dan neraca perdagangannya meningkat. Bagi komoditas sayuran, EHP
memprakirakan produksi, impor dan kesejahteraan produsennya meningkat,
sedangkan ekspor dan neraca perdagangan menurun. Sementara itu KPB
ASEAN memprakirakan pada komoditas sayuran semua indikator akan
mengalami peningkatan. Selanjutnya bagi komoditas biji-bijian yang mengandung
minyak (oilseeds), EHP memprakirakan bahwa produksi, impor dan
kesejahteraan produsennya meningkat, sedangkan ekspor dan neraca
perdagangannya menurun. Di fihak lain KPB ASEAN memprakirakan bahwa
semua indikator akan mengalami penurunan.
(20) Selain dampak positif berupa tambahan devisa, Indonesia juga harus lebih
berhati-hati dan cermat dalam mempertimbangkan kebutuhan dalam negeri
komoditas-komoditas yang juga merupakan unggulan ekspor agar terhindar dari
kelangkaan produk untuk mencukupi kebutuhannya di dalam negeri. Gejolak
harga dunia harus dijadikan patokan dalam memprakirakan komposisi ekspor
dan konsumsi dalam negeri terhadap suatu produk, untuk menghindari gejolak
pasar dalam negeri seperti ditunjukkan oleh peningkatan harga yang sangat
tajam untuk kebutuhan-kebutuhan pokok.
(21) Sebelum menerima tawaran untuk membentuk atau mengikat diri dalam KPW
atau KPB, seyogianya Indonesia mengkaji secara mendalam tentang dampaknya
terhadap perekonomian dan mengidentifikasi komoditas atau sektor-sektor atau
bidang-bidang usaha yang diusulkan untuk diliberalisasi.
(22) Disarankan juga agar pengkajian yang saksama dilakukan terhadap calon mitra
kelompok kesepakatan dalam hal kebijakan internal ekonomi dan perdagangan
mereka untuk memberi petunjuk apakah Indonesia sebagai poros atau pinggiran
dalam kesepakatan perdagangan yang akan dibentuk. Kalau seandainya hasil
kajian menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi hanya menjadi pinggiran dalam
konteks perdagangan terbatas tersebut, sebaiknya Indonesia tidak mengikat diri
dalam KPW yang direncanakan.
viii
pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi untuk produk tersebut, kelambatan agro
industri untuk produk terkait tidak dapat dihindarkan.
(25) Dalam rangka keikutsertaan kita dalam perdagangan bebas baik secara bilateral
maupun secara kawasan diperlukan sikap kehati-hatian dan tidak terburu-buru
terutama dalam negosiasi untuk memutuskan komoditas yang masuk dalam
program pengurangan tarif beamasuk, apalagi produk yang banyak dihasilkan
oleh Indonesia adalah produk primer bukan olahan. Di samping itu peningkatan
mutu juga sangat mendesak untuk dilakukan supaya dapat bersaing terutama
dalam menghadapi pasar tunggal ASEAN tahun 2015.
(25) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa azaz kehati-hatian dalam memberikan
rekomendasi komoditas yang akan diusulkan untuk mendapatkan skema
penurunan atau penghapusan tarif ataupun EHP sangat penting. Penentuan
komoditas tanpa menganalisis secara terperinci kinerja ekspor negara pesaing
baik lingkup ASEAN maupun kawasan lainnya diprakirakan akan membatasi
ruang pengembangan komoditas tersebut baik dari sisi ekpor maupun
pengembangan agroindustri komoditas terkait di dalam negeri. Oleh karena itu
penelitian yang berkelanjutan tentang keragaan perdagangan bebas bilateral
antara Indonesia dengan mitranya sangat diperlukan sehingga informasi yang
telah diperoleh dan saran kebijakan dan keputusan kebijakan atau posisi
perundingan dapat berjalan secara konsisten.
ix