Anda di halaman 1dari 2

Antropologi; Pengaruh Sistem Religi

terhadap Kebudayaan
11 Mei 2014   16:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37  2616  0 0

Oleh Annisa Nur Fadhillah

Kebudayaan lahir tidak hanya serta merta, namun adanya berbagai tahapan. Salah satu tahapan
tersebut adalah dari sistem religi. Hal ini terjadi disebabkan bahwa sistem religi menjadi salah
satu unsur kebudayaan yang tampak paling lahir (Koentjaraningrat, 1990:375). Sistem religi
mengalami perkembangan seiring adanya perkembangan pengetahuan. Pada zaman dahulu,
kepercayaan terhadap hal-hal yang ghaib disebabkan pengetahuan manusia yang sangat terbatas.
Pengetahuan yang masih terbatas ini menyebabkan penjelasan terhadap hal-hal disekitar bahkan
hal-hal dianggap ghaib sebagai kebenaran dan diyakini oleh manusia pada zaman itu. Dalam
Koentjaradiningrat (1990:376) menyatakan dalam usaha untuk memecahkan asal-mula religi,
para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari
bentuk-bentuk religi yang kuno, yang dianut oleh seluruh umat manusia dalam zaman dahulu,
juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada tingkat yang primitif.

Dalam suatu sistem religi, hal yang penting meliputi sistem ini adalah emosi keagamaan, yakni
suatu getaran jiwa yang mencakup di dalam aktivitas manusia. Karena adanya suatu getaran jiwa
inilah yang mendorong adanya aktivitas yang bersifat religi. Bersifat religi ini yakni berasal dari
hati nurani yang dipacu oleh replitian brain. Selain emosi keagamaan, terbentuknya sistem religi
juga dipengaruhi oleh unsur penting seperti sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan dan
suatu umat yang menganut religi itu. Kekuatan sistem religi tersebut dapat dinilai dari ketiga
unsur penting tersebut. Kekuatan disini adalah ukuran besarnya pengaruh sistem religi didalam
mempengaruhi kehidupan manusia, khususnya kebudayaan manusia.

Dalam sistem keyakinan yang membantu untuk membangun sistem religi yang kuat dalam suatu
kebudayaan, pengembangannya pada zaman dahulu melihat konsepsi dewa-dewa yang tertinggi;
terciptanya alam semesta dan konsep hidup dan mati yang menggali keyakinan sedalam-
dalamnya hingga konsep dunia roh dan dunia akhirat. Dengan konsep-konsep inilah, sistem
keyakinan makin diperkuat dan mendorong emosi keagamaan muncul dalam setiap aktivitas
manusia dan pada akhirnya, sistem religi menjadi kokoh karena getaran jiwa pada manusia
membuat mereka beraktivitas yang bersifat religi. Disamping itu, ketika keyakinan terbentuk
maka, dorongan-dorongan melakukan upacara keagamaan karena biasanya upacara keagamaan
mengandung suatu rangkaian yang terdiri aspek-aspek seperti berikut : dalam Koentjaradiningrat
(1990:378) yakni aspek pertama yang berhubungan dengan tempat-tempat keramat dimana
upacara dilakukan, yaitu makan, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya.
Aspek kedua, aspek mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya.
Kemudian, aspek ketiga, mengenai benda-benda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-
patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng,seruling suci,
genderang suci, dan sebagainya. Pada aspek keempat, aspek mengenai para pelaku upacara
keagamaan, seperti para pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain. Dalam pernyataan ini,
upacara keagamaan dianggap kegiatan sakral untuk memenuhi sistem keyakinan melalui aspek-
aspek tersebut. Jika hal ini mempengaruhi bukan sekedar satu orang saja melainkan, banyak
orang menjadikan sistem religi bertahan didalam kehidupan manusia.

Dari uraian diatas, tampak juga bahwa sistem religi memiliki kecenderungan yang sama terhadap
ilmu ghaib. Akan tetapi, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa sistem religi adalah suatu rangkaian menimbulkan getaran hati yang disebut emosi
keagamaan dalam melakukan aktivitas manusia sehingga, sikap-sikap manusia menyadari
adanya pedoman kehidupan yang hakiki. Adanya dzat yang maha tinggi diluar batas kemampuan
manusia. Hal ini mengakibatkan terdorongnya manusia untuk melakukan kebaikan dengan
meyakini konsep-konsep yang telah dijelaskan sebelumnya (salah satunya konsepsi hidup dan
mati). Sedangkan ilmu ghaib lebih cenderung meyakini hal-hal yang diluar kemampuan batas
manusia sebagai elemen yang dapat memenuhi keinginan atau mencapai suatu maksud dari
manusia sehingga, nilai keikhlasan melakukan hal tersebut bersifat fiktif. Meski unsur-unsur
ritualnya hampir menyerupai namun, keyakinan yang terbentuk itulah yang menjadi tolak ukur
perbedaan diantara keduanya.

Sumber :

Koentjaradiningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990. Jakarta: Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai